HADIS TENTANG ISBAL PAKAIAN DIBAWAH MATA

Yunus, S.Pd.I,M.Pd.I Nurhang542@gmail.com ABSTRAK

Hadis yang merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur ’an perlu kita tela ’ah baik dari segi sanad ataupun matan hadits. Mengkaji hadis secara tematik (melakukan i ’tibar) akan dapat membantu memahami hadits secara konprehensif dan objektif. Larangan Isbal adalah salah satu hal yang menarik yang banyak dijumpai dalam hadits Nabi saw. Lebih-lebih lagi seiring dengan penomena ummat hari ini yang menunjukkan kepedulian yang sangat tinggi terhadap pengamalan keagamaan sehingga acapkali mengemuka larangan isbal bahkan pengkafiran terhadap kaum muslim yang memakai pakaian melebihi mata kakinya. Disisi lain tradisi dan budaya Indonesia yang sudah terbiasa memanjangkan pakaiannya itu menjadikan dua hal yang seolah-olah kontroversi. Pendekatan memamahi asbabul wurud (studi hostoris) dan tematik adalah solusi tepat dalam memaknai hadis tentang Isbal ini sehingga nilai yang diajarkan Nabi saw lewat sunnah itu dapat dilihat sebagai rahmatan lilalamin. Kata Kunci, Hadis, Isbal dan Sombong

I. PENDAHULUAN Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur ‟an yang sangat besar pengaruhnya dalam membentuk pemahaman dan pengamalan ajaran agama seorang muslim. Sumber Hadits, yakni Nabi saw, adalah wujud nyata dari ajaran wahyu. Adapun ulama ushul memandang tidak semua yang datang dari Nabi saw digolongkan sebagai Hadits yang harus diikuti, karena Nabi saw juga manusia yang berinteraksi dengan lingkungan dan waktu sehingga ada hal yang berasal rasullah saw, baik itu perkataan, perbuatan dan termasuk Hadits yang harus diikuti.

Problematika umat terhadap hukum Islam pada akhir ini memunculkan, terlihat diberbagai bentuk dan cara berpakaian dalam shalat. lMode yang selama ini dikuasai budaya Barat, telah merusak tatanan akhlaq kaum muda muslim di seluruh dunia.

Akan tetapi, Islam menyodorkan busana yang sengaja dihadirkan sebagai bukti kepedulian akan perbaikan akhlaq manusia. Taqshir (memendekkan) -bagi laki-laki celana yang terlihat sekarang ini sebagai salah satu bukti kepedulian kaum muslimin untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yang telah lama tertutup kabut hawa nafsu manusia. Walaupun muslimin pada hal ini berbeda Akan tetapi, Islam menyodorkan busana yang sengaja dihadirkan sebagai bukti kepedulian akan perbaikan akhlaq manusia. Taqshir (memendekkan) -bagi laki-laki celana yang terlihat sekarang ini sebagai salah satu bukti kepedulian kaum muslimin untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yang telah lama tertutup kabut hawa nafsu manusia. Walaupun muslimin pada hal ini berbeda

Islam dan Muslimin. 1

Barangkali telinga kita pernah mendengar sentilan bahwa isbal itu terlarang (baca:haram) jika disertai dengan takabur. Namun hukumnya cumamakruh bila tidak mengandung unsur kesombongan dengan dalih, diantaranya:

1. Hadits-hadits yang berbicara tentang pengharaman isbal, selain ada yang bersifat muthlaq, juga ada yang muqoyyad dengan kesombongan, sehingga hadits yang muthlaq harus diperjelas dengan hadits yang muqoyyad.

2. Kisah Abu Bakar As-Shiddiq (penjelasan takhrijnya akan datang) yang melakukannya bukan karena sombong. Di hadapan syariat, saya dan Abu Bakar sama sederajat. Tindakan yang boleh dilakukan Abu Bakar, otomatis boleh juga saya kerjakan. Demikian juga rukhshoh yang dikantongi Abu Bakar juga berhak saya dapatkan. Ini segelintir dari cara penolakan yang dipakai dalam menyikapi masalah ini. Metode penolakan terhadap petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam yang satu ini begitu bervariasi. Marilah kita menganalisanya melalui kajian dalil-dalilnya secara komplek dan keterangan para ulama

Perbedaan pendapat ini muncul karena berbeda dalam memahami sebuah teks (nash) Al Qur'an atau hadits, sedangkan perbedaan ini akan terus terjadi dalam nuansa berfikir muslimin karena satu sama lain saling memegang claim truth-nya. Perbedaan pendapat yang penyusun maksudkan di makalah ini sekitar penghukuman "Isbal" dalam pandangan para ulama.

II. PEMBAHASAN

Diantara sunnah-sunnah nabi adalah adab berpakaian yang syar'i. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberi perhatian yang cukup besar tentang tata cara berpakaian karena penampakan luar menunjukan apa yang ada didalam hati manusia. Oleh karena itu jika kita memperhatikan model pakaian manusia sekarang maka kita dapati masing-masing mereka memakai pakaian yang menggambarkan akhlak mereka.

Orang yang suka kekerasan tentunya pakaiannya berbeda dengan pakaian orang yang menyukai kelembutan, demikian pula orang yang sombong tentunya gaya berpakaiannya berbeda dengan orang yang tawadlu. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallamh melarang kita meniru-niru gaya berpakaian Yahudi dan Nasrani demikian juga gaya berpakaian majusi.

Rasululla h Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga melarang meniru gaya berpakaian orang yang sombong. Berisbal ria merupakan gaya berpakaian orang- orang yang sombong. Bahkan isbal sendiri merupakan kesombongan. Maka tidaklah sepantasnya kita mengikuti tata cara berpakaian orang yang sombong.

1 Amran, Studi Kritik hadis tentang Isbal (Antara budaya dan kesombongan), http:/www.google.co.id/group/myqura

Sesungguhnya tidak ada orang yang lebih bertakwa dan lebih tawadlu' serta lebih bersih hatinya dari kesombongan daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kita lihat bagaimanakah sifat baju beliau karena sesungguhnya baju beliau menggambarkan tawadlu beliau.

Isbal (memanjangkan pakaian hingga di bawah kedua mata kaki bagi lelaki) termasuk dosa besar yang kurang diperhatikan oleh sebagian umat. Sementara hadits-hadits tentang larangan berisbal-ria telah mencapai derajat

mutawatir maknawi, lebih dari dua puluh sahabat meriwayatkannya. 2 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga melarang meniru gaya berpakaian orang yang sombong. Berisbal ria merupakan gaya berpakaian orang- orang yang sombong. Bahkan isbal sendiri merupakan kesombongan. Maka tidaklah sepantasnya kita mengikuti tata cara berpakaian orang yang sombong.

Sesungguhnya tidak ada orang yang lebih bertakwa dan lebih tawadlu' serta lebih bersih hatinya dari kesombongan daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kita lihat bagaimanakah sifat baju beliau karena sesungguhnya baju beliau menggambarkan tawadlu beliau.

Artinya: (Ujung) sarung Rasulullah SAW hingga tengah kedua betis beliau (HR At- Thurmidzi di As-

Syama’il dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani no 98). 3

J ika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ujung baju dan sarung beliau hingga tengah betis padahal dia adalah orang yang paling bertakwa dan paling jauh dari kesombongan bahkan beliau tawadlu kepada Allah dengan memendekkan baju dan sarung beliau hingga tengah betis dan beliau takut ditimpa kesombongan serta ujub, maka mengapa kita tidak meneladani beliau??

A. Hadis-hadis Isbal Menggunakan lafadz Isbal, ل بجسا

1. Nasa’I 5239, Kualitas : Shahih

2 HR At-Thobroni dalam Al- Mu’jam Al-Kabiir XX/211 no 486, XX/212 no 487, berkata Al- Mundziri, ‚Dan rijaal At-Thobrooni tsiqoot rijaal as-shahih‛ (At-Targhib wat

tarhiib III/26). Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah I/447 no 226 3 Dan merupakan perkara yang berlebihan adalah mengangkat izar (sarung) atau

tsaub (jubah) hingga lebih dari setengah betis. قاسلا فصن قوفرازلاا ركٌ ا وناك لاق نب نع Berkata Ibnu Siriin, ‚Mereka (para sahabat) membenci (ujung bawah) sarung lebih tinggi dari setengah betis‛ (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya V/167 no 24828)

Artinya: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Rafi‟ telah menceritakan kepada kami Husein bin Ali dari Abdul Aziz bin Abi Rawwad dari Salim dari Abdullah bin Umar r.a, Nabi saw bersabda: Siapa-siapa yang menjulurkan kain, pakaian dan serban karena sombong Allah tidak memandangnya pada hari kiamat.

2. Abu Daud 3571, Kualitas : Shahih

3. Ibn Majah 3566, Kualitas : Shahih

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami al-Husein bin Ali, dari Abdul Aziz bin Abi Rawwad dari Salim dari Abdullah bin Umar r.a, Nabi saw bersabda: Siapa- siapa yang menjulurkan kain, pakaian dan serban karena sombong Allah tidak memandangnya pada hari kiamat.

Kualitas Terdapat

Kitab

Riwayat

Shahih 3891, 3893, 3892, kitab al-Libas Muslim 3890, 3889, 3888, 3887

Bukhari Shahih

Shahih 5339, 5338

kitab al-Libas

Al-Tirmidzi Shahih

kitab al-Libas

5240, 5239, 5238, kitab al-Zinah Al-Nasa ‟I 5237, 5236, 5235, 5234, 5233, 5231, 3571

Shahih 3566, 3565, 3564, kitab al-Libas Abu Daud 3563, 3562 Shahih

kitab al-Libas

Ibn Majah

B. Hadis-hadis Isbal Menggunakan lafadz Jarra, ( ّشج)

1. Bukhari 3392, 5337, 5338, 5342, 5345, Kualitas : Shahih

2. Muslim : 3887, 3889, 3890, Kualitas : Shahih

3. al-Turmudzi 1652, 1653, 1654, Kualitas : Shahih

4. Nasa’I 5233, 5239, 5240, 5241, 5232, Kualitas : Shahih

5. Abu Daud 3563, 3570, 3571, 3686, Kualitas : Hasan

6. Ibn Majah 3563, 3561, 3560, 3566, Kualitas : Hasan

7. Ahmad 4795, 4806, 4811, 4813, 3965, 4339, 4652, 4772, 4916, 4997, 5075, 5098, 5203, 5276, 5541, 5553, 5849, 5975, 5877, 5927, 6056, 6153, 9187, 9477, 9817, 10137, 10568, 10587, 10925, 10970, 11489.[2] Kualitas : Shahih

Kualitas Terdapat

Riwayat Shahih

Kitab

3392, 5337, 5338, 5342, kitab al-shalat Bukhari 5345 Shahih

Muslim Shahih

kitab al-hajj

Al-Tirmidzi 5233, 5239, 5240, 5241, kitab manasik al- Al-Nasai ‟ 5232, 2619, 2621, 2626, hajj 2627, 2632, 2633 Hasan 3563, 3570, 3571, 3686

kitab al-hajj

Abu Daud Hasan

kitab al-manasik

3563, 3561, 3560, 3566, kitab al-manasik Ibn Majah 2920, 2923 Shahih

4795, 4806, 4811, 4813, kitab musnad al- Ahmad 3965, 4339, 4652, 4772, muktsarin min al- 4916, 4997, 5075, 5098, shahabah 5203, 5276, 5541, 5553, 5849, 5975, 5877, 5927, 6056, 6153, 9187, 9477, 9817, 10137, 10568, 10587, 10925, 10970, 11489

C.Asbabun Wurud Hadis Isbal Dalam penelusuran penulis terhadap asbâb al-wurûd tentang hadis isbal

ini, penulis belum memperoleh informasi tentang sebab-sebab periwayatan hadis tersebut dalam kitab yang membahas secara khusus tentang asbâb al-wurûd. Tetapi kalau ditelusuri dalam kitab syarah hadis khususnya kitab fath al-bâri, ini, penulis belum memperoleh informasi tentang sebab-sebab periwayatan hadis tersebut dalam kitab yang membahas secara khusus tentang asbâb al-wurûd. Tetapi kalau ditelusuri dalam kitab syarah hadis khususnya kitab fath al-bâri,

Abu Hurairah mengatakan, ada seorang laki-laki berpakaian yang berjela- jela (isbal). Ia mengerjakan shalat dan Rasulullah SAW memperhatikannya. Beliau bersabda: ‚Pergilah, ambil air wudhu ‟! ‚ Mendengar perintah Nabi itu, seorang sahabat lain bertanya : ‚Kenapa engkau suruh dia berwudhu?‛. Beliau diam sejenak, kemudian beliau menjelaskan bahwa pakaian laki-laki itu berjela-jela (isbal), sedangkan Allah tidak akan menerima shalat orang yang berpakaian berjela-jela

Keterangan: Isbal (pakaian berjela-jela sampai menyapu lantai, terlalu panjang) adalah pertanda kesombongan dan menampilkan sosok pribadi yang sombong, padahal shalat adalah saatnya orang bertawadhu ‟ kepada Allah. Maka Rasulullah SAW memerintahkan laki-laki itu agar mengulang kembali wudhunya, agar bersih darinya lahir dan bathin, yakni dengan wudhu ‟.

Kebersihan batin adalah dengan meninggalkan sifat takabur. Jadi makna hadis ini adalah tidak akan diterima shalat seseorang, tidak akan diberi pahala (balasan), walaupun semua bagian shalat itu telah dia laksanakan. Dengan kata lain

shalat orang yang menyombongkan diri tidak akan diterima Allah. 4 Dalam Asbabul Wurud Hadis yang lain Seperti dalam Shahih Muslim dari hadis Ziyadah dari Abu Hurairah r.a katanya: ‚aku mendengar Abu Hurairah r.a. yang sedang memanjangkan sarung (izar)nya. Lalu dia hentak-hentakkan kakinya ketanah. Laki-laki itu seorang pemimpin dari Bahrain. Maka Abu hurairah berkata: ‚Telah datang Amir, telah datang Amir!‛ Rasulullah bersabda : ‚Sesungguhnya aku tidak akan memandang...........‛ Dalam riwayat ibnu „Umar, katanya : ‚Aku pernah berpapasan dengan Rasulullah SAW, sedangkan sarung Izar ku aku pakai, agak melorot kebawah. Maka Abdullah berkata: Angkatlahsedikit sarungmu!‛ Maka aku angkat (tinggikan) sedikit. Kemudian Abdullah meminta lagi: ‚ Angkat sedikit lagi!‛. Maka sejak itu tak pernah aku lagi memakai sarung yang berjela-jela

4 Ibn hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, Asbab al-Wurud ; latar belakang historis timbulnya hadis-hadis Rasul, terj. H M. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim,

Jakarta : Kalam Mulia, 2008),. 416-417

(menyapu lantai). Maka sebagian orang bertanya kenapa demikian? Abdullah menjawab : ‚Itulah sifat orang-orang terdahulu (di zaman Nabi SAW). 5

D. Takhrij Al-Hadis dan Makna Hadis tentang Isbal Kegiatan takhrij al-hadis dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu dengan menentukan lafadz tertentu, dengan melihat râwi al- alâ’, bi al-maudhu’, dan dengan melihat atraf hadis. Kegiatan takhrij al-hadis secara sederhana digunakan untuk mengetahui sumber-sumber pengambilan hadisyang diteliti. Tujuan takhrij adalah untuk mengumpulkan semua hadis yang membahas tentang masalah isbal. Adapun jenis takhrij yang digunakan dalam penelitian ini adalah takhrij bi al- lafdzî’.

Dari hasil takhrij di atas, penulis akan membatasi penelitian terhadap hadis yang dianggap bertentangan yaitu hadis yang melarang isbal secara umum, dengan hadis isbal yang dibolehkan. Adapun jalur sanad yang diteliti pada kelompok hadis isbal yang dilarang secara umum yaitu hadis riwayat Ahmad bin Hanbal no. 19716 dan al-Bukhâri no. 5341. Sedangakn jalur sanad hadis isbal yang dibolehkan yaitu H.R. al-Bukhâri no. 5338. Adapun sanad yang dimaksud yaitu :

a. Hadis yang melarang isbal secara umum H.R. Ahmad bin Hanbal no. 19716 6

1. Yazid bin Harûn (w. 206 HGuru-gurunya antara lain Sallâm bin Miskîn, Sufyan bin Sa’id, dan Syu’bah bin al-Hujjâj. Murid-muridnya antara lain Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrâhîm dan Zuhair bin Harb. Para ulama kritik hadis seperti ibn Ma’în, Ibn Hanbal, dan Abu Hâtim al-Râzi menilainya dengan lafadz ta’dil tsiqah, tanpa ada satu pun ulama yang menilainya cacat.

2. Sallâm bin Miskîn bin Rabi’ah (w. 162 H) Guru-gurunya antara lain Aqil bin Thalhah, Hilâl bin Abi Hilâl, dan Umar bin Ma’dan. Muridnya antara lain Yazid bin Harûn, Miskîn bin Ibrâhîm, dan Mûsa bin Ismail. Kebanyakan ulama menilainya tsiqah seperti Ibn Ma’în dan ibn Hanbal, kecuali al- Nasâ’î yang menilainya la ba’sa bih.

3. Aqil bin Thalhah (w. ?) Guru-gurunya antara lain Jâbir bin Salîm, Zaid bin Abd al-Rahmân, dan Muslim bin Hamim. Muridnya antara lain Hammâd bin Salamah, Salîm bin Miskîn, dan Syu’bah. Ulama kritik hadis seperti Ibn Ma’în, al-Nasâ’î, dan ibn Hibbân menilanya dengan predikat tsiqah, kecuali Abu Hâtim yang menilainya shâlih.

4. Abu Jurrah al-Hujaimi (Jâbir bin Salîm) Gurunya yaitu Rasulullah saw., murid- muridnya yaitu Aqil bin thalhah dan ‘Ubaidah. Dia termasuk kalangan sahabat yang tidak diragukan kredbilitasnya dalam meriwayatkan hadis.

Dari jalur sanad hadis di atas, semua rawinya mendapat penilaian terpuji dari para ulama kritik hadis, dan jarak tahun wafat antara guru dengan murid tidak

5 Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, Asbab al-Wurud ; latar belakang . 418-419

6 Lihat, H.R. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad,Mausuah al-Hadis al-Syarif CD hadis kitab Sembilan, no. 19716 6 Lihat, H.R. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad,Mausuah al-Hadis al-Syarif CD hadis kitab Sembilan, no. 19716

1. Adam bin Ali (w. 220 H) Guru- gurunya antara lain Sy’ubah, Sulaimân bin al-Mugirah, dan ‘Isa bin

Maemun. Muridnya antara lain al- Bukhâri dan ‘Abdullah bin Abd al-Rahmân. Semua ulama kritik hadis menilanya tsiqah, kecuali al- Nasa’î menilainya la ba’sa bih.

2. Sy’ubah bin al-Hujjâj bin al-Warid (w. 160 H) Guru-gurunya antara lain S a’id bin Abi Sa’id, Khulaifah bin Ka’ab, dan

Khalid bin Ja’far. Muridnya antara lain Adam bin Abi ‘Isa, Ibrâhîm bin Sa’ad, dan Basyar. Semua ulama kritik hadis menilainya tsiqah.

3. Sa’id bin Abi Sa’îd Kaesan al-Muqbirî (w 123 H) Guru-gurunya antara lain An as bin Malik, Abu Hurairah, dan ‘Âisyah.

Muridnya antara lain Sy’ubah, Ayyub bin Abi Miskîn, dan Humaid bin Zaid. Kebanyakan ulama menilainya tsiqah, kecuali ibn Hanbal dan al-Râzî menilainya laesa bih ba’as.

4. Abd al-Rahmân bin Sharah Abu Hurairah (w. 57 H) Guru- gurunya antara lain Ubay bin Ka’ab, ‘Âisyah, dan ‘Ali bin Abi

Thâlib. Muridnya antara lain Sa’id bin Abi Sa’îd, Ibrâhîm bin Ismâ’îl dan Anas bin Mâlik. Dia adalah sahabat yang tidak diragukan kredibilitasnya dan periwayat hadis yang terbanyak dari Rasulullah.

Dari kritik sanad di atas, Nampak bahwa kualitasnya adalah shahih, karena semua perawinya dinilai terpuji tanpa ada yang dinilai cacat, dan terjadi hubungan guru dengan murid dengan melihat tahun wafatnya yang secara logika diyakini mereka hidup sezaman dan mereka saling meriwayatkan hadis.

b. Hadis yang membolehkan isbal bagi orang yang tidak ada rasa sombong Jalur sanad yang menjadi focus penelitian yaitu H.R. al-Bukhâri no 5338.

Adapun rawinya yaitu:

1. Ahmad bin Yûnus (w. 227 H) Nama lengka pnya Ahmad bin ‘Abdullah bin Yûnus bin Abdullah bin Qais.

Guru- gurunya antara lain Zuhair bin Mu’awiyah, Sallâm bin Salîm, dan Ali bin Fudhail. Muridnya antara lain al- Bukhâri, Sa’îd bin Marwan, dan ‘Abdullah bin al- Humaid. Semua ulama kritik hadis seperti Abu Hâtim, Muhammad bin Sa’ad, al- Ijlî dan al- Nasâ’î menilainya tsiqah.

2. Zuhair bin Mu’awiyah bin Hadîj (w. 173 H) Guru- gurunya antara lain Mûsa bin ‘Uqbah, Manshûr bin Abd al-Rahmân,

dan Hisyâm bin Hasan. Muridnya antara lain Ahmad bin Yûnus, al-Hasan bin Mûsa dan Hafsah. Semua ulama kritik hadis menilainya tsiqah.

3. Musa bin ‘Uqbah bin Abi ‘Isa (w. 141 H) Gurunya antara lain Ummu Kaltsum bin ‘Uqbah, Zakwan dan Salîm bin

Abdullah bin ‘Umar. Muridnya antara lain Zuhair bin Mu’awiyah, Hammâd bin Salamah, dan Sufyân bin ‘Uyainah. Dia dinilai tsiqah oleh semua ulama kritik hadis.

4. Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattâb (wn 106 H) Gurunya antara lain Hafsah bin ‘Umar, al-Zubair, dan ‘Abdullah bin

‘Umar. Muridnya antara lain Mûsa bin ‘Uqbah, Ismail bin Abi Khalid, dan Jâbir bin Yazid. Dia dinilai tsiqah oleh semua ulama kritik hadis.

5. Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattâb (w. 73 H) Gurunya antara lain Asma bin Zaid, Bilâl bin Rabah, dan Zaid bin Tsabit.

Muridnya antara lain Salim bin Abdullah dan Basyar bin Harb. Dia adalah sahabat Rasulullah yang kredibilitasnya tidak diragukan dan termasuk periwayat hadis yang riwayatnya konsisten sesuai dengan apa yang didengar dari gurunya atau riwayatnya bi al-lafdzi.

Dari sejumlah perawi yang terdapat dalam sanad hadis riwayat al-Bukhâri no. 5338, tidak ada satupun perawi yang dinilai jarh (cacat) oleh ulama kritik hadis dan dari tahun wafatnya dapat dipahami bahwa telah terjadi hubungan antara guru dengan murid dalam meriwayatkan hadis.

Dengan demikian, riwayat hadis di atas kualitasnya shahih dan dapat dijadikan hujjah. Ketiga jalur sanad di atas dapat diterima dan memenuhi syarat untuk diteliti lebih lanjut jika terjadi pertentangan. Secara lahiriah memang terjadi pertentangan dalam hadis tersebut (matan hadisnya dapat dilihat pada pembahasan berikutnya) dan perlu diteliti secara komprehensif untuk menentukan apakah hadis itu bisa dikompromikan atau tidak sebagaimana akan dibahas pada sub tema dibawah ini.

Setelahnya dilakukan takhrij al-hadis di atas, penulis menemukan hadis- hadis mengenai larangan isbal dengan menggunakan beberapa redaksi, diantaranya isbal dan jarr, dan adapula dengan redaksi اسفم seperti dalam beberapa hadis yang ditakhrij oleh al-Bukhari. Adapun makna ketiga lafadz tersebut adalah sebagai berikut :

1. Makna isbal

a. Isbal menurut lughawi (etimologi) berasal dari kata "Asbala, Yusbilu, Isbâlan" yang artinya "Menurunkan atau memelorotkan" 7 Adapun Isbal didefinisikan sebagai "Memanjangkan celana, gamis atau sorban dibawah dua buah mata kaki dengan sombong"

b. Kata isbâl berakar kata dari asbala yang bermakna ‚melepaskan kebawa atau menurunkan‛. 8 Dalam kamus al-Muhîth disebutkan لبساو‛air mata

diakatan isbal apabila mengalir, langit isbâl yakni menurunkan hujan, seseorang dikatakan isbâl apabila ia menurunkan pakaiannya‛ 9 Selain dari

kata isbal, terdapat juga kata lain yang semakna dengannya yaitu لدسلا yang oleh ulama memberikan defenisi yang berbeda tetapi semakna yaitu :

7 Wason Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : pustaka progresif, 2002), 607

8 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamur Arab – Indonesia, cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 607.

9 Al-Fairu Zabâdi, Kamus al-Muhîth, Juz 3, CD Maktabah Syâmilah, h. 109.

c. Al-Khattâbi memberi defenisi: ضرلاا بٌصٌ ًتح بوثلا لاسرا‚menjulurkan pakaian sampai menyentuh tanah‛ 10

d. Abu ‘Ubaidah memberi defenisi لدسب سٌلف همض ناف هٌدٌ نٌب هٌبناج مصٌ نا رٌغ

e. 12 Al-Jauharî memaknainya dengan اندس مضل اٌ هلدسٌ هبوث لدس يا هاخرا

f. Menurut kamus lisan al- „Arab lafadz isbal mempunyai arti yang sama dengan lafadz sadala yaitu menurunkan atau mengendorkan kain atau

pakain sampai di bawah mata kaki atau juga berarti sangat panjang. 13 Seperti perkataan Aly beliau keluar dan melihat suatu qaum yang shalat

dengan menurunkan atau melabuhkan kainnya, maka Ali berkata mereka itu seperti orang yahudi yang merayakan hari rayanya. 14

g. Isbal sama artinya dengan al-Irsal, yaitu melepaskan kain yang berkonotasi buruk artinya melepaskan kain sampai melebihi mata kaki. 15

h. Di dalam kitab Fath al-Bari dijelaskan bahwa lafadz isbal mempunyai arti yang sama dengan lafadz asfala, yaitu menurunkan.

i. Isbal adalah memajangkan pakaian dan menurunkannya sampai

menyentuh tanah dengan disertai sombong. 16

2. Makna jarra

a. Secara bahasa, jarra sama dengan madda, artinya membentangkan atau memanjangkan, 17 dan menurut ahli bahasa lain berarti memperbanyak atau

melebihkan. 18

b. Dalam syarah al-nawawy li muslim, maksud dari jarra adalah memanjangkan pakaian melebihi mata kaki karena sombong. 19

3. Makna asfala

a. Menurut bahasa lafadz asfala bermakna menurunkan. Dan menurut riwayatnya Ibn Aby Dzi ’ba bahwa makna dari asfala adalah menurunkan hingga di bawahnya mata kaki. 20

b. Lafadz asfala juga bias berbentuk asma ‟ al-Tafdhil yang artinya paling bawah atau lebih bawah. 21 Makna dari asfala bisa bermakna menurunkan

10 Muhammad bin Ismâil al- Amîr, Istifâ’ al-Aqwâl fi Tahrîmi al-Isbâl ‘Ala al- Rijâl, cet. I (Shan’a: Maktabah Dâr al-Qudsî, 1992), h. 33. 11

Muhammad Syams al-Haq al- Adhîmî Abâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan al- Nasâ’i, cet. II (Madinah: Muhammad Abd al-Muhsîn, 1968), Juz 2, h. 347 12 Muhammad Syams al-Haq al- Adhîmî Abâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan al- Nasâ’i 13 CD al-Maktabah al-Syamilah, al-Muhith fi al-Lughah,juz. 2, 252 14 CD al-Makatabah al-Syamilah, Lisan al-

15 „Arab

CD al-Maktabah al-Syamilah, al-Qamus al-Fiqhi, juz. 1, 165 16 CD Musu

17 ‟ah al-Hadis al-Syarif, Aun al-Ma‟bud Syarh Sunan Aby Daud Al-Munjid fi al-lugah wa al-a 18 ‟lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1982), 83. Wason Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

pustaka progresif, 2002), 182.

19 CD al-Maktabah al-Syamilah, Syarh al- Nawawi „ala Muslim, juz.7,168. 20 CD al-Maktabah al-Syamilah, Fath al-Bari, juz. 5, 186 21 CD al-Maktabah al-Syamilah, fath al-Bari, juz. 16, 331 19 CD al-Maktabah al-Syamilah, Syarh al- Nawawi „ala Muslim, juz.7,168. 20 CD al-Maktabah al-Syamilah, Fath al-Bari, juz. 5, 186 21 CD al-Maktabah al-Syamilah, fath al-Bari, juz. 16, 331

adalah mempunyai

sama, yaitu menurunkan/memanjangkan/membentangkan kain (tsaub, izar) sampai di bawah mata kaki.

makna

yang

E. Polemik Lafadz khuyala’ Setelah melihat kesemua hadis di atas, bahwa hadis-hadis di atas ada yang menyantumkan lafadz khuyala ‟ dan ada pula yang tidak mencamtumkannya. Di dalam masalah ini terdapat berbagai pendapat dari ulama-ulama dalam menyikapi hal ini, diantaranya :

1. Haram, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah : ‚masuk neraka orang yang menurunkan kainnya sampai melebihi mata kaki.‛

2. Tidak halal dan tidak haram, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani bahwa Nabi Muhammad pernah melihat seorang A ‟rabi yang sedang shalat dengan menurunkan kainnya hingga melebihi mata kaki, maka Rasulullah bersabda : ‚menurunkan kain di dalam shalat tidak halal dan tidak haram‛. 22

3. Menurut Imam Nawawi, menurunkan kain sampai melebihi mata kaki bagi orang yang sombong hukumnya haram, tetapi bagi orang yang tidak sombong hukumnya makruh. Hal ini juga sama seperti apa yang dikatakan oleh Imam Syafi ’I bahwa sunnah hukumnya memakai sarung sampai setengahnya betis, dan boleh hukumnya memakai sampai di bawahnya mata kaki tanpa adanya makruh dan juga dengan tanpa adanya rasa sombong, tetapi jika menurunkan kain sampai di bawah mata kaki dengan

sombong, maka hukumnya haram. 23

4. Di dalam kitab syrh al-Nawawi, ala Muslim disebutkan bahwa keharaman isbal adalah dengan sarat adanya rasa sombong. Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang memberikan rukhshah kepada Abu Bakr yang menurunkan kainnya (isbal) dan Nabi berkata: Lasta minhum, karena Abu Bakr

menurunkan kainnya tanpa ada rasa sombong. 24

5. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi juga turut campur dalam menanggapi hadis ini. Beliau berpendapat bahwa menurunkan kain sampai melebihi mata kaki hukumnya adalah haram jika disertai dengan rasa sombong. Beliau bertendensi kepada firman Allah SWT di dalam al-

22 CD al-Maktabah al-Syamilah, fath al-Bari, juz. 16, 331 23 CD al-maktabah al-syamilah, 336 24 CD al-Maktabah al-Syamilah, Syarh al-Nawawi, juz. 1, 218

Qur ‟an surat al-Hadid ‚Allah tidak suka terhadap orang yang angkuh dan ber

sikap sombong.‛. 25 Sedangkan pendapat para ulama lainnya sebagai berikut:

1. Al-Khattabi menjelaskan : "Maksudnya, bagian kaki yang terkena sarung yang di bawah dua mata kaki di neraka (bukan sarungnya). Nabi menggunakan kata pakaian sebagai kinayah (kiasan) untuk (anggota) badan". Ta'wil seperti ini jika huruf( نم)dalam hadits adalah bayaniah. Namun jika ( نم) dalam hadits bermakna sababiah maka yang dimaksud adalah pemakai pakaian yang musbil. Nafi', seorang tabi’in, ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab : "Apa dosa baju? Tapi yang diadzab adalah dua kaki." Ibnu Haj ar berkomentar : "… Tidak masalah untuk mengarahkan hadits ini sesuai dengan makna lahiriahnya (dlohir).

2. Penjelasan Syaikh Utsaimin Syaikh Utsaimin menjelaskan : "Mengisbalkan pakaian ada dua bentuk : Bentuk yang pertama: Menjulurkan pakaian hingga ke tanah dan menyeret-nyeretnya. Bentuk yang kedua: Menurunkan pakaian hingga dibawah mata kaki tanpa berakar pada kesombongan. Jenis yang pertama adalah orang yang pakaiannya isbal hingga sampai ke tanah disertai kesombongan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan, pelakunya menghadapi empat hukuman: Allah tidak berbicara dengannya pada hari Kiamat, tidak melihatnya (yaitu pandangan rahmat), tidak menyucikannya serta mendapat adzab yang pedih. Inilah empat balasan bagi orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong. Sedangkan pelaku isbal tanpa disertai kesombongan maka hukumannya lebih ringan.

3. Dalam hadits Abu Hurairah, Nabi berkata: (Apa yang dibawah mata kaki maka di neraka). Nabi tidak menyebutkan kecuali satu hukuman saja. Juga hukuman ini tidak mencakup seluruh badan, tetapi hanya khusus tempat isbal tersebut (yang di bawah mata kaki). Jika seseorang menurunkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki maka dia akan dihukum (bagian kakinya) dengan api neraka sesuai dengan ukuran pakaian yang turun dibawah mata kaki tersebut, tidak merata pada seluruh tubuh.

Kenapa engkau tidak mengangkat celanamu saja dari menutupi mata kaki? Ia pun menjawab, ‚Abu Bakr saja masih berpakaian isbal!‛ Disebutkan dalam Shahih Bukhari ,

25 Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Bina ilmu, 1993), 168

Artinya: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‚Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihat dirinya pada hari kiamat.‛ Lantas Abu Bakr berkata, ‚Sungguh salah satu ujung celanaku biasa melorot akan tetapi aku selalu memperhatikannya.‛ ‚Engkau bukan melakuk annya karena sombong‛, komentar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr.

Bagaimana jika ada yang berdalil dengan perbuatan Abu Bakr di atas bahwa ia tidak menjulurkan celananya karena sombong? Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam itu, lalu beliau memberikan jawaban sebagai berikut:

Adapun yang berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, maka kami katakan tidak ada baginya hujjah (pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi. Pertama, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‚Sesungguhnya salah satu

ujung sarungku biasa melorot kecuali jika aku menjaga dengan seksama.‛ Maka ini bukan berarti dia melorotkan (menjulurkan) sarungnya dengan sengaja karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut melorot, akan tetapi beliau selalu menjaganya. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang semacam ini: Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga berada di bawah mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat, tidak akan melihat kalian, tidak akan menyucikan kalian dan bagi kalian siksaan yang berat.

Kedua, sesungguhnya Abu Bakr sudah diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah diakui bahwa Abu Bakr tidaklah melakukannya karena sombong. Lalu apakah di antara mereka yang berperilaku seperti di atas (dengan menjulurkan celana dan tidak

-pen) sudah mendapatkan tazkiyah dan syahadah (rekomendasi)?! Akan tetapi setan membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau hadits yang samar (dalam pandangan mereka -pen) lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Allah-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan ampunan.

bermaksud

sombong

Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, orang yang menjulurkan celana di bawah mata kaki bukan dengan maksud sombong masih lebih ringan dibanding yang niatannya sombong. Karena dalam hadits disebutkan, siapa saja yang celananya di bawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Hukumannya Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, orang yang menjulurkan celana di bawah mata kaki bukan dengan maksud sombong masih lebih ringan dibanding yang niatannya sombong. Karena dalam hadits disebutkan, siapa saja yang celananya di bawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Hukumannya

Yang tepat, menjulurkan atau menurunkan celana di bawah mata kaki dengan sombong ataukah tidak tetap dihukumi haram. Bahkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Karena dosa besar menurut para ulama adalah setiap dosa yang Allah tetapkan hukuman khusus padanya.

Intinya, isbal tanpa kesombongan tetap diancam dengan neraka. Berarti ada hukuman khusus yang dikenakan. Sedangkan jika menurunkan celana tersebut dari mata kaki dengan sombong, terkena empat hukuman, yaitu di hari kiamat, Allah tidak mau berbicara, Allah tidak akan memandangnya, Allah tidak akan menyucikannya, dan baginya siksa yang pedih.

Larangan shalat dengan isbal tidak mengakibatkan tidak sah shalat, sebagaimana tidak mengakibatkan tidak sah wudhu’ dengan air rampasan dengan sebab dilarangnya dan tidak mengakibatkan tidak sah jual beli pada waktu azan Jum’at dengan sebab dilarangnya.

Ada yang mengatakan, batal shalat apabila seseorang menggunakan kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, beliau berkata :

ْبَهْذا - ملسو هٌلع اللَّ ىلص - ِ هاللَّ ُلوُسَر ُهَل َلاَق ْذِإ ُهَراَزِإ ًلاِبْسُم ىِّلَصٌُ ٌلُجَر اَمَنٌَْب ٌلُجَر ُهَل َلاَقَف َءاَج همُث َأهض َوَتَف َبَهَذَف .ْأهض َوَتَف ْبَهْذا َلاَق همُث َءاَج همُث َأهض َوَتَف َبَهَذَف .ْأهض َوَتَف

Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : ‚Pergilah engkau berwudhu’‛, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasululla h berkata lagi : ‚Pergilah engkau berwudhu’‛, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : ‚Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’ ? maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang ujung kain sarungnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud)

Bantahan

1. Hadits ini dalam kitab Riyadhusshalihin berbunyi :

ْبَهْذا - ملسو هٌلع اللَّ ىلص - ِ هاللَّ ُلوُسَر ُهَل َلاَق ْذِإ ُهَراَزِإ ًلاِبْسُم ىِّلَصٌُ ٌلُجَر اَمَن ٌَْب ٌلُجَر ُهَل َلاَقَف َءاَج همُث َأهض َوَتَف َبَهَذَف .ْأهض َوَتَف ْبَهْذا َلاَق همُث َءاَج همُث َأهض َوَتَف َبَهَذَف .ْأهض َوَتَف

Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : ‚Pergilah engkau berwudhu’‛, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : ‚Pergilah engkau berwudhu’‛, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : ‚Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’, kemudian engkau diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang

yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud) 26

F. Isbal antara Budaya dan Sombong; Sebuah Kontekstualisasi Ada beberapa permasalahan mengemuka dari larangan isbal, yaitu: Masihkah isbal diharamkan ketika menjadi tuntutan budaya? Bila isbal diharamkan karena adanya kesombongan, maka bagaimana jika dengan tidak mengulurkan pakaian malah bertepuk dada karena merasa paling melaksanakan sunnah Rasul? Jika permasalahannya karena isbal memanjangkan pakaian menutupi mata kaki, maka sama kah haramnya jika menaikkan kaos kaki menutupi mata kaki?

Problematika di atas akan coba penyusun uraikan sebagai berikut: Penulis sedikit berargumentasi tentang ketiga permasalahan di atas.

Berangakat dari beberapa hadis diatas bahwasanya hadis-hadis tersebut menjelaskan tentang larangan memanjangkan kain atau celana dengan niat sombong, baik itu sombong kepada Allah maupun kepada sesama, sombong kepada Allah adalah dimana ketika sedang beribadah kepada Allah. Kemudian hadis-hadis tersebut menggunakan beberapa macam perintah dalam hal larangannya, diantaranya; dengan mengancam akan ‚dicuekin‛ oleh Allah, ada juga yang Tidak diterima Ibadahnya (tidak mendapat pahala) dsbgnya. Sehingga apabila kita memanjangkan kain atau celana dengan niat sombong maka dilarang oleh Allah.

Akan tetapi dalam prakteknya hadis tersebut tidak dapat digunakan dengan terlalu ekstrim, karena pengertian memanjangkan kain terdapat banyak pemahaman. Di dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai ada yang memakai kain atau celana diatas mata kaki dan dibawah mata kaki atau sejajar dengan mata kaki. Menurut pandangan penulis kedua praktek tersebut adalah sama-sama telah melakukan pemaknaan matan dan mengamalkan hadis di atas, karena sama-sama dengan niat supaya tidak sombong, sehingga tidak sewajarnya apabila kita saling mengklaim benar dan salah dalam praktek pemakaian kain yang dimaksud didalam hadis diatas. Indikasi-indikasi yang meliputi matan hadis akan memberikan

26 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243, No. Hadits : 638 26 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243, No. Hadits : 638

Akan tetapi apabila ada yang memakai kain sampai melebihi kaki atau menyentuh tanah, lantai dan sebagainya, itu jelas dilarang menurut hadis tersebut karena sombong namun selain sombong apabila kain telah sampai menyentuh tanah dikhawatirkan terkena najis sehingga tidak sewajarnya apabila ingin beribadah kepada Allah dengan keadaan najis.

Di dalam menanggapi permasalahan yang nomor 3 di atas, penulis berpendapat berdasarkan keterangan yang ada di dalam kitab-kitab fiqh bahwasannya kaos kaki sudah ada pada zaman Nabi yang biasa disebut dengan Muzzah (khuffah) pada zaman dahulu. Di dalam masalah fiqh terdapat masalah mengusap muzah (massu al-khuffatain) sebagai ganti dari membasuh kaki dalam wudhu ketika pada cuaca yang sangat dingin. Jadi memakai kaos kaki hukumnya adalah boleh, tanpa ada kaitannya dengan masalah ini.

Menurut hasil penelitian penulis tentang hadis-hadis Isbal diatas, bahwasanya hadis-hadis tersebut merupakan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk tidak bersikap sombong, baik itu sombong kepada Allah maupun kepada sesama. Salah satu perbuatan yang akan menghindarkan kita dari sikap sombong adalah larangan memanjangkan kain melebihi mata kaki. Namun begitu juga sebaliknya, ketika ada seseorang yang berpakaian di atas mata kaki tetapi ia merasa sombong dengan ia mengaku-ngaku sebagai ahl al-sunnah, maka ia pun berdosa dan juga akan dilaknat oleh Allah.

Jadi yang menjadi inti dari permasalahan di atas adalah adanya rasa sombong. Penulis bertendensi kepada ulama-ulama yang berargumen bahwa isbal tidak berdosa atau dilaknat oleh Allah ketika adanya rasa sombong di dalam hatinya, namun apabila isbal tidak disertai rasa sombong, maka tidak ada hukum dosa atau laknat Allah SWT.

Penulis akan mengemukakan pendapat para ulama terhadap haramnya perbuatan isbal sekalipun tidak disertai rasa sombong dan perbuatan isbal yang dibolehkan bagi orang yang tidak sombong. Olehnya itu, dalam makalah ini akan dibagi kedalam dua kelompok sebagaimana telah disebutkan di atas.

1. Kelompok yang mengharamkan isbal secara umum Kelompok ini memberikan berbagai argumen sebagaimana berikut ini:

a. Dalil berdasarkan hadis Rasulullah Kelompok ini secara tegas memberlakukan hadis-hadis secara mutlak tentang keharaman isbal dengan berdasar kepada hadis-hadis yang berkaitan dengan isbal yaitu :

Hadis yang semakna dengan hadis ini terdapat juga pada al-Nasâi dan

Ahmad bin Hanbal, 27

27 Lihat takhrij hadis bi al- maudhu’i pada halaman di atas.

Dengan râwi al- a’la’-nya yang berbeda-beda yaitu Ibn ‘Abbâs, Abu Hurairah, Âisyah, Samurah bin Jundub, Ibn ‘Umar, dan ‘Amrû bin al-Syarîd. Di antara ulama yang dijadikan rujukan oleh mereka yaitu Ibn Hajar sebagaimana disebutkan dalam fath al-Bâri yang menjelaskan bahwa hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa melakukan isbal yang disertai dengan rasa sombong, merupakan salah satu dosa-dosa besar, adapun jika dilakukan dengan tidak disertai dengan rasa sombong, maka yang dijadikan dasar adalah zhahir dari hadis-hadis

tersebut yaitu diharamkan. 28

b. Argumentasi aqli Kelompok ini berargumen bahwa memanjangkan pakaian melewati mata kaki merupakan indikasi kesombongan, dan merupakan sarana yang membawa kepada kesombongan, sedangkan syari’at telah mencegah hal-hal yang dapat membawa kepada hal-hal yang diharamkan, dan bahwasanya hukum sarana itu sama dengan hukum tujuan. Argumentasi ini disandarkan kepada pendapat ibn

Hajar dalam fath al-Bâri. 29

c. Isbal merupakan bentuk menyerupai wanita Argumen ini disandarkan kepada hadis Rasulullah : isbal bagi wanita wajib hukumnya sebab wanita itu adalah aurat. Mereka mengutip pendapat ibn Hajar bahwa bagi wanita ada dua keadaan, yaitu keadaan yang disukai yang merupakan keadaan dimana panjang pakaiannya melebihi apa yang diperbolehkan bagi para laki-laki dengn ukuran sejengkal, dan keadaan yang diperbolehkan yakni dengan ukuran sehasta dibawah mata kaki.

d. Isbal merupakan perbuatan pemborosan Tidak dapat diragukan lagi bahwa pembuat syari’at telah menjadikan ukuran bagi pakaian laki-laki. Oleh karena itu apabila seseorang laki-laki memanjangkan pakaiannya melewati batas yang telah ditentukan baginya, maka berarti dia telah melakukan suatu pemborosan.

e. Orang yang isbal pakaiannya tidak aman dari terkena najis Kelima argumentasi di atas, merupakan alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang menharamkan isbal sekalipun tidak ada rasa sombong yang menyertai orang yang melakukan isbal tersebut.

Hukum orang yang mengisbalkan bajunya karena sombong adalah: Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat, tidak berbicara dengannya, tidak menyucikannya, serta mendapat adzab yang pedih. Adapun orang yang menurunkan pakaiannya dibawah mata kaki maka hukumnya "di neraka" saja, dan ini adalah hukum juz'i (lokal) yang khusus (hanya menyangkut bagian tubuh yang pakaiannya melewati mata kaki saja-pent). Maka kalau kita geser mutlaq ke muqoyyad berkonsekuensi salah satu hadits mendustakan hadits yang lainnya.

28 alid bin Muhammad Nabih bin Saifun Nashr, al-Isbâl li Gairi al-Khuyalâ, diterjemahkan oleh Abu Hafs Muhammad Tasyrif ibn ‘Ali Asbi dengan judul ‚larangan

Berpakaian Isbal‛, (Solo: at-Tibyân, 1990), h. 37-42 29 Ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri, CD. Maktabah

Syâmilah, Juz 16, h. 336.

Perhatikanlah titik penting ini. Jika hukum berbeda, lalu mutlaq dibawa ke muqoyyad (seperti permasalahan isbal) maka berdampak pada pendustaan salah satu hukum terhadap hukum lainnya. Karena jika engkau jadikan (Apa yang di bawah mata kaki di neraka) hukumnya seperti orang yang isbal karena sombong,….hukumnya jadinya apa?? Sanksinya bukan hukum khusus tetapi hukumannya (hukum yang pertama) naik menjadi lebih berat (berubah menjadi hukum yang kedua, dengan empat ancaman, sebagaimana telah lalu). Dan ini berarti hukum yang ada di hadits yang pertama adalah dusta.

Jenis aktifitasnya juga berbeda. Yang pertama menurunkan pakaiannya hingga dibawah mata kakidan tidak sampai ke tanah tetapi dibawah mata kaki adapun yang kedua kerena dia menyeret-nyeret pakaiannya" 30 Dengan demikian maka kita mengetahui lemahnya pendapat Imam Nawawi tentang haramnya isbal karena sombong dan makruhnya isbal jika tanpa disertai takabur. Yang benar hukumnya adalah haram, sama saja karena sombong atau tidak. Bahkan yang benar isbal termasuk dosa besar. Lantaran dosa besar adalah seluruh dosa memiliki hukum (adzab) yang khusus. Faktanya, isbal ada adzab yang khusus, diancam dengan neraka kalau tanpa sombong, dan jika karena sombong maka diancam dengan empat hukuman.

F. Kesimpulan

Berangakat dari beberapa hadis di atas bahwasanya hadis-hadis tersebut menjelaskan tentang larangan memanjangkan kain atau celana dengan niat sombong, baik itu sombong kepada Allah maupun kepada sesama, sombong kepada Allah adalah dimana ketika sedang beribadah kepada Allah. Kemudian hadis-hadis tersebut menggunakan beberapa macam perintah dalam hal larangannya, diantaranya; dengan mengancam akan ‚dicuekin‛ oleh Allah, ada juga yang Tidak diterima Ibadahnya (tidak mendapat pahala) dan sebagaimnya. Sehingga apabila kita memanjangkan kain atau celana dengan niat sombong maka dilarang oleh Allah.

Akan tetapi dalam prakteknya hadis tersebut tidak dapat digunakan dengan terlalu ekstrim, karena pengertian memanjangkan kain terdapat banyak pemahaman. Di dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai ada yang memakai kain atau celana diatas mata kaki dan dibawah mata kaki atau sejajar dengan mata kaki.

Menurut pandangan penulis kedua praktek tersebut adalah sama-sama telah melakukan pemaknaan matan dan mengamalkan hadis di atas, karena sama- sama dengan niat supaya tidak sombong, sehingga tidak sewajarnya apabila kita saling mengklaim benar dan salah dalam praktek pemakaian kain yang dimaksud didalam hadis di atas. Indikasi-indikasi yang meliputi matan hadis akan memberikan kejelasan dalam pemaknaan hadis apakah suatu hadis akan dimaknai

30 Firanda bin Abidin’, Menjawab Isbal, http://dear.to/abusalma , diakses tanggal 23 November 2017.

secara tekstual ataukah kontekstual, dan apakah hadis termasuk kategori universal, temporal atau lokal.

Akan tetapi apabila ada yang memakai kain sampai melebihi kaki atau menyentuh tanah, lantai dan sebagainya, itu jelas dilarang menurut hadis tersebut karena sombong namun selain sombong apabila kain telah sampai menyentuh tanah dikhawatirkan terkena najis sehingga tidak sewajarnya apabila ingin beribadah kepada Allah dengan keadaan najis.

Di dalam menanggapi permasalahan yang nomor 3 di atas, penulis berpendapat berdasarkan keterangan yang ada di dalam kitab-kitab fiqh bahwasannya kaos kaki sudah ada pada zaman Nabi yang biasa disebut dengan Muzzah (khuffah) pada zaman dahulu. Di dalam masalah fiqh terdapat masalah mengusap muzah (massu al-khuffatain) sebagai ganti dari membasuh kaki dalam wudhu ketika pada cuaca yang sangat dingin. Jadi memakai kaos kaki hukumnya adalah boleh, tanpa ada kaitannya dengan masalah ini.

Menurut hasil penelitian penulis tentang hadis-hadis Isbal di atas, bahwasanya hadis-hadis tersebut merupakan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk tidak bersikap sombong, baik itu sombong kepada Allah maupun kepada sesama. Salah satu perbuatan yang akan menghindarkan kita dari sikap sombong adalah larangan memanjangkan kain melebihi mata kaki. Namun begitu juga sebaliknya, ketika ada seseorang yang berpakaian di atas mata kaki tetapi ia merasa sombong dengan ia mengaku-ngaku sebagai ahl al-sunnah, maka ia pun berdosa dan juga akan dilaknat oleh Allah.

Jadi yang menjadi inti dari permasalahan di atas adalah adanya rasa sombong. Penulis bertendensi kepada ulama-ulama yang berargumen bahwa isbal berdosa atau dilaknat oleh Allah ketika adanya rasa sombong di dalam hatinya, namun apabila isbal tidak disertai rasa sombong, maka tidak ada hukum dosa atau laknat Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hafs Muhammad Tasyrif ibn ‘Ali Asbi dengan judul ‚larangan Berpakaian Isbal‛, Solo: at-Tibyân, 1990.

Al-Munjid, fi al-lugah wa al-a ‟lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1982.

Amran, Studi Kritik hadis tentang Isbal, Antara budaya dan kesombongan), http:/www.google.co.id/group/myqura

At-Thobroni dalam Al- Mu’jam Al-Kabiir XX/211 no 486, XX/212 no 487, berkata Al- Mundziri, ‚Dan rijaal At-Thobrooni tsiqoot rijaal as-shahih‛ (At- Targhib wat tarhiib III/26).

Firanda bin Abidin’, Menjawab Isbal, http://dear.to/abusalma , diakses tanggal 23 November 2017.

Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad,Mausuah al-Hadis al-Syarif CD hadis kitab Sembilan, no. 19716

Ismâil al- Amîr, Muhammad bin, Istifâ’ al-Aqwâl fi Tahrîmi al-Isbâl ‘Ala al-Rijâl, Shan’a: Maktabah Dâr al-Qudsî, 1992.

Muhammad Yusuf al-Qardhawi, Syaikh , Halal dan Haram dalam Islam, Bina ilmu, 1993.

Munawwir, Wason, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : pustaka progresif, 2002.

Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Jakarta : Kalam Mulia, 2008),. 416-417

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91