BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Definisi Stroke - Gambaran Obesitas pada Penderita Stroke Iskemik yang Dirawat Inap di SMF Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke

  2.1.1 Definisi Stroke

  Menurut definisi WHO (2006), stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.

  Stroke atau bencana peredaran darah di otak, yang juga disebut sebagai serangan otak (brain attack) merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas) utama pada kelompok usia di atas 45 tahun (Lumbantobing, 2007).

  2.1.2 Epidemiologi Stroke

  Insidensi terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050 (Becker, dkk, 2010). Sedangkan di Indonesia dari data Departemen Kesehatan R.I. (2009), prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk). Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada, tetapi dari data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

  Menurut WHO, penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah pembunuh nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi akibat stroke pada tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian. Angka kematian akibat stroke lebih tinggi pada wanita (11%) dari pada pria (8,4%) pada tahun 2004. Menurut penelitian Lamsudin, dkk (2000) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecenderungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).

  Insidensi stroke di seluruh dunia bervariasi. Insidensi tahunan rata-rata meningkat sejalan dengan pertambahan usia, dari 3 per 100.000 pada kelompok umur dekade ketiga dan keempat menjadi hampir 300 per 100.000 penduduk pada kelompok umur dekade kedelapan dan kesembilan (Fieschi, et al, 1998 dalam Rambe, 2003). Di Indonesia, sejalan dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduknya, terlihat pula kecenderungan meningkatnya insidensi stroke. Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007). Pada tahun 2011, dari seluruh penderita yang dirawat di bangsal rawat inap SMF Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, 59% adalah penderita stroke, dimana 43% diantaranya adalah penderita stroke iskemik.

2.1.3 Klasifikasi Stroke

  Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa.

  Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Menurut Misbach (1999) dalam Ritarwan (2002), klasifikasi tersebut antara lain: 1.

  Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

1.1 Stroke iskemik a.

  Transient Ischemic Attack (TIA) b.

  Thrombosis arteri c. Emboli serebri

  1.2. Stroke hemoragik a.

  Perdarahan intraserebral b.

  Perdarahan subarachnoid 2. Berdasarkan stadium dan pertimbangan waktu : 2.1.

  Transient Ischemic Attack Pada bentuk ini gejala neurologi yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

  2.2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam tetapi tidak lebih dari seminggu.

  2.3. Progresing stroke atau stroke in evolution Gejala neurologik yang makin lama makin berat.

  2.4. Completed stroke Gejala klinis sudah menetap.

3. Berdasarkan sistem pembuluh darah Sistem karotis dan sistem vertebra-basiler.

  Sedangkan penggunaan klinis yang lebih praktis lagi adalah klasifikasi dari New

  

York Neurological Institute , dimana stroke menurut mekanisme terjadinya dibagi

dalam dua bagian besar yang dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

  Tabel 2.1: Klasifikasi Utama Stroke Klasifikasi Utama Stroke Stroke Iskemik (80-85%) Stroke Hemoragik (15-20%)

  Oklusi trombotik (75-80%) Lakunar

  Oklusi embolik (15-20%) Kardiogenik Arteri ke arteri

  Intraserebrum (Parenkim) Subaraknoid (PSA)

  (Sumber: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit)

2.1.4 Faktor Risiko Stroke

  Menurut WHO (1997) dalam Price dan Wilson (2006), faktor utama yang berkaitan dengan epidemi penyakit serebrovaskular adalah perubahan global dalam gizi dan merokok, ditambah urbanisasi dan menuanya populasi. Menurut

  National Stroke Association (2009), ada 2 tipe faktor risiko terjadinya stroke: a.

  Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi: 1.

  Usia

  Menurut Kissela B, et al., dalam Ardelt (2009), usia merupakan faktor risiko stroke yang paling kuat Dengan meningkatnya usia, maka meningkat pula

  .

  insidensi iskemik serebral tanpa memandang etnis dan jenis kelamin. Setelah usia 55 tahun, insidensi akan meningkat dua kali tiap dekade.

  2. Jenis kelamin Wanita lebih banyak memiliki kecacatan setelah stroke dibanding pria.

  Wanita juga lebih bayak mati setiap tahunnya karena stroke dibandingkan pria. Namun, insidensi stroke lebih tinggi pada pria.

  3. Ras Amerikan Afrikan berisiko terkena stroke dua kali lipat dibanding kaukasian. Orang Asia Pasifik juga berisiko lebih tinggi dari pada kaukasian.

  4. Riwayat Keluarga Jika dalam keluarga ada yang menderita stroke, maka yang lain memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke dibanding dengan orang yang tidak memiliki riwayat stroke di keluarganya.

  b.

  Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: 1.

  Segi Medis

  • Tekanan darah tinggi (Hipertensi) Tekanan darah tinggi adalah faktor risiko stroke yang paling penting. Tekanan darah normal pada usia lebih dari 18 tahun adalah 120/80. Pre- hipertensi jika tekanan darah lebih dari 120/80, dan tekanan darah tinggi atau hipertensi jika tekanan darah 140/90 atau lebih. Orang yang
bertekanan darah tinggi memiliki risiko setengah atau lebih dari masa hidupnya untuk terkena stroke dibanding orang bertekanan darah normal. Tekanan darah tinggi menyebabkan stress pada dinding pembuluh darah. Hal tersebut dapat merusak dinding pembuluh darah, sehingga bila kolesterol atau substansi fat-like lain terperangkap di arteri otak akan menghambat aliran darah otak, yang akhirnya dapat menyebabkan stroke. Selain itu, peningkatan stress juga dapat melemahkan dinding pembuluh darah sehingga memudahkan pecahnya pembuluh darah yang dapat menyebabkan perdarahan otak.

  • Fibrilasi atrium

  Penderita fibrilasi atrium berisiko 5 kali lipat untuk terkena stroke. Kira- kira 15% penderita stroke memiliki fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dapat membentuk bekuan-bekuan darah yang apabila terbawa aliran ke otak akan menyebabkan stroke.

  • Hiperkolesterol Hiperkolesterol merupakan sumber pembentukan lemak dalam tubuh termasuk juga pembuluh darah. Kolesterol atau plak yang terbentuk di arteri oleh low-density lipoproteins (LDL) dan trigliserida dapat menghambat aliran darah ke otak sehingga dapat menyebabkan stroke. Kolesterol tinggi meningkatkan risiko penyakit jantung dan aterosklerosis, yang keduanya merupakan faktor risiko stroke.
  • Diabetes Mellitus (DM) Penderita DM mempunyai risiko terkena stroke 2 kali lebih besar. Seseorang yang menderita DM harus mengendalikan kadar gula darahnya secara baik agar selalu terkontrok dan stabil. Dengan melaksanakan program pengendalian DM secara teratur antara lain dengan merencanakan pola makan yang baik, berolahraga, serta pengobatan yang tepat dan akurat maka penyakit DM dapat ditanggulangi dengan baik. Dengan demikian bagi penderita DM, risiko terkena serangan stroke dapat diminimalkan.

  • Riwayat Stroke Faktor mendapatkan serangan stroke yang paling besar adalah pernah mengalami serangan stroke sebelumnya. Diperkirakan 10% dari mereka yang pernah selamat dari serangan stroke akan mendapatkan serangan stroke kedua dalam setahun.

2. Pola Hidup

  • Merokok Merokok berisiko 2 kali lipat untuk terkena stroke jika dibandingkan dengan yang bukan perokok. Merokok mengurangi jumlah oksigen dalam darah, sehingga jantung bekerja lebih keras dan memudahkan terbentuknya bekuan darah. Merokok juga meningkatkan terbentuknya plak di arteri yang menghambat aliran darah otak, sehingga

  erokok terbukti menjadi faktor risiko penyakit

  menyebabkan stroke. M

  vaskuler dan stroke yang diakibatkan pembentukan aterosklerosis dan berujung pada pemanjangan waktu inflamasi endotel (Cole, 2008).

  • Alkohol Meminum alkohol lebih dari 2 gelas/hari meningkatkan risiko terjadinya stroke 50%. Namun, hubungan antara alkohol dan terjadinya stroke masih belum jelas.
  • Obesitas Obesitas dan kelebihan berat badan akan mempengaruhi sistem sirkulasi. Obesitas juga menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan memiliki kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan DM, yang semuanya dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke.

  Menurut PERDOSSI (2004) dalam Rambe (2006), nonmodifiable risk

  

factors merupakan kelompok faktor risiko yang ditentukan secara genetik atau

berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi.

  Yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya.

  Kelompok modifiable risk factors merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang termasuk dalam kelompok ini adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok, hiperlipidemia dan intoksikasi alkohol.

2.1.5 Patofisiologi Stroke

  Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-arteri yang yang membentuk sirkulus Willisi (arteri karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya (Gambar 2.1).

  

Gambar 2.1: Anatomi Sirkulus Willisi

  (Sumber: Emedicine, Medscape Reference) Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari hal tersebut mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Mekanisme patofisiologi umum pada stroke antara lain:

  − Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan. − Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah. − Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium. − Ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subarakhnoid.

2.1.6 Diagnosis Stroke

  Untuk mendiagnosis stroke, konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia, (1999) dalam Lumbantobing (2004) antara lain mengemukakan hal berikut:

  − Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan temuan klinis. − CT scan tanpa kontras merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan jenis patologi stroke, lokasi dan ekstensi lesi serta menyingkirkan lesi non vaskuler. − Pungsi lumbal dapat dilakukan bila ada indikasi khusus. − MRI dilakukan untuk mendeteksi lesi patologik stroke secara lebih tajam darah ekstrakranial dan intracranial dalam membantu evaluasi diagnostik, etiologik, terapi dan prognostik.

2.1.7 Penatalaksanaan Stroke

  Mengenai penatalaksanaan umum stroke, konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia (1999) dalam Lumbantobing (2007), mengemukakan hal berikut: − Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu berikan oksigen 1-2 L/menit sampai ada hasil gas darah.

  − Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten. − Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus. − Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi. − Suhu tubuh harus dipertahankan normal. − Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik, bila terdapat gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran menurung, dianjurkan melalui pipa nasogastrik. − Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan. Pemberian cairan intravena berupa cairan kristaloid atau koloid, hindari yang mengandung glukosa murni atau hipotonik. − Bila ada dugaan Deep Vein Thrombosis (DVT) diberikan heparin/heparinoid dosis rendah subkutan, bila tidak ada kontraindikasi.

  Menurut PERDOSSI (2001), gaya hidup sehat untuk prevensi stroke yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Mengatur pola makan yang sehat 2.

  Menghentikan rokok Merokok menyebabkan peninggian koagubilitas, viskositas darah, meninggikan level fibrinogen, mendorong aggregasi platelet, meninggikan tekanan darah, menaikkan hematokrit dan menurunkan HDL.

  3. Menghindari konsumsi alkohol dan penyalahgunaan alkohol Penyalahgunaan obat seperti kokain, heroin, penilpropanolamin dan mengkonsumsi alkohol dalam dosis berlebihan dan jangka panjang (abuse

  alcohol ) akan memudahkan terjadinya stroke.

  4. Melakukan olahraga yang teratur

  Melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobik (jalan cepat, bersepeda, berenang, dll) secara teratur (minimum 3 kali perminggu untuk dewasa, tiap kali 20-30 menit) akan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki kontrol diabetes, memperbaiki kebiasaan makan dan menurunkan berat badan. Efek biologis: penurunan aktivitas platelet, reduksi fibrinogen plasma dan menaiknya aktivitas tissue plasminogen activator dan konsentrasi HDL

  5. Menghindari stres dan beristirahat yang cukup Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari. Mengendalikan stres dengan cara berpikir positif.

  Pada konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia (2004) dalam Lumbantobing (2007), dikemukakan upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke adalah dengan memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain: 1.

  Menghindari: merokok, stres mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih.

  2. Mengurangi: kolesterol, konsumsi lemak dalam makanan.

  3. Mengendalikan: hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium).

  4. Menganjurkan: konsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur.

2.2 Stroke Iskemik

  Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Menurut Price dan Wilson (2006), obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyebab stroke trombolitik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung struktural. Namun, trombosis yang menjadi penyulit aterosklerosis merupakan penyebab pada sebagian besar kasus stroke trombotik, dan embolus dari pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab tersering stroke embolik. Sumbatan aliran di arteri karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteri karotis interna (tempat arteri karotis komunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya aterosklerosis.

  Penyebab lain stroke iskemik adalah vasospasme, yang sering merupakan respons vaskuler reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan piamater meningen. Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Namun, pembuluh darah besar di leher dan batang otak memiliki banyak reseptor nyeri, dan cedera pada pembuluh-pembuluh ini saat serangan iskemik dapat menimbulkan nyeri kepala. Dengan demikian, pada pasien dengan stroke iskemik disertai gambaran klinis berupa nyeri kepala perlu dilakukan uji-uji diagnostik yang dapat mendeteksi cedera seperti aneurisma disekans di pembuluh leher dan batang otak (Price, 2006).

  Menurut Rambe (2007), bila terjadi obstruksi/oklusi pembuluh arteri serebral oleh emboli maupun trombus, aliran darah ke bagian otak yang diperdarahi arteri tersebut, baik korteks maupun substansia albanya, akan berkurang secara drastis, atau bahkan dapat terhenti sama sekali. Akibatnya terjadilah iskemi di daerah tersebut, yang bila berlanjut dapat berubah menjadi infark. Pada infark hemoragik, area yang terlibat, umumnya substansia grisea, mengalami kongesti disertai perdarahan ptekial. Sedangkan pada infark pucat, yang biasanya melibatkan substansia alba, jaringan terlihat pucat diserta edema.

  Pada kedua jenis infark ini, secara mikroskopis terlihat nekrosis jaringan otak yang masif, terutama di bagian tengah infark. Semakin ke pinggir kerusakan/nekrosis yang terjadi semakin ringan. Proses perbaikan dimulai pada hari ke-4 atau ke-5, yang dimulai dengan infiltrasi polimorfonuklear, yang dilanjutkan oleh fagosit mononuklear, yang memfagositosis semua hasil disintegrasi seluler dan mielin. Selanjutnya daerah yang rusak akan digantikan oleh hipertrofi dan hiperplasia astrosit (Rambe, 2007).

2.3 Stroke Hemoragik

  Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15-20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arteriovena (MAV). Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur-struktur saraf di dalam tengkorak. Iskemik adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang spontan maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemik tersebut ada dua: (1) tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang volumenya tetap dan (2) vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpapar ke darah bebas di dalam ruang antara lapisan arakhnoid dan piamater meningen. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran. Namun, apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang merupakan keluhan khas perdarahan perdarahan subarachnoid (PSA). Tindakan pencegahan utama untuk perdarahan otak adalah mencegah cedera kepala dan mengendalikan tekanan darah (Price, 2006).

  Perdarahan intraserebral terjadi sebagai akibat dari adanya defek di dinding pembuluh darah serebral, akibat trauma, akibat malformasi vaskuler atau sekunder terhadap hipertensi sistemik. Darah yang keluar dari pembuluh darah ini dapat memasuki ruang subarachnoid atau ke dalam parenkim, atau ke dalam sistem ventrikel otak. PSA disertai oleh meningitis aseptik dan gangguan aktifitas serebrovaskuler. Pada stroke hemoragik, defisit neurologis yang terjadi merupakan akibat dari perusakan jaringan otak oleh darah atau akibat adanya darah di dalam ruang subarakhnoid. Darah di dalam ruang subarakhnoid, khususnya di sisterna basalis, dapat menginduksi terjadinya vasospasme. Vasospasme yang berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infark serebri sekunder, yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan jaringan otak (Rambe, 2007)

2.4 Obesitas

  2.4.1 Definisi Obesitas

  Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Dorland, 2005). Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Ganong, 2008)

  Menurut Sugondo (2009), obesitas merupakan suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Menurut Ma’ruf (2005) dalam Amsriza (2007), secara ilmiah, obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan sistematik antara asupan kalori dengan pemakaian energi. Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan, psikis, jenis kelamin, kesehatan seperti penyakit hipotiroidisme, obat-obatan seperti kortikosteroid, perkembangan terutama yang gemuk pada masa kanak-kanak, dan aktivitas fisik.

  2.4.2 Tipe Obesitas

  Berdasarkan letak timbunan lemak, obesitas dapat dibagi menjadi dua tipe (Emedicine Health, 2010) antara lain: 1.

  Obesitas Android (Tipe Sentral) Bila lemak banyak tertimbun di setengah bagian atas tubuh (perut, dada, punggung, muka). Pada umumnya, tipe ini dialami oleh pria.

2. Obesitas Gynoid (Tipe Perifer) Bila lemak tertimbun di setengah bagian bawah tubuh (pinggul dan paha).

  Pada umumnnya, tipe ini banyak dialami oleh wanita.

  

Gambar 2.2: Tipe Obesitas Android (Apple-Shaped) dan Obesitas Gynoid

(Pear-Shaped) (Sumber: Medline Plus, The A.D.A.M. Medical Encyclopedia)

2.4.3 Penilaian Obesitas A.

  Indeks Massa Tubuh (IMT) Mengukur lemak tubuh secara langsung sangatlah sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh

  (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas. IMT diukur dengan cara berat

  2 badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter kuadarat (m ).

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO (2000)

  2 Klasifikasi

  IMT (kg/m )

  Berat badan kurang <18,5 Berat badan normal 18,50

  −24,9 Berat badan berlebih

  ≥25,00 Pra-obes

  25,00 −29,9 Obes derajat I

  30,00 −34,9 Obes derajat II

  35,00 −39,9

  Obes derajat III ≥40,00

  (Sumber: Sugondo, 2009) Penggunaan Indeks Massa Tubuh (IMT) hanya berlaku untuk orang dewasa. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan dengan peningkatan massa otot, seperti pemain sepakbola, atlet angkat besi dan lainnya yang menggunakan angkat beban sebagai bagian dari program olahraganya (Soegih, 2009). IMT juga tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali (Supariasa, 2001).

  B.

  Pengukuran Lingkar Perut Cara lain menilai obesitas ialah dengan mengukur lingkar perut (LP). Pengukuran lingkar perut paling tepat untuk menentukan obesitas sentral dan merupakan pemeriksaan yang praktis dan tidak sulit. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita plastik atau pita meteran, di daerah setinggi umbilikus atau pada titik pertengahan antara batas bawah tulang iga dengan puncak tulang iliaka. Dengan menggunakan pita secara horizontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subyek diminta untuk tidak menahan perutnya. Menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2009), untuk penduduk Asia,

  2

  seseorang dikatakan obesitas apabila IMT-nya atau lingkar perut ≥25 kg/m ≥90 cm pada pria dan

  ≥80 cm pada wanita. Sedangkan untuk penduduk diluar Asia, apabila IMT-nya ≥30 kg/ m2 atau lingkar perut ≥102 cm pada pria dan ≥88 cm pada wanita. Lemak pada daerah abdominal (viseral) berhubungan dengan faktor risiko kardiovaskuler, sindrom metabolik, meliputi DM tipe 2, gangguan tolerannsi glukosa, hipertensi, dan dislipidemia. Pengukuran ini juga penting dilakukan pada saat pasien sedang menjalankan program penurunan berat badan, karena lingkar perut yang mengecil secara bermakna akan menurunkan risiko tersebut walaupun BB tidak terlalu berubah (Soegih, 2009).

Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (2000)

  Risiko Komorbid Lingkar Pinggang

  IMT Klasifikasi

  2 (kg/m ) < 90 cm (pria) ≥ 90 cm (pria) < 80 cm (wanita) ≥ 80 cm (wanita)

  Berat badan kurang <18,5 Rendah (risiko Sedang meningkat pada masalah klinis lain)

  Kisaran normal 18,5 Sedang Meningkat −22,9

  Berat badan lebih ≥23,0

  Berisiko Meningkat Moderat 23,0 −24,9 •

  Obes derajat I Moderat Berat 25,0 −25,9 •

  Obes derajat II Berat Sangat berat ≥30,0

  (Sumber: Sugondo, 2009) C.

  Waist Hip Ratio (WHR)

  Waist hip ratio digunakan untuk menentukan adanya lemak di daerah

  abdomen, akan tetapi saat ini pemeriksaan ini jarang dilakukan. Pengukuran lingkar pinggul dilakukan di lingkaran terbesar dari pinggul, dan pasien berdiri dengan tegak, kedua tangan di samping tubuh dan kaki dirapatkan. WHR sudah jarang digunakan untuk menilai perubahan status lemak intraabdominal, karena pada saat terjadi penurunan lingkar perut akan diikuti juga dengan penurunan lingkar pinggul, sehingga WHR tidak berubah.

  D.

  Pemeriksaan Lain Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan, salah satunya adalah pemeriksaan komposisi lemak tubuh. Pemeriksaan ini mudah dilakukan karena menggunakan alat, seperti bioelectric impedance analysis (BIA) dan dual energy x-ray

  

absorptiometry (DEXA). Selain itu, dapat juga dengan menggunakan metode

underwater weighting , tetapi pemeriksaan ini sulit dan tidak praktis sehingga

  jarang digunakan. Sementara untuk pengukuran lemak viseral/sentral yang paling akurat adalah dengan menggunakan CT scan atau MRI, tetapi mahal dan tidak praktis.

2.4.4 Komplikasi Obesitas

  Kelebihan berat badan dan obesitas menghasilkan konsekuensi kesehatan yang serius. Peningkatan risiko secara progresif seiring dengan peningkatan Body

  

Mass Index (BMI). Menurut WHO (2006), peningkatan BMI merupakan risiko

  terbesar untuk penyakit kronik seperti: a.

  Penyakit kardiovaskular sistem (terutama penyakit jantung dan stroke) Penyakit ini sudah menjadi penyebab kematian yang pertama, membunuh 17 juta orang setiap tahunnya.

  b.

  Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus yang telah menjadi epidemik global. Proyek WHO dimana kematian diabetes akan meningkat 50% di seluruh dunia pada 10 tahun mendatang.

  c.

  Penyakit muskuloskeletal Khususnya osteoartritis yang berkaitan dengan Low Back Pain.

  d.

  Beberapa kanker (endometrium, payudara, dan kolon)

2.5 Pengaruh Obesitas Terhadap Stroke Iskemik

  Mekanisme pasti bagaimana obesitas meningkatkan risiko stroke masih belum diketahui. Namun, diperkirakan ada kaitannya dengan peningkatan mediator inflamasi, hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia khususnya LDL, dan hipertrigliseridemia. Pertambahan massa lemak selalu disertai perubahan fisiologis tubuh yang sebagian besar bergantung pada distribusi regional massa lemak itu. Obesitas menyeluruh (generalized obesity) mengakibatkan perubahan volume darah total serta fungsi jantung, sementara penyebaran regional di sekitar rongga perut dan dada akan menyebabkan gangguan fungsi respirasi. Timbunan lemak pada dada jaringan viseral (intraabdomen), yang tergambar sebagai penambahan ukuran lingkar pinggang, akan mendorong perkembangan hipertensi, sindrom resistensi insulin, hipertrigliseridemia, dan hiperlipidemia.

  Konsekuensi obesitas terhadap kesehatan sangat bervariasi mulai dari kematian prematur sampai kualitas hidup yang rendah. Umumnya, obesitas dikaitkan dengan “Non Communicable Disease” seperti DM Tipe 2,

  

Cardiovascular Disease (CVD), kanker, dan berbagai gangguan psikososial. Studi

  Framingham menunjukkan obesitas merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Menurut World Heart Federation (2011), di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kelebihan berat badan ataupun obesitas. Pada tahun 2008, 34% orang dewasa dengan usia diatas 20 tahun mengalami kelebihan berat badan dengan BMI

  ≥ 25

  2

  kg/m . Pada tahun yang sama, 9,8% pria dan 13,8% wanita mengalami obesitas

  2

  dengan BMI , sementara dibandingkan pada tahun 1980 sekitar 4,8% ≥ 30 kg/m untuk pria dan 7,9% untuk perempuan.

  Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa obesitas memiliki hubungan yang kuat dengan meningkatkan risiko terjadinya stroke. Di Swedia, penelitian populasi prospektif menunjukkan bahwa pada laki-laki dewasa dengan Body Mass

2 Index (BMI) >30.0 kg/m menunjukkan peningkatan Hazard Ratios (HR) 1,93

  dari total stroke. Berdasarkan penelitian kesehatan wanita, wanita dengan BMI

  2

  mempunyai HR 1,50 dari total stroke dan 1,72 untuk stroke iskemik ≥30 kg/m

  2 dibandingkan dengan BMI < 25 kg/m (Vemmos, 2011).

  Obesitas merupakan masalah kesehatan yang meningkat di negara maju dan berkembang. Studi epidemiologi yang dilakukan secara prospektif menunjukkan hubungan antara kelebihan berat badan ataupun obesitas dan morbiditas kardiovaskular, kematian CVD dan mortalitas total. Obesitas berhubungan erat dengan faktor risiko mayor penyakit kardiovaskular antara lain peningkatan tekanan darah, intoleransi glukosa, DM tipe 2 dan dislipidemia. Overweight dan obesitas menyebabkan efek yang buruk terhadap metabolik pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida dan resistensi insulin.

  Risiko untuk terjadinya kematian mendadak, stroke, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner (PJK) meningkat masing-masing 2,8; 2; 1,9; dan 1,5 kali lebih tinggi pada penderita obes dibandingkan dengan yang tidak obes (Soegih, 2009).