Penerapan Hukum Atas Pelanggaran Hak Cip

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

(science and

technology) yang pesat selalu diikuti atau diiringi dengan perkembangan
kejahatan atau tindak pidana yang makin canggih dan maju pula. Hal ini
ditandai dengan pesatnya perkembangan cara melakukan kejahatan (modus
operandi) maupun alat yang digunakan. Begitu juga dengan tindak pidana
hak cipta sebagai salah satu lembaga Hak Milik Intelektual atau Hak atas
Kekayaan Intelektual (HKI).
Di zaman serba modern ini industri musik dalam bentuk digital sudah
bukan barang yang langka lagi. Dengan fasilitas internet beberapa lagu bisa
diakses, ada yang secara komersil maupun non komersil alias bajakan. lagu
merupakan suatu hasil cipta seseorang, tentunya tidak terlepas hak
kekayaan intelektual. Membicarakan mengenai aspek musik digital, maka
secara spesifik akan terkait dengan hak cipta. Menurut Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjut disingkat UUHC), ciptaan
yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan

sastra.
Dalam industri musik diera digital ini seringkali marak terjadi berbagai
pembajakan, hal ini dikarenakan kecanggihan teknologi sekarang ini
sehingga memungkinkan untuk menggandakan suatu karya cipta atau

1

bahkan mengunduhnya secara bebas di dunia maya. Sehingga semua orang
bisa mengaksesnya tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk
membayar royalti kepada penciptanya, tentunya hal ini merugikan pencipta
dari segi ekonomi. Industri musik Indonesia saat ini betul-betul dalam
keadaan gawat darurat. Semakin tingginya angka pembajakan terhadap
karya musisi Indonesia baik berupa kaset dan CD membuat royalty yang
seharusnya diterima oleh para musisi (setelah dibagi oleh para label rekaman
dan produser) harus dengan rela hati diberikan kepada para insan pembajak
tersebut.
Pada teori hubungan antar grup (intergroup relations theory)1
menjelaskan bagaimana hubungan antara sebuah kelompok dengan
kelompok lain dengan masing-masing anggotanya dan terdapat interaksi
antara satu orang atau kolektif satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Demikian dengan kronik pembajakan di industri musik ini. Kelompok dibagi
menjadi tiga, yaitu industri musik, pemerintah, konsumen dan pembajak itu
sendiri. Ketiga kelompok tersebut memainkan peran yang sangat signifikan
dan saling memengaruhi satu sama lainnya.
Hak cipta merupakan suatu hak yang terbit karena daya kreativitas
seseorang dalam menciptakan suatu karya dibidang ilmu, sastra, dan seni,
adapun hasil karya tersebut bernilai sangat tinggi. Apabila hasil karya cipta

1

http://ima.rahmani.blogspot.com/2011/05/dinamika-hubunganantar-kelompokinter.html?m=1, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012

2

tersebut dijadikan sebagai salah satu hal yang bernilai ekonomis, maka karya
cipta tersebut akan menghasilkan kekayaan materi yang tak terhingga.
Untuk menghasilkan sebuah karya, pencipta telah mengeluarkan pikiran
orisinilnya agar dapat dinikmati oleh orang lain. Dalam prosesnya, pencipta
juga membutuhkan pemikiran dan mengeluarkan tenaga yang tidak sedikit.
Oleh karenanya, apabila hasil karya mereka tidak dihargai dan dapat ditiru

setiap saat oleh siapa saja, hal ini dapat menghambat kreativitas penciptaan
yang berbuntut dapat mematikan daya kreasi anak-anak bangsa. Kondisi ini
seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung
jawab dan tidak menghargai hasil karya orang lain serta hanya untuk mencari
keuntungan pribadi. Akibatnya pencipta dirugikan, yang pada akhirnya
memengaruhi gairah dan kreativitas orang untuk mencipta.
Timbulnya pelanggaran hak cipta tersebut disebabkan karena
rendahnya pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta dan
keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara yang mudah,
tentunya hal seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja karena kurang
menguntungkan bagi pencipta dan mengurangi minat seseorang di dalam
membuat suatu hasil karya cipta. Kebutuhan untuk mengakui, melindungi dan
memberi penghargaan terhadap pengarang, artis, pencipta perangkat lunak
(software) dan ciptaan lain serta akses atas hasil karya mereka demi
kepentingan manusia mulai dirasakan di Indonesia.

3

Dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta, hukum menjamin
pencipta untuk menguasai dan menikmati secara ekslusif hasil karyanya itu

dan penghargaan terhadap hasil kreasi dari pekerjaan manusia yang
memakai kemampuan intelektualnya, maka pribadi yang menghasilkannya
mendapatkan kepemilikannya berupa hak milik dan tidak seorang pun bisa
mempunyai hak atas apa yang dihasilkannya. 2
Hal ini menunjukkan, bahwa perlindungan hukum adalah merupakan
kepentingan pemilik hak cipta baik secara individu maupun kelompok sebagai
subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu, hukum
memberi jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat, jaminan ini
tercermin dalam sistem hak kekayaan intelektual yang berkembang dengan
menyeimbangkan dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta dan kebutuhan
masyarakat umum.3
Munculnya tindak pidana hak cipta dengan berbagai bentuk dan
jenisnya adalah sikap yang tidak menghargai hasil karya orang lain dan
memanfaatkan hasil ciptaan yang telah dilindungi oleh undang-undang hak
cipta hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Di berbagai wilayah di
Indonesia khususnya perkotaan terutama di Kota Makassar, bisnis rumah
bernyanyi karaoke marak dan mewabah. Terbukti di beberapa kota besar
tempat usaha bisnis karaoke tersebut makin banyak bermunculan, baik yang
2
3


Adi Sulistiyono, Eksistensi & Penyelesaian Sengketa HAKI, (Surakarta, 2007), halaman. 11.
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung, 2003), halaman 90.

4

berkelas biasa maupun yang sekelas hotel bintang lima semuanya
mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan hiburan bagi anggota
keluarga atau sejenak melepas penat dari rutinitas keseharian. Dalam hal ini
pelaku usaha telah mengumumkan dan memperbanyak hak cipta lagu
pencipta yang mungkin tidak memiliki lisensi akan lagu yang diumukan dan
diperbanyak oleh pelaku usaha dari pencipta dari lagu tersebut.
Lahirnya

Undang-Undang

Hak Cipta Nomor 19

Tahun


2002

menunjukkan upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum
yang memadai, meskipun pada prinsipnya hak cipta dilindungi sejak suatu
karya cipta dilahirkan. Dalam undang-undang hak cipta ditentukan, bahwa
semua bentuk ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra
termasuk di dalamnya lagu atau musik dengan atau tanpa teks, merupakan
ciptaan yang dilindungi serta berlaku selama si pemegang hak cipta hidup,
sampai dengan 50 (lima puluh) tahun setelah meninggal dunia 4. Undangudang hak cipta Indonesia pun mengklasifikasikan tindak pidana hak cipta itu
sebagai delik biasa yang dimaksudkan untuk menjamin perlindungan yang
lebih baik dari sebelum Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 diundangkan,
dimana sebelumnya tindak pidana hak cipta dikategorikan sebagai delik
aduan. Seyogianya lewat delik biasa si pemegang hak cipta dapat lebih
terjamin haknya, sebab tanpa diperkarakan terlebih dahulu atau tanpa

4

Lihat Pasal 34 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

5


pengaduan dari si pemegang hak, pihak kepolisian atau penyidik lainnya
dapat menindak si pembajak.
Namun realitas menunjukkan pembajakan belum juga berhenti. Saat
ini ditengarai begitu banyaknya VCD bajakan tersebar secara luas dan dijual
bebas di pasar tradisional dan juga di pusat-pusat perbelanjaan modern yang
terdapat di Makassar. Pelakunya secara terang-terangan memasarkan hasil
bajakan itu. Perkembangan pembajakan saat ini terjadi karena penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini pihak
kepolisian tidaklah dijalankan secara menyeluruh dan tuntas.
Persoalan ini memang perlu dikaji secara mendalam. Persoalan
penegakan hukum di Indonesia memang belum memperlihatkan tanda-tanda
yang menggembirakan5.
Belum lagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha rumah
benyanyi karaoke atas mengumumkan dan memperbanyak lagu atau musik
tanpa adanya lisensi yang diperolehnya dari pencipta lagu.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas menurut Penulis, ternyata
dalam kenyataan, masih banyak pelanggaran hak cipta, walaupun sudah
diklasifikasikan sebagai delik biasa. Oleh karenanya perlu kiranya diketahui
lebih jauh mengenai pemberlakuan ketentuan pidana dalam penanggulangan

pelanggaran hak cipta terutama hak cipta yang menyangkut lagu dan rumah

5

OK. Sahidin, Aspek
(Jakarta,2006), hlm. 113

Hukum

Hak

Kekayaan

Intelektual-Edisi

Revisi-,

6

bernyanyi karaoke sebagai pelaku usaha serta peranan dari pihak penyidik

kepolisian sebagai penegak hukum. Untuk itulah penelitian ini Penulis angkat
dengan judul “Penerapan Hukum Atas pelanggaran Hak Cipta Lagu (Studi
Kasus di Rumah Bernyanyi Karaoke)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian dan latar belakang di atas maka ruang lingkup
masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peranan penyidik kepolisian dalam penerapan delik biasa
atas pelanggaran hak cipta di Kota Makassar?
2. Bagaimana

Pemberlakuan

ketentuan

pidana

terhadap

kasus


pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah bernyanyi
karaoke di Kota Makassar?
3. Bagaimana upaya penanggulangan pelanggaran hak cipta pada
rumah bernyanyi karaoke yang tidak memperoleh lisensi atas hak
cipta lagu?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan

uraian

latar

belakang

dan

pokok

permasalahan


sebagaimana telah dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui peranan penyidik kepolisian dalam penerapan
delik biasa atas pelanggaran hak cipta di Kota Makassar.
2. Untuk mengetahui sejauhmana pemberlakuan ketentuan pidana pada
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap

7

kasus pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah
bernyanyi karaoke di Kota Makassar.
3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan pelanggaran hak cipta
pada rumah bernyanyi yang tidak memperoleh lisensi atas hak cipta
lagu.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberi

manfaat

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah
bahan pustaka mengenai penerapan delik biasa dalam undang-undang
hak cipta atas pelanggaran hak cipta terutama hak cipta lagu oleh rumah
bernyanyi yang berdasarkan sistem hukum pidana.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penulisan ini, yaitu :
Sebagai sumbangan pemikiran untuk penyelesaian masalah terhadap
kasus pelanggaran hak cipta sehingga dapat memberikan masukan
kepada aparat penegak hukum di dalam penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran hak cipta dalam lingkup Hak Kekayaan Intelektual.

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan
pembuat

undang-undang

merumuskan

suatu

undang-undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana
haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk
dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupam
masyarakat.
Pakar asing hukum pidana menggunakan istilah Tindak Pidana atau
Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
1. Strafbaar Feit adalah peristiwa pidana

9

2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang
digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas
tiga kata, yaitu straf, baar, feit. Yang masing-masing memiliki arti


Straf diartikan sebagai pidana dan hukum



Baar diartikan sebagai dapat dan boleh



Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau

perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan delik dalam bahasa asing disebut
delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman (pidana).
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan
definisi mengenai delik, yakni:6
Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”
Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut:7
Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”
Sementara Jonkers merumuskan bahwa:8
6

7
8

Andi Hamzah,Asas-asas Hukum Pidana,( Jakarta,1994) hlm. 72, hlm. 88.
Dalam Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. (Yogyakarta, 2012),
hlm. 19
Ibid.
Ibid., hlm. 20.

10

Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai
“suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang
berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan
oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”
Strafbaarfeit juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku
karya Lamintang, sebagai:9
“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah pelu demi terpeliharanya tertib hukum.”
Adapun Simons masih dalam buku yang sama dan juga dikutib dalam
buku karya Lamintang merumuskan strafbaarfeit adalah:10
“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum.”
Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit dimana
setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana
hukum diartikan secara berlainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda.
Agar lebih jelasnya, Amir Ilyas11 mengelompokkan dalam 5 kelompok istilah
yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai berikut:
Ke-1 : “Peristiwa Pidana” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1962:32),
Rusli Effendy (1981:46), Utrecht (Sianturi 1986:206) dan lain-lainnya;
Ke-2 : “Perbuatan Pidana” digunakan oleh Moeljatno (1983:54) dan lain-lain;
9

10
11

Lamintang, P.A.F.,Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
(Bandung, 1997) hlm. 34
Ibid., hlm. 35
Amir Ilyas, Op.Cit., hlm. 20

11

Ke-3 : “Perbuatan yang Boleh di Hukum” digunakan oleh H.J. Van
Schravendijk (Sianturi 1986 : 206) dan lain-lain;
Ke-4 : “Tindak Pidana” digunakan oleh Wirjono Projodikoro (1986:55),
Soesilo (1979:26) dan S.R Sianturi (1986:204) dan lain-lain;
Ke-5 : “Delik” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1981:146) dan
Satochid Karta Negara (tanpa tahun: 74) dan lain-lain.
H.J. Van Schravendijk mengartikannya delik sebagai perbuatan yang
boleh dihukum, sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian istilah
peristiwa pidana, karena istilah pidana menurut beliau dalam buku Amir Ilyas,
meliputi perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau
nabetan atau met doen, negatif/maupun akibatnya)12.
Andi Zainal Abidin dalam buku yang sama 13 mengemukakan pada
hakikatnya istilah yang paling tepat adalah “delik” yang berasal dari bahasa
latin “delictum delicta” karena:
1. Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;
2. Bersifat ekonomis karena singkat;
3. Tidak

menimbulkan

kejanggalan

seperti

“Peristiwa

Pidana”,

“Perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dipidana, tetapi
pembuatnya); dan

12
13

Ibid, hlm. 22
Ibid, hlm. 23

12

4. Luas

pengertiannya

sehingga

meliputi

juga

delik-delik

yang

diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana
ekonomi Indonesia.
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana tersebut
sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit) menurut Amir Ilyas, tidaklah
mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah
makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari
pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah
peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke
V 1962, sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau
menggunakan istilah “tindak pidana”.
b. Jenis-Jenis Delik atau Tindak Pidana
Dalam membahas hukum pidana, akan ditemukan beragam tindak
pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan penulisan
ini, Penulis menitikberatkan pada jenis-jenis Tindak pidana yang dapat
dibedakan atas dasar-dasar menurut sistem di dalam KUHP, menurut cara
perumusannya, dan berdasarkan pada perlu tidaknya pengaduan dalam hal
penuntutan14.
a) Menurut Sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat
dalam buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam buku III
14

Lihat juga jenis-jenis tindak pidana dalam buku Amir Ilyas, Asas-asas Hukum
Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai
Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta,2012), hlm. 28.

13

Pembedaan

antara

kejahatan

dan

pelanggaran

adalah

jenis

pelanggaran lebih ringan daripada kejahatan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
dan tindak pidana materil
1. Tindak

pidana

formil

perumusannya

itu

adalah

dititikberatkan

tindak

kepada

pidana

yang

perbuatan

yang

dilarang. Tindak pidana tersebut telah selesai dengan
dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan
delik. Misal: penghasutan (Pasal 160 KUHP), di muka umum
menyatakan

perasaan

kebencian,

permusuhan

atau

penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di
Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210
KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat
(Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP).
2. Tindak

pidana

materiil

adalah

tindak

pidana

yang

perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak
dikehendaki (dilarang). Tindak pidana ini baru selesai apabila
akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum
maka

paling

banyak

hanya

ada

percobaan.

Misal

:

pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP),
pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

14

c) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan
Tindak pidana biasa dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang
untuk

dilakukannya

penuntutan

terhadap

pembuatnya,

tidak

disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak
pidana aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan
pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak
mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya, atau keluarga
tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus
untuk pengaduan oleh orang yang berhak.
B. Tinjauan Umum tentang Hak Cipta
a. Pengertian Hak Cipta
Perlindungan hak cipta akan meliputi pengekspresian dan tidak
meliputi gagasan, prosedur, metode kerja atau konsep matematika. Dengan
patokan rumusan perlindungan hukum terhadap ciptaan yang demikian itu,
maka di dalam UUHC 1997 dirumuskan, bahwa yang dimaksud dengan
“ciptaan” adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan
menunjukkan keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Kemudian rumusan tentang ciptaan tersebut diubah dengan menghapus
kalimat “dalam bentuk khas” sehingga menjadi “Ciptaan adalah hasil setiap
karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu

15

pengetahuan, seni, dan sastra” (Vide ketentuan Pasal 1 angka 3 UUHC
2002).
Dalam sejarah perkembangan istilah hak cipta (bahasa Indonesia
yang lazim dipakai sekarang) pada awal mulanya istilah yang dikenal adalah
hak pengarang sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda,
Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951
di Bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena
dipandang menyempitkan15 pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai
adalah hak pengarang, seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak
dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karang-mengarang
saja, sedangkan cakupan hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang.
Karena itu, kongres memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang
dengan istilah hak cipta.
Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa
Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu Kongres. Menurutnya
terjemahan Auteursrecht adalah hak pencipta, tetapi untuk penyederhanaan
dan kepraktisan disingkat menjadi hak cipta 16. Menurut bahasa Indonesia,
istilah hak cipta berarti hak seseorang sebagai miliknya atas hasil
penemuannya yang berupa tulisan, lukisan dan sebagainya yang dilindungi
oleh undang-undang. Dalam bahasa Inggris disebut Copy Right yang berarti
15
16

Stephen Fishmen, “The Copyright Handbook: How to Protect and Use Written Works”, dalam
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta,(Bandung,2002), hlm. 111.
J. C. T. Simorangkir, Hak Cipta Lanjutan,(Jakarta,1973), hlm. 21-24

16

hak cipta. Adapun pengertian secara yuridis menurut Pasal 2 UUHC
menyatakan Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dalam Pasal 1 UUHC yang dimaksud dengan Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi

pembatasan-pembatasan

menurut

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku.
b. Subjek Hak Cipta: Pencipta & Pemegang Hak Cipta
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama
melahirkan suatu ciptaan. Selanjutnya dapat pula diterangkan bahwa yang
mencipta suatu ciptaan menjadi pemilik pertama dari hak cipta atas ciptaan
bersangkutan17.

Pasal 1 angka (2) UUHC mendefinisikan pencipta secara rinci sebagai
berikut:
“Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersamasama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran,
17

Eddy Damian, Op. Cit., hlm. 124.

17

imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan
dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dari bunyi Pasal 1 angka (2) UUHC tersebut, secara singkat bahwa
pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
melahirkan suatu ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra. Dengan sendirinya, pencipta juga menjadi pemegang hak cipta, tetapi
tidak semua pemegang hak cipta adalah penciptanya. Pengertian pemegang
hak cipta dinyatakan dalam Pasal 1 angka (4) UU Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta yaitu:
“Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau
pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut”.
Dengan demikian, pencipta hak cipta otomatis menjadi pemegang hak
cipta, yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi
pemegang hak cipta tidak harus penciptanya, tetapi bisa pihak lain yang
menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak tersebut dari pencipta atau pemegang hak cipta yang
bersangkutan. Pada bagian kedua, UUHC mengatur orang-perorangan dan
badan hukum yang dapat menjadi pencipta dalam penggolongan:
a. Seorang tertentu (Pasal 5);
b. Dua atau lebih orang (Pasal 6 dan 7);
c. Seorang karyawan (Pasal 8);
d. Badan hukum (Pasal 9).

18

Pembedaan pencipta dalam beberapa golongan memiliki implikasi
yang sangat penting terhadap hak dan kewajiban pencipta, pendaftaran
ciptaan, lama berlaku hak cipta dan pertanggungjawaban dalam hal
terjadinya pelanggaran hak cipta. Beberapa definisi mengenai pencipta di
atas menjelaskan bahwa pada dasarnya secara konvensional yang
digolongkan sebagai pencipta adalah seseorang yang melahirkan suatu
ciptaan untuk pertama kali sehingga ia adalah orang pertama yang
mempunyai hak-hak sebagai pencipta yang sebutan ringkasnya untuk
kepraktisannya disebut hak pencipta, dan lebih ringkas lagi menjadi hak
cipta.
Pada mulanya, untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta
pertama dari suatu ciptaan tertentu tidaklah terlalu sulit. Misalnya: pencipta
suatu ciptaan karangan ilmiah adalah seorang yang menulis tulisan ilmiah
bersangkutan; pencipta suatu ciptaan musik adalah komposer; dan pencipta
suatu ciptaan potret adalah fotografer. Meskipun demikian, dengan semakin
berkembangnya teknologi canggih pada akhir-akhir ini, untuk menentukan
siapa yang menjadi pencipta pertama dari suatu ciptaan tertentu,
memerlukan penjelasan dengan suatu pendekatan yang agak berbeda,
terutama dalam menentukan pencipta dari ciptaan-ciptaan yang tergolong
sebagai hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, misalnya: pencipta dari
suatu pergelaran musik klasik adalah seorang pelaku (Performer); Pencipta
dari rekaman suara suatu lagu dalam bentuk Compact Disc atau pita seluloid

19

adalah

Produser

rekaman

suara;

dan

Pencipta

dari

tayangan

pertunjukan/pergelaran musik melalui siaran televisi adalah lembaga
penyiaran.
Mengetahui siapa yang merupakan pencipta pertama suatu ciptaan
adalah sangat signifikan, karena18 :
a. Hak-hak yang dimiliki seorang pencipta pertama sangat berbeda
dengan hak-hak pencipta terhadap hak terkait dengan hak cipta.
b. Masa berlakunya perlindungan hukum bagi pencipta pertama biasanya
lebih lama dari mereka yang bukan pencipta pertama.
c. Pengidentifikasian pencipta pertama secara benar merupakan syarat
bagi keabsahan pendaftaran ciptaan (Pasal 5 ayat (1) UUHC),
walaupun pendaftaran tidak mutlak harus dilakukan.
Untuk menjelaskan tentang siapakah yang disebut sebagai pencipta,
UUHC menentukan bahwa pencipta adalah orang yang membuat atau
melahirkan suatu ciptaan. Akan tetapi, perkecualian dari pedoman umum
tersebut ditentukan sebagai berikut:
a. Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta
ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh
ciptaan itu, atau dalam hal tidak orang tersebut, yang dianggap
sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak
18

Ibid., hlm. 127.

20

mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu
(Pasal 6).
b. Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan
dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang
yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan
itu (Pasal 7).
c. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak
yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada
perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak
pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai keluar
hubungan dinas. (Pasal 8 ayat (1)).
c. Perlindungan Hak Cipta
Ciptaan atau karya cipta atau “works” adalah hasil setiap karya
pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Bandingkan dengan arti kata
“works” di dalam Pasal 102 UUHC Amerika Serikat bahwa yang dimaksud
dengan “works” dalam lingkup ciptaan adalah karya cipta sastra, ciptaan
musik termasuk kata-kata yang menyertainya, karya cipta drama termasuk
setiap musik yang menyertainya, pantomin dan tari, majalah menggambar
(pictorical), yang berkaitan dengan tulisan tangan (graphic), dan karya patung

21

(sculptural), karya cipta film dan ciptaan audiovisual lainnya, rekaman suara,
dan karya cipta arsitektur.
1. Jenis-Jenis Ciptaan yang Dilindungi
Menurut Pasal 1 angka (3) UUHC, “Ciptaan adalah hasil setiap
karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni atau sastra”. Lebih lanjut ditentukan, ciptaan-ciptaan
yang dilindungi berdasarkan UUHC adalah ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup 19 :
a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan
pantomim;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, seni pahat,
gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase
dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database dan karya
lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Menurut L. J. Taylor yang dilindungi hak cipta adalah ekspresi
dari sebuah ide, jadi bukan melindungi idenya itu sendiri. Dengan
demikian yang dilindungi adalah bentuk nyata dari sebuah ciptaan dan
19

Rachmadi Usman : Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi hukumnya di
Indonesia). (Bandung,2003)

22

bukan yang masih merupakan sebuah gagasan atau ide. Bentuk nyata
ciptaan tersebut bisa berwujud khas dalam bidang kesusastraan, seni
maupun ilmu pengetahuan20.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 dalam Penjelasannya
menyatakan bahwa :
“Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan
karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi
dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan
kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat
dilihat, dibaca, atau didengar”.
Yang tidak mendapatkan perlindungan Hak Cipta terdapat
Pasal 3 UUHC yaitu:
1. Hasill

rapat

terbuka

lembaga-lembaga

negara

Peraturan

perundang-undangan.
2. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah
3. Putusan pengadilan atau penetapan hakim, atau
4. Keputusan hadan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis
lainnya.
2. Lamanya Perlindungan
Dasar filosofi berlakunya hak cipta adalah sesuai dengan
konsepsi hak milik yang bersifat immaterial yang merupakan hak
kebendaan. Hak kebendaan yang mempunyai sifat droit de suit,
20

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, & Praktiknya di
Indoneisa). (Bandung,2005) hlm. 56.

23

senantiasa mengikuti dimana benda tersebut berada, sehingga pemilik
boleh melakukan tindakan hukum apa saja terhadap haknya. UUHC
membedakan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang
dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan buku, ceramah, alat
peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik,
terjemahan, tafsir, saduran, diberikan jangka waktu selama hidup
pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Selanjutnya

hak

cipta

atas

ciptaan

program

komputer,

sinematografi, fotografi, database, dan karya hasil pengalihwujudan
diberikan perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
Ciptaan yang dimilki atau dipegang oleh badan hukum, berlaku selama
50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
Adanya batasan waktu pemilikan hak cipta dalam jangka waktu
selama hidup ditambah 50 tahun, diharapkan hak cipta tidak tertahan
lama pada tangan seseorang pencipta sebagai pemiliknya. Sehingga
setelah si pencipta meninggal dan ditambah dengan 50 tahun,
selanjutnya haknya dapat dinikmati oleh masyarakat luas secara bebas
sebagai milik umum (Public domain), artinya masyarakat boleh
mengumumkan atau mernperbanyak tanpa harus minta izin kepada si
pencipta atau si pemegang hak dan tidak dianggap sebagai pelanggaran
hak cipta.

24

Pembatasan jangka waktu hak cipta yang tercantum pada
UUHC, dikenal juga pada aturan Belanda yaitu Auterswet 1912.
Ketentuan auterswet ini merupakan pengambilalihan dari ketentuan
Internasional Konvensi Bern.
Pembatasan hak cipta mempunyai makna supaya hak pencipta
sebagai pemilik suatu ciptaan senantiasa benar-benar dihormati sebagai
hak individu, dengan jangka waktu yang relatif panjang akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat yang dikenal
dengan konsepsi hak milik yang berfungsi sosial. Walaupun demikian
dalam praktik ternyata batasan kepemilikan hak cipta ini justru sering
menguntungkan pihak lain yaitu pihak prosedur dalam hal karya lagu
serta karya seni lainnya dan pada pihak penerbit dalam hal karya cipta
berupa buku. Hal ini tidak terlepas dari hak cipta yang mengandung sifat
komersial, yaitu ada unsur ekonomis dalam rangka mencari keuntungan.
d. Hak Moral dan Hak Ekonomi
1. Hak Moral
Teks Konvensi Bern yang ditandatangani di Roma tahun 1928
mencoba mengatur masalah hak moral dalam dua hal, yaitu paternity right
dan integrity. Di dalam teks yang ditandatangani di Brussels tahun 1948
diatur juga mengenai perbuatan yang merusak, memotong-motong atau
memodifikasi sehingga merusak reputasi ciptaannya. Pada Stochholm teks

25

yang ditandatangani tahun 1967 dijamin bahwa hak moral akan berlangsung
paling tidak sampai dengan daluwarsanya hak ekonomi.
Definisi hak moral merujuk pada hak pencipta untuk melindungi
reputasi dan integritas ciptaannya dari penyalahgunaan dan penyelewengan
hak moral bersifat personal dan berbeda dengan hukum hak cipta. Hak moral
adalah bentuk hak cipta yang non ekonomi. Setelah pencipta menjual hak
ciptanya ia akan menerima dua hak yang spesifik yang tidak dapat dihapus
atau dijual yaitu pertama, hak untuk dicantumkan namanya pada ciptaan
bersangkutan dan kedua, hak untuk tujuan setiap perlakuan terhadap ciptaan
bahwa

setiap

tindakan

yang

merugikan

atau

berakibat

merugikan

kehormatan dan reputasi artis.
Hak moral merupakan perwujudan dari hubungan yang terus
berlangsung antara si pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun si
penciptanya telah kehilangan atau telah memindahkan hak ciptanya kepada
orang lain, sehingga apabila pemegang hak menghilangkan nama pencipta,
maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut kepada pemegang
hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.
Dengan demikian sekalipun hak moral itu sudah diserahkan baik
seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain, namun penciptanya atau
ahli warisnya tetap mempunyai hak untuk menggugat seseorang yang tanpa
persetujuannya21 :
21

Walter Simanjuntak, Perlindungan Hak Cipta di Indonesia,(Jakarta,tanpa tahun).

26

(a) meniadakan nama pencipta yang tercantum dalam ciptaan;
(b) mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
(c) mengganti atau mengubah judul ciptaan; dan
(d) mengubah isi ciptaan.
Menurut Desbois dalam bukunya Le Droit D Auteur 22 (1966)
berpendapat bahwa sebagai suatu elektrin mengandung empat makna, yaitu:
a. Droit Depublication: hak untuk melakukan atau tidak melakukan
pengumuman ciptaanya;
b. Droit De Repentier: hak untuk melakukan perubahan-perubahan
yang dianggap perlu atas ciptaannya dan hak untuk menarik
dari peredaran atas ciptaan yang telah diumumkan;
c. Droit Au Respect: hak untuk tidak menyetujui dilakukannya
perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain
d. Droit A La Patemite: hak untuk mencantumkan nama pencipta:
hak untuk tidak menyetujui perubahan atas nama pencipta yang
akan dicantumkan: dan hak untuk mengumumkan sebagai
pencipta setiap waktu yang diinginkan.

Pada dasarnya hak moral pencipta itu adalah tindakan yang berkaitan
dengan perubahan ciptaan yang menghina dan dapat merugikan kehormatan

22

Adi Sumartono. Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta. Penerbit
Akademika Pressindo. 1990

27

atau nama baik si pencipta. Keberadaan hak moral dapat dibagi ke dalam
dua kelompok, yaitu: (1) attribution right, yang bertujuan untuk meyakinkan
nama pencipta dicantumkan di dalam ciptaannya; dan (2) integrity right, yang
bertujuan

untuk

melindungi

ciptaan

pencipta

dari

penyimpangan,

pemenggalan atau pengubahan yang merusak integritas pencipta.
2. Hak Ekonomi
Apabila memahami pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang
No. 19 Tahun 2002, maka pencipta memiliki hak eksklusif (eksklusif right)
yang tersebar di dalam Pasal 2, Pasal 26, dan Pasal 45. Pasal 2 UUHC
menentukan, bahwa: (1) Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (2)
pencipta dan/atau penerima hak cipta atas karya film dan program komputer
memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang
bersifat komersial.
Hak Ekonomi (Economy Right) adalah hak yang dimiliki oleh seorang
pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hak ekonomi ini
merupakan

hak

khusus

bagi

pencipta

untuk

mengumumkan

atau

memperbanyak ciptaannya dan memberi izin untuk itu. Hak ekonomi ini dapat
dialihkan kepada pihak lain. Hak ekonomi tersebut diantaranya adalah:

28

a. Hak pengadaan atas ciptaan
Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini bisa di lakukan
secara

tradisional

maupun

melalui

peralatan

modern

Hak

penggandakan ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu
keciptaan

lainnya

misalnya:

karya

tulis,

rekaman

musik,

pertunjukan drama dan film.
b. Hak adaptasi
Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan
dari bahasa satu ke bahasa lainnya, aransemen musik, dramatisasi
dari non dramatik, merubah menjadi cerita fiksi dari karangan non
fiksi atau sebaliknya hak ini diatur baik dalam Konvensi Bern
maupun Konvensi Universal.
Karya cetak berupa buku, misalnya novel, mempunyai hak
turunan (derivative) yaitu diantaranya hak film (film rights), hak
dramatisasi

(dramatitation),

hak

menyimpan

dalam

media

elektronik (electronic rights). Hak film dan hak-hak dramatisasi
adalah hak yang timbul bila si novel tersebut dirubah menjadi isi
sekenario film, atau sekenario drama yang bisa berupa opera, balet
maupun drama musikal.

c. Hak distribusi

29

Hak distribusi adalah hak dimiliki pencipta untuk menyebarkan
kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut
dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang
maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat. Dalam
hak ini termasuk pula bentuk dalam UUHC, disebut dengan
pengumuman yaitu pembacaan penyuaraan, penyiaran atau
penyebaran sesuatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun
dan dengan cara sedemikian rupa sehingga ciptaan dapat dibaca,
didengar atau dilihat oleh orang lain.
d. Hak penampilan
Hak ini dimiliki para pemusik, dramawan, maupun seniman
lainnya yang karyanya dapat terungkap dalam bentuk pertunjukan.
Pengaturan tentang hak pertunjukan ini dikenal dalam Konvensi
Bern maupun Konvensi Universal.
e. Pengalihan Hak Cipta
Hak cipta adalah kekayaan personal yang dapat disamakan dengan
bentuk kekayaan yang lain. Secara khusus pengaturan mengenai pengalihan
hak dan hukum hak cipta diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, bahwa hak cipta dianggap sebagai benda
bergerak

maka

hak

ciptanya

dapat

dipindahtangankan,

dilisensikan,

30

dialihkan, dijualbelikan oleh pemilik atas pemegang haknya 23, baik seluruhnya
maupun sebagian melalui pewarisan, hibah, wasiat, maupun melalui suatu
perjanjian seperti jual beli, maupun lisensi 24.
Peralihan hak cipta yang merupakan benda bergerak tidak dapat
dilakukan dengan cara lisan, harus dengan akta otentik atau akta di bawah
tangan. Persetujuan secara lisan saja tidak diakui oleh undang-undang hak
cipta. Hal ini untuk menjaga jangan sampai timbul penyimpanganpenyimpangan terhadap hak dan kewajiban dikemudian hari, sehingga di
dalam akta perjanjian harus dibuat sejelas mungkin hak-hak yang
dipindahkan atau yang dialihkan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
para pihak yang membuat perjanjian. Persetujuan secara tertulis akan lebih
menjaga kepastian hukum dan kejelasan daripada persetujuan secara lisan,
apalagi persetujuan yang dilakukan secara diam-diam. Hal ini mengingat
terlalu banyaknya kepentingan yang tersangkut dalam persoalan hak cipta,
termasuk kepentingan ahli waris di kemudian hari.
Menurut Meriam Darus Badrulzaman 25, bahwa sistem hukum benda
mengandung sejumlah asas, antara lain hak kebendaan memberikan
wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan,
dijaminkan, dan disewakan. Dengan adanya asas ini hak cipta dapat
dialihkan oleh pencipta seperti halnya benda-benda yang lain, sehingga hak
23

OK. Saidin, Loc.Cit., hlm. 69.
Edy Damian, Op. Cit., hlm. 19.
25
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,(Bandung,1994),hlm.79.
24

31

tersebut masuk ke dalam ruang lingkup hukum jaminan sebagaimana
dituangkan ke dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa
segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang ada dikemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan.
Abdulkadir Muhammad26 mengemukakan bahwa pengalihan hak cipta
itu didasari oleh motif ekonomi, yaitu keinginan untuk memperoleh manfaat
ekonomi atau keuntungan secara komersil, pencipta mengalihkan hak cipta
dengan bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan ciptaan
yang dihasilkan dari hak cipta tersebut. Hak cipta suatu ciptaan tetap ada di
tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh
hak ciptanya. Hal ini menegaskan berlakunya asas kemanunggalan hak cipta
dengan penciptanya. Hak cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak
dapat dijual lagi untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama. Apabila timbul
sengketa antara beberapa pembeli hak cipta yang sama atas suatu ciptaan,
perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh hak
cipta tersebut.
Hak cipta dapat beralih baik seluruhnya maupun sebagian melalui
pewarisan, hibah, wasiat, dan dijadikan milik negara. Hak-hak eksploitasi dari
pemegang hak cipta, seperti misalnya hak reproduksi, hak mempertunjukkan,
hak mengadaptasi, dan hak menerjemahkan dapat dialihkan secara
26

Abdulkadir Muhammad,Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,(Bandung,2007), hlm. 187.

32

keseluruhan, dapat juga secara satu persatu atau sebagian saja, bahkan
dapat juga hanya dalam bentuk tertentu saja, misalnya 27:
a.

Bidang

hak

reproduksi,

yang

dialihkan

hanyalah

hak

reproduksi/menerbitkan ciptaan itu dalam bentuk buku, bukan dalam
majalah, bukan dalam surat kabar, dan sebagainya;
b.

Bidang hak mempertunjukkan/ memainkan, yang dialihkan hanyalah
hak untuk memainkan musik tertentu di Taman Ismail Mardjuki
(TIM) Jakarta saja, bukan untuk dimainkan di televisi, radio, dan
sebagainya;

c.

Bidang hak adaptasi, yang dialihkan adalah hak untuk membuat film
dari ciptaan yang bersangkutan bukan untuk disandiwarakan;

d.

Bidang

hak

terjemahan,

yang

dialihkan

adalah

hak

untuk

menerjemahkan karangan yang bersangkutan hanya dalam bahasa
Jepang, bukan dalam bahasa Spanyol atau bahasa Rusia, dan
sebagainya.
Hak cipta menjadi milik negara yaitu apabila suatu ciptaan sama sekali
tidak diketahui penciptanya. Hal ini berarti bahwa harus telah didahului
dengan

upaya

untuk

mengetahui

dan

menemukan

pencipta

yang

bersangkutan, baru setelah benar-benar diyakini bahwa ciptaan yang
bersangkutan tidak diketahui atau tidak ditemukan penciptanya, maka hak
cipta atau ciptaan tersebut ditetapkan dipegang oleh negara. Tetapi apabila
27

J. C. T. Simorangkir, Op. Cit., hlm. 74.

33

dikemudian hari ada pihak yang dapat membuktikan sebagai pencipta atau
adanya pencipta tersebut, maka negara akan menyerahkan kembali hak cipta
kepada yang berhak. Disamping itu hak cipta juga dapat dialihkan baik
sebagian maupun seluruhnya melalui jual beli maupun dengan perjanjian
lisensi.
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Lisensi
a. Pengertian Perjanjian Lisensi
Perjanjian menurut rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, didefinisikan sebagai:
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih megikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya
dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih
orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas
prestasi tersebut. Rumusan tesebut memberikan konsekuensi hukum bahwa
dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah
pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang
berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat
terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu
hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

34

Dalam Black’s law Dictionary28 lisensi diartikan sebagai:
A personal privilege to do some particular act or series of acts.....
atau
The permission by competent authority to do an act which, without
such permission would be illegal, a trespass, a tort, or otherwise would
not allowable.
Ini berarti lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk
privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak tertentu.
Dalam pengertian yang umum tersebut, dalam Black’s Law Dictionary,
penggunaan istilah lisensi jika kita baca lebih jauh senantiasa dikaitkan
dengan penggunaan atau pemanfaatan tanah berdasarkan pada izin yang
diberikan oleh otoritas atau pihak yang berwenang dalam hal ini adalah
pejabat atau instansi pemerintah terkait.
Lisensi sering diberikan di bidang intelectual property right, atau
masyarakat lebih mengenalnya dengan hak milik intelektual, seperti misalnya
hak atas merek, hak cipta dan hak paten.
Dalam kepustakaan dikenal adanya beberapa jenis lisensi, yaitu:
a) Lisensi tunggal dan lisensi hak diberikan kepada beberapa badan hukum.
Dalam lisensi tunggal, satu perusahaan atau seseorang tertentu
memperoleh izin untuk menggunakan salah satu hak milik intelektual tadi.
Pemakaian hak itu dengan mengecualikan semua orang lain termasuk di
dalamnya pemegang hak itu sendiri. Dalam hal lisensi diberikan kepada
28

Gunawan Widjaya.Seri Huku Bisnis: Lisensi,(Jakarta,2001), hlm. 7.

35

beberapa perusahaan atau badan hukum atau beberapa orang, maka
badan hukum atau orang-orang tersebut memakai hak itu bersama-sama
disamping perusahaan lain atau orang lain. Untuk selanjutnya hal itu
lebih dikenal dengan lisensi ekslusif dan lisensi non ekslusif.
b) Lisensi terbatas dan lisensi tak terbatas. Dalam lisensi ini yang
dibicarakan adalah perihal luasnya ruang lingkup pemberian lisensi itu.
Dalam hal lisensi tak terbatas, maka pemegang lisensi berhak melakukan
apa saja sebagaimana pemilik hak itu sendiri. Lain halnya dengan lisensi
terbatas. Pembatasan dapat dilakukan umpamanya mengenai luas hakhak yang diberikan dalam lisensinya. Misalnya untuk lisensi hak cipta
atas lagu, hanya terbatas untuk lagu-lagu tertentu saja, atau pembatasan
mengenai wilayah edar lagu dan lain sebagainya.
Drupsteen memberikan ukuran lain untuk membedakan macam
bentuk perjanjian lisensi29. ukuran pertama adalah tujuan ekonomis apa yang
berhak dicapai oleh perjanjian lisensi itu. Ukuran kedua adalah acuan hukum
apa yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan ekonomi tadi. Istilah
perjanjian lisensi sering muncul dalam dunia perdagangan, dimana satu
pihak

membutuhkan

sesuatu

untuk

dipakai

sebagai

bahan

untuk

mengembangkan usahanya serta mencari keuntungan. Sesuatu yang
dimaksud di sini adalah suatu karya hasil perwujudan imaginasi pihak lain.
29

G. Th. Drupsteen, Lampiran pada Pengantar Hukum Perizinan, Terjemahan M.Soetopo, Kerjasama
Hukum Indonesia-Belanda, dalam Dewi Astuty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam
Pengembangan Teknologi Indonesia, (Bandung,2001), hlm. 11.

36

Mau tidak mau pihak yang akan menggunakan hasil karya tadi harus
berhubungan dengan pihak pemilik hasil karya tadi untuk meminta
persetujuan agar bisa menggunakan hasil karya tersebut. Persetujuan inilah
yang oleh kalangan umum terutama yang bersangkutan langsung dengan
perjanjian lisensi ini, selain meminta pendapat dari kalangan umum yang
berhubungan langsung dengan perjanjian lisensi.
b. Pengaturan Perjanjian Lisensi dalam Undang-Undang Hak Cipta
Istilah lisensi ditentukan dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta pada Bab V Pasal 45-47. Pada dasarnya perjanjian lisensi hanya
bersifat pemberian izin atau hak yang dituangkan dalam akta perjanjian untuk
dalam jangka waktu tertentu dan dengan syarat tertentu menikmati manfaat
ekonomi suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptaan.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur
ketentuan-ketentuan lisensi dalam pasal 45 – 47, yaitu:
Pasal 45
1. Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
2. Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan
dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
3. Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban
pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima
Lisensi.

37

4. Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta
oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.
Pasal 46
Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta tetap boleh
melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga
untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana di