PICKING UP GOD S GUIDANCE IN THE VALLEY

1

MENJEMPUT HIDAYAH DI LEMBAH BALIEM
(Potret Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso Walesi Wamena-Papua)
Intisari
Paradigma pendidikan modern (Madrasah) telah menimbulkan salah tafsir dalam
masyarakat lokal khususnya masyarakat Dani di kampung Walesi yang masih
hidup dengan tradisi, akibatnya terjadi cultural shock. Dengan perspektif
Etnografi, realitas tersebut kemudian di potret dan di interpretasi menggunakan
model Geertz (1986), hasilnya,tergambar sebuah keadaan masyarakat lokal
(tradisional) yang tertatih-tatih berusaha menyesuaikan diri dengan hal baru
(inovasi) yang terus disodorkan the other, baik dari sisi kemasan pembelajaran,
maupun isi serta impact dari sebuah proses belajar mengajar. Meskipun
demikian, dengan upaya yang gigih dari para stakeholder, guru, tokoh agama
dan pemerhati pendidikan, ditengah berbagai keterbatasan dan keterbelakangan,
strategi adopsi, adaptasi dan akulturasi, terus didorong untuk menjembatani
kesenjangan dunia modern dan tradisional, dengan harapan hidayah akan makin
bermunculan di bumi Qurays Indonesia.
Kata kunci: Pendidikan, Wamena, Adopsi, Adaptasi,Akulturasi
PICKING-UP GOD’S GUIDANCE IN THE VALLEY OF BALIEM
(A Picture of Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso, Walesi, Wamena, Papua )

Abstract
The Paradigm of modern education (Islam School) had interpreted incorrectly in
local society, especially in the People of Dani in Kampung Walesi, who still alive
with a tradition, yet, make a culture shock. With perspective of Etnography, those
reality had been framed and being interpreted using models of Geertz (1986). The
result, showing a lumbered and difficulties of local (traditional) society people
who try to get familiar with some new things (innovation) which is continuously
intoduced by other peoples, that came from educational packaging, the content,
and also an impact from an educational process. However, with a strong effort of
stakeholder, teachers, spiritual figure, and education observer, in the middle of
limitedness and under-developed society, the strategy of adoption, adaptation, and
acculturation, are kept pushing forward to connect a gap between modern world
and traditional one, with a hope that those God’s guidance will proven
continuously in the land of Qurays of Indonesia.

Keywords: Education, Wamena, Adoption, Acculturation

2

A. Latar belakang

Tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap semua
aspek kehidupan Bangsa Indonesia. Perubahan itu disebabkan oleh perubahan
politik dan tata pemerintahan yang semula bersifat sentralistik menjadi
desentralistik. Dalam pemerintahan sentralistik, hampir semua kebijakan penting
dan kendali pemerintahan dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah Daerah,
propinsi dan kabupaten/kota menjadi pelaksana dari kebijakan pemerintah pusat,
Jakarta. Demikian pula kebijakan dalam dunia pendidikan.
Masalahnya adalah bagaimana pendidikan di daerah yang didasarkan pada
budaya dan kearifan lokal akan mampu bersaing secara global, apakah anak yang
sekolah di daerah akan tahu dan bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki,
adalah salah satu bentuk resistensi dari semangat memajukan dunia pendidikan
yang berbasis budaya lokal.Kita mungkin dapat belajar dari kota kecil Wamena di
Papua, bagaimana sesungguhnya denyut nadi pendidikan berjalan, penuh dengan
keterbatasan sumberdaya (bahasa) yang berakibat pada lemahnya kualitas
pendidikan itu sendiri selain faktor kebiasaan masyarakat itu sendiri.Dunia
pendidikan formal di Wamena yang selalu menempatkan golongan muda (anakanak) sebagai obyek utama, implementasi pendidikan dasar maupun menengah
yang lebih mengedepankan istilah-istilah ataupun model-model yang bersifat
umum dan batasan usia yang telah dianggap semua orang pasti tahu, justru
terbalik,


penggunaan benda atau nama-nama asing bagi telinga anak-anak

kampung di Wamena menyumbang persoalan tersendiri dalam memaknainya bagi
mereka, misalnya kata kereta api dalam buku bacaan, yang barangkali belum
pernah hadir dalam mimpi anak-anak kampung sekalipun, ataukah penyebutan
nama Budi, Wati, yang asing di telinga mereka. Anak-anak terbiasa mendengar
nama Markus, Richard, atau Salomina. Atau untuk mengenal hewan dengan
pengenalan Kerbau, atau Garuda yang belum pernah mereka lihat bentuknya jika
dibandingkan Babi atau Anjing, hal lain yang cukup pelik adalah bahwa yang
ingin mendapatkan pendidikan di kampung-kampung tidak terbatas pada usia
wajib belajar sembilan tahun seperti yang di canangkan oleh pemerintah, namun
bahkan seseorang yang telah berkeluargapun sering kita jumpai baru menduduki
Sekolah Dasar.

3

Terkadang dalam perdebatan dunia pendidikan bagi anak-anak di
kampung, baik pemerintah ataupun lembaga swasta peduli dunia pendidikan lebih
menyoroti soal materi kebendaan(sarana) pendidkan yang kurang memadai
dianggap menjadi penghambat utama perkembangan dunia pendidikan, padahal

alam di kampung telah menyediakan wilayah yang luas sebagai media
pembelajaran bagi anak-anak kampung, namun disisi lain resistensi dari budaya
yang begitu kuat di mana telah puluhan bahkan beabad-abad lamanya pola pikir
yang kalau bisa disebut ideologi orang Wamena yang menempatkan orang atau
kelompok tertentu dalam posisi sebagai lawan (perang) seperti yang di
kemukakan oleh Ircham bahwa Dani1 (orang Wamena) adalah suku yang suka
bertempur.
B. Permasalahan Penelitian
Agar penelitian ini tidak terjebak dalam pusaran dialektika teori dan
konteks yang carut marut, maka dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembelajaran di Madrasah Ibtiadiyah Merasugun Asso
di Kampung Walesi
2. Bagaimana Respon Masyarakat Terhadap Model Pendidikan Madrasah
yang masuk dalam kehidupan mereka di Walesi.
C. Kerangka Pemikiran Teori
Teori dapat juga diartikan sebagai suatu pernyataan, pendapat,

atau

pandangan tentang (a) hakikat suatu kenyataan atau fakta, atau tentang (b)

hubungan antara kenyataan atau fakta yang lain dan kebenaran pernyataan
tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu (Ahimsa 2007).Dalam
studi ini saya menggunakan perspektif pendidikan sebagai gagasan, Seperti yang
diungkapkan oleh Omi Intan Naomi (1999) Pendidikan adalah suatu gagasan,
didalamnya bakat, tekat, ketersediaaan, dan faktor kebetulan terpaksa disisihkan
meski bukan dianggap tidak ada.
1

istilah Dani atau Ndani sebenarnya tidak disukai oleh orang Baliem, baik yang hidup di barat
maupun di sebelah timur kabupaten, istilah Ndani merupakan suatu ejekan yang pernah di
lontarkan oleh klen di sebelah barat (Yali) kepada klan di sebelah Timur (Parim) yang artinya
ejekan yang hingga kini belum berhasil di ketahui atau di beritahukan kepada pihak luar penduduk
asli Baliem. Karena mungkin sengaja di rahasiakan.(lihat Sunario-Susanto 1993;11)

4

Asumsi tentang gagasan ini kemudian dapat kita lihat bahwa akar segala
pengetahuan bersumber dari sebuah gagasan.Gagasan tidak akan mungkin
berkembang jika telah di kekang dengan aturan dan batas, gagasan akan tumbuh
subur dan bisa berwujud jika dibiarkan mengembara dan berkelana mencari

bentuk aslinya, temuan bahwa bumi bulat merupakan terapan gagasan, meski
gagasan itu sendiri beroperasi dalam bentuk yang jamak.
Paulo Freire dalam Naomi (1999) tentang pendidikan kaum tertindas
menjelaskan pendidikan harus dilaksanakan dengan bukan untuk kaum tertindas
(secara individual atau kelompok) dalam perjuangan tiada henti untuk meraih
kembali kemanusiaan mereka, pendidikan ini menjadikan penindasan beserta
sebab musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situ mereka
akan terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan diri sendiri, dalam arti yang
lebih sederhana objek renungan yang dimaksudkan oleh Freira diatas adalah
proses mendapatkan gagasan (pendidikan) untuk membebaskan diri dari
ketertindasan tentunya, dalam hal ini saya mencoba menguraikan secara riil
konstruksi budaya yang membelenggu dunia orang Wamena yang merupakan
bentuk lain penindasan terhadap perubahan dan pendidikan itu. Meski pendidikan
tidak terbatas pada sebuah gagasan saja,

seperti yang dikemukakan oleh

Mangunwijaya (2003) menjelaskan bahwa manusia adalah bahasa, isi, kualitas
dan modal kemajuannya terletak pada bahasanya, bahasa yang dalam arti total
adalah komunikasi, ekspresi, daya tangkap dan bermacam-macam wujud.

Memang tidak akan sulit dipahami, bahwa dalam setiap interaksi manusia apalagi
dalam dunia belajar (pendidikan) semestinya bahasalah yang menjadi dasar
semuanya.
Max Raferty (1999), menjelaskan pada tahun 1962 di California orang
mencium hawa revolusi – bukan revolusi manusia, benda atau lembaga melainkan
revolusi gagasan, untuk pertamakalinya orang-orang California memasuki
pemilihan umum untuk memberikan suara kepada salah satu dari dua gagasan
yang tanpa tedeng aling-aling bertentangan: apakah sekolah merupakan tempat
untuk mengajarkan penyesuaian terhadap kehidupan ataukah mengajarkan bidang
studi. Hasilnya adalah di california terumuskan sebuah konsep pendidikan
mendalam, yang berarti pendidikan bermula dari sebuah gagasan yang abstrak.

5

Menurut Mangunwijaya (2003) Pendidikan adalah proses pengembangan
pengetahuan dan karakter serta sikap hidup pada diri manusia/bangsa dalam arti
utuh. Dari rumusan yang dikemukakan oleh mangunwijaya diatas, dapat dilihat
bahwa penekanan pendidikan itu ada pada dua hal: Pertama, proses
pengembangan pengetahuan dan karakter, yang berarti bermula dari adanya pada
gagasan untuk mengetahui sesuatu yang kemudian berkembang dalam bentuk

melakukan sebuah aktifitas (proses) untuk mendapatkan pengetahuan itu. Kedua,
sikap hidup menjadi alasan dasar bagi manusia untuk mau mengetahui sesuatu hal
yang baru hal ini erat kaitannya dalam upaya untuk memenuhi segala aspek (utuh)
dalam kebutuhan hidupnya, dan tentunya interaksi sosial adalah pintu masuk
untuk lebih jelas memetakan sikap dan hidup dalam masyarakat.
Spindler (1974), memandang pendidikan sebagai transmisi kebudayaan,
yang lebih jauh menjelaskan bahwa pendidikan

sebagai bagian dari proses

sosialisasi yang dialami manusia, dimana orang muda di persiapakan untuk
menyesuaikan diri dengan baik kedalam lingkungan internal komunitas yang
mereka hidup dan menjadi dewasa, serta menjadi bagian lingkungan eksternal
dimana hidup komunitas komunitas manusia yang lebih total dan luas. Pendapat
Spindler ini barangkali terdapat titik lemahnya karena, pertama hanya
menempatkan golongan muda sebagai objek utama dan pertama pendidikan,
padahal pendidikan atau proses belajar itu terjadi dalam segala aspek kehidupan
yang mencakupi seluruh siklus kehidupan tanpa terbatasi oleh usia atu golongan,
tempat maupun waktu. Kedua pendidikan seakan-akan dibutuhkan hanya untuk
penyesuain diri terhadap lingkungan dalam arti hubungan antar sesama manusia,

bagaimana dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, padahal pendidikan
sekali lagi tidak terbatas ada satu aspek, namun melingkupi seluruh aspek
kehidupan.
Jika kita merujuk pada pendapat Fuad hasan dalam Widiatsono (2004)
yang menyatakan bahwa Pendidikan melalui tiga upaya utama yaitu pembiasaan,
pembelajaran dan peneladanan, hal ini ditekankan agar tidak lagi-lagi terjadi
penafsiran yang mempersempit upaya pendidikan sekedar dalam lingkup
penyekolahan, dan selanjutnya sistem pendidikan diartikan sebagai sistem
persekolahan belaka. tentu mengandung makna bahwa pendidikan tidak dapat di

6

batasi oleh ruang, waktu, maupun golongan usia, tapi merupakan suatu yang
kompleks menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Dilihat dari sisi sejarah,
pendidikan merupakan gerakan yang telah berumur sangat tua, dan memiliki
peranan sangat utama dalam lingkaran kehidupan manusia, yang dalam bentuk
sederhana pendidikan telah dijalankan sejak seseorang dianggap mampu
menjalaninya,

hal


ini

dapat

dilihat

pada

peristiwa

waya

hagat-abin

(koentjaraningrat 1993) pada orang Wamena, yaitu upacara inisiasi dengan tujuan
utama adalah pendididkan (latihan) perang, ketabahan, menari dan menyanyi,
yang mempersiapkan seorang anak remaja untuk menjadi seorang prajurit.
Secara umum orang meyakini bahwa pendidkan adalah suatu proses yang
panjang dalam rangka mengantarkan manusia untuk menjadi seseorang yang

memliki kekuatan spiritual dan intelektual sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidupnya disegala aspek dan menjalani kehidupan yang bercita dan bertujuan
pasti dan hal ini menjadi suatu garis pokok dalam suatu proses pendidikan yang
dijalani seseorang (sibua 2005).demikian pula dalam kehidupan masyarakat
Wamena, dimana proses transformasi pengetahuan terjadi sepanjang lingkaran
kehidupan masyarakat tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu. penjelasan mengenai
konteks-konteks pendidikan yang bersumber dari kebiasaan (budaya), dipaparkan
melalui jalinan-jalinan deskripsi (teks), dengan jalinan deskripsi ini diharapkan
dapat merekonstruksikan apa yang orang Wamena pahami tentang pendidikan,
melalui potret kegiatan belajar mengajar yang menjadi objek penelitian ini.
D. Tentang Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian etnografis, yang mempelajari secara
mendalam dan holistik salah satu peristiwa sosial budaya dalam masyarakat
Wamena yaitu proses transformasi pengetahuan (pendidikan), esensi dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami secara mendalam makna
atau arti dari peristiwa tersebut dalam lingkungan budaya (clifford 1986:6-7;
Denzin dan lincoln 1994). Agar peneliti terhindar dari bias etnosentrisme dan
dapat melukiskan suatu persoalan dan pandangan hidup, dalam bentuk thick
description maka perlu memperhatikan perspektif emik dan perspektif etik.
Perspektif emik adalah pendeskripsian kebudayaan dari sudut pandang orangorang yang diteliti, sedangkan perspektif etik adalah jika mendeskripsikan

7

kebudayaan berdasarkan konsep-konsep antropologis, maka dengan demikian
melalui penelitian etnografis ini makna belajar (pendidikan) akan dilihat secara
mendalam dan relasinya dalam lingkungan sosial budaya orang Wamena
Segala informasi mengenai cara memperoleh pengetahuan di catat dengan
rinci dan cermat dari berbagai informan, seperti para kepala suku, kepala
konfederasi, anak-anak sekolah, lembaga-lembaga pendidikan formal maupun
informal. Bahkan informasi tentang transformasi pengetahuan ini dapat diperoleh
dari siapa saja yang dianggap menguasai dunia pendidikan. Peneliti memfokuskan
pengamatan pada proses pendidikan yang terjadi pada Madrasah Ibtidaiyah
Merasugun Asso di Dusun Assoyaleget, kampung Walesi distrik Assolokobal
dengan menitik beratkan wawancara dengan informan kunci para guru yang
mengajar di Madrasah tersebut, serta beberapa tokoh masyarakat yang
berhubungan langsung dengan segala proses belajar mengajar di Madrasah
tersebut, wawancara juga dilakukan dengan para orang tua murid yang dapat
berbicara dalam bahasa Indonesia.
Melalui penelitian ini penulis mengamati apa makna pendidikan (cultural
behavior), apa saja yang diketahui oleh orang Wamena tentang pendidikan
(cultural knowledge) dan bagaimana proses belajar itu sendiri di lakukan (what
they do) dan tentunya aspek budaya lain yang menyertai proses pendidikan pada
Madrasah Ibtidaiyah Merasugun asso lebih khusus proses pendidikan dalam
keluarga orang Wamena.
E. POTRET MADRASAH IBTIDAIYAH MERASUGUN ASSO
Proses Berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso.
Proses berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso tidak lepas dari
keinginan kuat masyarakat Assoyaleget yang menginginkan perubahan dan
perbaikan dalam hidup mereka. Membicarakan tentang Madrasah ini tentunya
harus di mulai dengan mengungkapkan mengapa Madrasah tersebut di beri nama
Merasugun Asso, menurut bapak Ghafar Kepala Bimmas Islam Kantor
kemenetrian Agama Kabupaten jayawijaya, Merasugun berasal dari kata dalam
bahasa Dani yang berarti kapan datang, sementara menurut bapak Tahamude,
seorang sesepuh masyarakat Muslim di Wamena, menjelaskan, pemberian nama
Merasugun Asso bagi Madrasah di Walesi adalah untuk mengenang dan

8

menghargai jasa bapak Merasugun asso yang merupakan kepala suku pertama
orang Dani yang memeluk Islam di Walesi.
Madrasah ini memiliki cerita panjang tentang awal mula berdirinya,
menurut beberapa sumber , berdirinya Madrasah ini disebabkan oleh konflik yang
terjadi pada tahun 1977 di pegunungan tengah yang lebih dikenal dengan
peristiwa perang tahun 1977 yang memakan korban jiwa orang Dani yang tidak
sedikit jumlahnya. Masyarakat Dani yang memang telah hidup dalam kelompokkelompok suku, semakin tersegmentasi dalam kelompok pendukung pemerintah
dan kelompok pendukung organisai kemerdekaan Papua, segmentasi ini kemudian
terafiliasi pada kelompok agama, dimana kelompok pemerintah akan becorak
Islam dan kelompok pendukung organisasi Papua merdeka bercorak Kristen.
Dalam keadaan seperti itu, maka kampung Walesi khususnya pada masyarakat
Assoyaleget dan Assolipelema dipimpin oleh Aipon Asso lebih memilih
berafiliasi kepada pasukan pemerintah dalam hal ini Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, dan dalam perang berdarah-darah tersebut, pasukan
pemerintah keluar sebagai pemenang.
Secara Detail nampaknya keberadaan Madrasah ini tidak lepas dari
masuknya beberapa orang anak Dani di Walesi kedalam Islam secara diam-diam
di kota Wamena, yang kemudian ditindak lanjuti dengan keberanian Merasugun
Asso menghadap kepada Kepala Bimas Islam Kantor Departemen Agama
Kabupaten Jayawijaya di Wamena yang mengutarakan keinginanya untuk
mendirikan Gereja Islam (Masjid) di Walesi.
Resistensi tentu saja didapatkan oleh masyarakat dalam upaya
pembangunan masjid yang merupakan embrio dari berdirinya Madrasah
Ibtidaiyah Merasugun Asso, yang bukan hanya berasal dari kelompok masyarakat
Assoyaleget sendiri tapi juga dari beberapa pihak terkait, persitiwa pendirian
gereja Islam di Walesi mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat Wamena
yang kebetulan terlebih dahulu telah memeluk agama (Kristen). Begitu banyak
rintangan yang harus dihadapi oleh orang Dani pemeluk Islam di Walesi untuk
mendirikan sebuah masjid dimana masjid itulah kemudian menjadi awal
berdirinya Madrsah Ibtidaiyah Merasugun Asso, mereka berjuang dengan gigih
dengan sumber daya yang mereka miliki sendiri, keikhlasan mereka bekerja patut

9

mendapatkan apresiasi, hal penting kemudian adalah ketika mereka berjuang
mendirikan masjid tersebut, mereka belum mengerti apa itu Agama Islam, karena
peruntukan masjid tersebut awalnya hanya sebagai tempat shalat Jumat saja,
karena kalau berjalan kekota, jarak yang ditempuh jauh, hal berikut yang mereka
ketahui tentang Islam pada saat itu adalah bahwa para pemeluk agama ini dikota
sangat baik, mengajak mereka bekerja, memberikan mereka pakaian dan
memperlakukan mereka dengan sopan dan penuh penghormatan. Sejak didirikan
sampai dengan saat ini, kelangsungan hidup Madrasah ibtidayah Merasugun Asso
menjadi lumayan baik, setelah ditangani oleh YAPIS Wamena, karena Madrasah
mendapatkan

Patron

untuk

menjalankan

kelangsungan

proses

belajar

mengajarnya.
Model Pembelajaran
Menyaksikan anak anak Madrasah Ibtidaiyah Merasugun AssoWalesi
mengikuti pembelajaran baik dikelas maupun diluar kelas merupakan sebuah
keasikan dan keunikan serta merupakan rahmat tersendiri, kita dapat melihat
bagaimana kemudian semangat yang sangat kuat untuk mendapatkan pengetahuan
tidak dibarengi dengan sumberdaya yang mencukupi, baik itu sumber daya tenaga
pengajar, sumberdaya kesehatan dan sumberdaya penunjang lainnya, semisal
kecukupan gizi dan pakaian. Kendala bahasa menjadi faktor utama mandeknya
proses pembelajaran, sehingga anak-anak kelas 1 sampai dengan kelas 3 hanya
diprogramkan untuk belajar membaca dan menulis saja
Kegiatan belajar mengajar berlangsung sejak pukul 07.00 pagi, dimulai
dengan apel pagi yang dipimpin oleh para guru secara bergantian setiap harinya,
biasanya guru akan memberikan pengarahan singkat tentang hal-hal umum yang
harus dilakukan oleh para anak-anak murid. Proses pengarahan ini sesungguhnya
unik, karena ketika seorang guru menyampaikan pengarahan, maka kebanyakan
anak-anak yang diberi pengarahan akan sibuk dengan aktifitasnya masing-masing,
ada yang mengganggu teman, berbicara dengan teman dalam bahasa Dani, ada
yang justru berbalik dan menghadap ketempat lain, sehingga terkadang guru yang
memberikan pengarahan akan menegur atau memarahi mereka.
Fenomena kegaduhan apel pagi ini jika di telusuri lebih dalam, ternyata
sebagai akibat dari kendala bahasa yang terjadi, sebagian besar anak-anak tidak

10

memahami dengan baik apa yang disampaikan oleh guru yang menggunakan
bahasa indonesia dalam berbicara, sehingga anak-anak ini memilih kesibukannya
sendiri, sementara para guru pun terkendala dalam memahami bahasa Dani,
sehingga seorang guru yang merasa menjadi keharusan untuk menyampaikan
sesuatu tetap menyampaikan dalam bahasa Indonesia sementara anak-anak sangat
terbatas pengetahuannya akan bahasa Indonesia, sehingga ketika seorang guru
sangat serius untuk menyampaikan sesuatu, sebahagian anak anak juga serius
dengan aktifitas masing-masing.
Setelah apel pagi, murid-murid diarahkan untuk menuju kekelas masingmasing, bagi kelas yang gurunya telah hadir, pelajaran dibuka biasanya dimulai
dengan membaca doa sebelum belajar yang dipandu oleh guru didepan kelas,
kebiasaan membaca doa adalah rutinitas yang mengasikan untuk di tonton dan
disimak, murid-murid dengan lancar dan faseh melantunkan ayat-ayat alqur’an,
mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6, adalah sesuatu yang luar biasa, ketika
mereka kesulitan beradaptasi mengucapkan dan membaca tulisan dalam bahasa
Indonesia, namun mereka sangat lancar dalam mengucapkan dan membaca ayatayat al-Quran.
Terdapat beberapa hal unik akan kita jumpai pada kegiatan belajar
mengajar pada Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso, ketika pelajaran sedang
berlangsung, beberapa orang tua akan berkunjung ke sekolah untuk mengantarkan
ubi bakar atau ubi rebus untuk anaknya yang sedang belajar, hal ini disebabkan
oleh keadaan dimana sewaktu anak-anak tersebut berangkat sekolah, ubi yang
dibakar atau di masak di Wulikin (tempat masak), belum matang, sehingga anakanak tersebut berangkat kesekolah tanpa sarapan pagi. Faktor lain dari aktifitas
orang tua mengantarkan makanan kesekolah karena bagi orang Dani tidak
mengenal tradisi makan siang, sehingga dikhawatirkan anak-anak tersebut akan
kelaparan sekembalinya dari sekolah karena tidak akan menjumpai persediaaan
makanan di honai dan ohlese.
Keunikan lainnya, ketika pelajaran sedang berjalan, orang tua murid akan
datang mengetuk pintu ruangan kelas, dan meminta ijin kepada guru yang sedang
mengajar untuk membawa anaknya kehutan agar dapat membantu pekerjaannya
dihutan berhari-hari mengumpulkan Pandan hutan, buah merah atau membela

11

kayu untuk di jual kekota, biasanya para guru dengan berat hati akan melepaskan
anak-anak tersebut dengan harapan anak-anak itu, keesokan harinya dapat
kembali masuk belajar.
Secara formal sistem pendidikan yang dianut oleh Madrasah Ibtidaiyah
adalah sistem Pembelajaran Aktif, Inovatif Kreatif,dan Menyenangkan, seperti di
sampaikan oleh kepala Madrasah, “Sistem pendidikan disini saya usahakan
menggunakan sistem Pakem, meskipun susah, tinggal menyesuaikan saja dengan
keadaanbelajar dibawah pohon atau dimana”. Penyebaran mata pelajaran akan
lebih merata ketika para murid-murid menduduki kelas 4, 5 dan 6, dimana mereka
telah diajarakan mata pelajaran yang harus ditempuh pada pendidikan Dasar atau
Madrasah, misalnya matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan beberapa mata
pelajaran lainnya. Pada anak-anak kelas 4, 5 dan 6 ini sering kali juga kita akan
jumpai beberapa siswa atau siswi yang masih kesulitan dalam membaca dan
menulis, tapi karena beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, maka anakanak ini tetap di tempatkan pada kelas tersebut. Secara kuantitatif jumlah siswa/i
Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Assoadalah 114 orang terdiri atas 64 siswa lakilaki dan 50 orang siswa perempuan yang berasal dari 7 perkampungan muslim
yang ada di Wamena, meliputi wilayah Walesi, Okilik, Araboda, Megapura, Air
Garam, Hitigima dan Kurima, dan seluruhnya adalah putra-putri asli Dani.
Untuk hadir dalam ruang kelas, pakaian yang dikenakan oleh anak-anak
ini sangatlah sederhana, murid laki-laki mengenakan celana pendek selutut dan
baju kemeja apa adanya,karena kemeja yang digunakan sudak kusam dan lusuh
terkadang sudah tidak memliki kancing, atau kaos oblong yang sudah sobek sana
sini, bagi yang memiliki baju seragam hasil sumbangan masyarakat perkotaan
maka ia akan mengenakan seragam SD, putih merah. bagi anak anak perempuan,
mereka akan mengenakan rok panjang sampai sebatas betis, dipadukan dengan
kemeja dan memakai jilbab lusuh yang nampaknya sudah terlalu sering
digunakan, terkadang beberapa anak perempuan akan mengenakan seragam SD
putih merah hasil pemberian masyarakat dikota. Secara umum anak-anak
bersekolah mengenakan pakaian biasa dengan bertelanjang kaki, kalaupun ada
yang mengenakan sepatu, itu hanya dikenakan oleh satu atau dua orang anak saja,
yang sayangnya kebanyakan juga adalah hasil pemberian orang lain.

12

F. DIALEKTIKA ANTARA,TRADISI DAN MADRASAH
Benturan Paradigma Pendidikan dengan Tradisi
Dalam melaksanakan proses belajar mengajar sehari-hari pada Madrasah
Ibtidaiyah Merasugun Asso Walesi, tidak jarang terjadi pertentangan-pertentangan
antara kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dengan materi atau model
pembelajaran yang diberikan para guru atau pembimbing murid, pertentangan ini
tidak jarang bermuara pada konflik fisik antara para guru dengan orang tua murid,
atau antara murid dengan guru.
Seorang guru diperhadapkan dengan kondisi kekurangmampuan sumber
daya seorang murid dalam menerima pelajaran, karena itu seorang guru harus
menggunakan segala macam cara agar seorang murid dapat memahami materi
pelajaran yang diajarkan. Ketika terdapat beberapa murid yang bandel dan
membuat onar dalam ruangan, terkadang guru harus mengenakan sanksi tegas
berupa hukuman secara fisik, baik itu berdiri di depan kelas atau sampai dengan
langkah menjewer telinga atau mencambuk murid biang gaduh tersebut dengan
sebilah kayu. Namun sistem pembelajaran dan pendidikan seperti ini, kebanyakan
tidak diterima oleh para orang tua murid, karena dalam beberapa kesempatan,
orang tua murid pernah sampai harus berkelahi dengan guru, karena bagi
masyarakat, anak adalah aset sangat berharga yang harus dilindungi dan
disayangi, serta di manjakan.Begitu sayangnya masyarakat Dani pada anggota
keluarganya, maka jika ada yang tersakiti maka mereka semua merasa sakit dan
akan bangkit membelanya, kasih sayang tersebut dapat diwujudkan dengan
menyakiti diri sendiri dengan memutilasi anggota badannya.
Ditengah pertentangan tersebut, tentu saja kasus perkelahian antara guru
dengan orang tua murid secara otomatis akan menyebabkan kemandekan dalam
proses mengajar mengajar, dimana sang guru akan malas mengajar sementara para
orang tua murid akan menganjurkan anaknya untuk tidak bersekolah atau justru
bertindak provokatif dengan melawan guru.
Peristiwa seperti ini tidak jarang harus melibatkan orang ketiga untuk
menyelesaikannya. Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya
persoalan dalam kegiatan belajar mengajar pada Madrasah, Pertama perbedaan

13

latar belakang kebudayaan antara para guru dan orang tua murid, dimana para
pihak

komponen

mempertahankan

kebudayaan

aslinya,

pihak

guru

mempertahankan apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang baik, Atau dengan
kata lain para guru maupun orang tua memandang dan menilai orang lain
berdasarkan kebudayaan masing masing yang bermuara pada munculnya stigma
dan stereotipe dalam kehidupan sehari-hari, akibatnya, tentu saja konflik yang
bermuara pada kekerasan fisik.
Kedua kurangnya pengetahuan para pendidik akan budaya lokal berakibat
pada tidak ditemukannya cara yang efektif untuk menyampaikan pelajaran kepada
para murid, yang tentunya berakibat pula pada ketidak mampuan para guru untuk
mengetahui dengan baik, penyebab kekurang mampuan sumber daya manusia
orang Dani dalam menangkap pembelajaran dikelas. Ketiga, tidak adanya
kesepahaman bersama tentang bagaimana seharusnya mendidik anak-anak Dani
yang berada pada masa transisi, orang Dani memiliki tradisi pendidikan anak yang
tentu saja berbeda dengan orang bukan Dani, setiap anak Dani baik laki-laki
maupun perempuan, pastilah mengalami masa dimana dia hanya boleh tinggal
dengan kelompok perempuan (dalam rumah perempuan),

sementara kontak

dengan dunia laki-laki apabila anak tersebut adalah laki-laki, diperbolehkan
setelah ia melewati proses inisiasi (pendewasaan), sementara bagi anak
perempuan tidak akan diperkenankan untuk memasuki dunia laki laki yang
terdapat di dalam Honai (rumah laki-laki), kondisi ini tentu bertolak belakang
ketika para anak anak ini memasuki bangku pendidikan formal, dimana mereka
dibaurkan dalam satu ruangan bersama untuk belajar. Lepas dari berbagai
persoalan yang dihadapi diatas, tentu saja langkah-langkah arif perlu ditempuh
untuk memberikan solusi dari benturan antara paradigma pendidikan dengan
kebiasaan masyarakat Dani sehari hari
Strategi Adopsi, Adaptasi dan Akulturasi dalam Pembelajaran
Membicarakan model pendidikan yang sedang berlangsung di Madrasah
Ibtidaiyah Merasugun Asso Walesi, suka atau tidak suka, kita diperhadapkan pada
pilihan untuk harus berpikir ekstra dan kreatif dalam menyusun program
pembelajaran. Modifikasi, kesabaran, pembauran dan berbagai langkah-langkah

14

sistematis mutlak dicari untuk meningkatkan sumber daya manusia masyarakat
Dani, khususnya Dani Muslim di walesi.
Untuk hal tersebut maka sudah sewajarnya jika strategi adopsi dan
adaptasi diberlakukan dalam menyusun program pembelajaran yang akan
diterapkan dalam proses belajar mengajar sehari hari. Hal ini perlu dilakukan,
karena adopsi

pada hakikatnya sebuah proses penerimaan hal-hal baru atau

dengan kata lain proses penerimaan yang disertai dengan perubahan pola tingkah
laku, meliputi, pola pikir, pola bertindak dan peningkatan keterampilan terhadap
hal baru.
Penerimaan dalam hal pembelajaran bagi para siswa Madrasah tidak hanya
sekedar tahu, tapi seharusnya sampai benar-benar dapat melaksanakan dan
menerapkan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, proses
adopsi tentunya tidak akan berjalan serta merta, tetapi membutuhkan sebuah
proses atau jalan yang disebut adaptasi, yang dapat berlangsung secara alami
ataupun berdasarkan pengarahan. Pada konsep inilah kemudian, bagaimana anakanak Dani ini semakin banyak dapat menerima hal-hal baru namun tidak
bertentangan dengan nilai dan norma yang selama ini diajarkan dan diterapkan
dalam masyarakatnya, melalui jalan adopsi dan adaptasi.
Untuk memudahkan hal tersebut, maka Akulturasi adalah pintu masuk
untuk menjembatani perbedaan kebudayaan antara para guru dan para orang tua
murid serta murid-murid, Sesungguhnya proses adopsi, adaptasi dan akulturasi
tersebut, saaat ini sedang berusaha dijalankan oleh pengelola Madrasah Ibtidaiyah
Merasugun Asso Walesi, dengan jalan menerima hal-hal baru, berupa
pengetahuan-pengetahuan baru yang kemudian hal-hal baru tersebut di sesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana tempat mereka tinggal dengan menyatukan
antara kebiasaan masyarakat sehari-hari dengan pelajaran yang diajarkan dalam
ruangan kelas.
Seorang guru kelas pada Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso dalam
mengajarkan menulis dan membaca kepada murid-murid kelas 1 dan kelas 2
tidaklah menggunakan buku panduan secara umum, misalnya buku bacaan yang
biasa dijumpai pada anak-anak sekolah dasar di kota, guru yang mengajar
pelajaran membaca dan menulis akan menuliskan kata-kata dalam huruf latin

15

dalam bahasa daerah yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,
yang bermuara pada adanya akulturasi, baik akulturasi materi pembelajaran,
maupun akulturasi kebudayaan, dimana kebudayaan luar diperkenalkan kepada
anak-anak didik, tetapi disaat yang bersamaan anak-anak juga tetap mengenal dan
memahami kebudayaan mereka. Sebagai contoh, seorang guru kelas pada
Madrasah ibtidaiyah tidak akan menuliskan kata “ini ibu budi, tetapi seorang guru
akan menuliskan kata “ini haki (pisang), ini hopuru Ubi jalar), atau ini weramo
(kelapa hutan).
Tentu saja penerapan hal tersebut diatas tidak semudah yang dibayangkan,
seorang guru dalam menyusun program pembelajaran dengan mengedepankan
pendekatan akulturasi tentu saja harus sangat memahami apa yang di butuhkan
oleh para murid-murid serta mampu menginventarisir tingkat kemampuan para
peserta didik agar dapat memperoleh pengetahuan yang memadai dalam
menduduki bangku pendidikan yang berjenjang, sebab jika salah menerapkan
maka justru akan semakin menyulitkan dalam proses pembelajaran.
Persoalan lain yang cukup pelik adalah asupan gizi yang kurang pada
anak-anak Dani berdampak pada lemahnya daya tangkap mereka terhadap
pelajaran dalam ruangan, dalam keluarga-keluarga Dani, anak-anak ini setiap
harinya hanya di suguhi dengan ubi bakar atau ubi rebus ditemani rebusan
daunnya pula untuk makan sehari-hari, adalah sesuatu yang menggembirakan jika
seminggu sekal dapat diselingi dengan tambahan protein berupa ikan atau ayam,
atau mungkin juga beberapa potong ikan asin.
Masalah dalam asupan gizi ternyata tidak hanya terbatas pada jenis dan
bahan makanan yang dimakan tapi juga terletak pada pola makan masyarakat
yang juga terbatas, orang Dani hanya mengenal 2 kali makan, yaitu makan pagi
dan makan di sore hari, sehingga memang tidak mengherankan ketika pelajaran di
ruang kelas sedang berjalan, para orang tua akan mengantarkan ubi bakar atau ubi
rebus kepada anak-anaknya, karena ketika mereka kembali dari sekolah siang
hari, mereka tidak akan mendapatkan makanan di rumah masing-masing.
Kelambanan berpikir karena hanya memakan ubi sehari-hari sebagai
makanan pokok dalah merupakan tantangan tersendiri bagi para pendidik di
Madrasah Ibtidaiyah Walesi, dengan keterbatasan berpikir para anak-anak ini

16

akibat asupan gizi dan pola makan yang sangat sederhana, para murid –murid ini
harus dipaksakan untuk dapat bersaing dengan anak-anak lain yang memiliki
kelebihan dalam segala hal di kota dan didaerah lain. Dalam kondisi seperti itu,
strategi yang dijalankan oleh kepala Madrasah bapak Anwar Mas’ud, dalam
meningkatkan kulitas sumber daya anak anak walesi, cukup baik dan efektif,
pernyataan “bagi saya yang penting bagi anak anak kelas 1, 2 dan 3 itu bisa
mengenal huruf dan membaca sedikit sudah cukup” adalah langkah bijak dalam
menerapkan strategi adopsi, adaptasi dan akulturasi yang dapat dijalankan di
Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso di Walesi.
G. MENJEMPUT HIDAYAH DILEMBAH BALIEM
Tulisan ini pada akhirnya memaparkan secara sederhana proses
pendidikan pada Madrasah Ibtidaiyah Merasugun Asso di walesi, potret yang
dimunculkan adalah gambaran proses pembelajaran sehari-hari di lingkungan
Madrasah yang di sertai dengan pengungkapan berbagai fenomena yang
menyertai

proses

pendidikan

dengan

deskripsi

yang

terjalin

secara

berkesinambungan. Perjuangan untuk meningkatkan sumber daya manusia anakanak Dani adalah pekerjaan yang tidak mudah karena begitu banyak persoalan
yang melingkupi dunia pendidikan orang Dani, pertentangan paradigma
pendidikan dengan tradisi masyarakat adalah faktor utama penghambat penerapan
kebijakan pendidikan secara menyeluruh
Meskipun demikian usaha keras masyarakat Dani di Walesi untuk
memperoleh pendidikan adalah suatu hal yang harus di apresiasi dengan baik, gizi
buruk, tingkat kesehatan yang rendah serta fasilitas yang minim, tidak
mengendorkan semangat mereka untuk mendirikan sebuah tempat dimana anakanak mereka dapat menuntut ilmu agar dapat berdiri sejajar dengan orang lain.
Berbagai strategi memang harus di upayakan, terutama secermat mungkin
mengembangkan model adopsi dan adaptasi dalam bentuk akulturasi bukan hanya
dalam hal materi pelajaran di ruangan ruangan kelas, tapi juga dapat berupa segala
aspek kehidupan masyarakat Dani
Sebuah kenangan yang sepantasnya untuk diingat dalam gigihnya
perjuangan anak anak Dani dalam dunia pendidikan, mereka tetap bersemangat

17

untuk menempuh pendidikan, sehingga akan selalu teringat jika pagi hari kita
akan disuguhi ocehan anak-anak tersebut melafalkan doa sebelum belajar “
Roditubillahirabba, wabilislammidiiina, Wabilmuhammadinnabiyawarasuullah,
rabbizidni ilma, warzuqnifahman, aaamiiin” bissmillahirrahmaanirrahiim,
alhamdulillahirabbil

alamaiin,

iyyakana’buduuwaiyakanastai’n,

arrahmaanirrahiim,

maalikiyaumiddiin,

ihdinassiratalmustakiiim,

siratalladzina

an’amtalaihim, ghairilmaghdubialaihim, waladdhaaaliin, aaamiiiin.
Mengingat betapa pentingnya posisi masyarakat Dani muslim di Walesi
yang merupakan komunitas muslim di indonesia yang paling akhir menyatakan
keislamannya, maka beberapa langkah strategis perlu dilakukan untuk
membentengi semangat tanpa pamrih masyarakat Dani dengan melakukan
beberapa hal penting terutama menyangkut Dunia pendidikan anak-anak Dani
Muslim, yang merupakan aset masa depan yang sangat berharga, berdasarkan
hasil yang telah diperoleh dalam penelitian ini, maka seyogyanya beberapa
langkah strategis dapat dilakukan oleh para pengambil kebijakan sebagai berikut:
Pertama, Melihat kondisi Madrasah yang telah berdiri sejak tahun 1982 sampai
dengan saat ini yang belum menunjukan peningkatan baik berupa model
pembinaan maupun sarana dan prasarana yang dimiliki, karena berada di bawah
pengelolaan sebuah yayasan, maka sudah sewajarnya jika Madrasah tersebut di
upayakan penegeriannya, agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama,
dapat membina dan mengembangkan secara lebih komprehensif satu-satunya
Madrasah di Pegunungan Tengah Papua yang semua murid-muridnya adalah
orang Dani Muslim. Kedua, mengingat strategi adopsi dan adaptasi serta
akulturasi yang ditawarkan sebagai hasil penelitian ini, maka sebisa mungkin
dalam perekrutan tenaga pendidik perlu mempertimbangkan perekrutan tenaga
lokal putra daerah khususnya dari masyarakat Dani sendiri yang cukup kompeten
sehingga dapat menjembatani kesulitan komunikasi dalam proses belajar
mengajar. Ketiga Mengingat proses akluturasi antara nilai-nilai Islam dan nilainilai tradisi masyarakat Dani yang tidak berjalan lancar, perlu kiranya pemberian
pelatihan kepada para petugas penyuluh agama islam (Dai), yang penekanan
pelatihan tersebut bukan hanya pada pemahaman keagamaan, tetapi pada
pemahaman akan kebudayaan, dan Keempat, Kementerian Agama dapat

18

Menjadikan Kampung Walesi, khususnya Dusun Assoyaleget sebagai Dusun
Binaan, karena pada Dusun inilah benih-benih Islam disemai di Pegunungan
Tengah Papua.
BAHAN BACAAN
Abdullah Irwan (ed), 2008, Agama dan Kerifan Lokal Dalam Tantangan Global,
Editor,

Pustaka Pelajar, Jogyakarta.

..................................

2007, Kontsruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka

Pelajar,Yogyakarta
................................ 2002, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa, Analisis
Gunungan pada Upacara Garebeg, Balai Kajian sejarah dan Nilai
Tardisional, Jogjakarta
Ahimsa-Putra (ed), Esei-Esei Antropologi, Teori, Metodologi dan Etnografi,
Kepel Press, Jogjakarta
Andrianto Tuhana T, 2001, Mengapa Papua Bergolak, Gama Global Media,
Jogjakarta.
Boelars Jan,1986, Manusia Irian Dahulu Sekarang dan Masa Depan, PT Gramedia
Jakarta
Budiwanti Erni, 2000, Islam Sasak, Wetu Telu Versus Waktu Lima, LKIS,
Jogjakarta
Gertz. C , 1992, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta
...............,1992,Kebudayaan dan Agama sebuah Refleksi Budaya, PT. Kanisius
Yogyakarta
Kaplan dan Maner, 1999, Teori budaya, Yogyakarta: pustaka pelajar
Koentjaraningrat,

1992,

Irian

Jaya

Membangun

Masyarakat

Majemuk,

Djambatan, Jakarta
..............................1993, Masyarakat Terasing Di Indonesia, Gramendia, Jakarta
Laksono, P.M dkk, 1998, Kekayaan,

Agama dan Kekuasaan, Identitas Dan

Konflik Di Indonesia (Timur) Modern, Kanisius, Jogjakarta
Mangunwijaya.Y.B, 2003 impian dari jogjakarta ( Kumpulan Esei masalah
Pendidikan), Kompas, Jakarta
Muller Kal, 2008, Mengenal Papua, Daisy World Books, Indonesia.

19

Rais Muhammad, 2009, Dakwah Keagamaan di Lembah Baliem, Wamena-Papua
( Hasil Penelitian di presentasikan pada seminar temu riset keagamaan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama Republik
Indonesia, Bandung 13-16 Desember 2009)
Sibua alfatah, 2005, Budaya Pendidikan Dalam Perspektif Orang Ternate, Tesis
Jogjakarta
Sunario Susanto, A, 1994, Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Spradley.P.James, 2006, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta
Surjo D. Dkk, 2001, Agama dan perubahan sosial, Studi tentang Hubungan
antara Islam, Masyarakat dan struktur sosial politik Indonesia,
Jogjakarta, LPKSM
Widiastono.T.D, 2004 Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, Jakarta
Woodward.R.Mark, 1999, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
LKIS, Jogjakarta
Yamin, Ade 2009, Menyibak Masalah Keberagamaan di Papua (Makalah di
presentasekan pada seminar temu riset keagamaan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia,
Bandung 13-16 Desember 2009
Laporan Jurnalistik Kompas, 2007, Ekspedisi Tanah Papua, Buku Kompas Jakarta
BPS kabupaten jayawijaya, 2009, Jayawijaya dalam Angka, Wamena, Papua
Bacaan Lain
http://masarip.blog.friendster.com/2009/04/pengertian-tentang-inovasi/
http://hansa07.student.ipb.ac.id/2010/06/20/pengertian-aklimasiadaptasiaklimatisasi/
http://agussetiyanto.wordpress.com/2008/11/02/kemajemukan-dan-adaptasibudaya-antar-etnis/
http://3gplus.wordpress.com/2008/04/09/wujud-akulturasi-kebudayaan-hindubudha-dengan-kebudayaan-indonesia/
http://www.scribd.com/doc/24673301/Difusi-Akulturasi-Dan-Asimilasi-KonsepContoh-Dan-ya