KRITERIA KEILMUAN PENGETAHUAN HUKUM | Geme | AEQUITAS IURIS

KRITERIA KEILMUAN PENGETAHUAN HUKUM
Oleh: Dr. Maria Theresia Geme, M.Hum.

ABSTRACT

Two approaches could be taken to explain the sciences of law: the philosophy of
sciences and the legal theory. From the perspective of philosophy of sciences, scientific
jurisprudence was deepened through ontology, epistemology and axiology approaches.
Ontologically, the sciences of the law had two sides whether as a normative or empirical legal
studies. While, from the epistemology point of view, there were two scientific aspects of legal
sciences: practical and theoretical aspects. Furthermore, from the practical points of view, legal
sciences were used to solving legal problems particularly in the implementation of the law
through the main approaches namely behavioral approaches etc. In addition, from the theoretical
aspects, the sciences of law were used for the benefit of the development of legal sciences
themselves through the statute or legislation approaches. In the axiology point of view, the
usability of the sciences of law were in final preparation of the legal conviction both in the
micro and macro levels; showing what the laws of a particular case and recommending the
interpretation of legal rules that were ambiguously; eliminating legal contradiction which
appeared in the rule of law; critique and suggest amendments to the regulations and existing
law, regulations and the establishment of new legislation; criticizing and recommending
jurisprudence of the existed rule and the laws, as well as for the coaching of jurisprudence.

Respectively, the view of legal theory can be explained that the sciences law were
consisted of three main layers: dogmatic law, legal theory (in the narrow sense), and philosophy
of law. All three provide strong support for the level of legal practices.
Finally, It is a necessary awareness that the scientific debate about the science of the law is no
more relevant than the developing of the law to meet the needs of the community.
Key words

: scientific criteria, legal knowledge

A. Pendahuluan

Konstruksi ilmu dibedakan antara ilmu formal (teoritis) dan ilmu empiris. Ilmu
formal tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, sedangkan ilmu empiris sebaliknya.
Ilmu empiris bertujuan memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual dan
karena itu bersumber pada empiris atau pengalaman, yang menempatkan ilmu dalam
kelompok

praktis

yaitu


keahlian

berkeilmuan

atau

kemahiran

yang

harus

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu cabang filsafat yang membahas tentang
keilmuan suatu pengetahuan adalah Filsafat ilmu.

53

Filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang mandiri lahir pada tahun 1920-an, dilatari
oleh minat besar manusia untuk merefleksi ilmu secara kritis. Perkembangan pemikiran

tersebut memperlihatkan ciri-ciri: semakin mengilmiahnya kehidupan manusia pada semua
bidang; pertumbuhan menuju “managerial society”; pertumbuhan proses demokratisasi;
pergeseran nilai dan krisis pada bidang moralitas; “cultural lag”, konflik sosial,
pertentangan ideology; kekuasaan besar yang diberikan ilmu kepada manusia; pergeseran
struktural dalam hubungan kekuasaan pada tataran internasional. Perkembangan dan
aplikasi hasil-hasil ilmu, khususnya ilmu-ilmu alam berakibat terhadap kehidupan manusia
sehingga mendorong akal manusia untuk bertanya tentang apa itu ilmu, apa tujuannya,
bagaimana ia bekerja dan sejenisnya.
Perkembangan tersebut berdampak pula pada pendalaman pemikiran tentang
hukum dan ilmu hukum seperti munculnya Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre yang
Neonkantianisme; Paul Scholten dan Ronald Dworkin yang dipengaruhi hermeneutik; John
Austin dengan positivisme logical; H.L.A Hart berkaitan dengan Rasionalisme Kritis
Popper. Berdasarkan rasionalisme kritis Hans Albert mengembangkan suatu ilmu hukum
empiris.
Beberapa pemikir hukum antaranya A.V. Lundstedt, G.E. Langemeijer, L.M.
Friedman J.H.von Kirchmann mempertanyakan keilmuan ilmu hukum. Dalam pidatonya
dengan judul “Die Wertlosikeit der Jurisprudenz als Wessenchraft” (Keterbelakangan Ilmu
Hukum sebagai Ilmu), J.H.von Kirchmann menegaskan bahwa yang disebut ilmu hukum
sesungguhnya bukan ilmu.1 Bahkan aliran positifisme menyatakan bahwa sosiologi hukum
kontemplatif, dogmatik hukum atau ilmu hukum dalam arti sempit, Teori hukum

kontemplatif dalam arti sempit dan filsafat hukum, bukan merupakan ilmu hukum. Hukum
tidak mungkin menjadi obyek ilmu, sebab hukum bukan hal atau peristiwa nyata. Norma
hukum merupakan perintah atau larangan. Sebagai das reich des sollene, hukum tidak
mungkin menjadi objek das reich das seins.2
Argumentasi ini dibantah oleh D.H.N Meuwissen menyatakan bahwa ilmu hukum
dogmatik mempunyai karakter tersendiri sebagai ilmu sue generic, yang tidak dapat
dibandingkan dengan bentuk ilmu lain yang mana pun. P.M. Hadjon berargumen bahwa
memperdebatkan ilmu hukum sebagai ilmu atau tidak, bukan zamannya lagi. Ilmu hukum
diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan
kepribadian ilmu hukum yakni sifatnya yang normative. Cirinya yang spesifik inilah yang

1

O.Not ohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Jakarta: BPK Gunung M ulia, 1975, hal.44
Abdul Rachmad Budiono, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengem bangan Ilmu
Hukum M enuju ke Arah Peningkat an Kualit as Para Sarjananya, (M at eri Kuliah S3 Ilmu Hukum Univ.
Udayana), 2008, hal.2
2

54


menyebabkan ilmu hukum tidak dapat dikelompokan sebagai ilmu-ilmu sosial, sebab tidak
ada analoginya dengan ilmu lain. Archie J.Bahm pada abad ke-20 memaparkan bahwa
pemikiran tentang ilmu dari keilmuan hukum tidak perlu diragukan lagi, bahkan jika mau,
tidak perlu mengadakan klasifikasi lagi.
Meskipun demikian dalam kerangka akademik, refleksi tentang hakikat keilmuan
ilmu hukum tetap saja menarik terutama berkaitan dengan epistemilogi dalam penelitian
ilmu hukum.

B.

Rumusan Masalah
Dari kronologis lahirnya ilmu hukum yang bersamaan pula dengan munculnya
perdebatan tentang hakikat keilmuan ilmu hukum, maka isu dalam penulisan ini masih
seputar: Hakikat keilmuan ilmu Hukum.

C. Pembahasan
Pada pamabahasan akan diuraikan: apa itu ilmu; kriteria suatu ilmu; dan hakekat
keilmuan ilmu hukum.
1. Apa itu Ilmu ?

Ilmu menyandang dua makna yakni sebagi produk dan sebagai proses. Sebagai
produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu
dan tersusun dalam suatu system. Ilmu adalah pengetahuan yang sah secara inter subyektif
dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata
secara sistematis. Pada defenisi ini tampil tiga aspek yakni titik tolak, bangunan sistematis
dan keberlakuan intersubyektif.
Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk
memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig) atau
sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan
untuk itu, untuk mengamati dan mengkaji

gejala-gejala (keterberian, gegevens) yang

relevan pada bidang tersebut. Hasilnya adalah putusan-putusan yang terbuka untuk dikaji
keberlakuannya oleh komunitas sekeahlian berdasarkan criteria yang sudah disepakati.
C.A.van Peursen mengemukakan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan, sebuah
strategi (metodis-sistematis) untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang
kenyataan yang dijalankan orang tehadap ( yang berkenaan) kenyataannya. Strategi
menunjuk pada cara kerja metodis sistematis dengan bersaranakan seperangkat lambang


55

dalam pengolahan dan penjelasan gejala-gejala terberi, serta penataan gejala-gejala tersebut
ke dalam sebuah system.
2. Kriteria Keberadaan Ilmu
Menurut Archie J Bahm, ilmu pengetahuan melibatkan enam komponen yakni:
Masalah (problem), Sikap (attitude), metode (method), aktivitas (aktivity), kesimpulan
(conclusion), pengaruh (effects). Harold Berman mengajukan tiga perangkat kriteria untuk
menentukan keberadaan ilmu yakni3:
a) Kriteria Metodologikal
Metodologi didefenisikan sebagai:
seperangkat pengetahuan yang terintegrasi yang didalamnya kejadian atau
gejala khusus secara sistematis dijelaskan dalam peristilahan asas-asas dan
kebenaran-kebenaran umum, pengetahuan tentang gejala-gejala, asas-asas dan
kebenaran-kebenaran umum (hukum-hukum) itu diperoleh dengan kombinasi
observasi,hipotesis-verifikasi,

sejauh

dimungkinkan:eksperimen


metode

ilmiah penelitian dan sistematis, meskipun memiliki ciri-ciri umum yang
sama, namun tidak sama untuk semua ilmu, melainkan harus disesuaikan pada
jenis-jenis khas kejadian atau gejala yang menjadi pokok telaah ilmu
bersangkutan.
b) Kriteria Nilai
Ilmu mengacu pada premis-premis nilai: obyektivitas ilmiah, bebas pamrih
(disinterestedness), skeptisme terorganisasi, toleransi terhadap kekeliruan,
keterbukaan terhadap kebenaran ilmiah baru.
c) Kriteria Sosiologikal
1) Pembentukan komunitas Ilmuwan
Unsur ini berkaitan dengan masalah tanggung jawab kolektif berkenaan
dengan pelaksanaan penelitian, pelatihan/pendidikan anggota baru,
berbagi pengetahuan ilmiah (publikasi), dan ontesitas pencapaian ilmiah
di dalam dan di luar disiplin.
2) Penautan berbagai disiplin ilmiah dalam komunitas penstudi yang lebih
luas, khususnya universitas, yang para anggotanya mengemban
3


Arief Sidhar t a, Refleksi t ent ang St rukt ur Ilmu Hukum , M andar M aju, 2000, hal.105-106

56

kepedulian yang sama bagi kemajuan ilmu dan pendidikan orang muda
dan menganut asumsi implisit yang sama bahwa semua cabang
pengetahuan pada akhirnya bertumpu pada landasan yang sama.
3) Status sosial yang menyandang hak istimewa komunitas para ilmuwan
yang mencakup: kebebasan pengajaran dan penelitian, tanggung jawab
memberikan pelayanan demi ilmu itu sendiri, metodenya, nilai-nilai dan
fungsi sosialnya.
Dari defenisi dan persyaratan sosiologikal, keberadaannya maka dapat dikatakan
bahwa istilah ilmu merujuk pada kegiatan intelektual yang memiliki struktur yang unsurunsurnya terdiri: a) pra-anggapan yang berfungsi sebagai titik tolak dan asas yang
membimbing (guiding principle) b. bangunan sistematis yang mencakup: metode dan
substansi:-perangkat pengertian (konsep) serta perangkat teori.c) keberlakuan intersubyektif
d) tanggung jawab etis.
Dari sudut substansi, dikenal ilmu formal dan ilmu empiris. Ilmu formal adalah ilmu
yang tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, obyek kajiannya bertumpu pada struktur
murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika. Ilmu empiris, obyek kajiannya

bertumpu pada pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual, dan karena itu bersumber pada
empiris (pengalaman) dan eksperimental. Ilmu empiris disebut juga ilmu positif, yang terdiri
dari ilmu-ilmu alam, (naturwissen-schaften) dan ilmu-ilmu manusia (geisteswissenschaften).
Baik ilmu formal dan ilmu empiris merupakan genus dari ilmu teoritis, yaitu ilmu yang
ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan/atau menambah
pengetahuan.
Lawannya dari ilmu teoritis adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari
aktivitas-aktivitas penerapan itu sendiri, serta juga bertujuan untuk mengubah keadaan, atau
menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Ilmu praktis dibagi dalam dua kelompok
besar yakni ilmu praktis normologis atau yang disebut juga dengan ilmu normatif atau ilmu
dogmatik. Ilmu praktis normologis bertujuan memperoleh pengetahuan faktual empiris, yaitu
pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asas kausalitasdeterministik. Sedangkan ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan antara dua
hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan tanggungjawab/kewajiban) untuk
menetapkan apa yang seharusnya terjadi itu niscaya dengan sendirinya terjadi.

57

Ragaan 1 : Ragam Cabang Ilmu

Matematika

Logika Tradisional
Formal

Logika
Logika simbolik
Teori Sistem
Biologi
Ilmu-ilmu Alam
Non Biologi

ILMU

Empiris
Ilmu Sosial
Ilmu-ilmu manusia

Ilmu Sejarah
Ilmu Bahasa

Berkonvergensi
Ke dalam

Praktis Mono logis

Otoritatif ilmu hukum

Praktis
Praktis Normo logis
Non otoritatif:Etika,
pedagogi
Sumber: Bernard Arief Sidharta,2000:114
Kalau mengamati ragaan ini maka pertanyaannya adalah, apakah ragaan tersebut
menunjukan letak ilmu hukum?
58

Penjelasannya: Ilmu formal dan empiris sebagaimana nampak pada ragaan tersebut
termasuk kelompok ilmu teoritis, yakni ilmu yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan
saja. Tujuannya adalah untuk mengubah pengetahuan. Penerapan ilmu teoritis disebut
”teknologi”. Pasangan ilmu teoritis adalah ilmu praktis yang mempelajari aktivitas penerapan
itu sendiri sebagai obyek. Penerapan kelompok ilmu ini disebut ”ars” yang berarti keahlian
berkeilmuan atau kemahiran yang dapat dan harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Tujuannya untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit.
Kelompok Ilmu praktis dibagi lagi atas ilmu praktis Nomologis dan ilmu praktis
Normologis. Ilmu praktis Nomologis berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yakni
pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteria paribus (dalam keadaan yang sama) niscaya
berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas-deterministik. Ilmu praktis
normologis disebut juga ilmu Normatif, berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau
lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan tanggung jawab/kewajiban) untuk menetapkan apa
yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkret tertentu, sehubungan
dengan terjadinya perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namun dalam kenyataan apa
yang seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan sendirinya terjadi. Ilmu praktis normologis
terdiri atas antara lain: Etika, Pedagogi dan Ilmu Hukum.
Ragaan lain:
Ilmu formal

Ilmu Teoritis
(mengubah pengetahuan)

Ilmu empiris

ILMU
Ilmu praktis Nomologis
Ilmu Praktis
(mengubah keadaan

Ilmu praktis Normologis

Dari kerangka ini Bernard Arief Sidharta menunjukan bahwa ilmu hukum termasuk
ilmu praktis. Walau demikian dari karakteristik dan kepribadian, ilmu hukum dipandang sebagai
59

suatu ilmu yang khas yakni sebagai ilmu normatif yang berdampak langsung terhadap
kehidupan manusia. (sifat dan problematikanya sulit dikelompokan dalam satu cabang pohon ).

3. Hakikat Keilmuan Hukum
Telah dikemukakan bahwa ilmu hukum memilikiki karakter yang khas yaitu sifatnya
yang normatif. Sifat ini tidak dapat dipahami oleh sebahagian orang yang mendalami persoalan
keilmuan hukum dan menimbulkan keraguan akan hakikat keilmuan hukum. Argumentasinya
bahwa dengan sifatnya sebagai ilmu normatif, ilmu hukum bukanlah ilmu empiris.4 Selain
alasan tersebut, juga karena obyek telaahan ilmu hukum yang berkenaan dengan tuntunan
perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak
bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.5
Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum yaitu dari
sudut filsafat ilmu dan dari teori hukum.
4.. Karakteristik Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas perkembangan ilmu pengetahuan,
metodologi, sikap ilmiah, filsafat ilmu mempunyai tiga landasan pendekatan yakni: Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi:
Filsafat ilmu lengkapnya adalah filsafat ilmu pengetahuan, atau philosophy of science
(Inggris), wissenschaftlehre (Jerman), atau wetenschapsleer merupakan cabang ilmu filsafat. Ia
merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan atau theory of knowledge. Obyek
material filsafat ilmu adalah Ilmu, sedangkan obyek formalnya adalah hakekat ilmu.
Ada dua sisi filsafat ilmu, pertama, sebagai disiplin ilmu yakni cabang dari ilmu
filsafat yang membicarakan ilmu pengetahuan dan memiliki sifat karakteristik yang mirip
dengan filsafat pada umumnya. Kedua, sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, atau
sebagai kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Ada berbagai pengertian tentang filsafat ilmu yang diberikan oleh para penulis. Lewis
White Beck menulis, philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking tries to determine the value and signivicance of the scientific enterprise as a whole.6
Peter A.Angeles dikutip The Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu
analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi,
4

Philipus M .Hadjon dan Tat ik Sri Djamiat i, Argument asi Hukum , Yogyakart a: Gajah M ada
Universit y Press, 2005, hal. 1
5
Bernar d Arief Sidhart a, Op.Cit .
6
Ibid.

60

sosiologi, sejarah ilmu dan lain-lain. A. Cornelis Benjamin mendefenisikan filsafat ilmu sebagai
disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar-dasar ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan metode-metode, konsep-konsep, pradugapraduganya.7
Koento Wibisono Siswomihardjo memaknai filsafat ilmu adalah ilmu tentang ilmu.8
Menurut Jujun S.Suriasumantri, filsafat ilmu adalah bagian dari epistemology atau filsafat
pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau ilmu pengetahuan.9 Lasiyo10
merumuskan filsafat ilmu sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas perkembangan
ilmu pengetahuan, metodologi, sikap ilmiah, sehingga menumbuhkan sifat kritis, reflektif,
rasional dalam menguji dan menemukan kebenaran.
Ada 3 landasan pendekatan filsafat ilmu yakni:
1. Ontologi
Oxford Advanced Learner Dictionary mengartikan ontology sebagai “a branc of thought
concerned with the nature existence”11 atau pikiran mendalam tentang keberadaan sesuatu.
Jujun S. Suriasumantri menjelaskan ontology sebagai pembahasan tentang apa yang ingin
kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, dengan pendekatan lain, suatu pengkajian
mengenai teori tentang “ada”.12
Ontology berkaitan dengan apa yang menjadi bidang telaahan ilmu yakni fakta empiris
yaitu fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan panca
inderanya. Ruang lingkup kemampuan panca indera manusia dan peralatan yang
dikembangkan sebagai pembantu panca indera tersebut membentuk apa yang dikenal
dengan dunia empiris.13 Sesungguhnya bahwa hakikat keberadaan sesuatu itu sangat
kompleks, tidak hanya terbatas pada yang bersifat empiris. Konsep empiris hanya dimaknai
ketika berkaitan dengan keterbatasn kemampuan indera manusia dalam membentuk dunia
empiris. Jadi keberadaan sesuatu tidak identik dengan dunia empiris.

7

Ibid.
Koent o Wibisono Siswomihar djo, Ilmu Penget ahuan, “ Sebuah Sket sa Umum m engenai
Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengant ar unt uk memahami Filsaf at Ilmu” (M akalah), disajikan
pada Int ership Dosen Filsafat Ilmu Penget ahuan se Indonesia, 22-29 Agust us 1999, diselenggarakan
oleh Dit jen Dikt i Depdikbud bekerja sama dengan Fakult as Filsafat UGM , Yogyakart a, 1999, hal.11
9
Jujun J. Suriasumant ri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengant ar Populer, Pust aka Sinar Har apan,
Jakar t a, 2005, hal.33
10
Lasiyo, Hand Out Filsaf at Ilmu Penget ahuan, 2006,hal 1; dikut ip kembali oleh Yus Soedasrso
dkk. Ilmu Hukum dalam Perspekt if Filsafat Ilmu, Bungan Rampai Hakikat Keilmua Ilmu Hukum, Prest asi
Pust aka Publiher, 2007, hal.55
11
Oxford Advanced Learner’s Dict ionary, Oxford Univer sit y Press, 1995, hal.810
12
Jujun S.Suriasumant ri, Ilmu dalam Perspekt if, Jakart a: PT Gramedia, 1984, hal.5
13
Ibid.
8

61

Ada 3 aliran utama dalam merefleksi tentang obyek ilmu pengetahuan, yakni tentang
“ada” yaitu (1) aliran monistik. (2) aliran dualistik, dan (3) aliran pluralistik. Pada aliran
monistik juga terdapat aliran idealisme atau aliran spiritualisme dan aliran materialisme.14
Christian Walf (1679-1754) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah
monistik. Aliran Monistik tidak membedakan antara pikiran dan zat, karena keduanya hanya
berbeda dalam gejala tetapi mempunyai substansi yang sama15 Hakekat “ada” atau “being”
hanya satu yakni bentukan ide, spirit dan bendawi atau meterialisme.
Istilah dualistik digunakan oleh Thomas Hyde (1700) dan pengikut aliran ini adalah
Rene Descartes (1569-1650), John Locke (1632-1714), dan George Berkeley (1685-1753).
Menurut aliran ini, setiap realita adalah sesuatu yang dua. Oleh karena itu zat dan pikiran
(kesadaran) itu berbeda. Apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan dari
segenap pengalaman manusia adalah bersifat mental. Aliran pluralistik berpendapat bahwa
“yang ada” tidak hanya terdiri dari spirit dan benda tetapi selalu plural.
Pendekatan metafisis membicarakan hakikat apa yang dikaji ilmu pengetahuan. Ia
berusaha menjawab, apa obyek yang ditelaah oleh ilmu? Bagaimana wujud dan hakikat dari
obyek tersebut? Bagaimana hubungan subyek (manusia) dengan obyek ilmu?16
2. Epistemologi
D.W Hamlyn mendefenisikan epistemology, or theory of knowledge is that branch
of philosophy wihich is concerned with the nature and scope of knowledge, its
presuppositions and basis and in the general realibilty of claims to knowledges.
Pendekatan epistemologi membicarakan cara mendapatkan ilmu pengetahuan yang
benar tentang suatu obyek, atau cara manusia sampai pada kesimpulan. Ia berusaha
menjawab, proses terjadinya ilmu pengetahuan, sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode
ilmiah, kebenaran ilmiah. Akal (verstandn), akal budi (vernunft), pengalaman atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam
epistemology, sehingga dikenal adanya model-model epistemology seperti rasionalisme,
empirisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, dan fenomenologi dengan
berbagai variasinya.
Jujun S.Suriasumantri menegaskan bahwa hakekat keilmuan ditentukan oleh cara
berpikir yang dilakukan menurut pernyataan keilmuan.17

14

Dalam kut ipan Abdul Rachmad Budiono, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Dan Ar ah Bagi
Pengem bangan Ilmu Hukum M enuju Ke Arah Peningkat an Kualit as Para Sarjananya, 2001, hal.5
15
Jujun S.Suriasumant ri, Filsafat Ilmu sebuah Pengant ar Populer, Jakart a: Pust aka Sinar
Harapan, 2000, hal.66
16
Lasyo,op.cit , hal.12

62

Rasionalisme berdalil bahwa hanya rasio saja yang dapat membawa orang pada
kebenaran. Tokoh utama metode rasionalisme adalah Descartes (cogiti ergo sum),
artinya saya berpikir, maka saya ada, dan tokoh yang lainnya yakni Plato. Descartes
menyatakan idees claires et distiness, bahwa hanya tindakan budi (rasio) yang terang
bederang.18 Plato menegaskan bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal
saja, orang dapat menemukan pengetahuan dalam arti yang paling ketat yaitu
pengetahuan yang dalam keadaan apapun tidak mungkin salah.19
Thomas Hobbes (1588-1679) tokoh empirisme menyanggah bahwa pengalaman
manusia (empiri) merupakan sumber pengenalan manusia pada ilmu pengetahuan.
Namun dalam teori empirisme dan rasionalisme matematis, Hobbes tetap memberi
tempat bagi rasionalisme. Kedua aliran di atas didamaikan oleh Immanuel Kant melalui
kritisismenya yang menempatkan saran rasio dan empiris dalam proses pengetahuan
manusia.
Aliran rasionalisme kritis berusaha memecahkan sebanyak mungkin masalah
dengan bersandar pada akal, yaitu pikiran jernih dan pengalaman. Tokohnya Karl R.
Popper bersedia mendengarkan penalaran kritis dan belajar dari pengalaman.
Positivisme dengan tokoh utamanya Aguste Comte (1798-1857) berpendirian
bahwa hanya sesuatu yang ada saja yang dapat disebut sebagai fakta atau kenyataan.
Sesuatu yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala gejala.
Kesamaannya dengan empirisme terletak pada pengutamaannya pada pengalaman,
hanya saja empirisme menerima juga pengalaman batiniah atau pengalaman subjektif.
Phenomenology is the branch of philosophy that concentrates on what is perceived
by the sense in contract to what is independently real or true about the world.20 Atau
aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
Tokohnya Edward Hussel (1859-1938). Ia berpendapat bahwa hukum-hukum logika
yang memberi kepastian, yang berlaku, tidak mungkin bersifat a posterior, sebagai hasil
pengalaman, tetapi bersifat a priori.21 Akal menyusun segala gejala hingga menjadi
objek. Akal dan seluruh pengamatan menentukan atau mengkonstitusikan arti obyek
pengamatannya.
3. Aksiologi
17

Jujun S.Suriasumant ri, op.cit ., hal.9
I.R.Poedjow ijat na, Pem bim bing ke Arah Alam Filsafat , Jakart a: Rineka Cipt a, 1990, hal.100.
19
Alfons Taryadi, Epist emology Pemecahan M asalah M enurut Karl E. Ropper, Jakart a, PT.
Gramedia, 1989,hal.19.
20
Oxford, op.cit , hal.867.
21
Harun Hadiwijono, Sari sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal.31-32.
18

63

Pendekatan aksiologis membicarakan nilai kegunaan pengetahuan ilmiah. Ia
meliputi nilai-nilai (value) yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan. Francis Bacon menyatakan, pengetahuan adalah kekuasaan.
Ia berusaha menjawab, untuk apa ilmu pengetahuan itu digunakan, bagaimana
penentuan obyek ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral, bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma
moral.22 Ilmuwan tanpa moral akan menjadi drakula dalam kehidupan.
Pertanyaannya adalah apakah ilmu hukum memiliki ke tiga landasan
pendekatan sebagai suatu ilmu?
Filsafat ilmu membedakan ilmu berdasarkan dua pandangan yakni pandangan
positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan
ilmu normatif. Ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut yakni sebagai ilmu normatif dan
sebagai ilmu empiris. Sisi empiris inilah yang menjadi kajian ilmu hukum empiris
seperti sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence, dan untuk
mengkajinya dapat menggunakan metode penelitian ilmu sosial lainnya. Ilmu hukum
normatif mempunyai metode kajian yang khas.
Dalam kenyataan, para juris Indonesia terkesan berupaya untuk mengangkat
derajad keilmuan hukum dengan menerapkan metode kajian sosiologik dalam penelitian
hukum normatif. Hal ini dipandang sebagai sebuah pemaksaan.23 Karakter ilmu hukum
adalah ilmu. Hal ini dapat diuraikan berdasarkan pendekatan filsafat ilmu. Ilmu hukum
tidak termasuk dalam kelompok ilmu sosial maupun ilmu pengetahuan alam. Ilmu
Hukum merupakan ilmu yang sui Generis artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis
sendiri.24 Kekhasan ilmu hukum dapat ditelaah dalam 4 hal yalni:
(1) Karakter normatif (aspek ontologi, aksiologi)
(2) Terminologi Ilmu Hukum (Aspek Ontologi, Epistemologi)
(3) Jenis Ilmu Hukum (Aspek Ontologis, Epistemologi)
(4) Lapisan Ilmu Hukum (aspek Epistemologi)
Apakah pengetahuan hukum adalah sebuah ilmu dengan mengacu pada aspek
ontologi, epistemilogi, dan aksiologi?
(1) Aspek Ontologi

22

Jujun S. Suriasumant ri,, Filsafat Ilmu Sebuah Pengant ar Populer, Pust aka Sinar Harapan,
Jakar t a hal.71
23
Terry Hut chinson , f undament al research, 2002, hal.1-2
24
Philipus M .Hadjon dan Tat ik Sri Djamiat i, Loc Cit.hal.1

64

Aspek ontologi berkaitan dengan obyek kajian dari ilmu hukum. Mempelajari
hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Pertanyaannya adalah
apa yang dimaksudkan dengan hukum, yang merupakan obyek kajian ilmu hukum.
Beberapa pendapat ahli yang dapat dikutip perumusan pengertian hukum, seperti:
Wiryono Projodikoro mendefenisikan hukum sebagai rangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang sebagai suatu anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata
tertib di antara anggota masyarakat itu; Van Kan, hukum adalah ketentuan hidup yang
bersifat memaksa yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat; Rudolf van
Jehring merumuskan, hukum adalah keseluruhan yang memaksa, yang berlaku dalam
suatu Negara; Utrecht mendefenisikan hukum sebagai himpunan petunjuk hidup yang
mengandung perintah dan larangan, yang mengatur tingkah laku atau ketertiban dalam
masyarakat dan bagi yang mnelanggar akan dikenai tindakan penguasa.
Soejono Dirdjosisworo25 menguraikan bahwa arti atau makna hukum itu sendiri
berbeda-beda berdasarkan persepsi atau sudut pandang pemberi makna tentang hukum.
a.

Jika dikaitkan dengan penguasa maka hukum adalah seperangkat peraturan
tertulis yang dibuat oleh pemerintah melalui badan yang berwenang membentuk
berbagai peraturan tertulis seperti UUD, UU, Keputusan Presiden, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri.

b.

Hukum dalam arti petugas, nampak sebagai penegak hokum seperti polisi,
jaksa, hakim.

c.

Hukum dalam arti sikap tindak adalah perilaku yang ajeg atau tindak yang
teratur.

d.

Hukum adalam arti sistem kaidah yakni pemikiran bulat yang didalamnya
terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dengan serasi dan saling
mengisi serta tidak saling bertentangan satu sama lain.

e.

Hukum adalam arti jalinan nilai bertujuan menserasikan nilai obyektif universal
tentang baik buruk, patut dan tidak patut, sedemikian rupa untuk mencerminkan
rumusan perlindungan kepentingan antara individu, pemenuhan kebutuhan dan
perlindungan hak, dengan ketentuan yang merupakan kepastian hukum.

f.

Hukum dalam arti tata hukum atau juga disebut sebgai hokum positif yakni
hukum yang berlaku di suatu tempat pada saat tertentu. Kata tempat tidak
disinonimkan dengan Negara dalam konteks hukum yang pluralistic seperti
Indonesia. (Penulis)

25

Dikut ip oleh Tony Hanoraga, Kajian Karakt erist ik Ilmu Hukum dalam Perspekt if Filsafat Ilmu;
Bungan Ram pai Hakikat Keilmuan, Prest asi Pust aka, Jakar t a, 2007. hal.24

65

g.

Dalam arti ilmu hukum, hokum adalah ilmu yang menelaah kaidah atau system
kaidah.

h.

Hukum dalam arti disiplin hukum adalah ajaran mengenai kenyataan atau
gejalan yang dihadapi manusia.

Sebagai suatu ilmu, ilmu hukum mempunyai ciri sebagaimana dikemukakan oleh
D.H.M Meuwissen yakni:
a.

Empiris analitis, artinya hukum memberikan pemaparan dan analisis tentang isi
dan struktur dari hukum

yang berlaku. Terkait padanya ia dapat menggunakan

metode empiris tetapi hal itu tidak perlu. Sudah pasti ia tidak memberikan penjelasan
(erklaeren) meskipun benar ia memikirkan berbagai pengertian dalam peraturan
antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu pengertian-pengertian ini dianalisis
dan terutama dicoba untuk mengerti pengertian-pengertian tersebut dengan latar
belakang azas-azas yang melandasi mereka. Keterkaiatan pada azas-azas hukum ini
terutama dalam kerangka penstudian dan pengembangan hukum perdata adalah jelas
(eviden).
b.

Ilmu hukum mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan
dianalisis.Artinya bahwa suatu system hukum yang logis konsisten telah dirancang,
sebagaiman misalnya terjadi dalam pandangan-pandangan dari Luhmann dan Raz. Ia
lebih merupakan pengembangan sustu system terbuka yang berarti bahwa aturanaturan dan keputusan hokum dipikirkan dalam suatu hubungan yang relative bebas
antara satu dengan yang lainnya. Yang menentukan adalah orang yang
mempertautkan kaidah-kaidah hukum ini pada azas-azas yang melandasi hubungan
in. Berdasarkan azas-azas ini maka gejala-gejala hukum dapat disitematisasikan.

c.

Ilmu hukum menginterpretasi hukum yang berlaku. Dalam hal ini ilmu hukum
memiliki sifat hermeneutis.

d.

Ilmu hukum menilai hukum yang berlaku. Dalam artian relatif ilmu hukum bersifat
normatif. Itu berarti tidak hanya obyeknya terdiri atas kaidah-kaidah, tetapi karena
pendirian-pendirian ia sendiri sambil memiliki suatu dimensi pengkaidahan
(menetapkan norma). Ia tidak bebas nilai dan secara langsung berkaitan dengn idea
hukum dengan perwujudan tujuan hukum. Ilmu hukum dogmatik, dalam penilaianpenilaian dan keputusannya memberikan sumbangan pada relasi dari tujuan ini,
yakni keadilan atau kebenaran. Padanya ia memperoleh rasio, makna dan
berfungsinya. Dasar penilaian ini melandasi semua kegiatannya.

e.

Praktis.
Ini berkaitan dengan dimensi normatif. Antara teori dan pratek berkenaan dengan
dogmatik hukum terdapat keterkaitan yang majemuk. Apa yang dapat dikemukakan
oleh ilmu hukum dogmatik pada akhirnya berkaitan dengan penerapan paktis dari
66

ilmu hukum. Untuk itu hukum dapat dipaparkan, dianalisis, disitematisasi dan
diinterpretasi. Pada penerapan praktis itulah juga penilaian normatif terhadap hukum
positif diarahkan.
Pada tataran teoritis, ilmu hukum dogmatik memberikan suatu model bagi perwujudan
praktis dari hukum. Model ini direflektis dan diargumentasi secara teoritis. Tanpa
pegangan teoritis, pratek hukum tidak dapat berfungsi. Pada pihak lain, isi dari pratek
hokum memberikan dampak balik pada model teoritis ini, bukan kah teori itu merefleksi
pratek hukum. Jadi teori dan pratek itu saling berkaitan erat dan karena itu hanya dapat
dipikirkan sebagai keseluruhan dan diwujudkan dari makna normative praktis dari
dogmatik hukum.
(2) Aspek Epistemologi
Ilmu hukum mempunyai metode penilaian yang khas yakni dengan mengadakan
bebagai pendekatan secara hisoris, perbandingan, untuk dapat dikembangkan secara
teoritik agar dapat diterapkan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.Konsep
dalam pengembangan ilmu hukum didasarkan pada berbagai fenomena dan gejala yang
hidup dalam masyarakat, kemudian dirumuskan secara sistematis dalam berbagai rumusan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu kebenaran yang dirumuskan dalam
pengkajian ilmu hokum adalah kebenaran yang pragmatis.
Kerangka kajian ilmu hukum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bernard
Arief Sidharta menjelaskan bahwa ilmu hukum dalam pengembanannya berfungsi
menghimpun, menginterpetasi, memaparkan dan mensistematisasi bahan hukum yang
terdiri dari azas-azas, aturan-aturan dan putusan-putusan hukum, suatu tatanan hukum
untuk menghadirkannya sebagai suatu system hukum, sehingga keseluruhannya
mewujudkan satu keatuan yang koheren yang dengan mengacu pada pengembangan hokum
praktis dan penyelesaian masalah hukum. 26
Hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat merupakan bagian dari
kesadaran hukum, harus mampu dikelola oleh ilmuwan hukum kemudian dirumuskan
secara baik dalam arti berupaya untuk mensistematisasikannya, sebagai upaya untuk
mendapatkan kebenaran yang hakiki, bersarkan nilai moral dan etika.Hukum juga memiliki
struktur logical. Kesatuan dan kesisteman sudah ada dalam hukum itu sendiri, bahkan
dalam kesadaran hukum masyarakat yang

melahirkan hukum itu, karena hukum

merupakan bagian dari kehidupan kerohanian yang memungkankan manusia menjalankan
kehidupannya.
26

Ber nard Arief Sidhart a, Refleksi t ent ang St rukt ur Ilmu Hukum, 2000, hal.107-111.

67

Ada dua aspek keilmuan ilmu hukum yakni aspek praktis dan teoritis. Dalam artian
pratek, ilmu hukum digunakan untuk memecahkan masalah hukum. Dari aspek teoritis,
ilmu hukum digunakan untuk pengembangan ilmu hukum itu sendiri. Pendekatan yang
dapat digunakan adalah statute approach yaitu pendekatan Undang-Undang; Case approach
atau pendekatan kasus; pendekatan komparatif; dan conceptual approach atau pendekatan
konsep-konsep hukum.
(3) Aspek Aksiologi
Kekhasan ilmu hukum sebagai ilmu dapat ditemukan melalui pendekatan
aksiologi yang berbicara tentang kegunaan ilmu hukum sebagai ilmu dalam kehidupan
manusia. Kegunaaan ilmu hukum27 adalah :
a.

Mempesiapkan putusan hukum dalam tataran mikro maupun makro.

b.

Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dan merekomendasikan
interpretasi terhadap aturan hukum yang tidak jelas.

c.

Mengeliminasi kontaradiksi hukum yang tampak dalam tata hukum.

d.

Kritik dan menyarankan amandemen terhadap peraturan dan Undang-Undang
yang ada, serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.

e.

Analisis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan jurisprudensi.

2. Pendekatan dari sudut Pandang Teori Hukum
Ilmu hukum terdiri atas tiga lapisan utama yaitu dogmatik hukum, teori hukum
(dalam arti sempit), dan filsafat hukum. Ketiga-tiganya memberi dukungan pada pratek
hukum.
Ragaan 3. Lapisan Ilmu Hukum

27

Bernard Ar ief Sidhart a, op.cit . hal.216

68

LAPISAN ILMU HUKUM

FILSAFAT HUKUM

TEORI HUKUM

DOGM ATIK HUKUM

PRATEK HUKUM
J.J.H Bruggink menyatakan, ada dua jawaban yang saling berlawanan terhadap
pertanyaan apakah ilmu hukum itu. Dua jawaban tersebut berangkat dari dua pandangan yaitu
pandangan positivistik dan normatif. Menurut pandangan positivistik, hanya sosiologi empirik
dan teori hukum empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan kriteria ilmu
yang ditentukan kaum positivistik. Sementara itu kegiatan sosiologi hukum kontemplatik,
dogmatik hukum (ilmu hukum dalam arti sempit), teori hukum kontemplatif dalam arti sempit
dan filsafat hukum harus dipandang bukan ilmu, melainkan hanya sebagai rechtsgeleerdheit atau
keahlian hukum terdidik atau kemahiran hukum terdidik.
Ilmu hukum dalam arti luas meliputi filsafat hukum, teori hukum (dalam arti sempit)
dan dogmatik hukum.19 Yang dimaksudkan dengan teori hukum dalam arti sempit adalah
lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum, sedangkan teori
hukum dalam arti luas sama dengan ilmu hukum dalam arti luas.
Kaum positivistik berpendapat bahwa kebenaran adalah kesamaan antara teori dan
kenyataan. Teori yang berhasil korespondensi dengan dunia kenyataan akan menghasilkan
pengetahuan yang obyektif. Ilmuwan bekerja dari perspektif eksternal. Ia mendekati dunia
kenyataan sebagai seorang pengamat. Pandangan positivistik memberi nilai tinggi pada panca
indera manusia.
Pandangan normatif berpendapat bahwa tiap teori hukum (dalam arti luas) dapat
memenuhi syarat-syarat yang diterapkan bagi ilmu, sehingga tiap cabang teori hukum (dalam

19

Philipus M .Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum , Universit as Brawijaya, Penat aran dan Lokakarya,
M enggagas Format Usulan Laporan Penelit ian Hukum Norm at if, 1977, hal.6

69

arti luas) dapat menyandang gelar ”ilmu”. Pandangan normatif mengakui keterjalinan faktual
antara hukum dan moral. Hal ini berbeda dengan pandangan positivistik.
Teori Paradigma Thomas Kuhn membagi dua tahap atau periode dalam setiap ilmu
yaitu: tahap pra-paradigmatik dan tahap ilmu normal.20 Pada tahap pra-paradigmatik terdapat
sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh
penerimaan secara umum, akan tetapi perlahan-lahan salah satu sistem teoritikal mulai
memperoleh penerimaan secara umum, dan dengan itu, paradigma pertama sebuah disiplin
terbentuk. Dengan terbentuknya paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin
memasuki periode ilmu normal atau normal science.
Ilmu normal adalah kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu atau lebih
pencapaian ilmiah di masa lalu, yakni pencapaian-pencapaian oleh komunitas atau masyarakat
ilmiah bidang tertentu pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk pratek
selanjutnya. 21
Archie J.Bahm berpendapat bahwa ilmu sedikitnya melibatkan enam komponen pokok
yakni: masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan efek.22 Dan berdasarkan keenam
komponen tersebut, keilmuan ilmu hukum tidak diragukan lagi. Juga refleksi kefilsafatan
tentang ilmu hukum dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi akan menentukan
keberadaan dan karakter keilmuan dari ilmu hukum yang selanjutnya akan berdampak pada cara
membangun tata hukum dan pengembanan hukum praktis.
D. Penutup
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengetahuan hukum adalah ilmu berdasarkan filsafat ilmu
2. Aspek ontologi ilmu hukum adalah hukum positif atau hukum yang berlaku di
suatu negara pada saat tertentu.
3. Aspek epistemologi ilmu hukum meliputi: menghimpun, menginterpretasi,
memaparkan dan mensistematisasi bahan hukum yang terdiri dari asas hukum,
norma hukum, putusan, dan lain-lain.
4. Aspek aksiologi ilmu hukum adalah untuk: mempersiapkan putusan, baik pada
tataran mikro maupun makro; menunjukan tentang hukum suatu persoalan;
mengeliminasi kontradiksi yang tampil dalam tata hukum.
20

. B.Arief Sidhart a, Op.Cit , hal 89
Ibid
22
Archie J.Bahm, What is Science?, hal 1,
21

70

5. Keilmuan pengetahuan hukum dilandasi cara pandang Filsafat Ilmu dan dari sisi
Lapisan Ilmu Hukum yang menyumbangkan implementasi dalam tataran dunia
praktis.
Dengan demikian diisarankan agar perdebatan tentang keilmuan ilmu hukum lebih
relevan difokuskan pada pengembanan hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bernard arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, CV mandar Maju,
Bandung, 2000.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1985.
Lasiyo,Hand Out Filsafat Ilmu Pengetahuan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, 2006.
P.M.Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika No.6 Tahun
1994, Surabaya, 1995.
--------------, Argumentasi Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
Tony Hanoraga, Kajian Karakteristik Ilmu Hukum dalam Perspektif Filsafat
Ilmu;Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum; Suatu Tinjauan dari
Sudut Pandang Filsafat Ilmu,Prestasi Pustaka, Yakarta, 2007.
Trianto & titik Triwulan Tutik, Ilmu Hukum Sebagai Sui Generis; Sebuah
Pengantar,

Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum; Suatu

Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu,Prestasi Pustaka, Yakarta,
2007.

71