Gambaran Adversity Quotient pada Wirausahawan Melayu di Bidang Kuliner

  

Gambaran Adversity Quotient pada Wirausahawan Melayu di Bidang Kuliner

  Lisa Dhanita, Ahmad Hidayat Fakultas Psikologi, Universitas Islam Riau

  

Abstract

An Adversity Quotient is necessary an Entrepreneur to indicate the ability or how strong a

person in dealing with business issues as entrepreneurs.This study aims to describe the Adversity

Quotient on the Malay entrepreneurs in the culinary field.this research uses qualitative method

with case study approach.Collecting data of this research using the observation and interview.

  

Methods of data analysis in this study using a model analysis of Miles and Huberman. Subjects

were selected using a purposive sampling technique;. Subjects were an entrepreneur who melayu

tribes, have culinary business, have culinary business at least two years. Result of this research

are both of the Malay Culinary Entrepreneurs have Adversity Quotient. They have the Adversity

Quotient for finding ways to overcome obstacles, overcoming competition and problem in the

business environment. They described themselve as a Malay person who have reflection that

Malay people could be successful and competent in the entrepreneurial world and become

successful Malay Entrepreneurs.

  Keywords : Adversity Quotient, Malay Culinary Entrepreneurs.

  

Abstrak

Adversity Quotient dibutuhkan bagi seseorang untuk menunjukkan seberapa kemampuan atau

seberapa tangguh seseorang dalam menghadapi masalah usaha seperti wirausahawan. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Adversity Quotien tpada wirausahawan melayu

dibidang kuliner. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara mendalam.

Metode analisis data pada penelitian ini dengan menggunakan metode analisis model Miles dan

Huberman. Subjek penelitian dipilih dengan menggunakan teknik sampel purposif. Subjek

penelitian adalah seorang wirausahawan yang bersuku melayu, memiliki usaha kuliner,

memiliki usaha kuliner minimal 2 tahun. Hasil penelitian ini adalah kedua informan memiliki

Adversity Quotient karena berhasil menemukan cara mengatasi masa dimana mengalami

hambatan, mengatasi persaingan usaha dan masalah didalam lingkungan kerja. Kedua informan

menggambarkan diri nya sebagai orang melayu yang memiliki cerminan bahwa orang melayu

bisa maju dan mampu berkecimpung dalam dunia wirausaha dan menjadi wirausahawan melayu

yang sukses.

  Kata Kunci : Adversity Quotient, usaha kuliner, wirausahawan melayu

  Setiap manusia memiliki ambisi serta kemauan dalam meraih kesuksesan. Tidak sedikit yang berusaha mewujudkan harapan dan tujuan demi meraih keberhasilan. Manusia dalam pencapaiannya tidak jarang harus melalui rintangan - rintangan dan kegagalan. Usaha-usaha yang dilakukan banyak menemui kejatuhan, namun manusia tetap mengejar hingga sampai mewujudkan impiannya. Kita ketahui kesulitan dan rintangan akan datang menghampiri dan akan menimpa setiap usaha yang dilakukan.

  Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat dimana seseorang bergerak kedepan dan keatas, terus maju dalam menjalani hidup, kendati terdapat berbagai rintangan atau bentuk – bentuk kesengsaraan lainnya (Stoltz, 2000). Demi meraih kesuksesan setiap orang berusaha berjuang untuk sukses mendulang kekayaan dengan berbagai bidang usaha. Jalan menuju kekayaan tidak mudah karena terdapat halangan dan rintangan yang membuat seseorang tergelincir dari jalan sukses dan kekayaan.

  Hampir setiap orang demi mewujudkan kesuksesan dan kekayaan dengan berbagai cara agar dapat meraih tujuannya. Salah satu usaha dalam mencapai sukses dan kaya adalah berwirausaha. Wirausaha merupakan salah satu bidang usaha yang menjanjikan kesuksesan. Negara-negara maju, baik Eropa maupun Amerika, setiap sepuluh menit lahir wirausaha baru.

  Berbagai pendapat terkait semangat kewirausahaan seringkali muncul ketika kita membuat perbandingan antara suku-suku yang ada di Indonesia, misalnya antara suku minang dan suku bugis dikenal sebagai suku-suku pedagang. Profesi yang mereka tekuni inilah menjadi dasar orang melihat bahwa kedua suku ini mempunyai jiwa kewirausahaan. Kedua suku ini dikenal sebagai perantau di berbagai daerah, sehingga peranan mereka dalam kegiatan ekonomi kerap kali dianggap istimewa dan menonjol.

  Beberapa suku lainnya di Indonesia dikenal sebagai suku yang kurang mempunyai jiwa atau bahkan diberi stereotip sebagai “pemalas” sebut saja suku melayu. Orang-orang Cina seringkali dinilai mempunyai jiwa kewirausahaan bila dibandingkan dengan penduduk pribumi. Orang-orang Cina terkenal sebagai pekerja yang ulet dan pekerja keras sehingga kehidupan perekonomian mereka baik dan mampu mengusai perekonomian di Indonesia. Penilaian ini tidak jarang berakhir dengan kesimpulan bahwa pribumi itu lebih rendah dalam keuletannya bekerja (Hasbulloh, 2013).

  Rahman (dalam Othman, 1993) mengatakan bahwa ciri kewirausahaan orang melayu kurang insiatif, kurang ingin tahu, kurang berfikir rasional, kurang percaya pada diri sendiri, kurang mementingkan kekayaan, percaya nasib menentukan segala-galanya, kurang berusaha, tidak memandang ke depan dan tidak menghargai waktu. Beberapa keterangan tentang wirausahawan Melayu, bahwa orang Melayu tidak mempunyai ciri-ciri yang tinggi dalam kewirausahaan. Besar kemungkinan wirausawan melayu lebih takut pada kegagalan.

  Mengikuti perubahan zaman, terdapat peningkatan ciri kewirausahaan dari abad ke-18 hingga abad ke-20 dengan ciri kewirausahaan zaman modern lebih tinggi dari zaman feodal. Tingkat kewirausahaan orang Melayu adalah diperingkat sederhana pada tahun 1960-an. Wirausahawan Melayu mempunyai motivasi pencapaian yang lebih tinggi daripada wirausahawan bukan Melayu. Lisut (dalam Othman, 1993) mengatakan bahwa wirausahawan bukan Melayu didapati lebih takut pada kegagalan daripada wirausahawan Melayu. Wirausahawan Melayu lebih berani dan bersikap positif apabila berhadapan dengan kegagalan dalam aktivitas mereka bila dengan wirausahawan bukanMelayu.

  Menjadi seorang wirausahawan adalah impian kebanyakan setiap orang. Berwirausaha dapat meningkatkan kemakmuran dan kesuksesan hidup seseorang. Salah satu bidang usaha yang banyak diminati oleh wirausaha adalah kuliner. Usaha kuliner adalah usaha yang populer dan menguntungkan, sebab makanan adalah kebutuhan pokok sehari-hari manusia. Manusia tak lepas dari yang namanya berburu kuliner. Kuliner masih menjadi sesuatu yang dapat menarik perhatian dan memunculkan ide bisnis yang seakan tidak pernah habis.

  (AQ) digunakan untuk membantu individu-individu memperkuat

  Adversity Quotient

  kemampuan dan ketekunan mereka dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sambil tetap berpegangan pada prinsip-prinsip dan impian mereka, tanpa mempedulikan apa yang terjadi. AQ dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menghadapi sebuh kesulitan atau hambatan sehingga ia mampu keluar dari kesulitan atau hambatan tersebut menjadi sebuah keberhasilan. Kebanyakan di antara kita mengetahui apa yang dibutuhkan supaya bisa sukses. Kita diberkahi berbagai macam unsur penting untuk mencapai kesuksesan. Kenyataan adalah jika seseorang memiliki AQ yang relatif rendah dan karenanya tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan, potensinya juga akan tetap kerdi, sebaliknya orang dengan AQ yang cukup tinggi akan berkembang pesat (Stoltz, 2000).

  Berdasarkan wacana dan latar belakang permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi bagaimana “Gambaran Adversity Quotient pada Wirausahawan Melayu di Bidang Kuliner”.

  Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran Adversity Quotient pada wirausahawan melayu di bidang kuliner. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran Adversity Quotient yang dimiliki seorang wirausahawan Melayu di bidang Kuliner, dan apa saja faktor-faktor pembentuk Adversity Quotient.

  

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut Moleong (dalam Fuad & Nugroho, 2014) metode penelitian kualitatif digunakan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Laporan penelitian ini berisi kutipan-kutipan data yang berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto dan dokumen lainnya.

  Cresswell (dalam Mirra, 2010) melakukan penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga, atau gejala-gejala tertentu. Berdasarkan wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit. Berdasarkan sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam. menerangkan studi kasus sebagai sebuah eksplorasi dari sistem yang terbatasi atau satu kasus tertentu. Kasus yang diteliti dapat saja meliputi peristiwa tertentu, program, aktivitas atau berdifat individual. Studi kasus juga menggunakan sumber dari berbagai cara pengumpulan yitu data, baik observasi, wawancara, bahan audio visual, dokumentasi dan laoporan.

  Subjek Penelitian

  Subjek dalam penelitian ini diambil oleh peneliti dengan menggunakan teknik sampel purposif, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu apa yang kita harapkan dan memudahkan peneliti menjelajahi situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2010).

  Adapun kriteria yang ditentukan sebagai subjek pada penelitian ini adalah wirausahawan yang bersuku Melayu, yaitu orang tua dari subjek adalah kelahiran dari ranah melayu dan subjek lahir di ranah melayu, dan memiliki usaha kuliner minimal 2 tahun.

  Teknik Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara, observasi dan angket.Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara semi terstruktur, yaitu peneliti menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis dan lengkap, namun peneliti dapat menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang lain diluar dari pedoman wawancara. Observasi juga merupakan suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.

  Prosedur Penelitian

  Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang harus dilalui dan dikerjakan dalam suatu penelitian, yaitu:

  1. Tahap Persiapan Penelitian Langkah awal dari penelitian ini adalah mengumpulkan data dan mempelajari yang berkaitan dengan topik adversity quotient pada wirausahawan. Sebelum peneliti melakukan penelitan, terlebih dahulu mempersiapkan instrumen yang akan digunakan yaitu lembar observasi, membuat pedoman wawancara, angket, kemudian peneliti memilih beberapa informan untuk data awal kelengkapan peneliti dan membuat kesepakatan dengan informan tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.

  2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Peneliti mengunjungi tempat usaha milik informan. Peneliti mendekati informan serta menjalin komunikasi yang baik guna memperlancar proses penelitian. Peneliti dan informan saling membuat kesepakatan dalam pelaksanaan wawancara.

  3. Tahap pengumpulan Data Setelah wawancara, observasi, pemberian angket dan pengumpulan data pribadi informan selesai, maka data-data yang telah didapat langsung ditulis ulang pada lembar observasi dan catatan wawancara. Kemudian data dari seluruh informan digolongkan, dianalisis, dan dideskripsikan agar tergambar hasil penelitian yang telah dilakukan.

  4. Tahap Penyelesaian Pada tahap akhir penelitian, seluruh hasil penelitian sudah selesai dianalis. Selanjutnya hasil peneliti siap untuk dilaporkan dan dipertanggungjawabkan.

  Teknik Analisis Data

  Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah model Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2011) terdiri dari tiga tahap, yaitu:

  1. Reduksi data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

  2. Penyajian data (display data), merupakan sekumpulan informasi tersususn yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan yang terus berkembang menjadi sebuah siklus dan penyajian data bias dilakukan dalam sebuah matriks.

  3. Verifikasi atau penarikan kesimpulan, merupakan tahap terakhir dalam rangkaian analisis data kualitatif. Kesimpulan dalam rangkaian analisis data kualitatif secara esensial berisi tentang uraian dari seluruh sub kategorisasi tema yang tercantum pada kabel kategorisasi dan pengkodean yang sudah terselesaikan disertai guide verbatim wawancara

  Kredibilitas Penelitian

  Uji kredibilitas yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah yaitu perpanjang pengamatan, peningkatan ketekunan,triangulasi teknik dan menggunakan bahan referensi.

  Penelitian ini dilakukan di tempat usaha kuliner milik informan. Wawancara informan pertama dilakukan di rumah makan Dapur Dipo Pekanbaru. Wawancara informan kedua dilakukan di rumah makan Tina Siak Sri Indrapura. Informan dan peneliti dapat membangun rapport yang baik. Peneliti sebelumnya sudah pernah bertemu dengan informan, selama penelitian berlangung penelitian berlangsung peneliti berkunjung ke tempat usaha milik Informan dan membangun

  

rapport serta mengikuti kegiatan dan membantu dirumah makan milik informan maka hubungan

  peneliti dan informan dapat terjalin degan baik dan informan mampu merespon dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

  Tabel 1 Karakteristik Informan Penelitian

  Kategori Informan 1 Informan 2

  Nama MY GB Usia 50 tahun 46 tahun Jenis kelamin Perempuan Perempuan Pekerjaan Wirausahawan Wirausahawan bisnis kuliner bisnis kuliner Agama Islam Islam Alamat Jl. Mutiara Sari No. 5 Jl. Mempura

  Hasil Analisis Data Informan 1 (MY)

  Masalah yang dialami oleh MY adalah mengenai karyawan nya. Pada awal usaha masalah yang di alami MY adalah karyawan yang sulit untuk dikendalikan. Awal tahun 1999 informan mencari koki untuk rumah makan miliknya, karyawan tersebut tidak memiliki latar pendidikan namun MY beranggapan bukanlah hal yang dipertimbangkan namun bagaimana orang tersebut mampu untuk menjadi orang yang dapat di andalkan.

  MY memberikan kepercayaan penuh kepada karyawannya, dimana ketika muncul permasalah karyawan yang selalu begadang tiap malam hingga pagi hari. Setiap hari karyawan MY selalu melakukan hal yang sama sehingga karyawan tersebut tidur dan tidak bangun pada pagi hari nya. Rumah makan miliknya tidak terurus. MY merasa kesal dengan pekerjaan karyawan nya yang tidak professional sehingga membuat rumah makan milik nya menjad tidak terarah di awal usaha. MY merasa kecewa serta emosi terhadap kelakukan karyawan nya. Namun MY harus tegas dalam menangani karyawan yang seperti itu karena MY harus tetap bisa bertahan dalam kondisi apapun yang ia alami.

  MY termasuk dalam kategori AQ tinggi dengan skor 171. MY memiliki kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang berat dan terus bergerak maju. MY memiliki kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. MY memiliki kemungkinan besar untuk bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan. MY merespon peristiwa yang penuh dengan kesulitan sebagai suatu yang kadang-kadang berasal dari luar dan kadang mungkin akan mempersalahkan diri sendiri atas akibat- akibat yang buruk.

  MY pertama memiliki pandangan yang positif dari masalah yang dialaminya. Kesulitan yang timbul bisa dari pihak pribadi maupun luar. Kesulitan yang datang tidak membuat ia jatuh, tidak membuatnya lemah malah membangkitkan diri dan memacu semangat agar lebih menjadi orang yang profesional. Dengan sifat leadership nya yang tinggi mampu untuk mengatasi segala masalah tentang karyawannya.

  Stoltz menggolongkan tiga tipe individu dalam Adversity Quotient, dan MY termasuk ke dalam tipe climbers atau pendaki yaitu orang yang membaktikan dirinya pada pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, nasib buruk atau nasib baik, individu ini tetap mendaki. Ini terlihat pada MY seorang wirausahawan dengan sifat leadership-nya tidak menghiraukan latar belakang seseorang, pendidikan nya namun ini menyangkut tentang bekerja keras bagaimana karyawan nya mampu untuk menjadi pekerja keras, disiplin serta menghargai waktu, dapat diandalkan dan mampu bekerja secara professional. MY berusaha memberikan pengalaman-pengalaman nya dan memberikan arahan pada karyawannya agar menjadi pekerja yang selalu disiplin.

  Climbers menempuh kesulitan dengan disiplin sejati. Climbers merupakan katalisator

  tindakan, mereka cenderung membuat segalanya terwujud. Mereka bekerja dengan visi dan seringkali penuh inspirasi, dengan demikian mereka merupakan pemimpin-pemimpin yang baik. MY mempunyai adversity quotient yang tinggi.

  Informan 2 (GB)

  GB sudah menjadi seorang wirausaha selama 12 tahun. Dari awal cerita bagaimana memutuskan menajdi seorang wirausaha dan mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Namun bukan hal mudah menjalankan suatu usaha, pasti ada rintangannya dan tentu banyaknya persaingan. Dihadapkan dengan hambatannya suatu ketika GB baru memulai usahanya dan mulai nampak prospeknya dalam jangaka waktu 6 bulan, GB mendapat tanggapan jelek dari orang-orang yang merasa tersaingi oleh rumah makan miliknya. Membuka rumah makan tidak mudah yang dibayangkan. Banyak saingan-saingan yang iri dan sirik kepada rumah makan yang dibangun oleh GB.

  Rumah makan GB sepi sekali pengunjungnya hampir tidak ada yang makan kerumah makannya. GB tidak berprasangka jelek, kemungkinan itu belum rezeki dan mirisnya sehari hanya berpenghasilan Rp. 10.000. Ternyata akhirnya GB mengetahui bahwa rumah makan milik nya telah di guna-guna oleh orang yang syirik terhadap rumah makan miliknya. GB terkerjut mengetahuinya dengan hal yang tidak ia sangka-sangka. GB memberhentikan karyawannya karena keadaan rumah makannya yang tidak memungkinkan tersebut. GB tidak sanggup untuk menggaji karyawannya dengan setiap harinya hanya mendapat Rp. 10.000. Untuk makan keluarga susah apalagi untuk menggaji para karyawannya.

  Karyawan GB yang mengetahui hal tersebut menyadari sendiri bahwa rumah makan tersebut sangat sepi pengunjungnya dan tidak ada pemasokan. Karyawan GB bisa menerima bahwa ia harus diberhentikan bekerja karena karyawannya melihat sendiri seperti apa kenyataannya yang terjadi.

  Selama 6 bulan lamanya GB hanya bersama dengan suami mengelola rumah makannya semua tanpa karyawan. GB selalu berusaha bagaimana pun kesulitan yang ia hadapi GB tidak menyerah begitu saja. GB berupaya membuka usaha lain. Membuka kedai kelontong yang sederhana agar perekonomian keluarga tidak terlalu terpuruk agar bisa memberi nafkah untuk keluarga. Saat itu tidak bisa mengharapkan rumah makan ini saja. Namun GB harus mencari akal untuk memperbaikinya dengan membuka kedai kelontong sederhana.

  Bentuk usaha GB dalam mengatasi masalah rumah makannya yang kena ilmu sirik adalah selama 3 bulan berturut-turut informan tidak menyerah dengan keadaan rumah makannya yang sepi pengunjung. GB tetap membuka rumah makannya setiap hari hanya saja jumlah masakannya yang dikurangi. Ini untuk menghindari rumah makannya agar tidak pernah tutup. Demi mencukupi kebutuhannya, GB sempat menjual sebagian harta seperti emas, cincin, kalung dan gelangnya utnuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya.

  Mengatasi kesedihan keadaan yang dialami salah satu cara untuk menghilangkan kesedihannya dengan cara berdoa agar dimudahkan rezeki nya oleh Allah SWT dan dijauhi oleh orang-orang yang dzalim. GB selalu shalat tahajud meminta petunjuk agar diberi jalan keluar yang terbaik.

  Buah dari doa dan kesabaran akhirnya rumah makan milik GB kembali ramai pengunjung. Allah telah mendengar semua doa-doa dan memberikan jalan keluarnya setelah 6 bulan sulit akhirnya rumah makan informan mulai berdatangan orang-orang yang makan dirumah makan nya.

  Rumah makan infoman akhirnya bangkit kembali. GB kembali mencari karyawan. Informan memperkerjakan kembali karyawannya yang pernah bekerja di rumah makannya dulu karena sempat berjanji apabila rumah makan sudah bangkit kembali akan memperkerjakan ia lagi.

  Kendala lain yang pernah di alami oleh GB adalah ketika dana APBD dari bulan Januari hingga Maret belum cair. APBD tidak keluar selama 3 bulan. Selama 3 bulan itu tidak ada pemasokan sehingga orang tidak memiliki dana. Selain rumah makan GB juga membuka usaha cateringan namun ada kalanya juga memiliki kendala. Kantor-kantor dinas yang cateringan dengan GB pun berhutang hingga Rp. 11.000.000/bulan selama 3 bulan lamanya karena dana APBD yang belum cair.

  Mengatasi dana APBD belum keluar dari Januari hingga Maret, untuk tetap menjalankan usaha rumah makan tersebut, GB menggunakan tabungan yang dikumpul dari bulan April hingga Desember untuk jaga-jaga memenuhi kebutuhan dapur untuk rumah makannya upaya untuk menutupi hutang-hutang kantor selama 3 bulan terlebih dahulu agar GB tetap bisa berjualan. Walaupun dana tidak keluar selama 3 bulan dan informan harus dihutangi cateringan kantor, informan tetap menyanggupi nya walau sakit karena tidak ingin kehilangan langganannya agar langganannya selalu berlangganan cateringan dengan GB. Namun bukan hal mudah, dibutuhkan modal yang kuat apabila tidak kemungkinan bisa bangkrut.

  GB memiliki pandangan mendapat pelajaran dari kondisi sulit yang di alami. Ketika mendapatkan masalah yang berat perbanyak bersabar dan percaya bahwa berkah dari kesabaran itu ada. Rajin beribadah dan berdoa agar keluar dari kondisi sulit. Apabila menyerah dalam kondisi sulit, usaha pasti akan bangkrut. Walaupun situasi tersebut membuat kita jatuh, namun tetap harus bangkit dan mempunyai semangat. Ini menjadi pelajaran hidup yang membuat tetap harus semangat dan bangkit.

  GB termasuk dalam kategori AQ tinggi dengan skor 180. GB memiliki kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang berat dan terus bergerak maju ke atas. Kisah perjalanan usaha GB yang meskipun banyak menghadapi rintangan GB tetap tegar menjalani usahanya. Ini menunjukkan bahwa GB termasuk dalam tipe climbers karena climbers memperbesar kemampuannya dalam memberikan kontribusi dengan belajar dan memperbaiki diri seumur hidup. Dan climbers bertahan terhadap situasi yang sulit. Orang ini akan terus mendaki sampai puncak tanpa mempertimbangkan lebih jauh keuntungan atau kerugiannya, ketidak-beruntungan atau keberuntungannya. Climbers tahu bahwa imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang, dan langkah-langkah kecil sekarang ini membawa kemajuan-kemajuan yang lebih lanjut di kemudian hari. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh seperti rintangan yang dihadapi GB orang yang sirik berusaha melemahkan tekadnya namun berkat kesabaran, usaha dan doa Allah akan menunjukkan kuasanya dan Allah tidak akan pernah membiarkan umatnya di uji diluar kemampuan. GB memiliki adversity quotient yang tinggi.

  Pembahasan

  Stoltz (2000), mengungkapkan Adversity Quotient sebagai suatu ukuran untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan. Individu yang cenderung memperlihatkan keuletan, ketekunan, kreativitas, keberanian mengambil resiko, ketabahan, motivasi, energi, produktivitas, dan kekuatan yang optimum apabila dihadapkan pada kesulitan mempunyai Adversity Quotient yang tinggi dan ideal. Sebaliknya, semakin rendah AQ seseorang semakin mudah individu menyerah pada nasib.

  Salah satu ahli humanistik yang kajiannya dekat dengan Adversity Quotient adalah hirarki kebutuhan dari psikolog Abraham Maslow dengan teori kebutuhan aktualisasi diri. Setelah empat kebutuhan dasar telah terpenuhi (fisik, aman, cinta, dan penghargaan diri) secara gradual, maka kebutuhan Maslow mengarahkan manusia untuk mencapai puncak hidupnya yaitu aktualisasi diri. Konsep psikologi Maslow menunjukkan bahwa aktualisasi diri membawa kebakan psikologis terbesar dalam kehidupan masusia. Kepenuhan manusia dicapai pada level ini. Oleh karenanya, Maslow menetapkan aktualisasi sebagai tujuan hidup manusia yang layak di upayakan seumur hidup (Setiawan, 2014).

  Karakteristik manusia ada tiga, yaitu quitters, campers dan climbers. Quittersmenjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan hanya sekedar memilih jalan yang datar dan mudah saja. Quitters, adalah orang yang berhenti. Campers, merasa cukup senang tentang apa yang sudah ada. Melepaskan kesempatan untuk maju yang sebenarnya dapat dicapai dan tidak mau mengembangkan diri. Campers berhasil mencukup kebutuhan dasar mereka, yaitu makanan, air, rasa aman, tempat berteduh, bahkan rasa memiliki. Mereka telah melewati kaki gunung. Dengan berkemah, mereka mengorbankan bagian puncak Hirarki Maslow, yaitu aktualisasi diri, dan bertahan dengan apa yang mereka miliki. Akibatnya, campers menjadi sangat termotivasi oleh kenyamanan dan rasa takut.

  Dari ketiga karakteristik manusia tersebut, hanya climbers yang menjalani hidupnya secara lengkap untuk mencapai aktualisasi diri. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar- benar memahami tujuannya dan bisa merasakan gairahnya. Mereka mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan. Kedua informan termasuk dalam kategori climbers.

  Menurut Stoltz (2000) climbers tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat- manfaat jangka panjang, dan langkah-langkah kecil dan membawanya pada kemajuan lebih lanjut dikemudian hari. Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Terbukti dari kisah perjalanan usaha informan yang kadang dihadapi oleh tantangan-tantangan usaha. Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya. Masalah yang datang menghadang ia mempunyai Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan membuat ia yakin bahwa segala kesulitan dapat ditaklukkan.

  Climbers hanya yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain

  bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalan nya tidak mungkin ditempuh. Dari kisah kesulitan yang dialami GB, usaha rumah makan yang ia jalankan mendapat tantangan hebat dari orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha menjatuhkan usaha miliki GB dan seketika usaha kuliner GB berubah dan merasa dirugikan. Namun GB yakin bahwa dibalik dari kesabaran dan selalu berusaha akan ada jalan untuk melewati semua itu. seberusaha mungkin GB tetap membuka rumah makannya karena GB tidak ingin berhenti dan menyerah ketika dihadapkan kondisi seperti malah semakin membuat ia percaya diri dan membangkitkan semangat melawan kesulitan .

  Climbers bekerja dengan visi. Sering kali mereka itu penuh inspirasi dan sebagai akibatnya

  menjadi pemimpin-pemimpin yang baik. Kisah perjalanan usaha kuliner milik MY yang dihadapkan dengan masalah karyawannya yang tidak disiplin dan sulit dikendalikan. Namun sebagai pemimpin, MY harus mampu mengendalikan situasi secara positif. MY berusaha menyelesaikan masalah dengan sistem kekeluargaan dan mengajarkan para karyawannya bagaimana menjadi pekerja yang profesional, disiplin dan bekerja keras. Sehingga sifat leadership- nya tidak menghiraukan latar belakang seseorang, pendidikan namun bagaimana menjadi pekerja keras, menghargai waktu, MY mampu mengarahkan karyawan nya menjadi pekerja yang disiplin.

  Banyak cerita kesuksesan yang diawali dengan kesulitan. Seperti beberapa cerita wirausaha melayu sukses yang telah dipublikasikan ke halayak ramai guna memberikan pengalaman dan motivasi kepada individu lainnya. Bukan hal gampang baginya untuk menjalankan usahanya. Belum-belum sudah dapat ejekan dari orang luar Melayu. Akan tetapi, ia tak patah semangat. Sebaliknya, ia justru semakin bertekad untuk berusaha. Berkat perjuangannya, usahanya terus berkembang.Hal ini juga dimiliki kedua informan ini sehingga menghantarkannya menuju puncak keberhasilan.

  Terbebasnya informan dari masalah kesulitan yang ia hadapi selama usaha membuktikan kedua subjek memiliki adversity quotient. Tanpa mereka sadari kecerdasan dalam menghadapi tantanganlah yang membuat mereka mencapai kesuksesan saat ini. Dengan masalah yang dihadapi tidak membuat mereka menyerah. Kedua subjek memahami kesulitan tersebut dan berupaya untuk menghadapinya. Kesulitan yang dihadapi tidak membuat subjek jatuh namun harus memiliki semangat untuk bangkit. Menjadikan segala kesulitan pengalaman untuk dijadikan pelajaran untuk lebih berusaha kedepannya.

  Kedua informan adalah tipe manusia yang berjuang. Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai kreatifitasnya tipe ini berusaha mengendalikan lingkungannya.

  

Climbers akan selalu memikirkan berbagai alternatif permasalahan dan menganggap kesulitan dan

  rintangan yang ada justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang. Sesuai dengan informan yang akan selalu siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan.

  

KESIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah kedua informan memiliki Adversity Quotient.

  Kedua informan dalam penelitian ini mampu melewati kesulitan-kesulitan yang mereka jalankan sebagai seorang wirausahawan melayu dibidang kuliner. Menjadi seorang wirausahawan kuliner tentu memiliki banyak berbagai persaingan usaha dimana-mana belum lagi konflik yang terjadi didalam lingkungan kerja. Persaingan kuliner dan berbagai masalah didalam dilingkungan kerja yang dihadapi tidak membuat mereka menyerah dan mereka mampu untuk mengatasi. Ini membuktikan bahwa kedua informan memiliki Adversity Quotient. Mereka mampu menerima kesulitan yang datang dan tidak membuat mereka menyerah dan berupaya untuk mengahadapinya. Untuk menjadi seorang wirausahawan yang sukses harus mampu menerima resiko dan dan bersedia untuk bangkit kembali.

  Asumsi terhadap orang melayu pemalas dan penyegan hanyalah asumsi orang jaman dahulu saja. Banyak bukti orang melayu bisa sukses terutama dibidang wirasusaha. Orang melayu itu bisa maju seperti yang lainnya juga. Apabila ada kemauan dan pantang menyerah pasti akan ada jalannya. Salah satu kunci mencapai keberhasilan adalah yang penting jangan pernah jera, jangan pernah mau mengalah, dan harus selalu optimis percaya diri bahwa orang melayu itu mampu. Kedua informan menegaskan pada orang melayu jangan ada kata-kata malas dan bangkit supaya

  

image pemalas terbuang dengan cara rajin berusaha dan terus bekerja. Kedua informan

  menggambarkan dirinya sebagai orang melayu yang memiliki cerminan bahwa orang melayu bisa sukses dan mampu berkecimpung dalam dunia wirausaha dan menjadi wirausahawan melayu yang sukses.

  Berdasarkan penelitian ini terbukti bahwa salah satu faktor penunjang kesuksesan adalah

  

Adversity Quotient yaitu kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan serta menemukan cara

  mengatasinya sehingga mampu mencapai keberhasilan. Salah satu hal yang menjadi pegangan kuat dalam menghadapi masalah adalah keyakinan terhadap kekuatan dari Yang Maha Kuasa yang menjadi faktor utama menghadapi kesulitan.

  Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas, dapat dibuat beberapa saran yang relevan dengan hasil penelitian tersebut, sebagai berikut :

  1. Bagi peneliti Menggali lebih dalam informasi mengenai budaya dan jiwa kewirausahaan pada orang melayu sehingga cakupan informasi tentang jiwa kewirausahawan dan konsep budaya melayu itu sendiri melayu lebih luas.

  2. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan agar hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor lain yang memiliki semangat kewirausahaan pada wirausahawan melayu di bidang kuliner.

  3. Bagi para responden Wirausahawan melayu yang berkecimpung dalam dunia usaha terutama dalam usaha kuliner di harapkan untuk dapat membagi ilmu dalam dunia wirausaha agar dapat menjadi contoh bagi wirausahawan-wirausahawan lainnya dan mampu menjadi seorang wirausahawan yang sukses.

  

DAFTAR PUSTAKA

Abas, S. (2011). Kewirausahaan.Yogyakarta: CV Andi Offset.

  Aried, (2012). Dinawati, Ibu Bolu Kemojo. Diunduh dari http://dinawaati.blogspot.com/ Efnita, T. (2007). Adversity Quotient Pada Pedagang Etnis Cina. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 9 (1), 54-68.

  Fadiati, P. (2011). Menjadi Wirausaha Sukses. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Fuad, A., & Nugroho, K.S. (2014). Panduan Praktis Penelitian kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hasbullah, J. (2013). Enterpreneurship Kaum Perempuan Melayu (Studi Terhadap Perempuan Pengrajin Songket di Bukit Batu Kabupaten Bengkalis). Jurnal Sosial Budaya, 10.

  Laura, (2009). Pengaruh Adversity Quotient terhadap Kinerja Karyawan: Sebuah Studi Kasus

  pada Holiday Inn Bandung. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha

  Lisan, H.I. (2010). Adversity Quotient: Modal Dasar Wirausaha Sukses. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi . Lidya. (2014). Adversity Quotient Pada Guru ABK. [Skripsi]. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Riau. Malinda. (2002). Faktor – faktor yang Mempengaruhi Seseorang Berwirausaha. Jurnal Managemen Maranatha,1 , 1-15. Mirra. (2010). Penelitian Kualitatif. Pekanbaru: Suksa Press Riau. Othman. (1993). Psikologi Melayu. Hulu Kelang: Dewan Bahasa dan Pustaka. Primatika, L. (2010). Kewirausahaan Dalam Kaitannya Dengan Adversity Quotient dan Emotional Quotient. Jurnal Psikologi, 5(1), 52 - 64. Puspita, R.T. (2013). Adversity Quotient Dengan Kecemasan Mengerjakan Skripsi Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, 1(3). Pacitandeal. (2014). Alasan Mengapa memilih bisnis kuliner . Diunduh dari http://pacitandeal.com/alasan-mengapa-memilih-bisnis-kuliner-2015. Retno, T. (2012). Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan Terhadap Minat Berwirausaha Mahasiswa di STIE MDP, STMIK MDP, dan STIE MUSI. Jurnal Ilmiah, 1(2). Setiawan. (2014). Manusia Utuh: sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow. Yogyakarta: PT.

  Kanisius Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suryana. (2006). Kewirausahaan. Salemba Empat: Jakarta Suharti. (2011). Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Niat Kewirausahaan. Jurnal Managemen dan Kewirausahaan , 13(2), 124-134.

  Stoltz, P. G. (2000). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang . Jakarta: PT.

  Gramedia Widiarsarana Indonesia Suharyadi, P. (2007). Kewirausahaan: Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda. Jakarta:

  Salemba Empat Yunda, P. (2013). Hubungan Antara Adversity Quotient Dengan Miat Berwirausaha siswa kelas

  XII Pemasaran di SMKN1 Surabaya. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya Yusuf. (2006). Rahasia Sukses Dan Kaya. Jakarta: Khalifa Zulkarnain. (2014). Peran Budaya Melayu dan Kewirausahaan . Diunduh dari http://bappeda.pekanbaru.go.id/