Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

(1)

PERSEPSI PENGGUNA JALAN TERHADAP JALUR PEJALAN

KAKI DI JALAN GATOT SUBROTO MEDAN

TESIS

Oleh

Y U S R A

097020019/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERSEPSI PENGGUNA JALAN TERHADAP JALUR PEJALAN

KAKI DI JALAN GATOT SUBROTO MEDAN

TESIS

untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik (MT) dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

Y U S R A

097020019/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : PERSEPSI PENGGUNA JALAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI JALAN GATOT SUBROTO MEDAN

NAMA MAHASISWA : Y U S R A

NIM : 097020019/AR

PROGRAM STUDI : TEKNIK ARSITEKTUR

BIDANG KEKHUSUSAN : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Beny O.Y Marpaung, ST, MT, PhD Ketua

) (Wahyuni Zahrah, ST, MS Anggota

)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, MSc) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)


(4)

Telah diuji pada Tanggal: 05 Juni 2014


(5)

Ketua Komisi Penguji : Beny O.Y. Marpaung, ST, MT, PhD Anggota Komisi Penguji : 1. Wahyuni Zahra, ST, MS

2. DR. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc 3. Ir. Rudolf Sitorus, MLA 4. Imam Faisal Pane, ST, MT

PERNYATAAN

PERSEPSI PENGGUNA JALAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DIJALAN GATOT SUBROTO MEDAN

TESIS

Dengan ini penulis menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2014 Penulis


(6)

ABSTRAK

Jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto memiliki posisi ekonomis yang cukup tinggi dan signifikan di kota Medan akan tetapi telah dialih manfaatkan menjadi tempat parkir sementara bagi pengguna kendaraan bermotor yang beraktifitas di kawasan tersebut. Fenomena yang terjadi saat ini adalah pertumbuhan di Jalan Gatot Subroto Medan yang tidak teratur dan kepadatan perabot kota pada jalur pedestrian yang cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari kondisi arus lalu lintas yang cukup padat di sepanjang Jalan Gatot Subroto Medan berakibat pada kamacetan jalan dan sirkulasi lalu lintas yang kurang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pejalan kaki terhadap jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik, dengan jumlah responden 100 orang.

Hasil penelitian yang diperoleh dari perhitungan analisis deskriptif prosentase, (dalam 5 lokasi pengambilan sampel) mengenai persepsi pejalan kaki tentang kenyamanan yang ditinjau dari seluruh faktor, baik itu dari faktor sirkulasi, cuaca, bising, aroma, bentuk, kebersihan, dan keindahan, keamanan atau keselamatan, dan kelengkapan fasilitas penunjang, adalah diperoleh bahwa jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto Medan menurut persepsi sebagian besar pejalan kaki masih belum memenuhi syarat-syarat dalam suatu pedestrian dan belum mampu mengakomodir kebutuhan penggunanya.

Rekomendasi yang disarankan dalam penelitian ini adalah bagi pemerintah kota Medan, sebaiknya melakukan upaya-upaya agar dimensi jalur pejalan kaki yang berada di jalan Gatot Subroto Medan mampu memenuhi kebutuhan penggunanya, sehingga pejalan kaki merasa nyaman ketika berjalan pada jalur pejalan kaki tersebut.


(7)

ABSTRACT

Pedestrian lane on Jalan Gatot Subroto has an adequately high and significant economic position in the city of Medan but its function has been changed into a temporary parking lot by the the users of motor vehicles activating in that area. This existing phenomenon is the irregular growth on Jalan Gatot Subroto and the adequately high density of city furniture on the pedestrian path. This is clearly seen from the condition of traffic whih is dense enough along Jalan Gatot Subroto Medan that resulted in the traffic jam and poor traffic circulation.

The purpose of this study was to find out the perception of the pedestrians on the pedestrian path on Jalan Gatot Subroto. The samples of this study using qdescriptive qualitative method and qualitative rationalistic method were 100 respondents.

The result of this study showed that the percentage calculation descriptive analysis (in five locations of where samples were taken) about the perception of pedestrians on the comfort viewed from all factors such as the factors of circulation, weather, noise, aroma, shape, sanitation and beauty, security or safety and the completeness of supporting facilities revealed that the pedestrian path on Jalan Gatot Subroto Medan according to most of the pedestrians has not yet met the the requirements required by a pedestrian path/lane and not yet able to meet the need of its users.

Through this study it was recommended that the city government of Medan should make the efforts in order to make the demensions of the pedestrian path/lane on Jalan Gatot Subroto Medan able to meet the need of its users that the pedestrians feel comfortable when walking along the pedestrian path/lane.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini dengan judul “Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan” dalam rangka memenuhi persyaratan pada Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara.

Pada Kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat Ibu Beny O.Y. Marpaung, ST, MT, PhD selaku Pembimbing I dan Ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS selaku Pembimbing II, atas masukan dan pengarahannya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan maksimal. Selanjutnya kepada Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur USU, Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia M.Sc. dan para dosen Magister Teknik Arsitektur beserta staf.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.

Medan, Mei 2014 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

KETERANGAN PRIBADI

Nama Lengkap : YUSRA

Unit Kerja : Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional I Status Perkawinan : Sudah Menikah

Jumlah Anak : 3 (tiga)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta, 6 September 1971

Alamat Rumah : Jln. Karya Kasih Bukit Johor Mas Blok E. No.14

Agama : Islam

KETERANGAN PENDIDIKAN

Sekolah Dasar (SD) : Negeri 03 Pagi Jakarta (Tamat 1984)

SMP : Negeri 86 Jakarta (Tamat 1987)

STM : Negeri 29Jakarta (Tamat 1990)


(10)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Landasan Teori ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Batasan Penelitian ... 8

1.7 Sistematika Penulisan ... 8

1.8 Kerangka Berfikir (Frame of Mind) ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Persepsi ... 11

2.1.1 Konsep yang mempengaruhi persepsi dalam arsitektur ... 12

2.1.2 Karakteristik persepsi ... 14


(11)

2.1.4 Faktor–faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan

kesalahan pada persepsi ... 17

2.2 Pejalan Kaki (Pedestrian) ... 19

2.2.1 Karakteristrik perjalanan ... 20

2.2.2 Pola pergerakan pejalan kaki ... 21

2.3 Kebutuhan Pejalan Kaki ... 22

2.3.1 Kebutuhan ruang berjalan kaki ... 22

2.3.2 Pedestrianisasi jalur pejalan kaki ... 26

2.3.3 Penataan sirkulasi jalur pejalan kaki ... 27

2.4 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Path) ... 29

2.4.1 Jarak tempuh pejalan kaki ... 31

2.4.2 Faktor-faktor pendukung jalur pejalan kaki ... 32

2.4.3 Aksesbilitas ... 34

2.5 Fasilitas Pada Jalur Pejalan Kaki ... 36

2.5.1 Halte ... 37

2.5.2 Vegetasi pada jalur pejalan kaki ... 40

2.5.3 Rambu-rambu lalu lintas ... 41

2.5.4 Lampu jalan ... 41

2.5.5 Tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Metode Penelitian ... 46

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 47

3.3 Alat Yang Digunakan ... 50

3.4 Langkah–langkah Penelitian ... 51

BAB IV DESKRIPSI KAWASAN PENELITIAN ... 54

4.1 Alasan Pemilihan Lokasi ... 54

4.2 Gambaran Koridor Jalan Gatot Subroto Medan ... 55


(12)

4.2.2 Titik keramaian di Jalan Gatot Subroto Medan ... 58 4.2.3 Kondisi non fisik ... 62 4.3 Data Person Centered Mapping dan Place Centered Mapping .. 62 4.3.1 Data Person Centered Mapping ... 62 4.3.2 Data Place Centered Mapping ... 63 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

5.1 Persepsi Pejalan Kaki di Jalan Gatot Subroto Berdasarkan Aspek Kebutuhan Dasar Pengguna ... 64 5.2 Persepsi Pejalan Kaki di Jalan Gatot Subroto Berdasarkan

Aspek Jarak Tempuh ... 77 5.3 Keberadaan Fasilitas Jalur Pejalan Kaki dalam Mendukung

Kecepatan Berjalan Kaki ... 88 5.4 Keberadaan Fasilitas Jalur Pejalan Kaki di Tinjau dari Aspek

Keamanan dan Kenyamanan ... 97 5.5 Persepsi Pejalan Kaki di Jalan Gatot Subroto Berdasarkan

Faktor-faktor Pendukung Jalur Pedestrian ... 98 5.6 Frekewnsi Lintas Harian Kaki di Jalan Gatot Subroto Medan .... 109 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 112 6.1 Kesimpulan ... 112 6.2 Saran ... ... 117 DAFTAR LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal 2.1 Jarak Halte dan Tempat Perhentian Bis ... 39 2.2 Tingkatan Pelayanan Trotoar ... 44 5.1 Frekewnsi Lintas Harian Pejalan Kaki di Jalan Gatot Subroto Medan ... 109


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1.1 Kerangka Berpikir Penelitian ... 10

2.1 Proses Pembentukan Persepsi ... 16

2.2 Jarak Aman Pejalan Kaki Ketika Berpapasan ... 23

2.3 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Antar Pejalan Kaki di Depannya Sesuai Lokasi (Harris dan Dines, 1988) ... 23

2.4 Beberapa Model Halte yang Ada di Perkotaan ... 37

2.5 Perletakan Halte di Pertemuan Jalan Simpang Empat ... 39

2.6 Perletakan Halte di Pertemuan Jalan Simpang Tiga ... 40

4.1 Peta Lokasi Penelitian ... 55

4.2 Potongan dan Dimensi Ruas Jalan Gatot Subroto Medan ... 56

4.3 Zona-zona Titik Crowded Pada Jalan Gatot Subroto Medan ... 57

4.4 Titik Keramaian di Jalan Gatot Subroto Medan ... 58

4.5 Titik Keramaian Sedang di Depan Plaza Medan Fair pukul 09.00 – 18.00 . 59 4.6 Titik Keramaian Tertinggi di Depan Plaza Medan Fair pada Siang Hari Pukul 08.00–18.00 Setiap Hari Kerja ... 60

4.7 Titik Keramaian Tertinggi di Depan Plaza Medan Fair Pada Malam Hari Pukul 19.00–23.00 Pada Hari Libur ... 61

5.1 Persepsi pengguna jalan terhadap kondisi permukaan jalur pejalan kaki yang naik turun dan terputus-putus mengganggu rasa nyaman ketika menggunakannya ... 65

5.2 Kondisi permukaan jalur pejalan kaki yang terputus akibat perpotongan dengan ruas jalan yang lain (persimpangan) ... 66


(15)

5.3 Jalur pejalan kaki yang dipenuhi kenderaan bermotor roda dua dan roda empat ... 66 5.4 Jalur pejalan kaki yang naik turun akibat berpotongan dengan

persimpangan ... 67 5.5 Persepsi pejalan kaki ditinjau dari aspek yang harus dipenuhi suatu jalur

pejalan kaki agar terhindar dari kendaraan bermotor ... 68 5.6 Persepsi pejalan kaki pada saat berjalan bersama keluarga/teman ketika

berada di jalur pejalan kaki di jl. Gatot Subroto Medan ... 68 5.7 Jalur pejalan kaki yang ditempatkan pot bunga dan rambu-rambu sehingga

menyempitakn ruas pejalan kaki ... 69 5.8 Ketika anda berada di jalur pejalan kaki dan berpapasan dengan pengguna

jalur pejalan kaki yang lain, apakah yang anda lakukan pada saat itu ... 70 5.9 Persepsi pejalan kaki terhadap bagian mana yang dianggap paling aman

ketika berjalan kaki di jalur Jalan Gatot Subroto Medan ... 71 5.10 Persepsi pejalan kaki untuk berhati-hati ketika berjalan dijalur pejalan kaki

Jalan Gatot Subroto Medan ... 72 5.11 Persepsi pejalan kaki terhadap kebutuhkan pada jalur pejalan kaki Jalan

Gatot Subroto Medan agar bisa memandang lingkungan disekitarnya pada malam hari ... 73 5.12 Persepsi pejalan kaki terhadap kondisi jalur pejalan kaki di jalan Gatot

Subroto Medan apakah sudah mengakomodir kebutuhan penyandang cacat 74 5.13 Persepsi pejalan kaki terhadap penyebab sulitnya untuk mengenali atau

mengetahui fungsi bangunan yang dilewati ketika berada dijalur pejalan kaki Jalan Gatot Subroto Medan ... 75 5.14 Persepsi pejalan kaki terhadap hal yang dapat di lakukan ketika berada

dijalur pejalan kaki Jalan Gatot Subroto Medan ... 76 5.15 Persepsi pejalan kaki ketika berjalan di jalur pejalan kaki jalan Gatot

Subroto Medan, apakah dapat dimanfaatkan untuk melihat-lihat bangunan yang ada di sisi jalan ... 76


(16)

5.16 Persepsi pejalan kaki terhadap keberadaan jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto Medan apakah telah memenuhi kebutuhan untuk mancapai tempat tujuan yang diinginkan ... 78 5.17 Moda transportasi yang digunakan pejalan kaki untuk sampai ke tempat

tujuan dikawasan Jalan Gatot Subroto Medan ... 79 5.18 Persepsi pejalan kaki terhadap keberadaan fasilitas layanan jasa angkutan

yang ada di sepanjang jalur pejalan kaki jalan Gatot Subroto Medan ... 80 5.19 Persepsi pengguna jalan terhadap keberadaan tanaman atau taman-taman

yang ada di sepanjang jalur Jalan Gatot Subroto Medan ... 81 5.20 Keberadaan Tanaman, pot bunga dan rambu-rambu pada jalur pejalan kaki

di ruas Jalan Gatot Subroto ... 81 5.21 Rata-rata usia pengguna jalan di jalan Gatot Subroto Medan ... 82 5.22 Kategori fisik tubuh/ berat badan pengguna jalan Gatot Subroto Medan .... 83 5.23 Kondisi fisik pengguna jalan di jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 83 5.24 Persepsi pengguna jalan terhadap penggunakan jalur pejalan kaki di Jalan

Gatot Subroto Medan ... 84 5.25 Persepsi pengguna jalan terhadap papan tanda informasi yang ada di

sekitar jalur pejalan kaki, apakah sudah dapat menuntun pengguna jalan untuk mengenal rute perjalanan yang akan dituju ... 85 5.26 Persepsi pengguna jalan terhadap aspek yang mempengaruhi kecepatan

berjalan kaki ketika berada di jalan Gatot Subroto Medan ... 86 5.27 Rata-rata kecepatan berjalan kaki pengguna jalan ketika menuju tempat

tujuan dengan menggunakan jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto Medan ... 87 5.28 Persepsi pengguna jalan terhadap keberadaan jalur pejalan kaki di jalan

Gatot Subroto Medan memiliki kesinambungan atau Kontiniutas rute sampai tempat tujuan ... 88 5.29 Persepsi pengguna jalan terhadap manfaat rambu-rambu yang ada di Jalan


(17)

5.30 Persepsi pengguna jalan terhadap keberadaan rambu-rambu yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota Medan di jalan Gatot Subroto Medan .... 90 5.31 Persepsi pengguna jalan terhadap lampu penerangan yang ada pada jalur

pejalan kaki jalan Gatot Subroto Medan sudah memadai untuk memberikan rasa aman bagi pejalan kaki di malam hari ... 91 5.32 Persepsi pengguna jalan terhadap kualitas permukaan jalur pejalan kaki

jalan Gatot Subroto Medan yang ada saat ini ... 92 5.33 Kondisi Kualitas Permukaan Jalur Pejalan Kaki Jalan Gatot Subroto

Medan Saat ini ... 92 5.34 Persepsi pengguna jalan terhadap kondisi tanaman peneduh di jalur

pejalan kaki jalan Gatot Subroto Medan pada saat ini ... 93 5.35 Kondisi tanaman peneduh di jalur pejalan kaki Jalan Gatot Subroto

Medan pada saat ini ... 94 5.36 Persepsi pengguna jalan terhadap pengguna kendaraan bermotor yang

dapat memanfaatkan jalur pejalan kaki yang ada di Jalan Gatot Subroto sebagai tempat perlintasannya ... 95 5.37 Persepsi pengguna jalan terhadap elemen yang dapat memberikan daya

tarik bagi pengguna jalan untuk mau berjalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan ... 96 5.38 Persepsi pengguna jalan ditinjau dari keleluasan memandang secara visual,

keberadaan rambu dan marka jalan di jalan Gatot Subroto Medan ... 97 5.39 Persepsi pengguna jalan terhadap keberadaan jalur pejalan kaki di jalan

Gatot Subroto Medan pada malam hari bila ditinjau dari aspek keamanannya ... 98 5.40 Persepsi pejalan kaki terhadap keberadaan tempat pemberhentian

kendaraan penumpang umum (halte) yang ada di jalan Gatot Subroto Medan ... 99 5.41 Persepsi pengguna jalan terhadap lokasi parkir yang disediakan oleh

Pemerintah Kota Medan serta akses jalur pejalan kaki untuk menuju ke tempat tujuan anda ... 100 5.42 Persepsi pengguna jalan terhadap bentuk desain jalur pejalan kaki yang


(18)

5.43 Persepsi pengguna jalan terhadap pola perkerasan yang diinginkan untuk jalur pejalan kaki pada jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 102 5.44 Persepsi pengguna jalan terhadap warna perkerasan yang diinginkan bagi

jalur pejalan kaki yang ada di jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 103 5.45 Persepsi pengguna jalan terhadap lebar jalur pejalan kaki yang ideal untuk

jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 104 5.46 Persepsi pengguna jalan terhadap lebar jalur pejalan kaki yang ideal untuk

jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 105 5.47 Persepsi pengguna jalan terhadap jenis pohon dan bentuk fungsi vegetasi

yang cocok di jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 106 5.48 Penempatan utilitas hidran, boks kabel listrik, penutup saluran air, drainase

dan saluran air bersih yang berada di jalur jalan Gatot Subroto Medan ... 107 5.49 Persepsi pengguna jalan terhadap penempatan utilitas hidran, boks kabel

listrik, penutup saluran air, drainase dan saluran air bersih yang sesuai di jalur Jalan Gatot Subroto Medan ... 108 5.50 Persepsi pengguna jalan terhadap fasilitas pengamanan yang sesuai untuk


(19)

ABSTRAK

Jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto memiliki posisi ekonomis yang cukup tinggi dan signifikan di kota Medan akan tetapi telah dialih manfaatkan menjadi tempat parkir sementara bagi pengguna kendaraan bermotor yang beraktifitas di kawasan tersebut. Fenomena yang terjadi saat ini adalah pertumbuhan di Jalan Gatot Subroto Medan yang tidak teratur dan kepadatan perabot kota pada jalur pedestrian yang cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari kondisi arus lalu lintas yang cukup padat di sepanjang Jalan Gatot Subroto Medan berakibat pada kamacetan jalan dan sirkulasi lalu lintas yang kurang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pejalan kaki terhadap jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik, dengan jumlah responden 100 orang.

Hasil penelitian yang diperoleh dari perhitungan analisis deskriptif prosentase, (dalam 5 lokasi pengambilan sampel) mengenai persepsi pejalan kaki tentang kenyamanan yang ditinjau dari seluruh faktor, baik itu dari faktor sirkulasi, cuaca, bising, aroma, bentuk, kebersihan, dan keindahan, keamanan atau keselamatan, dan kelengkapan fasilitas penunjang, adalah diperoleh bahwa jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto Medan menurut persepsi sebagian besar pejalan kaki masih belum memenuhi syarat-syarat dalam suatu pedestrian dan belum mampu mengakomodir kebutuhan penggunanya.

Rekomendasi yang disarankan dalam penelitian ini adalah bagi pemerintah kota Medan, sebaiknya melakukan upaya-upaya agar dimensi jalur pejalan kaki yang berada di jalan Gatot Subroto Medan mampu memenuhi kebutuhan penggunanya, sehingga pejalan kaki merasa nyaman ketika berjalan pada jalur pejalan kaki tersebut.


(20)

ABSTRACT

Pedestrian lane on Jalan Gatot Subroto has an adequately high and significant economic position in the city of Medan but its function has been changed into a temporary parking lot by the the users of motor vehicles activating in that area. This existing phenomenon is the irregular growth on Jalan Gatot Subroto and the adequately high density of city furniture on the pedestrian path. This is clearly seen from the condition of traffic whih is dense enough along Jalan Gatot Subroto Medan that resulted in the traffic jam and poor traffic circulation.

The purpose of this study was to find out the perception of the pedestrians on the pedestrian path on Jalan Gatot Subroto. The samples of this study using qdescriptive qualitative method and qualitative rationalistic method were 100 respondents.

The result of this study showed that the percentage calculation descriptive analysis (in five locations of where samples were taken) about the perception of pedestrians on the comfort viewed from all factors such as the factors of circulation, weather, noise, aroma, shape, sanitation and beauty, security or safety and the completeness of supporting facilities revealed that the pedestrian path on Jalan Gatot Subroto Medan according to most of the pedestrians has not yet met the the requirements required by a pedestrian path/lane and not yet able to meet the need of its users.

Through this study it was recommended that the city government of Medan should make the efforts in order to make the demensions of the pedestrian path/lane on Jalan Gatot Subroto Medan able to meet the need of its users that the pedestrians feel comfortable when walking along the pedestrian path/lane.


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu bentuk keberhasilan pembangunan sebuah ruang kota adalah tersedianya sarana dan prasarana berupa jalur yang baik bagi pejalan kaki di kawasan tersebut. Selain berperan dalam menunjang kelancaran kegiatan sosial dan ekonomi, jalur bagi pejalan kaki juga dapat mempercepat kehidupan ruang kota.

Pemerintah Kota Medan memiliki target untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman produktif dan berkelanjutan serta mempunyai daya saing dan daya tarik sebagai daerah tujuan investasi. Kota Medan telah berkembang dengan pesat dalam pengertian intensitas aktivitas sosial-ekonomi dan luas wilayah perkotaannya seiring dengan kemajuan ekonomi yang telah terjadi. Kecenderungan saat ini memperlihatkan bahwa tahun-tahun yang akan datang perkembangan serupa akan terus terjadi. Pola aktivitas masyarakat berubah baik dalam jenis maupun kuantitasnya. Peningkatan jumlah pergerakan yang terjadi yang ditimbulkan oleh berkembangnya aktivitas masyarakat perkotaan menuntut penambahan sarana dan prasarana jalur pejalan kaki.

Dinamika kehidupan kota dan vitalitas kota terlihat dari adanya aktifitas pejalan kaki di ruang kota. Berjalan kaki merupakan bagian dari sistem transportasi atau sistem penghubung kota (linkage system) yang cukup penting. Karena dengan berjalan kaki setiap individu dapat mencapai semua sudut kota yang tidak dapat ditempuh dengan kendaraan


(22)

bermotor. Menurut Sirvani (1985), jalur pejalan kaki merupakan elemen penting dalam perancangan kota. Ruang pejalan kaki dalam konteks kota dapat berperan untuk menciptakan lingkungan manusiawi.

Pejalan kaki adalah orang yang bergerak dalam satu ruang dengan berjalan kaki. Semua orang adalah pejalan kaki, bahkan pengendara kendaraan bermotor pun termasuk pejalan kaki untuk dapat berpindah dari kendaraan lainnya, untuk menuju ke tempat lain atau sebaliknya. Lang (1994) mengatakan bahwa jalur pejalan kaki mempunyai kaitan antara asal dan tujuan pergerakan orang. Adanya hubungan antara fungsi jalur pejalan kaki dengan fungsi lainnya. Pada umumnya perilaku yang terjadi terhadap pejalan kaki dalam suatu ruang publik antar lain bergerak dari satu tempat menuju ke tempat lain, berinteraksi sosial, dan lain-lain.

Selain itu pejalan kaki juga merupakan salah satu bentuk lalu lintas dalam sistem transportasi yang sangat dominan di daerah perkotaan dan melibatkan banyak kegiatan dan akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Dewar, 1999). Jalur pejalan kaki di perkotaan merupakan bagian ruang kota dalam perancangannya mengutamakan kepentingan pejalan kaki untuk melakukan aktivitasnya dan seperti diketahui, kita sangat sering berjalan kaki walau tidak disadari itu merupakan suatu aktivitas kegiatan sehari-hari. Kawasan Jalan Gatot Subroto Medan merupakan kawasan komersial yang menjadi bagian dari area CBD di Kota Medan. Pada Kawasan Jalan Gatot Subroto Medan ini, setiap orang yang akan menuju ke pusat kota dapat melintasi Jalan Gatot Subroto Medan. Jalur jalan ini cukup strategis karena dapat dicapai oleh segala lapisan masyarakat dari berbagai sarana transportasi. Jalan Gatot Subroto Medan mengalami perkembangan yang cukup


(23)

pesat, diawali dengan jalan satu arah yang diterapkan saat ini dibeberapa penggalan ruas jalannya, saat ini sudah dihiasi dengan berbagai macam lampu sebagai daya tarik. Strategisnya lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan tradisional maupun pusat perbelajaan modern dengan pusat aktivitas komersil dan kegiatan campuran mengundang pelaku aktivitas lainnya untuk menjadikan area sebagai kawasan komersil. Hal ini menjadi daya tarik masyarakat untuk sekedar melewati atau berkunjung di kawasan ini.

Kawasan ini dikunjungi oleh berbagai macam lapisan masyarakat dan berbagai tujuan di dalam berbagai waktu sehingga mampu menghidupkan kawasan sepanjang hari. Perkembangan ini tidak dibarengi dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini ditandai dengan meluapnya parkir di tepi jalan. Pengguna ruang publik tersebut menempati sebagian badan jalan sebagai tempat parkir kendaraan, berjualan pedagang kaki lima, pemberhentian angkutan kota atau pengguna jalan yang sekedar menghabiskan waktu di kawasan ini. Jalur pedestrian Jalan Gatot Subroto Medan selain digunakan sebagai wadah sirkulasi pejalan kaki juga digunakan sebagai peletakan street furniture, tempat pedagang kaki lima berjualan dan parkir kendaraan bermotor. Sebagian besar kegiatan pedagang kaki lima ini berlangsung dari mulai sore hingga larut malam.

Pada jalur Jalan Gatot Subroto Medan terdapat kecenderungan pejalan kaki tidak menggunakan jalur pedestrian sebagai sarana sirkulasi dan lebih memilih berjalan di badan jalan dan di atas ruas jalan raya. Adanya berbagai macam masalah tersebut menyebabkan aktivitas yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berbagai masalah yang ada terkait dengan pejalan kaki menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah jalur pedestrian telah mampu mengakomodasi atau memenuhi kebutuhan kenyamanan pejalan kaki untuk


(24)

beraktifitas di dalamnya? Apakah kondisi tersebut mempengaruhi perilaku pejalan kaki dalam menggunakan jalur pedestrian untuk sirkulasi?

Kawasan ini berpotensi untuk terus berkembang, tetapi perkembangan tersebut dapat berdampak negatif terhadap berjalannya fungsi jalur pedestrian sebagai wadah aktivitas pejalan kaki dapat berjalan dengan baik. Hal ini penting untuk menjaga agar jalur pedestrian dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap kegiatan sehari-hari masyarakat Kota Medan. Beranjak dari berbagai pertanyaan tersebut maka penting dilakukan penelitian tentang fungsi jalur pedestrian pada kawasan Jalan Gatot Subroto Medan ditinjau dari aspek kenyamanan penggunanya. Dapat dilihat secara fisik bahwa sepanjang Jalan Gatot Subroto banyak kendaraan roda empat dan roda dua yang seenaknya parkir di daerah jalur pejalan kaki, bahkan sama sekali tidak menyisakan ruang perlintasan bagi pejalan kaki.

Perencanaan jalur pedestrian harus mencakup berbagai aspek dan menjawab tantangan di atas. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengkaji rasa nyaman bagi pengguna jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan khususnya dalam aspek kenyamanan berdasarkan persepsi masyarakat yang menggunakan fasilitas tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Dari paparan mengenai latar belakang masalah di atas, jalur Jalan Gatot Subroto memiliki posisi ekonomis yang cukup tinggi dan signifikan di Kota Medan akan tetapi terdapat banyak hal yang mengganggu kwalitasnya. Fenomena yang terjadi saat ini adalah pertumbuhan jalur Jalan Gatot Subroto Medan yang tidak teratur dan kepadatan perabot


(25)

kota pada jalur pedestrian yang cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari kondisi arus lalu lintas yang cukup padat di sepanjang jalur Jalan Gatot Subroto Medan berakibat pada kemacetan jalan dan sirkulasi lalu lintas yang kurang baik.

Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apakah ruang pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto sudah memenuhi kebutuhan dasar penggunanya?

2. Bagaimanakah persepsi pejalan kaki terhadap jalur pedestrian di Jalan Gatot Subroto ditinjau dari jarak tempuh?

3. Bagaimanakah fasilitas pada jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto dapat memenuhi aspek kecepatan dalam berjalan kaki?

4. Apakah fasilitas yang ada di jalur pejalan kaki memenuhi aspek keamanan dan kenyamanan bagi penggunanya?

5. Bagaimanakah persepsi pejalan kaki mengenai faktor-faktor pendukung yang harus dipenuhi untuk jalur pedestrian di Jalan Gatot Subroto Medan?

1.3 Landasan Teori

Dalam perancangan fasilitas pejalan kaki, perlu diketahui bahwa kebutuhan pejalan kaki yang harus dipenuhi cukup bervariasi sehingga perancangan yang dilakukan juga harus fleksibel untuk mengakomodir perbedaan kebutuhan pengguna jalur pejalan kaki tersebut. Standar perencanaan fasilitas pejalan kaki terkadang harus dapat diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan rata-rata dari populasi pengguna fasilitas tersebut, contohnya kecepatan berjalan kaki adalah 4,8 km/jam sampai 6,4 km/jam, namun untuk anak-anak dan


(26)

orang-orang yang lebih tua memiliki kelemahan tertentu, dimana mereka berjalan dengan kecepatan di bawah 3,2 km/jam.

Harris dan Dines (1988) mengartikan bila kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture) secara kolektif sebagai elemen-elemen yang ditempatkan dalam sebuah

streetscape untuk kenyamanan, kesenangan informasi, kontrol sirkulasi dan perlindungan bagi penggunan jalan. Elemen-elemen ini harus merefleksikan karakter lingkungan setempat dan menyatu dengan karakter kawasan tempatnya berada.

Pada umumnya pejalan kaki berjalan dari tempat parkir atau pemberhentian umum yang tidak terlalu jauh. Tujuan orang berjalan kaki biasanya dikaitkan dengan asal dan tujuan perjalanan. Sejumlah perjalanan ditarik oleh aktifitas berdasarkan tipe dan skala kegiatan yang di kawasan tersebut. Pertokoan yang ada pada suatu kawasan biasanya akan menarik lebih banyak pejalan kaki untuk berada di sana.

Menurut Rubenstein (1992), pola penataan sirkulasi dapat mempengaruhi atau mengkondisikan pejalan kaki untuk melakukan pergerakan atau aktifitas di suatu tempat. Peletakan parkir dan pemberhentian angkutan umum akan berpengaruh pada fasilitas parkir yang tersedia sehingga dapat menjadi salah satu generator aktivitas pada kawasan tersebut. Hamid Shirvani (1985) menjelaskan bahwa kegiatan berbelanja, makan, menonton, bersantai, pergi, kembali dari bekerja merupakan ciri utama dari suatu kota yang makmur, sedangkan adanya aktifitas pendukung akan menempatkan poros-poros aktifitas utama dan kemudian menghubungkannya satu sama lain dengan sebuah jalur pejalan kaki yang aman dan dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan para pejalan kaki.


(27)

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji persepsi pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto berdasarkan aspek kebutuhan dasar penggunanya.

2. Mengkaji persepsi pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto berdasarkan aspek jarak tempuh.

3. Mengkaji pedestrian atas keberadaan fasilitas pada jalur pedestrian di Jalan Gatot Subroto berdasarkan aspek kecepatan dalam berjalan kaki.

4. Mengkaji persepsi terhadap fasilitas-fasilitas pada jalur pedestrian di Jalan Gatot Subroto berdasarkan aspek keamanan dan kenyamanan penggunanya.

5. Mengkaji persepsi pejalan kaki tentang faktor-faktor pendukung yang harus ada di jalur pedestrian Gatot Subroto Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Pemerintah Kota Medan dalam melakukan evaluasi kebijakan terhadap penyempurnaan pelayanan publik di waktu yang akan datang sehingga jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan berfungsi sebagaimana mestinya. 2. Akademisi dalam mengembangkan studi kepustakaan dan sebagai bahan


(28)

1.6 Batasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan mempunyai batasan wilayah dan ruang lingkup. Kawasan yang akan diteliti yaitu jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan dari bundaran tugu jam majestik sampai dengan simpang Jalan Iskandar Muda Medan yaitu sepanjang ± 900 meter (Dinas Perhubungan, 2012), secara khusus ruang lingkup penelitan ini meliputi:

1. Pertemuan antara simpang jalan Guru Patimpus dengan, Jalan Gatot Subroto Medan.

2. Jalan Rajak Baru/Petisah.

3. Pertemuan antara Jalan Nibung dengan Jalan Gatot Subroto Medan.

4. Pertemuan antara Jalan Gatot Subroto dengan Jalan Iskandar Muda Medan. 5. Pertemuan antara Jalan Waringin dengan Jalan Gatot Subroto Medan.

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini sistematika yang digunakan adalah:

Bab I, Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan yang diajukan dan gambaran umum tentang kondisi jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan untuk mengidentifikasi jawaban atas fenomena yang ada.

Bab II, Tinjauan Pustaka, berisi uraian kajian literatur dari berbagai sumber pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini meliputi disiplin ilmu arsitektur dan perancangan kota yang akan digunakan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang kualitas jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan.


(29)

Bab III, Metodologi Penelitian, berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan persepsi pengguna jalan. Tujuan utama dengan diperolehnya pemahaman tentang persepsi masyarakat yang diteliti dengan pendekatan menyeluruh, maka cakupan dan kedalaman dalam meneliti kualitatif diutamakan.

Bab IV Deskripsi Kawasan Penelitian, Berisi tentang keadaan lokasi wilayah penelitian dan kondisi jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan, serta data fisik maupun non fisik kawasan yang diambil untuk objek penelitian.

Bab V Hasil dan Pembahasan, Berisi uraian tentang hasil survei lapangan dan pengolahan/analisa data dan pembahasan terhadap hasil analisa data, terkait persepsi masyarakat tentang jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan. Analisa ini membahas pengelolaan hasil uji responden serta variabel-variabel yang diangkat dari tinjauan pustaka dengan menggunakan metode kualitatif.

Bab VI Kesimpulan Dan Saran, Berisi kesimpulan akhir dari penelitian tentang persepsi pengguna jalan terhadap jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan dan diikuti dengan memberikan rekomendasi.

1.8 Kerangka Berpikir

Untuk lebih lengkapnya secara diagramatis kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.


(30)

Perumusan Masalah Sesuai Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

Pemilihan dan Penetapan Lokasi Penelitan : - Jalur Pejalan Kaki di Kawasan Jalan Gatot

Subroto Medan

- Panjang Pedestrian Pada Lokasi Penelitian Melintang 900 m Pada Sisi Timur - Barat

TAHAP PENGUMPULAN DATA Pengambilan Data Primer dan Sekunder

Mengenai Lokasi Penelitan

Aspek Fisik Ruang Pejalan Kaki : - Iklim

- Aksesibilitas - Lebar Pedestrian - Disain Material - Bahan Perkerasan - Perabot Jalan - Vegetasi

Aspek Kenyamanan Pengguna Jalur Pejalan Kaki di Jalan Gatot Subroto Medan :

- Data terkait persepsi pengguna jalur pejalan kaki

Aspek Kebijakan dan Pengelolaan Pemerintah Daerah :

- Kebijakan-kebijakan terkait penyediaan dan pengelolaan ruang bagi pejalan kaki - Pengelolaan ruang pedestrian

Analisis Keterkaitan antara aspek fisik dan aspek kenyamanan pengguna jalur pejalan kaki di Jalan Gatot Subroto Medan

TAHAP SURVEI


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

Istilah persepsi berasal dari Bahasa Inggris yakni dari kata “perception” yang berarti penglihatan, keyakinan dapat melihat atau mengerti (Muchtar, T.W., 2007:13). Selanjutnya Muchtar mengemukakan: “Persepsi adalah pengamatan tentang objek-objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi, menafsirkan pesan dan memberikan makna pada stimulus indrawi (sensory stimuli)”.

Persepsi merupakan proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan (Laurens, 2004:56), dimana hasil akhir dari informasi yang ditangkap individu atas dasar sensasi dan memori yang berasal dari lingkungan dan ditangkap oleh suatu individu (Neiser, 1976). Suatu rangsangan dipandang sebagai kejadian-kejadian yang ada dalam lingkungan eksternal individu yang ditangkap oleh indera penglihatan dengan menggunakan alat sel syaraf yang selanjutnya akan terjadi proses pengolahan sensasi. Ketika sejumlah sensasi masuk kedalam struktur yang lebih dalam dari sistem susunan syaraf (misal otak) maka sensasi ini akan diolah, proses pengolahan sensasi inilah yang disebut sebagai persepsi (Neiser, 1976 dalam Sukmana, 2003).

Berdasarkan definisi di atas terdapat persamaan bahwa persepsi muncul oleh adanya rangsangan (dari luar atau lingkungan) yang diproses di dalam susunan saraf dan otak (di dalam tubuh penerima rangsangan). Sukmana juga menjelaskan lebih lanjut bahwa selain


(32)

persepsi muncul akibat rangsangan dari lingkungan, persepsi lebih merupakan proses yang terjadi pada struktur fisiologis dalam otak (Sukmana, 2003).

2.1.1 Konsep yang mempengaruhi persepsi dalam arsitektur

Gifford dalam Ariyanti (2005), juga menyebutkan bahwa persepsi manusia dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut:

a. Personal Effect

Dalam hal ini kebiasaan yang dilakukan masing-masing individu akan dihubungkan dengan perbedaan persepsi terhadap lingkungan. Hal tersebut, sudah jelas akan melibatkan beberapa faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Kemampuan perseptual masing-masing individu akan berbeda-beda dan melibatkan banyak hal yang berpengaruh sebagai latar belakang persepsi yang keluar. Proses pengalaman atau pengenalan individu terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi, pada umumnya mempunyai orientasi pada kondisi lingkungan lain yang telah dikenal sebelumnya dan secara otomatis akan menghasilkan proses pembandingan yang menjadi dasar persepsi yang dihasilkan. Pembahasan terhadap hal-hal yang berpengaruh sebagai latar belakang terbentuknya persepsi akan mencakup pembahasan yang sangat luas dan kompleks.

b. Cultural Effect

Gifford memandang bahwa konteks kebudayaan yang dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tinggal seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal


(33)

dan tinggal seseorang akan membentuk cara yang berbeda bagi setiap orang tersebut dalam “melihat dunia”. Selain itu, Gifford menyebutkan bahwa faktor pendidikan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungan dalam konteks kebudayaan.

c. Physical Effect

Kondisi alamiah dari suatu lingkungan akan mempengaruhi persepsi seseorang yang mengamati, mengenal dan berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan dengan atribut dan elemen pembentuknya yang menghasilkan karakter atau tipikal tertentu akan menciptakan identitas bagi lingkungan tersebut. Misalnya, ruang kelas secara otomatis akan dikenal bila dalam ruang tersebut terdapat meja yang diatur berderet, dan terdapat podium atau mimbar dan papan tulis dibagian depannya.

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa persepsi selain terjadi akibat rangsangan dari lingkungan eksternal yang ditangkap oleh suatu individu, juga dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut dalam menangkap dan menterjemahkan rangsangan tersebut menjadi suatu informasi yang tersimpan menjadi sensasi dan memori atau pengalaman masa lalu. Oleh karena itu, persepsi yang terbentuk pada masing-masing individu dapat berbeda-beda. Selanjutnya menurut Laurens, dikemukakan bahwa persepsi sangat diperlukan oleh perencana dalam menentukan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat baik secara personal maupun sebagai kelompok pengguna. Sebagian besar arsitektur dibentuk oleh persepsi manusia (Laurens, 2004:55).


(34)

Oleh karena itu, dalam menciptakan karya-karya arsitektur faktor persepsi sebagai salah satu bentuk respon yang keluar secara personal setelah menangkap, merasakan dan mengalami karya-karya tersebut menjadi salah satu pertimbangan yang cukup penting. Respon tersebut mencerminkan sesuatu yang diinginkan oleh individu pengguna dan penikmat hasil karya yang ada. Respon yang keluar berdasarkan pengalaman ruangnya, pengetahuan akan bentuk dan simbolisasi yang didapat dari pendidikannya (Laurens, 2004:92).

2.1.2 Karakteristik persepsi

Istilah yang digunakan oleh Laurens bagi pengalaman ruang, pengetahuan akan bentuk dan simbolisasi adalah peta mental (mental image). Peta mental tersebut akan berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Beberapa pendapat dari ahli yang dirangkum oleh Laurens menyebutkan beberapa karakteristik yang membedakan peta mental seseorang adalah sebagai berikut:

a. Gaya Hidup (Milgram, 1977)

Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental (Laurens, 2004). Hal tersebut erat kaitannya dengan tempat (jenis, kondisi, jumlah, dan lain sebagainya) yang pernah dikunjungi sesuai dengan gaya hidup yang dimiliki.

b. Keakraban dengan lingkungan (Evan, 1980)

Hal ini menyangkut pada seberapa baik seseorang mengenal lingkungannya. Semakin kuat seseorang mengenal lingkungannya, semakin luas dan rinci peta mentalnya.


(35)

c. Keakraban Sosial (Lee, 1980)

Semakin luas pergaulannya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan semakin ia tahu akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta mentalnya.

d. Kelas Sosial (Michelson, 1973)

Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya geraknya dan semakin sempit peta mentalnya.

e. Perbedaan Seksual (Appleyard, 1970)

Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci dari pada perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya juga lebih luas. Terlebih lagi, dalam kondisi masyarakat yang ada pada umumnya akan lebih memberi peluang kepada kaum pria untuk bergerak dengan berbagai aktivitas. Hal-hal inilah yang akan memberi pengertian bagaimana menciptakan bangunan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang yang memakainya terutama pada fasilitas publik (Laurens, 2004). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian disertakan persepsi masyarakat sekitar, dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di kawasan studi, yaitu di jalur Jalan Gatot Subroto Medan.

Pemilihan jenis peta mental masyarakat tersebut dikarenakan bahwa dengan tinggal ataupun beraktivitas di lingkungan atau kawasan studi dapat diartikan bahwa mereka mengenal kondisi lingkungan tersebut. Berdasarkan faktor peta mental seseorang perlu diketahui jika karakteristik masyarakat meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian untuk mengetahui aktivitas utama sehari-hari dan tingkat pendapatan.


(36)

Pengklasifikasian karakteristik masyarakat berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian untuk mengetahui aktivitas utama sehari-hari dan tingkat pendapatan tersebut merupakan pendekatan terhadap kemungkinan terbentuknya persepsi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah diungkapkan diatas.

2.1.3 Proses terjadinya persepsi

Damayanti (2000) dalam Prasilika, Tiara H. (2007:12-13) menggambarkan proses pembentukan persepsi pada Gambar 2.1.

Proses pembentukan persepsi dimulai dengan penerimaan rangsangan dari berbagai sumber melalui panca indera yang dimiliki, setelah itu diberikan respon sesuai dengan penilaian dan pemberian arti terhadap rangsang lain. Setelah diterima rangsangan atau data yang ada diseleksi. Untuk menghemat perhatian yang digunakan rangsangan-rangsangan yang terlah diterima diseleksi lagi atau diproses pada tahapan yang lebih lanjut. Setelah diseleksi rangsangan diorganisasikan berdasarkan bentuk sesuai dengan rangsangan yang telah diterima. Setelah data diterima dan data diatur, proses selajutnya individu menafsirkan

Gambar 2.1 Proses Pembentukan Persepsi

Sumber: Damayanti(2000) dalam Prasilika, Tiara H.(2007:12-13) Rangsangan/Sensasi

Lingkungan

Pengalaman

Seleksi Input

Persepsi

Proses Pengorganisasian

Interpretasi


(37)

data yang diterima dengan berbagai cara. Dikatakan telah terjadi persepsi setelah data atau rangsang tersebut berhasil di tafsirkan.

2.1.4 Faktor–faktor yang mempengaruhi persepsi

Persepsi seseorang tidaklah timbul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berkenaan dengan keberadaan individu yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang diakibatkan oleh keberadaan rangsangan tersebut.

Mar’at menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu: a. Pengalaman, tiap individu akan dapat memberikan persepsi yang berbeda-beda

dan hal itu tergantung kepada bagaimana pengalaman yang diterima terhadap objek yang dipersepsi.

b. Proses belajar, persepsi yang akan diberikan setiap individu itu selain berdasarkan pengalaman juga melalui proses belajar, maksudnya selama ia bergaul dengan objek yang diteliti, maka akan turut memberikan penilaian dan hal ini bisa saja menjadi tidak sama antara yang dipersepsi saat itu dengan yang akan datang.

c. Cakrawala dan pengetahuan, persepsi yang diberikan seseorang itu sebenarnya tidak terlepas dari pengetahuan yang diterimanya mengenai objek yang sedang di persepsi.


(38)

d. Manusia mengamati suatu objek psikologi, dengan kaca matanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dan kepribadiannya, misalnya jika seseorang yang memiliki kepribadian yang selalu berfikiran negative terhadap orang lain, ia akan memberikan persepsi negative juga terhadap objek yang akan di persepsi.

Jalaludin Rakhmat (1999) dengan rinci mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut:

a. Faktor yang bersifat fungsional, diantaranya kebutuhan, pengalaman, motivasi, perhatian, emosi dan suasana hati.

b. Faktor yang bersifat struktural diantaranya intensitas rangsangan, ukuran rangsangan, perubahan rangsangan dan pertentangan rangsangan.

c. Faktor kultural atau kebudayaan yaitu norma-norma yang dianut oleh individu.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Sarlito Wirawan (1984) yang mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut:

a. Kuat lemahnya rangsangan, yang ditemukan oleh kejelasan, pengulangan gerak, ukuran dan bentuk rangsangan. Makin kuat rangsangan, makin kuat pula kerja indera.

b. Cara kerja alat indera menentukan cepat tepatnya dan lancarnya proses terjadinnya persepsi.

c. Kadar intensitas kebutuhan, besarnya perhatian, kebutuhan dan kesiapan yang dimiliki individu menyebabkan terjadinya persepsi.


(39)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor rangsangan yang datang dari objek maupun peristiwa, dan faktor individu yang bersangkutan dengan karakteristiknya. Oleh karena itu, dapat diasumsikan dari persepsi ini bahwa individu akan menyimpulkan pendapat dan kesan berupa senang atau tidak senangnya, baik ataupun buruk dan adanya kesiapan untuk menerima ataupun menolak rangsangan yang diterimanya.

2.2 Pejalan Kaki (Pedestrian)

Pejalan kaki atau pedestrian adalah setiap orang yang bergerak menggunakan kaki, kursi, roda, atau alat dengan tenaga manusia diluar pengguna sepeda (Washington State Departement of Transportation, 1997). Sedangkan istilah pedestrian berasal dari bahasa latin pedesterpedestris atau pedos yang berarti kaki. Pedestrian juga dapat diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang dari satu tempat titik asal (origin) ketempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein, 1992).

Pejalan kaki sebagai istilah aktif adalah seseorang yang bergerak atau berpindah dari suatu tempat titik tolak ke tempat tujuan tanpa menggunakan alat lain, kecuali mungkin penutup alas kaki dan tongkat yang tidak bersifat mekanis. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan maka pejalan kaki dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai orang yang melakukan perjalanan atau aktivitas di ruang terbuka publik tanpa menggunakan kendaraan.


(40)

2.2.1 Karakteristik perjalanan

Pada umumnya perjalanan yang dilakukan oleh pejalan kaki relatif dekat, karena biasanya pejalan kaki berjalan dari tempat parkir atau dari tempat pemberhentian umum yang tidak terlalu jauh pula. Jika maksud perjalanan (purpose trip) dan tipe perjalanan pejalan kaki dipahami maka suatu fasilitas pejalan kaki yang lebih baik dapat dikembangkan atau dibangun. Maksud pejalan kaki terkait dengan tipe pengguna lahan yang dikaitkan dengan asal dan tujuan perjalanan. Sejumlah perjalanan ditarik oleh aktifitas berdasarkan tipe dan skala, pertokoan eceran biasanya menarik lebih banyak pejalan kaki pada suatu kawasan.

Menurut Weisman (1981) kenyamanan adalah suatu keadaan lingkungan yang memberi rasa yang sesuai kepada panca indera dan antropemetry disertai fasilitas yang sesuai dengan kegiatannya. Antropemetry adalah proporsi dan dimensi tubuh manusia serta karakter fisiologis lain-lainnya dan sanggup berhubungan dengan berbagai kegiatan manusia yang berbeda-beda dan mikro lingkungan. Kenyamanan terjadi setelah ditangkap menurut panca indera. Ukuran penting lainnya menurut Utterman (1984) adalah tingkat kenyamanan (comfort level) dan kapasitas sistem ruang pejalan kaki. Namun terpenuhinya kriteria menurut Richard Utterman tersebut dipengaruhi oleh latar belakang kondisi dan persepsi pejalan kaki.

Tingkat Kenyamanan pejalan kaki dalam melakukan aktifitas dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas, kondisi ruang pejalan. Tingkat kenyamanan dihubungkan dengan kondisi kesesakan dan kepadatan, dipengaruhi oleh keamanan dan persepsi manusia dan kemudahan untuk bergerak. Kapasitas jalur pejalan kaki meliputi jumlah pejalan kaki


(41)

persatuan waktu seperti orang berjalan, orang perhari. Adapun kapasitas jalur pejalan kaki (walkway capasity) dipengaruhi oleh penghentian, lebar jalur pedestrian, ruang pejalan kaki, volume, tingkat pelayanan, harapan pemakai dan jarak berjalan.

2.2.2 Pola pergerakan pejalan kaki

Pergerakan penduduk berdasarkan tempat kegiatan dalam hubungannya dengan jaringan lalu lintas digolongkan dalam tempat kegiatan yang terbebas dari jaringan lalu lintas dan tempat kegiatan yang tidak terbebas dari jaringan lalu lintas. Pola pergerakan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu pergerakan rutin dan pergerakan tidak rutin. Terkait dengan pola jaringan jalan dan adanya perbedaan tingkat penggunaan moda angkutan berjalan sebagai moda utama dan moda antara, maka pengguna moda berjalan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama (Syaifudian dalam BS Kusbiantoro, 2007), yaitu:

1. Kelompok pejalan penuh adalah mereka yang menggunakan moda angkutan berjalan sebagai moda utama dan digunakan sepenuhnya dari tempat asal ke tempat tujuan, sehingga jarak yang ditempuh relative lebih besar.

2. Kelompok pejalan pengguna kendaraan umum, yaitu mereka yang menggunakan moda angkutan jalan kaki sebagai moda antara pada jalur-jalur berikut:

a. Dari tempat asal ke tempat pemberhentian kendaraan umum. b. Pada jalur perpindahan rute kendaraan umum.

c. Di dalam terminal atau di dalam stasiun.


(42)

3. Kelompok pejalan pemakai kendaraan umum dan kendaraan pribadi adalah mereka yang menggunakan moda berjalan sebagai moda antara dari:

a. Tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat perhentian kendaraan umum. b. Di dalam terminal atau stasiun.

c. Dari tempat perhentian kendaraan umum ke tempat tujuan akhir pepergian. 4. Kelompok pejalan pemakai kendaraan pribadi penuh adalah mereka yang

menggunakan atau memiliki kendaran pribadi dan hanya menggunakan moda angkutan berjalan sebagai moda antara dari tempat parkir kendaraan pribadinya ke tempat akhir pepergian yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan.

2.3 Kebutuhan Pejalan Kaki

Perencanaan dan perancangan fasilitas pejalan kaki sebaiknya dapat memenuhi kebutuhan penggunanya dari semua kelompok usia dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dalam mendefinisikan kebutuhan pengguna jalur pejalan kaki, perancang harus mempertimbangkan makna sosial yang mendasari perilaku dan persepsi pengguna jalur pejalan kaki atau kelompok penggunanya dan bukan semata-mata hanya berdasarkan apa yang dikatakan oleh pengguna jalur pejalan kaki mengenai apa yang mereka butuhkan.

2.3.1 Kebutuhan ruang berjalan kaki

Kebutuhan ruang berjalan kaki menurut Rapoport (1977) dibagi menjadi dua macam yaitu ruang gerak dan ruang istirahat. Ruang gerak bersifat dinamis, kegiatannya antara lain berjalan dan bergerak walaupun dengan sangat lambat atau perlahan-lahan. Besaran dimensi ruang gerak tergantung juga pada jarak berpapasan baik itu dari arah yang


(43)

sama maupun berbeda, dimensi minimun yang dibutuhkan sewaktu pengguna jalur berpapasan adalah 1,5m x 1,5m (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Jarak Aman Pejalan Kaki Ketika Berpapasan Sumber: Washington State Department Of Transportation (1997)

Menurut Haries dan Dines (1988) kriteria fisik dalam merencanakan sirkulasi pedestrian, diantaranya yaitu:

1. Kriteria dimensional ruang pedestrian, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Jarak Ruang Yang Dibutuhkan Antar Pejalan Kaki di Depannya Sesuai Lokasi (Harris dan Dines,1988)


(44)

2. Kriteria Pergerakan

Faktor kecepatan pergerakan akan mengalami penurunan bila jumlah pejalan kaki meningkat, ada persimpangan dan naik atau turun tangga.

3. Kriteria Visual

Persyaratan visual (pemandangan) disesuaikan dengan sudut pandang mata atau tinggi sudut pandang pejalan kaki yang nyaman untuk melihat pandangan normal setinggi mata.

Karateristik lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki dapat diatur dengan membuat batasan atau perancangan fasilitas pejalan kaki yang terintegrasi dengan moda transportasi lainnya serta dapat menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini dan masa akan datang. Tata guna lahan berupa pengaturan sirkulasi dan akses jalur pejalan kaki yang diarahkan ke pusat kota, tempat-tempat perbelanjaan, perkantoran, sekolah-sekolah, taman, dan kawasan lainnya dapat dilakukandengan menggunakan pengaturan pola guna lahan berbentuk grid

atau blok-blok pendek pada kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan untuk memperpendek jarak tempuh perjalanan.

Kontinuitas jaringan jalan perkotaan, jalur pejalan kaki, dan fasilitas pejalan kaki dapat meningkatkan pergerakan pejalan kaki dengan menggunakan teknik yang bisa memperlambat laju kendaraan misalnya dengan merancang bundaran, kerb dan sebagainya. Selain itu perletakan tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) yang mudah dicapai serta dilengkapi dengan perabotan jalan seperti bangku istirahat, lampu


(45)

penerangan, tong sampah akan mampu menciptakan lingkungan yang menarik dan bermanfaat bagi pejalan kaki.

Setiap jalur pejalan kaki sebaiknya mempunyai arah tujuan yang jelas dan menyediakan rute-rute yang dapat dipilih sesuai kebutuhan penggunanya dan menyediakan jalan pintas bila keadaan memungkinkan. Pertimbangan dalam perencanaan kebutuhan pejalan kaki di kawasan pusat kota adalah sebagai berikut (New Jersey Department of Transportation/NJDOT Pedestrian Compatible, 1999):

a. Pertimbangan asal, tujuan dan jalur pejalan kaki untuk menentukan letak akses pejalan kaki dan dibagian mana akses yang harus ditutup dan menyediakan jalur alternatif.

b. Pejalan kaki pada umumnya memilih rute terpendek. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu:

- Membuat rintangan atau hambatan dibagian yang tidak diperuntukkan bagi pejalan kaki misalnya dengan menggunakan barikade, penghalang, papan informasi, dan lain-lain.

- Menyediakan rute yang mudah diakses, dapat dipakai, aman, dengan memasang papan informasi atau rambu-rambu.

c. Mendata guna lahan yang dapat membangkitkan perjalanan pejalan kaki misalnya guna lahan pendidikan, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sebagainya untuk menentukan apakah penambahan fasilitas pendukung diperlukan atau tidak.


(46)

d. Mempertimbangkan kebutuhan pejalan kaki pada waktu malam hari, khususnya penerangan dan pandangan yang jelas.

e. Menghindari pemblokiran jalur pejalan kaki oleh konstruksi bangunan atau peralatan lainnya.

f. Petimbangkan teknik konstruksi panggung apabila tidak ada jalur alternatif bagi pejalan kaki.

2.3.2 Pedestrianisasi jalur pejalan kaki

Menurut Murtomo dan Aniaty (1991), jalur pejalan kaki atau pedestrian di kawasan perkotaan dapat berfungsi sebagai elemen yang mempengaruhi perkembangan kehidupan suatu kota, antara lain adalah:

a. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga mengurangi kerawanan kriminalitas.

b. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomis sehingga akan berkembang kawasan bisnis yang menarik.

c. Pedestrianisasi sangat menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi, pameran, periklanan, kampanye dan lain sebagainya.

d. Pedestrianisasi dapat menarik bagi kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.

e. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang spesifik, unik dan dinamis di lingkungan pusat kota.


(47)

f. Pedestrianisasi berdampak pula terhadap upaya penurunan tingkat pencemaran udara dan suara karena berkurangnya kendaraan bermotor yang lewat.

Kenyamanan dari pejalan kaki dalam berjalan adalah tersedianya fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan dan dapat dinikmati penggunanya. Kegiatan berjalan tersebut dilakukan tanpa adanya gangguan dari aktivitas lain yang menggunakan jalur tersebut. Fungsi jalur pedestrian yang sesuai adalah jalur pejalan kaki dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga mengurangi kerawanan kriminalitas, menguntungkan sebagai sarana promosi dan dapat menarik bagi kegiatan sosial serta pengembangan jiwa dan spiritual.

2.3.3 Penataan sirkulasi jalur pejalan kaki

Kelancaran sirkulasi bagi pejalan kaki dan keselamatan dari ancaman kecelakaan oleh kendaraan merupakan salah satu tujuan utama keberadaaan jalur pejalan kaki. Metode untuk mengurangi konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan adalah sistem penyekat waktu dan ruang diantara keduanya. Sistem penyekat waktu adalah pemisahan kedua jalur pada jam tertentu. Sistem penyekat ruang adalah pemisahan kedua jalur tersebut.

Untuk system penyekat waktu dapat mempergunakan rambu-rambu lalu lintas sebagaialat bantu, sedangkan penyekat ruang dapat menggunakan jembatan penyeberangan di atas jalan atau di bawah permukaan tanah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait sirkulasi pejalan kaki adalah dimensi jalan danjalur pedestrian, tempat asal sirkulasi dan ketepatan tujuan sirkulasi pejalan kaki, maksud perjalanan, waktu hari dan volume pejalan kaki.


(48)

Menurut Rubenstein (1992), pola penataan sirkulasi dapat mempengaruhi atau mengkondisikan pejalan kaki untuk melakukan pergerakan atau aktifitas di suatu tempat. Peletakan parkir akan berpengaruh pada fasilitas parkir, kapasitas, akses dan layout. Perjalanan pejalan kaki biasanya relatif dekat. Karena kebanyakan pejalan kaki berjalan dari tempat parkir atau dari pemberhentian umum yang tidak terlalu jauh pula. Jika maksud perjalanan (purpose trip) dan tipe perjalanan pejalan kaki dipahami maka suatu fasilitas pejalan kaki yanglebih baik dapat dikembangkan atau dibangun. Maksud pejalan kaki terkait dengan tipe pengguna lahan yang dikaitkan dengan asal dan tujuan perjalanan. Sejumlah perjalanan ditarik oleh aktifitas berdasarkan tipe dan skala. Pertokoan eceran biasanya menarik lebih banyak pejalan kaki.

Standar ruang untuk pejalan kaki menurut Harris dan Dines (1988), dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Lebar

a.1. Lebar jalur pedestrian tergantung pada tujuan dan intensitas pemakaian a.2. Satu orang sama dengan 24 inchi (60cm), dengan lebar minimum jalan

setapak adalah 4 ft (120cm).

a.3. Memperhatikan kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture) b. Kemiringan

b.1. Longitudinal, dengan dasar pertimbangan kebiasaan atau kemudahan bergerak dan tujuan desain:

b.1.1. Ideal : 0–3%


(49)

b.1.3. Tergantung Iklim : 5–10%

b.1.4. Untuk ram : 1,5–8%

b.2. Transversal

b.2.1. Minimum tergantung material : 1% b.2.2. Ideal rata-rata : 3% b.2.3. Maksimum untuk drainase : 3% c. Perhitungan dimensi untuk lebar pedestrian

Lebar efektif minimum ruang pejalan kaki berdasarkan kebutuhan orang adalah 60cm ditambah 15cm untuk bergoyang tanpa membawa barang, sehingga kebutuhan total minimal untuk 2 orang pejalan kaki atau 2 orang pejalan kaki berpapasan tanpa terjadi berpapasan menjadi 150cm. Dalam keadaan ideal untuk mendapatkan lebar minimum Jalur Pejalan Kaki (W) dipakai rumus sebagai berikut:

Lebar jalan (W) = P

35+ 1,5

Keterangan:

W = lebar Jalur Pejalan Kaki.

P = volume pejalan kaki (orang/menit/meter)

2.4 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Path)

Jalur pejalan kaki atau pedestrian path adalah tempat atau jalur khusus bagi orang yang berjalan kaki. Jalur pedestrian pada saat sekarang dapat berupa trotoar, pavment,


(50)

selain itu diartikan sebagai road, yaitu suatu media di atas bumi yang memudahkan manusia dalam tujuan berjalan.

Menurut Utterman (1984) dalam sebuah perancangan jalur pejalan kaki yang baik harus memenuhi beberapa kriteria berikut ini:

a. Keamanan, pejalan kaki harus aman dari kecelakaan yang disebabkan kendaraan bermotor, selain itu masalah kriminalitas juga merupakan hal yang harus dipertimbangkan;

b. Kemudahan, jalur pedestrian yang baik merupakan jalur terpendek dan mudah dicapai serta bebas dari hambatan;

c. Kenyamanan, pejalan kaki harus dapat merasa nyaman di area pejalan kaki; d. Daya tarik, daya tarik dapat berasal dari jalur pejalan kaki, elemen pendukung

pejalan kaki, dan lampu penerangan.

Pada umumnya kegiatan pejalan kaki cenderung terkonsentrasi pada area yang berdekatan dengan sudut jalan, dimana pada tempat tersebut jarak pandang yang baik sangat diperlukan oleh pengguna jalan. Dalam Pertland Pedestrian Design Guide (1998) disebutkan terdapat 5 (lima) atribut jaringan sudut jalan yang baik bagi pejalan kaki yaitu:

a. Ruang yang bebas, sudut jalan harus bersih dari penghalang dan mempunyai cukup ruang untuk mengakomodasi kebutuhan pejalan kaki yang hendak menyeberang, serta memiliki kemiringan kerb yang baik, untuk tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum dan juga tersedia ruang untuk berinteraksi dengan sesama pejalan kaki lainnya.


(51)

b. Jarak pandang yang baik pada area sudut jalan untuk mempermudah pengendara kendaraan bermotor melihat pejalan kaki yang hendak menyeberang.

c. Keberadaan signage pada area sudut jalan harus mudah dibaca dan jelas memberi sehingga dapat memberikan informasi bagi pejalan kaki tentang tindakan apa yang harus dilakukan.

d. Ramp, tombol penyeberangan, rambu lalu lintas, marka jalan, tekstur dan sebagainya harus memenuhi standar aksesibilitas.

e. Pemisahan area pejalan kaki dengan kendaraan bermotor, perancangan area sudut jalan harus efektif sehingga pengemudi kendaraan bermotor tidak dapat menggunakan area pejalan kaki.

2.4.1 Jarak tempuh pejalan kaki

Jarak tempuh yang termasuk dalam kategori nyaman antara lain dipengaruhi oleh kondisi geografi, iklim, dan tata guna lahan (Washington State Departemen of Transportatioan, 1997).

Ketentuan jarak tempuh yang termasuk ke dalam kategori nyaman yaitu:

a. Perletakan fasilitas, taman-taman umum, dan area yang menjadi tujuan pejalan kaki maksimal berjarak 400 meter dari tempat asal pejalan kaki.

b. Perancangan tapak ditentukan maksimal berjarak 90 meter dari tempat parkir dan pintu masuk ke bangunan. Tempat penyeberangan jalan lebih efektif bila diletakkan tiap jarak 120 sampai 180 meter di area pejalan kaki.


(52)

c. Jarak tempuh pejalan kaki ke TPKPU sekitar 300 meter dan ke tempat parkir kurang lebih 535 meter.

Bila jarak tempuh dari titik asal ke tujuan perjalanan terlalu jauh maka seseorang memutuskan untuk tidak berjalan kaki dan lebih memilih moda transportasi lainnya menuju ke tempat tujuannya.

2.4.2 Faktor-faktor pendukung jalur pejalan kaki

Pendukung kegiatan merupakan kegiatan-kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan yang berada pada suatu kawasan (Shirvani, 1985). Keberadaan pendukung kegiatan akan menambah pengalaman pengguna jalur pejalan kaki melalui keragaman dan intensitas kegiatan yang ada disekitarnya.

Beberapa faktor pendukung jalur pejalan kaki yang harus dipenuhi untuk melayani kebutuan pejalan kaki adalah:

a. Tempat Pemberhentian Kendaraan Penampang Umum (TPKPU) merupakan faktor pendukung untuk melayani pejalan kaki yang menggunakan angkutan umum untuk sampai ke tempat tujuannya. TPKPU harus dirancang sebagai satu kesatuan dengan jalur pejalan kaki;

b. Fasiltas perparkiran merupakan faktor pendukung yang diharapkan dapat mempersingkat jarak tempuh pejalan kaki ke tempat tujuannya;

c. Keterjangkauan pelayanan umum kawasan khusus diperuntukkan pejalan kaki hendaknya dapat dijangkau oleh pelayanan umum seperti truk pengangkut sampah, ambulan, pemadam kebakaran, dan sebagainya;


(53)

d. Sirkulasi pejalan kaki hendaknya lancar dan aman dari bahaya kecelakaan lalu lintas misalnya dengan pengguna penyekat ruang dan waktu. Penyekat ruangan adalah pemisahan jalur pejalan kaki dengan kendaraan misalnya dengan jembatan penyeberangan atau terowongan penyeberangan, sedangkan pemisahan waktu adalah pemberlakuan waktu-waktu tertentu bagi pejalan kaki dan kendaraan untuk bergerak misalnya dengan lampu lalu lintas;

e. Bangunan-bangunan di sepanjang jalur pejalan kaki keberadaan fasilitas pejalan kaki diharapkan memperkuat atau memperjelas karakter bangunan-bangunan tersebut;

f. Perabot jalan seperti tempat duduk, lampu, telepon umum, bak bunga, tong sampah, rambu lalu lintas, halte, dan sebagainya yang tertata dengan baik merupakan faktor pendukung bagi perjalanan disepanjang jalur pejalan kaki. g. Pemeliharaan fasilitas pejalan kaki memerlukan pemeliharaan secara kontinue

agar dapat berfungsi dengan baik misalnya penggantian material yang rusak, pembersihan sepanjang trotoar, dan sebagainya.

Pendukung kegiatan menyangkut seluruh penggunaan dan kegiatan yang menunjang keberadaan ruang kota. Ruang kota yang dimaksud yaitu ruang atau bangunan yang diperuntukan kepentingan umum. Kegiatan dan ruang kota tersebut saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Bentuk tempat dan karakteristik suatu kawasan akan menentukan fungsi dan penggunaan yang spesifikasi pada kawasan tersebut.

Bentuk pendukung kegiatan bagi jalur pejalan kaki antara lain dapat berupa layanan penjualan makan dan minum, layanan penjualan barang, fasilitas hiburan, dan fasilitas


(54)

umum yang dapat digunakan untuk menikmati lingkungan yang menarik di sekitarnya. Keragaman bentuk pendukung kegiatan tersebut dapat memberikan citra visual yang spesifikasi dan menjadi ciri khas bagi kehidupan di suatu kawasan perkotaan.

2.4.3 Aksesbilitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi aksesbilitas jalur pejalan kaki adalah:

a. Waktu/Time, tergantung dari tujuan perjalanan yang akan dilakukan seperti rekreasi atau berbelanja pengguna jalur pejalan kaki akan mampu berjalan lebih lama. Sedangkan untuk aktifitas tertentu seperti bekerja yang membutuhkan ketepatan waktu maka pejalan kaki akan berjalan lebih singkat.

b. Kenikmatan/Convenience, perencanaan jalur pejalan kaki yang sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan penggunanya, baik dari kebutuhan ruang seperti trotoar maupun tempat perlindungan dari cuaca. Perencanaan jalur pejalan kaki yang nyaman akan mendorong penggunanya untuk berjalan menuju tempat tujuannya.

c. Kemudahan berkendara, kemapanan ekonomi suatu negara akan berimplikasi pada ketersedian kendaraan bagi masyarakat sehingga mempengaruhi perencanaan suatu sistem jalan lalu lintas yang baik pula pada kawasan tersebut dan bagi negara yang memiliki moda transportasi umum yang baik maka akan mendorong masyarakatnya untuk berjalan lebih aktif di jalur pejalan kaki.

d. Pola penggunaan lahan, pemanfaatan lahan untuk aktifitas tunggal akan mempersulit pejalan kaki untuk melakukan aktifitas yang berbeda dengan


(55)

berjalan kaki khususnya bagi yang memiliki keterbatasan waktu. Selain itu pola guna lahan tunggal akan memberikan rasa bosan dan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki.

Menurut Utterman (1984) kenyamanan pejalan kaki dipengaruhi oleh jarak tempuh dengan waktu berlangsungnya aktifitas yang dilakukan. Jarak tempuh juga terkait dengan kenikmatan berjalan antara lain dengan penyediaan area berjalan kaki yang berkualitas. Cuaca juga akan mempengaruhi jarak tempuh pengguna jalur pejalan kaki, dimana cuaca yang buruk akan dapat memperpendek jarak tempuh pejalan kaki karena orang enggan berjalan pada ruang terbuka baik itu terkait waktu siang atau malam hari.

Kecepatan berjalan kaki dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:

a. Karakteristik pejalan kaki, misalnya usia, jenis kelamin, kondisi fisik badan. b. Karakteristik perjalanan, misalnya tujuan perjalanan, rute yang telah dikenal,

jarak tempuh.

c. Karakteristik rute, lebar trotoar, kemiringan permukaan trotoar, perlindungan daya tarik, kepadatan pejalan kaki, antrian penyeberangan.

d. Karakteristik lingkungan, misalnya kondisi cuaca.

Secara umum manusia berjalan kaki dengan kecepatan antara 2,9 km/jam hingga 6,5 km/jam. Dalam kondisi tubuh sehat, seorang lelaki dewasa dapat berjalan kaki dengan kecepatan sekitar 4,3 km/jam, dan orang lanjut usia dan penyandang cacat berjalan lebih lambat dengan kecepatan sekitar 3,2 km/jam hingga 3,6 km/jam. (Dinas Bina Marga, Kementrian PU).


(56)

2.5 Fasilitas Pada Jalur Pejalan Kaki

Pushkarev (1975), mengemukakan bahwa pada tahap tertentu arus pejalan kaki akan mengurangi kapasitas jalan yang ada, sehingga jalan perkotaan perlu diberi fasilitas pejalan kaki seperti trotoar, tempat penyeberangan, jembatan penyeberangan dan pagar pengaman. Fasilitas tersebut berguna untuk menghindarkan konflik pejalan kaki dengan kendaraan menjadi lebih kecil dan moda jalan kaki akan menjadi lebih nyaman. Dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Lalu Lintas Jalan menyebutkan bila fasilitas pedestrian dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Fasilitas utama, berupa jalur untuk berjalan, yang dapat dibuat khusus sehingga terpisah dari jalur kendaraan, namun trotoar tidak termasuk dalam jenis ini. 2. Fasilitas penyeberangan yang diperlukan untuk mengatasi konflik dengan moda

dan angkutan lainnya.

3. Fasilitas terminal untuk berhenti atau istirahat pejalan dapat berupa bangku-bangku, halte beratap atau fasilitas lainnya.

Selain fasilitas pedestrian yang terdapat pada peraturan pemerintah tersebut, masih terdapat beberapa fasilitas lain yang dibutuhkan oleh pejalan kaki, yaitu: pepohonan, pelindung terhadap cuaca, penerangan dan sebagainya. Keberadaan fasilitas tersebut dapat menarik pejalan kaki untuk menggunakan jalur pedestrian tersebut.


(57)

2.5.1 Halte

Halte adalah salah satu tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) selain bus stop yang berfungsi untuk menurunkan atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan (Departemen Perhubungan, 1996).

Perencanaan halte pada suatu kawasan perkotaan bertujuan untuk: a. Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas;

b. Menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum;

c. Menjamin kapasitas keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang;

d. Memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bus.

Secara umum desain halte cukup bervariasi dan tidak ada suatu standar baku yang mengharuskan halte dirancang dalam suatu bentuk tertentu. Desain halte pada suatu kawasan ditentukan oleh kebijakan penguasa yang berada pada kawasan tempatnya berada (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Beberapa model halte yang ada di perkotaan Sumber: Dokumen Peneliti (2013)


(58)

Persyaratan umum untuk Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU) adalah:

a. Berada di sepanjang rute angkutan umum/bus;

b. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat dengan fasilitas pejalan kaki; c. Di arahkan dekat dengan pusat kegiatan atau permukiman;

d. Dilengkapi dengan rambu petunjuk; e. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

Berdasarkan peraturan yang berlaku bahwa jarak halte dan tempat pemberhentian bus dipengaruhi oleh tata guna lahan dan lokasi perletakan tempatnya berada, persyaratan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jarak Halte dan Tempat Perhentian Bis

Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m)

1 Pusat kegiatan sangat padat: pasar dan pertokoan

CBD, Kota 200-300*)

2. Padat: perkantoran, sekolah, jasa Kota 300-400

3. Permukiman Kota 300-400

4. Campuran padat: perumahan, sekolah, jasa

Pinggiran 300-500

5. Campuran jarang: perumahan, ladang, sawah, tanah kosong

Pinggiran 500-1000

Keterangan: * jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedang jarak umumnya 300m.


(59)

Tata letak halte terhadap ruang lalu lintas:

a. Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah 100 meter;

b. Jarak minimal halte dari persimpangan asalah 50 meter atau bergantung pada panjang antrian;

c. Jarak minimal gedung seperti rumah sakit, tempat ibadah yang membutuhkan ketenangan adalah 100 meter;

d. Perletakan di persimpangan menganut sistem campuran, yaitu antara sesudah persimpangan (farside), sebagaimana tertera pada Gambar 2.5 dan 2.6.

Gambar 2.5 Perletakan Halte di Pertemuan Jalan Simpang Empat Sumber: Dokumen Peneliti (2013)


(60)

Gambar 2.6 Perletakan Halte di Pertemuan Jalan Simpang Tiga Sumber: Dokumen Peneliti (2013)

2.5.2 Vegetasi pada jalur pejalan kaki

Penanaman vegetasi tepi jalan adalah untuk memisahkan pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan keselamatan (Lynch, 1981). Untuk mencapai kesatuan (unity) dalam pengaturan penanamannya perlu diperhatikan jenis tanamannya terutama untuk jalur pejalan kaki. Menurut Department of Transport of British (1986), vegetasi tidak seharusnya menghalangi jalan dan harus di rawat secara teratur. Menurut Chaniago dalam Widjayanti (1993), pemilihan pohon harus memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu:

1. Akar pohon harus cukup kuat untuk menahan vibrasi yang diakibatkan oleh kendaraan yang lewat dan jenis pohon yang digunakan sebaiknya tidak mempunyai akar yang menembus aspal dan beton sehingga kerusakan utilitas dapat terhindari.


(61)

2. Batang dan cabang, cukup elastis dan kuat untuk mencegah roboh dan rusaknya pohon akibat tiupan angin yang kencang.

3. Naungan yang sangat berhubungan dengan penetrasi radiasi matahari sehingga temperatur udara di sekitar jalur pejalan kaki menurun.

Untuk pemilihan jenis pohon menurut Arnold (1980), tinggi dan diameter tajuk merupakan hal paling penting diperhatikan. Pada beberapa tempat ketinggian cabang pohon yang nyaman berjalan di bawahnya berkisar 2,4–4,5 meter. Pergerakan kendaraan membutuhkan kejelasan pandangan sehingga diperlukan pohon peneduh jalan dengan ketinggian cabang minimum 4,5 meter. Pohon berukuran kecil (5,5–10,5 meter) dapat digunakan sebagai tirai (screening), dan seringkali digunakan sebagai penambah tekstur dan warna pada suatu kawasan.

2.5.3 Rambu-rambu lalu lintas

Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan No. 63 tahun 1993 menjelaskan bahwa penempatan rambu-rambu lalu lintas pada sisi jalan memiliki ketinggian minimum 1,75 meter dan maksimum 2,65 meter, sedangkan pada kawasan pedestrian minimum 2 meter dan maksimum 2,65 meter.

2.5.4 Lampu jalan

Penerangan jalan bertujuan untuk mengakomodir pergerakan pejalan kaki dan kendaraan agar menjadi lebih aman (Harris dan Dinnes, 1988). Pemakai jalan dapat dibantu orientasinya untuk mengenal zona yang berbeda dari penggunaan suatu tapak melalui


(62)

hirarki efek penerangan yang tepat. Hirarki tersebut dapat diatur dari perbedaan jarak, ketinggian dan warna cahaya lampu yang dipergunakan. Penerangan harus sesuai secara fungsional dan dalam skala yang baik bagi pejalan kaki dan jalur kenderaaan.

Agar penerangan pada jalur pejalan kaki memberikan skala manusiawi maka penerangan dapat menggunakan lampu dengan ketinggian relatif yang menerangi kanopi bawah dari pohon tepi jalan. Penerangan pada jalur pedestrian sebaiknya di desain tidak seragam sepanjang jalan dan distribusi pencahayaan harus mencapai 2 meter agar penglihatan ke arah pejalan kaki lain tetap jelas.

2.5.5 Tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki

Penelitian yang dilakukan oleh Gallin (2001), mengenai pelayanan fasilitas pejalan kaki dimaksudkan untuk mengembangkan pedoman dalam memperkirakan level atau tingkatan pelayanan fasilitas pejalan kaki. Tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki secara menyeluruh. Ukuran ini berhubungan langsung dengan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas, kenyamanan, dan keamanan, yang mencerminkan tingkat persepsi pengguna mengenai fasilitas pejalan kaki yang bersahabat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki terdiri dari faktor perancangan, faktor lokasi, dan faktor pengguna fasilitas pejalan kaki.

a. Faktor Perancangan (karakteristik fisik).

1. Lebar Trotoar, ukuran lebar trotoar dalam meter yang dapat dilalui pejalan kaki.

2. Kualitas permukaan trotoar, gambaran mengenai kualitas permukaan jalur pedestrian. Dikatakan memiliki kualitas yang baik berarti memiliki kontinuitas, halus tetapi tidak licin, tidak rusak atau hancur.


(63)

3. Hambatan. 4. Penyeberangan.

5. Fasilitas pendukung, keberadaan fasilitas pejalan kaki membantu penggunanya misalnya rambu dan marka, penggunaan warna kontras pada kerb, pola-pola pada permukaan trotoar, dan sebagainya.

b. Faktor Lokasi.

1. Konektivitas menyangkut tingkat kegunaan trotoar sebagai penghubung langsung titik asal dan tujuan pejalan kaki.

2. Lingkungan jalur pejalan kaki, tingkat kualitas lingkungan pejalan kaki ditentukan oleh keadaan disekelilingnya. Tingkat kenyamanan lingkungan di sekeliling berhubungan dengan jarak trotoar dengan jalan. 3. Kemungkinan konflik dengan kendaraan bermotor.

c. Faktor Pengguna.

1. Volume pejalan kaki, perhitungan jumlah pejalan kaki yang menggunakan trotoar dalam rata-rata harian.

2. Karakteristik pengguna. 3. Keamanan individual.

Sehubungan dengan definisi tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki sebelumnya, tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki dibagi atas beberapa level berdasarkan pemenuhan kebutuhan penggunanya dan pada hakikinya berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki tersebut.


(1)

bermotor ( 77 % ); tidak ada daya tarik pada jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto (65%); keberadaan rambu dan marka jalan tidak mengganggu (43%); tidak adanya pos keamanan dan petugasnya di kawasan tersebut menimbulkan rasa tidak aman bagi pengguna jalur pejalan kaki (53%).

e. Pada persepsi pejalan kaki ditinjau dari aspek faktor-faktor pendukung kebutuhan berjalan kaki dapat disimpulkan bahwa jarak antara satu pemberhentian dengan yang berikutnya terlalu jauh (64%); lokasi parkir tidak terintegrasi dengan jalur pejalan kaki (59%); desain jalur pejalan kaki yang ideal di Jalan Gatot Subroto Medan adalah kombinasi perkerasan, tanaman dan fasilitas penunjang (73%); pola perkerasan permukaan jalur pedestrian bertekstur (56%); warna perkerasan permukaan jalur polos putih atau abu-abu (38%); Lebar ideal untuk jalur pejalan kaki yang ada di jalan Gatot adalah antara 2,8 meter sampai 3,6 meter ( 60% ); elemen pelengkap yang perlu disediakan adalah tanaman pohon peneduh (48%); jenis pohon dan bentuk fungsi vegetasi yang cocok di jalur jalan Gatot Subroto adalah tanaman pohon peneduh (62%); penempatan yang sesuai untuk utilitas hidran, boks kabel listrik, penutup saluran air, drainasi dan saluran air bersih di jalur Jalan Gatot Subroto Medan adalah dibawah jalur pejalan kaki (65%); bentuk fasilitas pengamanan yang sesuai di jalur Jalan Gatot Subroto Medan adalah adanya pembatas bagi jalur kenderaan dengan jalur pejalan kaki (59%).

f. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi para pejalan kaki terhadap jalur di Jalan Gatot Subroto adalah tidak sesuai dengan teori–teori mengenai jalur pejalan kaki dan belum mampu mengakomodir kebutuhan


(2)

penggunanya. Beberapa teori yang tidak sesuai antara lain teori Richard Uterman (1984) yang menyatakan bahwa jalur pedestrian harus memberikan kenyamanan, keamanan dan daya tarik, sedangkan menurut persepsi pengguna jalan di jalur Jalan Gatot Subroto, jalur pengguna jalan di jalan Gatot Subroto belum memberikan kenyamanan, relatif belum aman dan daya tarik dengan lampu penerangan juga belum maksimal. Teori Rapoport (1977), Haries dan Dines (1988), tentang kebutuhan ruang berjalan kaki, terutama pengaturan jarak ketika berpapasan tidak sesuai dengan persepsi sebagian besar pengguna jalan yang harus memalingkan badan untuk menghindari tabrakan ketika berpapasan. Hasil penelitian juga tidak sesuai dengan teori Rubenstein (1992) tentang pola penataan sirkulasi jalur pejalan kaki, dimana manurut persepsi sebagian besar pejalan kaki menyatakan bahwa jarak antara satu pemberhentian dengan yang berikutnya terlalu jauh dan lokasi parkir tidak terintegrasi dengan jalur pejalan kaki.

g. Persepsi para pengguna jalan di Jalan Gatot Subroto dalam melakukan penilaian terhadap jalur pejalan kaki sebagian besar dipengaruhi oleh proses pengalaman atau pengenalan individu terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi. Kondisi alamiah lingkungan yang nyaman akan mempengaruhi persepsi dan cara pandang pejalan kaki untuk memiliki rasa aman juga dilingkungan yang lain. Dalam hal ini lingkungan lain yang dimaksud adalah jalur pejalan kaki di jalan Gatot Subroto. Hal ini sejalan dengan teori Gifford yang menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh Personal Effect, Cultural Effect dan Physical Effect. Dimana sebagian


(3)

Medan yang dibuktikan dengan (Gambar 5.1), (Gambar 5.12), (Gambar 5.21), (Gambar 5.23), (Gambar 5.26), (Gambar 5.27), (Gambar 5.30), (Gambar 5.31), (Gambar 5.32) juga ditegaskan kembali dari hasil observasi peneliti (tabel 5.1) menunjukkan banyaknya pedestrian pada jalur diJalan Gatot Subroto Medan. 6.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti menyarankan:

a. Bagi pemerintah kota Medan, disarankan untuk melakukan upaya-upaya agar dimensi jalur pejalan kaki yang berada di Jalan Gatot Subroto Medan mampu memenuhi kebutuhan penggunanya, sehingga pejalan kaki merasa nyaman ketika berjalan pada jalur pejalan kaki tersebut antara lain:

1. Pada aspek kebutuhan pengguna jalan, memberi pembatas berupa railing agar tidak mengganggu penggunanya dari keberadaan kendaraan bermotor, memperbaiki permukaan jalur pejalan kaki banyak yang rusak atau berlubang, melengkapi trotoar dengan lampu-lampu penerangan dan mampu mengakomodir kebutuhan penyandang cacat.

2. Pada aspek jarak tempuh disarankan agar memposisikan jarak penempatan halte tidak terlalu jauh antara satu dengan yang lainnya

3. Pada aspek kecepatan berjalan kaki disarankan untuk melakukan perbaikan terhadap keberadaan papan tanda informasi yang ada disekitar jalur pejalan kaki sehingga dapat menuntun pejalan kaki untuk mengenal rute perjalanan


(4)

yang akan dituju. Kecepatan berjalan kaki juga bisa ditingkatkan dengan menambah lebar jalur pejalan kaki.

4. Pada aspek fasilitas yang ditetapkan oleh departemen pekerjaan umum disarankan agar membuat jalur pejalan kaki yang memiliki kesinambungan atau kontiniutas rute sampai tempat tujuan dan menata penempatan rambu-rambu yang ada di jalan Gatot Subroto sehingga mampu dibaca dari arah jalur pejalan kaki dan tidak semrawut karena tidak ditata dengan baik, serta lebih meningkatkan perawatan tanaman peneduh pada jalur pejalan kaki sehingga tidak mengganggu pemandangan kota.

5. Pada aspek faktor-faktor pendukung kebutuhan berjalan kaki disarankan agar mempertimbangkan jarak antara satu pemberhentian dengan yang berikutnya terlalu jauh; membuat lokasi parkir yang terintegrasi dengan jalur pejalan kaki; menggunakan desain jalur pejalan kaki yang ideal di Jalan Gatot Subroto Medan yaitu kombinasi perkerasan, tanaman dan fasilitas penunjang; dan penempatan yang sesuai untuk utilitas hidran, boks kabel listrik, penutup saluran air, drainasi dan saluran air bersih di jalur Jalan Gatot Subroto Medan yaitu dibawah jalur pejalan kaki; serta membuat pembatas bagi jalur kenderaan dengan jalur pejalan kaki.

b. Bagi peneliti lain agar menggunakan variabel atau lokus lain untuk menilai keberadaan jalur pejalan kaki dalam rangka pengembangan yang lebih baik dari lanjutan penelitian ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ben Fauzi Ramadhan (2009) Gambaran persepsi. FKM UI, Jakarta

Departemen Perhubungan, Dirjen Perhubungan Darat (1996), Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang Umum.

Direktorat Jendral Bina Marga (1990) Petunjuk Perencanaan Trotoar No.007/T/BNKT/1990, Jakarta.

Gallin, Nicole (2001) Quantifying Pedestrian Friendliness – Guidelines for Assessing Pedestrian Level of Service (Road & Transport Research), Australia.

Laurens, Joyce M. (2004) Arsitektur dan Perilaku Manusia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta. NJDOT (New Jersey Department of Transportation) Pedestrian Compatible (1999)

Planning and Design Guidelines, New Jersey.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

Pushkarev, Boris (1975) Urban Space for Pedestrian, The MIT Press, Cambridge, Mass. Rapoport, Amos. (1977). Human Aspect of Urban Form. Pergamon Press, Oxford. Rubenstein, Harvey, M. (1987). Central City Malls. John Willey & Sons, New York. Sarlito Wirawan Sarwono (1982). Pengantar Ilmu Psikologi, Penerbit Bulan Bintang,

Jakarta

Shirvani, Hamid. (1985). The Urban Design Process. New York. Van Nostrand Reinhold Company.


(6)

Utterman, RK. (1984). Accommodating The Pedestrian. Van Nostrand Rainhord Company, New York.

Washington State Department of Transportation (1997) Pedestrian Facilities Guidebook, Washington.

Weisman, J. (1981). Modelling Environment Behavior System. Journal of Man Environment Relation.