Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek Sebagai Kejahatan Di Bidang Ekonomi

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI

PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN

DI BIDANG EKONOMI

TESIS

OLEH

BUDIMAN BOSTANG PANJAITAN

097005106/HK

[

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI

PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN

DI BIDANG EKONOMI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

BUDIMAN BOSTANG PANJAITAN

097005106/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN DI BIDANG EKONOMI

Nama Mahasiswa : Budiman Bostang Panjaitan Nomor Pokok : 097005106

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a

)

(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) (

A n g g o t a A n g g o t a

Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM)

Ketua Program Studi, Dekan Fakultas Hukum,

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 03 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH,M.Hum


(5)

ABSTRAK

Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Kebijakan atau Politik Pidana merupakan upaya untuk melakukan pencegahan dan juga penanggulangan kejahatan sekaligus dengan menggunakan upaya penal. Sehingga secara utuh tahapan politik pidana terdiri atas formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan HAKI khususnya merek belum meresahkan masyarakat. Namun demikian, kejahatan HAKI dirasakan dapat menimbulkan kerugian, bukan saja bagi pemegang haknya tetapi juga akan merugikan perekonomian nasional dan citra Indonesia di forum internasional terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Oleh karena itu, berbagai upaya penanggulangan atau perlindungannya mutlak untuk secara terus menerus dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan baik secara preventif maupun secara represif.

Disarankan agar melakukan revisi terhadap Undang-Undang Merek karena masih terdapat kekurangan-kekurangan khususnya dalam pemberian perlindungan hukum. Disarankan juga agar Pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dan disarankan untuk memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera terhadap pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan menggunakan delik biasa terhadap pelanggar hak merek khususnya.

Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pelanggaran Hak Merek, Kejahatan


(6)

ABSTRACT

Violation of trademark can be regarded as a criminal act. This criminal act determination is a criminal policy which, according to Sudarto, is a rational attempt made the community to cope with a crime. This criminal policy includes the policy of criminal law which also called a policy to cope with a crime with criminal law, because in addition to criminal law, to cope with crime can also be done by non-criminal law facilities. The function of non-criminal law as social control is used to cope with the crimes in the forms of violation of Intellectual Property Right. This means that the norms in the field of Intellectual Property Right are enforced by criminal law with negative sanction especially in coping with the violation of trademark as a crime in the field of economy.

This is a normative legal study with secondary data obtained through library and field researches. The secondary data obtained were analyzed through qualitative analysis method.

Criminal policy or politics is an attempt to prevent and cope with crime through a penal effort. Therefore, as a whole, the stages of criminal politics consists of formulation (legislative policy), application (judicative policy), and execution (executive/administrative policy). In general, it can be said that the crime of Intellectual Property Right, especially trademark, is not yet disturbing the public. However, the Intellectual Property Right is perceived to inflict loss not only to the right holder but also national economy and the image of Indonesia in international forum especially in facing the era of free trade. Therefore, various attempts of prevention and protection absolutely need to be continuously done. The attempt can be either preventively or repressively done.

The Law on Trademark is suggested to be revised because there are still many limitations especially the one related to the provision of legal protection. The government is also suggested to socialize the importance of this Intellectual Property Right to the public and to impose a definite sentence with deterrent effect to those who violates the Intellectual Property Right using the charges usually alleged to the trademark violators in particular.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur tak terkira kepada Tuhan yang Maha Esa, atas segala Berkat dan RahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini tanpa ada hambatan yang berarti.

Tesis ini ditulis untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Medan. Judul tesis ini adalah ”KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

MENANGGULANGI PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN DI BIDANG EKONOMI”

Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara sekaligus sebagai Pembimbing yang dengan kesibukan beliau masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, dan mendorong semangat Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini;

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H., sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum. dan Syafruddin S.Hasibuan, SH, MH,

DFM selaku komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis;


(8)

5. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Komisi Penguji.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

• Orangtua H.N.Panjaitan yang selalu berdoa setiap saat buat Penulis dan juga

kepada mertua, istri, anak-anak, dan juga keluarga besar.

• KASAT BRIMOB POLDA METRO JAYA: KBP DRS.IMAM MARGONO, dan

juga kepada KAPOLRES ASAHAN: AKBP DRS.MARZUKI,MM, yang selalu memberikan motivasi, semangat, dorongan serta doa sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

• Rekan-rekan Mahasiswa Kelas Hukum Ekonomi Angkatan ke-XV Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Penulis ucapkan terima kasih atas kerjasama, serta pengalamannya selama menempuh kuliah S2 di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

• Seluruh staff di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhir kata Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkannya dan Penulis menyampaikan permintaan maaf jika di dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan penulisan tesis ini.

Medan, Januari 2012 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : BUDIMAN BOSTANG PANJAITAN, SH, SIK

Tempat/Tgl. Lahir : Pekanbaru/ 18 April 1976

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Aspol Res Asahan - Kisaran

Email

Pendidikan :

• SDN SEI PETANI MEDAN (1982-1988)

• SMPN I MEDAN (1988-1991)

• SMAN I MEDAN (1991-1994)

• AKPOL SEMARANG (1995-1998)

• FAKULTAS HUKUM USU MEDAN (2001-2003)

• PTIK JAKARTA (2004-2005)

• PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka Teori ... 17

2. Konsepsi ... 27

G. Metode Penelitian ... 29


(11)

2. Sumber Data Penelitian ... 30

3. Teknik Pengumpulan Data ... 31

4. Analisis Data ... 32

BAB II KEBIJAKAN PIDANA (PENAL POLICY) DI INDONESIA MENGENAI TINDAK PIDANA MEREK ... 34

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Ekonomi ... 34

1. Kejahatan Ekonomi ... 34

2. Tindak Pidana Ekonomi ... 36

3. Bentuk-Bentuk Kejahatan Ekonomi ... 38

B. Tinjauan Umum Tentang Merek ... 39

1. Pengertian Merek ... 41

2. Unsur-Unsur Merek ... 44

3. Ruang Lingkup Merek ... 49

C. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Kejahatan di Bidang Merek ... 49

1. Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Tindak Pidana Ekonomi ... 49

2. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Kejahatan di Bidang Merek ... 53

3. Fungsionalisasi Hukum Pidana ... 66

BAB III PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN MEREK DI INDONESIA ... 72


(12)

A. Pengaturan Perundang-undangan Mengenai Merek ... 72

1. Pengaturan Perundang-undangan Mengenai Merek Dalam Berbagai Konvensi Internasional ... 72

2. Pengaturan Perundang-undangan Mengenai Merek di Indonesia ... 82

B. Politik Pidana Undang-Undang Merek di Indonesia ... 98

1. Penyidikan ... 100

2. Batas Minimum Batas Maksimum ... 103

3. Jenis Delik ... 104

4. Kualifikasi Delik ... 106

5. Pertanggungjawaban Pidana ... 106

C. Pelanggaran Hukum Terhadadap Merek ... 107

1. Persaingan Curang (Unafair Competition) ... 109

2. Itikad Baik (Good Will) ... 111

3. Penyesatan (Misleading) ... 112

BAB IV PERKEMBANGAN PENERAPAN KEBIJAKAN PENANGANAN KEJAHATAN MEREK ... 113

A. Penegakan Hukum Atas Merek Dalam Persetujuan TRIPs ... 113

B. Pemberdayaan Peran Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Perlindungan Hukum di Bidang Merek ... 119

C. Upaya-Upaya Perlindungan Hak Atas Merek ... 133

1. Penanganan Melalui Tahap Administrasi Oleh Kantor Merek ... 134

2. Penanganan Melalui Hukum Perdata ... 136


(13)

4. Kebijakan Pemerintah Dalam Penegakan Hukum di Bidang

Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 141

D. Analisis Kasus Merek ”Lukisan Pohon Kecil-Little Trees” ... 142

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 147

A. Kesimpulan ... 147

B. Saran ... 149


(14)

DAFTAR SINGKATAN

CJS Criminal Justice System

GATT The General Agreement on Tarif and Trade

GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara

HAKI Hak Atas Kekayaan Intelektual

IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

JUKLAK Petunjuk Pelaksanaan

JUKNIS Petunjuk Teknis

KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

MvT Memorie van Toelichting

PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil


(15)

TRIPs Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods

UUD 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

WTO World Trade Organization


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penanganan Perkara Pelanggaran Merek ... 127 (1 April-24 September 2011)

Tabel 2 Data Kasus HAKI Yang Ditangani Kepolisian ... 132 (Tahun 2007-Tahun 2008)

Tabel 3 Data Perkara Pidana di Bidang Merek ... 133 (Tahun 2008-Juni Tahun 2011)


(17)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Tingkat Koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian ... 125


(18)

ABSTRAK

Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Kebijakan atau Politik Pidana merupakan upaya untuk melakukan pencegahan dan juga penanggulangan kejahatan sekaligus dengan menggunakan upaya penal. Sehingga secara utuh tahapan politik pidana terdiri atas formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan HAKI khususnya merek belum meresahkan masyarakat. Namun demikian, kejahatan HAKI dirasakan dapat menimbulkan kerugian, bukan saja bagi pemegang haknya tetapi juga akan merugikan perekonomian nasional dan citra Indonesia di forum internasional terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Oleh karena itu, berbagai upaya penanggulangan atau perlindungannya mutlak untuk secara terus menerus dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan baik secara preventif maupun secara represif.

Disarankan agar melakukan revisi terhadap Undang-Undang Merek karena masih terdapat kekurangan-kekurangan khususnya dalam pemberian perlindungan hukum. Disarankan juga agar Pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dan disarankan untuk memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera terhadap pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan menggunakan delik biasa terhadap pelanggar hak merek khususnya.

Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pelanggaran Hak Merek, Kejahatan


(19)

ABSTRACT

Violation of trademark can be regarded as a criminal act. This criminal act determination is a criminal policy which, according to Sudarto, is a rational attempt made the community to cope with a crime. This criminal policy includes the policy of criminal law which also called a policy to cope with a crime with criminal law, because in addition to criminal law, to cope with crime can also be done by non-criminal law facilities. The function of non-criminal law as social control is used to cope with the crimes in the forms of violation of Intellectual Property Right. This means that the norms in the field of Intellectual Property Right are enforced by criminal law with negative sanction especially in coping with the violation of trademark as a crime in the field of economy.

This is a normative legal study with secondary data obtained through library and field researches. The secondary data obtained were analyzed through qualitative analysis method.

Criminal policy or politics is an attempt to prevent and cope with crime through a penal effort. Therefore, as a whole, the stages of criminal politics consists of formulation (legislative policy), application (judicative policy), and execution (executive/administrative policy). In general, it can be said that the crime of Intellectual Property Right, especially trademark, is not yet disturbing the public. However, the Intellectual Property Right is perceived to inflict loss not only to the right holder but also national economy and the image of Indonesia in international forum especially in facing the era of free trade. Therefore, various attempts of prevention and protection absolutely need to be continuously done. The attempt can be either preventively or repressively done.

The Law on Trademark is suggested to be revised because there are still many limitations especially the one related to the provision of legal protection. The government is also suggested to socialize the importance of this Intellectual Property Right to the public and to impose a definite sentence with deterrent effect to those who violates the Intellectual Property Right using the charges usually alleged to the trademark violators in particular.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya. Salah satu bidang yang berdampak luas adalah tindak pidana ekonomi karena berdampak luas bagi upaya pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Berbagai persoalan dalam tindak pidana sebenarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat sarat dengan berbagai terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu negara sebenarnya telah berupaya untuk melakukan tindakan atau kebijakan dalam upaya penanggulangannya, khususnya melalui sarana hukum pidana.1

Selanjutnya pembangunan di bidang hukum harus ditujukan kepada penegakan hukum atau rule of law dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia serta peningkatan harkat dan martabat manusia. Salah satu bidang penegakan hukum adalah bidang penegakan hukum pidana untuk memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang sudah dilanggar dalam suatu tindak pidana, serta untuk

menciptakan rasa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.2

1

Kebijakan Hukum Pidana,

Penegakan hukum pidana seperti juga penegakan hukum pada umumnya harus mencakup tiga komponen seperti yang dikemukakan oleh W Friedmann yakni substansi hukum, struktur hukum

2

Purnadi Purbacaraka dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 1.


(21)

dan budaya hukum.3

Kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi itu sebenarnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Substansi hukum atau materi hukum merupakan cikal bakal dari negara hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pembentukan substansi hukum sangat menentukan dalam pembentukan negara hukum dan pelaksanaan aturan hukum itu sendiri.

4

Oleh sebab itu, berbagai peraturan pidana di bidang ekonomi kemudian dikeluarkan lagi dalam berbagai sektor perekonomian. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah dibuat, namun dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang

selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan tersebut adalah5

1. Terkait dengan fungsi hukum pidana ekonomi sebagai fungsi primer atau sekunder;

:

2. Kebijakan dalam pidana dan pemidanaan;

3. Kebijakan dalam penyidikan dan koordinasi penyidikan; dan

4. Kebijakan dalam upaya pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh

tindak pidana tersebut.

Perkembangan aktivitas perekonomian telah pula melahirkan bentuk kejahatan yang merugikan dan membahayakan kehidupan. Kalau sebelumnya orang

3

Purnadi Purbacaraka dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 1.

4

Ibid.

5

Kebijakan Hukum Pidana,


(22)

tidak mengenal cyber crime, sekarang orang sangat akrab dengan dengan istilah itu dan sudah banyak yang menjadi korban. Kalau dalam dekade delapan puluhan orang tidak begitu risau dengan kejahatan perbankan, pasar modal, lingkungan hidup, dan berbagai kejahatan di bidang perekonomian lainnya, sekarang kejahatan itu sudah sangat merisaukan, bahkan secara kuantitas ataupun kualitas jauh lebih tinggi dari pada kejahatan konvensional.6

Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah ditetapkan, namun diasumsikan dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan pertama adalah kebijakan perundang-undangan dalam mengatur tindak pidana di bidang ekonomi. Lahirnya hukum pidana ekonomi diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-Undang ini lahir untuk mengatasi masalah ekonomi setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Undang-undang ini pada dasarnya hanya

merupakan saduran dari Undang-Unang Pidana Ekonomi di Belanda yakni Wet op de

Economische Delicten.7

Undang-undang ini sebenarnya menjadi wadah hukum pidana di bidang ekonomi dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua

6

John E Conklin, Criminology, Fourth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 29.

7

Kebijakan Hukum Pidana,


(23)

tindak pidana di bidang ekonomi diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische Delicten.8 Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh, karena tindak pidana ekonomi yang lahir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang, sehingga pengaturan tersebar dan tidak tertata dengan cermat. Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana yang diambil tidak konsisten.9

Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kebijakan dalam peraturan di bidang pidana ekonomi dalam kaitannya dengan fungsi hukum pidana. Secara umum hukum pidana dalam sistem hukum mempunyai fungsi sekunder artinya hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir dalam penanggulangan terhadap berbagai permasalahan dalam masyarakat, termasuk dalam kejahatan di bidang ekonomi. Dengan fungsi ini berarti bahwa sepanjang ada upaya lain atau mekanisme lain baik melalui mekanisme keperdataan, mekanisme administratif atau mekanisme lainnya, maka hukum pidana tidak perlu campur tangan. Fungsi ini disebut juga dengan Ultimum Remedium.10

Namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, khususnya yang memuat aturan kepidanaan, tidak begitu jelas dan konsisten apakah fungsi subsider dari hukum pidana ini menjadi kebijakan yang utama dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi. Hal ini dalam penegakan hukum juga menimbulkan konsekuensi yakni tidak begitu jelasnya apakah penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata dalam pelanggaran hukum di bidang ekonomi

8

A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 1.

9

Ibid.

10


(24)

akan menghapuskan hukum pidana. Sehubungan dengan permasalahan ini dalam penegakan hukum sering terjadi kontroversi bilamana aparat hukum terkait menggunakan pendekatan hukum pidana dalam fungsi primer akan menimbulkan kritikan dari sebagaian anggota masyarakat. Sedangkan di pihak lain khususnya pelaku ekonomi menghendaki penyelesaian keperdataan atau administratif lebih baik.11

Kemudian kecenderungan globalisasi membawa dampak bagi kondisi Negara Republik Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan mau tidak mau harus memperhitungkan kecenderungan global tersebut. Dalam hal ini termasuk dalam pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukum internasional dan pandangan-pandangan yang bersifat mendunia perlu memperoleh tempat dalam khasanah pemikiran hukum nasional. Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif tercakup dalam GATT (the General Agreement on Tarif and Trade). GATT sebenarnya merupakan kontrak antar partner dagang untuk tidak memperlakukan secara diskriminatif, dalam perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada kegiatan putaran-putaran, sejak 1947 hingga putaran Uruguay (1986) yang menarik karena berhasilnya dibentuk WTO (World Trade Organization) yang mulai 1 Januari

1995. WTO mencakup pula Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of

Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods) atau Persetujuan Perdagangan berkaitan dengan Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk Perdagangan Barang Palsu,

11

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 165.

dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994), yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2000.


(25)

TRIPs menentukan adanya asas kesesuaian penuh (full compliance) tersebut, yang berarti negara-negara anggota harus membuat hukum nasionalnya mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan persetujuan TRIPs. Indonesia telah membuat dan menyempurnakan ketentuan undang-undang mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada tahun 1997, yaitu12

1. Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;

:

2. Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Paten;

3. Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek.

Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi 5 Konvensi Internasional tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu13

1. Konvensi Paris ( Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997);

:

2. Traktat Kerjasama Paten (Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997);

3. Traktat Merek (Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997);

4. Konvensi Bern (Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997); dan

5. Traktat WIPO Mengenai Hak Cipta (Keputusan Presiden Nomor 19

Tahun 1997).

Dalam memasuki pasar internasional, maka perlindungan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini sebenarnya bagaikan keping mata uang yang memiliki dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan

12

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Hak Kekayaan

Intelektual,

pukul 10.30 WIB.

13


(26)

sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional, khususnya kepercayaan para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampu melindungi bidang Hak Atas

Kekayaan Intelektual. Sebab jika law enforcement di bidang Hak Atas Kekayaan

Intelektual tidak mendapat prioritas tentunya barang-barang berkualitas akan enggan masuk pasar dalam negeri, apabila United State Trade Representative menempatkan Indonesia pada posisi “priority watch list”.14

Selanjutnya merek merupakan bagian cakupan dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, oleh karena terhadap merek harus dilekatkan pada suatu perlindungan hukum sebagai objek yang terkait dengan hak-hak perorangan atau badan hukum. Diperolehnya perlindungan hukum atas merek yang telah terdaftar merupakan salah satu fungsi dari pendaftaran merek. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa merek merupakan salah satu hak intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Selain itu merek juga memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga persaingan usaha yang sehat.15

Merek dikonstruksikan sebagai salah satu bagian Hak Milik Industri (Industrial Property Rights) merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang pengaturannya terdapat dalam

14

Irwan Muslim Amin, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang

Berhubungan Dengan HAKI, Makalah Seminar Peranan HAKI Dalam Era Persaingan Bebas,

(Semarang : Fakultas Hukum UNDIP dan KADINDA Jawa Tengah, 16 September 1999).

15

Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek bagian Menimbang butir b yang berbunyi: “bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat”.


(27)

ilmu hukum dan dinamakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.16 World Intellectual Property (WIPO) sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual memakai istilah intellectual property yang mempunyai pengertian luas dan mencakup, antara lain karya kesusasteraan, artistik maupun ilmu pengetahuan (scientific), pertunjukan oleh para artis, kaset, dan penyiaran audio visual, penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, nama usaha, dan penentuan komersial (commercial names and designation), dan perlindungan terhadap persaingan curang.17

Merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usulnya (Indication of Origin) suatu barang atau jasa yang sekaligus juga menjadi pembeda dari barang-barang dan jasa-jasa yang lain.18

16

Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 1.

Pemberian merek terhadap barang dan jasa akan mempengaruhi citra perusahaan di mata konsumen atau dapat dikatakan akan menaikkan citra perusahaan. Pemberian merek ini juga akan menunjukkan jaminan kualitas (quality quarantee) dari barang dan jasa tersebut dan juga berusaha

17

M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 20. Dahulu secara resmi sebutan Intellectual

Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual

dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan Hak Milik Intelektual. Namun, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari GBHN 1999-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights ini dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, yang disingkat HaKI. Istilah Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum Anglo Saxon.

18

Budi Agus Riswandi dan Syamsudin M, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 84


(28)

mencegah terjadinya peniruan. Merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan.19

Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang

rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan.20

Undang-undang Merek di Indonesia dalam pelaksanaannya masih relatif baru dibandingkan dengan pelaksanaan Undang-undang Merek pada negara-negara maju. Undang-undang Merek mulai sejak tahun 1961 yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek, kemudian pada tahun 1992 Undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Pada tahun 1997

Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.

19

Ibid.

20


(29)

Undang-undang ini diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek. Kemudian pada tahun 2001 Undang-undang Merek diganti menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Selanjutnya, Merek sebelum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengalami tiga (3) kali perubahan, yang pertama diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, yang kedua diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dan yang ketiga diatur dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997. Oleh karena perkembangan zaman maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dinyatakan dan dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Alasan lainnya juga dapat dilihat di dalam Penjelasan Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 yang antara lain mengatakan :

1. Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek

yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 jauh tertinggal. Hal ini semakin terasa pada saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antarbangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling ketergantungan antar bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk merdeka.

2. Perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan


(30)

Di dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek itu ada diatur di dalam Pasal 81-Pasal 84. Dalam hal ini perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup tindak pidana merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 itu sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, hanya saja perbedaannya terdapat di dalam Pasal 82 dimana di dalam undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 pada Pasal 82 telah disisipkan Pasal 82A dan Pasal 82B. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain :

1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar.

2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar.

3. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut.


(31)

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek terdapat perbedaan pengaturannya dimana di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek ada di atur di dalam Pasal 81-Pasal 84 maka di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek ada diatur didalam Pasal 90-Pasal 94. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain:

1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.

2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.

3. Di dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ada

terdapat 3 (tiga) ayat. Dimana pada ayat (1) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. Pada ayat


(32)

(2) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. Dan pada ayat (3) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan barang tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis. 4. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja

dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut.

5. Pada Pasal 94 ada terdapat 2 (dua) ayat, dimana pada ayat (1) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93. Dan pada ayat (2) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam tindak pidana merek disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.


(33)

Kemudian, dalam Acara Peringatan Hak Atas Kekayaan Intelektual sedunia di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menyampaikan bahwa istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang selama ini dikenal sebaiknya dirubah

dari Hak Atas Kekayaan Intelektual menjadi Hak Atas Kepemilikan Intelektual.21

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa jika namanya hak kekayaan tidak begitu tepat dari konsep hukumnya, tetapi kalau hak kepemilikan intelektual, mempertegas hak milik seseorang sehingga jangan dicuri, dibajak dan disalahgunakan.22 Selanjutnya Presiden juga menghimbau agar bagi pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera sehingga iklim usaha dan investasi tumbuh dengan baik di negara kita.23

Dalam prakteknya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 belum memberikan efek jera terhadap para pelanggar merek. Ini terbukti dari semakin meningkatnya kasus-kasus yang timbul akibat pelanggaran merek di Indonesia. Kerugian yang ditimbulkannya bukan hanya pada perorangan saja tetapi masyarakat atau konsumen juga turut dirugikan. Salah satu perubahan penting yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 yang menimbulkan banyaknya pelanggaran merek sekarang ini adalah berubahnya delik biasa menjadi delik aduan. Sehingga untuk menindak terjadinya pelanggaran merek pihak Kepolisian maupun Penyidik Pegawai Negeri

21

SBY Tidak Sepakat Dengan Istilah Kekayaan Intelektual,

22

Ibid.

23


(34)

Sipil (PPNS) Hak Atas Kekayaan Intelektual harus menunggu adanya pengaduan dari pihak yang memiliki merek walaupun sudah mengetahui bahwa merek tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran merek.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas formula kebijakan hukum pidana terhadap pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek Sebagai Kejahatan Di Bidang Ekonomi.

b. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak

pidana dalam bidang merek?

2. Bagaimanakah pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pelanggaran pidana hak merek di Indonesia?

3. Bagaimanakah perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan merek?

c. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak pidana dalam bidang merek.


(35)

2. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelanggaran pidana hak merek di Indonesia.

3. Untuk mengetahui perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan

merek.

d. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui

sumbangsih pemikiran di bidang hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya mengenai hukum merek di Indonesia.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam

pemahaman dan penyelesaian pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi dalam perkembangan era globalisasi.

e. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.


(36)

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

f. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”.24

Selanjutnya tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan.

25

Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah

adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.26

24

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37.

25

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42.

26


(37)

Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya.27

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).28 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,29 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).

Smith mengatakan bahwa : ‘Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian’ (the end of justice is to secure from injury).30

Menurut Satjipto Rahardjo :

“Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasaan dan kedalamanya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.31

27

Ibid.

28

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.

29

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith on Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.

30

Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hal. 9.

31


(38)

Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht, mengatakan:

Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain. Kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus

memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.32

Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakan Hukum”, menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari

penegakan hukum.33 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang

menginginkan dapat ditegakkannya hukum terhadap peristiwa kongkret yang terjadi. Dengan adanya kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakat tercapai.34

32

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht , cetakan IV oleh M. Oetarid Sadino), (Jakarta: Noordhoff-Kolff NV, 1958), hal. 20.

Tesis ini didasarkan pada teori tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam penanggulangan pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.

33

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 181-182.

34


(39)

Selanjutnya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu upaya untuk mewujudkan peraturan hukum pidana dirumuskan lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya bagi masyarakat/warga negara melainkan juga penegak hukum untuk menerapkan aturan hukum pidana.35

Menurut Soedarto,36

a. Kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mencapai apa yang dicita-citakan.

politik hukum pidana mencakup:

b. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesaui dengan keadaan dan

situasi pada waktu tertentu.

Kemudian kebijakan hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan37

a. Sejauh mana ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan

diperbarui. :

b. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.

Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan hukum pidana

merupakan upaya untuk memilih norma (law choosing) hukum/substansi hukum

pidana, menetapkan (law-making) dan melaksanakan norma (law enforcing) hukum

pidana. Semua upaya tersebut tentu saja dilaksanakan oleh aparat dan institusi yang berwenang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam suatu negara tentu saja harus sesuai dengan dasar filosifi, sosial dan

35

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 1997), hal. 19.

36

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., Op.Cit., hal. 151.

37


(40)

yuridis suatu masyarakat. Khusus dalam hukum pidana ekonomi kebijakan hukum pidana ekonomi tentu harus mendukung upaya-upaya pembangunan ekonomi negara.

Walaupun kebijakan hukum pidana sangat memegang penting dalam mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara, namun upaya pendekatan lain (non-penal policy) harus tetap dilakukan. Dengan demikian Masalah utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non-penal dan penal kearah penegakkan dan pengurangan faktor-faktor yang potensial tumbuh suburkan kejahatan.38

Selanjutnya agar suatu kebijakan yang ditempuh benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat, maka semua upaya itu harus dimulai melalui pemilihan norma hukum dan penetapan norma hukum oleh lembaga negara khusunya lembaga legislatif. Oleh sebab itu, harus memperhatikan landasan filsafat, sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Dalam pembentukannya, selanjutnya suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas-asas seperti demokratis, partisipatif,

sustainability. Kesemuanya itu sangat menentukan dalam efektivitas dari segi pencapaian

tujuan (doeltreffendheid), keterlaksanaan (uitvoerbaarheid) dan ketertegakkan

(handhaafbaarheid) dari semua aturan tersebut.

39

Upaya penanggulangan tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang ekonomi tentu saja sangat membutuhkan suatu kebijakan yang tepat mengingat tindak

38

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992),hal. 161.

39

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam

Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, (Surabaya: Airlangga,


(41)

pidana ekonomi mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan kejahatan konvensional. Tindak Pidana ekonomi sebagai sebuah tidak pidana sangat erat kaitannya dengan motif dan kebijakan ekonomi. Bagitu pula akibat yang ditimbulkannya jauh lebih luas dampaknya di banding kejahatan konvensional. Kalau tindak pidana pencurian, misalnya kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat terbatas sekali. Sedangkan kejahatan ekonomi mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat.

Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk tindak pidana yang melanggar berbagai aturan di bidang ekonomi jelas mempunyai kerakter sendiri. Pada dasarnya,

hukum pidana ekonomi mempunyai kekhususan yakni40

a. Sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan atau pasar; :

b. Bersifat elastis dan tidak ditepatkan di bawah stricta interpretation; dan c. Sanksi dapat diperhitungkan oleh mereka yang bersangkutan.

Walaupun tindak pidana ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, bersifat elastis dan tergantung pasar dan adanya kemungkinanan para pihak yang bersangkutan menetukan sanksinya, namun dari aspek makro, tindak pidana di bidang ekonomi berdampak sangat luas yakni dapat merusak bahkan menghancurkan stabilitas dan pembangunan ekonomi itu sendiri .

Berbagai bentuk tindak pidana ekonomi yang terjadi menunjukkan bahwa dampak dari tindak pidana tersebut sungguh memberikan jangkauan yang sangat luas. Berbagai kasus perbankan baik yang terjadi di Indonesia, dan di luar negeri menimbulkan

40


(42)

hilangnya kepercayaan kepada perbankan, padahal bank merupkan salah saktu sektor penting dalam perekonomian. Begitu pula halnya dengan tindak pidana lain yang sangat terkait dengan aktivitas ekonmi seperti di bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan dan lainnya juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Oleh sebab itu upaya pengkajian dan guna pengambilan kebijakan yang tetap sangat penting dalam menunjang pembangunan itu sendiri.41

Pengaturan tindak pidana ekonomi dalam sistem hukum pidana Indonesia merupakan salah satu bentuk dari hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht). Pada awalnya persoalan ekonomi hanya merupakan persoalan administratif dan keperdataan. Namun mengingat pemerintah membutuhkan adanya suatu upaya pelaksanaan untuk pemberlakuan hukum ekonomi, maka diperkuat dengan sanksi pidana sehingga melahirkan aturan hukum pidana ekonomi. Walaupun demikian penggunaan hukum pidana sebagai sarana utama harus dipertimbangkan. Pengendalian ekonomi yang semata-mata menggunakan hukum pidana dapat mengakibat overcriminnalization dan sekaligus dapat menimbulkan dampak negatif juga bagi perekonomian.42 Adanya sanksi pidana dalam berbagai undang-undang di bidang ekonomi mestinya hanya berfungsi sebagai pengawal agar aturan yang ada ditaati.43

Selanjutnya walaupun secara hukum fungsi hukum pidana sebagi ultimum

remidium (upaya terakhir) namun ada kecendrungan untuk menggunakan pidana

41

Adhi Wibowo, Analisis Kejahatan Perbakan Perspektif Hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum Respublika Vol. 7 Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, 2007, hal. 25.

42

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., Op.Cit., hal. 23.

43

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajagrafindo, 2007), hal. 25.


(43)

sebagai upaya yang pertama (premium remedium). Dalam hal tertentu memang dimungkinkan, yakni dengan alasan: korban yang sangat besar, terdakwa residivis dan kerugian tidak dapat dipulihkan(irreperable).44

Secara umum pandangan tersebut dapat dibenarkan, namun dalam bidang perekonomian hal itu perlu dipertimbangkan secara khusus. Di samping itu, penggunaan sarana penal atau sanksi pidana yang merupakan ciri dominan dalam sistem hukum pidana konvesional dirasakan kurang tepat. Sanksi pidana sebagai upaya pencegahan (prevensi) dan penjeraan (detterance) tidak sepenuhnya didukung oleh suatu fakta empiris. Malahan terdapat kajian empiris yang membuktikan sebaliknya yaitu45

“An altrnative hypothesis holds that variation in the certainty and sevirity of punishment do not significantly deter the criminal. Rather crime is a result of a complex set of socioeconomic factors or possibility biological factor. The appropriate way ti minimize the social cost of the crime is to attct the root causes of crime, and programs designed to alleviate sociual, economi, and biological causes of crime”.

:

Keseluruhan upaya penanggulangan kejahatan termasuk tindak pidana ekonomi yang melalui jalur represif atau penegakan hukum pada dasarnya berada dalam satu

sistem atau satu kesatuan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice System). Di samping melalui jalur repressif, penanggulangan kejahatan juga dapat dilakukan melalui jalur preventif yang merupakan setiap usaha untuk mencegah

44

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 79.

45


(44)

terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan.46

Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang terdiri dari sub-sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yakni

untuk melakukan penegakan hukum pidana (Criminal Law Enforcement). Walaupun

masing-masing sub sistem merupakan suatu institusi yang mandiri dan mempunyai tugas dan kewenangan sendiri, semua sub sistem itu dihubungkan oleh suatu mata rantai yang menyatukan gerak langkah operasional masing-masingnya. Dari kesemua mata rantai tersebut akhirnya akan bermuara pada penegakan hukum secara konkrit dalam suatu kasus tertentu. Conklin

Dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, upaya represif merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, karena bagaimanapun akan selalu terjadi suatu tindak pidana yang melahirkan konsekuensi

harus dilakukan upaya penegakkan hukum (law enforcement). Penegakkan hukum

pidana membutuhkan aturan prosedural yang mempunyai cakupan yang luas dan berada dalam suatu kerangka Sistem Peradilan Pidana.

47

Upaya pencegahan tindak pidana di bidang ekonomi membutuhkan integrasi dari berbagai sub sistem peradilan pidana terdiri dari berbagai sub sistem yang idealnya harus merupakan satu kesatuan (integrated).

menggambarkan: “The Criminal justice system has been

descired as a funnel or sieve that sorts out cases”.

48

46

Andi Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1998, hal. 2.

Dengan demikian, persoalan penegakkan hukum seperti penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

47

John E. Conklin, Criminology, Fouth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 391.

48

Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994), hal. 85.


(45)

hukuman harus berada dalam suatu sinkronisasi dan koordinasi yang baik. Kalau tidak, sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik dan upaya penegakkan hukum tidak akan berjalan secara maksimal.49

Kemudian tindak pidana di bidang merek disebut juga sebagai economic

crime, juga dapat disebut sebagai kejahatan berdimensi baru. Kejahatan ini untuk menunjuk pada suatu kejahatan yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat di bidang perekonomian dalam masyarakat industri, yang pelakunya terdiri dari

golongan mampu, intelek dan terorganisir (termasuk dalam white collar crime

). Mobilitas kejahatan tinggi dilakukan tidak hanya di satu wilayah melainkan antar wilayah, bahkan menerobos batas regional, trans-nasional. Modus operandinya menggunakan peralatan canggih, memanfaatkan kelemahan sistem hukum, sistem manajemen. Korbannya tidak lagi bersifat individual melainkan sudah bersifat kompleks menyerang kelompok masyarakat, negara, dan kemungkinan korban tidak segera menyadari kalau dirugikan.

2. Konsepsi

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain :

49

Ronald Jay Allen, Comprehensive Criminal Procedure, (New York: Aspen Law & Business, 2001), hal. 4.


(46)

a. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.50

b. Kebijakan adalah prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan

pemerintah khususnya aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan pengaturan perundang-undangan dan pengaplikasikan hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya

mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga Negara).51

c. Kebijakan pidana adalah merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional

untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan pidana memiliki tiga arti, yaitu52

1. Keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana (dalam arti sempit);

:

2. Keseluruhan fungsi dari aparat penegak hukum, termasuk didalamnya cara

kerja pengadilan dan polisi (dalam arti luas); dan

3. Keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan atau

badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

50

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 butir 1.

51

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 23-24

52


(47)

d. Kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 53 Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.54

e. Kejahatan ekonomi adalah perbuatan melawan hukum yang diancam sanksi

pidana, dilakukan oleh seseorang atau koorporasi dalam pekerjaannya secara sah dalam usahanya di bidang industri atau perdagangan, serta bertujuan untuk memperoleh kekayaan, penghindaran pembayaran utang, serta memperoleh keuntungan bisnis ataupun pribadi.55

g. Metode Penelitian

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut56

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang

:

53

Ibid., hal. 28.

54

Ibid.

55

Steven Box, Power, Crime, and Mystification, (London: Tovistock Publication Ltd, 1983), hal. 20.


(48)

mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, deskriptif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum terhadap sengketa merek terdaftar yang mempunyai persamaan dan pengaturan penyelesaiannya. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai penyelesaian sengketa merek terdaftar yang mempunyai persamaan berdasarkan ketentuan hukum merek dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh Soeryono Soekanto, “penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki”.57

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian

semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal58

57

Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.

(doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam

buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh

hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial

58

Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 10.


(49)

process).59 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder60

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum

Merek, antara lain Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Merek baik pidana maupun perdata.

, yang meliputi:

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Merek.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.61

3. Teknik Pengumpulan Data

59

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

60

Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14.

61

Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hal. 23.


(50)

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang Merek dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian. Untuk mengumpulkan data pendukung mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi, peneliti mengambil beberapa contoh putusan Pengadilan pada Kantor Pengadilan Niaga yang menangani masalah hukum dari sengketa merek dalam penerapan hukum dan sanksinya. Di samping itu data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan :

a. Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas

Besar Kepolisian Republik Indonesia.

b. Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si dan Bapak Ignatius Silalahi, SH, MH

Penyidik Pegawai Negeri Sipil HAKI pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dan Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn dan Bapak Kurniaman Telaumbanua, SH, M.Hum Penyidik Pegawai Negeri Sipil HAKI pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.

4. Analisis Data

Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) serta data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan


(51)

(field research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif.

Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam praktek kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi

Dengan menggunakan metode induktif dan deduktif ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(52)

BAB II

KEBIJAKAN PIDANA (PENAL POLICY) DI INDONESIA MENGENAI TINDAK PIDANA MEREK

A. Tinjauam Umum Tentang Tindak Pidana Ekonomi 1. Kejahatan Ekonomi

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), dikenal dua pengertian yang berhubungan dengan kejahatan, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam Buku II, yang dimulai dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 488 KUHP, sedangkan pelanggaran diatur dalam Buku III mulai dari Pasal 489 sampai dengan Pasal 569. Adanya pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut, di dalam Memorie van Toelichting (MvT),62 dijelaskan sebagai berikut63

1. Bahwa kejahatan adalah rechts delicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan

pidana, telah dirasakan sebagai on recht, sebagai perbuatan yang

bertentangan dengan tata hukum.

:

2. Pelanggaran adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat

melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang

menentukan demikian.

Dengan demikian, dalam konsep kejahatan tersebut KUHP hanya

menetapkan saja apa yang menurut masyarakat dianggap sebagai kejahatan64

62

Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda Tahun 1886 merupakan sumber KUHP

Indonesia.

atau

dengan kata lain dapat disebut sebagai mala perse. Sedangkan pelanggaran,

63

Mulyatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rieneke Cipta, 1993), hlm. 71.

64

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan

dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam


(53)

merupakan ketetapan pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan itu merupakan pelanggaran hukum pidana yang sebelumnya oleh masyarakat tidak dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana, atau disebut juga mala prohibita.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, mengenai pengertian kejahatan ditegaskan dalam Pasal 2 yang pada prinsipnya dilakukan dalam rangka membedakannya dengan pelanggaran. Dikatakan kejahatan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, sedangkan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja maka perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai pelanggaran. Memperhatikan pengertian kejahatan seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat disimpulkan bahwa kejahatan dimaksud dilihat dari sisi pertanggungjawaban pidananya (unsur kesalahan). Mengenai apakah secara sosiologis masyarakat menganggap hal itu sebagai kejahatan atau bukan, tidak menjadi pertimbangan pembentuk undang-undang.

Menurut Mardjono Reksodiputro,65

65

Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan

Karangan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 50.

kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang perekonomian dan bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana. Lebih lanjut diakui bahwa pengertian ini hanyalah merupakan pengkajian ilmiah, hal ini dikemukakan karena pengertian ini sangat luas. Apabila pengertian di atas


(54)

dihubungkan dengan pengertian kejahatan, maka pengertian kejahatan ekonomi di atas bersifat yuridis.66

Selanjutnya perlu juga dikemukakan tentang pengertian ekonomi itu sendiri untuk melandasi pengertian kejahatan ekonomi. Menurut Deliarnov yang dimaksud dengan ekonomi adalah67

1. Ilmu yang mempelajari bagaimana tiap rumah tangga atau masyarakat

mengelola sumberdaya yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan mereka.

:

2. Ilmu yang berkaitan dengan azas-azas produksi, distribusi dan konsumsi serta kekayaan seperti pengaturan keuangan, perindustrian dan perdagangan dan pemanfaatan ruang, tenaga, waktu dan sebagainya yang berharga.

3. Tata kehidupan perekonomian suatu negara.

Dari apa yang dikemukakan oleh Deliarnov tentang pengertian ekonomi sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang mempunyai sanksi pidana dan atau dirasakan oleh masyarakat sebagai kejahatan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata perekonomian suatu negara untuk mencapai tujuan berkesejahteraan dan berkeadilan.

2. Tindak Pidana Ekonomi

Perbedaan antara kejahatan dan tindak pidana adalah bahwa kejahatan itu adalah sebagaian dari perbuatan a moral (tanpa susila) dan perbuatan ini adalah juga anti sosial tetapi menolak adanya perbuatan yang menurut kodratnya adalah jahat.

66

Ibid., hlm. 1-2.

67


(55)

Perbuatan mana yang merupakan kejahatan ditentukan berdasarkan rasa kesusilaan masyarakat karena masyarakat selalu berubah, maka pengertian kejahatan juga akan berubah menurut perasaan kesusilaan masyarakat.68 Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Marjono Reksodiputro mengemukakan bahwa bagi sebagaian besar

masyarakat kita mengartikan kejahatan sebagai pelanggaran atas hukum pidana.69

Kemudian, pengertian tindak pidana berasal dari istilah Belanda yaitu

strafbaar feit, yang diartikan sebagai kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Dalam undang-undang pidana maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dirumuskan perbuatan ataupun perilaku yang dilarang dan diancam dengan hukuman (pidana). Hukum pidana dilihat sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dan karena itu telah mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan sosial.

70

68

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan

dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam

Ilmu Hukum Pada Universitas Indonesia, Jakarta, 30 Oktober 1993, hal. 23.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kejahatan mempunyai pengertian yang lebih luas, karena disamping mencakup tindak pidana (perbuatan yang dilarang undang-undang) juga

mencakup perbuatan yang anti sosial dan a moral. Sedangkan tindak pidana

69

Ibid., hal. 1.

70


(56)

merupakan konsep yuridis, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum pidana.

Merujuk pada pengertian tindak pidana seperti diuraikan di atas, maka yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan peraturan hukum pidana ekonomi. Adapun tindak pidana ekonomi itu terdiri dari71

a. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti sempit, yaitu perbuatan yang

melanggar aturan Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1995; dan :

b. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas, yaitu perbuatan yang melanggar aturan hukum pidana di bidang ekonomi (Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1995 dan undang-undang lainnya).

3. Bentuk-Bentuk Kejahatan Ekonomi

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana secara nyata perkembangan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan ekonomi, karena kedua perkembangan ini saling mendukung satu sama lain, maka jika dilihat adari aspek hukumnya khususnya di bidang hukum pidana ekonomi perkembangan teknologi dan perekonomian ini justru menentukan

perkembangan kejahatan ekonomi itu sendiri.72

71

H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 17-27.

Hubungan dialetika antara

72

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya turut ditentukan oleh kemajuan di bidang ekonomi karena perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tidak dapat disangkal sangat membutuhkan dana, khususnya untuk riset atau transfer dari negara lain. Di lain pihak kemajuan teknologi itu sendiri merupakan pendorong kemajuan ekonomi karena teknologi memberikan nilai tambah yang besar dalam setiap kegiatan ekonomi.


(57)

perkembangan teknologi dan ekonomi dihubungkan dengan perkembangan kejahatan

ekonomi dikemukakan bahwa73

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tersebut akan memacu pertumbuhan jenis-jenis kejahatan tertentu, karena setiap perkembangan budaya manusia selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas, crime is a shadow of civilization. Hukum pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas itu, sehingga diharapkan rasa keadilan dalam masyarakat dapat dijamin serta hukum tidak ketinggalan zaman. Bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan-kejahatan yang bakal muncul.

:

Dalam kaitan antara ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (selanjutnya disebut IPTEK) dan kejahatan, maka dapat dikemukakan bahwa perkembangan kejahatan sebagai akibat dari kemajuan ekonomi dan IPTEK dapat dilihat dari segi pelaku atau siapa yang melakukannya dan modus operandi (cara melakukan dan sasarannya). Dari segi modus operandi, maka pengaruh ekonomi dan IPTEK itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kemajuan IPTEK terhadap cara melakukan dan alat yang

digunakan melakukan kejahatan (sebagai sarana melakukan kejahatan); b. Menjadikan institusi-institusi baru karena kemajuan ekonomi dan IPTEK

sebagai sasaran melakukan kejahatan.

B. Tinjauan Umum Tentang Merek

Merek dikonstruksikan sebagai salah satu bagian Hak Milik Industri (Industrial Property Rights) merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan

73

Bakat Purwanto, Bentuk-Bentuk Kejahatan Baru Akibat Perkembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi, Makalah pada Seminar Tentang White Collar Crime dan Perkembangan


(1)

hukum kepada pemilik merek, upaya tersebut adalah Penanganan Melalui Tindakan Administratif Oleh Kantor Merek yang dilakukan melalui tahap proses permintaan pendaftaran dan penghapusan asas prakarsa kantor merek; Penanganan Melalui Hukum Perdata; Penanganan Melalui Hukum Pidana; dan kebijakan pemerintah dalam penegakan hukum di bidang hak atas kekayaan intelektual melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini, maka sebagai saran yang dapat diberikan penulis adalah :

1. Meski saat ini Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual namun aturan-aturan tersebut masih terdapat kekurangan-kekurangan khusunya dalam pemberian perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual di internet. Seperti kita ketahui bahwa teknologi bisa mempercepat perkembangan Hak Kekayaan Intelektual namun disisi lain teknologi juga dapat menjadi sarana pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual yang cukup mengkhawatirkan. Indonesia saat ini sudah selayaknya merefleksikan diri dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang telah mengintegrasikan secara serius regulasi hukum cyber ke dalam instrumen positif hukum nasionalnya.


(2)

2. Undang-undang merek telah mengatur ketentuan pidana yang bertujuan untuk membela kepentingan dan memberi perlindungan kepada pemilik merek secara luas dan masyarakat (konsumen) dari perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga dengan diharapkan pasar Indonesia akan terbebas dari barang bermutu rendah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi di sisi lain, dari begitu banyaknya pelanggaran merek, tampaknya tidak mudah untuk melakukan penegakan hukum di masyarakat. Sehingga sangat diperlukan pelaksanaan sosialisasi oleh pemerintah secara terus menerus mengenai pentingnya Hak Kekayaan Intelektual.

3. Agar menekan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual khususnya pelanggaran merek serta mampu memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera sehingga iklim usaha dan investasi tumbuh dengan baik di Indonesia sebaiknya jenis delik yang digunakan dalam penegakan hak merek adalah delik biasa. Apalagi dengan begitu maraknya kasus-kasus pelanggaran merek yang terjadi di Indonesia, dan kasus-kasus ini banyak merugikan pihak-pihak yang mempunyai merek terkenal. Dalam pelaksanaan penegakan merek dengan menggunakan delik biasa, Pemerintah juga harus menyiapkan aparatur yang profesional dan memiliki kemampuan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terkait kasus pelanggaran merek. Harus ada rasional jumlah penyidik di bidang HAKI, dengan jumlah masyarakat di Indonesia khususnya pelanggaran merek.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002.

Allen, Ronald Jay, Comprehensive Criminal Procedure, New York: Aspen Law & Business, 2001.

Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996.

Apeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht, Jakarta: Noordhoff-Kolff NV, 1958.

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Kencana, 2003. Box, Steven, Power, Crime, and Mystification, London: Tovistock Publication Ltd,

1983.

Conklin, John E, Criminology, Fourth Edition, New York: Macmillian Publishing Company, 1994.

Cooter, Robertt dan Thomas Ulen, Law and Economics, Boston: Pearson, 2004.

Djumhana, M. dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Farid, A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Hamdan, M., Politik Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali, 1997.

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Rajagrafindo, 2007.

Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.


(4)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992.

Purbacaraka, Purnadi dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 1982.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994.

Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin M, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia, 1982. Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983.

_______________, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Usman, Rachmadi, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik

Dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Surabaya: Airlangga, 2007.


(5)

b. Majalah, Karya Ilmiah, Pidato, Makalah, Jurnal, dll.

Amin, Irwan Muslim, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang Berhubungan Dengan HAKI, Makalah Seminar Peranan HAKI Dalam Era Persaingan Bebas, (Semarang : Fakultas Hukum UNDIP dan KADINDA Jawa Tengah, 16 September 1999).

Cormick, Neil Mac, “Adam Smith on Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981.

Hamzah, Andi, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1998.

Meek, R.L.D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982.

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.

Wibowo, Adhi, Analisis Kejahatan Perbakan Perspektif Hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum Respublika Vol. 7 Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, 2007. c. Internet


(6)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek

Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan TIndak Pidana Ekonomi, Lembaran Negara Nomor 27 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 801 Tahun 1955.