Prinsip National Treatment Hak Kekayaan Intelektual Dalam Pelanggaran Merek Asing Menurut Hukum Internasional

(1)

PRINSIP NATIONAL TREATMENT HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PELANGGARAN MEREK ASING MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 090200422 OJITA AZIZIYAH

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PRINSIP NATIONAL TREATMENT HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PELANGGARAN MEREK ASING MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 090200422 OJITA AZIZIYAH

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

NIP : 196403301993031002 Arif, SH.MH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Sutiarnoto,SH.M.Hum

NIP : 196403301993031002 NIP : 195610101986031003 Arif, SH.MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

A B S T R A K

Ojita Aziziyah* Sutiarnoto**

Arif***

Dalam transaksi perdagangan barang maupun jasa, hak merek memegang peranan penting karena menjadi unsur pembeda antara satu produk dengan produk lainnya termasuk juga untuk menjadi unsur identitas produk tersebut. Tingginya persaingan dan perilaku etika bisnis yang tidak baik dapat mendorong penyalahgunaan, maupun pemalsuan bahkan pelarangan atas merek tersebut. Namun diera perdagangan bebas, dan globalisasi hambatan-hambatan tersebut harus diatasi oleh masing-masing negara melalui berbagai konvensi-konvesi Internasional dimana salah satunya adalah pemberlakuan prinsip national treatment yang menuntut adanya perlakuan yang sama antara suatu produk dari luar dengan dari dalam negeri. Dalam hal merek, prinsip tersebut juga menghendaki adanya penghapusan batasan bahkan keinginan untuk juga melindungi merek asing yang masuk ke suatu negara.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

(secondary data), yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, tetapi melalui studi kepustakaan dengan mengkaji dan mempelajari buku, literatur, jurnal, dan data internet. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan terhadap sistematik hukum, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tercatat. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk Pemberlakuan prinsip yang disebut national treatment tersebut dalam bidang hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari komitnen pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional yang telah ditandatangainya. Dan bagian dari keikutsertaan Indonesia dalam berbagai organisasi perdagagan dunia dalam rangka menuju pasar bebas internasional.

Kata Kunci : Hak Merek,Prinsip National Treatment dan Merek Asing

*Mahasiswa departemen Hukum Internasional **Dosen Pembimbing I


(4)

KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim

Puji syukur penulis kehadirat ALLAH SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Universitas Sumatera utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang diridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “PRINSIP NATIONAL TREATMENT HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PELANGGARAN MEREK ASING MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan didalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Runtung, SH. M.Hum, selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Pembantu


(5)

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak arif, SH. MH, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Pembimbing II Penulis.

3. Bapak Sutiarnoto, SH. M.Hum , selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah SH. M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama berada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta seluruh Pegawai Administrasi yangtelah banyak membantu dalam proses perkuliahan.

6. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang sangat khusus penulis haturkan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Abdy Ben Hasan, SE. dan Ibunda Hj. Nurlaily Banta, yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, memberikan bantuan yang tak terhingga dan menjadi motivator serta memberikan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini bisa selesai.

7. Ungkapan terima kasih penulis haturkan khusus kepada abang tersayang, dr. M. Ludhy Nur, kakak tersayang Mela Meutia dan abang ipar tersayang


(6)

Lettu. Inf. Wahyu Millian yang telah memberikan motivator dan memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada yang terdekat , Chairul Masri Lubis, terimakasih atas support selama penulis mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman tersayang : Give Me Five, ILSA 2012, Rizky Zalila, Dalimunthe, Inge Sandra Dilla, Rizky Ridwan Matondang, Alfi Syahrin Nasution, Raja Karsito Purba, Erika Ongko.

10.Dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh sebab it, penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan sumbangan pemikiran yang bersifat membangun, agar bisa lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang.

Besar harapan penulis bahwa skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memperluas cakrawala dan pengetahuan kita semua.

Medan, July 2013 Penulis

090200422 OJITA AZIZIYAH


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………..….. i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 12

C. Tujuan Penulisan... 12

D. Manfaat Penulisan... 13

E. Keaslian Penulisan... 14

F. Tinjauan Kepustakaan... 14

G. Metode Penelitian... 19

H. Sistematika Penulisan………... 23

BAB II: PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM HUKUM INTERNASIONAL... 25

A.Pengertian TRIPs...………. ... 25

B.Prinsip National Treatment dalam Persetujuan TRIPs... 28

C.Perlindungan Hukum dalam Pelanggaran Merek Asing di Indonesia.. 31

D.Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Merek Asing...……… 33

BAB III PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT OLEH NEGARA-NEGARA DIDUNIA...……… ... .. 36

A.Pengertian Prinsip National Treatment………..……….. 36

B.Prinsip National Treatment Menurut WIPO ……… ….……… 39


(8)

D.Pengaturan dan Penerapan Prinsip National Treatment Dalam Hukum

Internasional...42

BAB IV PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM HUKUM INDONESIA...……… ……… 46

A. Indonesia Sebagai Bagian dari World Trade Organization... 46

B. Konvensi-Konvensi Internasional Tentang Hak Kekayaan Intelektual... .47

C. Analisa Kasus PT Timor Putra Nasional... ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 54

A. Kesimpulan……… 54

B. Saran ... 55


(9)

A B S T R A K

Ojita Aziziyah* Sutiarnoto**

Arif***

Dalam transaksi perdagangan barang maupun jasa, hak merek memegang peranan penting karena menjadi unsur pembeda antara satu produk dengan produk lainnya termasuk juga untuk menjadi unsur identitas produk tersebut. Tingginya persaingan dan perilaku etika bisnis yang tidak baik dapat mendorong penyalahgunaan, maupun pemalsuan bahkan pelarangan atas merek tersebut. Namun diera perdagangan bebas, dan globalisasi hambatan-hambatan tersebut harus diatasi oleh masing-masing negara melalui berbagai konvensi-konvesi Internasional dimana salah satunya adalah pemberlakuan prinsip national treatment yang menuntut adanya perlakuan yang sama antara suatu produk dari luar dengan dari dalam negeri. Dalam hal merek, prinsip tersebut juga menghendaki adanya penghapusan batasan bahkan keinginan untuk juga melindungi merek asing yang masuk ke suatu negara.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

(secondary data), yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, tetapi melalui studi kepustakaan dengan mengkaji dan mempelajari buku, literatur, jurnal, dan data internet. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan terhadap sistematik hukum, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tercatat. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk Pemberlakuan prinsip yang disebut national treatment tersebut dalam bidang hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari komitnen pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional yang telah ditandatangainya. Dan bagian dari keikutsertaan Indonesia dalam berbagai organisasi perdagagan dunia dalam rangka menuju pasar bebas internasional.

Kata Kunci : Hak Merek,Prinsip National Treatment dan Merek Asing

*Mahasiswa departemen Hukum Internasional **Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Era perdagangan bebas yang terbuka antar negara memungkinkan suatu negara dapat dengan mudah melakukan aktifitas transaksi perekonomian melintasi batas negara (world borderless) tidak terkecuali dalam hal perdagangan barang dan jasa dimana produk-produk luar negeri sangat mudah memasuki pasar sebuah negara sehingga akan menimbulkan persaingan dengan produk lokal. Persaingan dagang tersebut apabila tidak dibarengi dengan payung hukum yang memadai disuatu negara maka akan menimbulkan berbagai permasalahan terlebih apabila pihak yang merasa dirugikan memiliki keunggulan dibanding produk lainnya.

Merek dengan demikian juga menjadi salah satu strategi setiap perusahaan yaitu suatu strategi pemasaran berupa pengembangan produk. Suatu perdagangan tidak akan berkembang dengan baik apabila suatu merek tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu Negara.1

1

Citra Citawinda. Sekilas tentang pemalsuan terhadap merek. Artikel dalam www.legalitas.org. Tanggal akses 20 Mei 2013

Khusus terhadap merek-merek terkenal atau merek-merek asing sebagai contoh Nike pastinya telah mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan nilai yang tinggi terhadap produk-produknya sehingga permintaan terhadap produk-produk mereka juga meningkat di seluruh dunia. Tingginya permintaan juga menimbulkan kenyataan


(11)

bahwa merek-merek terkenal tersebut dibajak di berbagai Negara. Tindakan pemalsuan merek atau pembajakan tersebut tentunya akan mengurangi kepercayaan internasional terhadap jaminan keamanan merek yang mereka miliki sehinga pada akhirnya juga mengurangi kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Image merek yang gampang diingat, menarik dan selalu dipromosikan berulang-ulang tentunya akan dapat menghadirkan efek brand minded pada masyarakat. Meskipun kualitas dan harga tetap menjadi pertimbangan utama konsumen dalam membeli, namun suatu merek terkenal dan bonafid juga menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya dalam meraih pangsa pasar dibidang perdagangan dan jasa. Asal negara pemilik merek ternyata juga ikut mempengaruhi minat pembelian produk karena masyarakat Indonesia umumnya menganggap merek asing memiliki citra produk yang baik disamping juga karena faktor gengsi dan gaya hidup.

Pada awalnya merek hanyalah sebuah tanda agar konsumen dapat membedakan produk yang satu dengan yang lainnya. Merek membuat konsumen lebih mudah mengingat sesuatu yang dibutuhkan, dan dengan cepat dapat menentukan apa yang akan dibelinya. Dalam perkembangannya peran merek berubah. Merek bukan sekedar tanda, melainkan gaya hidup.2

2

www.google.com/merek_sebagai_tanda_pembeda. Tanggal akses 1 Mei 2013

Dalam kamus bahasa Indonesia Merek diartikan sebagai tanda yang dikenalkan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang barang yang dihasilkan sebagai


(12)

tanda pengenal atau cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.

Menurut David A. Aaker, merek adalah nama atau simbol yang bersifat membedakan (baik berupa logo,cap dan kemasan) untuk mengidentifikasikan barang dan jasa dari seorang penjual/ kelompok penjual tertentu. Tanda pembeda yang digunakan suatu badan usaha sebagai penanda identitasnya dan produk barang atau jasa yang dihasilkannya kepada konsumen, dan untuk membedakan usaha tersebut maupun barang atau jasa yang dihasilkannya dari badan usaha lain.3

3

http://id.wikipedia.org/wiki/Merek.Tanggal akses 1 Mei 2013

Merek merupakan suatu identitas bagi sebuah produk yang dihasilkan oleh produsen yang merupakan bagian aset dari perusahaan. Bisa dikatakan identitas ini mempunyai pengertian pada kualitas produksi suatu barang, artinya barang tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Hal inilah yang memerlukan perlindungan hukum. Apabila terjadi pembajakan merek tetapi kualitas barang berlainan akan mengganggu stabilitas dan jaminan konsumen terhadap barang tersebut. Merek juga merupakan garansi atas jaminan kepemilikan pribadi atas sebuah produk dagang, yang apabila produk dagang tersebut mempunyai kesamaan dengan produk dagang milik orang lain, maka negara dalam hal ini Kantor Merek sebagai wakilnya berkewajiban untuk menolak merek yang dimintakan pendaftarannya tersebut.


(13)

Banyak alasan mengapa banyak industri atau pelaku memanfaatkan merek merek terkenal untuk memasarkan produk-produknya, salah satunya adalah agar mudah dijual, selain itu produsen merek tersebut juga tidak perlu bersusah payah mengurus nomor pendaftaran kepada Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membangun citra produknya (brand image) melalui iklan dan pemasaran. Produsen juga tidak perlu membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date, karena mereka tinggal menjiplak produk lain dan memasarkannya.

Persaingan dagang dan industri yang tajam menuntut berbagai pihak untuk mengerahkan segala sumber daya yang ada dalam mengelola perusahaan dan omzet pendapatannya dalam hal memupuk laba, namun pada praktiknya tidak jarang dijumpai perbuatan melawan hukum khususnya berkenaan dengan merek sebagai usaha persaingan yang tidak sehat dengan cara yang tidak jujur dengan tujuan demi keuntungan pribadinya.

Adapun secara garis besar, praktek-praktek perdagangan yang tidak jujur dalam hal pelanggaran merek tersebut meliputi sebagai berikut:

1. Praktek peniruan merek dagang

Pengusaha yang beritikad tidak baik tersebut pada cara ini akan berupaya menggunakan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang dan jasa yang diproduksinya pada pokoknya memiliki persamaan dengan merek yang sudah terkenal atau akan menimbulkan kesan seolah-olah berasal dari produksi yang sama;


(14)

2. Praktek Pemalsuan merek dagang

Modus daripada praktik ini ialah dengan memproduksi barang-barang atau jasa dengan menggunakan merek terkenal yang sudah ada namun tidak menjadi haknya. Praktek seperti ini disebut juga pembajakan dimana barang tersebut akan bermerek terkenal namun dengan kualitas yang tidak memadai;

3. Praktek perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul merek

Modus ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu Negara yang dapat menjadi kekuatan untuk memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dapat dianggap sebagai asal usul barang tersebut dengasn tujuan untuk mengelabui konsumen. Sebagai contoh sejak dulu di Cina terkenal sebagai tempat asal barang-barang antik yang pecah belah seperti teko, giok, guci dan sebagainya. Keadaan ini membuat pihak-pihak lain yang membuat barang serupa akan menulis Made in China pada produk tersebut.

Keadaan persaingan yang tidak sehat seperti ini tentunya akan merugikan banyak pihak diantaranya pemilik merek karena omzet perusahaannya menurun, konsumen yang dirugikan karena salah membeli serta pihak pemerintah dalam hal menciptakan iklim usaha yang sehat serta keuntungan pajak yang ada. Oleh karena itu Negara memiliki tanggung jawab untuk melakukan perlindungan atas penerapan hak merek tersebut.4

4


(15)

Globalisasi yang diikuti dengan pasar bebas telah mengakibatkan kompetisi semakin ketat, dan ratusan produk yang berada dalam satu kategori saling berebut memuaskan kebutuhan konsumen. Konsumen berada dalam posisi yang sangat kuat karena tersedianya banyak alternatif untuk suatu kebutuhan, sekaligus bingung karena banyaknya pilihan. Apalagi masing-masing membanjiri konsumen dengan iklan dan bentuk komunikasi pemasaran lainnya, disertai klaim dan janji. Semakin jelaslah betapa pentingnya peran sebuah merek.

Era pembangunan global yang juga ditandai dengan pembangunan di bidang perekonomian, diperlukan berbagai adanya peraturan atau regulasi-regulasi untuk mendukung kegiatan ekonomi baik itu industri, jasa, maupun perdagangan5

Hak kekayaan intelektual atau yang dikenal dengan singkatan HaKI berasal dari kepustakaan hukum anglo saxon yang merupakan terjemahan dari

Intellectual Property Rights. HaKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam

. Dalam kegiatan industri khususnya industri perdagangan, peranan merek menjadi sangat penting dalam hal menjaga persaingan usaha sekaligus menumbuhkan kegiatan usaha itu sendiri. Hal ini disebabkan merek merupakan suatu image produk barang atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Semakin mudah dan diingatnya merek tersebut pada masyarakat, maka omzet penjualan suatu perusahaan tentunya akan semakin meningkat.

5

Http:www.google.com/mer itra Citawinda. Sekilas tentang pemalsuan terhadap merek. Artikel dalam www.legalitas.org. Tanggal akses 20 Januari 2010ek sebagai hak kekayaan intelektual. Tanggal akses 18 Juli 2013


(16)

menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut bisa di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Secara singkat HaKI adalah hak milik yang timbul dari karya, karsa, dan cipta manusia, jadi esensi dari HaKI adalah ciptaan atau

creation.

Peristilahan hak kekayaan intelektual setidaknya memiliki tiga kata kunci yaitu hak, kekayaan dan intelektual. Istilah hak memiliki pengertian benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang ataupun wewenang menurut hukum. Kekayaan berarti harta yang menjadi milik seseorang sedangkan intelektual berarti cerdas, berakal berdasarkan ilmu pengetahuan sehingga HaKI didefenisikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelek manusia (penciptanya).6

Dalam menghasilkan suatu hasil karya, manusia telah mengeluarkan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual sangat diperlukan. Karena dalam setiap karya, terdapat hak yang dapat dinikmati, khususnya hak ekonomi. Terjaminnya perlindungan hukum bagi suatu hasil karya, akan menumbuh kembangkan semangat dan kreatifitas untuk berkarya dan mencipta.7

Hak atas merek maupun merek itu sendiri dapat digolongkan sebagai suatu benda/ hak kebendaan. Hukum Perdata mengenai benda mengenal berbagai

6

Amstrong. Historis dan Perkembangan HaKI di Indonesia. Artikel dalam

www.amstrongsembiring.com.Tanggal akses 22 Januari 2010

7 M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya di


(17)

macam penggolongan benda. Salah satunya adalah benda berwujud (materiil) dan benda tidak berwujud (immateri). HaKI sendiri dapat digolongkan ke dalam benda tidak berwujud. Abdul Kadir Muhammad juga mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan barang (tangible goods) adalah benda materiil yang ada wujudnya karena dapat dilihat dan diraba, misalnya kendaraan; sedangkan yang dimaksud dengan hak (intangible goods) adalah benda imateril yang tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya HaKI.8

Pernyataan Abdul Kadir di atas, sesuai dengan rumusan Pasal 499 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : ”Barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik”. Selanjutnya menurut Mahadi, ketentuan Pasal 499 KUH Perdata mengenai hek benda ialah untuk benda yang tergolong kepada benda materil (stoffelijk voorwrep). Hak atas benda tersebut yang disebut dengan benda immateril.9 Adapun klasifikasi benda tersebut terdapat dalam Pasal 503 KUH Perdata10

Hal lain yang juga menjadikan hukum HaKI dalam hal ini merek termasuk dalam aspek hukum privat/perdata adalah dari segi pemberian lisensi dengan tujuan agar tidak melanggar hak atau kuasa dari si pemilik hak kekayaan intelektual, pelaksanaan pemberian lisensi harus didahului dengan adanya perjanjian lisensi antara pemohon lisensi dan pemberi lisensi yakni si pemilik hak. Makna dari lisensi itu sendiri adalah suatu bentuk pemberian izin oleh pemilik

.

8

Ibid,. 9

OK Saidin, Aspek hukum hak kekayaan intelektual, Jakarta, Rajawali Press. 2004. Hal 12

10


(18)

lisensi kepada penerima lisensi kepada penerima lisensi untuk memanfaatkan atau menggunakan (bukan mengalihkan hak) suatu kekayaan intelektual yang dipunyai pemilik lisensi berdasarkan syarat-syarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti.

Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan dan peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Atas Kekayan Intelektual berdasarkan prinsip :

1) Prinsip keadilan (the principle of natural justice) Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang disebut dengan hak. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai title ,yaitu sebuah peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual, maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya itu, adalah penciptaan yang mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan inipun tidak terbatas di dalam negeri si penemu itu sendiri, tetapi juga dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya. Hal itu karena hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission)


(19)

2) Prinsip ekonomi (the economic argument) Hak Atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu 1 (satu) keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya, seseorang akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk royalty dan technical fee.

3) Prinsip kebudayaan (the cultural argument) dimana bahwa karya manusia itu pada HaKIkatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, selanjutnya dari karya itu pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan, perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, dan cipta manusia yang dibakukan dalam sistem Hak Milik Intelektual adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membengkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

4) Prinsip sosial (the social argument) dimana hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari


(20)

manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, yang sama-sama terikat dalam 1 (satu) ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian, hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan atau kesatuan itu saja, tetapi pemberian hak kepada perseorangan persekutuan/kesatuan itu diberikan, dan diakui oleh hukum, oleh karena dengan diberikannya hak tersebut kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu, kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi.

Perlindungan hukum terhadap merek diberikan melalui proses pendaftaran. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menerapkan sistem konstitutif. Artinya, hak atas merek diperoleh karena proses pendaftaran, yaitu pendaftar merek pertama yang berhak atas merek. Perlindungan hukum berdasarkan sistem first to file principle tersebut diberikan kepada pemegang hak merek terdaftar yang “beritikad baik” dengan bersifat preventif maupun represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan melalui pendaftaran merek, dan perlindungan hukum represif diberikan jika terjadi pelanggaran merek melalui gugatan perdata maupun tuntutan pidana dengan mengurangi kemungkinan penyelesaian alternatif diluar pengadilan.11

11

Prasetyo Hadi. Problematika perlindungan hukum merek di Indonesia artikel dalam

www.google.com/hadi_problematikamerek. Tanggal akses 22 Juni 2013..

Hak untuk menuntut tersebut dijamin dalam Pasal 76 ayat (1) UU Merek memberikan hak kepada pemilik merek terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak


(21)

menggunakan merek barang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan untuk barang atau jasa sejenis berupa:

1) Gugatan ganti rugi, dan/atau

2) Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut

Secara ekonomis memanfaatkan merek terkenal memang mendatangkan keuntungan yang cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal tersebut, selain itu juga didukung oleh daya beli konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi. Namun jika dilihat dari sisi hukum hal itu sebenarnya tidak dapat ditolelir lagi karena Negara Indonesia sudah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO (Word Trade Organization.).

Untuk menghindari praktek-praktek yang tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang merek serta konsumen maka Negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum merek dan selalu disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.


(22)

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang diwujudkan melalui serangkaian kegiatan regulasi perundang-undangan merupakan langkah maju bagi Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 akan memasuki era pasar bebas. Salah salah satu implementasi era pasar bebas ialah negara dan masyarakat Indonesia akan menjadi pasar yang terbuka bagi produk ataupun karya orang/perusahaan luar negeri (asing), demikian pula masyarakat Indonesia dapat menjual produk/karya ciptaannya ke luar negeri secara bebas. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah produk-produk ataupun karya-karya lainnya yang merupakan HaKI dan sudah beredar dalam pasar global diperlukan perlindungan hukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran yang tidak sesuai dengan persetujuan TRIPs serta konvensi-konvensi yang telah disepakati.

Sejarah merek12

12

www.google.com/analisa uu merek no 15 Tahun 2002. Tanggal akses 25 Mei 2013. di dunia dengan pemberian tanda pada barang sebagai merek bukanlah fenomena baru. Zaman prasejarah dan setelah sejarah ditulis telah membuktikan hal ini. Para pemburu pada zaman itu telah memberi tanda atau ukir-ukiran pada senjata buruan mereka sebagai bukti kepemilikan. Pembuat tembikar pada masa Yunani dan Romawi kuno telah memberi identitas dengan memberi tanda pada dasar pot ketika masih basah, yang akan menimbulkan relief ketika kering. Hal lain lagi adalah menuliskan nama diri pada beberapa barang, seperti pada pahatan batu yang dimaksudkan sebagai identifikasi pembuatnya. Pada abad pertengahan kemudian dimulaialah penggunaan tanda-tanda seperti cap pada hewan ternak. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan tanda sekaligus upaya perlindungan terhadap kualitas barang ataupun hewan yang dimilikinya.


(23)

Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak merek yang juga berdasarkan kesepakatan internasional adalah tuntutan akan pemberlakuan prinsip national treatment di masing-masing negara. Prinsip national tretament merupaka suatu prinsip yang menuntut adanya kesetaraan perlakuan dan perlindungan antara produk negara yang satu dengan lainnya dalam lingkup perdagangan barang dan jasa. Dengan demikian setiap negara wajib memberikan kesempatan yang sama dan menghindarkan proteksi berlebihan terhadap produk lokal yang dimilikinya.

Melalui ketentuan prinsip ini batas-batas Negara tidak lagi menjadi halangan bagi lalu lintas perdagangan karena barang dan jasa akan bebas diperjual belikan di mana saja, keseluruhan negara anggota telah bersatu menjadi satu pasar bebas dan terbuka. Di sisi lain politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif mengisyaratkan Indonesia untuk berperan serta secara aktif mewujudkan iklim kondusif bagi persaingan bebas dalam perekonomian global dan mengambil manfaat dari kebijakan-kebijakan non diskriminasi tersebut bagi kepentingan nasional.13

Selain pertimbangan akses pasar dan penurunan tariff, prinsip National Treatment berpotensi untuk mengurangi konflik antar pelaku PMA yaitu Pemerintah Negara tuan tumah, Pemerintah Negara asal dan Penanam modal karena prinsip ini akan memberikan jaminan keamanan terutama bagi penanam modal, sedangkan bagi Negara penerima modal prinsip ini memungkinkan mereka memberlakukan aturan yang sama mengikatnya terhadap Investor asing dan domestik. Sehingga apabila Investor asing melakukan pelanggaran hukum yang

13


(24)

berlaku di Indonesia maka mereka mereka akan dijerat dengan hukum yang berlaku tanpa adanya keistimewaan tertentu.

B. PERMASALAHAN

Dengan Latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka skripsi ini mengambil permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan prinsip national treatment yang diatur dalam hukum internasional?

2. Bagaimanakah pelaksanaan dan bentuk penerapan prinsip national treatment

oleh Negara-Negara di dunia?

3. Bagaimanakah penerapan prinsip national treatment dalam sistem hukum di Indonesia?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan dengan metode ilmiah serta bertujuan untuk mendapatkan data baru. Pengertian dari penelitian itu sendiri adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf


(25)

ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul.14

1. Untuk mengetahui prinsip national treatment yang diatur dalam hukum internasional

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penerapan prinsip national treatment di berbagai negara-negara didunia.

3. Untuk mengetahui penerapan sistem national treatment dalam sistme hukum di Indonesia.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis, adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi dibidang ilmu hukum khusunya hukum bisnis bagi kalangan akademisi maupun praktisi yang ingin mengetahui

lebih jauh mengenai penerapa prinsip national treatment dalam hukum hak kekayaan intelektual dan hukum internasional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan mengenai dinamika bisnis dalam masyarakat dan

14


(26)

penyempurnaan pranata-pranata hukum khusunya mengenai hukum hak cipta berkaitan dengan merek dan prinsip hukum internasional tentang merek

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi bahan masukan bagi aparat penegak hukum dan para praktisi hukum lainnya termasuk konsultan hukum HaKI dan Badan Pengawas HaKI sehingga para pihak yang terlibat menangani masalah HaKI dapat memiliki persepsi yang sama.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Penerapan prinsip

National Treatment dalam hal pelanggaran merek asing menurut hukum internasional ini belum pernah dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Walaupun ada beberapa topik mengenai hukum merek dan pelanggaran merek, namun jelas berbeda dengan penelitian ini. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun. Apabila dikemudian hari ditemukan penelitian yang sama persis yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti akan bertanggungjawab sepenuhnya.


(27)

F. KERANGKA TEORI DAN KONSEPSI

1. Kerangka Teori

Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3), negara Indonesia adalah negara hukum sehingga semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum dalam pengertian semua orang harus dilindungi oleh hukum. Dalam pergaulan masyarakat, terdapat aneka macam hubungan antar anggotanya, yaitu hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan anggota masyarakat untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dengan hubungan antar anggota masyarakat itu, maka diperlukan adanya hukum.

Hukum merupakan seperangkat norma-norma yang menunjukkan apa yang harus dilakukan atau harus dilakukan atau yang harus terjadi, dengan demikian bila dilihat dari proses bekerjanya, maka akan terjadi regenerasi norma-norma hukum. Masyarakat merupakan pasangan yang mutlak yang harus ada dalam kajian hukum, karena tanpa masyarakat hukum tidak akan ada. Masyarakat merupakan tempat dimana hukum tumbuh dan berkembang.

Secara teori dibedakan tiga (3) macam hal berlakunya hukum, yaitu:

a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuan didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatnya, atau apabila berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antar suatu kondisi dan akibatnya.


(28)

b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak dapat diterima oleh warga masyarakat atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat.

c. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi

Hak atas merek adalah suatu hak yang secara ekslusif diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang telah terdaftar untuk menggunakan izin mereknya tersebut atau memberi izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dengan kata lain pemilik hak atas merek berhak untuk menggugat semua pihak apabila tanpa seizinnya memakai merek tersebut demi keuntungan pribadi bahkan berhak meminta putusan pengadilan untuk membatalkan merek tersebut apabila telah didaftarkan.

Adapun kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ilmiah ini adalah teori hukum dari Roscoe Pound yaitu Law as a tool of social engineering dimana regulasi hukum yang dibuat pemerintah bertujuan memberikan sarana rekayasa sosial yang baru. Imajinasi dan karya cipta atas merek menjadi sesuati yang sangat berharga, mempunyai nilai ekonomis dan memiliki sanksi pidana apabila dilanggar hak-haknya.

Pound menyatakan bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).15

15

Roscoe Pound 1992. Pengantar Filsafat Hukum Terjemahan Mohammad Radjab.

Jakarta Bharata. Hal 272.


(29)

hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Keadilan merupakan suatu hal dari penyesuaian-penyesuaian hubungan dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep "kepentingan". Pound mengatakan bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan ditetapkan. Hukum dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.16

Pound juga menyatakan bahwa kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian dari kepentingan-kepentingan itu. Hukum tidak melahirkan kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk berbagai kepentingan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengembangan peradaban. Pound mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan individual atau personal dengan kepentingan publik atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.

16

Sardjono Soekanto 1973. Pengantar Sosiologi Hukum. Edisi Revisi. Jakarta. Bharata.


(30)

Pernyataan Roscoe Pound tentang hukum. Persis sama seperti yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum itu merubah masyarakat.

Dalam perspektif politik hukum, jika menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi dari pemerintah. Pembentukan hukum di Indonesia selalu dipengaruhi oleh suatu kepentingan-kepentingan. Kekuasaan politiklah yang memiliki kepentingan tersebut. Kekuasaan politik tersebut duduk di dalam institusi untuk melakukan legislasi kepentingan. Jadi, kekuasaan politik dapat mempengaruhi hukum. Tapi, pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan check and balances seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan.

Dalam hal perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yaitu merek, pemerintah yang membuat undang-undang merek untuk dijalankan masyarakat lebih kepada suatu rekayasa sosial. Jadi, pada kenyataannya pembentukan hukum di Indonesia menggunakan teori Roscoe Pound (social engineering) yang top down. Ditinjau dari aspek hukum masalah merek menjadi sangat penting, sehubungan dengan persoalan perlu adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek dan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai konsumen atas suatu barang atau jasa yang memakai suatu merek agar tidak terkecoh oleh merek-merek lain, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah penggunaan merek terkenal oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di Indonesia dan kenyataan tersebut benar-benar disadari oleh


(31)

pemerintah, tetapi dalam praktek banyak sekali kendala-kendala. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi historis masyarakat Indonesia yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris, sehingga terbiasa segala sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik bersama, bahkan ada anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek adalah mempunyai fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak positif tetapi pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan masyarakat kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inovatif.

2. Konsepsi

a. Suatu merek bagi produsen barang atau jasa sangat penting, karena berfungsi untuk membedakan antara barang atau jasa satu dengan yang lainnya serta berfungsi sebagai tanda untuk membedakan asal-usul, citra reputasi maupun bonafiditas diantara perusahaan yang satu dengan yang lainnya yang sejenis. Bagi konsumen dengan makin beragamnya barang dan jasa yang berada dipasaran melalui merek dapat diketahui kualitas dan asal-usul dari barang tersebut. Dalam kamus bahasa Indonesia Merek diartikan sebagai tanda yang dikenalkan oleh pengusaha (pabrik, produsen,) pada barang barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal atau cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.Merek adalah tanda atau simbol yang dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.


(32)

b. Merek terkenal dapat diartikan sebagai suatu merek yang telah memenuhi berbagai kriteria diantaranya adalah dasar pengetahuan masyarakat terhadap merek itu, reputasi merek itu diperoleh melalui promosi yang gencar dan luas, pendaftaran merek dilakukan di beberapa negara dan investasi perusahaan itu dinegara- negara lain.

c. Hak atas merek adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

d. Prinsip national treatment adalah prinsip yang melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.17

F. METODOLOGI PENELITIAN

Menurut pendapat koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian adalah Dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods") adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang bersangkutan. Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat

17

Syahmin,Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, (Bandung:PT. Raja Grafindo


(33)

ilmiah, maka harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.18

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh HaKIm melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial process)19

1) Sifat Penelitian .

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur ilmu hukum berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, karya ilmiah, bahan-bahan kuliah maupun putusan pengadilan yang kemudian dianalisis dengan pendekatan yuridis normatif yaitu menemukan hubungan antara peraturan yang satu dengan lainnya.

18

Danang Ari. 2008. Study Tentang Perlindungan Dagang. Surakarta, UMM Hal.9

19

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:Gratifi Press,2006) Hal.118.


(34)

Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan mengenai prinsip national teratment dalam hal pelanggaran merek.

2) Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena penelitian ini mengambil fokus berbagai aturan hukum yang menjadi tema sentral penelitian. Pendekatan perundang-undangan yang dimaksudkan diatas disebut juga pendekatan yuridis normatif atau socio legal research.

Menurut Sunaryati Hartono untuk penelitian dalam rangka penulisan tesis, penggunaan socio legal research disamping metode penelitian akan memberikan bobot lebih pada penelitian yang bersangkutan. Dalam penelitian hukum normatif ini dilakukan penelaahan terhadap peraturan-peraturan yang ada relevansinya dengan merek, selain itu juga penelaahan terhadap keputusan pengadilan dalam penyelesaian perkara merek dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang berlaku in abstracto dan menghubungkannya dengan fakta-fakta yang relevan dalam perkara yang terjadi sehingga dapat menemukan hukum yang terjadi serta sehingga dapat menemukan hukum bagi suatu perkara yang in concreto.


(35)

Pendekatan socio legal research dimaksudkan untuk menjelaskan secara internal dan eksternal permasalahan yang diteliti beserta hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan aspek-aspek hukumnya serta mencoba menjelajahi relitas empirik dalam masyarakat khususnya pada masyarakat yang bergerak di bidang produksi dan perdagangan barang atau jasa dengan menggunakan merek. 3) Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal. Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.

4) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustkaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur,


(36)

tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

5) Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan Pasal-Pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut.data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan pelanggaran merek, perlindungan serta pertanggungjawabannya.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.


(37)

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan tesis ini direncanakan terbagi dalam 5 (Lima) Bab dengan beberapa sub bab tersendiri dalam ruang lingkup sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab awal yang mmeberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis mengenai perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam hal pelanggaran merek terkenal. Pembahasan dalam bab ini terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II : PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM SISTEM HUKUM INTERNASIONAL

Pembahasan bab ini mencakup dan berusaha mencari pengertian mengenai penerapan prinsip national treatment dalam hukum internasional, Bab ini akan memusatkan pembahasan pada penjelasan mengenai konvensi-konvensi internasional khusunya GATT dan WIPO tentang prinsip national treatment.

BAB III : PRINSIP NATIONAL TREATMENT OLEH NEGARA-NEGARA DIDUNIA

Pokok bahasan dalam bab ini akan mencakup penerapan prinsip national treatment dalam hukum intenasional, unsur-unsur dan


(38)

karakteristik penerapan prinsip tersebut dalam pelaksanaannya berdasarkan persetujuan dan konvensi-konvensi internasional

BAB IV: PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Pokok bahasan dalam bab ini membahas mengenai prinsip national treatment yang telah diratifikasi maupun diterapkan dalam sistem hukum Indonesia terutama menyangkut penerapan prinsip tersebut dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan atas pembahasan-pembahasan masalah yang telah diuraikan. Bab ini juga akan menguraikan sumbangsih saran yang dapat diberikan setelah meneliti materi-materi yang akan dibahas.


(39)

BAB II

PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM SISTEM

HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian TRIPs

Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) adalah sebuah perjanjian yang diprakarsai oleh WTO (World Trade Organization). Berbeda dengan kebanyakan perjanjian mengenai hak kekayaan intelektual yang tidak diprakasai oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) sebagai badan hak kekayaan intelektual dunia. Inti dari TRIPs ini adalah upaya penyatuan Hak-Hak Kekayaan Intelektual yang ada dalamkedalam ketentuan GATT atau hak dan kewajiban negara WTO. Tujuan dan sasaran dari perjanjian ini yang disebut pada Pasal 7 terdapat pada mukamidah dan sasaran objektif yaitu:20

Sistem HaKI menjadi cukup signifikan karena keterkaitannya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang ikut meratifikasi TRIPs secara moral mematuhi isi daripada perjanjian TRIPs ini, hal ini dikarenakan TRIPs memang dianggap sebagai alat untuk dapat meregulasikan perdagangan dan mencegah terjadinya pelanggaan hak kekayaan intelektual yang marak terjadi

20

Professor Phillip Griffith, Disampaikan dalam Kuliah Umum“ Sources and Main Principles of International Intellectual Property Rights ” dan Seminar Internasional, Pada tanggal 10-11 Desember 2012.Universitas Padjadjaran, Bandung


(40)

dimasa globalisasi ini.Adapun prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam TRIPs adalah sebagai berikut:

a. Standar Minimum

TRIPs hanya memuat ketentuan minimum yang wajib diikuti oleh para negaraanggota, sehingga negara anggota tersebut dapat menerapkan ketentuan yang lebihluas lagi asalakan sesuai dengan ketentuan TRIPs dan prinsip hukum Internasional.

b. National Treatment

Pada pemberian perlakuan dalam kaitan perlindungan kekayaan intelektual haruslahsama, baik diberikan kepada warga sendiri ataupun warga negara lain

c. Most-Favoured-Nation Treatment

Most-Favoured-Nation Treatment adalah istilah untuk perlakuan sebuah Negara terhadap negara tertentu yang dianggap melebihkan hak-haknya dari negara lain,perlakuan seperti ini dilarang oleh TRIPs. National Treatment

mewajibkan setiap negara untuk memperlakukan setiap pendaftar hak kekayaan intelektual dari Negara manapun sama seperti bagaimana Negara tersebut akan memperlakukannya pada warga negaranya.21

d. Teritorialitas

Sistem hak kekayaan intelektual bernaung dalam yuridiksi masing-masing negaradalam titik tolak pelaksanaanya.

21

Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO, cetakan


(41)

e. Alih Teknologi

Dengan Hak kekayaan Intelektual diharapkan terjadi alih teknologi dengan tujan untuk pengembangan inovasi tekonolgi serta peyemaian teknologi untuk kepentingan bersama. TRIPs mengaharuskan negara-negara anggota untuk mematuhi ketentuan dalam Art. 1 sampai dengan 12, serta 19 dari Paris Convention. Yang berisi mengenai : Paten, Utility Models, Merek, Desain Industri, Persaingan Curang, Instansi Hak Kekayaan Intelektual, Persetujuan-persetujuan Khusus.

Pentingnya pengelolaan hak kekayaan intelektual pasca Konvensi Paris dan Konvensi Berne, serta dilanjutkan dengan berdirinya WIPO, mekanisme yang lebih kompleks kemudian kembali digagas oleh negara-negara maju yang diprakarsai oleh Amerika Serikat. Pembentukan TRIPs sebagai instrumen hukum pengelolaan hak kekayaan intelektual dunia sebenarnya tidak lepas pelaksanaan

Uruguay Round tahun 1990. Kanada sebagai salah satu anggota General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) secara formal mengusulkan pembentukan suatu badan perdagangan internasional. Usul ini ditanggapi positif oleh anggota GATT.22

Hak kekayaan intelektual yang semakin disadari negara-negara didunia sebagai faktor penting dalam perdagangan internasional, maka dalam kerangka sistem perdagangan multilateral, kesepakat-an mengenai HaKI (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) dinegosiasi-kan

22

Huala Adolf, 2005 Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Edisi revisi ke-4,


(42)

untuk pertama kalinya dalam pe-rundingan WTO, yaitu Uruguay Round pada tahun 1986-1994. Uruguay Round berhasil membuahkan kesepakatan TRIPs Agreement sebagai suatu jalan untuk mempersempit perbedaan yang ada atas perlindungan HaKI di dunia dan menaunginya dalam sebuah peraturan internasional. TRIPs Agreement menetapkan tingkat minimum atas perlindungan HaKI yang dapat dijaminkan terhadap seluruh anggota WTO. Hal yang penting adalah ketika terjadi perselisihan perdagangan yang terkait dengan HaKI, maka sistem penyelesaian persengketaan WTO telah tersedia.

Berdirinya WTO membawa perubahan yang siginifikan dalam sistem perdagangan dunia. Ada empat lampiran utama persetujuan pembentukan WTO. Salah satunya adalah persetujuan TRIPs. TRIPs ini adalah prakarsa Amerika Serikat yang juga didukung oleh Uni Eropa, Jepang dan negara maju. Persetujuan diberlakukannya TRIPs tidak lain karena keprihatianan Amerika Serikat atas perlindungan dan penegakan hak kekayaan intelektual selama perundingan Putaran Uruguay. Dari perspektif Amerika Serikat, perjanjian TRIPs adalah prestasi besar. Sebelumnya, perdebatan panjang mengenai implementasi TRIPs terjadi dengan melibatkan kepentingan negara maju dan negara berkembang.23

1. Penerapan prinsip-prinsip dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual

Kesepakatan TRIPs ini meliputi 5 (lima) hal, yaitu:

2. Perlindungan yang layak atas hak kekayaan intelektual

23

Agus Sardjono Pembangunan Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia: Antara Kebutuhan dan Kenyataan, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Keperdataan Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 27 Februari 2008), hal 6.


(43)

3. Bagaimana negara-negara harus menegakkan hak kekayaan inte-lektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri

4. Penyelesaian perselisihan atas hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO

5. Kesepakatan atas transisi khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan

Perjanjian TRIPs yang berlaku sejak 1 Januari 1995 ini merupakan perjanjian multilateral yang paling komprehensif mengenai HaKI. TRIPs merupakan perjanjian dengan standar minimum yang memungkinkan negara anggota WTO untuk menyediakan perlindungan yang lebih luas terhadap HaKI. Negara-negara Anggota dibebaskan untuk menentukan metode yang paling memungkinkan untuk menjalankan ketetapan TRIPs kedalam suatu sistem legal di negaranya.

Perjanjian ini mengakui adanya praktik-praktik Negara yang berbeda dalam memberikan standard perlindungan dan pelaksanaan hak milik intelektual, kurangnya prinsip-prinsip multilateral, ketentuan-ketentuan serta aturan-aturan mengenai perdagangan barang tiruan. Adanya perbedaan praktik ini telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan ekonomi internasional. Ketentuan perjanjian mengenai bidang ini diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya ketegangan tersebut. Untuk itu perjanjian Uruguay menetapkan penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian hak milik yang relevan perjanjian mengenai pelaksanaan atau penegakan hak-hak tersebut, penyelesaian sengketa multilateral dan peraturan peralihannya.


(44)

Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam tiga bagian. Bagian pertama menetapkan ketentuan umum dan prinsip dasarnya. Ketentuan dan prinsip tersebut berupa komitmen perlakuan nasional yang memperlakukan warga negara lain dengan perlakuan yang sama seperti kepada warga negaranya dalam hal perlindungan hak milik intelektual. Ketentuan ini mengandung juga suatu klausul perlakuan yang sama terhadap semua warga negara. Ketentuan demikian merupakan suatu hal yang baru dalam perjanjian hak milik intelektual internasional. Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa perlakukan tersebut harus diberikan secara langsung dan tanpa syarat kepada warga negara asing lain. Bagian kedua mengatur bentuk-bentuk hak milik intelektual. Khusus mengenai hak cipta, para pihak diwajibklan untuk mematuhi isi ketentuan-ketentuan Konvensi Berne Tahun 1971 bagi perlindungan karya-karya literatur seni. Bagian ketiga mengatur kewajiban-kewajiban anggota pemerintah untuk memberikan prosedur-prosedur dan upaya penanggulangan menurut hukum nasionalnya masing-masing.

Tujuanya adalah untuk menjamin agar milik intelektualnya dapt dilaksanakan secara efektif, baik pemegang hak-hak oleh warga asing ataupun juga oleh warga negaranya. Prosedur ini mengizinkan tindakan efektif terhadap pelanggaran hak milik intelektual. Tindakan efektif tersebut harus adil dan jujur, dan tidak berkepanjangan yang menyebabkan keterlambatan atau proses yang berlarut-larut. Dalam perjanjian ini membentuk pula suatu Dewan Perdagangan Hak Milik Intelektual ( Council for Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights ). Badan ini bertugas memonitor pelaksanaan perjanjian dan penataanya


(45)

oleh para pemerintah. Apabila muncul sengketa dalam bidang ini, prosedur penyelesaian sengketanya juga berlangsung menurut prosedur penyelesaian sengketa yang ada dalam GATT.

Jika terjadi sengketa antar anggota mengenai masalah hak kekyaan intelektual ini,maka sengketa itu menjadi subjek prosedur penyelesaian sengketa yang ada di WTO seperti yang tertera pada Pasal 63 dan 64. Peraturan dan tata cara penyelesaian sengketa ini terdapat pada annex 2. Jika persetujuan kedua belah pihak tidak tercapai maka akan ada pemberitahuan untuk meminta persetujuan para pihak sebelum dibentuknya panel untuk diadakan persidangan oleh panel itu agar dibentuk keputusan dari panel tersebut mengenai persengketaan yang tidak selesai itu. Panel tersebut hanya dapat menyelesaikan sengketa diantara para anggotanya sehingga untuk masalah pribadi dari anggota masyarakat atau unsur dari masyarakat negara anggota tersebut maka masalah tersebut harus diangkat menjadimasalah nasional dari negara yang menjadi kewarganegaraan dari para pihak. TRIPs memberikan waktu adaptasi bagi negara yang akan menerima TRIPs.

Sebuah dewan untuk TRIPs dibentuk berdasarkan Pasal 68 yang diberi tugas untuk menyediakan bantuan pada penyelesaian sengketa, mencari informasi dan dalammenyelenggarakan kerja sama. Serta mengembangkan kerja sama dan pertukaran informasimengenai barang palsu atau bajakan juga mengulas pelaksanaan dari persetujuan TRIPs. Hak-hak kekayaan yang dilindungi oleh TRIPs adalah hak cipta dan hak terkaitnya ; merk dagang dan merk usaha, Indikasi geografis (penyebutan) dari asal suatu barang, desain industry, paten


(46)

termasuk perlindungan varietas tanaman, penampakan dan desain dari sirkuit terpadu (integrated circuit ), informasi rahasia termasuk rahasia dagang.24

a. Meningkat perlindungan terhadap HaKI dari produk-produk yang diperdagangkan

Tujuan TRIPs secara umum adalah:

b. Menjamin prosedur pelaksanaan HaKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan

c. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HaKI

d. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajak atas HaKI

Hak Kekayaan Intelektual termasuk dalam bidang hukum yang bersifat netral. Dengan demikian selalu mengalami perubahan lebih cepat dari hukum yang bersifat sensitif, sebab menyangkut aspek perdagangan antar bangsa, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat.25

24

http://www.scribd.com/doc/117349950/TRIPs 25

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), Alumni, Bandung, 2006, hlm. 24.

Maka tidak terhindarkan masuknya unsur hukum asing ke dalam hukum nasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, penggunaan model-model hukum asing tidak menimbulkan kesulitan dalam pengembangan hukum. Secara teknis memang demikian, namun persoalannya terletak pada aspek filosofis, substansi dan budaya hukum yang terkandung dalam hukum asing tersebut, tidak semuanya sesuai


(47)

dengan nilai-nilai filosofis dan sosiologis masyarakat Indonesia, bahkan tidak jarang berbenturan. Hal ini terjadi di Indonesia, dimana dasar filsafat asing masih lebih kuat mempengaruhi pembentukan hukum HaKI daripada filsafat bangsa Indonesia sendiri dan dipengaruhi juga oleh kekuatan-kekuatan yang bekerja melalui pembentuk undang-undang (legislatif).26

B. Prinsip National Treatment Dalam Persetujuan Trips

Keberadaan TRIPs telah menimbulkan perbedaan pendapat tentang baik atau tidaknya HaKI bagi kepentingan Negara-negara berkembang . Sudut pandang Negara-negara Maju, pemerintah Negara-negara maju selalu menyatakan bahwa suatu sistem HaKI yang kuat akan menguntungkan negara-negara berkembang karena dua alasan utama. Pertama, telah dinyatakan sebelumnya bahwa tidak sepantasnya Negara-negara berkembang berharap akan adanya peningkatan penanaman modal asing dan pengalihan teknologi dan Negara-negar maju tanpa adanya hukum HaKI. Bila perusahaan-perusahan asing khawatir terhadap pembajakan dan dan penyebarluasan secara bebas atas HaKI, perusahaan-perusahaan tersebut akan menolak menanamkan modal atau mengalihkan teknologi, atau hanya akan memberikan atau bermutu rendah. Upaya untuk memperoleh teknologi akan semakin mahal jika pihak pemberi teknologi

26

Agus Sardjono, Pembangunan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia: Antara Kebutuhan dan Kenyataan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Keperdataan Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 27 Pebruari 2008, hlm. 50.


(48)

menaikkan biaya lisensinya untuk mengantisipasi kerugian potensial dari hilangnya kekayaan intelektual.

Kedua, Negara-negara maju tersebut mengklaim bahwa dengan meningkatkan perlindungan HaKI, Negara-negara berkembang akan mencapai pembangunan berkelanjutan dari sumber-sumber dalam Negara mereka. Dinyatakan bahwa HaKI akan mendorong para penemu dan pencipta local untuk terus berkarya, dan membuat Negara berkembang tersebut lebih mampu bersaing dalam menghasilkan teknologi dan kreativitas, serta mengurangi kebergantungan kepada Negara-negara maju . Tanpa hukum HaKI yang kuat, para pencipta dan penemu HaKI akan mencari Negara tempat keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh dari hasil ciptaan/temuannya. Para penanam modal juga akan bersedia untuk menanamkan lebih banyak modal di pembangunan dan penelitian domestik karena adanya kemungkinan yang lebih terjamin untuk memperoleh keuntungan ekonomis.

HaKI sebagai hak-hak yang lahir dari kemampuan intelektual manusia secara alamiah dianggap sebagai hak milik individu atau kelompok yang penciptanya dan inventornya. Ciptaan atau invensi tersebut bernilai ekonomi karena berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat diterapkan dalam kegiatan industri dan perdagangan. Adanya nilai ekonomi inilah yang kemudian memunculkan kebutuhan perlindungan hukum terhadap HaKI untuk memaksimalisasi keuntungan bagi pencipta, inventor atau pemegang HaKI dan melarang pihak-pihak lain dalam jangka waktu tertentu memanfaatkan HaKI tersebut secara tanpa izin. Perlindungan hukum juga dimaknai sebagai


(49)

penghargaan yang diberikan Negara kepada pencipta dan inventor atas pengorbanan, keahlian, waktu dan biaya yang sudah dikeluarkan untuk menghasilkan HaKI.

Penegakan HKI dari Persetujuan TRIPs ditemukan di Bagian 3, terdiri dari 5 Bagian Anggaran meliputi Pasal 41-61. Kewajiban umum ditemukan di Pasal 41 direproduksi di bawah ini:

1. Anggota harus menjamin bahwa prosedur penegakan hukum yang ditentukan dalam Bab ini tersedia di dalam hukum nasional sehingga memungkinkan tindakan efektif terhadap setiap tindakan pelanggaran hak kekayaan intelektual berdasarkan Persetujuan ini, termasuk upaya cepat untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan upaya yang dapat membuat jera pelanggaran yang lain. Prosedur dimaksud wajib diterapkan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi hambatan terhadap perdagangan yang sah dan untuk menciptakan perlindungan dari kemungkinan pelanggarannya.

2. Prosedur mengenai penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual harus adil dan merata. Prosedur tersebut tidak boleh berbelit-belit atau mahal, atau berlangsung terlalu lama.

3. Keputusan mengenai pokok suatu perkara sebaiknya harus secara tertulis dan beralasan.

Keputusan wajib diambil dan diberikan kepada para pihak yang bersengketa dalam waktu singkat. Keputusan mengenai pokok suatu perkara hanya dapat diambil berdasarkan pembuktian dimana para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan untuk didengar pendapatnya .


(50)

4. Para pihak dalam suatu perkara unyai kesempatan untuk peninjauan oleh peradilan atas suatu keputusan akhir administratif dan,dengan memperhatikan pertimbangan yuridis ketentuan dalam hukum nasional mengenai pentingnya perkara yang bersangkutan, minimal aspek hukum dari keputusan peradilan awal tentang pokok suatu perkara.

5. Akan tetapi, Anggota tidak wajib untuk memberikan kesempatan bagi pengajuan permohonan peninjauan terhadap keputusan yang ditetapkan atas perbuatan yang telah terbukti di dalam kasus pidana.

6. Telah dipahami bahwa Bagian ini tidak menimbulkan kewajiban apapun untuk menempatkan di suatu tempat sistem peradilan untuk penegakan hak kekayaan intelektual yang berbeda dari bahwa untuk penegakan hukum pada umumnya, juga tidak mempengaruhi kapasitas Anggota untuk menegakkan hukum mereka secara umum. Tidak satupun ketentuan dalam bab ini yang menimbulkan kewajiban berkenaan dengan “distribution of resources” antara penegakan hukum HaKI dan di bidang hukum pada umumnya.

Sistem HaKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HaKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan sistem HaKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HaKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik


(51)

atas bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat dihindarkan atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal untuk keperluan hidup atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.27

C. Perlindungan Hukum Dalam Pelanggaran Merek Asing di Indonesia

Hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud28

27

http://meddyansyah.blogspot.com/2013/04/tugas-2-HaKI-hak-kekayaan-intelektual.html

28

Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.9

Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mempu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak atas Kekayaan Intelektual. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku ke dalam kepustakaan hukum


(52)

Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. HaKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Terdapat 4 jenis utama dari HaKI (hak atas kekayaan intelektual), yaitu :

1. Hak Cipta (Copyright)

Hak cipta adalah hak dari pembuat sebuah ciptaan terhadap ciptaannya dan salinannya. Pembuat sebuah ciptaan memiliki hak penuh terhadap ciptaannya tersebut serta salinan dari ciptaannya tersebut. Hak-hak tersebut misalnya adalah hak-hak untuk membuat salinan dari ciptaannya tersebut, hak untuk membuat produk derivatif, dan hak-hak untuk menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain. Hak cipta berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu.

2. Paten (Patent)

Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.


(53)

3. Merek Dagang (Trademark)

Merek dagang digunakan oleh pebisnis untuk mengidentifikasikan sebuah produk atau layanan. Merek dagang meliputi nama produk atau layanan, beserta logo, simbol, gambar yang menyertai produk atau layanan tersebut.

4. Rahasia Dagang (Trade Secret)

Berbeda dari jenis HaKI lainnya, rahasia dagang tidak dipublikasikan ke publik. Sesuai namanya, rahasia dagang bersifat rahasia. Rahasia dagang dilindungi selama informasi tersebut tidak ‘dibocorkan’ oleh pemilik rahasia dagang.

Dasar hukum mengenai HaKI di Indonesia diatur dengan undang-undang Hak Cipta No.19 tahun 2003, undang-undang Hak Cipta ini melindungi antara lain atas hak cipta program atau piranti lunak computer, buku pedoman penggunaan program atau piranti lunak computer dan buku-buku (sejenis) lainnya. Terhitung sejak 29 Juli 2003, Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perlindungan Hak Cipta, perlindungan ini juga mencakup untuk warga Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat memiliki hak-hak ekonomi yang diperoleh dari undang-undang hak cipta, atau untuk mana suatu badan hukum (yang secara langsung atau tak langsung dikendalikan, atau mayoritas dari saham-sahamnya atau hak kepemilikan lainnya dimiliki).

Sistem hukum hak kekayaan intelektual pada awal perkembangannya kurang dikenal dan kurang mendapat perhatian di Indonesia, sering diabaikan dan


(54)

banyak terjadi pelanggaran di bidang hukum. Hal ini mengingat konsepsi dan sistem hukum HaKI pada dasarnya memang tidak berakar dari budaya hukum dan sistem hukum nasional (asli) Indonesia yang lebih menekankan pada konsep komunal, melainkan sistem hukum HaKI berasal dari dunia Barat, yang cendrung memiliki konsep hukum kepemilikan dengan bersifat individual / individual right.

Konsepkepemilikan yang berlandaskan konsep individual right lebihmenekankan pada pentingnya diberikan perlindungan hukum kepada siapa saja yang telah menghasilkan suatu karya intelektual yangmempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi, dimana karya tersebut orang-orangyang sudah bekerja keras seperti itu dan menghasilkan karyaintelektual yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi sudah sepantasnya diberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hukum secara individual berupa diberikannya Hak Eksklusif atas karya yang dihasilkannya.

Dalam kerangka pembangunan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional, serta dengan diratifikasinya Konvensi tentang Pernbentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan juga untuk menunjang keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Paris (Paris Convention for the Protector of Industrial Property), The Hague Agreement (London Act) concerning the International Deposit of Industrial Designs, Provision of the Treaty on intellectual Property in Respect of Integrated Circuit (Washington Treaty), maka Indonesia wajib membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan hak atas kekayaan intelektual, serta wajib mengharmoniskan sistem hukum HaKInya dengan


(55)

standar-standar yang ditetapkan TRIPs Agreement. Bagi negara-negara berkembang ketentuan peralihan dan persiapan pembentukan perundang-undangan di bidang HKI adalah 5 tahun sejak pembentukan WTO di Maroko tahun 1994. Indonesia agar dapat diterima dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab, khususnya dalam pergaulan perdagangan internasional, maka dalam jangka waktu tersebut, Indonesia sudah harus memiliki perangkat hukum HKI secara lengkap, serta dapat mengimplementasikannya dengan baik.

Perlindungan hukum terhadap HaKI pada dasarnya berintikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan ternikmati atau mengeksploitasi sendiri kekayaan tadi. Selama kurun waktu tertentu itu, orang lain hanya dapat menikmati atau menggunakan atua mengeksploitasi hak tersebut atas ijin pemilik hak. Bagi negara berkembang, adanya kewajiban dalam melindungi HaKI merupakan suatu

cost yang harus dipikuli sebagai imbalan untuk mencapai perjanjian yang antara lain memberikan akses kepasar yang lebih luas dan merumuskan aturan main yang lebih jelas sehingga membatasi indakan unilateral yang dapat diambil oleh negara maju.

Bagi negara seperti Indonesia, beban tersebut terutama terpusat pada masalah enforcement atau penerapan kewajiban yang telah disepakati. Karena dari itu semula Indonesia menganggap bahwa periode transisi 5 tahun untuk menerapkan semua mekanisme HaKI terlalu singkat. Namun dilihat dari segi kepentingan jangka panjang bila investasi asing semakin diperlukan dan investor


(56)

asing semakin menghendaki adanya perlindungan HaKI yang efektif, maka cepat atau lambat Indonesia harus turut dengan trend yang ada di dunia.

WTO, diterima Indonesia sebagai aturan pokok pembentukan organisasi perdagangan dunia. WTO adalah merupakan konvensi internasional yang bersifat multilateral dalam tatanan perundang-undangan Indonesia dan telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1994. Selain memuat kesepakatan pemotongan tarif bea cukai dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan, juga memberlakukan aturan main untuk beberapa isu baru yang mempunyai implikasi yuridis bagi negara-negara di dunia khususnya negar-negara lemah seperti isu tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para pencipta dan pemegang izin melalui kegiatan ekonomi, yakni penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses waktu, nspirasi, pemikiran dana dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para pencipta itu harus dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang sangat merugikan para pencipta. Sebaliknya, dalam batas-batas tertentu pada ketentuan undang-undang hak cipta, hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan diambil orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan tanpa perlu takut dikategorikan sebagai pelanggaran hukum terhadap hak cipta.

Standar perlindungan atas HaKI yang diterapkan dalam perjanjian adalah standar perlindungan minimal yang telah tertuang dalam perjanjian yang sudah ada sebelumnya yang dikembangkan pada perjanjian dan konvensi dalam naungan


(57)

World Intellectual Property Organization (WIP0). Perlindungan terhadap hak cipta adalah berdasarkan pada kesepakatan The Beme Convention for the Protection of Literary and Artistic Works tanggal 9 September 1886 di Bern, Swiss. Pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia pada tanggal 1 November 1912 memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi Bern melalui asas konkordansi di Hindia Belanda dengan mengeluarkan suatu Auterswet 1912 berdasarkan UU Hak Cipta Belanda pada tanggal 29 Juni 1911 (Stb Belanda No. 197). Konvensi Bern 1886 terus direvisi dan diamandir oleh negara-negara anggota WIP0. Terakhir direvisi di Paris pada tahun 1971 dan 1989.

Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern akan menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasional di bidang hak cipta. Lima prinsip dasar dianut Konvensi Bern adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip perlakuan nasional (national treatment principle), yakni ciptaan yang berasal dari salah satu peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan pada salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama sebagaimana diperoleh ciptaan peserta warga negara itu sendiri. Kedua, prinsip perlindungan hukum langsung/otomatis (automatic protection principle). Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apa pun

(must not be conditional upon compliance with any formality). Ketiga, prinsip perlindungan independen (independent of protection principle), yakni suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta. Keempat, prinsip minimal jangka


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Merek merupakan salah satu hak kekayaan intelektual (HaKI) yang berupa tanda, gambar atau kombinasi diantaranya yang menjadi ciri pembeda antara suatu produk dengan produk lainnya baik berupa barang atau jasa. Sebagai bagian hak kekayaan intelektual, merek tentunya memiliki hak eklusif kepada pemiliknya untuk dapat melindungi mereknya maupun memanfaatkan hak ekonomis dari penggunaan merek tersebut. Era perdagangan global yang ditandai dengan masuknya arus barang dan jasa baik dari dalam maupun luar negeri tentunya menuntut perlindungan lebih jauh terhadap kepastian dan keamanan perdagangan dan salah satunya perlindungan terhadap merek dagang dari luar.

2. Salah satu bentuk perlindungan dagang yang dilakukan dalam perdaganagn internasional ialah mendasarka pada konvensi-konvensi yang dilakukan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO), Persetujuan TRIPs atau konvensi lainnya. Salah satu bentuk perlindungan yang disepakati tersebut adalah prinsip national treatment. Prinsp national treatment adalah suatu prinsip yang menuntut persamaan perlakuan atau melarang adanya perbedaan perlakuan antara produk lokal dan produk dari luar. Pemberlakuan prinsip


(2)

perdagangan sebebas-bebasnya disuatu negara dan menentang segala bentuk kebijakan protektif, termasuk diantaranya kebijakan pemberlakuan prinsip national teratment kepada merek asing.

3. Pemberlakuan prinsip tersebut disertai dengan prinsip-prinsip lainnya yang tertuang dalam berbagai konvensi internasional juga ikut mengubah sistem hukum di Indonesia terutama menyangkut masalah perdagangan dan hak kekayaan intelektual. Merek asing yang telah didaftarkan dapat dilindungi berdasarkan undang-undang. Selain itu pengkategorian merek tersebut juga mencakup merek terkenal yang lebih dulu didaftarkan. Perlindungan dan pemberlakuan prinsip tersebut merupakan sebagai komitment Indonesia bersama dengan organisasi perdagangan dunia (WTO) maupun persetujuan TRIPs yang telah ditandatangani pemerintah.

B. Saran

1. Perlindungan terhadap merek suatu produk harus lebih disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kultur budaya masyarakat Indonesia sebagian besar masih belum terbiasa terhadap hukum barat tentang hak kekayaan intelektual dan menganggap segala sesuatu kekayaan intelektual tersebut adalah milik bersama.

2. Pemerintah harus lebih aktif meenyiapkan berbagai kebijakan untuk melindungi industri barang dan jasa dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk dari luar/asing karena penerapan prinsip national tretament


(3)

nantinya akan membuka akses seluas-luasnya aka masuknya arus barang dan jasa dari luar

3. Perlindungan terhadap merek asing juga tidak boleh mengabaikan kepentingan nasional dan juga harus adanya kesetaraan dimana pemerintah Indonesia juga harus mampu melindungi merek dari Indonesia dari kemungkinan pelanggaran oleh pihak asing


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Bacaan

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta, Gratifi Press.

Didi Irwandi Syamsudin, Pemalsuan Merek Terkenal dan Dilema Penegakan Hukum, Majalah Eksekutif No. 250, Juli 2000.

Djubaedillah. R, Sejarah, Teori dan Praktek Hak Milik Intelektual di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Fauzan, Achmad. 2004. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual . Bandung. Yrama Widya.

Hartono, Soenaryati, 1988. Hukum Ekonomi Pembangunan, Bina Cipta, Bandung.

Hatta, 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT-WTO, Refika Aditama, Bandung.

H. S. Kartadjoemena,1996 “GATT dan WTO; Sistem Forum dan Lembaga

Internasional di Bidang Perdagangan”,Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia (UI-PRESS),

Munir Fuady, 2004. Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO,


(5)

Mohammad Sood, 2011. Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, Jakarta: Rajawali Pers,

Peng, Kok, Khor, Martin, “Imperialisme Ekonomi Baru”, PT Gramedia pustaka utama- Khonpalindo, Jakarta. 1993.

Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation),

cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010),

Rachmadi Usman, 2003 Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung, Alumni

Rahmi Jened. 2007. Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif. Airlangga University Press; Surabaya

Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO, 2003.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992

.

Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, 1992, Aspek Yuridis dan Cara

Penanggulangan Persaingan Curang, Penataran Dosen

Perdata-Dagang, FH UGM, Yogyakarta

Syahmin, 2006. Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, (Bandung:PT. Raja Grafindo Persada,

Suryana, Agus. 2005. Negara Macan Asia, NAFTA & UNI EROPA. Cetakan Pertama. Jakarta: Harapan Baru Raya.

Siregar, Mahmul, “Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal”,


(6)

Saidin, OK. 2004. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta. Rajawali Press.

Tim Redaksi Tatanusa. 2005. Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga Dalam Perkara Merek. Jakarta. PT Tatanusa

B. Internet

Podium, 2013, Mobil Timor, http://www.podiuminteraktif.com/berita-1870-partai-nasrep-dan-mobil-timor.html

Manurung, Martin, “Investasi Asing antara Mitos dan Realita”,

dalam

http://dwimaret.blogspot.com/2012/12/prinsip-national-treatment-dalam.html Armasyah Effendy, 2012, Hukum Dagang Internasional: Sengketa Mobil Timor “WTO” http://armansyaheffendy.wordpress.com/category/cakrawala-hati/ilmu-hukum

Http://www.cbcindonesia.com/merek Tanggal akses 16 Juli 2013

Http:www.google.com/mer itra Citawinda. Sekilas tentang pemalsuan terhadap merek. Artikel dalam www.legalitas.org. Tanggal akses 20 Januari 2010ek sebagai hak kekayaan intelektual. Tanggal akses 18 Juli 2013