BAB II PENGGUNAAN GALON AIR MINUM MEREK AQUA DAN PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Merek 1. Pengertian Merek - Perlindungan Hak Pemilik Merek Terdaftar Atas Produk AMDK Terhadap Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha

BAB II PENGGUNAAN GALON AIR MINUM MEREK AQUA DAN PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Merek

1. Pengertian Merek

  Pengertian merek terdapat di Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 yaitu merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dan unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

  Merek pada hakekatnya adalah suatu tanda. Jadi suatu merek digunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya, karena itu barang

  39 yang diberi merek tersebut memiliki tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.

  Agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek maka harus memiliki daya pembeda. Daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan produk perusahaan yang satu dan perusahaan yang lain. Tidak dapat diterima sebagai merek apabila tanda tersebut sederhana seperti gambar sepotong garis atau tanda yang terlalu ruwet seperti gambar benang kusut. Merek paling mudah dikenali dari identitas fisiknya yang berbentuk visual seperti

  40 nama merek, by line, tag line, dan penyajian grafis merek. 39 40 Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm.84.

  A.B. Susanto, dan Wijanarko Himawan, Power Branding, cetakan pertama, (Bandung: Mizan Media Utama, 2004), hlm.80.

  29 Secara singkat merek dapat diartikan sebagai tanda pengenal atau nama yang membedakan suatu barang milik seseorang dengan milik orang lain. Contohnya seperti produk pakaian, mengingat pakaian hampir sama dan untuk membedakannya harus diberi label atau cap sebagai tanda pengenal dari produk barang yang diproduksi oleh perusahaan yang bersangkutan.

  Pembahasan disini adalah mengenai merek yang ruang lingkupnya meliputi dunia usaha yang khususnya berkaitan dengan tanda pengenal suatu barang atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan tertentu, yang bertujuan untuk perdagangan yang lazimnya disebut merek dagang.

  Menurut Sudargo Gautama Merek adalah “Merek pada umumnya didefinisikan sebagai suatu tanda yang berperan untuk membedakan barang-barang

  41 dan suatu perusahaan dengan barang dari perusahaan lain”.

  Sedangkan menurut Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah merek adalah “Alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh sesuatu

  42 perusahaan”.

  Insan Budi Maulana menyatakan “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau komposisi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan

  43 perdagangan barang atau jasa”. 41 42 Sudargo Gautama (b), Hak Merek, (Bandung: Alumni, 1977), hlm.32.

  Muhammad Djumhana, dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.154.

  Praktiknya di Indonesia 43 Insan Budi Maulana (a), Op.Cit., hlm.101.

  Menurut Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata menyatakan “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan

  44 digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa”.

  Pada prinsipnya merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak dapat dijadikan merek. Merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak jelas akan daya pembedanya, tidak mampu untuk berdiri sendiri sebagai identitas mandiri yang terlalu umum. Merek yang hanya terdiri dari titik-titik, garis, angka-angka, huruf-huruf, lingkaran, segi tiga dianggap tidak mempunyai daya pembeda karena terlampau

  45 sederhana bentuknya.

  Sedangkan merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat (1) yaitu “Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.

  Selanjutnya, R.M. Suryodiningrat menyatakan bahwa “Barang-barang yang dihasilkan oleh pabriknya dengan dibungkus dan pada bungkusannya itu dibubuhi tanda tulisan dan atau perkataan untuk membedakan dan barang sejenis hasil

  46 perusahaan lain, tanda inilah yang disebut merek perusahaan”.

  44 Sudargo Gautama, dan Rizawanto, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.33. 45 Djoko Prakoso, Hukum Merek dan Paten Sederhana Indonesia, (Jakarta: Dhara Prize, 1991), hlm.51. 46 R.M. Suryodiningrat, Hak Milik Perindustrian, (Bandung: Tarsito, 1980), hlm.32.

  47 Sedangkan menurut Sentosa Sembiring, fungsi keberadaan merek adalah:

  a. Membedakan dengan barang atau jasa sejenis (jati diri);

  b. Menunjukkan kualitas (mutu) barang atau jasa; c. Sebagai sarana promosi (iklan).

  Berdasarkan pengertian merek yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dan Undang-Undang Merek, maka secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa merek merupakan suatu tanda yang dapat menunjukkan identitas barang atau jasa, yang menjadi pembeda suatu barang atau jasa dengan barang atau jasa lainnya dihasilkan

  48

  oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum dengan barang atau jasa yang sejenis milik orang lain, memiliki kekuatan perbedaan yang cukup, yang dipakai dalam produksi dan perdagangan. Merek adalah suatu tanda, tetapi agar tanda

  49

  tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda, hal ini disebabkan pendaftaran merek, berkaitan dengan pemberian hak eksklusif yang diberikan oleh negara atas nama atau simbol terhadap suatu pelaku usaha.

  Apabila diamati maka pada dasarnya definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas menuju pada suatu pengertian yang sama atau dengan kata lain memiliki persamaan pada pokoknya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa merek terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 47 Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Hak Cipta dan Merek, Cetakan I , (Bandung: Yrama Widya, 2002), hlm.32. 48 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.120. 49 Suyud Margono, dan Lingginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, (Jakarta: Novirindo Pustaka Mandiri, 2002), hlm.27. a. Suatu tanda pengenal yang dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut, b. Merupakan alat pembeda barang hasil produksi perusahaan satu dengan barang sejenis hasil produksi perusahaan lainnya, baik yang dimiliki perseorangan ataupun badan hukum

  c. Digunakan dalam rangka keperluan perdagangan atau dalam ruang lingkup perdagangan.

  Merek (trademark) sebagai salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

  (Intellectual Property Rights) adalah memegang peranan penting dalam perdagangan.

  Merek tidak saja dianggap sebagai sebuah nama atau label sebuah barang, tetapi merek memiliki arti yang sangat mendalam yakni merek mempunyai suatu makna yang sangat besar, dengan merek sebuah barang dapat mempunyai nilai yang tinggi dan menunjukan kualitas dari sebuah barang atau jasa. Suatu merek yang sudah

  50 mendunia atau terkenal di dunia akan memiliki harga tawar dan posisi yang tinggi.

  Dewasa ini kesadaran masyarakat/kalangan usahawan di Indonesia nampaknya sudah mulai meningkat terhadap perlindungan terhadap merek barang atau jasa, hal ini dapat dilihat dari peningkatan permohonan pendaftaran merek oleh subjek hukum lokal. Dalam konteks ekonomi, perlindungan HKI akan mendorong timbulnya investasi. Perusahaan-perusahaan akan terpacu untuk melakukan investasi pada kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan atau pada industri dan 50 Insan Budi Maulana (b), Perkembangan Perlindungan Hak Cipta dan Merek di Indonesia:

  Bianglala HKI , (Jakarta: Hecca Publishing, 2005), hlm.187 perdagangan yang berbasiskan HKI. Pihak asingpun akan bersedia melakukan investasi di suatu negara apabila terdapat jaminan perlindungan yang cukup terhadap

  51 investasi di negeri tersebut.

  Merek sebagai salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tentu tidak dapat dari sistem HKI Indonesia. Perkembangan sistem HKI modern di

  Convention Establishing the

  Indonesia dimulai dengan diratifikasinya

  WTO/Agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights

  (Konvensi WTO/Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Ratifikasi

  52

  ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian, yaitu:

  a. Legislasi dan Konvensi Internasional: merevisi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HKI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HKI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan baru untuk bidang HKI.

  b. Administrasi: menyempurnakan sistem administrasi pengelolaan HKI dengan misi memberikan perlindungan hukum dan menggalakkan pengembangan karya- karya intelektual.

  c. Kerjasama: meningkatkan kerjasama terutama dengan pihak luar negeri.

  d. Kesadaran masyarakat: memasyarakatkan atau sosialisasi HKI.

  e. Penegakkan hukum: membantu penegakan hukum di bidang HKI.

  51 52 Sanusi Bintang, Hukum Kekayaan Intelektual, (Jakarta: BPHN, 2003), hlm.6-7.

A. Zen Umar Purba, “Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis , Volume 13, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001), hlm.4-5.

  Hukum HKI merupakan sebuah hukum yang harus terus mengikuti perkembangan tekhnologi untuk melindungi kepentingan pencipta. Kata milik atau kepemilikan dalam HKI memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dibandingkan dengan istilah kekayaan. Hal ini juga sejalan dengan konsep hukum perdata Indonesia

  53 yang menerapkan istilah milik atas benda yang dipunyai seseorang.

  Perkembangan sistem modern ini Pemerintah Indonesia, yang berkaitan dengan bidang legislasi khususnya dalam bidang merek pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

  19 Tahun 1992 tentang Merek, kemudian dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

  Ketiga undang-undang tersebut apabila ditinjau dari sistem pendaftarannya adalah menganut sistem pendaftaran konstitutif, ini merupakan perubahan yang sangat mendasar dalam undang-undang merek sebelumnya yaitu Undang-Undang

  54 Nomor 21 Tahun 1961 yang menganut sistem deklaratif. Adapun yang dimaksud

  dengan sistem deklaratif adalah pemakai pertama atas merek adalah yang berhak atas merek, sistem ini menganut asas prior user has a better right disamping itu sistem ini mengandung arti bahwa merek tidak ada keharusan untuk didaftarkan. Sistem konstitutif mengandung arti bahwa hanya merek yang didaftar yang dapat melahirkan 53 Ahmad M. Ramli, Hak atas Kepemilikan Intelekttual: Teori Dasar Perlindungan Rahasia , (Bandung: CV. Mandar Maju, 2000), hlm.24.

  Dagang 54 OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual, Edisi Revisi: Cet.4, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2004), hlm.362.

  hak khusus atau hak eksklusif (exclusive right) atas merek, pemakaian saja belum menimbulkan hak eksklusif dan belum memperoleh perlindungan hukum, sistem konstituf ini ditegakkan atas asas prior in tempora melior in jure (siapa yang duluan mendaftar dia yang berhak mendapat perlindungan hukum) dengan demikian sistem

  55 konstitutif mengandung paksaan untuk mendaftar (compulsory to registered).

  Dengan berlakunya sistem pendaftaran merek secara konstitutif di Indonesia maka hal ini memiliki konsekuensi bahwa pelaku usaha yang mempunyai merek dagang atau jasa harus mendaftarkan mereknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Demi hukum apabila seseorang yang telah bertahun-tahun memakai suatu merek tetapi belum didaftarkan namun merek tersebut oleh pihak lain telah lebih dahulu didaftarkan maka pihak pertama yang telah memakai merek tersebut secara hukum tidak boleh lagi menggunakan mereknya, sebab ia belum mendaftarkan mereknya.

  Sistem deklaratif dan konstitutif memiliki kelemahan dan keuntungan masing- masing, hal ini menimbulkan polemik dari kalangan ahli hukum. Salah satu ahli hukum yang kontra terhadap berlakunya sistem konstitutif ialah Hartono Prodjomardjojo yang dalam seminar hukum atas merek yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada presentasinya yang berjudul Undang- Undang Merek 1961 dan permasalahan-permasalahannya, mengemukakan sebagai berikut: 55 HD. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat , (Jakarta: FH UI, 2003), hlm.86.

  “Mengingat bahwa wilayah Republik Indonesia itu sangat luas sedang perhubungan dari daerah yang satu ke daerah yang lain belum semudah dan secepat yang diperlukan untuk melaksanakan pendaftaran merek, maka melihat keuntungan dan keberatan masing-masing stelsel pendaftaran, penulis berpendapat bahwa untuk Indonesia stelsel deklaratif adalah stelsel yang cocok dengan keadaan di Indonesia, sehingga penulis berpendapat bahwa stelsel

  56 deklaratif di Indonesia tidak perlu diganti dengan stelsel konstitutif”.

  Sementara salah satu ahli hukum yang menyatakan bahwa sistem konstitutiflah yang efektif untuk diberlakukan di Indonesia adalah Emmy Pangaribuan Simanjuntak yang menyatakan sistem yang cenderung untuk digunakan adalah sistem konstitutif dengan alasan bahwa sistem ini lebih memberikan kepastian hukum mengenai hak atas merek kepada seseorang yang telah mendaftarkan mereknya itu, pendapat ahli lain yang sependapat dengan sistem konstitutif adalah

  57 pendapat Sudargo Gautama.

  Sehingga sistem pendaftaran merek yang paling sesuai diberlakukan di Indonesia saat ini adalah sistem konstitutif, mengingat dengan sistem pendaftaran merek konstitutif ini selain lebih memberikan kepastian hukum, juga pada saat ini sedang diterapkan pendaftaran merek bisa dilakukan secara online sehingga pendaftaran merek dapat dilakukan di mana saja di seluruh wilayah Republik

  58 Indonesia, dan kepemilikan merek terdaftar tersebut dapat dibuktikan secara online.

  Di Indonesia untuk pendaftaran merek hanya dapat dilakukan di satu tempat yaitu Direktorat Merek (Kantor Merek) Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual 56 57 OK. Saidin, Op.Cit., hlm.365. 58 Ibid .

  , ”7 bulan, 7 hari, 7 menit”, Berita Humas Kementrian Hukum dan HAM RI http://www.kemenkumham.go.id/berita/headline/1814-7-bulan-7-hari-7-menit, terakhir diakses tanggal 11 Juli 2014. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun pendaftaran juga dapat dilakukan di Kantor Wilayah yang difungsikan sebagai kantor perwakilan dari Kantor Merek.

  Perkembangan hukum merek di Indonesia telah ada sejak kolonial belanda hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001. Sejarah perkembangan hukum di Indonesia ini dapat diuraikan sebagai berikut:

  a. Reglement Industrieele Eigendom Kolonien 1912 Undang-Undang Merek yang tertua di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah jajahan melalui Reglement Industrieele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak

59 Milik Industri Kolonial 1912), peraturan ini diberlakukan untuk wilayah-wilayah

  Indonesia, Suriname, Curacao. Peraturan ini disusun dan mengikuti sistem Undang-

  60 Undang Merek Belanda, dan menerapkan sistem konkordansi yaitu ketentuan

  perundang-undangan yang dibuat, disahkan oleh dan berasal dari negara penjajah yang juga diterapkan pada negara jajahannya. Reglement Industrieele Eigendom 1912 terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) pasal dan dalam reglement itu perlindungan hukum diberikan kepada merek terdaftar selama 20 (dua puluh) tahun dan tidak mengenal penggolongan kelas barang seperti yang diatur dalam Perjanjian Nice (Nice

  Agreement

  ) tentang klasifikasi barang dan jasa. Peraturan merek kolonial ini

  61

  menganut sistem Deklaratif, dimana sistem ini mengutamakan perlindungan hukum 59 60 Insan Budi Maulana (a), Op.Cit., hlm.7. 61 Sudargo Gautama (a), Op.Cit., hlm.14.

  M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.54 kepada pemakai pertama bukan pandaftar pertama, artinya pemakai pertama memiliki hak yang lebih baik dibanding dengan pendaftar pertama. Peraturan yang ada dalam

  reglement 1912

  dapat dikatakan sebagai peraturan merek yang sederhana oleh karena dalam reglement ini diantaranya belum mengakui atau mengatur merek jasa atau

  service mark,

  hak prioritas atau priority right, tidak membicarakan mengenai lisensi merek, tidak mengatur masalah pemalsuan merek atau counterfeiting mark, dan juga

  62

  masalah ganti rugi, pemidanaan dan lain sebagainya. Dalam periode tahun 1945 hingga tahun 1961, setelah Indonesia menjadi negara merdeka, Reglement

  

Industrieele Eigendom Kolonielen 1912 masih tetap dilaksanakan. Pelaksanaan

  peraturan-peraturan yang dibuat pada masa penjajahan itu didasarkan pada Pasal II, Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

  b. Undang-Undang No 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan

  Lahirnya Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 seperti yang dijelaskan dalam konsiderannya, sebagai pengganti dan memperbaharui hukum merek yang lama, yang diatur dalam Reglement Industrieele Eigendom, S. 1912 Nomor 545, akan tetapi seperti yang dikemukakan Sudargo Gautama, ternyata tidak dijumpai pembaharuan yang berarti. Menurut Sudargo Gautama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, boleh dikatakan merupakan pengoperan daripada ketentuan-

  63

  ketentuan dalam Peraturan Milik Perindustrian dari tahun 1912. Oleh karena itu 62 , hlm.55. 63 Ibid.

  Ibid. , hlm.14. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 banyak mengandung kelemahan atau kekurangan-kekurangan terutama apabila dikaitkan dengan kebutuhan perkembangan ekonomi perdagangan pasar bebas. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 hanya terdiri dari 24 (dua puluh empat) pasal. Sistem yang dianut adalah sistem deklaratif dengan menekankan perlindungan hukum pada pemakai pertama, di mana perlindungan hukum ditekankan perlindungannya kepada pihak yang pertama kali memakai (first use principle) dan tidak pada pihak yang pertama kali mendaftar. Prinsip ini mengandung arti bahwa bagaimanapun pendaftaran suatu merek pada Direktorat Merek hanya merupakan anggapan adanya hak eksklusif suatu merek bagi pihak yang mendaftarkan, sampai kemudian terdapat pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemakai pertama atas merek tersebut.

  Salah satu kelemahan yang sangat dirasakan dalam Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 adalah mengenai aturan pembatalan yaitu Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk menuntut pembatalan merek yang mengandung persamaan pada keseluruhannya atau pada pokoknya sama, harus dilakukan dalam waktu 9 (sembilan) bulan setelah pengumuman pendaftaran dalam Tambahan Berita Negara, nyatanya dalam praktek, pengumuman pendaftaran, tidak pernah dilakukan secara tepat, terkadang baru diumumkan 5 atau 10 tahun kemudian. Berarti selama pendaftaran belum diumumkan, tertutup kemungkinan pemilik merek yang sesungguhnya untuk menuntut pembatalan, ketentuan ini dipandang sebagai suatu yang tidak realistik dan tidak adil.

  Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tidak mencantumkan definisi dan arti merek, juga ketentuan-ketentuan bagaimana suatu merek dapat didaftar dan yang harus ditolak. Undang-undang itu hanya menyatakan bahwa hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang (beberapa orang) apabila “memiliki daya beda” dan “pertama kali memakai merek itu di Indonesia,” dan hak khusus atas merek itu hanya berlaku terhadap barang-barang sejenis hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu. Hak atas merek diberikan kepada siapapun dan hanya mensyaratkan “daya beda” merupakan syarat yang sangat luas. Karena dengan demikian, setiap hal yang memiliki daya beda dapat memperoleh “hak khusus atas merek.”

  Dalam Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 tidak mengatur mengenai perlindungan merek terkenal. Merek Terkenal yaitu apabila suatu merek telah beredar keluar dari batas-batas regional sampai batas-batas internasional, dimana telah beredar keluar negeri asalnya dan dibuktikan dengan adanya

  64

  pendaftaran merek yang bersangkutan di berbagai negara. Konsep perlindungan merek terkenal tidak diatur sama sekali oleh undang-undang ini, dan pada saat berlakunya undang-undang ini praktek pelanggaran terhadap merek terkenal sudah kerap terjadi, sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa pengaturan Pasal 10 ayat (1) menjadi suatu ganjalan bagi para pemilik merek yang dirugikan untuk menegakkan haknya dari praktek pendaftaran merek serupa oleh pihak yang tidak berwenang, untungnya hal ini segera diantisipasi oleh Mahkamah Agung RI dengan 64 Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1486 K/pdt/1991. memasukan prinsip mengenai itikad baik (good faith) yang dirumuskan dalam Pasal

  65 1338 KUHPerdata ke dalam Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961.

  Sehingga pemakai pertama di Indonesia yang beritikad baik diberi perlindungan, artinya apabila seseorang membajak merek terkenal dari luar negeri dan mendaftarkan atas namanya sendiri, ia tidak akan dilindungi. Walaupun berhasil pendaftaran itu dilakukan, dapat dibatalkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung sejak tahun 1972 telah memberikan landasan kuat untuk meminta pembatalan pendaftaran

  66 merek terkenal yang telah didaftarkan dengan cara membajak.

  c. Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 Undang-Undang Merek ini diundangkan pada tanggal 28 Agustus 1992 dan berlaku efektif pada tanggal 1 April 1993. Secara umum undang-undang merek ini banyak berorientasi kepada Konvensi Paris revisi Stockholm tahun 1967. Malahan banyak persamaannya dengan Model Law tahun 1966 yang diintrodusir oleh BIRPI (United International Beureu for the Protection of Intellectual Property Right) bekerja sama dengan UNCTAD (United Nation Confrence of Trade and

67 Development

  ) dalam upaya mewujudkan terbinanya sistem merek yang seragam serta standar hukum merek yang sama di semua negara di bidang merek. Secara jelas Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992, jauh lebih luas dan sempurna dari

  65 Sudargo Gautama (c), Himpunan Yurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Praktik Sehari-hari, Jilid I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.211 66 Sudargo Gautama (d), Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, (Bandung: Eresco, 1995), hlm.21. 67 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm.67 Undang-Undang Merek Tahun 1961. Letak perbedaannya dapat diuraikan antara lain, sebagai berikut:

  68

  1) Pendaftaran merek merupakan dasar timbulnya hak atas merek (sistem konstitutif), sedang pemakaian merek yang telah terdaftar tersebut merupakan syarat (user requirement) agar pendaftaran merek yang bersangkutan dapat di perpanjang jangka waktu perlindungannya;

  2) Diperkenalkannya adanya kelompok hak atas merek yang baru disamping merek dagang yaitu : merek jasa dan merek kolektif; 3) Hak atas merek meliputi hak untuk memberikan lisensi pemakaian merek yang bersangkutan kepada pihak lain; 4) Diperkenalkan adanya prosedur pengumuman (publikasi) permintaan pendaftaran merek dalam Berita Resmi Merek untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan (oposisi);

  5) Diperkenalkan adanya Komisi Banding di lingkungan Kantor Merek yang bertugas memeriksa keberatan terhadap penolakan permintaan pendaftaran merek; 6) Dimungkinkan untuk mengajukan permintaan pendaftaran merek dengan Hak

  Prioritas (Priority Right) sesuai dengan ketentuan Konvensi Paris; 7) Ada batas waktu maksimal bagi Kantor Merek untuk menyelesaikan permintaan pendaftaran merek, dengan kemungkinan bahwa apabila batas waktu ini tidak

68 Syprianus Aristeus, Perlindungan Merek Terkenal Sebagai Aset Perusahaan, (Jakarta:

  BHPN, 2010), hlm.101-104 ditepati maka permintan pendaftaran merek yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap Kantor Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara; 8) Ada batas waktu maksimal dan minimal untuk mengajukan permintaan perpanjangan waktu perlindungan merek terdaftar (maksimal 12 bulan dan minimal 6 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pendaftaran);

  9) Pengalihan hak atas merek berdasarkan pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang, serta dapat dilakukan baik dengan ataupun tanpa perusahaan dan good will-nya;

  10) Kantor Merek dapat menghapuskan pendaftaran merek secara "Ex Officio” atau atas prakarsa sendiri, berdasarkan bukti bahwa merek termaksud telah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut atau lebih;

  11) Gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan oleh pemilik merek terdaftar; 12) Pemilik merek terkenal dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek, meskipun pendaftaran yang digugatkan itu untuk barang yang tidak sejenis;

  13) Pemilik pendaftaran merek dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan penghentian pemakaian merek terhadap pihak ketiga yang memakai mereknya secara tanpa hak;

  14) Diperkenalkan adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang merek;

  15) Adanya ketentuan pidana terhadap tindak pidana di bidang merek, dengan ancaman hukuman yang cukup tinggi.

  d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-Undang Merek

  Nomor 14 Tahun 1997 mencantumkan sanksi pidana atas pelanggaran merek. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 yang tidak mencantumkan sanksi pidana apapun atas pelanggaran merek. Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 merupakan revisi Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 yang disahkan pada tanggal 7 Mei 1997 yang membagi pelanggaran

  69

  merek atas 4 (empat) macam yaitu: 1) perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan secara sengaja dan tanpa hak dengan menggunakan merek yang sama; 2) perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak dengan menggunakan merek yang serupa; 3) perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan karena kelalaiannya; dan 4) perbuatan pelanggaran merek karena menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi geografis atau indikasi asal yang dilakukan secara sengaja dan tanpa hak sehingga menyesatkan masyarakat mengenai asal-usul barang atau jasa.

  Undang-undang merek tersebut diatas, menyatakan sebagai tindak pidana kejahatan terhadap bentuk pelanggaran macam ke 1, 2, dan ke 4, sedangkan tindak 69 Insan Budi Maulana (a), Op.Cit., hlm.125. pidana pelanggaran dikenakan terhadap pelanggaran merek jenis yang ke-3. Sanksi Pidana ke-4 baru diterapkan sejak diterapkan Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 karena pada Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 ketentuan pasal tersebut tidak pernah ada. Pencantuman pasal tersebut, dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 merupakan tindak lanjut perjanjian TRIPs untuk memberikan perlindungan hukum terhadap “Indikasi Geografis” dan “indikasi Asal”.

  Terhadap keempat macam bentuk pelanggaran merek, Undang-Undang Merek mencantumkan sanksi pidana yang berbeda-beda pula. Pasal 81 Undang-Undang- Merek Nomor 14 Tahun 1997 yang merupakan revisi undang-undang merek sebelumnya menyatakan:

  “Barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”.

  Jika diperhatikan pasal itu maka dapat diuraikan unsur-unsur yang dapat dikenakan sanksi pidana pasal itu yaitu barang siapa, dengan sengaja dan tanpa hak, menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya, dengan merek terdaftar milik orang lain, yang diproduksi atau diperdagangkan.

  1) Barang siapa, Berarti siapa saja yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu bisa manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Dengan demikian badan hukum dapat dituntut pertanggung jawaban pidana meskipun telah melanggar Pasal 81 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek.

  2) Dengan sengaja dan tanpa hak, Unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi, bahwa pelaku menghendaki untuk melakukan perbuatan mendistribusikan, menggunakan suatu produk milik merek terdaftar. Kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah diketahuinya. Unsur tanpa hak berarti si pelaku sebelum menggunakan dan mendistribusikan produk milik merek terdaftar tersebut telah mengetahui atau menyadari bahwa ia tidak berhak melakukannya. Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang UU atau pasal yang melarang. Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya. Orang yang berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh karena itu untuk membuktikan kesadaran sifat melawan hukum perbuatan patokannya, ialah terbukti si pembuat

  70 berjiwa normal.

  3) Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya Jadi agar tindak pidana merek yang diatur Pasal 81 undang-undang dapat diancam dengan pemidanaan, pelaku harus “menggunakan” merek tersebut pada barang atau jasa dalam kegiatan produksi dan atau perdagangan. Dalam hal ini, harus terkandung persamaan yang menyeluruh antara merek yang digunakan pelaku dengan merek orang lain yang sudah terdaftar. Definisi umum atas pengertian mempunyai persamaan secara keseluruhan (entireties similar) adalah peniruan (imitation) meng-copy atau memproduksi secara bulat dan utuh merek orang lain.

  4) Dengan merek terdaftar milik orang lain merek yang digunakan pelaku mempunyai persamaan secara keseluruhan dengan merek orang lain yang “sudah terdaftar” dalam DUM (registered) dengan yang “tidak terdaftar” (unregistered), merek yang dilindungi dalam tindak pidana merek hanya merek yang sudah terdaftar, apabila merek milik orang lain yang ditiru atau dipalsu tersebut belum terdaftar dalam DUM maka penggunaan yang dilakukan pelaku baik dalam produksi dan atau perdagangan, tidak menimbulkan tindak pidana merek yang dirumuskan dalam Pasal 81 Undang-Undang Merek.

70 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP

  , (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia 2003), hlm.152.

  5) Yang diproduksi atau diperdagangkan. perbuatan “memperdagangkan” yaitu memperdagangkan menjadi aspek fisik tindak pidana Pasal 84 undang-undang. Pelaku bukan orang yang melakukan peniruan, pemalsuan atau pembajak merek orang lain, tetapi terbatas pada perbuatan memperdagangkan barang atas jasa yang menggunakan merek yang dipalsu atau dibajak.

  Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut, maka apabila salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi oleh terdakwa maka ia tidak dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dinyatakan di atas. Sanksi pidana ini, hanya dapat diperlakukan terhadap terdakwa yang menggunakan merek orang lain yang telah terdaftar. Secara prinsipil tidak ada hal-hal yang mengubah prosedural pendaftaran merek dan jumlah pasal antara Undang-undang merek Nomor 14 Tahun 1997 dengan Undang-undang Merek Nomor 19 Tahun 1992.

  Keseluruhan jumlah Pasal dalam Undang-undang Merek itu tetap 90 (sembilan puluh) pasal termasuk 5 (lima) pasal lainnya yang terdapat pada ketentuan peralihan dan ketentuan penutup yang sudah tercantum sejak berlakunya Undang- Undang Merek Nomor 19 Tahun 1997. Seandainya terdapat pasal atau peraturan baru, hal itu disisipkan pada pasal-pasal yang sudah tercantum dengan memberikan beberapa perbedaan, misalnya Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), pasal 79A, 79B, 79C dan

  85 A, dan seterusnya Beberapa ketentuan baru dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 yang membedakan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, di antaranya, adalah :

  1) Perlindungan merek terkenal di atur dalam dua ayat berbeda yaitu Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dan kategori perlindungan juga di bedakan. Pasal 6 ayat (3) memberi perlindungan terhadap barang atau jasa sejenis, sedangkan Pasal 6 ayat (4) memberi perlindungan terhadap barang atau jasa yang tidak sejenis, tetapi ketentuan lebih lanjut atas Pasal 6 ayat (4) itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.

  2) Perlindungan terhadap “Indikasi Geografis” diatur Pada pasal 79A dan “indikasi asal” diatur pada Pasal 79D. Peraturan yang memberikan perlindungan terhadap indikasi geografis dan indikasi-asal ini merupakan konsekuensi Indonesia turut serta dalam perjanjian TRIPs, dan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade

  Organization (Persetujuan Pembentukkan Organisasi Perdagangan Dunia).

  e. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Bahwa dengan pertimbangan untuk menjaga persaingan usaha yang sehat dalam era perdagangan global dan sejalan dengan konvensi- konvensi International yang telah diratifikasi Indonesia, maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan diubah dengan Undang-Undang Merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor

  15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berlaku pada tanggal 1 Agustus 2001. Undang- Undang Merek ini disusun sebagai manifestasi atas konvensi-konvensi international yang telah diratifikasi Indonesia. Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan

  (General Agreement on Tariff and Trade/GATT)

  yang merupakan perjanjian perdagangan multilateral pada dasarnya bertujuan menciptakan perdagangan bebas, perlakuan yang sama, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia.

  Dalam kerangka perjanjian multilateral tersebut, pada bulan April 1994 di Marakesh Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta de Estate, Uruguay, yang dikenal dengan putaran Uruguay (Uruguay Round) antara lain memuat Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related

  Aspects of Intellectual Property Right/ TRIPs)

  Persetujuan TRIPs memuat norma- norma dan standar bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang kekayaan intelektual sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual secara ketat. Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs) Ratifikasi dari peraturan tersebut mendorong keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial

  Property

  (konvensi Paris) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1997 dan Trademark Law Treaty yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor

  17 Tahun 1997. Dengan telah diratifikasinya Perjanjian-perjanjian international tersebut oleh Indonesia, memuat kewajiban untuk menyesuaikan undang-undang merek yang ada dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian international yang telah diratifikasi tersebut.

  Berdasarkan pertimbangan diatas dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian international yang telah diratifikasi Indonesia, serta praktek pengalaman melaksanakan administrasi merek selama ini maka Pemerintah memandang perlu untuk mengadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dengan Undang-undang merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (selanjutnya disebut Undang-Undang merek tahun 2001).

2. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Merek dan Sanksi Hukumnya

  Pengalaman Indonesia dalam pengelolaan merek sebenarnya berlangsung paling lama bila dibandingkan dengan jenis-jenis HKI lainnya. Meskipun pengalaman dalam pengelolaan sistem merek dapat dikatakan yang terlama, tetapi persoalan yang menyangkut merek tidak pernah surut. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya pengaturan merek, utamanya merek terkenal dalam mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran merek. Munculnya istilah merek terkenal berawal dari tinjauan terhadap merek berdasarkan reputasi (reputation) dan kemasyuran (reknown) suatu merek.

  Berdasarkan pada reputasi dan kemasyhuran merek dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni merek biasa (normal marks), merek terkenal (well know marks), dan merek termasyhur (famous marks). Khusus untuk merek terkenal didefinisikan sebagai merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek yang demikian itu memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, sehingga jenis barang apa saja yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar

  71 attachement) dan ikatan mitos (mythical context) kepada segala lapisan konsumen.

  Merek dagang yang sudah terkenal tidak dapat begitu saja dengan seenaknya digunakan untuk berbagai jenis barang tanpa persetujuan lebih dahulu dari pemilik

  72

  merek itu. Adanya pelanggaran merek seperti peniruan dan pemalsuan merek sesungguhnya dilatar belakangi adanya persaingan curang atau persaingan tidak jujur yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam perdagangan barang atau jasa dengan melakukan cara-cara yang bertentangan dengan itikad baik dengan mengenyampingkan nilai kejujuran dalam melakukan kegiatan usaha.

  Dalam usahanya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya ada sebagian pelaku melakukan peniruan merek dagang dalam usahanya untuk memperoleh penguasaan pasar. Peniruan merek dagang ini merupakan perbuatan yang tidak jujur dan akan merugikan berbagai pihak yakni bagi khalayak ramai/yaitu konsumen maupun bagi pemilik merek yang sebenarnya.

  73 Pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual di bidang merek meliputi:

  a. Praktek Peniruan Merek Pelaku usaha yang beriktikad tidak baik tampak dalam upaya atau ikhtiar mempergunakan merek dengan meniru merek terkenal (well know trade mark) yang 71 72 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Op.Cit., hlm.87. 73 Sudargo Gautama (d), Op.Cit., hlm.18 OK. Saidin, Op.Cit., hlm.357-359

  sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksi secara pokoknya sama dengan merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal (untuk barang-barang atau jasa sejenis) dengan maksud menimbulkan kesan kepada khalayak ramai, seakan-akan barang atau jasa yang diproduksinya itu sama dengan produksi barang atau jasa yang sudah terkenal itu. Dalam hal ini dapat diberikan contoh, bahwa dalam masyarakat sudah dikenal dengan baik sabun mandi dengan merek "Lux" kemudian ada pengusaha yang memproduksi sabun mandi merek "Lax". Tentunya pengusaha ini berharap bahwa dengan adanya kemiripan tersebut dapat memperoleh keuntungan yang besar tanpa mengeluarkan biaya besar untuk promosi memperkenalkan produksinya, dan berharap konsumen dapat terkelabui dengan kemiripan merek tersebut.

  b. Praktek Pemalsuan Merek Dagang Pelaku usaha yang tidak beriktikad baik memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat yang bukan merupakan haknya. Sebagai contoh seorang pengusaha yang sedang berbelanja ke luar negeri membeli produk Cartier, kemudian kembali ke Indonesia untuk memproduksi barang-barang tas, dompet yang diberi merek Cartier. Dalam hal ini juga maka pelaku usaha itu tentunya sangat berharap memperoleh keuntungan besar tanpa mengeluarkan biaya untuk memperkenalkan merek tersebut kepada masyarakat karena merek tersebut sudah dikenal oleh masyarakat dan tampaknya pemakaian kata

  Cartier

  itu merupakan kekuatan simbolik yang memberikan kesan mewah dan bergengsi, sehingga banyak konsumen membelinya. c. Perbuatan-perbuatan yang Dapat Mengacaukan Publik Berkenaan Dengan Sifat dan Asal Usul Merek Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang yang bermutu. Termasuk dalam persaingan tidak jujur apabila pengusaha mencantumkan keterangan tentang sifat dan asal-usul barang yang tidak sebenamya, untuk mengelabui konsumen, seakan-akan barang tersebut memiliki kualitas yang baik karena berasal dari daerah penghasil barang yang bermutu misalnya mencantumkan keterangan made in England padahal tidak benar produk itu berasal dari Inggris.

  Seluruh perbuatan itu sangat merugikan pemilik merek, karena akibat dari persaingan tidak jujur (pemalsuan dan peniruan merek terkenal) akan mengurangi omzet penjualan sehingga mengurangi keuntungan yang sangat diharapkan dari mereknya yang lebih terkenal tersebut. Bahkan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap merek tersebut, karena konsumen menganggap bahwa merek yang dulu dipercaya memiliki mutu yang baik ternyata sudah mulai turun kualitasnya.

  Bukan hanya itu saja, pelanggaran terhadap hak atas merek ini juga sangat merugikan konsumen karena konsumen akan memperoleh barang-barang atau jasa yang biasanya mutunya lebih rendah dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut, bahkan adakalanya produksi palsu tersebut membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen.

  Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bentuk- bentuk pelanggaran pidana merek dagang, yaitu: a. Penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak, untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 90).

  b. Penggunaan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak, untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 91).

  c. Penggunaan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar (Pasal 92 ayat (1)).

  d. Penggunaan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain, untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar (Pasal 92 ayat (2)).

  e. Pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi geografis (Pasal 92 ayat (3)).

  f. Penggunaan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal, dengan sengaja dan tanpa hak, pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut (Pasal 93). g. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran merek yang terdaftar (Pasal 94).

  Ketentuan sanksi terhadap pelanggaran Merek antara lain diatur sebagai berikut: a. Pasal 90: menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  b. Pasal 91: menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda maksimal Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

  c. Pasal 92 ayat (1): menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  d. Pasal 92 ayat (2)Pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi geografis, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

  e. Pasal 93: Penggunaan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal, dengan sengaja dan tanpa hak, pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

  f.

  Pasal 94: Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran merek yang terdaftar atau indikasi geografis, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  Ketentuan pasal tersebut yang memuat sanksi pidana memberikan perlindungan kepada orang atau badan hukum yang merasa berhak atas merek.

  Dengan jalan melarang pemakaian merek secara tidak sah oleh pihak lain berupa pemakaian merek itu seluruhnya atau pada pokoknya menyerupai merek dari yang berhak itu pada barang atau jasa yang sejenis. Dengan adanya ketentuan sanksi pidana ini tidak mengurangi kemungkinan dari pihak yang berhak untuk melakukan gugatan perdata.