BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Penataan Signage Di Jalan Gatot Subroto Medan Sebagai Upaya Menciptakan Kota Yang Manusiawi Secara Visual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kota Yang Manusiawi

  Kota dan pemukiman adalah contoh spesifik lingkungan binaan (Amos Rapoport, 1977), pengertian lingkungan binaan adalah suatu pengorganisasian empat buah unsur yang meliputi: ruang, makna, komunikasi dan waktu. Menurut Onggodipuro dalam pengantar sejarah perencanaan perkotaan, bahwa lingkungan tersebut dapat dilihat dari serangkaian hubungan antara elemen-elemen dengan manusia (antara benda dengan benda lain, benda dengan orang-orang, orang dengan orang lainnya). Rancangan dan perancangan pengaturan wilayah atau suatu kawasan yang besar sampai pengaturan perabot sebuah ruangan dapat dikelompokkan sebagai pengorganisasian ruang.

  Proses perkembangan kota tidak statis melainkan selalu dinamis dan seringkali susah ditebak. Banyak hal-hal yang diluar dugaan muncul dengan tiba-tiba.

  Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi, merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan dianggap layak untuk diberi wadah maupun dikembangkan. Akibatnya ruang terbuka publik berguguran satu demi satu karena sebagian masyarakat tidak tahu bahwa hakekat ruang terbuka merupakan surga perkotaan. Para pengelola pembangunan kota cenderung lebih mendambakan terciptanya kota yang indah, dengan memanfaatkan teknologi tinggi dan perangkat bagaimana menciptakan kota manusiawi dengan sentuhan rasa yang penuh kepekaan.

  Syarat-syarat yang dibutuhkan kota atau ruang publik dalam mengakomodir kebutuhan masyarakatnya antara lain adalah (Carr et al, 1992 dalam Ariyanti, 2005):

  1. Comfortable, yaitu nyaman dan aman ketika beraktivitas di dalamnya.

  2. Relaxation, yaitu bisa merasa tenang karena tekanan aktivitas sehari-hari berkurang dengan berada di dalam ruang tersebut.

  3. Passive engagement, yang umumnya merupakan aktivitas “melihat atau mengamati” sehingga dapat menciptakan rasa dan kenikmatan sendiri dan bisa didukung dengan penambahan atraksi-atraksi pada event-event tertentu dan didukung dengan bentuk fisik yang membuat orang menjadi tertarik.

  4. Responsive, yaitu dirancang dan dikelola untuk melayani kebutuhan penggunanya.

  5. Democratic, yaitu terbuka untuk semua kelompok manusia dan dapat memberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu.

  6. Meaningfull, dapat memberikan makna tersendiri bagi manusia yang dirasakan ketika berada didalamnya dan memberikan hubungan yang kuat antara tempat, kehidupan pribadi dan dunia yang lebih luas. Terkait dengan pengertian kota manusiawi dibutuhkan adanya sinergi antara pemerintah, perencana kota dan arsitek (perancang kota) dalam meningkatkan tidak terjadinya kemacetan di mana-mana, rancangan kota lebih teratur dan terkesan melayani lingkungannya serta tersedianya ruang publik bagi warganya. Jadi dalam mewujudkan kota yang manusiawi bagi warganya, kota tersebut harus tanggap dan peduli terhadap lingkungan.

2.2 Kota Manusiawi Secara Visual

  Minaret Branch (1995) mengemukakan bahwa di dalam perencanaan kota komprehensif, perancangan kota memiliki suatu makna yang khusus sehingga membedakannya dari berbagai aspek proses perencanaan kota. Perancangan kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial. Jika teori ini dihubungkan dengan judul penelitian dapat diinterpretasikan kalau signage erat kaitannya dengan inderawi manusia secara visual, dimana visibilitas (keterlihatan) papan/tanda terpengaruh oleh faktor lokasi, tiang penempatan, cat pantul dan sebagainya.

  Begitu pula kaitannya dengan legibilitas informasi (keterbacaan, kejelasan), dengan macam dan ukuran, jarak, lokasi, warna dasar, warna dan sebagainya sangat tergantung pada tanggapan inderawi manusia yang melihatnya. Teori mengenai gagasan bahwa pikiran manusia tersusun untuk menyerap lingkungan dengan suatu bagian yang berbeda dan bertalian disebut psikologi gestalt. Sedangkan pengaturan pola yang berlainan yang diserap disebut gestalt. Teori ini merupakan bagian proses perancangan mengekspresikan hubungan antara bagian-bagian rancangan. Teori memperlemah hubungan visual antara bagian-bagian komposisi.

  Nilai visual dapat diperoleh dari skala, pola, warna, tekstur, dan dimensi. Teori dari Gordon Cullen menjadi landasan teori dalam penelitian ini sebab untuk membuat konsep desain signage yang memenuhi aspek-aspek manusiawi. Selain keharmonisan signage dengan arsitektur bangunan tempatnya berada, keberadaan

  

signage juga perlu dikendalikan sehingga mampu mengkomunikasikan informasi

  penting yang terkandung di dalamnya dengan baik kepada semua orang, baik yang sedang bergerak cepat maupun lambat. Penampilan signage harus disesuaikan dengan target audiencenya (manusia yang melihat objek tersebut) sehingga tercipta keseimbangan antara pengendalian kesemrawutan dan penciptaan perhatian sekaligus penyampaian pesan/informasi dari signage tersebut.

  Menurut Kevin Lynch dalam bukunya, The Image of The City, 1960 mengemukakan bahwa salah satu keberhasilan pembentuk ruang untuk merancang sebuah kota adalah imageability, artinya kualitas secara fisik suatu obyek akan memberikan pengaruh kuat untuk menciptakan image yang dapat diterima orang.

  Dalam hal ini image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya. Kaitan teori ini dengan penelitian yang dilakukan adalah mengenai image atau citra sebuah kota akibat adanya signage dalam ruang kota. Selain image yang menjadi pembentuk place, begitu pula halnya dengan visual dan symbol conection. Visual Conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya keserasian visual antara satu objek dengan manusiawi). Dalam hal ini kesamaan objek dapat didefenisikan sebagai bagian dari elemen-elemen fisik kota termasuk di dalamnya adalah signage.

2.3 Tinjauan Terhadap Signage

  Menurut Shirvani Hamid (1985), dalam bukunya The Urban Design Process,

  

Van Nostrand Reinhold Company , disebutkan bila dalam perancangan kota ada 6

(enam) kriteria yang tak terukur, salah satunya adalah pemandangan (views).

  Pemandangan bukan hanya aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan, tetapi juga merupakan hubungan dengan view dari elemen fisik kota lainnya, salah satu elemen tersebut yaitu signage. Signage yang ideal harus mampu merefleksikan karakter visual kawasan, mampu menjamin kemampuan pandangan/memiliki sudut pandang untuk dapat dilihat secara jelas, bentuk yang ada sesuai dengan arsitektur bangunan dimana signage ditempatkan, signage merupakan elemen yang menyatu dengan bangunan bukan sebagai elemen tambahan serta mampu menyatukan komunikasi langsung atau tidak langsung (Shirvani, 1985).

  Kondisi signage pada koridor Jalan Gatot Subroto Medan tidak mencerminkan apa yang terdapat pada teori di atas, pola tatanan signage yang semrawut tidak memiliki keteraturan dan mengganggu sudut pandang manusia baik terhadap kawasan tersebut maupun bangunan yang ada di sekitarnya. Signage yang berada di lokasi penelitian pada umumnya lebih cenderung menghalangi fasade lokasi yang strategis dalam menyampaikan informasinya.

  2.3.1 Arti signage Menurut Echols (1975), signage adalah tanda sedangkan dalam arsitektur

  

signage diartikan sebagai bentuk-bentuk informasi dan orientasi kota yang dirancang

  khusus sebagai bagian dari delapan elemen urban design (Shirvani, 1985). Sedangkan Rubenstain (1992) mendefeniskan signage sebagai tanda-tanda visual diperkotaan yang berfungsi sebagai sarana informasi atau komunikasi secara arsitektural. Senada dengan hal tersebut, Lynch (1962) menyebutkan bahwa sign dapat berfungsi sebagai alat untuk orientasi bagi warga kota. Sama halnya dengan Sanoff (1991) yang mengatakan bahwa signage memberikan informasi kepada masyarakat yang sedang melintas, berjalan atau berkendaraan. Venturi et al. (1978) dalam penelitian signage di kota Las Vegas mengidentifikasikan bahwa signage dapat menciptakan image bagi suatu kota, Image of Las Vegas: Inclusion and Allusion. Hal ini disebabkan oleh keberadaan signage yang mendominasi kota Las Vegas, Las Vegas Without Signage is Not Las Vegas, (Frey, 1999).

  Dari teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa signage adalah kumpulan dari tanda-tanda individual yang telah didesain untuk mengidentifikasikan atau mengarahkan lalu lintas dan atau sebuah bangunan yang kompleks atau berkelompok. Hal-hal yang menyangkut tanda sebagai sebuah sistem harus berdasarkan elemen- elemen desain, seperti bahan, bentuk, warna, dan elemen desain lainnya. Tanda-tanda aturan yang merupakan standar internasional, sehingga akan mudah untuk dipahami maksudnya oleh semua orang di seluruh dunia.

  2.3.2 Jenis-jenis signage Dalam sistem komunikasi visual, tanda mengalami perkembangan menjadi lima jenis tanda dengan kode yang mudah untuk diingat (Rubenstein, 1992). Jenis- jenis tanda tersebut adalah: a.

   Tanda Petunjuk dan Informasi, tanda ini biasanya digunakan untuk

  menuntun audiencenya dengan menginformasikan di mana suatu lokasi berada, juga di saat kantor-kantor atau toko-toko yang sedang buka atau tutup, dan informasi-informasi lainnya.

  b.

   Tanda Petunjuk Arah, tanda-tanda yang termasuk dalam kelompok ini

  mencakup arah panah yang mampu mengarahkan pemakainya menuju ke suatu tempat, seperti sebuah ruangan, toko, jalan, atau fasilitas lain.

  c.

   Tanda Pengenal, tanda ini dipakai untuk menunjukkan suatu identitas, seperti sebuah kantor, toko, fasilitas, atau sebuah gedung.

  d.

   Tanda Larangan dan Peringatan, tanda ini bertujuan untuk

  menginformasikan mengenai apa yang tidak boleh dikerjakan atau dilarang. Selain itu, tanda ini juga menginformasikan agar audience berhati-hati. Biasanya, dalam penerapannya dikombinasikan dengan kata- kata atau dipakai sebagai simbol-simbol.

   Tanda Pemberitahuan Resmi, tanda ini menunjukkan informasi tentang

  pemberitahuan resmi dan agar tidak dikacaukan dengan tanda-tanda petunjuk (orientation sign).

  2.3.3 Lokasi perletakan signage Menurut Shirvani (1985) terdapat pembagian lokasi signage berdasarkan zona peruntukannya (Gambar 2.1), adapun zona-zona tersebut antara lain: a.

  Zona Periklanan (Advertising Zone) Merupakan zona penempatan tanda informasi yang bersifat private dan berukuran besar. Penempatan pada zona ini diperhitungkan untuk tidak mengganggu sirkulasi dan pandangan pejalan kaki.

  b.

  Zona Trafic (Traffic Zone) Merupakan zona tanda informasi yang ditempatkan di badan atau pulau jalan. Peruntukan signage adalah yang relevan dengan kegiatan pengendalian sirkulasi lalu lintas.

  c.

  Zona Pejalan Kaki (Pedestrian zone) Merupakan zona tanda informasi untuk kepentingan umum, seperti petunjuk arah, orientasi pedestrian, papan informasi kota dan sebagainya.

  d.

  Zona Identifikasi (Identification zone) Merupakan zona yang diperuntukkan bagi orientasi identitas bangunan, rancangan etalase, dan tanda informasi yang berukuran kecil.

Gambar 2.1 Lokasi Signage Menurut Zonanya

  Sumber: Shirvani, Urban Design Process, City of Charlotte Design Guidelines Pengklasifikasian signage berdasarkan zona penempatannya dapat dilihat pada tabel Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Klasifikasi Signage Berdasarkan Zona Penempatan

  Zona Penempatan No. Jenis-Jenis Signage Signage

  1 Advertising Zone

  a) Free Standing Signs (Pole Signs

  (Zona Periklanan) dan Ground Signs)

  b) Wall Signs

  c) Projected Signs

  d) Window/ Door Signs

  e) Roof Signs

  f) Marque Signs

  2 Trafic Zone

  a) Tanda Peraturan Lalu Lintas

  (Trafic zone)

  b) Umbul- Umbul

  c) Spanduk, Bendera, dsb. (Kites, Barner and Flags).

  No. Zona Penempatan Signage Jenis-Jenis Signage

  c) Peta-Peta dan Tanda Khusus

  Persegi empat, bentuk ini digunakan untuk tanda yang berisi informasi (McLendon 42 – 43 dalam Pramono, 2006).

  c.

  Segitiga sama sisi, bentuk ini digunakan untuk tanda-tanda peringatan.

  b.

  Lingkaran, bentuk ini digunakan untuk tanda-tanda yang berisikan peraturan.

  2.3.4 Bentuk dan desain signage Elemen gambar pertama yang dapat dijadikan landasan dalam mengekspresikan kategori dari fungsi adalah suatu bentuk. Ada tiga fungsi dasar dimana tanda/simbol memungkinkan untuk dipakai, yaitu peraturan, peringatan, dan informasi. Masing-masing fungsi tersebut diwakili oleh bentuk geometris, yaitu: a.

  Sumber: Shirvani 1985:42

  b) Tanda Larangan dan Peringatan

  3 Pedestrian Zone (Zona Pejalan Kaki)

  Gedung)

  a) Tanda Identifikasi (Identitas

  4 Identification Zone (Zona Identifikasi)

  d) Suspended Signs

  c) Awning Signs

  b) Tanda Petunjuk Arah

  a) Tanda Peraturan Lalu Lintas

  Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik urban design yang bersifat ekspresif dan mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi dari signage diatur untuk; menciptakan kesesuaian, mengurangi dampak negatif visual, menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting, selain itu tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis.

  Dua pendekatan yang dipakai untuk mendesain signage yaitu: pertama hendaknya disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, pembuatan signage sebaiknya dipertimbangkan agar menjadi satu kesatuan dengan elemen-elemen yang sudah ada, karena suatu signage mempunyai aspek fungsional dan estetika. Untuk mengkomunikasikan suatu informasi, tanda-tanda tersebut harus diperhatikan, namun untuk membuatnya memiliki nilai estetis dibutuhkan suatu kehati-hatian dalam menyeimbangkan antara nilai estetis dan fungsinya. Dalam pembuatannya, perancangan ini lebih kompleks dan membutuhkan banyak waktu, karena semua hubungan antara lingkungan dan tanda harus betul-betul dipertimbangkan.

  Pendekatan kedua yang bisa dilakukan adalah mendahulukan fungsi komunikasinya, baru memasukkan nilai estetis. Dalam pendekatan ini, semua elemen yang ada harus diseragamkan, baik dalam bentuk, material, warna, dan detail. Pendekatan ini biasanya menghasilkan suatu signage yang kontras dengan lingkungan sekitarnya agar terlihat lebih fokus oleh orang yang berada di sekitar lingkungan tersebut, dan biasanya sesuai digunakan untuk proyek-proyek transportasi dan industri. faktor yang mempengaruhi dimensi signage adalah lokasi penempatan, luas ruang dan kecepatan pergerakan (Ashihara 1983, Lynch 1988, Kelly dan Raso 1991, Smardon 1992). Oleh sebab itu dimensi signage akan berlainan untuk jalan di dalam kota dan jalan bebas hambatan. Selain itu skala signage, yang meliputi jangkauan dan proporsi signage terhadap lingkungan sekitarnya juga harus diperhatikan.

  2.3.5 Warna dan pencahayaan signage Dalam pemilihan warna dan material signage yang menjadi pertimbangan utamanya adalah keindahan dan faktor kejelasan (legibility). Hal ini dikarenakan sasaran signage adalah untuk menarik perhatian orang yang melihatnya maka,

  

signage dibuat dalam warna-warna mencolok. Hal ini dapat menimbulkan efek

  kontras terhadap lingkungan. Untuk mengurangi efek negatif warna maka perlu penyesuaian warna signage dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Daniel dalam Kurniawan (2002) suatu objek akan kelihatan baik jika kombinasi warna tidak lebih tiga macam, apabila lebih akan menimbulkan ketidakjelasan objek yang ingin ditampilkan. Sedangkan pemilihan material berpengaruh terhadap estetika dan efek pencahayaan. Material mengkilap seperti fiber glass atau plastik menimbulkan glare jika terkena cahaya, terutama cahaya langsung.

  Efek utama pencahayaan adalah penerangan pada malam hari, seperti diungkapkan oleh Appleyard dalam Smardon (1986), bahwa tidak ada efek yang

  

node-node , dengan banyaknya cahaya tidak beraturan yang ditimbulkan oleh signage.

  Menurut Kelly dan Raso (1992), ada tiga dasar pencahayaan signage yaitu; (1) Internal Lighting, penyinaran yang berasal dari permukaan bidang, (2) Direct

  

External Lighting , penerangan langsung dari luar bidang seperti spotlight, lampu

  sorot, (3) External but Integral to Signage, penyinaran dari luar tapi integral dengan signage , seperti lampu bohlam.

  2.3.6 Sasaran dan fungsi signage Signage mempunyai dua sasaran, yaitu langsung dan tidak langsung.

  Komunikasi langsung menspesifikasikan identitas usaha, lokasi dan barang-barang bisnis serta pelayanan yang ditawarkan. Signage tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan bangunan dan lingkungan setempat. Sedangkan signage yang tidak mempunyai keterkaitan dengan kegiatan di dalam bangunan atau lingkungan setempat merupakan komunikasi tidak langsung.

  Sebagai salah satu elemen urban design dan penanda bagi suatu kawasan atau kota, signage memiliki bermacam-macam fungsi. Rubenstein (1992) dalam bukunya

  

Pedestrian Malls , Streetscape and Urban Spaces, ada beberapa fungsi utama signage

  yang menjadikannya elemen penting di dalam kota: 1.

  Jati diri (identitas), mall identity, dapat berupa simbol atau logo untuk memberikan identitas suatu mall dan dapat digunakan sebagai informasi pada publik.

  Rambu-rambu lalu lintas (traffic sign), yang meliputi rambu-rambu pada highway, lampu-lampu lalu lintas, rute-rute perjalanan, tanda parkir, tanda berhenti, penyeberangan pejalan kaki dan tanda petunjuk arah.

  3. Jati diri komersial (commercial identity), dimana penempatan signage pada bangunan sebagai jatidiri pertokoan seperti papan nama, sign advertising di sepanjang jalan atau blok bangunan. Tanda-tanda informasi (informatial sign), merupakan tanda-tanda yang berfungsi untuk memberikan informasi seperti petunjuk arah, peta-peta dan tanda- tanda khusus yang menunjukkan lokasi parkir, subway atau halte bus sehingga orang yang melihatnya dapat dituntun menuju arah tertentu.

  2.3.7 Tipologi signage

  Signage dapat dibedakan dalam berbagai klasifikasi, pengklasifikasian setiap

signage berbeda–beda dan disesuaikan dengan sudut pandang tujuan dan kepentingan

  yang hendak dicapai. Perbedaan pengklasifikasian ini berkaitan erat dengan bentuk– bentuk pengelolaan atau pengaturan yang ditetapkan. Pemahaman atas kesamaan dan perbedaan antara kelompok signage tersebut diklasifikasikan merupakan kunci dalam memahami suatu pengelolaan signage (Yulisar,1999).

  2.3.7.1 Klasifikasi secara umum Secara umum klasifikasi signage dapat berdasarkan isi pesan, bahan, sifat informasi dan teknis pemasangannya. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi media

  signage dapat dipaparkan sebagai berikut:

  Berdasarkan isi pesannya, media signage dibedakan atas (Mandelker, 1982 dalam Pramono, 2006): a.

  Media komersial, menyangkut media signage yang memberikan informasi suatu barang atau jasa untuk kepentingan dagang (private sign).

  b.

  Media signage non-komersial, merupakan media signage yang mengandung informasi pelayanan kepada masyarakat (public sign).

  2. Berdasarkan bahan dan periode waktu yang digunakan, media signage dibedakan atas (Damain dan Gray, 1989 dalam Pramono, 2006): a.

  Media signage permanen, media ini ditempatkan atau dibuat pada pondasi sendiri, dimasukkan ke dalam tanah, dipasang atau digambar pada struktur yang permanen. Kebanyakan jenis media signage ini yang diizinkan untuk dipasang.

  b.

  Media signage temporer, biasanya digunakan pada suatu waktu yang tertentu saja ketika ada suatu acara/pertunjukan dan sejenisnya, dan sesudahnya tidak digunakan lagi. Media signage jenis ini mempunyai ciri mudah untuk dipindahkan atau dibongkar secara tidak terbuat dari bahan yang mahal.

3. Berdasarkan sifat penyampaian informasi, terdiri atas (Shirvani, 1982): a.

  Media signage yang bersifat langsung, media ini berkaitan dengan kegiatan pada suatu bangunan atau lingkungan tempat media signage usaha atau bangunan.

  b.

  Media signage yang bersifat tidak langsung, media signage jenis ini berisi pesan–pesan yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan kegiatan dalam bangunan atau lingkungan dimana media signage tersebut berada.

  2.3.7.2 Klasifikasi berdasarkan teknis pemasangan Secara teknis pemasangannya, signage dapat dibedakan dalam beberapa jenis

  (Kelly dan Raso, 1989), yakni: Signage yang berdiri sendiri (free standing signs) memiliki dua bentuk (Gambar 2.2) yaitu:

  1. Signage dengan tiang (pole signs), signage ini didukung oleh tiang, kadang–kadang lebih dari satu, terpisah dari tanah oleh udara dan terpisah dari bangunan dan struktur yang lain. Tipe signage ini hanya diperbolehkan di jalan arteri, ketinggian maksimumnya tidak lebih dari 16 ft dan luas maksimum 72 ft² .

  2. Signage yang terletak di tanah (ground signs), dasar dari media signage ini terletak di tanah atau tertutup oleh tanah dan terpisah dari bangunan atau struktur sejenis yang lain.

Gambar 2.2 Jenis signage yang berdiri sendiri (free standing signs)

  Sumber: Sign regulations (City of San Luis Obispo, 2004)

  Signage pada atap bangunan (roof signs) ada dua jenis, yaitu (lihat Gambar 2.3): 1.

  Signage yang tidak menyatu dengan atap, signage ini dibangun di atas atap bangunan atau disangga oleh struktur atap dan pada umumnya berada tinggi di atas atap.

  2. Signage yang menyatu dengan atap, signage yang menyatu dengan atap ini dicirikan dengan tidak adanya bagian signage yang melebihi ketinggian atap dan terpasang secara pararel tidak lebih dari 21 cm.

Gambar 2.3 Signage pada atap bangunan (roof signs)

  Sumber : Sign regulations (City of San Luis Obispo, 2004)

Signage dari tenda (canopy signs and awning signs) dapat dilihat pada Gambar 2.4.

  Ketentuan penataan signage dari tenda (awning) adalah: 1.

  Signage ini ditempatkan pada tenda maupun awning yang permanen.

2. Signage pada tenda maupun awning yang dapat dilihat dengan berbagai ukuran.

  3.

  4. Jumlah awning signs yang diizinkan adalah satu buah per pemilik bangunan.

  Jarak bebas awning signs minimal 8 feet 5.

  (2,4 meter) dari atas permukaan trotoar tempat pejalan kaki.

  6. Ukuran awning signs tidak lebih dari 25 persen dari luas permukaan tenda.

  Zona perletakan awning signs pada umumnya berada di lokasi komersial.

Gambar 2.4 Signage dari tenda atau awning (canopy and awning signs)

  Sumber : Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)

  

Signage yang diletakkan pada bangunan atau dinding bangunan dengan menghadap

  arus kendaraan (Projected Signs), seperti terlihat pada Gambar 2.5. Ketentuan pemasangan projected signs adalah sebagai berikut:

  1. Jarak signage dari permukaan dinding tidak lebih dari 15 cm dari dinding bangunan dan dipasang tegak lurus dari bangunan.

  2. Projected signs harus melekat pada fasade bangunan yang memiliki pintu masuk publik dan harus menjaga jarak bebas minimal 8 kaki di atas trotoar.

  3. Jumlah projected signs yang diperbolehkan hanya satu per pemilik bangunan dan luas maksimum projected signs maksimal 6 ft².

Gambar 2.5 Projected Signs

  Sumber : Sign Regulations (City of San Luis Obispo, 2004)

  

Signage yang ditempatkan pada dinding (wall signs), signage yang masuk dalam

  kategori ini adalah signage yang dipasang secara pararel dalam jarak maksimum 15 cm dari dinding bangunan, signage biasanya dicat pada permukaan dinding atau sruktur bangunan yang lain (Gambar 2.6). Adapun ketentuan lain untuk penataan

  signage tipe ini adalah: 1.

  Signage harus terpasang pada permukaan bangunan yang datar dan tidak menghalangi detail arsitektural bangunan.

  2. Signage harus diletakkan pada fasade bangunan yang terdapat pintu masuk untuk umum.

  3. Jumlah maksimal signage yang diizinkan adalah dua buah per pemilik bangunan.

  4. Luas signage tidak lebih 15% dari luas fasade bangunan.

  5. Dapat dilengkapi dengan lampu penerangan pada segmen kawasan tertentu, sesuai dengan peraturan penerangan signage.

  Wall signs diizinkan dipasang di seluruh area dinding bangunan.

Gambar 2.6 Signage yang ditempatkan pada dinding (wall signs)

  Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)

  

Signage yang digantung (suspended signs) pada bagian bawah bidang horizontal

  (langit–langit) pada serambi bangunan. Umumnya signage ini berukuran lebih kecil dari papan nama atau alamat untuk memberitahukan pada pejalan kaki yang tidak dapat melihat media signage lebih besar diletakkan pada dinding di atas serambi bagian depan bangunan (Gambar 2.7).

  Ketentuan pemasangan suspended signs adalah sebagai berikut:

  1. Signage harus melekat pada fasade bangunan yang memiliki pintu masuk untuk umum.

  2. Jarak ketinggian signage minimal 8 ft atau 2,4 m dari atas permukaan area pedestrian.

  3. Luas maksimum signage jenis ini maksimal 2,4 m².

  4. Signage jenis ini biasanya diterangi dengan penerangan eksternal dari pencahayaan yang ada di dekatnya.

Gambar 2.7 Signage yang digantung (suspended signs)

  Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)

  

Signage di atas pintu keluar masuk bangunan (marque signs). Media signage ini

  diletakkan pada struktur bangunan seperti pada atap atau di atas pintu keluar masuk bangunan (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Signage di atas pintu keluar masuk bangunan (marque signs)

  Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)

  

Signage pada jendela atau pintu (window/door signs). Signage jenis ini dapat berupa

  gambar, simbol atau kombinasi keduanya yang dirancang untuk memberikan informasi mengenai suatu aktivitas, bisnis, komoditi, peristiwa, perdagangan atau suatu pelayanan yang diletakkan pada jendela atau pintu kaca dan kelihatan dari sisi sebelah luar (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Signage pada jendela atau pintu (window/door signs)

  Sumber : Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)

  1. Window/door signs disesuaikan dengan skala pedestrian dan diarahkan atau ditujukan untuk window shopper yang berjalan di trotoar.

  2. Bentuknya berupa grafis ukuran kecil dalam sebuah rangka jendela kaca untuk memberi informasi mengenai produk yang ditawarkan.

  3. Window sign tidak boleh menghalangi pandangan ke dalam bangunan.

  4. Tidak ada persyaratan lokasi tertentu atau batas jumlah windows/door signs yang diperbolehkan

  5.

  .

  Window/door signs adalah tanda yang dicat atau melekat pada jendela dan

  terletak 12 inchi dari muka jendela 6.

  . Jam kerja operasi atau membuka/menutup toko bukan termasuk dalam

  window/door signs 7.

  . Ukuran signage jenis ini dibatasi maksimum 15% dari luas area jendela.

  2.3.8 Persyaratan penyelenggaraan signage

  Signage yang menempel pada dinding bangunan harus proporsional dengan

  permukaan bangunan tempatnya berada, ukuran signage yang digunakan tidak boleh mengganggu ataupun menutupi detail-detail bangunan seperti jendela, pintu, dan profil bangunan. Kemudian melarang pemasangan papan signage raksasa yang mendominasi pemandangan suatu kawasan tertentu, biasanya pada daerah-daerah yang sering digunakan oleh pejalan kaki seperti ruang terbuka hijau, taman bermain dan lapangan untuk kepentingan umum (Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Proporsi ukuran signage terhadap luas dinding bangunan

  Sumber: Dokumen pribadi peneliti, 2012

  2.3.9 Signage sebagai elemen visual ruang kota Dalam desain kota signage merupakan bagian penting yang termasuk dalam dimensi visual kota dan akan mempengaruhi pandangan visual kota. Signage dalam ruang kota dapat dikategorikan sebagai townscape (suatu gambaran atau pandangan sebuah kota atau bagian dari sebuah kota), yang merupakan hasil dari irama bangunan-bangunan dan material-material urban dan episode jalan, yang dalam bahasa Gordon Cullen hal tersebut membentuk drama. Sebagai dimensi visual Gordon Fulton dalam bukunya Reviving Main Street menyatakan bahwa ada beberapa

  

redibilitas , serta aspek visual dan estetika. Aspek visibilitas adalah kemampuan suatu

  signage untuk dapat terlihat oleh masyarakat, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu : bentuk, penempatan, dimensi, material, pencahayaan dan jarak antar satu sign dengan

  

signage lain. Aspek legibilitas dan redibilitas adalah kemampuan untuk mengenal

  dan menangkap pesan sebuah signage, yang terdiri dari unsur-unsur lokasi, ukuran tulisan, jenis tulisan dan warna. Sedangkan aspek visual dan estetika yaitu ketepatan ekspresi dan keharmonisan suatu signage dengan lingkungan tempat dia berada, yang dapat memberikan karakter pada ruang kota serta dan membedakannya dengan ruang lain yang ada di sekitarnya.

2.4 Fungsi Estetika Visual

  Menurut Vining dan Stevens (dalam Smardon,1994), dijelaskan yang merupakan aspek kualitas estetika diantaranya adalah proporsi, komposisi, pola dan tatanan. Sedangkan menurut Broadbent (1980) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi kualitas fisik kota secara visual adalah bentuk yang terlihat melalui pengaturan masing-masing objek/bangunan dan keterkaitan satu sama lainnya melalui deretan, skala, proporsi dan hirarki. Kondisi visual koridor menurut Cullen (1961), sangat erat berkaitan dengan fenomena fisik yaitu yang berkaitan dengan penataan dan pengaturan lingkungan serta korelasi visual, Cullen menyebutkan bahwa korelasi visual yang baik akan memberikan kepuasan estetis tertentu bagi orang yang mengamati dan berada di tempat tersebut (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Segitiga Semiotika Model Odgen Richards

  Sumber: Broadbent (1980:81) Berdasarkan pada tujuan penelitan dengan hubungan teori ini, maka langkah tinjauan pustaka adalah untuk mendapatkan rumusan tentang keadaan signage yang berada di koridor jalan Gatot Subroto Medan serta kaitannya dengan fungsi estetika

  

visual dalam mempengaruhi kualitas fisik kota, baik itu dalam pengaturan dimensi

signage , komposisi dan pola tatanan perletakan signage sebagai pembentuk urban

space sehingga dapat mengarahkan analisisnya.

2.5 Karakteristik Visual

  Kualitas visual merupakan atribut khusus yang ditentukan oleh nilai-nilai kultural dan properti fisik yang hakiki Smardon, (1986). Menurut Krier (1979), yang menentukan karakteristik geometris koridor adalah pola fungsi, sirkulasi dan dinding yang membatasi, dinding atau pembatas tersebut dapat berupa bangunan, pepohonan visual suatu kawasan ditunjukkan oleh adanya kualitas fisik yang terbentuk oleh

  interelasi antar elemen visual dalam landskap kota yang tediri dari:

  a) Dominasi (domination) dibentuk oleh satu atau dua elemen yang sangat kontras dan secara visual sangat menonjol.

  b) Keragaman (diversity), yang dimaksud disini tingkat keragaman visual.

  c) Kesinambungan (continouity) adalah kesinambungan secara visual.

  d) Kepaduan (intacness), yaitu integrasi dari tatanan lansekap alam maupun buatan manusia yang bebas dari gangguan visual.

  e) Kesatuan (unity), adalah harmoni secara keseluruhan yang mengacu pada kecocokan atau kesesuaian antar elemen visual.

  f) Sekuens (sequence), merupakan tatanan unit-unit visual yang tidak dijumpai di lingkungan lain.

  g) Keindahan (vividness), yaitu suatu penampilan secara khusus mengesankan, dibentuk oleh adanya elemen visual yang menonjol dan menarik.

  h) Keunikan (unique), yaitu kondisi atau karakter visual yang tidak dijumpai di lingkungan lain.

2.6 Tinjauan Estetika

  Keindahan (estetika) dalam arsitektur menurut Ishar (1993) adalah nilai-nilai yang menyenangkan mata, pikiran dan telinga. Karena Arsitektur adalah seni visual, sesuatu yang lebih nyata, oleh sebab itu dapat diukur atau dihitung. Kebutuhan akan keindahan (aesthetics needs), merupakan kebutuhan utama manusia, sebagaimana kebutuhan kita akan udara segar (Spreiregen 1978, Lang 1995).

  Sedang Hubert dalam Ishar (1993) merumuskan bahwa keindahan sebagai hubungan harmonis yang dirasakan dari semua elemen yang diamati. Hubungan ini dapat diterapkan dalam hubungan kota dengan alam, atau hubungan antara bagian- bagian kota dan kehidupan sehari-hari. Menurut Lang (1995) dan Porteus (1996) ada tiga kategori estetika (aesthetics) yakni: 1.

  Sensory aesthetics, suatu keindahan yang berkaitan dengan sensasi menyenangkan dalam lingkungan meliputi suara, warna, tekstur dan bau.

  2. Formal aesthetics, keindahan yang memperhatikan apresiasi dari bentuk, ritme, kompleksitas dan hal-hal yang berkaitan dengan sekuens visual.

  3. Symbolic aesthetic, meliputi apresiasi meaning dari suatu lingkungan yang membuat perasaan nyaman.

2.7 Faktor-faktor Estetika

  Elemen-elemen untuk menganalisa kualitas estetis urban design menurut Moughtin (1992) dan Moughtin et al (1995) terdiri dari keterpaduan, keseimbangan, proporsi, skala, kontras, harmoni serta ritme. Estetika suatu kota dapat dirasakan oleh setiap orang yang berada di dalamnya apabila elemen-elemen kotanya memiliki unsur-unsur tersebut (Ishar, 1993).

  Dalam bahasa Indonesia unity berarti kesatuan atau keterpaduan yang berarti tersusunnya beberapa unsur menjadi satu kesatuan yang kompak, utuh dan serasi (Ishar, 1993). Pola bahasa arsitektur termasuk dalam bahasa visual kota, yang pada prinsipnya language of town sangat banyak macamnya. Keterpaduan menciptakan kesatuan secara visual dari tiap-tiap komponen kota dari elemen yang berbeda, sehingga membuat hal-hal yang kurang menyatu ke dalam organisasi visual terpadu (Mougtin 1992 dan Moughtin et al 1995). Hal penting dalam karakteristik unity adalah proporsi dari tiap-tiap elemen yang membentuk komposisi. Gibberd dalam Moughtin (1992) menyatakan bahwa jalan bukanlah muka bangunan, tetapi ruang yang dibentuk oleh bangunan-bangunan yang membentuk street picture. Oleh sebab itu tampak luar bangunan individu sangat penting dalam membentuk keseluruhan townscape .

  Keterpaduan dapat menciptakan kesatuan visual yang utuh dari tiap elemen koridor yang berbeda. Menurut Ishar (1993) semakin sedikit jumlah unsur yang harus disatukan, semakin mudah dicapai keterpaduan, dan semakin besar jumlah elemen yang yang harus disatukan, semakin sulit mencapai keterpaduan, tetapi jika berhasil, semakin besar pula nilai keterpaduan yang telah dicapai. Hal serupa juga disampaikan oleh Darmawan (2003), bahwa kesatuan visual elemen-elemen kota adalah dengan menghindarkan semaksimal mungkin perbedaan. Jakle (1987) menambahkan bahwa untuk menciptakan kesatuan yang baik, elemen-elemen koridor yang berjumlah banyak harus tertata secara keseluruhan sehingga pemandangan yang terlihat pertama tertentu ke elemen-elemen koridor. Signage akan lebih efisien jika dibuat terpadu dalam satu tiang (Barnet, 1982) dan seperti Spreiregen (1979) ungkapkan banyaknya tiang di jalanan akan mengurangi kualitas estetika.. Menurut Ishar keterpaduan memiliki karakteristik berupa proporsi setiap elemen yang membentuk komposisi massa dan street furniture menjadi kesatuan. Padahal traffic signs akan lebih jelas dan fungsional jika menggabungkannya dengan berbagai fungsi signage, seperti diungkapkan Barnet (1982). Jadi objek mestinya tidak merusak kualitas perasaan pengguna dan visual koridor, dengan mengutamakan kesatuan dan keterpaduan yang ada di kawasan tersebut (Cullen, 1961).

  2.7.2 Proporsi Proporsi merupakan suatu perbandingan kuantitatif dari dimensi-dimensi yang menghasilkan hubungan dan kesan visual yang konsisten berdasarkan keseimbangan rasio, yaitu suatu kualitas permanen dari rasio ke rasio lainnya (Ching,1991). Dalam

  urban design proporsi adalah hubungan antara elemen–elemen dan signage secara

  keseluruhan menjadi hubungan menyatu secara visual (Moughtin,1992 dan Muoughtin et al 1995), Gambar 2.12. Bangunan dikatakan memiliki bentuk proporsional jika dilihat dari jarak sudut pandang pengamat memenuhi persyaratan tertentu. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa proporsi didapatkan dari hubungan antara ketinggian, lebar dan tinggi. Proporsi menunjukkan kualitas keruangan yang terbentuk dari masing-masing posisi pengamatan. Sebagai contoh adalah apabila objek dapat dilihat secara utuh dari jarak dan sudut pandang tertentu .

  Aspek penting townscape diperoleh melalui komposisi dengan membandingkan antara lebar jalan (D) dengan ketinggian bangunan (H).

  Perbandingan ini telah ditemui baik di jalan-jalan Medieval City, Baroque City maupun Renaisance City (Ashihara, 1983). Dengan membandingkan antara D/H akan diperoleh proporsi sebagai berikut:

  a) D/H=1, terjadi proporsi seimbang antara ketinggian bangunan/signage dan lebar jalan/pedestrian path.

  b) D/H < 1, ruang intim, berkesan sempit dan terasa tertekan.

  c) D/H > 1, ruang berkesan terbuka, semakin besar hasil perbandingan D/H maka berkesan semakin terbuka.

  d) D/H = 1,2 atau 3 sangat umum di dalam ruang kota.

  e) D/H > 4, pengaruh ruang sudah tidak terasa.

Gambar 2.12 Hubungan Antara Elemen–Elemen Dan Signage Menjadi Hubungan

  Menyatu Secara Visual Sumber: Dokumen Pirbadi Peneliti, 2012 Produk arsitektur merupakan tempat atau ruang yang selalu berhubungan dengan manusia. Oleh sebab itu skala dalam arsitektur harus selalu menunjukkan perbandingan antara elemen bangunan atau ruang dengan elemen tertentu yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan manusia. Menurut Ching (1991) skala adalah suatu perbandingan tetentu yang digunakan untuk menetapkan ukuran dan dimensi- dimensinya. Dimensi adalah manifestasi dari ukuran secara matematis dari bentuk bangunan, sedangkan skala memiliki arti perbandingan besarnya unsur suatu bangunan secara relatif terhadap bentuk-bentuk lainnya. Pada ruang-ruang yang masih dapat dijangkau manusia, dapat langsung dikaitkan dengan ukuran manusia, tetapi pada ruang-ruang di luar jangkauan penentuan skala harus didasarkan pada pengamatan visual dengan membandingkan elemen yang berhubungan dengan manusia (Budiharjo dan Sujarto, 1998).

  Walaupun kesan sebuah tempat tergantung pada banyak faktor, dapat dikatakan secara umum bahwa skala, yaitu hubungan antar lebar/panjang dan tinggi ruang dari suatu tempat memberikan kesan yang bersifat agak umum pada orang yang bergerak di dalamnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa ukuran suatu ruang dari dua tempat akan sangat berbeda, walaupun skalanya tetap sama (Zahnd, 1999).

  Istilah "skala manusia" seringkali digunakan untuk menggambarkan dimensi bangunan berdasarkan ukuran tubuh manusia. Skala manusia kadang-kadang disebut sebagai "antropomorfik skala." (Gambar 2.13)

Gambar 2.13 Skala Perkotaan, Dengan Memperhatikan Pembatas Place Secara

  

Vertikal

  Sumber: Zahnd (1999;150) Selain itu Ashihara (1974) dan Spreiregen (1978) menjelaskan melalui sudut pandangan mata sebagai berikut:

  1. Jika orang melihat lurus ke depan maka bidang pandangan horizontal dengan sudut 40°, atau 2/3 seluruh pandangan mata.

  2. Orang dapat melihat seluruh bangunan atau signage dengan sudut pandang 27°, atau D/H = 2.

  Orang akan melihat sekelompok bangunan atau sekelompok signage sekaligus dengan sudut mata 18°, ini terjadi jika D/H=3.

4. Bangunan atau signage akan dilihat sebagai pembatas depan saja, jika sudut pandang 7°, atau D/H > 4.

  Sudut pandang manusia secara normal pada bidang vertikal adalah 60°, tetapi bila ia melihat secara intensif maka sudut pandangnya berubah menjadi 1°. H. Marten seorang arsitek Jerman dalam papernya ”Scale in Civic Design” mengatakan bahwa bila orang melihat lurus ke depan maka bidang pandangan vertikal di atas bidang pandangan horizontal mempunyai sudut 40°. Orang dapat melihat keseluruhan objek bila sudut pandangnya 27° atau bila D/H=2 (perbandingan jarak bangunan dan tinggi bangunan = 2) atau dapat dilihat pada Gambar 2.14.

Gambar 2.14. Sudut Pandang Manusia Secara Normal Pada Bidang Vertikal

  Sumber: Ashihara dalam Iswanto, 2006

  2.7.4 Keseimbangan Keseimbangan merupakan suatu nilai pada setiap obyek yang daya visualnya di kedua sisi pusat seimbang atau pusat daya tarik adalah keseimbangan. Pusat menghilangkan kekacauan dan keresahan. Darmawan (2003) menjelaskan bahwa manusia secara naluri mencari pusat keseimbangan dan berjalan ke arah itu.

  Pentingnya keseimbangan karena mempunyai daya untuk menunjuk arah gerak manusia. Keseimbangan ini menunjukkan sumbu yang jelas (dapat berupa garis) yang menyeimbangkan dua arah massa-massa yang berhadapan (Moughtin,1995) .

  Pandangan yang seimbang menjadi salah satu faktor yang dapat memberikan nilai tambah dalam desain. Menurut Ishar (1992), keseimbangan adalah nilai yang ada pada setiap objek yang daya tarik visualnya terdapat dikedua titik pusat keseimbangan. Secara jelas Jakle (1987) menambahkan bahwa dalam interpretasi ekspresi visual, Keseimbangan dapat memberikan rasa yaitu kestabilan visual yang muncul dari kesan sebuah garis aksis. Hal lain yang perlu diketahui keseimbangan tak hanya diraih dari sesuatu yang simetris, namun bisa juga berasal dari sesuatu yang asimetris dan simetris radial (Jakle,1987) diperlihatkan pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Balance dicapai dengan formal simetry

  Sumber: Moughtin, et al 1995 Ritme atau irama dalam seni visual adalah pengulangan ciri secara sistematis dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan yang dikenal (Ishar, 1992). Ritme di dalam urban design diperoleh dengan membuat komposisi yang serasi dengan memberi penekanan, interval atau jarak dan arah tertentu dari elemen-elemen pembentuk ruang kota (Moughtin,et al, 1995). Menurut Darmawan (2003) keberhasilan desain sebuah koridor dari segi estetis apabila dapat menghindari kemonotonan dan memiliki daya tarik.

  Kemonotonan terjadi bila objek yang diulang adalah objek yang bentuknya tidak kontras, sebaliknya bila objek yang diulang adalah bentuk yang kontras dibandingkan lingkungannya, maka pengguna akan mudah untuk menginterpretasikannya. Jakle (1987) menambahkan bahwa Irama tersebut dapat memainkan peranan sehingga dapat memunculkan kesan kawasan yang berkarakter dan menyeluruh. Adanya pengulangan objek menimbulkan kesan pergerakan bagi pengamat dalam ruang koridor, (Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Irama Memiliki Sifat Yang Menarik Dalam Menghubungkan Dua

  Tempat Secara Visual Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo), 2004 Pemilihan warna pada desain signage harus hati-hati, warna adalah satu aspek penting dari komunikasi visual yang mempengaruhi kemampuan mata melihat pesan yang akan disampaikan. Pemilihan warna berkontribusi terhadap kejelasan dan desain signage. Warna dapat menimbulkan kesan tertentu pada suatu bangunan atau kawasan (Porter, 1982).

  Meskipun bukan merupakan unsur utama dalam membentuk kualitas estetika

  

townscape tetapi warna berperan cukup penting karena pengaruhnya cukup kuat. Hal

  ini disebabkan oleh karena tiap-tiap individu memiliki cita rasa tersendiri terhadap warna. Frank Orr (1995) menjelaskan bahwa warna terang dan gelap dapat memperkuat hubungan, dominasi, dan subordinasi. Warna juga dapat memberikan pengaruh terhadap kesan skala, menciptakan keseimbangan dan irama tertentu (Ishar, 1992), lihat Gambar 2.17.

Gambar 2.17. Skema Warna Signage Memberikan Penegasan Pada Ruang Jalan

  Sumber: Moughtin, et. al 1995 hue dari pelangi warna (merah, kuning, biru dan sebagainya), dan yang lebih populer dengan pemakaian warna hitam, putih dan abu-abu. Dalam urban design terdapat bermacam-macam kualitas warna dari kota ke kota atau kawasan ke kawasan lain dan dari waktu ke waktu. Warna-warna terang akan memberikan kesan ruang lebih luas, sedang warna gelap memberikan kesan sempit atau berat (Moughtin et al. 1995). Masih menurut Moughtin, ada empat perbedaan skala warna di dalam kota yaitu: 1.

  Skala dari kota atau kawasan kota.