Kajian Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Koridor Jalan Ahmad Yani – Jalan Putri Hijau Medan Dalam Upaya Menciptakan Ruang Kota Yang Akrab

(1)

KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR

JALAN AHMAD YANI – JALAN PUTRI HIJAU MEDAN

DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG

KOTA YANG AKRAB

TESIS

OLEH

NURBAYA SURBAKTI

097020016/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR JALAN AHMAD YANI – JALAN PUTRI HIJAU MEDAN

DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG KOTA YANG AKRAB

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

NURBAYA SURBAKTI 097020016/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Telah diuji pada Tanggal : 22 Juli 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, Ph.D Anggota Komisi Penguji : 1. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc

2. Devin Defriza, ST, MT 3. Wahyuni Zahrah, ST, MS 4. R. Lisa Suryani, ST, MT


(4)

Judul Tesis : KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR JALAN AHMAD YANI-JALAN PUTRI

HIJAU MEDAN DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG KOTA YANG AKRAB

Nama Mahasiswa : NURBAYA SURBAKTI Nomor Pokok : 097020016

Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, P.hD)

Anggota

(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr.Ir. Bustami Syam, MSME)


(5)

PERNYATAAN

KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR JALAN AHMAD YANI – JALAN PUTRI HIJAU MEDAN

DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG KOTA YANG AKRAB

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,


(6)

ABSTRAK

Di Kota Medan, aktifitas masyarakat untuk menjangkau tempat-tempat pusat kegiatan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan kendaraan bermotor dan berjalan kaki. Bagi para pejalan kaki ada jalur khusus yang disediakan. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini jalur pejalan kaki tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Kebanyakan jalur-jalur pejalan kaki di kota Medan, khususnya di daerah pusat kota, telah beralih fungsi menjadi kios atau gerai pedagang kaki lima, pot tanaman, penempatan poster dan papan reklame, parkir kendaraan, pos polisi, dan berbagai jenis bangunan lainnya yang telah mengganggu fungsi dari jalur pejalan kaki tersebut.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep pengembangan fasilitas pejalan kaki, sebagai berikut (Utermann, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993): Keselamatan (safety) yang diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan); Keamanan, dimana terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi; Kenyamanan, mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. (Widiani,1997); Kenikmatan, diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar, lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan; Keindahan, berkaitan dengan trotoar dan lingkungan disekitarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik. Populasi yang dipilih adalah jalur pejalan kaki di sepanjang koridor jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai dengan jalan Putri Hijau Medan dengan sampel penelitian adalah pejalan kaki yang berjalan di sepanjang koridor penelitian terdiri dari 100 orang sampel yang akan diambil secara acak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Variabel – variabel yang ada dalam penelitian ini adalah meliputi koridor sepanjang jalan Ahmad Yani sampai dengan jalan Putri Hijau, zona – zona jalur pejalan kaki yang meliputi zona pembatas, zona jalur hijau, zona perabot jalan, dan zona laluan.

Dari hasil penelitian ini diperoleh rekomendasi untuk memperbaiki dan memperhatikan peletakan perabot jalan agar tidak menganggu aktifitas pejalan kaki sekaligus mempertimbangkan material dan lebar jalur pejalan kaki sehingga diharapkan dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab dan ramah terhadap penghuninya.


(7)

ABSTRACT

There are two ways practiced by the people in Medan to reach the centers of activities: by motor vehicle or on foot. There is a special lane provided for the pedestrians but it is not purposely functioned any more. Most of the lanes for pedestrians, especially the ones found in the city center, have become kiosks or shops of sidewalk traders, vases, posters and billboards, parking area, police posts and other kinds of buildings that disturb the function of the pedestrian lanes.

Several things that can be used as the indicators of achieving a concept of development of facility for pedestrians, namely (Uterman, 1984; Marcus and Francis, 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris and Dines, 1995; Broomley and Thomas, 1993), safety materialized by positioning pedestrians, structure, texture, reinforcing pattern and sidewalk dimension (free space, effective width, slope); security, the pedestrian lane is protected from any crime by planning enough lighting or open structure or landscape; convenient, the pedestrian lane should be easily reached and passed from various places and directions, provided with a shelter to protect the pedestrians from bad weather, for a temporary rest, wide and convenient surface that it can be used by everybody including the handicapped (Widiani, 1997). Enjoyment is indicated through distance, width of sidewalk, interesting landscape and close to the facilities needed; Beauty is related to the sidewalk itself and its environment. This study employed descriptive qualitative and rationalistic qualitative methods. The population of this study was the pedestrian lanes found along Jl. Ahmad Yani (Kesawan) up to Jl. Puteri Hijau, Medan. The samples for this study were 100 pedestrians walking along the pedestrian lanes studied at the time set. The variables in this study included the zones found along Jl. Ahmad Yani up to Jl. Puteri Hijau such as pedestrian zone including boundary zone, green lane zone (median), street furnishings zone, and motor vehicle zone.

Based on the result of this study, the city government of Medan is recommended to improve and pay attention to the position of street furnishings that it will not disturb the activity of pedestrians and at the same time to consider the material and the width pedestrian lane that it can hopefully create a city space which is friendly to its citizen.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, Khususnya dalam proses penulisan thesis ini. Penulis menyadari bahwa baik dalam pengungkapan, penyajian dan pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi thesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan thesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tak terhingga buat kedua orang tua tercinta, suami serta anak-anak tersayang yang telah mendukung dalam menyelesaikan studi ini.

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan kepada terima kasih yang tak terhingga kepada ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc, selaku ketua program studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara, ibu Benny Octofryana Yousca Marpaung, ST, MT, Ph.D, selaku sekretaris program studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara, bapak Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, P.hD, sebagai dosen pembimbing utama, ibu Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, sebagai dosen pembimbing pendamping, bapak Devin Defriza, ST, MT, sebagai dosen pembahas dan penguji, ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS, sebagai dosen pembahas dan penguji., ibu R. Lisa Suryani, ST, MT, sebagai dosen pembahas dan penguji, ibu Novi Yanthi selaku administrasi program Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara


(9)

atas bantuannya selama studi, Teman-teman Magister Teknik Arsitektur Manajemen Pembangunan Kota Universitas Sumatera Utara yang telah bersama-sama dalam suka dan duka selama masa studi, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu persatu. Atas bantuan dalam proses penyelesaian tesis ini.

Hanya doa yang dapat penulis panjatkan semoga Allah SWT berkenan membalas semua kebaikan Bapak, Ibu, Saudara dan teman-teman sekalian.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Medan, 22 Juli 2011


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurbaya Surbakti

Tempat / Tanggal Lahir : Surabaya / 09 Mei 1978

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Alamat : Jl. Bhayangkara gg. Keluarga – 11 Medan Warganegara : Indonesia

Anak Ke - : Pertama

Nama Ayah : (Alm) Drs. MP Surbakti

Nama Ibu : R Ginting

Nama Suami : Arli Yamin P Harahap, SE Nama Anak – Anak : 1. Arya Sari Harahap

2. Nayla Ramadhani Harahap Pendidikan / Tempat / Tahun :

SD : SD Manukan Wetan III / Surabaya / 1991

SMP : SMPN 7 Surabaya / Surabaya / 1994

SMU : SMUN 16 Medan / Medan / 1997

S 1 ( Field of Study ) : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

S 2 (Field of Study ) : Magister Teknik Arsitektur


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP ……….. v

DAFTAR ISI ………. vi

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar belakang ………….……….. 1

1.2 Rumusan masalah ……….. 3

1.3 Tujuan penelitian ………... 3

1.4 Manfaat penelitian ………...……….. 4

1.5 Landasan teori ………..………..…… 4

1.6 Kerangka berpikir ……….…... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 9

2.1 Ruang kota di kawasan pusat kota ………...………….. 9

2.11 Ruang kota yang akrab, aman dan nyaman …...………. 10

2.2 Pejalan kaki ……….…...… 13


(12)

2.3.1 Jalur pejalan kaki yang akrab (friendly) ………..… 20 2.3.2 Keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki ... 28 2.3.2.1 Drainase ...

2.3.2.2 Pagar pengaman ... 2.3.2.3 Marka dan perambuan ... 2.3.2.4 Penyeberangan dan marka untuk

penyeberangan………... 2.3.2.5 Lampu penerangan ………

30 31 32 33 37 2.3.3 Kenyamanan, kenikmatan dan keindahan jalur

pejalan kaki ... 39

2.3.3.1 Jalur hijau ………..

2.3.3.2 Tempat duduk ……...………... 2.3.3.3 Tempat sampah ………. 2.3.3.4 Halte bus ………... 2.3.3.5 Telepon umum ……….. 41 43 44 45 46

2.4 Studi banding ……….……… 47

2.4.1 Pedestrian di beberapa kota tua di Eropa ... 2.4.2 Koeln, kota pejalan kaki ... 2.4.3 Pedestrian di kota Roma dan Amsterdam ………. 2.4.4 Lingkungan Walkable di Kopenhagen ...

47 49 51 54 BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 57 3.1 Metode penelitian …………...…….……….. 57

3.1.1 Populasi dan sampel penelitian ….……...………. 3.1.2 Lokasi dan waktu penelitian ……...…...………. 3.1.3 Bahan dan alat penelitian ...……...………..…………..

57 58 60 3.2 Metode pengumpulan data ………..………... 60

3.2.1 Jenis dan sumber data ………….………... 3.2.2 Observasi ………... 3.2.3 Kuesioner ………..

61 62 63 3.3 Analisis data penelitian ………….…….……… 64


(13)

3.4 Langkah-langkah penelitian ……..……….…...……. 64 3.4.1 Tahap penelitian …………...……….………

3.4.2 Tahap pelaksanaan …………...………. 3.4.3 Tahap kesimpulan …………...………..

65 65 66 BAB IV TINJAUAN LOKASI ……… 67 4.1 Deskripsi lokasi penelitian ……….…....………… 67

4.1.1 Segment pertama ………..……… 4.1.2 Segment kedua ………...………... 4.1.3 Segment ketiga ………...………...

69 72 73 4.2 Alasan pemilihan lokasi penelitian …..………….…….….... 76 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 78 5.1 Analisa keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki …... 78

5.1.1 Material jalur pejalan kaki ………. 5.1.2 Drainase ………...……….. 5.1.3 Pagar pengaman ……… 5.1.4 Marka dan perambuan ………...……… 5.1.5 Penyeberangan dan marka untuk penyeberangan ...….. 5.1.6 Lampu penerangan …...……….

80 84 87 88 88 91 5.2 Analisa kenyamanan, kenikmatan dan keindahan jalur

pejalan kaki ………...….……… 93 5.2.1 Tingkat pelayanan jalur pejalan kaki ………...……….

5.2.2 Pergeseran fungsi pejalan kaki …………...…..……… 5.2.3 Jalur hijau ………...…………... 5.2.4 Tempat duduk ………..…………. 5.2.5 Tempat sampah ………...……….. 5.2.6 Halte bus ………..………….……. 5.2.7 Telepon umum ………...

95 99 102 106 108 112 114 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 116 6.1 Kesimpulan ………..………...………... 116


(14)

6.2 Saran ...………...………... 118 DAFTAR PUSTAKA ………... 123 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal.

2.1 Tingkat pelayanan pejalan kaki ... 40

5.1 Analisa keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki ... 78

5.2 Analisa kenyamanan, kenikmatan dan keindahan ... 93


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal.

1.1 Kerangka berpikir ... 8

2.1 Pagar pengaman ... 32

2.2 Lampu penerangan ... 38

2.3 Fasilitas jalur hijau ... 42

2.4 Tempat duduk ... 44

2.5 Tempat sampah ... 44

2.6 Halte (shelter bus) ... 45

2.7 Telepon umum ... 46

2.8 Marienplatz ... 47

2.9 Glockenspiel ... 48

2.10 Grotte Markt ... 48

2.11 Gereja Dome ... 50

3.1 Lokasi penelitian ... 59

4.1 Sketsa situasi segmen pertama ... 68

4.2 Sketsa situasi segmen kedua ... 68

4.3 Sketsa situasi segment ketiga ... 69


(17)

4.5 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 70

4.6 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 71

4.7 Situasi dan kondisi jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 72

4.8 Situasi dan kondisi jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 73

4.9 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 74

4.10 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 75

5.1 Tingkat keamanan ... 79

5.2 Tingkat keamanan pada malam hari ... 80

5.3 Peletakan kondisi material pada koridor penelitian ... 80

5.4 Kondisi dan situasi material jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 81

5.5 Kondisi dan situasi material jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 82

5.6 Kondisi dan situasi material jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 83

5.7 Diagram kebutuhan drainase ... 84

5.8 Pemetaan kondisi umum drainase pada koridor penelitian ... 85

5.9 Kondisi drainase pada segment pertama ... 85

5.10 Kondisi dan situasi drainase pada segment kedua ... 86

5.11 Kondisi dan situasi drainase pada segment ketiga ... 87

5.12 Peletakan perambuan pada koridor penelitian ... 88

5.13 Kondisi dan situasi jembatan penyeberangan di koridor penelitian ... 89


(18)

5.14 Kondisi dan situasi jembatan penyeberangan di koridor

penelitian ... 90

5.15 Peletakan jembatan penyeberangan dan zebra cross di koridor penelitian ... 90

5.16 Lampu penerangan yang disediakan oleh pemilik bangunan .... 91

5.17 Lampu penerangan dari Pemerintah yang menerangi jalur kendaraan bermotor ... 92

5.18 Lampu penerangan cukup memadai dan menarik ... 93

5.19 Diagram tingkat kenyamanan ... 94

5.20 Peta segment pertama ... 96

5.21 Potongan A ... 96

5.22 Peta segment kedua ... 97

5.23 Potongan B ... 97

5.24 Peta segment ketiga ... 98

5.25 Potongan C ... 98

5.26 Pemetaan fungsi jalur pejalan kaki ... 100

5.27 Kondisi fungsi jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 100

5.28 Kondisi fungsi jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 101

5.29 Kondisi fungsi jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 102

5.30 Peletakan jalur hijau di koridor penelitian ... 103

5.31 Kondisi jalur hijau pada segment pertama ... 103

5.32 Suasana jalur hijau di segment kedua ... 104


(19)

5.34 Diagram kebutuhan jalur hijau ... 106

5.35 Diagram kebutuhan tempat duduk ... 108

5.36 Diagram keindahan tempat duduk ... 108

5.37 Situasi tempat sampah pada segment pertama ... 109

5.38 Situasi tempat sampah pada segment kedua ... 110

5.39 Situasi tempat sampah pada segment ketiga ... 110

5.40 Diagram kebutuhan tempat sampah ... 111

5.41 Diagram keindahan tempat sampah ... 111

5.42 Situasi halte bus di lokasi penelitian ... 112

5.43 Kebutuhan halte bus ... 113

5.44 Diagram keindahan halte bus ... 113

5.45 Kondisi telepon umum di lokasi penelitian ... 114


(20)

ABSTRAK

Di Kota Medan, aktifitas masyarakat untuk menjangkau tempat-tempat pusat kegiatan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan kendaraan bermotor dan berjalan kaki. Bagi para pejalan kaki ada jalur khusus yang disediakan. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini jalur pejalan kaki tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Kebanyakan jalur-jalur pejalan kaki di kota Medan, khususnya di daerah pusat kota, telah beralih fungsi menjadi kios atau gerai pedagang kaki lima, pot tanaman, penempatan poster dan papan reklame, parkir kendaraan, pos polisi, dan berbagai jenis bangunan lainnya yang telah mengganggu fungsi dari jalur pejalan kaki tersebut.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep pengembangan fasilitas pejalan kaki, sebagai berikut (Utermann, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993): Keselamatan (safety) yang diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan); Keamanan, dimana terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi; Kenyamanan, mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. (Widiani,1997); Kenikmatan, diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar, lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan; Keindahan, berkaitan dengan trotoar dan lingkungan disekitarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik. Populasi yang dipilih adalah jalur pejalan kaki di sepanjang koridor jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai dengan jalan Putri Hijau Medan dengan sampel penelitian adalah pejalan kaki yang berjalan di sepanjang koridor penelitian terdiri dari 100 orang sampel yang akan diambil secara acak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Variabel – variabel yang ada dalam penelitian ini adalah meliputi koridor sepanjang jalan Ahmad Yani sampai dengan jalan Putri Hijau, zona – zona jalur pejalan kaki yang meliputi zona pembatas, zona jalur hijau, zona perabot jalan, dan zona laluan.

Dari hasil penelitian ini diperoleh rekomendasi untuk memperbaiki dan memperhatikan peletakan perabot jalan agar tidak menganggu aktifitas pejalan kaki sekaligus mempertimbangkan material dan lebar jalur pejalan kaki sehingga diharapkan dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab dan ramah terhadap penghuninya.


(21)

ABSTRACT

There are two ways practiced by the people in Medan to reach the centers of activities: by motor vehicle or on foot. There is a special lane provided for the pedestrians but it is not purposely functioned any more. Most of the lanes for pedestrians, especially the ones found in the city center, have become kiosks or shops of sidewalk traders, vases, posters and billboards, parking area, police posts and other kinds of buildings that disturb the function of the pedestrian lanes.

Several things that can be used as the indicators of achieving a concept of development of facility for pedestrians, namely (Uterman, 1984; Marcus and Francis, 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris and Dines, 1995; Broomley and Thomas, 1993), safety materialized by positioning pedestrians, structure, texture, reinforcing pattern and sidewalk dimension (free space, effective width, slope); security, the pedestrian lane is protected from any crime by planning enough lighting or open structure or landscape; convenient, the pedestrian lane should be easily reached and passed from various places and directions, provided with a shelter to protect the pedestrians from bad weather, for a temporary rest, wide and convenient surface that it can be used by everybody including the handicapped (Widiani, 1997). Enjoyment is indicated through distance, width of sidewalk, interesting landscape and close to the facilities needed; Beauty is related to the sidewalk itself and its environment. This study employed descriptive qualitative and rationalistic qualitative methods. The population of this study was the pedestrian lanes found along Jl. Ahmad Yani (Kesawan) up to Jl. Puteri Hijau, Medan. The samples for this study were 100 pedestrians walking along the pedestrian lanes studied at the time set. The variables in this study included the zones found along Jl. Ahmad Yani up to Jl. Puteri Hijau such as pedestrian zone including boundary zone, green lane zone (median), street furnishings zone, and motor vehicle zone.

Based on the result of this study, the city government of Medan is recommended to improve and pay attention to the position of street furnishings that it will not disturb the activity of pedestrians and at the same time to consider the material and the width pedestrian lane that it can hopefully create a city space which is friendly to its citizen.


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pusat kota sebagai kawasan yang akrab dengan pejalan kaki, secara cepat telah menurunkan kualitas dan daya tariknya kemudian berangsur-angsur akan berubah menjadi lingkungan tidak nyaman yang akhirnya mulai ditinggalkan oleh para pejalan kaki karena fungsinya mulai terganggu.

Seperti diketahui bersama bahwa jalur pejalan kaki di perkotaan sangat diperlukan dan harus diperhatikan keberadaannya agar nyaman dan aman bagi penggunanya. Selain itu jalur pejalan kaki dapat memperindah penampilan sebuah kota jika ditata dengan baik. Jalur pejalan kaki di kota Medan saat ini masih banyak yang kurang memenuhi prinsip perancangan jalur pejalan kaki. Selain itu harus diperhatikan para penggunanya karena pengguna jalur pejalan kaki berasal dari semua golongan baik anak-anak, wanita dan penyandang cacat. Anak-anak harus dapat berjalan kaki di jalur pejalan kaki yang terjaga kualitas fisik dengan desain yang ’ramah’ bagi fisiologis anak. Wanita juga perlu merasa aman berjalan di jalur pejalan kaki pada malam hari seorang diri. Para penyandang cacat yang menggunakan jalur pejalan kaki juga perlu merasa aman dan nyaman berjalan di jalur tersebut tanpa merasa takut akan terjadi sesuatu pada dirinya walaupun mereka menggunakan alat bantu seperti kursi roda atau tongkat penyanggah. Dengan jalur


(23)

pejalan kaki yang dapat dinikmati oleh segala kalangan diharapkan dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab dan ramah terhadap penghuninya.

Jika jarak tempuh yang dibutuhkan lebih pendek, maka orang-orang dengan sendirinya akan lebih menyukai untuk berjalan kaki daripada penggunaan kendaraan bermotor, yang notabene juga menyebabkan polusi udara sehingga dapat dikurangi. Polusi udara, selain membuat orang-orang malas berjalan kaki, juga dapat menyebabkan penyakit kanker paru-paru dan tentu saja mempercepat terjadinya pemanasan global.

Jalur hijau, papan reklame dan perabot jalan yang tidak diatur dengan baik menyebabkan pengguna jalan tidak merasa aman dan nyaman berjalan di jalur pejalan kaki tersebut. Selain itu sering terlihat, pejalan kaki harus bergantian dengan sesama pejalan kaki yang datang dari arah berlawanan. Banyaknya aktifitas lainnya yang memenuhi jalur tersebut membuat pejalan kaki mengalah. Bukan hanya pedagang kaki lima yang menggunakan jalur pejalan kaki, pengendara motor juga banyak yang menggunakan jalur tersebut untuk menghindari kemacetan.

Seperti kita perhatikan pada koridor sepanjang jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai dengan jalan Putri Hijau banyak terdapat bangunan–bangunan komersil seperti Hotel (Grand Aston, Dharma Deli, JW. Marriot), perkantoran (Bank Indonesia, PT. Telkom, Kantor Pos, dan lain sebagainya), Deli Plaza, terutama di koridor jalan Ahmad Yani banyak bangunan-bangunan ruko tua yang dapat dijadikan objek wisata sehingga banyak aktifitas pejalan kaki sepanjang hari mulai dari pagi hingga malam sehingga memerlukan jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman untuk


(24)

digunakan. Selain itu adanya Merdeka Walk di lapangan Merdeka dapat menjadi generator aktifitas dimana diharapkan tamu-tamu penghuni hotel-hotel seperti JW. Marriot, Dharma Deli, Grand Aston menggunakan jalur pejalan kaki menuju ke Merdeka Walk tersebut. Ketersediaan lahan juga akan menjadi faktor kendala terbesar dalam penyiapan ruang untuk pejalan kaki.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan yang timbul yaitu bagaimana jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman sehingga dapat dimanfaatkan oleh penggunanya dari segala lapisan masyarakat, bagaimana penataan jalur hijau dan perabot jalan yang baik pada jalur pejalan kaki tanpa mengganggu aktifitas pejalan kaki dan dapat membuat jalur pejalan kaki menjadi menarik, bagaimana jalur pejalan kaki yang dapat mengakomodasi aktifitas-aktifitas yang berada di jalur tanpa saling mengganggu aktifitas-aktifitas satu dengan yang lainnya.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana jalur pejalan kaki yang dapat mengakomodasi kebutuhan penggunanya, mengetahui bagaimana jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman sesuai dengan teori dan standart yang ada terkait dengan jalur pejalan kaki, mengidentifikasi masalah-masalah yang


(25)

terkait dengan jalur pejalan kaki di koridor jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai dengan jalan Putri Hijau.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan memiliki beberapa manfaat yaitu: a. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kota dalam hal penataan jalur

pejalan kaki di koridor tempat penelitian.

b. Menjadi contoh agar bisa dilakukan penelitian di kawasan lain.

1.5 Landasan Teori

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep pengembangan fasilitas pejalan kaki, sebagai berikut (Utermann, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993):

a. Keselamatan (safety), diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan)

b. Keamanan (security), terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi.

c. Kenyamanan (comfort), mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari


(26)

hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat.

d. Kenikmatan (convenience), diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar, lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan

e. Keindahan (aesthetics), berkaitan dengan trotoar dan lingkungan disekitarnya.

Menurut Rubenstein (1987), objek utama sirkulasi pejalan kaki adalah keselamatan, keamanan, kenyamanan, koherensi dan estetika. Sirkulasi pejalan kaki membentuk hubungan penting dalam kegiatan yang berhubungan di tempat.

Carr (1992) mengartikan jalur pedestrian (pedestrian sidewalks/trotoar) adalah bagian dari kota, dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya disepanjang sisi jalan yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya.

Pejalan kaki pada umumnya akan mengikuti jalan yang paling langsung, namun jika sistem berjalan dikembangkan dengan tempat menarik visual, pejalan kaki bisa mengambil rute lama karena kenikmatan ditambah estetikanya. Dengan kata lain jika jalur pejalan kaki di desain dengan menarik maka banyak yang akan memanfaatkan jalur pejalan kaki tersebut.

Dengan kata lain jalur pedestrian dari segi perencanaannya terbagi dua yaitu yang terencana dan tidak terencana. Jalur pedestrian yang terencana terbentuk dari jalur pedestrian yang memang telah direncanakan untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain yang dibutuhkan oleh pejalan kaki. Sedangkan jalur pedestrian yang tidak terencana terbentuk dengan


(27)

sendirinya dari jalur yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dalam pergerakannya dari satu tempat ke tempat lainnya.

Menurut Shirvani (1985), elemen sirkulasi adalah salah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan sirkulasi adalah jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif, jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca selain itu sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Shirvani juga menyatakan bahwa jalur pejalan kaki yang baik adalah mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota, meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia, dan lebih mengekspresikan aktifitas pedagang kaki lima mampu menyajikan kualitas udara. Dengan kata lain jalur pejalan kaki yang di desain dengan baik dapat menciptakan kesan visual yang menarik pada suatu kota dan kualitas lingkungan yang baik.

Dari teori-teori diatas diharapkan dapat dikaji bagaimana jalur pejalan kaki yang dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab terhadap penghuninya dan dapat dipergunakan dengan baik oleh penggunanya.

1.6 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dari latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengkaji bagaimana jalur pejalan kaki di koridor jalan Ahmad Yani sampai jalur Putri Hijau Medan dalam upaya menciptakan ruang kota


(28)

yang akrab. Dari latar belakang tersebut kemudian ditemukan permasalahan-permasalahan yang kemudian dirumuskan untuk dicari penyelesaiannya dalam tujuan penelitian. Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan menjadi manfaat bagi pemerintah kota ataupun penelitian-penelitian lainnya yang sejenis. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut terlebih dahulu dianalisa data-data yang ada berdasarkan teori-teori kepustakaan yang telah dikaji dengan menggunakan metodologi penelitian untuk kemudian dihasilkan konsep atau saran-saran untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Untuk itu penulis mencoba membuat kerangka berpikir ke dalam bentuk gambar 1.1.


(29)

LATAR BELAKANG

Kajian terhadap jalur pejalan kaki di koridor jalan Ahmad Yani–jalan Putri Hijau Medan dalam upaya menciptakan ruang kota yang akrab.

KAJIAN PUSTAKA

Hasil kajian dari data-data sekunder yang di dapat yaitu berupa teori-teori dan standart-standart yang berkaitan dengan penelitian.

ANALISA

Dari data yang telah didapat dianalisa berdasarkan kajian pustaka yang ada dengan menggunakan metodologi penelitian untuk mendapatkan hasil tujuan yang diharapkan.

KONSEP / SARAN

Konsep dan saran yang telah didapat dari analisa diharapkan dapat menjadi manfaat.

PERMASALAHAN

-Bagaimana jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman?

-Bagaimana penataan jalur hijau dan perabot jalan yang baik dan dapat membuat jalur pejalan kaki menjadi menarik?

-Bagaimana jalur pejalan kaki yang dapat mengakomodasi aktifitas-aktifitas yang berada di jalur tersebut?

TUJUA

- mengetahui bag pejalan kaki yan mengakomodas penggunanya dar masyarakat - mengetahui bag

pejalan kaki yan nyaman sesuai d standart

- mengidentifikas masalah yang ter jalur pejalan kak Ahmad Yani (Kes dengan jalan Pu

MANF

-menjadi baha Pemerintah K penataan jalu -menjadi contoh a

dilakukan pene kawasan lain.

DATA-DATA

Data-data yang didapat dari data primer dan data sekunder.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian.


(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ruang Kota di Kawasan Pusat

Pusat kota merupakan tempat pertemuan semua unsur masyarakat, yang banyak mengundang segala macam aktifitas. Menurut Ir. Triarso dalam salah satu jurnalnya mengemukakan bahwa problem utama yang dihadapi suatu pusat kota adalah kesibukan yang berlebihan, banyaknya bangunan dan lalu lintas yang masuk pada area yang terbatas. Problem ruangnya adalah penyediaan floor space dan ruang untuk kendaraan (jalan, tempat parkir, pedestrian, pemberhentian bus, dan sebagainya).

Kawasan pusat kota adalah kawasan yang mengakomodir volume pejalan kaki yang lebih besar dibanding kawasan pemukiman. Ruang pejalan kaki di area ini dapat berfungsi untuk berbagai tujuan yang beragam. Tipe –tipe karakter jalan menguraikan tidak hanya parameter dasar dari jalan seperti jalur pejalan kaki dan jalur kendaraan bermotor, tetapi juga hubungan antara jalan dengan bangunan-bangunan dan detail-detail penting lainnya seperti pengaturan parkir, tumbuh-tumbuhan dan penerangan jalan.

Pada skala kota, ruang publik dapat berupa jalur sirkulasi yang mewadahi pergerakan orang atau berupa taman-taman kota yang sifatnya sangat publik. Pada dasarnya orang-orang melakukan aktifitas pada ruang publik ini adalah untuk


(31)

berinteraksi satu sama lain walaupun pertemuan diantara mereka yang sifatnya insidental.

Shirvani (1985) mengemukakan bahwa ruang kota, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial. Ruang publik kota pada hakekatnya adalah ruang yang dapat dimasuki dan digunakan oleh siapa saja tanpa ada syarat untuk memasukinya. Sebagai wilayah milik publik, ruang publik kota akan digunakan oleh seluruh warga kota secara “bebas” dan “adil” tanpa membedakan satu warga dengan warga yang lainnya.

2.1.1 Ruang kota yang akrab, aman, dan nyaman

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Carr (1992) menyatakan bahwa salah satu hal yang dibutuhkan manusia di dalam ruang publik adalah kenyamanan (comfort) secara fisik maupun mental, misalnya dimana orang semakin sadar akan bahaya dari dampak sinar matahari secara langsung, penyediaan tempat yang teduh menjadi suatu hal yang penting. Kenyamanan dapat dipergunakan sebagai salah satu indikator rentang waktu keberadaan seseorang pada suatu tempat. Untuk mencapai tujuan kenyamanan ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu keamanan (security) dan keselamatan (safety).

Suatu hal yang sangat tragis dimana justru kepentingan aktifitas manusia di jalan sebagai ruang kota tidak diperhatikan seperti: kenyamanan, keamanan, kesehatan pejalan kaki, demikian dikatakan Jacobs (1961). Dapat dikatakan juga


(32)

kota yang bersahabat adalah “City for all” atau kota untuk semua: miskin–kaya, tua–muda, sehat–sakit, mampu–cacat, dll.

Sebagai kebalikannya kota yang tidak bersahabat adalah kota yang secara langsung maupun tidak langsung meminggirkan manusianya, kota telah berubah menjadi sebuah mesin besar yang merongrong kenyamanan, kemakmuran, kesehatan dan keamanan manusia. Sucher (1995) mengatakan “Manusia adalah alat ukur dari dunia, sehingga kenyamanan manusia adalah ukuran keberhasilan sebuah kota”.

Ruang kota yang bersahabat harus ditujukan bagi representasi kepentingan masyarakat kota sehari-hari dimana sebagai sebuah ruang kota, ruang - ruang yang dinamis diisi dengan kelengkapan bagi kegiatan rutin kehidupan, kelengkapan untuk bergerak, kelengkapan tempat untuk berkomunikasi dan lahan untuk tempat bermain dan berekreasi. Makna kota yang akrab (friendly city) dibentuk melalui spirit of place dari karakter yang menonjol, melalui kualitas-kualitas yang melingkupinya dan aktivitas yang berlangsung di dalamnya serta mempunyai fungsi yang akomodatif sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya yang divisualisasikan melalui nilai-nilai arsitektural. Sebuah ruang kota yang akrab juga merupakan tampat bernaung bagi pejalan kaki, tempat duduk untuk bersantai, patung, pahatan, air mancur, tempat bermain anak-anak, tempat makan di ruang terbuka, paving dan pengaruh sinar lampu di malam hari yang menarik.

Dari bahan ajar pada program Magister Teknik Arsitektur USU mengenai Sustainable City dan Friendly City dikatakan bahwa penciptaan suatu ruang kota


(33)

yang akrab sebagai sebuah pendekatan perencanaan suatu kawasan di pusat kota yang luas harus memiliki dasar-dasar yang digunakan dalam teori merencana suatu kawasan pusat kota, yaitu:

a. Mengakomodasikan kegiatan/fungsi campuran (multi-use) merupakan dasar suatu perencanaan kawasan pusat kota yang vital dan optimal, sesuai dengan prinsip-prinsip perencanaannya. Kegiatan/fungsi campuran yang diakomodasikan dalam sebuah kawasan multi-use dengan fungsi dan jenis fungsi publik yang masuk dalam lingkup fasilitas publik, transportasi publik, tempat rekreasi umum.

b. Upaya mengakomodasikan kegiatan masyarakat dalam suatu “wadah” yang responsif, demokratis dan bermakna melalui upaya pengintegrasian antara bangunan-bangunan dan ruang kota yang memiliki hubungan pembentukan yang timbal balik dalam pengertian ruang terbuka dibentuk oleh bangunan dan sebaliknya bangunan dibentuk oleh ruang terbuka, bukan salah satu merupakan bagian yang diutamakan

c. Pembangunan yang baru harus mengenali konteks kota lama yang tercermin melalui struktur dan konstruksi kotanya

d. Tujuan utama dari pembentukan ruang publik adalah menjadikan ruang kota sebagai ruang kota akrab yang hidup (live able). Ruang kota ini tidak hanya meliputi ruang luar seperti park/plaza tetapi juga bangunan dan ruang-ruang di dalamnya yang diperuntukkan bagi publik


(34)

e. Sistem transportasi harus rasional dan jalan harus dapat mengakomodasikan berbagai masam bentuk transit dan meningkatkan kegiatan pedestrian serta pergerakannya

f. Ruang kota harus bervariasi dan dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan yang terkait di sekitarnya: perumahan, perbelanjaan, pedagang eceran, masyarakat dan seterusnya.

g. Masyarakat harus ikut berperan serta/diikut sertakan dalam membentuk ruang-ruang kota

2.2 Pejalan kaki

Berjalan adalah merupakan bagian dari kegiatan-kegiatan yang saling melengkapi seperti melihat-lihat, menikmati pemandangan atau berbincang-bincang dengan orang-orang. Menurut Mougthin (2003), secara keseluruhan, semuanya tidak terlihat jauh dari kenyataan bahwa kebebasan seseorang dapat berjalan-jalan dan melihat sekeliling adalah petunjuk yang sangat berguna bagi kualitas peradaban pada sebuah area perkotaan.

Menurut Giovanny (1977), berjalan merupakan salah satu sarana transportasi yang dapat menghubungkan antara satu fungsi di suatu kawasan dengan fungsi lainnya. Sedangkan menurut Fruin (1979), berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu–satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda–moda angkutan yang


(35)

lain. Sedangkan Rusmawan (1999) mengemukakan bahwa, dalam hal berjalan termasuk juga di dalamnya dengan menggunakan alat bantu pergerakan seperti tongkat maupun tuna netra termasuk kelompok pejalan. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pejalan akan mengurangi minat orang untuk melakukan aktifitasnya dan berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan interaksi tatap muka dalam aktifitas komersial yang pada akhirnya berdampak pada terganggunya kehidupan kawasan secara keseluruhan. Menurut Gideon (1977), berjalan kaki merupakan sarana transportasi yang menghubungkan antara fungsi kawasan satu dengan yang lain terutama kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan permukiman, dengan berjalan kaki menjadikan suatu kota menjadi lebih manusiawi.

Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3–4 km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. jarak 0,5 km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman, namun lebih dari itu orang akan memilih berjalan kaki. Pada buku Manual for the Street yang dikeluarkan oleh Departement for Transport London dikatakan bahwa pejalan kaki dapat berjalan dengan tujuan atau melakukan aktifitas lainnya seperti bermain, bersosialisasi, berbelanja atau hanya duduk-duduk.

Menurut Bromley dan Thomas (1993), ada dua karakteristik pejalan yang perlu diperhatikan jika dikaitkan dengan pola perilaku pejalan, yaitu:


(36)

Dipahami sebagai dimensi manusia dan daya gerak, keduanya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penggunaan ruang pribadi dan penting untuk memahami kebutuhan-kebutuhan pejalan.

b. Secara Psikis

Karakteristik ini berupa preferensi psikologi yang diperlukan untuk memahami keinginan pejalan ketika melakukan aktivitas berlalu lintas. Kebutuhan ini berkaitan dengan berkembangnya kebutuhan pejalan pada kawasan yang tidak hanya untuk berbelanja, tetapi juga sebagai kegiatan rekreasi, sehingga harus mempunyai persyaratan mendasar yang dimiliki kawasan yaitu maximum visibility, accessibility dan security. Pejalan kaki lebih suka menghindari kontak fisik dengan pejalan kaki lainnya dan biasanya akan menjadi ruang pribadi yang lebih luas.

Dari teori diatas dapat diartikan bahwa berjalan kaki merupakan aktifitas bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dan diharapkan bisa menikmati suasana di sepanjang jalan yang dilalui serta merupakan salah satu sarana untuk bersosialisasi dengan sesama para pejalan kaki sehingga berjalan kaki menjadi suatu aktifitas yang menyenangkan. Untuk melakukan aktifitas tersebut maka diperlukan jalur untuk berjalan kaki yang aman dan nyaman serta suasana yang akrab dengan para pejalan kaki.


(37)

2.3 Makna Jalur Pejalan Kaki

Moughtin (2003) mengatakan bahwa jalan bukan hanya berarti akses tetapi juga tempat untuk ekspresi sosial. Jalan dan sisi jalan, ruang publik utama dari sebuah kota, adalah organ vital yang sangat penting. Jika kita berpikir tentang sebuah kota dan apa yang ada di pikiran kita? Jalan–jalan. Jika jalan–jalan di sebuah kota terlihat menarik, maka kota tersebut juga akan terlihat menarik. Begitu juga jika jalan terlihat buruk maka kota juga akan terlihat buruk. Sebagai sebuah penghubung, jalan menfasilitasi pergerakan manusia sebagai pejalan kaki atau kendaraan bermotor dan juga perpindahan barang untuk diteruskan ke pasar yang lebih luas. Jalur pejalan kaki juga dipergunakan oleh pemakai kursi roda dan orang-orang yang membawa kereta dorong bayi. Jalur pejalan kaki digunakan oleh semua masyarakat berbagai umur, ukuran, dan kemampuan. Sedangkan pada buku Manual for the Street juga dikatakan bahwa desain dari jalur tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan yang luas sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan anak-anak dan masyarakat dengan keterbatasan fisik.

Menurut Shirvani (1985), salah satu elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota adalah jalur pejalan kaki. Dimana jalur pejalan kaki yang baik adalah mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota, meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia, lebih mengekspresikan aktifitas pedagang kaki lima dan mampu menyajikan kualitas udara.


(38)

Baik Shirvani (1985) maupun Linch (1960) mengemukakan bahwa pedestrian bagian dari ruang publik dan merupakan aspek penting sebuah ruang kota, baik berupa lapangan (ruang terbuka) maupun jalan/koridor. Pada modul 1a mengenai Peran Transportasi dalam kebijakan perkembangan perkotaan dikatakan bahwa pentingnya ruang untuk pejalan kaki tidak dapat diukur dan tidak dapat dibuktikan secara matematis bahwa trotoar yang lebih lebar, jalur khusus pejalan kaki dan jumlah taman yang indah akan dapat membuat orang merasa lebih bahagia.

Menurut Utermann (1984) mendefinisikan berbagai macam jalur pejalan kaki diruang luar bangunan menurut fungsi dan bentuk. Menurut fungsi adalah sebagai berikut:

a. Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum (Sidewalk atau trotoar) biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan sehingga diperlukan fasilitas yang aman terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan.

b. Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi/menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu jalur penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk aktivitas ini diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway, dan subway.


(39)

c. Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi waktu luang yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku–bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plaza pada taman–taman kota.

d. Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan sekaligus berjalan sambil melihat etalase pertokoan yang biasa disebut mall.

e. Footpath atau jalan setapak, jalan khusus pejalan kaki yang cukup sempit dan hanya cukup untuk satu pejalan kaki.

f. Alleyways atau pathways (gang) adalah jalur yang relatif sempit di belakang jalan utama, yang terbentuk oleh kepadatan bangunan, khusus pejalan kaki karena tidak dapat dimasuki kendaraan.

Sedangkan menurut bentuk adalah sebagai berikut:

a. Arkade atau selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding pembatas disalah satu sisisnya.

b. Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu c. Jalan pejalan kaki tidak terlindungi/tidak beratap.

Menurut Carr (1992) dan Rubeinstein (1992) membedakan tipe pedestrian sebagai berikut:


(40)

a. Pedestrian sisi jalan. Bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang sedang berjalan kaki menyusun jalan yang satu yang berhubungan dengan jalan lain. Letaknya berada di kiri dan kanan jalan.

b. Mal Pedestrian. Suatu jalan yang ditutup bagi kendaraan bermotor, dan diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut biasanya dilengkapi dengari asesoris kota seperti pagar, tanaman, dan berlokasi dijalan utama pusat kota.

c. Mal Transit. Pengembangan pencapaian transit untuk kendaraan umum pada penggal jalan tertentu yang telah dikembangkan sebagai pedestrian area. d. Jalur Lambat. Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan

desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lamban, disamping dihiasi dengan tanaman sepanjang jalan tersebut atau jalur jalan sepanjang jalan utama yang khusus untuk pejalan kaki dan kendaraan bukan bermotor.

e. Gang Kecil. Gang-gang kecil ini merupakan bagian jaringan jalan yang menghubungkan ke berbagai elemen kota satu dengan yang lain yang sangat kompak. Ruang publik ini direncanakan dan dikemas untuk mengenal lingkungan lebih dekat lagi.

Carr dan kawan-kawan (1992), mengartikan jalur pedestrian (pedestrian sidewalks/trotoar) adalah bagian dari kota , dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya disepanjang sisi jalan yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya


(41)

yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Dengan kata lain jalur pedestrian dari segi perencanaannya terbagi dua yaitu yang terencana dan tidak terencana. Jalur pedestrian yang terencana terbentuk dari jalur pedestrian yang memang telah direncanakan untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain yang dibutuhkan oleh pejalan kaki. Sedangkan jalur pedestrian yang tidak terencana terbentuk dengan sendirinya dari jalur yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dalam pergerakannya dari satu tempat ke tempat lainnya.

2.3.1 Jalur pejalan kaki yang akrab (friendly)

Perencanaan jalur pejalan kaki sebaiknya berfungsi untuk menfasilitasi pejalan kaki dari satu tempat ke tempat lain dengan berkesinambungan, lancar, selamat, aman dan nyaman. Selain itu rencana jalur pejalan kaki harus dapat mengakomodasi pejalan kaki baik dewasa maupun anak-anak dan juga penyandang cacat. Sehingga dapat menciptakan sebuah kota yang akrab terhadap pengguna jalur pejalan kaki atau pedestrian.

Bentuk yang tepat dari pemisahan kendaraan bermotor dan pejalan kaki dikondisikan oleh fungsi jalan tersebut. Padahal pembagian yang jelas antara kendaraan bermotor dan pejalan kaki dapat membantu dalam perkembangan dari aktifitas jalan. Banyak jalur-jalur pejalan kaki di pusat kota di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya sangat sukses. Kesuksesan dari jalur pejalan kaki tersebut tergantung kepada atraksi-atraksi yang beraneka ragam yang disuguhkan sehingga banyak jalur pejalan kaki yang selalu diingat. Salah satu masalah bagi perencana


(42)

adalah jalur pejalan kaki berintegrasi dengan parkir kendaraan bermotor. Menurut Mougthin (2003) bahwa pembedaan antara jalur pejalan kaki dengan jalur lalu lintas padat adalah sangat penting.

Sedangkan menurut Burton (2006) bahwa keakraban menunjuk kepada besaran jalan yang dapat dikenali oleh orang jompo dan mudah dimengerti oleh mereka. Jalan yang akrab adalah yang tersusun dan dibuat dengan bentuk, ruang terbuka, bangunan-bangunan dan perangkat-perangkat yang akrab dengan para penggunanya. Jalan yang akrab kemungkinan diletakkan dimana:

a. Jalan–jalan ruang terbuka dan bangunan-bangunan lama didirikan. b. Perubahan dalam skala kecil dan bertambah.

c. Pengembangan baru dan gabungan dari bentuk lokal, style, warna, dan material.

d. Ada hirarki tipe-tipe jalan, termasuk jalan utama, sisi jalan, gang dan trotoar. e. Tempat-tempat dan bangunan-bangunan di desain akrab mudah diingat oleh

masyarakat yang melewatinya.

f. Bagian-bagian arsitektur dan perabot jalan yang didesain akrab agar mudah diingat oleh penggunanya.

Dari beberapa studi yang sudah dilakukan terkait jalur pedestrian, Nurdiani (2005) ada beberapa prinsip perancangan yang harus dipertimbangkan untuk mendesain jalur pedestrian yang baik

a. Berfungsi dengan baik sebagai jalur pejalan kaki. :


(43)

b. Memberi perlindungan dan keamanan bagi pejalan kaki. c. Memberikan kemudahan pada pejalan kaki.

d. Menghubungkan dengan baik satu tempat dengan tempat lain. e. Memberi kenyamanan saat berjalan bagi pejalan kaki.

f. Memberi ruang yang cukup luas untuk berjalan kaki, baik saat sendiri atau apabila harus berhadapan dengan pejalan kaki dari arah berlawanan.

g. Peduli atau perhatian pada budaya pengguna jalur pedestrian (pejalan kaki). h. Peduli terhadap pejalan kaki yang memiliki keterbatasan (penyandang

cacat).

i. Memperhatikan iklim setempat (misal pada iklim tropis; rimbunnya pepohonan membantu melindungi pejalan kaki dari teriknya matahari atau rintiknya hujan).

j. Merespon terhadap konteks lingkungan dimana jalur pedestrian tersebut berada. Jalur pedestrian dapat dirancang mengikuti tema kawasan/lingkungan.

Menarik atau atraktif dalam membuat rancangan jalur pedestrian dimana permukaan bidang jalur pedestrian dapat dibuat pola-pola tertentu. Pada beberapa tempat diberi ruang-ruang untuk beristirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan dengan pola yang berbeda sehingga tidak membosankan.

Menurut Fruin (1979) pengembangan fasilitas untuk jalur pejalan adalah keamanan, keselamatan dan perbaikan gambaran terhadap fisik sistem untuk dapat


(44)

meningkatkan kenyamanan, keamanan, kesenangan, kesinambungan, kelengkapan dan daya tarik. Orang lebih memilih berjalan di pinggir atau bahkan di badan jalan, menggunakan kendaraan yang pada akhirnya dapat mengurangi Level Of Service (LOS) jalan.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep pengembangan fasilitas pejalan kaki yang akrab, sebagai berikut (Uterman, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993):

a. Keselamatan (safety), diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan)

b. Keamanan (security), terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi.

c. Kenyamanan (comfort), mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. d. Kenikmatan (convenience), diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar,

lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan. e. Keindahan (aesthetics), berkaitan dengan trotoar dan lingkungan


(45)

Jacobs (1995) secara gamblang menyatakan jalan yang masuk dalam klasifikasi 'great streets', biasanya selalu memiliki kualitas spasial istimewa dan umumnya sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial dan beraktivitas urban yang sehat. Di ruas-ruas ruang publik tersebut, warga kota tidak ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya membeli susu dan koran pagi, berjalan mengamati pajangan di kaca-kaca toko, bergurau santai di kafe-kafe pinggir jalan ataupun duduk makan siang sambil mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar jalan. Kriteria untuk jalan yang baik menurut Jacobs (1995) adalah sebagai berikut:

a. Dapat menciptakan sebuah komunitas: memfasilitasi tindakan manusia dalam bersosialisasi

b. Aman dan nyaman: membuat masyarakat betah dan tidak merasa takut c. Mendorong partisipasi: menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab

pada lingkungan jalan, termasuk ikut serta untuk merawatnya d. Dapat diingat: memberikan kesan dan kenangan.

e. Representative: dapat menjadi contoh tipe yang baik, untuk itu kriteria diatas harus mampu dipadukan dan juga memiliki nilai seni.

Selain itu diperlukan kualitas fisik tertentu untuk dapat menjadi great street: a. Tempat yang nyaman untuk orang berjalan (place for people to walk with

some leisure). Orang dapat berjalan dengan mudah dan aman, jelas dan mudah dalam pencapaian.


(46)

b. Kenyamanan fisik (physical comfort). Jalan yang baik adalah jalan memberikan kenyamanan dan perlindungan terhadap iklim.

c. Definisi (definition). Mampu berkomunikasi dan memberikan definisi terhadap jalan tersebut. Jalan didefinisikan menjadi 2: vertikal (ketinggian bangunan, tembok dan pepohonan), horisontal (lebar jalan, jarak, dan lantai). Jalan yang baik mampu memadukan unsur vertikal dan horisontal dalam sebuah proporsi yang harmonis, skala manusia, dan ruang antar bangunan

d. Kualitas yang melibatkan pandangan mata (qualities that engage the eyes). Mata akan tertarik pada suatu yang bergerak dan mengalami perubahan. Jalan yang baik mampu menarik pandangan mata seperti adanya bayangan dari perbedaan permukaan bangunan, bayangan dan pertumbuhan pohon, pergerakan dan pengguna jalan, warna dan pemanfaatan cahaya, dan detail bangunan.

e. Transparansi (transparency). Dimana sisi publik dan semi publik yang ada pada jalan dapat bertemu dengan sisi privat dari bangunan. Orang dapat melihat, merasakan dan mengetahui apa yang ada dibaliknya.

f. Komplementaritas (complementarity). Adanya keterpaduan dan rasa menghormati antar bangunan pada suatu jalan. Jalan yang baik umumnya memiliki ketinggian bangunan yang hampir sama.

g. Perawatan (maintenance). Untuk menjaga jalan tetap bersih, lancar dan tidak berlubang, maka sangat penting untuk perawatan terhadap


(47)

pepohonan, material, bangunan, dan semua bagian jalan. Untuk itu diperlukan pemakaian material yang relatif mudah untuk dirawat dan harus ada kepedulian pada elemen jalan yang bersejarah.

h. Kualitas konstruksi dan desain (quality of construction and design). Adanya kualitas yang baik dalam material, keahlian pembuatan, dan disain. Disamping hal tersebut kualitas juga akan dipengaruhi oleh uang/ biaya yang ada.

Sedangkan beberapa kualitas lainnya yang mempengaruhi jalan menurut Jacob (1995) adalah:

a. Pepohonan; Selain menghasilkan oksigen dan peneduh untuk memberikan kenyaman, pohon juga dapat sebagai pembatas dan pengaman. Jarak antar pohon yang baik adalah 15 kaki sampai 25 kaki, pada tikungan berjarak 40 atau 50 kaki.

b. Awal dan akhir; Sangat diperlukan penataan awal dan akhir dari jalan. Kesan yang kuat akan terasa pada awal dan akhir jalan.

c. Keanekaragaman bangunan; Bangunan akan membentuk garis vertikal jalan, ukuran dan skala. Banyaknya bangunan akan memberikan keberagaman fasade dan keberagaman aktifitas.

d. Detail: fitur desain khusus; Kulitas detail: gerbang, air mancur, tempat duduk, kios, paving, petanda, kanopi, lampu jalan akan memberikan pengaruh pada kualitas jalan.


(48)

e. Tempat; Jalan memiliki persimpangan, plaza kecil, taman, pelebaran, dan ruang terbuka yang sangat penting untuk menikung/berbelok dan memutar arah, menyediakan tempat untuk berhenti sejenak dan memberikan titik acuan pada jalan.

f. Aksesibilitas; Tujuan utama adalah sebagai akses dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jalan yang baik memiliki akses yg mudah dan aman dan nyaman bagi pejalan kaki, kendaraan dan penyandang cacat.

g. Kepadatan; Dalam mendisain dan membangun kita harus memperhatikan kepadatan yg terbentuk dan peruntukan lahan yang ada. Kepadatan yang dimaksud disini adalah kepadatan aktifitas orang, yang membentuk komunitas.

h. Keberagaman; Jalan yang baik memiliki keberagaman aktifitas, adanya mix uses dan keberagaman fungsi dan peruntukan di dalamnya.

i. Panjang; Terdapat fokal poin yang spesial seperti patung/tugu/monumen, dan bangunan yang special.

j. Landai; Memberikan kenyamanan bagi penyandang cacat, orang tua, ibu dan anak kecil.

k. Parkir; Jalan yang baik tidak diperuntukan untuk parkir kendaraan dalam jumlah banyak.

l. Kontras; Kontras pada disain akan akan memberikan perbedaan bentuk dan ukuran dimana hal tersebut dapat menarik perhatian dan menjadikannya spesial.


(49)

m. Waktu; Mampu menghadapi perubahan waktu dan jaman, dengan berbagai keberagaman dan terus berkembang serta memiliki nilai sejarah.

2.3.2 Keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki

Dalam usaha untuk mendorong dan menfasilitasi pejalan kaki, pejalan kaki ingin merasa aman. Dalam buku Manual for the Street dikatakan bahwa pejalan kaki secara umum merasa aman dari kejahatan dimana:

a. Rutinitas mereka terlihat secara keseluruhan dari dalam bangunan-bangunan di pinggir jalan.

b. Masyarakat lain juga menggunakan jalan tersebut.

c. Disana tidak ada tanda-tanda aktifitas anti sosial (seperti: vandalisme, graffiti,dan lain sebagainya)

d. Mereka tidak dapat dikejutkan (contoh pada sudut yang gelap)

e. Mereka tidak dapat diculik (contoh orang-orang dapat merasa gugup jika berada di tempat dengan banyak pintu masuk dan keluar seperti jalur subway)

f. Ada pencahayaan yang baik.

Material untuk permukaan yang digunakan pada jalur pejalan kaki harus rata dan bebas dari sandungan-sandungan. Di dalam buku Manual for the Street juga dikemukakan bahwa permukaan yang tidak biasa seperti batu kerikil adalah pembatas dari beberapa jalur pejalan kaki dan tidak disukai untuk digunakan pada


(50)

area permukiman. Utermann (1984) juga mengemukakan bahwa salah satu hal yang dapat menciptakan rasa aman pada jalur pejalan kaki adalah jalur pejalan kaki tersebut memiliki permukaan yang rata. Dengan kata lain pemilihan bahan untuk jalur pejalan kaki perlu direncanakan dengan baik agar tidak mengganggu pejalan kaki dan aman untuk digunakan.

Menurut Rapoport (1971) prinsip perancangan jalur pedestrian yang dapat menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi penggunanya adalah harus aman dan melindungi bagi pejalan kaki, menghubungkan dengan baik antara satu tempat ke tempat lain, bebas hambatan dan memiliki akses langsung serta mudah dicapai oleh semua pejalan kaki, dirancang dengan baik dan cukup atraktif. Dari teori tersebut dapat diperoleh masukan bahwa dengan merencanakan jalur pejalan kaki yang baik dapat membuat penggunanya merasa aman dan nyaman berjalan di jalur pedestrian tersebut. Sehingga akan banyak orang yang menggunakan jalur pedestrian dalam aktifitas sehari-hari.

Aspek keselamatan diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan) sedangkan untuk aspek keamanan dimana jalur pejalan kaki tersebut terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi.

Dari aspek keselamatan berjalan di jalur pejalan kaki bisa dilihat dari fasilitas prasarana dan sarananya. Utermann (1984) mengemukakan bahwa jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang adalah untuk menghindari konflik


(51)

dengan moda angkutan lain, selain itu untuk aktivitas tersebut diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway (jembatan penyeberangan) dan subway (terowongan). Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum diatur sebaiknya keberadaan jalur pejalan kaki tidak menimbulkan konflik dengan lalu lintas kendaraan atau peruntukkan lainnya, jika berpotongan dengan jalur lalu lintas kendaraan harus dilengkapi rambu dan marka atau lampu yang menyatakan peringatan/petunjuk bagi pengguna jalan, koridor jalur pejalan kaki (selain terowongan) sebaiknya mempunyai jarak pandang yang bebas ke semua arah, selain itu dalam hal perencanaannya juga harus memperhatikan lebar lajur dan spesifikasi teknik bagi penyandang cacat.

2.3.2.1 Drainase

Drainase sebagai salah satu fasilitas sarana ruang pejalan kaki dapat juga menciptakan keselamatan penggunanya jika direncanakan dengan baik. Drainase terletak berdampingan atau dibawah dari ruang pejalan kaki. Drainase berfungsi sebagai penampung dan jalur aliran air pada ruang pejalan kaki. Keberadaan drainase akan dapat mencegah terjadinya banjir dan genangan-genangan air pada saat hujan. Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum diatur bahwa dimensi minimal adalah lebar 50 centimeter dan tinggi 50 centimeter. Sedangkan pada buku Manual for the Street dikatakan bahwa hal yang


(52)

paling penting dalam merencanakan drainase adalah peletakkannya terhadap jalan dan dampak yang mungkin muncul akibat drainase tersebut. Saluran drainase direncanakan untuk menampung air kotor dari bangunan-bangunan di sepanjang jalan.

2.3.2.2 Pagar Pengaman

Fasilitas sarana ruang pejalan kaki lainnya yang dapat memberi keselamatan bagi penggunanya adalah pagar pengaman. Carr (1992) membedakan jalur pejalan kaki ke dalam beberapa tipe, salah satunya adalah Mall Pedestrian dimana memerlukan fasilitas pagar pengaman terutama jika terletak di jalan utama pusat kota. Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum diatur bahwa pagar pengaman diletakan pada jalur amenitas. Pada titik tertentu yang berbahaya dan memerlukan perlindungan dengan tinggi 90 centimeter, dan bahan yang digunakan adalah metal/beton yang tahan terhadap cuaca, kerusakan, dan murah pemeliharaannya. Pagar pengaman juga dapat didesain dengan menarik. Sedangkan pada buku Manual for the Street dikemukakan bahwa pagar pengaman secara umum dibuat untuk menghindari pengendara kendaraan bermotor yang tidak bertanggung jawab, bentuk pagar pengaman seperti terlihat pada gambar 2.1.


(53)

Gambar 2.1 Pagar Pengaman

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan

2.3.2.3 Marka dan perambuan

Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum mengatur tentang marka dan perambuan, informasi (signage) yang diletakan pada jalur amenitas, pada titik interaksi sosial, pada jalur dengan arus pedestrian padat, dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan terbuat dari bahan yang memiliki durabilitas tinggi, dan tidak menimbulkan efek silau. Marka dan perambuan juga dapat menciptakan lingkungan yang informatif sehingga memudahkan pemakai ruang publik berorientasi dan bersirkulasi di dalam lingkungan tersebut. Peletakan perambuan berada di tempat terbuka, ketinggiannya sejajar dengan kondisi jalan serta tidak tertutup pepohonan. Lebih efisien dan mudah dibaca jika dilengkapi dengan lampu penerangan.

Lynch (1984) mengemukakan bahwa marka dan perambuan yang dirancang dengan baik dapat memberikan kualitas yang ramah bagi pejalan kaki karena marka dan perambuan tersebut dapat sebagai iklan suatu usaha ataupun tanda akan suatu tempat sehingga memberikan sense of belonging.


(54)

2.3.2.4 Penyeberangan dan Marka untuk Penyeberangan

Fasilitas prasarana ruang pejalan kaki juga dapat dimasukkan dalam usaha keselamatan bagi penggunanya. Fasilitas prasarana tersebut berupa penyeberangan dan marka untuk penyeberangan. Penyeberangan sendiri terdiri dari penyeberangan sebidang, tidak sebidang, di tengah ruas dan dipesimpangan.

Untuk penyeberangan sebidang atau At Grade terdiri dari dua jenis yaitu penyeberangan zebra dan penyeberangan pelikan. Penyeberangan zebra dipasang di kaki persimpangan tanpa alat pemberi isyarat lalu lintas atau di ruas jalan. Apabila persimpangan diatur dengan lampu pengatur lalu lintas, pemberian waktu penyeberangan bagi pejalan kaki menjadi satu kesatuan dengan lampu pengatur lalu lintas persimpangan sedangkan apabila persimpangan tidak diatur dengan lampu pengatur lalu- lintas, maka kriteria batas kecepatan kendaraan bermotor adalah <40 km/jam. Sedangkan penyeberangan Pelikan dipasang pada ruas jalan, minimal 300 meter dari persimpangan, atau pada jalan dengan kecepatan operasional rata-rata lalu lintas kendaraan >40 km/jam.

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum dikatakan bahwa Penyeberangan tidak sebidang terdiri dari dua macam yaitu elevated (jembatan) dan underground (terowongan). Elevated (jembatan) digunakan apabila jenis jalur penyeberangan tidak dapat menggunakan penyeberangan zebra, penyeberangan pelikan sudah menganggu lalu lintas kendaraan yang ada. Berada pada ruas jalan dengan frekuensi terjadinya


(55)

kecelakaan pejalan kaki yang cukup tinggi. Serta pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dengan kecepatan tinggi dan arus pejalan kaki yang cukup ramai. Jalur yang melandai harus disediakan untuk seluruh tempat penyeberangan bagi pejalan kaki baik di atas jalan maupun di bawah jalan. Jika diperlukan, maka dapat disediakan tangga untuk mencapai tempat penyeberangan. Underground (terowongan) digunakan apabila jenis jalur penyeberangan dengan menggunakan elevated (jembatan) tidak dimungkinkan untuk diadakan. Lokasi lahan atau medan memungkinkan untuk dibangun underground/terowongan.

Untuk kawasan perkotaan, yang terdapat jarak antar persimpangan cukup panjang, maka dibutuhkan penyeberangan di tengah ruas agar pejalan kaki dapat menyeberang dengan aman. Lokasi yang dipertimbangkan untuk penyeberangan ditengah ruas harus dikaji terlebih dahulu. Pertimbangan dalam penentuan lokasi penyeberangan di tengah ruas, antara lain:

a. Lokasi penyeberangan memungkinkan untuk mengumpulkan atau mengarahkan pejalan kaki menyeberang pada satu lokasi.

b. Merupakan lokasi untuk rute yang aman untuk berjalan kaki bagi anak sekolah.

c. Kawasan dengan konsentrasi pejalan kaki yang menyeberang cukup tinggi (seperti permukiman yang memotong kawasan pertokoan atau rekreasi atau halte yang berseberangan dengan permukiman atau perkantoran).


(56)

d. Rambu-rambu peringatan harus dipasang sebelum lokasi untuk memperingatkan pada pengendara bermotor akan adanya aktifitas penyeberangan.

e. Penyeberangan dan rambu-rambu harus memiliki penerangan jalan yang cukup.

f. Penyeberangan harus memiliki jarak pandang yang cukup baik bagi pengendara bermotor maupun pejalan kaki.

g. Pada lokasi dengan arus lalu lintas 2 (dua) jalur, perlu disediakan median pada lokasi penyeberangan, sehingga penyeberang jalan cukup berkonsentrasi pada satu arah saja.

Hal-hal yang harus dihindari pada jalur penyeberangan di tengah ruas jalan, khususnya yang tidak bersinyal adalah:

a. Harus terletak <90 meter dari sinyal lalu lintas, dimana pengendara bermotor tidak mengharapkan adanya penyeberang.

b. Berada pada jarak 180 meter dari titik penyeberangan yang lain, kecuali pada pusat kota/Central Bussiness District (CBD) atau lokasi yang sangat memerlukan penyeberangan.

c. Pada jalan dengan batasan kecepatan di atas 72 km/jam

Hal-hal yang harus diperhatikan untuk penyeberangan di persimpangan adalah sebagai berikut: terdapat alat pemberi isyarat lalu lintas yang berfungsi


(57)

menghentikan arus lalu lintas sebelum pejalan kaki menyeberangi jalan atau alat yang memberi isyarat kepada pejalan kaki kapan saat yang tepat untuk menyeberang jalan. Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum diatur bahwa jika penyeberangan di persimpangan memiliki permasalahan yang cukup kompleks antara lain dengan interaksi dari sistem prioritas, volume yang membelok, kecepatan, jarak penglihatan, dan tingkah laku pengemudi, maka pada suatu fase yang terpisah bagi pejalan kaki dapat diterapkan alat pemberi isyarat lalu lintas, dengan memperhatikan hal–hal sebagai berikut:

a. Arus pejalan kaki yang menyeberangi setiap kaki persimpangan lebih besar dari 500 orang/jam.

b. Lalu lintas yang membelok kesetiap kaki persimpangan mempunyai jarak waktu (headway) rata-rata kurang dari 5 detik, tepat pada saat lalu lintas tersebut bergerak dan terjadi konflik dengan arus pejalan kaki.

Marka jalan untuk penyeberangan pejalan kaki dinyatakan dalam bentuk zebra cross. Zebra cross, yaitu marka berupa garis-garis utuh yang membujur tersusun melintang jalur lintas. Ketentuan teknis yang mengatur tentang marka penyeberangan pejalan kaki adalah sebagai berikut:

a. Garis membujur tempat penyeberangan orang harus memiliki lebar 0,30 meter dan panjang sekurang-kurangnya 2,50 meter.


(58)

b. Celah di antara garis-garis membujur mempunyai lebar sama atau maksimal 2 (dua) kali lebar garis membujur tersebut.

c. Dua garis utuh melintang tempat penyeberangan pejalan kaki memiliki jarak antar garis melintang sekurang-kurangnya 2,5 meter dengan lebar garis melintang 0,30 meter.

d. Tempat penyeberangan orang ditandai dengan zebra cross.

e. Apabila arus lalu lintas kendaraan dan arus pejalan kaki cukup tinggi, tempat penyeberangan orang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu lintas.

Selain itu Utermann (1984) juga mengemukakan bahwa zebra cross terletak di setiap 100 kaki pada suatu jalur pejalan kaki.

2.3.2.5 Lampu penerangan

Fasilitas lain yang dapat didesain dengan menarik adalah lampu penerangan. Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum dikemukakan bahwa lampu penerangan selain dapat menciptakan rasa aman juga dapat menimbulkan keindahan jika didesain dengan menarik. Lampu penerangan diletakkan pada jalur amenitas, terletak setiap sepuluh meter dengan tinggi maksimal empat meter dan bahan yang digunakan adalah bahan dengan


(59)

durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak, bentuk lampu penerangan kurang lebih seperti terlihat pada gambar 2.2.

Pada Manual of the Street juga diatur bahwa tiang-tiang lampu penerangan beserta lampu penerangan harus terhindar dari vandalime dan diletakkan pada lokasi yang terhindar dari kendaraan bermotor. Selain itu lampu penerangan dapat mengurangi kecelakaan pada malam hari dan membuat pengguna jalan merasa aman jika berjalan pada malam hari. Lampu penerangan harus direncanakan berintegrasi dengan layout jalan, persimpangan dan memperhatikan pertumbuhan tanaman atau pepohonan.

Gambar 2.2 Lampu penerangan

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan

Peletakannya direncanakan dengan baik sehingga dapat memberikan penerangan yang merata, aman dan nyaman bagi pengguna jalan serta memberikan arah dan petunjuk yang jelas. Sedangkan menurut Jacobs (1995) bahwa lampu yang ditempatkan terlalu tinggi tidak akan memberikan cahaya yang memadai langsung bagi daerah sekitarnya. Dengan mengurangi ketinggian lampu jalanan


(60)

dan jarak antara mereka, dan menurunkan intensitas lampu diharapkan mampu untuk memberikan cahaya yang lebih baik bagi jalan-jalan kota.

2.3.3 Kenyamanan, kenikmatan dan keindahan jalur pejalan kaki

Kenyamanan merupakan salah satu nilai vital yang selayaknya harus dinikmati oleh manusia ketika melakukan aktifitas-aktifitas di dalam suatu ruang. Kenyamanan dapat pula dikatakan sebagai kenikmatan atau kepuasan manusia dalam melaksanakan kegiatannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan antara lain: Sirkulasi, iklim atau kekuatan alam, bising, aroma atau bau-bauan, bentuk, keamanan, kebersihan, dan keindahan.

Kenyamanan dapat diartikan bahwa mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. Sedangkan kenikmatan diindikasikan melalui jarak lebar trotoar, lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan. Aspek keindahan berkaitan dengan trotoar dan lingkungan sekitarnya.

Untuk menciptakan rasa nyaman pada jalur pejalan kaki salah satunya bisa dengan dengan melihat dari tingkat pelayanan (Level of Service) jalur pejalan kaki tersebut. Menurut Rubenstein (1987) tingkat pelayanan pejalan kaki seperti terlihat pada tabel 2.1.


(61)

Tabel 2.1 Tingkat pelayanan pejalan kaki Ft2 /

orang

Arus rata-rata pejalan kaki

Kecepatan dan papasan

35 < 7 - Bebas memilih kecepatan - Dapat bebas berpapasan - Tidak ada beban maksimum 25 -35 7 – 10 - Kecepatan berjalan normal

- Dapat berpapasan satu sama lain - Tidak ada beban maksimum 15 - 25 10 - 15 - Berjalan kaki sedikit terbatas

Tidak dapat berpapasan dengan bebas terbatas

- Sulit berpapasan

5 - 10 20 - 25 - Semua pejalan kaki memiliki kecepatan yang terbatas

- Sangat sulit berpapasan < 5 >25 - Sangat terbatas

- Seringkali kontak sesama pejalan yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat berpapasan Sumber : Harvey Rubenstein, A Guide to Site and Environtmental Planning 1987


(62)

Dari tingkat pelayanan diatas maka tingkatan pelayanan yang paling ideal dan nyaman adalah yang memiliki luasan jalur 25–35 ft2/orang. Dimana kecepatan berjalan normal dan dapat berpapasan satu sama lain tanpa terjadi konflik.

Moughtin (2003) mengemukakan bahwa pergeseran fungsi trotoar jelas membuat ketidak nyamanan para pejalan kaki. Mereka tidak bisa lagi tenang berjalan sambil menikmati keramaian kota, mereka harus berhati-hati dan tetap waspada, jangan sampai terserempet kendaraan yang berlalu lalang. Pada lokasi koridor kawasan tersebut terjadi kesenjangan, pergeseran pemanfaatan fungsi trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki yang diharapkan sebagai sarana sirkulasi sesuai dengan fungsinya, dalam waktu tertentu mengalami pergeseran fungsi sebagai ruang berjualan hal ini dipersepsikan berbeda oleh pedagang kaki lima, sehingga jalur pejalan kaki mempunyai fungsi ganda.

Salah satu indikator untuk dapat menciptakan keindahan pada jalur pejalan kaki adalah dengan merencanakan fasilitas sarana ruang pejalan kaki yang menarik. Fasilitas sarana jalur pejalan kaki yang dapat dibuat menarik antara lain jalur hijau, tempat duduk, tempat sampah, halte bus dan telepon umum.

2.3.3.1 Jalur hijau

Menurut Shirvani (1985), salah satu hal yang dapat membuat jalur pejalan kaki dikatakan baik adalah mampu menyajikan kualitas udara yang baik. Dalam hal untuk menciptakan kualitas udara yang baik adalah dengan menanam pepohonan yang rindang di sepanjang jalur pejalan kaki. Untuk tempat pepohonan


(63)

tersebut maka diperlukan jalur hijau yang dapat mengakomodasi besaran pepohonan tersebut.

Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan diatur bahwa jalur hijau diletakkan pada jalur amenitas dengan lebar 150 centimeter dan bahan yang digunakan adalah tanaman peneduh. Jika cukup lebar, dapat ditanam pohon-pohon yang lebih besar, untuk melindungi pejalan kaki dari perubahan cuaca khususnya panas. Minimum 4,5 meter untuk penanaman pohon-pohon yang lebih besar. Jalur hijau juga menjadi buffer bagi pejalan kaki. Secara umum jalur hijau juga merupakan pemisah yang efektif antara jalur pejalan kaki dengan lalu lintas kendaraan bermotor. Jacobs dalam bukunya the Great Street mengemukakan selain menghasilkan oksigen dan peneduh untuk memberikan kenyamanan, pohon juga dapat sebagai pembatas dan pengaman (safety barrier). Jarak antar pohon yang baik adalah 15 kaki sampai 25 kaki, pada tikungan (corner) berjarak 40 atau 50 kaki. Ilustrasi jalur hijau dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Fasilitas jalur hijau

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan


(64)

2.3.3.2 Tempat duduk

Tempat duduk yang juga merupakan fasilitas sarana jalur pejalan kaki selain dapat menciptakan rasa nyaman dapat juga memperindah jalur pejalan kaki jika didesain dengan menarik. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum mengatur bahwa tempat duduk diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 10 meter dengan lebar 40-50 centimeter, panjang 150 centimeter dan bahan yang digunakan adalah bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.

Menurut Jacob (1995) jalur pejalan kaki juga memiliki fungsi yang bersifat rekreatif sehingga diperlukan bangku-bangku untuk tempat berhenti beristirahat. Hal ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Utermann (1984) bahwa jika dilihat dari fungsinya, jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif maka diperlukan bangku-bangku tempat pemberhentian untuk beristirahat. Sedangkan Burton (2006) mengemukakan bahwa tempat duduk merupakan salah satu faktor yang penting dalam membuat suatu jalan terasa nyaman dan mudah digunakan oleh semua lapisan masyarakat baik tua maupun muda dan masyarakat dengan keterbatasan fisik. Burton juga mengakatakan bahwa tempat duduk kayu lebih diminati karena terasa hangat dan lebih nyaman jika diduduki dibandingkan dengan bahan besi ataupun beton. Lebar tempat duduk yang direkomendasikan adalah 420 mm sampai 440 mm dan tinggi 470 mm sampai dengan 480 mm.


(65)

Sedangkan peletakannya setiap 100 m sampai dengan 125 m. Ilustrasi gambar tempat duduk bisa dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Tempat duduk

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan

2.3.3.3 Tempat sampah

Tempat sampah juga merupakan fasilitas sarana jalur pejalan kaki. Tempat sampah selain menciptakan kebersihan juga dapat menarik jika didesain dengan baik. Menurut kaedahnya pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum tempat sampah diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 20 meter dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan adalah bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.

Gambar 2.5 Tempat sampah

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Burton, Elizabeth, 2006, Inclusive Urban Design, Elsevier, London

Carr, Stephen, Mark Francis, Leanne G Rivlin And Andrew M Stone, 1992, Public Space, Press Syndicate of The University of Cambridge, New York

De Chiara, J and Koppelman Lee, 1975, Urban Planning and Design Criteria, Second Edition, Van Nostrand Reinhold Company, New York

Ewing, Reid, Pedestrian and Transit Friendly Design : A Primer for Smart Growth, American Planning Association, Florida

Fruin, John J, 1979, Pedestrian Planning and Design, Metropolitan Association Of Urban Designers and Environtmental Planner, Inc., New York

Haryadi dan Setyawan. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku : Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

Idris, Zilhardi, 2007, Jurnal Dinamika Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

Iswanto, Danoe, 2006, ENCLOSURE Volume 5 No. 1. Maret, Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman


(2)

Lynch, Kevin, 1960, The Image of City, MIT Press, Massachusetts

Manual of The Street, 2007, Departement for Transport, London

Moughtin, Cliff, 2003, Urban Design Street And Square, Elsevier, London

Nazir, M, 2003, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta

Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan Kaki Pada Jalan Umum, 1999, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta

Penalosa, Enrique, 2002, Peran Transportasi dalam Kebijakan Perkembangan Perkotaan, Deutshce Gesellschaft fur Technische Zummanarbeit (GTZ), Jerman

Rapoport, Amos. 1977. Human Aspect of Urban Form. Ergaman Press. New York

Rubenstein, Harvey, 1987, A Guide to Site and Environtmental Planning, John Wiley and Sons Inc, United State of America

Shirvani, Hamid, 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold Company, New York

Spreiregen, Paul. 1965. The Architecture of Towns and Cities. Mc. Grawl Hill Companies. USA


(3)

Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, 1995, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta

Tesis Felisia Femy Kartika KD,ST, 2008, Pengaruh Activity Support Terhadap Penurunan Kualitas Visual Pada Kawasan Kampus UNDIP Semarang, Studi Kasus Koridor Jalan Hayam Wuruk Semarang, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur UNDIP, Semarang

Tesis Tony Subrata Suryat, 2008, Hubungan Seting Trotoar Dengan Tuntutan Atribut Persepsi Pedagang Kaki Lima Studi Kasus Jl. Prof. H. Soedarto, SH Semarang, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur UNDIP, Semarang

Utterman, Richard, K, 1984, Accomodation the Pedestrian, Van Reinhold Nostrand Company, New York


(4)

KUISIONER PENELITIAN

Kuisioner ini disebarkan bertujuan untuk mendapatkan data penelitian dari tentang “Kajian Terhadap Jalur Pejalan Kaki di Koridor Jalan Ahmad Yani – Jalan Putri Hijau Medan Dalam Upaya Menciptakan Ruang Kota Yang Akrab”, dalam rangka penulisan Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana Jurusan Teknik Manajemen Perkotaan di Universitas Sumatera Utara.

Kuisioner ini semata-mata untuk tujuan penelitian ilmiah. Jawaban yang Saudara berikan tidak berpengaruh apapun pada Saudara. Oleh karenanya kami mohon kejujuran Saudara dalam memberikan jawaban, dengan cara memilih salah satu alternatif jawaban yang paling tepat menurut Saudara atau mengisi titik-titik yang telah disediakan.

Terima kasih atas partisipasinya….!

I. Pertanyaan

No Item Pertanyaan Alternatif Jawaban

1. Apakah anda merasa nyaman berjalan di trotoar ini?

a. Ya b. Tidak 2. Jika tidak, mengapa?

3. Apakah anda merasa aman berjalan di trotoar ini?

a. ya b. Tidak 4. Jika tidak, mengapa?

5. Jika anda berjalan pada waktu malam hari, apakah anda merasa aman?

a. ya b. Tidak 6. Jika tidak, mengapa?


(5)

7. Apakah lampu penerangan di trotoar ini sudah cukup memadai dan menarik?

a. ya b. Tidak 8. Jika tidak, mengapa?

9. Apakah halte bus di koridor ini telah memadai?

a. ya b. Tidak 10. Jika tidak, mengapa?

11. Apakah halte bus di koridor ini indah dipandang?

a. ya b. Tidak 12. Apakah drainase di koridor ini telah

memadai?

a. ya b. Tidak 13. Apakah tempat duduk di trotoar ini telah

memadai?

a. ya b. Tidak 14. Apakah tempat duduk di trotoar ini indah

dipandang?

a. ya b. Tidak 15. Apakah jalur hijau (pepohonan) di trotoar ini

telah memadai?

a. ya b. Tidak 16. Apakah telepon umum di trotoar ini telah

memadai?

a. ya b. Tidak 17. Apakah telepon umum di trotoar ini indah

dipandang?

a. ya b. Tidak 18. Apakah tempat sampah di trotoar ini telah

memadai?

a. ya b. Tidak 19. Apakah tempat sampah di trotoar ini indah

dipandang?

a. ya b. Tidak


(6)