Penyelewangan Dana Otonomi Khusus di Pro
Penyelewangan Dana Otonomi
Khusus di Provinsi Papua
A. Latar Belakang
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan
daerah
yang
bersifat khusus atau
bersifat istimewa.
Keputusan
politik
penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur.
Namun, kenyataannya, berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan
kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya
pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah
awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya
yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua pun lahir sebagai hasil
negosiasi win-win solution antara pemerintah Republik Indonesia dengan masyarakat Papua
yang merasa tidak puas berada di bawah sistem pemerintahan NKRI. Masyarakat Papua merasa
bahwa pemerintah Indonesia mengeruk habis kekayaan Papua sedangkan rakyat Papua yang
merasa memiliki kekayaan alam tersebut justru tidak merasakan manfaatnya.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 1
B. Rumusan Masalah
Pada praktiknya, sudah 10 tahun semenjak ditetapkannya Otonomi Khusus (Otsus) di Papua
belum diimplementasikan secara efektif. Banyak permasalahan yang timbul seperti pendidikan di
papua yang masih jauh dari standar layak, sekolah-sekolah rusak, kurangnya jumlah tenaga
pengajar dan sekolah yang ada, jauhnya jarak antara sekolah dengan masyarakat yang tinggal di
wilayah itu bahkan di salah satu kabupaten, masyarakat mendemo DPRD karena ketiadaan
tenaga pengajar di sekolah itu. Tidak hanya itu, menurut BPK pengelolaan dana otsus seakan
menguap dan tanpa hasil yang nyata. Dana otsus yang diberikan pemerintah pusat malah dibuat
sebagai ajang memperkaya pejabat itu sendiri. Tak heran setelah otsus tahun 2001, rumah para
pejabat berganti bak istana, melancong keluar negeri bahkan dana pendidikan pun di depositokan
sebesar 1,85 triliun. Menurut PCW (Papua Coruption Watch), dana Otsus Papua terkesan
menjadi lahan korupsi baik pejabat di pemerintah pusat, terlebih pejabat di propinsi dan
kabupaten. Penyaluran dana otonomi khusus ke Papua yang sering terlambat. hal ini merupakan
pemicu penyerapan dana oleh rakyat Papua sangat kecil, sehingga lebih banyak terserap ke
kantong pejabat.
HAM juga menjadi isu penting di papua. Menurut kontras, pelanggaran HAM di tanah
Papua masih tinggi. Pelanggaran tersebut berupa ancaman terhadap kebebasan sipil dan
diskriminasi atas identitas masyarakat Papua. Tingginya pelanggaran HAM itu semakin
diperparah dengan proses hukum yang tidak jelas dan memberikan rasa keadilan masyarakat.
Penegak hukum dianggap belum memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat papua
sehingga menjadi terror tersendiri terhadap konflik horizontal, structural maupun yang dilakukan
gerakan separatis. Masyarakat papua juga hanya menikmati sedikit hasil dari pengelolaan sumber
daya alam oleh asing contohnya kasus PT Freeport Indonesia yang mengeruk kekayaan emas
papua namun hanya memberikan 1% penghasilan kotor sebagai dana perwalian kepada suku
amungne dan komoro itu juga tidak jelas keberadaan dananya. PT Freeport juga dianggap sudah
merusak lingkungan semenjak berdiri tahun 1967 dan merugikan suku amungne sebagai pemilik
lahan yang tetap miskin.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 2
C. Pembahasan Masalah
Otonomi Khusus bagi Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang
lebih luas bagi pemerintah daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan tersebut berarti pula tanggung jawab yang lebih
besar bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pemanfaatan kekayaan alam yang tersedia bagi kemakmuran rakyat. Melalui kebijakan Otsus ini
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Papua dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah
air, serta memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk turut serta berkiprah di wilayahnya
sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Namun, pada kenyataannya, kebijakan ini belum
mampu mencapai tujuan yang dikehendaki.
Titik kunci dari masalah ini yaitu penyelewengan dana yang dialokasikan untuk Otsus
oleh pemerintah daerah Papua itu sendiri. Berdasarkan hasil audit yang dilakukan BPK terhadap
APBN yang dialokasikan untuk daerah Papua ditemukan kerugian negara sebesar 319,7 miliar
rupiah. Setelah ditelaah lebih lanjut, sejak 2002-2010 dari total sebanyak 28 triliun yang
dialokasikan untuk Papua, sebanyak 4,12 triliun bermasalah. Masalah tersebut timbul karena
dana fiktif, tidak menaati peraturan dan UU yang berlaku hingga digunaka untuk plesir para
pejabatnya ke Eropa. Belum lagi ada dana sebesar 1,85 triliun yang didepositokan di bank lokal
Papua, padahal seharusnya dana tersebut digunakan untuk peningkatan pendidikan dan kesehatan
Papua.
Padahal kita mengetahui bahwa Papua memiliki sumber daya yang melimpah, tetapi
karena pengelolaan yang kurang baik dan SDM yang kurang mumpuni, berkah dari Tuhan itupun
diambil oleh orang lain. Otonomi yang dielu-elukan dan dibangga-banggakan masyarakat Papua
seperti menjadi bumerang, berakhir tidak seperti yang mereka harapkan. Gunung emas yang
sekarang menjadi lembah dikeruk habis-habisan oleh pihak asing. Rakyat Papua tidak dapat
merasakan manfaat dari kekayaan alam mereka sendiri. Justru mereka seakan menjadi budak di
kampung sendiri. Pemerintah seakan tidak bisa memenuhi janji-janji yang ada dalam
musyawarah rakyat Papua seperti peningkatan kesejahteraan rakyat dan pendidikan gratis.
Pemerintah pusat pun tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya UU Otonomi Khusus.
Kekecewaan rakyat Papua berujung dengan timbulnya gerakan separatis yang bernama
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 3
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menginginkan bahwa Papua harus merdeka dari
Indonesia. Di samping itu banyak terjadi pelanggaran HAM terjadi di Papua seperti penculikan
terhadap orang asing, pembunuhan, dan lain-lain. Ditambah lagi media dan LSM asing yang
mengompori konflik yang tejadi di tanah Papua. Masalah yang dihadapi rakyat Papua menjadi
semakin kompleks, image buruk tentang Papua pun muncul.
D. Simpulan
Otonomi khusus papua dengan dikeluarkannya UU no 21 tahun 2001 bukan berarti
membuat pemerintah pusat lepas tangan dalam masalah pembangunan di papua. Pemerintah
pusat juga harus ikut mengawasi dan membantu dalam pembangunan sarana dan prasana di
pulau paling timur di indoneia itu. Pemerintah pusat bertanggung jawab karena dalam
pengelolaan dana otonomi khusus yang sudah 10 tahun itu kurang maksimal dan rakyat papua
masih sedikit yang merasakan dampaknya. Pemerintah sesuai konstitusi harus bisa memeratakan
kesejahteraan dengan memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada semua warga
negara Indonesia termasuk papua. Wawasan nusantara juga harus diterapkan di tanah papua
dalam pembangunan dan pengelolaan Sumber Daya Alam Papua yang sangat kaya. Masyarakat
papua harus ikut menikmati hasil dari pembangunan di papua tidak hanya masyarakat pendatang
non papua saja. Suku-suku pedalaman papua juga harus dibantu dengan pembangunan yang
tidak mengenyampingkan adat dan budaya papua.
Agar kualitas pendidikan dan kesehatan meningkat, pemerintah pusat yang sudah
memberikan dana alokasi khusus untuk pemerintah daerah papua harus member saran dan tenaga
ahli yang terdidik dari luar papua. Para ahli tedidik seperti dokter, insinyur, guru, dan lain-lain
tidak harus selalu terpusat di jawa. Masyarakat papua harus dididik sedemikian rupa sehingga
mereka bisa membangun sendiri tanahnya dan menikmati hasilnya. Diharapkan dengan
kemandirian dalam mengelola tanah mereka sendiri, mereka tidak dapat lagi dibohongi LSM
asing yang mengompori isu-isu separatis yang tidak sesuai dengan nilai sila ketiga persatuan
Indonesia.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 4
Sumber Daya Alam Papua sangat besar dan sangat melimpah hingga kini bercokol di
sana perusahaan emas asal Amerika Serikat sejak tahun 1967. Sudah seharusnya masyarakat
papua diberi kesempatan untuk mengelola tanah dan alam mereka sendiri. Menjadi isu yang
krusial di mana orang-orang Papua menuduh jawa dan pihak asing bersekongkol untuk
mengeruk kekayaan alam papua. Dengan isu krusial seperti ini, maka asas keadilan dari
wawasan nusantara tidak tercapai sehingga ada sebagian masyarakat yang kecewa dan hendak
memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah pusat seharusnya tahu bahwa memberikan kesempatan
kepada asing untuk mengeruk habis-habisan alam Papua bukan suatupilihan yang bagus. Tanah
Papua harus dimanfaatkan untuk kepentingan nasional tanpa mengabaikan hak-hak orang papua
itu sendiri. Pengelolaan sumber daya alam dan peningkatan SDM Papua akan menjadi hasil
tersendiri saat perekonomian di pulau ini maju. Dengan SDA yang masih melimpah, Papua akan
memberikan sumbangan terhadap APBN yang besar dan benar daripada saat ini yang ratusan
triliun rupiah dibawa asing ke luar negeri. Pembangunan di Papua tidak boleh dianggap sebagai
“genosida terselubung” oleh rakyat Papua. Penanaman investasi, pembukaan lahan, dan
pembangunan struktur fasilitas lainnya tidak boleh merusak hutan yang menjadi tempat tinggal
suku-suku asli Papua. Program pengiriman tenaga-tenaga ahli dari luar Papua harus digalakkan
sehingga masyarakat Papua bisa mengelola dengan benar tanah mereka tanpa merasa iri dengan
masyarakat non Papua yang sukses di Papua. Papua sekarang bukan milik orang Papua saja tapi
milik bangsa Indonesia. Siapapun dapat mengelola tanah Papua tanpa mengabaikan kepentingan
masyarakat asli di sana.
Kita sebagai warga negara Indonesia harus paham dan mengerti tentang wawasan
nusantara. Wawasan nusantara merupakan cara pandang mengenai bangsa Indonesia dengan
bhineka tunggal ikanya. Indonesia itu bukan Jawa saja tapi dari ujung Sabang sampai Merauke.
Tidak ada lagi pembangunan yang terpusat di Jawa dengan otonomi dan desentralisasi, sudah
seharusnya tiap daerah mengelola dan menikmati potensi daerah mereka masing-masing. Papua
hanya sebagian kecil dari banyak daerah di Indonesia yang perlu perhatian lebih dari pemerintah
pusat dalam pembangunan di daerahnya. Kita sebagai bangsa Indonesia sekaligus calon pejabat
negara harus dapat mengelola dengan baik dan benar sampai ke hilirnya sehingga tidak ada lagi
penyelewengan dana den pelemparan tanggung jawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Karena kita sebagai alumnus STAN, punggawa keuangan negara, dengan visi almamater kita,
beriman, bertakwa, dan bekerja secara profesional, kita harus mampu mengatur dan mengawasi
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 5
pembagian alokasi dana pembangunan di daerah Papua agar tidak diselewengkan oleh pejabatpejabat kelas atas dan harus menjamin akan hal itu di bidang keuangan negara. Kami berharap
hasil kerja keras kami nanti dapat membangun bangsa ini lebih baik lagi.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 6
Khusus di Provinsi Papua
A. Latar Belakang
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan
daerah
yang
bersifat khusus atau
bersifat istimewa.
Keputusan
politik
penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur.
Namun, kenyataannya, berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan
kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya
pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah
awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya
yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua pun lahir sebagai hasil
negosiasi win-win solution antara pemerintah Republik Indonesia dengan masyarakat Papua
yang merasa tidak puas berada di bawah sistem pemerintahan NKRI. Masyarakat Papua merasa
bahwa pemerintah Indonesia mengeruk habis kekayaan Papua sedangkan rakyat Papua yang
merasa memiliki kekayaan alam tersebut justru tidak merasakan manfaatnya.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 1
B. Rumusan Masalah
Pada praktiknya, sudah 10 tahun semenjak ditetapkannya Otonomi Khusus (Otsus) di Papua
belum diimplementasikan secara efektif. Banyak permasalahan yang timbul seperti pendidikan di
papua yang masih jauh dari standar layak, sekolah-sekolah rusak, kurangnya jumlah tenaga
pengajar dan sekolah yang ada, jauhnya jarak antara sekolah dengan masyarakat yang tinggal di
wilayah itu bahkan di salah satu kabupaten, masyarakat mendemo DPRD karena ketiadaan
tenaga pengajar di sekolah itu. Tidak hanya itu, menurut BPK pengelolaan dana otsus seakan
menguap dan tanpa hasil yang nyata. Dana otsus yang diberikan pemerintah pusat malah dibuat
sebagai ajang memperkaya pejabat itu sendiri. Tak heran setelah otsus tahun 2001, rumah para
pejabat berganti bak istana, melancong keluar negeri bahkan dana pendidikan pun di depositokan
sebesar 1,85 triliun. Menurut PCW (Papua Coruption Watch), dana Otsus Papua terkesan
menjadi lahan korupsi baik pejabat di pemerintah pusat, terlebih pejabat di propinsi dan
kabupaten. Penyaluran dana otonomi khusus ke Papua yang sering terlambat. hal ini merupakan
pemicu penyerapan dana oleh rakyat Papua sangat kecil, sehingga lebih banyak terserap ke
kantong pejabat.
HAM juga menjadi isu penting di papua. Menurut kontras, pelanggaran HAM di tanah
Papua masih tinggi. Pelanggaran tersebut berupa ancaman terhadap kebebasan sipil dan
diskriminasi atas identitas masyarakat Papua. Tingginya pelanggaran HAM itu semakin
diperparah dengan proses hukum yang tidak jelas dan memberikan rasa keadilan masyarakat.
Penegak hukum dianggap belum memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat papua
sehingga menjadi terror tersendiri terhadap konflik horizontal, structural maupun yang dilakukan
gerakan separatis. Masyarakat papua juga hanya menikmati sedikit hasil dari pengelolaan sumber
daya alam oleh asing contohnya kasus PT Freeport Indonesia yang mengeruk kekayaan emas
papua namun hanya memberikan 1% penghasilan kotor sebagai dana perwalian kepada suku
amungne dan komoro itu juga tidak jelas keberadaan dananya. PT Freeport juga dianggap sudah
merusak lingkungan semenjak berdiri tahun 1967 dan merugikan suku amungne sebagai pemilik
lahan yang tetap miskin.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 2
C. Pembahasan Masalah
Otonomi Khusus bagi Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang
lebih luas bagi pemerintah daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan tersebut berarti pula tanggung jawab yang lebih
besar bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pemanfaatan kekayaan alam yang tersedia bagi kemakmuran rakyat. Melalui kebijakan Otsus ini
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Papua dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah
air, serta memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk turut serta berkiprah di wilayahnya
sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Namun, pada kenyataannya, kebijakan ini belum
mampu mencapai tujuan yang dikehendaki.
Titik kunci dari masalah ini yaitu penyelewengan dana yang dialokasikan untuk Otsus
oleh pemerintah daerah Papua itu sendiri. Berdasarkan hasil audit yang dilakukan BPK terhadap
APBN yang dialokasikan untuk daerah Papua ditemukan kerugian negara sebesar 319,7 miliar
rupiah. Setelah ditelaah lebih lanjut, sejak 2002-2010 dari total sebanyak 28 triliun yang
dialokasikan untuk Papua, sebanyak 4,12 triliun bermasalah. Masalah tersebut timbul karena
dana fiktif, tidak menaati peraturan dan UU yang berlaku hingga digunaka untuk plesir para
pejabatnya ke Eropa. Belum lagi ada dana sebesar 1,85 triliun yang didepositokan di bank lokal
Papua, padahal seharusnya dana tersebut digunakan untuk peningkatan pendidikan dan kesehatan
Papua.
Padahal kita mengetahui bahwa Papua memiliki sumber daya yang melimpah, tetapi
karena pengelolaan yang kurang baik dan SDM yang kurang mumpuni, berkah dari Tuhan itupun
diambil oleh orang lain. Otonomi yang dielu-elukan dan dibangga-banggakan masyarakat Papua
seperti menjadi bumerang, berakhir tidak seperti yang mereka harapkan. Gunung emas yang
sekarang menjadi lembah dikeruk habis-habisan oleh pihak asing. Rakyat Papua tidak dapat
merasakan manfaat dari kekayaan alam mereka sendiri. Justru mereka seakan menjadi budak di
kampung sendiri. Pemerintah seakan tidak bisa memenuhi janji-janji yang ada dalam
musyawarah rakyat Papua seperti peningkatan kesejahteraan rakyat dan pendidikan gratis.
Pemerintah pusat pun tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya UU Otonomi Khusus.
Kekecewaan rakyat Papua berujung dengan timbulnya gerakan separatis yang bernama
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 3
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menginginkan bahwa Papua harus merdeka dari
Indonesia. Di samping itu banyak terjadi pelanggaran HAM terjadi di Papua seperti penculikan
terhadap orang asing, pembunuhan, dan lain-lain. Ditambah lagi media dan LSM asing yang
mengompori konflik yang tejadi di tanah Papua. Masalah yang dihadapi rakyat Papua menjadi
semakin kompleks, image buruk tentang Papua pun muncul.
D. Simpulan
Otonomi khusus papua dengan dikeluarkannya UU no 21 tahun 2001 bukan berarti
membuat pemerintah pusat lepas tangan dalam masalah pembangunan di papua. Pemerintah
pusat juga harus ikut mengawasi dan membantu dalam pembangunan sarana dan prasana di
pulau paling timur di indoneia itu. Pemerintah pusat bertanggung jawab karena dalam
pengelolaan dana otonomi khusus yang sudah 10 tahun itu kurang maksimal dan rakyat papua
masih sedikit yang merasakan dampaknya. Pemerintah sesuai konstitusi harus bisa memeratakan
kesejahteraan dengan memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada semua warga
negara Indonesia termasuk papua. Wawasan nusantara juga harus diterapkan di tanah papua
dalam pembangunan dan pengelolaan Sumber Daya Alam Papua yang sangat kaya. Masyarakat
papua harus ikut menikmati hasil dari pembangunan di papua tidak hanya masyarakat pendatang
non papua saja. Suku-suku pedalaman papua juga harus dibantu dengan pembangunan yang
tidak mengenyampingkan adat dan budaya papua.
Agar kualitas pendidikan dan kesehatan meningkat, pemerintah pusat yang sudah
memberikan dana alokasi khusus untuk pemerintah daerah papua harus member saran dan tenaga
ahli yang terdidik dari luar papua. Para ahli tedidik seperti dokter, insinyur, guru, dan lain-lain
tidak harus selalu terpusat di jawa. Masyarakat papua harus dididik sedemikian rupa sehingga
mereka bisa membangun sendiri tanahnya dan menikmati hasilnya. Diharapkan dengan
kemandirian dalam mengelola tanah mereka sendiri, mereka tidak dapat lagi dibohongi LSM
asing yang mengompori isu-isu separatis yang tidak sesuai dengan nilai sila ketiga persatuan
Indonesia.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 4
Sumber Daya Alam Papua sangat besar dan sangat melimpah hingga kini bercokol di
sana perusahaan emas asal Amerika Serikat sejak tahun 1967. Sudah seharusnya masyarakat
papua diberi kesempatan untuk mengelola tanah dan alam mereka sendiri. Menjadi isu yang
krusial di mana orang-orang Papua menuduh jawa dan pihak asing bersekongkol untuk
mengeruk kekayaan alam papua. Dengan isu krusial seperti ini, maka asas keadilan dari
wawasan nusantara tidak tercapai sehingga ada sebagian masyarakat yang kecewa dan hendak
memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah pusat seharusnya tahu bahwa memberikan kesempatan
kepada asing untuk mengeruk habis-habisan alam Papua bukan suatupilihan yang bagus. Tanah
Papua harus dimanfaatkan untuk kepentingan nasional tanpa mengabaikan hak-hak orang papua
itu sendiri. Pengelolaan sumber daya alam dan peningkatan SDM Papua akan menjadi hasil
tersendiri saat perekonomian di pulau ini maju. Dengan SDA yang masih melimpah, Papua akan
memberikan sumbangan terhadap APBN yang besar dan benar daripada saat ini yang ratusan
triliun rupiah dibawa asing ke luar negeri. Pembangunan di Papua tidak boleh dianggap sebagai
“genosida terselubung” oleh rakyat Papua. Penanaman investasi, pembukaan lahan, dan
pembangunan struktur fasilitas lainnya tidak boleh merusak hutan yang menjadi tempat tinggal
suku-suku asli Papua. Program pengiriman tenaga-tenaga ahli dari luar Papua harus digalakkan
sehingga masyarakat Papua bisa mengelola dengan benar tanah mereka tanpa merasa iri dengan
masyarakat non Papua yang sukses di Papua. Papua sekarang bukan milik orang Papua saja tapi
milik bangsa Indonesia. Siapapun dapat mengelola tanah Papua tanpa mengabaikan kepentingan
masyarakat asli di sana.
Kita sebagai warga negara Indonesia harus paham dan mengerti tentang wawasan
nusantara. Wawasan nusantara merupakan cara pandang mengenai bangsa Indonesia dengan
bhineka tunggal ikanya. Indonesia itu bukan Jawa saja tapi dari ujung Sabang sampai Merauke.
Tidak ada lagi pembangunan yang terpusat di Jawa dengan otonomi dan desentralisasi, sudah
seharusnya tiap daerah mengelola dan menikmati potensi daerah mereka masing-masing. Papua
hanya sebagian kecil dari banyak daerah di Indonesia yang perlu perhatian lebih dari pemerintah
pusat dalam pembangunan di daerahnya. Kita sebagai bangsa Indonesia sekaligus calon pejabat
negara harus dapat mengelola dengan baik dan benar sampai ke hilirnya sehingga tidak ada lagi
penyelewengan dana den pelemparan tanggung jawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Karena kita sebagai alumnus STAN, punggawa keuangan negara, dengan visi almamater kita,
beriman, bertakwa, dan bekerja secara profesional, kita harus mampu mengatur dan mengawasi
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 5
pembagian alokasi dana pembangunan di daerah Papua agar tidak diselewengkan oleh pejabatpejabat kelas atas dan harus menjamin akan hal itu di bidang keuangan negara. Kami berharap
hasil kerja keras kami nanti dapat membangun bangsa ini lebih baik lagi.
Gigih Surya Prakasa, STAN Akuntansi ’10, 103060017337
Page 6