Proses Belajar Mengajar.pdf
PENGANTAR KE PROSES BELAJAR MENGAJAR
PENDAHULUAN
Bila terjadi suatu proses belajar, maka bersama dengan itu terjadi pula proses
mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar tentu ada
yang mengajarnya, dan sebaliknya, bila ada yang mengajar tentu ada yang belajar.
Sesungguhnya setiap saat dalam kehidupan terjadilah proses belajar‐mengajar,
disengaja atau tidak disengaja, disadari atau tidak tentu ada yang belajar.
Sesungguhnya setiap saat dalam kehidupan terjadilah proses belajar‐mengajar,
disengaja atau tidak sengaja, disadari atau tidak disadari. Dari proses belajar‐
mengajar ini akan diperoleh suatu hasil, yang umumnya disebut hasil pengajaran,
hasil belajar dan sebagainya. Agar memperoleh hasil yang seeffsien‐efisiennya, maka
proses belajar‐mengajar dilakukan dengan sengaja, dengan sadar dan dengan
terorganisir baik.
Untuk mencapai tujuan tersebut orang mengembangkan psikologi pendidikan,
metode‐metode mengajar, pengelolaan pengajaran, dan lain‐lain ilmu yang dapat
menunjang memperbaiki proses belajar‐mengajar tersebut. Berikut ini akan ditinjau
secara garis besar proses belajar‐mengajar tersebut.
BELAJAR
Proses belajar (learning) ialah suatu perubahan yang relative tetap dalam persediaan
(refertoire) tingkah laku, yang terjadi sebagai hasil pengalaman. Ini berarti bahwa
hanya dapat dikatakan terjadi proses belajar bila seseorang menunjukkan tingkah laku
yang tidak sama.
Misalnya: bila ia dapat membuktikan pengetahuan tentang fakta‐fakta baru atau ia
dapat melakukan sesuatu, yang sebelumnya ia tidak dapat melakukannya. Jadi proses
belajar menempatkan seseorang dari status abilitas yang satu ke status abilitas yang
lain. Apabila didefinisikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang berkat usaha
belajar yang dilakukannya. Perubahan status abilitas meliputi 3 ‘domain’ menurut
Bloom (1964) yaitu domain cognitive, effective, dan psychomotor.
Masing‐masing domain tersebut dibagi lagi menjadi beberapa jangkauan kemampuan
(level of competence) sebagai berikut :
Cognitive
Affective
Psychomotor
Knowledge
Receiving
Initiatory level
Comprehension
Responding
Pre‐routine level
Application
Valuing
Routinized level
Synthesis
Organization
Analysis
Charactersation
Evaluation
Keterangan :
Jangkauan kemampuan cognitive dan affective menurut Bloom jangkauan
kemampuan psychomotor: diusulkan oleh Menteri Pendidikan Srilangka (1967).
Jangkauan‐jangkauan tersebut diasumsikan bersifat hirarkis dan kumulatif, yaitu
jangkauan yang ditulis di atas lebih rendah tingkatnya dari yang dibawahnya. Hal ini
masih perlu dievaluasi.
Sesuai dengan tujuan belajar, jangkauan kemampuan tersebut tidak selalu harus
dicapai yang tertinggi, mungkin hanya sampai yang pertama, kedua dan seterusnya,
dan mungkin juga hanya untuk satu domain, dua domain, kombinasi domain‐domain
dan sebagainya. Agar supaya proses belajar dapat berlangsung optimal, maka telah
dikembangkan teori‐teori belajar; dasar‐dasar psikologis untuk proses belajar, factor‐
faktor yang mempengaruhi proses belajar dan sebagainya.
Mengajar:
Proses belajar‐mengajar menghasilkan hasil pengajaran. Meskipun tujuan belajar
telah dinyatakan dengan jelas dan baik namun belum tentu hasil yang diperoleh baik.
Suatu pengajaran disebut berhasil baik, bila pengajaran tersebut membangkitkan
proses belajar belajar efektif. Dalam hal ini masalah yang menentukan, bukan metoda
atau prosedur yang digunakan dalam pengajaran, bukan kolot atau modernnya
pengajaran, bukan pula konfensional atau profesifnya pengajaran. Semuanya itu
mungkin penting artinya, tetapi tidak merupakan pertimbangan terakhir, karena
berkenaan dengan ‘alat’ dan bukan dengan ‘tujuan’ pengajaran. Bagi pengukuran
suksesnya pengajaran, syarat tertinggi ialah : berhasilnya.
Hasil yang disebut baik hendaknya dinilai dari :
1. Hasil yang tahan lama dan dapat digunakan dalam kehidupan oleh
mahasiswa. Mungkin seorang dosen merupakan seorang ‘pelatih yang baik’
bagi mahasiswa yang akan menghadapi ujian. Tapi bila hasil pengajarannya
tidak tahan lama dan lekas menghilang, maka hasil pengajaran tersebut tidak
efektif. Seorang dosen harus mempertimbangkan berapa banyak dari yang
diajarkannya yang akan masih diingat kelak oleh mahasiswa, setelah lewat
seminggu, sebulan, setahun atau sepuluh tahun.
2. Hasil yang merupakan pengetahuan asli atau otentik. Pengetahuan hasil
pengajaran demikian telah merupakan bagian kepribadian mahasiswa yang
mempengaruhi pandangannya dan caranya mendekati suatu permasalahan.
Ini disebabkan karena pengetahuan tersebut penuh arti bagi si mahasiswa.
Perumusan yang mungkin terbaik untuk pengajaran, ialah mengorganisir proses
belajar. Dengan demikian permasalahan yang dihadapi oleh pengajaran yang berhasil
baik, ialah bagaimana mengorganisir proses belajar untuk mencapai pengetahuan
otentik. Perumusan di atas dapat berlaku bagi setiap jenis dan corak pengajaran.
Karena proses belajar harus diorganisir sebaik‐baiknya, maka menurut hakekatnya
dosen dapat disebut sebagai seorang organisator. Sebagai seorang organisator yang
baik, maka dosen harus memperlihatkan cirri‐ciri tertentu dalam pekerjaannya. Pada
cirri‐ciri tersebut tergantung efektivitas seorang dosen.
Ciri‐ciri seorang organisator yang baik ialah :
1. Ia bukan seorang otokrat.
2. Ia tidak akan bertindak sebagai anggota biasa dari kelompoknya tanpa hak‐
hak khusus atau tanpa kekuasaan dan keistimewaan tertentu.
3. Ia akan membantu kelompok dan oknum‐oknum didalamnya untuk
menemukan, merumuskan dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapainya
sendiri.
4. Ia akan mewakili dan membagikan tanggung jawab seluas yang dapat
dilakukannya.
5. Ia merangsang dan menghargai inisiatif.
6. Ia akan lebih bertumpu pada kekuatan dan tidak akan menonjolkan
kelemahan.
7. Ia akan memupuk kritik dan penilaian diri sendiri diantara anggota‐anggota
kelompoknya.
8. Ia akan terus menerus mengadakan pengawasan, karena tanpa pengawasan
dan peraturan tidak ada satu kelompokpun yang dapat berfungsi dengan baik.
Cirri‐ciri tersebut ialah cirri‐ciri cara bertindak. Tidak boleh dilupakan, bahwa dosen
terutama bekerja dengan manusia. Tugas dan tanggung jawabnya ialah menciptakan
berbagai situasi yang memungkinkan orang‐orang itu dapat bekerja dan mencapai
hasil sebaik‐baiknya;
Usaha untuk mencari orgnisasi yang lebih baik dari pola ‘buku pelajaran tugas hafalan
– pengucapan hafalan’ mengikuti 2 garis perkembangan utama :
1. Usaha menggunakan metode yang lebih baik yaitu menggunakan cara‐cara
yang lebih baik untuk menyajikan pelajaran, dihubungkan dengan
penggunaan alat‐alat yang lebih efektif, seperti pertanyaan, gutas, buku
pelajaran, papan tulis dan sebagainya.
2. Usaha mengubah hubungan dosen dan mahasiswa, serta dalam pola aktivitas
yang akan membawa mahasiswa pada kesibukan belajar.
Belajar harus diorganisasi dalam arti, bahwa mahasiswa menerimanya sebagai :
•
Suatu pekerjaan nyata dan memaksa serta bermanfaat.
•
Yang menghadapkannya pada tantangan‐tantangan yang maknawi.
•
Serta membawanya :
a. Ada wawasan yang lebih mendalam dan luas.
b. Pada sikap yang lebih kritik dan pada keterampilan yang memadai.
Seperti terlihat di atas pengajaran yang berhasil akan mengorganisir proses belajar
yang bermakna penuh. Dari percobaan‐percobaan terbukti bahwa belajar tergantung
dari makna (yang dipelajari). Menarik perhatian dan dapat menimbulkan
pemahaman, merupakan unsure‐unsur yang menentukan ‘makna’ tersebut. Di sini
dosen harus memberi tekanan pada ‘makna’ (yang dipelajari) karena belajar itu
sendiri esensinya merupakan usaha mencari dan menemukan makna (dari yang
dipelajari).
Dosen yang memberikan latihan, yang sama sekali tidak komprehensif sifatnya atau
menyuruh mahasiswa‐mahasiswanya menghafalkan fakta‐fakta yang tidak
berhubungan satu dengan yang lainnya, melakukan pekerjaan yang berlawanan
dengan hakekat belajar itu sendiri. Sebaliknya seorang dosen yang selalu berusaha
agar mahasiswa‐mahasiswanya memahami akan mengorganisir proses itu seperti
yang seharusnya dilakukan.
Hal yang hendaknya selalu diingat seorang dosen ialah, bahwa belajar sama dengan
mengerti. Belajar ialah mencari, menemukan dan melihat pokok persoalannya.
Belajar ialah memecahkan persoalan yang dihadapi dalam arti inklusif, bahwa kalau
seseorang telah menguasai keterampilan motoris atau kalau seseorang sudah
mempunyai kemampuan menghargai suatu simfoni misalnya, ia itu sebenarnya telah
memecahkan dan menemukan kunci persoalan yang dihadapinya.
Pengajaran berhasil baik itu didasarkan pada pengakuan bahwa belajar secara
esensial merupakan suatu proses yang bermakna dan bukan sesuatu yang
berlangsung dengan mekanis belaka. Penelitian psikologik mengungkapkan sejumlah
aspek yang khas sifatnya atau menekankan pada beberapa hal dalam keseluruhan
pola dari apa yang disebut ‘belajar dengan penuh makna’, yang memungkinkan
orientasi untuk lebih tegas dan pasti.
1. Belajar menurut esensinya mempunyai tujuan. Belajar mempunyai makna
penuh dalam arti mahasiswa memperhatikan makna tersebut.
2. Proses belajar, ialah sesuatu yang bersifat eksploratif serta menemukan dan
bukan merupakan pengulangan rutin.
3. Hasil belajar yang dicapai itu selalu memunculkan pemahaman atau
pengertian, atau menimbulkan reaksi atau jawaban yang dapat dipahami dan
masuk akal (intelligible).
4. Hasil belajar itu tidak terikat pada situasi ditempat mencapainya, akan tetapi
dapat juga digunakan dalam situasi lain.
Pengajaran, yaitu hasil proses belajar‐mengajar efektivitasnya tergantung dari
beberapa unsure‐unsur. Yang dimaksud dengan efektivitas pengajaran ialah
suksesnya memproduksi hasil‐hasil otentik.
1. ‘Kemaknaan’ dan karena efektivitas ‘belajar’ untuk sebagian besar tergantung
pada konteks ‘belajar’ itu sendiri. Konteks pelajaran ialah susunan bahan‐
bahan ketika disajikan untuk dipelajari. Setiap dosen, ketika merencanakan
pekerjaan yang akan dilakukan, seharusnya selalu mempertimbangkan
dengan kritis jenis konteks yang hendak dipergunakannya. Situasi problematic
yang mencakup tugas untuk ‘belajar’ hendaknya dinyatakan dalam kerangka
konteks yang dianggap penting dan memaksa bagi mahasiswa dan yang
melibatkannya menjadi peserta aktif, justru karena tujuannya sendiri. Tugas
hendaknya dinyatakan dalam kerangka konteks yang bersifat kongkrit, dapat
ditiru dan dilaksanakan secara teratur, yang memberikan kemungkinan
seluas‐luasnya untuk bereksprerimentasi, beresplorasi dan menemukan, serta
yang mengarahkan pada penguasaan melalui pengertian dan pemahaman
serta yang memungkinkan ‘transfer’. Bila ternyata pekerjaannya tidak lancar
jalannya, hendaknya dicari apakah kesulitan yang dihadapi itu disebabkan
penggunaan jenis konteks yang tidak tepat.
2. Belajar yang penuh makna dan efektif harus diorganisir sekitar suatu focus.
Cirri‐ciri focus yang baik adalah:
a. Focus membolisasi tujuan. Telah dilihat, bahwa tidak mungkin ada
‘belajar’ bila tidak ada kehendak untuk belajar. Pembangkitan kehendak
untuk berlajar merupakan suatu persoalan organisasi yang terutama
tergantung pada dua prinsip operasional prinsip konteks dan focus.
Konteks membangkitkan tujuan. Focus merumuskan dan mengarahkan
tujuan itu.
b. Focus memberikan bentuk dan uniformitas pada ‘belajar’. ‘Belajar’
hendaknya diorganisasi sedemikian sehingga mahasiswa dapat melihat
hbungan‐hubungan antar‐bagian. Pola atau rencana mengenai hal‐hal
yang dipelajarinya.
c. Fokalisasi mengorganisasi ‘belajar’ sebagai suatu proses eksplorasi dan
penemuan. Seorang dosen yang baik akan selalu berusaha mengajak
mahasiswa ‘belajar’, melalui penemuan dan pemecahan persoalan.
Yang menjadi syarat bagi setiap jenis situasi mengajar‐belajar ialah suatu
konteks yang ‘kaya’ dan ‘memaksa’ yang menimbulkan focus dinamik serta
yang menyatukan dan menjelaskan.
3. Mutu makna dan efektivitas ‘belajar’ sebagian terbesar tergantung pada
kerangka social tempat belajar itu berlaku. Di sini dihadapi prinsip psikologi
asasi yang ketiga bagi pengajaran yang berhasil baik, yakni prinsip sosialisasi.
Orang umumnya tidak akan ragu‐ragu menyatakan, bahwa pertukaran
pikiran antara beberapa orang dapat berakibat besar serta menguntungkan
atas hasil berfikir dan belajar. Pengaruh keadaan social atas ‘belajar’ telah
banyak sekali menarik perhatian dengan nama ‘dinamika kelompok’.
Cirri‐ciri sosialisasi yang baik :
a. Fasilitas social.
Seseorang akan lebih baik melakukan berbagai tugasnya, bila ia
melakukannya dalam satu kelompok dengan orang‐orang yang
bersamaan tugasnya, daripada ia harus melakukan tugasnya itu seorang
diri. Fasilitas social akan bekerja, bila mereka yang telah mencapai
sesuatu menjadi ‘bukti hidup’, bahwa mencapai sesuatu itu memberikan
kegembiraan, ada mutunya dan mungkin dicapai (oleh semua orang).
b. Perangsang (incentives)
Pengakuan atau penghargaan yang bagaimanapun untuk setiap pekerjaan
dan usaha yang dilakukan selalu dianggap perlu. Perangsang yang positif
sifatnya selalu lebih baik daripada yang negative. Pokok yang dihadapi
ialah untuk mengorganisasi aspek social dari ‘belajar’ itu sedemikian,
sehingga kelompok yang bekerja dan hidup bersama‐sama dalam kelas,
selalu dan secara berkesinambungan diarahkan kegiatannya pada
pengakuan dan penghargaan pekerjaan yang berhasil, serta pada
pemberian dorongan kepada setiap usaha.
c. Kelompok demokratis.
Anggota‐anggota suatu kelompok yang diorganisasi dan diatur dengan
cara‐cara demokratis, akan memperlihatkan cara dan hasil‐hasil belajar
yang lebih baik dibandingkan dengan suatu kelompok yang diorganisasi
dan diatur secara otokratis.
4. “Belajar dengan penuh makna” harus dilaksanakan sesuai dengan bakat dan
kesanggupan serta tujuan pelajar sendiri dan dengan prosedur
eksperinmental yang berlaku. Perumusan ini merupakan perumusan tentang
prinsip individualisasi yang menjadi pedoman bagi usaha mengorganisasi
‘belajar’ bila diinginkan supaya efektif.
Kiranya telah jelas bagi setiap orang bahwa ‘belajar’ merupakan persoalan
individual. Alasannya sederhana saja, ialah bahwa setiap orang harus
melakukan belajar itu bagi dirinya sendiri. Perbedaan ‘hasil belajar’ ada dua
jenis yaitu :
a. Perbedaan‐perbedaan vertical (perbedaan satu dimensi, perbedaan
kuat.titatif).
Manusia dapat diurutkan kedudukannya menurut garis naik atau pun
garis turun, sehubungan dengan mutu satu sifat manusia bersangkutan.
Dasar klasifikasi dapat bersifat jasmaniah misalnya, menurut tinggi badan
dan sebagainya. Tetapi dasar tersebut dapat pula bersifat mental.
Perbedaan‐perbedaan vertical yang terpenting dengan dasar ini ialah
yang disebut ‘intelegensi umum’. Dengan ‘test intelegensi’ dapatlah
diungkapkan perbedaan‐perbedaan vertical jenis ini.
b. Perbedaan‐perbedaan kualitatif.
Manusia berbeda satu dari yang lain dalam hal‐hal yang mengenai
kecekatan khusus, perhatiannya dan cara‐cara bekerja.
Perbedaan‐perbedaan itu tidak dapat disusun dalam suatu lajur satu
dimensi, karena hal‐hal tersebut menunjukkan perbedaan dalam jenis
atau ‘type’ dan bukan derajat. “Test aptitude” sedikit banyak dapat
mengungkapkan perbedaan kualitatif tersebut.
5. Sampai sekarang yang dibicarakan ialah ‘belajar’ sebagai gejala tersendiri dan
cara mengorganisasinya dengan tepat berdasar prinsip konteks, fokalisasi,
sosialisasi dan individualisasi.
Disamping hal‐hal ini perlu pula dipikirkan efektivitas serangkaian pelajaran,
yang disusun tepat pada waktunya. Organisasi sekuens (sequence) belajar
‘dengan penuh makna’ harus dari sendirinya bermakna penuh pula, bila
hendak dicapai hasil‐hasil yang otentik. Inilah yang disebut prinsip ‘sekuens’.
Ciri‐ciri suatu sekuens yang terorganisasi dengan wajar ialah :
a. Pertumbuhan itu bersifat berkesinambungan.
b. Pertumbuhan tergantung dari tujuan.
c. Pertumbuhan tergantung pada munculnya ‘makna’
d. Pertumbuhan merupakan evaluasi dari penguasaan yang langsung
menuju ke pengendalian yang jauh.
e. Pertumbuhan merupakan gerakan dari yang kongkrit kea rah yang
simbilis.
f.
Pertumbuhan ialah suatu gerakan dari yang kasar dan global kea rah
yang diskriminatif.
g. Pertumbuhan merupakan suatu proses transformasi.
6. Efektivitas dan sukses setiap usaha ‘belajar’ akan meningkat oleh evaluasi
yang bermutu dan diskriminatif, yang mengenai semua aspek belajar itu.
Evaluasi merupakan bagian mutlak dari pengajaran.
Evaluasi membawa murid pada taraf ‘belajar’ yang lebih baik lagi dari yang
telah dilakukannya.
Evaluasi yang baik harus langsung berhubungan dan harus membantu
realisasi secara progresif tujuan ‘belajar’ yang dianut oleh mahasiswa. Seperti
telah diuraikan terdahulu ‘belajar’ dimulai karena adanya dorongan
keperluan, atau karena adanya suatu persoalan yang dirasakan memaksa.
PENDAHULUAN
Bila terjadi suatu proses belajar, maka bersama dengan itu terjadi pula proses
mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar tentu ada
yang mengajarnya, dan sebaliknya, bila ada yang mengajar tentu ada yang belajar.
Sesungguhnya setiap saat dalam kehidupan terjadilah proses belajar‐mengajar,
disengaja atau tidak disengaja, disadari atau tidak tentu ada yang belajar.
Sesungguhnya setiap saat dalam kehidupan terjadilah proses belajar‐mengajar,
disengaja atau tidak sengaja, disadari atau tidak disadari. Dari proses belajar‐
mengajar ini akan diperoleh suatu hasil, yang umumnya disebut hasil pengajaran,
hasil belajar dan sebagainya. Agar memperoleh hasil yang seeffsien‐efisiennya, maka
proses belajar‐mengajar dilakukan dengan sengaja, dengan sadar dan dengan
terorganisir baik.
Untuk mencapai tujuan tersebut orang mengembangkan psikologi pendidikan,
metode‐metode mengajar, pengelolaan pengajaran, dan lain‐lain ilmu yang dapat
menunjang memperbaiki proses belajar‐mengajar tersebut. Berikut ini akan ditinjau
secara garis besar proses belajar‐mengajar tersebut.
BELAJAR
Proses belajar (learning) ialah suatu perubahan yang relative tetap dalam persediaan
(refertoire) tingkah laku, yang terjadi sebagai hasil pengalaman. Ini berarti bahwa
hanya dapat dikatakan terjadi proses belajar bila seseorang menunjukkan tingkah laku
yang tidak sama.
Misalnya: bila ia dapat membuktikan pengetahuan tentang fakta‐fakta baru atau ia
dapat melakukan sesuatu, yang sebelumnya ia tidak dapat melakukannya. Jadi proses
belajar menempatkan seseorang dari status abilitas yang satu ke status abilitas yang
lain. Apabila didefinisikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang berkat usaha
belajar yang dilakukannya. Perubahan status abilitas meliputi 3 ‘domain’ menurut
Bloom (1964) yaitu domain cognitive, effective, dan psychomotor.
Masing‐masing domain tersebut dibagi lagi menjadi beberapa jangkauan kemampuan
(level of competence) sebagai berikut :
Cognitive
Affective
Psychomotor
Knowledge
Receiving
Initiatory level
Comprehension
Responding
Pre‐routine level
Application
Valuing
Routinized level
Synthesis
Organization
Analysis
Charactersation
Evaluation
Keterangan :
Jangkauan kemampuan cognitive dan affective menurut Bloom jangkauan
kemampuan psychomotor: diusulkan oleh Menteri Pendidikan Srilangka (1967).
Jangkauan‐jangkauan tersebut diasumsikan bersifat hirarkis dan kumulatif, yaitu
jangkauan yang ditulis di atas lebih rendah tingkatnya dari yang dibawahnya. Hal ini
masih perlu dievaluasi.
Sesuai dengan tujuan belajar, jangkauan kemampuan tersebut tidak selalu harus
dicapai yang tertinggi, mungkin hanya sampai yang pertama, kedua dan seterusnya,
dan mungkin juga hanya untuk satu domain, dua domain, kombinasi domain‐domain
dan sebagainya. Agar supaya proses belajar dapat berlangsung optimal, maka telah
dikembangkan teori‐teori belajar; dasar‐dasar psikologis untuk proses belajar, factor‐
faktor yang mempengaruhi proses belajar dan sebagainya.
Mengajar:
Proses belajar‐mengajar menghasilkan hasil pengajaran. Meskipun tujuan belajar
telah dinyatakan dengan jelas dan baik namun belum tentu hasil yang diperoleh baik.
Suatu pengajaran disebut berhasil baik, bila pengajaran tersebut membangkitkan
proses belajar belajar efektif. Dalam hal ini masalah yang menentukan, bukan metoda
atau prosedur yang digunakan dalam pengajaran, bukan kolot atau modernnya
pengajaran, bukan pula konfensional atau profesifnya pengajaran. Semuanya itu
mungkin penting artinya, tetapi tidak merupakan pertimbangan terakhir, karena
berkenaan dengan ‘alat’ dan bukan dengan ‘tujuan’ pengajaran. Bagi pengukuran
suksesnya pengajaran, syarat tertinggi ialah : berhasilnya.
Hasil yang disebut baik hendaknya dinilai dari :
1. Hasil yang tahan lama dan dapat digunakan dalam kehidupan oleh
mahasiswa. Mungkin seorang dosen merupakan seorang ‘pelatih yang baik’
bagi mahasiswa yang akan menghadapi ujian. Tapi bila hasil pengajarannya
tidak tahan lama dan lekas menghilang, maka hasil pengajaran tersebut tidak
efektif. Seorang dosen harus mempertimbangkan berapa banyak dari yang
diajarkannya yang akan masih diingat kelak oleh mahasiswa, setelah lewat
seminggu, sebulan, setahun atau sepuluh tahun.
2. Hasil yang merupakan pengetahuan asli atau otentik. Pengetahuan hasil
pengajaran demikian telah merupakan bagian kepribadian mahasiswa yang
mempengaruhi pandangannya dan caranya mendekati suatu permasalahan.
Ini disebabkan karena pengetahuan tersebut penuh arti bagi si mahasiswa.
Perumusan yang mungkin terbaik untuk pengajaran, ialah mengorganisir proses
belajar. Dengan demikian permasalahan yang dihadapi oleh pengajaran yang berhasil
baik, ialah bagaimana mengorganisir proses belajar untuk mencapai pengetahuan
otentik. Perumusan di atas dapat berlaku bagi setiap jenis dan corak pengajaran.
Karena proses belajar harus diorganisir sebaik‐baiknya, maka menurut hakekatnya
dosen dapat disebut sebagai seorang organisator. Sebagai seorang organisator yang
baik, maka dosen harus memperlihatkan cirri‐ciri tertentu dalam pekerjaannya. Pada
cirri‐ciri tersebut tergantung efektivitas seorang dosen.
Ciri‐ciri seorang organisator yang baik ialah :
1. Ia bukan seorang otokrat.
2. Ia tidak akan bertindak sebagai anggota biasa dari kelompoknya tanpa hak‐
hak khusus atau tanpa kekuasaan dan keistimewaan tertentu.
3. Ia akan membantu kelompok dan oknum‐oknum didalamnya untuk
menemukan, merumuskan dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapainya
sendiri.
4. Ia akan mewakili dan membagikan tanggung jawab seluas yang dapat
dilakukannya.
5. Ia merangsang dan menghargai inisiatif.
6. Ia akan lebih bertumpu pada kekuatan dan tidak akan menonjolkan
kelemahan.
7. Ia akan memupuk kritik dan penilaian diri sendiri diantara anggota‐anggota
kelompoknya.
8. Ia akan terus menerus mengadakan pengawasan, karena tanpa pengawasan
dan peraturan tidak ada satu kelompokpun yang dapat berfungsi dengan baik.
Cirri‐ciri tersebut ialah cirri‐ciri cara bertindak. Tidak boleh dilupakan, bahwa dosen
terutama bekerja dengan manusia. Tugas dan tanggung jawabnya ialah menciptakan
berbagai situasi yang memungkinkan orang‐orang itu dapat bekerja dan mencapai
hasil sebaik‐baiknya;
Usaha untuk mencari orgnisasi yang lebih baik dari pola ‘buku pelajaran tugas hafalan
– pengucapan hafalan’ mengikuti 2 garis perkembangan utama :
1. Usaha menggunakan metode yang lebih baik yaitu menggunakan cara‐cara
yang lebih baik untuk menyajikan pelajaran, dihubungkan dengan
penggunaan alat‐alat yang lebih efektif, seperti pertanyaan, gutas, buku
pelajaran, papan tulis dan sebagainya.
2. Usaha mengubah hubungan dosen dan mahasiswa, serta dalam pola aktivitas
yang akan membawa mahasiswa pada kesibukan belajar.
Belajar harus diorganisasi dalam arti, bahwa mahasiswa menerimanya sebagai :
•
Suatu pekerjaan nyata dan memaksa serta bermanfaat.
•
Yang menghadapkannya pada tantangan‐tantangan yang maknawi.
•
Serta membawanya :
a. Ada wawasan yang lebih mendalam dan luas.
b. Pada sikap yang lebih kritik dan pada keterampilan yang memadai.
Seperti terlihat di atas pengajaran yang berhasil akan mengorganisir proses belajar
yang bermakna penuh. Dari percobaan‐percobaan terbukti bahwa belajar tergantung
dari makna (yang dipelajari). Menarik perhatian dan dapat menimbulkan
pemahaman, merupakan unsure‐unsur yang menentukan ‘makna’ tersebut. Di sini
dosen harus memberi tekanan pada ‘makna’ (yang dipelajari) karena belajar itu
sendiri esensinya merupakan usaha mencari dan menemukan makna (dari yang
dipelajari).
Dosen yang memberikan latihan, yang sama sekali tidak komprehensif sifatnya atau
menyuruh mahasiswa‐mahasiswanya menghafalkan fakta‐fakta yang tidak
berhubungan satu dengan yang lainnya, melakukan pekerjaan yang berlawanan
dengan hakekat belajar itu sendiri. Sebaliknya seorang dosen yang selalu berusaha
agar mahasiswa‐mahasiswanya memahami akan mengorganisir proses itu seperti
yang seharusnya dilakukan.
Hal yang hendaknya selalu diingat seorang dosen ialah, bahwa belajar sama dengan
mengerti. Belajar ialah mencari, menemukan dan melihat pokok persoalannya.
Belajar ialah memecahkan persoalan yang dihadapi dalam arti inklusif, bahwa kalau
seseorang telah menguasai keterampilan motoris atau kalau seseorang sudah
mempunyai kemampuan menghargai suatu simfoni misalnya, ia itu sebenarnya telah
memecahkan dan menemukan kunci persoalan yang dihadapinya.
Pengajaran berhasil baik itu didasarkan pada pengakuan bahwa belajar secara
esensial merupakan suatu proses yang bermakna dan bukan sesuatu yang
berlangsung dengan mekanis belaka. Penelitian psikologik mengungkapkan sejumlah
aspek yang khas sifatnya atau menekankan pada beberapa hal dalam keseluruhan
pola dari apa yang disebut ‘belajar dengan penuh makna’, yang memungkinkan
orientasi untuk lebih tegas dan pasti.
1. Belajar menurut esensinya mempunyai tujuan. Belajar mempunyai makna
penuh dalam arti mahasiswa memperhatikan makna tersebut.
2. Proses belajar, ialah sesuatu yang bersifat eksploratif serta menemukan dan
bukan merupakan pengulangan rutin.
3. Hasil belajar yang dicapai itu selalu memunculkan pemahaman atau
pengertian, atau menimbulkan reaksi atau jawaban yang dapat dipahami dan
masuk akal (intelligible).
4. Hasil belajar itu tidak terikat pada situasi ditempat mencapainya, akan tetapi
dapat juga digunakan dalam situasi lain.
Pengajaran, yaitu hasil proses belajar‐mengajar efektivitasnya tergantung dari
beberapa unsure‐unsur. Yang dimaksud dengan efektivitas pengajaran ialah
suksesnya memproduksi hasil‐hasil otentik.
1. ‘Kemaknaan’ dan karena efektivitas ‘belajar’ untuk sebagian besar tergantung
pada konteks ‘belajar’ itu sendiri. Konteks pelajaran ialah susunan bahan‐
bahan ketika disajikan untuk dipelajari. Setiap dosen, ketika merencanakan
pekerjaan yang akan dilakukan, seharusnya selalu mempertimbangkan
dengan kritis jenis konteks yang hendak dipergunakannya. Situasi problematic
yang mencakup tugas untuk ‘belajar’ hendaknya dinyatakan dalam kerangka
konteks yang dianggap penting dan memaksa bagi mahasiswa dan yang
melibatkannya menjadi peserta aktif, justru karena tujuannya sendiri. Tugas
hendaknya dinyatakan dalam kerangka konteks yang bersifat kongkrit, dapat
ditiru dan dilaksanakan secara teratur, yang memberikan kemungkinan
seluas‐luasnya untuk bereksprerimentasi, beresplorasi dan menemukan, serta
yang mengarahkan pada penguasaan melalui pengertian dan pemahaman
serta yang memungkinkan ‘transfer’. Bila ternyata pekerjaannya tidak lancar
jalannya, hendaknya dicari apakah kesulitan yang dihadapi itu disebabkan
penggunaan jenis konteks yang tidak tepat.
2. Belajar yang penuh makna dan efektif harus diorganisir sekitar suatu focus.
Cirri‐ciri focus yang baik adalah:
a. Focus membolisasi tujuan. Telah dilihat, bahwa tidak mungkin ada
‘belajar’ bila tidak ada kehendak untuk belajar. Pembangkitan kehendak
untuk berlajar merupakan suatu persoalan organisasi yang terutama
tergantung pada dua prinsip operasional prinsip konteks dan focus.
Konteks membangkitkan tujuan. Focus merumuskan dan mengarahkan
tujuan itu.
b. Focus memberikan bentuk dan uniformitas pada ‘belajar’. ‘Belajar’
hendaknya diorganisasi sedemikian sehingga mahasiswa dapat melihat
hbungan‐hubungan antar‐bagian. Pola atau rencana mengenai hal‐hal
yang dipelajarinya.
c. Fokalisasi mengorganisasi ‘belajar’ sebagai suatu proses eksplorasi dan
penemuan. Seorang dosen yang baik akan selalu berusaha mengajak
mahasiswa ‘belajar’, melalui penemuan dan pemecahan persoalan.
Yang menjadi syarat bagi setiap jenis situasi mengajar‐belajar ialah suatu
konteks yang ‘kaya’ dan ‘memaksa’ yang menimbulkan focus dinamik serta
yang menyatukan dan menjelaskan.
3. Mutu makna dan efektivitas ‘belajar’ sebagian terbesar tergantung pada
kerangka social tempat belajar itu berlaku. Di sini dihadapi prinsip psikologi
asasi yang ketiga bagi pengajaran yang berhasil baik, yakni prinsip sosialisasi.
Orang umumnya tidak akan ragu‐ragu menyatakan, bahwa pertukaran
pikiran antara beberapa orang dapat berakibat besar serta menguntungkan
atas hasil berfikir dan belajar. Pengaruh keadaan social atas ‘belajar’ telah
banyak sekali menarik perhatian dengan nama ‘dinamika kelompok’.
Cirri‐ciri sosialisasi yang baik :
a. Fasilitas social.
Seseorang akan lebih baik melakukan berbagai tugasnya, bila ia
melakukannya dalam satu kelompok dengan orang‐orang yang
bersamaan tugasnya, daripada ia harus melakukan tugasnya itu seorang
diri. Fasilitas social akan bekerja, bila mereka yang telah mencapai
sesuatu menjadi ‘bukti hidup’, bahwa mencapai sesuatu itu memberikan
kegembiraan, ada mutunya dan mungkin dicapai (oleh semua orang).
b. Perangsang (incentives)
Pengakuan atau penghargaan yang bagaimanapun untuk setiap pekerjaan
dan usaha yang dilakukan selalu dianggap perlu. Perangsang yang positif
sifatnya selalu lebih baik daripada yang negative. Pokok yang dihadapi
ialah untuk mengorganisasi aspek social dari ‘belajar’ itu sedemikian,
sehingga kelompok yang bekerja dan hidup bersama‐sama dalam kelas,
selalu dan secara berkesinambungan diarahkan kegiatannya pada
pengakuan dan penghargaan pekerjaan yang berhasil, serta pada
pemberian dorongan kepada setiap usaha.
c. Kelompok demokratis.
Anggota‐anggota suatu kelompok yang diorganisasi dan diatur dengan
cara‐cara demokratis, akan memperlihatkan cara dan hasil‐hasil belajar
yang lebih baik dibandingkan dengan suatu kelompok yang diorganisasi
dan diatur secara otokratis.
4. “Belajar dengan penuh makna” harus dilaksanakan sesuai dengan bakat dan
kesanggupan serta tujuan pelajar sendiri dan dengan prosedur
eksperinmental yang berlaku. Perumusan ini merupakan perumusan tentang
prinsip individualisasi yang menjadi pedoman bagi usaha mengorganisasi
‘belajar’ bila diinginkan supaya efektif.
Kiranya telah jelas bagi setiap orang bahwa ‘belajar’ merupakan persoalan
individual. Alasannya sederhana saja, ialah bahwa setiap orang harus
melakukan belajar itu bagi dirinya sendiri. Perbedaan ‘hasil belajar’ ada dua
jenis yaitu :
a. Perbedaan‐perbedaan vertical (perbedaan satu dimensi, perbedaan
kuat.titatif).
Manusia dapat diurutkan kedudukannya menurut garis naik atau pun
garis turun, sehubungan dengan mutu satu sifat manusia bersangkutan.
Dasar klasifikasi dapat bersifat jasmaniah misalnya, menurut tinggi badan
dan sebagainya. Tetapi dasar tersebut dapat pula bersifat mental.
Perbedaan‐perbedaan vertical yang terpenting dengan dasar ini ialah
yang disebut ‘intelegensi umum’. Dengan ‘test intelegensi’ dapatlah
diungkapkan perbedaan‐perbedaan vertical jenis ini.
b. Perbedaan‐perbedaan kualitatif.
Manusia berbeda satu dari yang lain dalam hal‐hal yang mengenai
kecekatan khusus, perhatiannya dan cara‐cara bekerja.
Perbedaan‐perbedaan itu tidak dapat disusun dalam suatu lajur satu
dimensi, karena hal‐hal tersebut menunjukkan perbedaan dalam jenis
atau ‘type’ dan bukan derajat. “Test aptitude” sedikit banyak dapat
mengungkapkan perbedaan kualitatif tersebut.
5. Sampai sekarang yang dibicarakan ialah ‘belajar’ sebagai gejala tersendiri dan
cara mengorganisasinya dengan tepat berdasar prinsip konteks, fokalisasi,
sosialisasi dan individualisasi.
Disamping hal‐hal ini perlu pula dipikirkan efektivitas serangkaian pelajaran,
yang disusun tepat pada waktunya. Organisasi sekuens (sequence) belajar
‘dengan penuh makna’ harus dari sendirinya bermakna penuh pula, bila
hendak dicapai hasil‐hasil yang otentik. Inilah yang disebut prinsip ‘sekuens’.
Ciri‐ciri suatu sekuens yang terorganisasi dengan wajar ialah :
a. Pertumbuhan itu bersifat berkesinambungan.
b. Pertumbuhan tergantung dari tujuan.
c. Pertumbuhan tergantung pada munculnya ‘makna’
d. Pertumbuhan merupakan evaluasi dari penguasaan yang langsung
menuju ke pengendalian yang jauh.
e. Pertumbuhan merupakan gerakan dari yang kongkrit kea rah yang
simbilis.
f.
Pertumbuhan ialah suatu gerakan dari yang kasar dan global kea rah
yang diskriminatif.
g. Pertumbuhan merupakan suatu proses transformasi.
6. Efektivitas dan sukses setiap usaha ‘belajar’ akan meningkat oleh evaluasi
yang bermutu dan diskriminatif, yang mengenai semua aspek belajar itu.
Evaluasi merupakan bagian mutlak dari pengajaran.
Evaluasi membawa murid pada taraf ‘belajar’ yang lebih baik lagi dari yang
telah dilakukannya.
Evaluasi yang baik harus langsung berhubungan dan harus membantu
realisasi secara progresif tujuan ‘belajar’ yang dianut oleh mahasiswa. Seperti
telah diuraikan terdahulu ‘belajar’ dimulai karena adanya dorongan
keperluan, atau karena adanya suatu persoalan yang dirasakan memaksa.