Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS

DALAM PELANGGARAN MEREK

TESIS

Oleh

JULI AGUNG PRAMONO

077005045/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS

DALAM PELANGGARAN MEREK

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JULI AGUNG PRAMONO

077005045/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM PELANGGARAN MEREK

Nama Mahasiswa : Juli Agung Pramono Nomor Pokok : 077005045

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 04 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH 3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Merek adalah salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang saat ini memerlukan perhatian, terutama dengan munculnya laporan-laporan yang disampaikan terhadap adanya pelanggaran-pelanggaran hak atas merek. Permasalahan yang menonjol di dalam dunia perdagangan yaitu merek dagang banyak dipalsukan dengan banyaknya laporan-laporan yang disampaikan terhadap adanya pelanggaran merek disebabkan karena mulai adanya kesadaran masyarakat bahwa hak atas merek harus dilindungi. Sedangkan permasalahan di dalam penelitian ini adalah Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran Hak Merek dalam perundang-undangan; Bagaimana Pengaturan dalam hal pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kasus pelanggaran Merek yang dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas; Bagaimana langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hak Merek.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif dimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek baru akan diperoleh apabila merek tersebut didaftarkan (first to file), menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Ketentuan Pidana yang mengatur tentang sanksi dan denda bagi pelanggar merek diatur dalam Pasal 90 – 95 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Inti pada setiap bisnis yang sukses adalah merek yang digunakan oleh pelaku bisnis untuk mengidentifikasikan barang/jasa yang dijualnya. Sehingga dengan demikian pasar Indonesia akan terbebas dari barang bermutu rendah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi di sisi lain, tampaknya tidak mudah untuk melakukan penegakan hukum di masyarakat. Selain itu juga, sosialisasi oleh pemerintah secara terus menerus mengenai pentingnya HKI dan khususnya penegakan hukum atas merek di masyarakat dinilai masih sangat penting. Pelanggaran hak merek itu mulai meningkat di Indonesia sejak kebijakan Pasar bebas yang dicanangkan pemerintahan Indonesia, dimana Investor Asing diberikan kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia. Untuk melindungi para pengusaha ataupun pemegang hak merek dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek barang terdaftar, maka perlu diberikan perlindungan hukum terhadap hak merek barang terdaftar. Perlindungan hukum dapat berupa pemberian sanksi hukum terhadap pelanggaran hak merek, baik dalam bentuk ganti rugi maupun dalam bentuk tuntutan pidana.


(6)

ABSTRACT

Brand is one part of the Intellectual Property Rights, which currently require attention, especially with the emergence of the reports submitted to the violations of the rights to the brand. Problems are prominent in world trade that is the trademark of many many falsified reports to be submitted to the violation of due start of a public awareness that the right to the brand should be protected. While, the problems in this research is how forms collision of the brand rights in legislation; How Arrangement in the case of responsibility of Board of directors Limited Liability in the case collision of brand conducted by Legal Body Limited Liability; How stages/steps of preventive to prevent the happening of collision of brand rights.

Methods used in this research is the judicial normative. Normative research method is also called as a doctrinal research (doctrinal research) is a study that analyzes whether a law written in the books (law as it is written in the book), and the law decided by judges through the court process (law is decided by the Judge through the judicial process). Research based on normative law and secondary data on the steps speculative theory-and-qualitative analysis of normative.

The Indonesian government has imposed the Trademark Law No. 15 Year 2001 on 1 August 2001. Law Brand. No. 15 Year 2001 adopting a system where konstitutif legal protection to holders of the new brand will be obtained when the brand was registered (first to file), replacing the system of declarative (first to use) the first time it was law. 21 of 1961 on Corporate Brand and Brand Business. Criminal provisions that set of sanctions and fines for violators of the brand set out in Article 90 - 95 law. 15 years in 2001 on Brand. Criminal imprisonment imposed on the accused is the longest five (5) years, while the maximum fine of Rp. 1,000,000,000 (one billion rupiah). On the core business of every successful brand is used by business to identify the goods / services sold. Trademark law has set the criminal provisions that aim to defend the interests and provide protection to brand owners in the area and the people (consumers) from the deeds of those who are not responsible. So the market will be freed from low-quality goods and can not be accountable. But on the other hand, seems not easy to do in the law enforcement community. Besides, socialization by the government continuously about the importance of HKI and especially enforcement of the brand in the community are still considered very important. Violations of the right brands began to increase in the free market policies since the government declared Indonesia, where Foreign Investor was given the opportunity to plant in the Indonesian capital. To protect the rights holder or the brand of legal acts against the rights of the registered brand goods, the need to be given legal protection of the rights of registered brand goods.

Protection of the law can form the legal sanctions against violations of rights, whether in the form of compensation or in the form of criminal charges.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum/Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul tesis ini adalah : “Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek” Di dalam menyelesaikan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. dan Syafruddin Sulung Hsb, S.H., M.H. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga tesis ini selesai di tulis.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis.

4. Bapak Syafruddin Sulung Hsb, S.H., M.H., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan tesis ini.

5. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepada Allah SWT.

6. Kepada Istriku Puspita Handayani, SH dan Anak-anakku Arif Pramono dan Adityo Ghalyh Parama, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. Kepada Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana., dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(9)

Semoga Allah SWT membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan tesis ini.

Medan, Februari 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Juli Agung Pramono Tempat/Tgl. Lahir : Pacitan / 01 Juli 1975 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Status : Menikah

Istri : Puspita Handayani, SH Anak : Arif Satrio Pramono Adityo Ghalyh Parama Pendidikan :

A. Umum : TK Bhayangkari Tahun 1982

: SD Negeri 1 Brawijaya Sukabumi Tahun 1988 : SMP Negeri 2 Sukabumi Tahun 1991

: SMA Negeri 1 Sukabumi Tahun 1994

: Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Univ. Panca Sakti Tegal Tahun 2003

: Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Univ. Sumatera Utara Tahun 2009

B. Kepolisian : Akademi Kepolisian Tahun 1998 : PTIK Tahun 2005


(11)

: Pamapta PKO Polresta Tegal Jateng Tahun 1999 : Kapolsek Losari Polres Brebes Jateng Tahun 2000 : Kaset OPS PKO Polres Brebes Jateng Tahun 2002 : Apolsek Bumiayu Polres Brebes Jateng Tahun 2002 : Pama PTIK Jakarta Tahun 2003

: Pama Polda Sumut Tahun 2005

: Kanit III/ Opsnal Subbid Paminal Tahun 2005 : Kanit Idik 4/ Ranmor Poltabes Medan Tahun 2005 : PS. Wakasat Reskrim Poltabes Medan Tahun 2005 : Kapolsekta Medan Sunggal Poltabes Medan Tahun 2005 : Kasat Reskrim Polres Labuhan Batu Tahun 2006

: Katim Negoisasi Subden Penindak Den 88 AT Tahun 2006 : PS. Kasubden Penindak Den 88 AT Tahun 2007

: Wakasat Reskrim Poltabes MS Tahun 2007 C. DIK/ SUS : Dik Das PA Reserse Tahun 1999

: Kibi Paja Akpol (Intermediete) Tahun 2000 : Jurlan PA Idik Narkoba Tahun 2002

: Counter Terorism Invest (CTI) Tahun 2007 : Clic Ilea Bangkok Tahun 2008


(12)

D. Ketrampilan : Scuba Driver/ Selam Polri Tahun 1997 : Sar Polri Tahun 1998

: Scuba Driver/ Selam TNI AL Tahun 1999 E. Kepangkatan : Letda Pol tahun 1998

: Iptu Tahun 2002 : AKP Tahun 2005


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

G. Metodologi Penelitian ... 22

BAB II : BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK MEREK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN ... 29

A. Bentuk-bentuk Praktek Perdagangan Tidak Jujur ... 36

B. Perlindungan Merek di Indonesia ... 39


(14)

D. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pelanggaran Merek

di Dalam KUHP ... 51 E. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh

Perusahaan (Korporasi) Pada Sumber-Sumber Hukum Pidana

Diluar KUHP ... 55 BAB III : PENGATURAN DALAM HAL PERTANGGUNG

JAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM KASUS PELANGGARAN MEREK YANG DILAKUKAN OLEH BADAN HUKUM

PERSEROAN TERBATAS ... 70 A. Berlakunya Fiduciary Duty dan Bussiness Judgement

Rule Bagi Direksi ... 70 1. Fiduciary Duty dan Prinsip Bussiness Judgement Rule

dalam Pasal 97 UUPT ... 71 2. Tanggung Jawab Direksi Menurut UUPT ... 80

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelanggaran Oleh Korporasi

Sebagai Salah Satu Perkembangan Tindak Pidana ... 87 C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak

Pidana Pelanggaran Merek ... 93 D. Analisis Kasus Pelanggaran Merek Nomor :1314/Pid.B/2007


(15)

BAB IV : LANGKAH-LANGKAH PREVENTIF UNTUK MENCEGAH TERJADINYA PELANGGARAN

HAK MEREK ……… 111

A. Sosialisasi UU Merek ... 111

B. Pendaftaran Merek ... 114

C. Lisensi dan Pengalihan Hak ……….. 127

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 138

A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 141


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam era pembangunan yang sejalan dengan konvensi-konvensi internasional, bahwa peranan merek jadi sangat penting dalam menjaga persaingan usaha dan harus disesuaikan dengan peraturan merek. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, juga disebut pertimbangan bahwa hukum merek harus disesuaikan dengan perjanjian Trade Related Aspect of lntelectual Property Right sebagaimana diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Pengesahan Agreement World Trade Organization.

Dalam hal ini merek sebagai salah satu wujud karya intelektual, juga memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia. Merek juga merupakan suatu alat yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu pemisahan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usul barang (Indication of Origin). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor l4 Tahun 1997 tentang Merek selanjutnya dapat disingkat menjadi UU Merek, diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap pemegang hak merek barang terdaftar dari perbuatan melawan hukum.1

1


(17)

Dalam prakteknya pernah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak atas merek barang terdaftar sebagai usaha persaingan yang tidak jujur seperti peniruan, pemalsuan, atau pemakaian merek tanpa hak terhadap merek-merek tertentu. Keadaan seperti ini tentu saja tidak hanya akan merugikan pemilik merek, tetapi juga akan merugikan para konsumen. Dapat diketahui bahwa ada beberapa tempat di kota Medan yang dijadikan lokasi penjualan barang-barang dengan merek-merek palsu, misalnya: Pusat Pasar Sentral, Pasar Petisah, Pasar Murah Medan Plaza, dan lain sebagainya.

Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Pada prateknya penerapan hak atas merek ini sering tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga hal ini menimbulkan kerugian bagi pemilik merek. Tindakan yang dapat menimbulkan kerugian ini merupakan tindakan pelanggaran terhadap merek. Negara memiliki tanggung jawab melakukan perlindungan atas penerapan hak atas merek tersebut. 2

Kemajuan teknologi saat ini membuat arus informasi menjadi sangat mudah didapat apalagi dengan keberadaan internet. Selain membawa kemudahan dalam mengakses informasi ternyata internet juga membawa masalah dalam perlindungan para pihak yang menggunakan teknologi ini.

2


(18)

Identitas di dalam internet sering disebut dengan nama domain (domain name) sesuai dengan nama yang didaftarkan pemilik situs.

Permasalahan terjadi bila nama domain yang didaftarkan ternyata nama yang telah didaftarkan pada daftar merek di suatu negara. Menyikapi hal ini perlu dibedakan dengan jelas adanya perbedaan antara merek dan nama domain bahwa setiap nama domain belum tentu merek dari suatu produk tetapi keduanya sama-sama merupakan jati diri dari suatu produk barang atau jasa.

Nama domain memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan merek, tetapi perlu ditegaskan bahwa nama domain tidak identik dengan merek karena meskipun keduanya sama-sama merupakan jati diri suatu produk barang atau jasa, atau suatu nama perusahaan atau badan hukum lainnya.

Ini berarti terdapat kemungkinan penggunaan nama tertentu yang merupakan merek dari suatu produk, barang atau jasa. Memang terdapat perbedaan mengenai cara perolehan merek dan nama domain, pada merek berlaku prinsip first to file yang mengatur perlindungan bagi pemegang hak atas merek terdaftar dalam daftar merek nasional sedangkan nama domain didapatkan dengan system first come first serve, seseorang yang mendaftarkan terlebih dahulu itulah yang diakui. 3

Sengketa nama domain yang merupakan merek suatu barang atau jasa ini menjadi masalah yang penting mengingat kerugian bagi pemilik nama

3


(19)

merek yang ternyata digunakan nama domain dan timbul kesesatan pada konsumen (user) saat browsing nama domain palsu.

Forum internasional memang telah menyediakan institusi internasional yang didirikan WIPO dan ICANN disebut WIPO Mediation and Arbitration Center. Institusi ini menggunakan Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP) sebagai dasar hukum menetapkan suatu perbuatan sebagai pelanggaran nama domain atau tidak.

Keberadaan institusi ini memang sangat berperan penting dalam memutuskan sengketa nama domain yang termasuk merek, mengingat internet memiliki jaringan yang luas dan tidak terbatas pada suatu teritorial negara. Namun perlu diketahui batas kewenangan institusi ini hanyalah sebatas memutuskan apakah terjadi penyalahgunaan nama domain suatu produk dengan itikad buruk atau tidak, seperti dalam ketentuan antara lain: pertama, nama domain tersebut sama atau memiliki kemiripan yang membingungkan dengan merek terdaftar atau logo yang dimiliki oleh pihak ketiga. Kedua, pihak pemegang nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun hak atas penggunaan nama domain tersebut. Ketiga, nama domain yang didaftarkan telah digunakan dengan itikad buruk.

Setelah suatu nama domain terbukti secara administratif oleh penggugat maka ICANN segera me-register ulang kepemilikan nama domain yang tidak


(20)

sah itu.4 Ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan sebenarnya pihak yang dirugikan (pemegang nama merek yang terbukti dilanggar nama domainnya) dapat melakukan upaya hukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan bukan secara perdata saja tetapi juga secara pidana.

Dasar hukum yang bisa digunakan adalah Pasal 90-94 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 dalam Bab Ketentuan Pidana bagi pelanggar merek. UU Nomor 15 Tahun 2001 mengatur 2 (dua) macam sanksi yang bisa dijatuhkan secara kumulatif ataupun alternatif yaitu pidana penjara dan/ atau denda.

Sebagai bagian dari hak atas kekayaan intelektual (HKI) merek memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis. Fungsi merek tidak hanya sekadar untuk membedakan suatu produk dengan produk yang lain, melainkan juga berfungsi sebagai aset perusahaan yang tidak ternilai harganya, khususnya untuk merek-merek yang berpredikat terkenal (well-known marks). Melalui perkembangan perdagangan antar negara, yang dapat dikatakan maju sangat pesat, Indonesia "dibanjiri" merek-merek baru dari luar negeri. Tidak hanya brand-brand terkenal dari negara Eropa seperti Gucci, Prada, Mercedes Benz, dan Siemens yang masuk ke Indonesia, tetapi juga brand terkenal dari negara Asia tidak kalah bersaing untuk masuk. Sebut saja Giordano dari Hong Kong, Bread Talk dari Singapura, Jimmy Choo dari Malaysia, dan masih banyak lagi.

Dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Merek), disebutkan bahwa

4


(21)

untuk dikatakan sebagai suatu merek terkenal maka harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, dan investasi merek di beberapa negara yang disertai bukti pendaftaran merek tersebut. Mengingat tingkat kerawanan terhadap pelanggaran atas merek-merek terkenal demikian besar, maka diperlukan suatu mekanisme perlindungan hukum secara khusus agar kasus-kasus pelanggaran merek terkenal tidak akan berkembang lebih banyak lagi.

Manusia adalah merupakan subyek hukum, akan tetapi manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum yang dikenal. Selain manusia, masih terdapat subyek hukum lainnya yang dikenal dengan badan hukum (rechtspersoon). Di antara banyak badan hukum yang dikenal dalam doktrin hukum, salah satu yang amat dikenal adalah Perseroan Terbatas (PT). Adapun alasan para pihak lebih memilih bentuk perseroan terbatas adalah setiap orang pemilik dana selalu menginginkan resiko seminimal mungkin selain itu juga demi efisiensi.5

Perseroan terbatas dapat dikatakan efisien karena perseroan terbatas dapat digunakan untuk mengakomodasikan kegiatan usaha dari yang terkecil yaitu bisnis perorangan (one-person business) sampai yang terbesar yaitu

5

Djaidir, Undang-Undang Perseroan Terbatas, (Medan: Disajikan dalam Seminar Sehari Mengenai Undang-Undang tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas Kantor Wilayah BRI Sumatera Utara, 21 Juni 1997), hal. 1


(22)

bisnis multinasional. Selain itu perusahaan juga dapat digunakan untuk kegiatan non profit yang bertujuan usaha tidak untuk membuat keuntungan. UUPT di dalam beberapa pasal pengaturannya ditujukan untuk memberi perlindungan kepentingan bagi setiap pemegang saham, kreditur dan para pihak ketiga yang berhubungan dengan aktivitas perseroan terbatas. Kegiatan berusaha tersebut dapat dilakukan secara pribadi dengan segala konsekuensinya dan dapat pula dilakukan dalam bentuk kerja sama antar pribadi atau antar kelompok. Di samping itu, mengenai bentuk usaha yang dipilih pada dasarnya sangat bergantung pada berbagai hal baik faktor internal maupun eksternal dari para pihak yang mendirikan perusahaan. Sedangkan berdasarkan sumber dana yang dimanfaatkan untuk mendirikan perusahaan maka bentuk perseroan terbatas sangat diminati.6

Yang memaparkan bahwa pada kehidupan suatu perusahaan sering sekali informasi yang diketahui oleh para pesero minim sekali. Sehingga dalam perseroan sendiri cara menyajikan informasi dan gambaran umum adalah merupakan kemajuan dari suatu perusahaan khususnya PT. Hal ini juga yang mengacu pada permasalahan tentang isi dari anggaran dasar dari suatu PT. Akan tetapi ketentuan hukum yang mengatur dari ini semua masih tidak ada, di mana tidak adanya peraturan yang menjelaskan kapan suatu RUPS dalam PT dapat dilaksanakan.

6

Marzuki Usman, Djoko Koesnadi, Arys Ilyas, Hasan Zein M., I Gede Putu Ary Suta, I Nyoman Tjager, Srihandoko, ABC Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/Institut Bankir Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi DKI Jaya, 1990), Hal. 165


(23)

Di samping itu, cukup beralasan mengapa perseroan terbatas yang diminati, tidak lain karena secara filosofi bahwa pendirian perseroan terbatas yang dilakukan oleh sekolompok orang tersebut semata-mata memiliki tujuan untuk memajukan perusahaan.

UUPT yang telah ada jika dibandingkan dengan peraturan yang lama isinya cukup maju, ketentuan-ketentuan dalam UUPT dapat dikatakan lengkap dan terperinci. Di dalamnya dikenal perbedaan perseroan tertutup dengan perseroan terbuka, diatur tentang bagaimana perlindungan modal dan kekayaan perusahaan, juga tentang penggunaan laba, pengambilalihan perseroan, juga bagaimana jika perseroan melakukan perbuatan melanggar hukum. Namun sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini UUPT lebih terkonsentrasi pada pembahasan mengenai Anggaran Dasar, RUPS dan cara pendirian PT. Masalah yang paling signifikan yang tidak tergambar dalam UUPT ini adalah pertanggungjawaban pengurus apakah itu pertanggungjawab secara perdata maupun pertanggungjawaban secara pidana. 7

Dalam UUPT terdapat pengaturan yang berkenaan dengan organ perseroan. Adapun yang menjadi organ perseroan tersebut yaitu Pertama rapat umum pemegang saham, Kedua, direksi dan Ketiga, komisaris. Rapat umum pemegang saham (selanjutnya disingkat dengan RUPS) adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan oleh direksi dan komisaris.

7


(24)

Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh direksi dalam kasus pelanggaran merek ini, pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadi/ individual. Jadi menganut sistem pertanggungjawaban individual/ personal (“individual/ personal responsibility”). Pertanggungjawaban ini merupakan prinsip umum yang wajar, bahwa pertanggungjawaban bersifat pribadi, yaitu hanya dikenakan kepada orang/para pelaku itu sendiri (asas personal) dan hanya dikenakan kepada orang-orang yang bersalah (asas kesalahan/asas culpabilitas).

Undang-undang Merek Indonesia yang berkaitan dengan perlindungan merek yang bersifat represif dibatasi hanya bagi perlindungan hukum untuk barang atau jasa yang sejenis saja. Padahal dalam kenyataannya beredar banyak barang yang menggunakan merek terkenal terdaftar secara tanpa hak, tetapi digunakan pada barang yang tidak sejenis. 8

Berkaitan dengan merek terkenal, sebenarnya dalam banyak kasus pengadilan telah memperluas perlindungan hukum merek tersebut, yaitu mencakup perlindungan hukum bagi merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun bukan. Pengadilan mendasarkan pandangannya dengan prinsip itikad baik. Ada niat yang tidak baik (itikad buruk) untuk membonceng ketenaran merek orang lain. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 542/1980 G Tanggal 21 Agustus 1981 mengenai perkara Richard Dunhill

8


(25)

dan John Wood melawan Lilien Sutan dan Pemerintah Indonesia tentang merek Dunhill. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui Keputusannya tanggal 19 Juli 1984 Reg. No. 370 K/Sip/1983.

Selanjutnya, dalam perlindungan merek represif, di samping adanya tuntutan ganti rugi melalui gugatan perdata maupun penjatuhan sanksi pidana, pemilik merek memiliki hak mengajukan pembatalan merek. Gugatan pembatalan merek ini dilakukan apabila ternyata merek yang dimiliki seseorang (termasuk merek terkenal) telah didaftarkan pada Kantor Merek.9

Gugatan pembatalan tersebut menurut Pasal 68 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan seperti dimaksud Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Gugatan Pembatalan tersebut tidak hanya dapat diajukan oleh pemilik terdaftar, tetapi juga pemilik merek tidak terdaftar (termasuk merek terkenal) setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal (Kantor Merek) (Lihat Pasal 68 ayat 2 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek). Sampai saat ini, terdapat 168 Merek dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap10. Merek-merek yang dibatalkan itu antara lain merek: Waskite Reiki (Putusan MARI. No 040 K/N/ HAKI/2004); Armani (Putusan MARI

9 Ibid. 10


(26)

No.15 PK/N/HAKI/2004); Watson (Putusan PN. Niaga Jkt.Pst No.14/Merek 2004), versus (Putusan MARI No.06 K/N/HAKI/2004 Jo. Putusan PN Niaga Jkt.Pst. O1/MEREK/2004); Jiangdong, (Putusan MARI Rol No.12 K/N/HAKI/2004 Jo. Putusan PN Niaga Jkt.Pst. No. 17/MEREK/2004),11 dan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah merek pipa invilon AV dalam Putusan PN. Medan No. 1314/Pid.B/2007/PN.Mdn.

Perlindungan hukum merek dan merek terkenal yang diberikan UU Merek yang bersifat preventif dan represif sebagaimana ditentukan Pasal 6 ayat (3) dan (4) UU Merek sudah selaras dengan ketentuan Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs Agreement), mencakup perlindungan terhadap barang atau jasa baik yang sejenis maupun bukan, yaitu dengan pendaftaran merek. Di samping itu, diatur pula hal yang berkaitan perlindungan merek bersifat represif.12

Perlindungan hukum terhadap merek merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin adanya perdagangan yang sehat (fair). Bagi sebuah Perseroan Terbatas (PT) merek itu merupakan asset yang cukup penting, karena dengan adanya merek tersebut dapat menjadi pembeda dan juga bisa menentukan kualitas dari suatu merek tersebut. Dengan memiliki merek yang sudah teruji dan terkenal serta mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat merupakan suatu kebanggaan bagi PT (Perseroan Terbatas).

11

Dikutip dari http://www.google.com/trademark/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008

12 Ibid.


(27)

Merek sebagai suatu asset riil perusahaan mempunyai fungsi, Sebagai tanda pengenal untuk membedakan barang atau jasa produk dari suatu perusahaan dengan barang atau jasa produk perusahaan lain; sebagai sarana promosi dari suatu produk; sebagai jaminan mutu dari suatu produk, dan sebagai penunjuk asal dari suatu produk13. Jika kita melihat fakta-fakta yang terjadi dalam kasus-kasus merek pada umumnya, sangat banyak contoh-contoh kasus yang bisa dilihat dalam perdagangan saat ini, baik itu yang terjadi antara PT dengan PT maupun antara PT dengan perorangan, contoh kasus antara PT dengan PT adalah seperti kasus yang ada dalam penelitian ini, dimana Saudara Karnen juga merupakan Direktur dari Perusahaan pipa tersebut.

Hal yang melatar belakangi penulis membahas masalah pertanggungjawaban direksi perseroan terbatas dalam pelanggaran merek karena studi kasus yang digunakan dalam penulisan ini adalah kasus tindak pidana pelanggaran Merek dengan Nomor: 1314/ Pid.B/2007/PN.Mdn di PN Medan dengan terdakwa Karnen yang melakukan tindak pidana pelanggaran merek pipa AV sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Undang-undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek dan telah diputus pada tanggal 30 Agustus 2007.


(28)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran hak merek dalam perundang-undangan?

2. Bagaimana Pengaturan dalam hal pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kasus pelanggaran merek yang dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas?

3. Bagaimana langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak merek?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak merek dalam perundang-undangan.

2. Untuk mengetahui Pengaturan dalam hal pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kasus pelanggaran merek yang dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas.

3. Untuk mengetahui langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak merek.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam pelanggaran merek. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam kasus mengenai merek.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat) serta konsultan hukum HKI serta badan pengawas HKI, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam HKI mempunyai persepsi yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang


(30)

Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Pelanggaran Merek belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas maupun tentang pelanggaran merek namun jelas berbeda dengan penelitian ini. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Pengertian dari konsep “korporasi” ada berbagai macam, salah satunya menurut terminologi hukum “korporasi” (corporation) adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama melaksanakan urusan finansial, keuangan, ideologi atau urusan pemerintahan.14 Di lain pihak pengertian korporasi

14


(31)

termasuk di dalamnya pengertian dari badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan dan organisasi.

Dalam pembahasan mengenai Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran merek, teori utama yang digunakan adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek15. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur tentang susunan perekonomian Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan ketentuan dasar mengenai demokrasi ekonomi Indonesia. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivistis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu.

Menurut W. Friedman, maka corak tersebut merupakan penggabungan kedua tuntutan antara kolektivisme dengan individualisme.16

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pembahasan judul penelitian ini adalah Prinsip Duty of Care dan Duty of Loyality. Prinsip Duty of Care menjelaskan bahwa Pengurus perseroan juga memiliki kewajiban untuk bertindak hati-hati (duty of care). Oleh karena pengurus perseroan umumnya

15

Ibid., hal 11

16


(32)

bekerja penuh waktu dan lebih menguasai permasalahan perusahaan, kewajiban berhati-hati yang mereka emban jauh lebih ketat dibandingkan dengan komisaris. Salah satu bagian dari duty of care yang diemban oleh pengurus perseroan adalah kewajiban mengawasi keseluruhan struktur perusahaan sesuai dengan masing-masing tugas dan kewenangan yang telah ditetapkan. Kewajiban ini bervariasi sesuai dengan besarnya perusahaan.17 Prinsip Duty of Loyality ialah kewajiban lainnya yang diemban oleh Direksi sebagai pengurus perusahaan terikat pada kewajiban untuk loyal (duty of loyality) dan patuh pada perusahaan. Secara teoritis adanya kewajiban tersebut membuat direksi wajib membayar ganti rugi apabila melanggar kewajibannya. Normalnya, apabila terjadi pelanggaran kewajiban pejabat perusahaan diberi peringatan, mutasi atau diberhentikan. Pada dasarnya kedudukan yang dipegang oleh direksi berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh dewan komisaris18

Untuk mengetahui bagaimana berlakunya fiduciary duty dan business judgement rule bagi direksi perseroan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT), maka harus diperhatikan ketentuan yang mengatur mengenai tugas pengurusan, kewajiban dan khususnya tanggung jawab direksi perseroan terbatas dalam UUPT.

17

Bismar Nasution, Diktat Kuliah Hukum Perusahaan.(Bahan Fiduciary Duty dan Teori Salomon) SPS USU.Hal 25

18


(33)

Terkait dengan kegiatan melakukan pengurusan perseroan terbatas yang diatur dalam UUPT dengan kewajiban fidusia (fiduciary duty) dan aturan bussiness judgement rule, dapat dikatakan bahwa ketentuan mendasar yang mengatur mengenai fiduciary duty dan aturan bussiness judgement rule dalam UUPT dapat ditemukan aturan atau ketentuan umumnya dalam Pasal 97 UUPT tersebut. Ketentuan umum tersebut selanjutnya menyebar dalam berbagai pasal lainnya dalam UUPT. Berikut di bawah ini akan diuraikan dan dijelaskan eksistensi fiduciary duty dan aturan bussiness judgement rule dalam Pasal 97 UUPT dan pasal-pasal terkait lainnya.19

Ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat (1) yang menyatakan bahwa “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”. Jika diperhatikan ketentuan ini adalah penegasan dari aturan yang ditetapkan dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT, dimana dikatakan bahwa direksi dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus:

a. Memperhatikan kepentingan perseroan

b. Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intra vires act)

c. Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang-undang (khususnya UUPT) dan anggaran dasar.

19

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 76.


(34)

Dari ketentuan ini diketahui bahwa tindakan direksi adalah tindakan yang memiliki tanggung jawab keperdataan. Sebagai pengurus perseroan, direksi adalah agen dari perseroan, dan karenanya tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Apa yang dilakukan oleh direksi yang berada di luar batasan kewenangan yang diberikan kepadanya harus dapat dipertanggung jawabkan olehnya. Dalam hal ini ada tiga jenis pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh direksi, yaitu:

a. Pertanggungjawaban terhadap perseroan

b. Pertanggungjawaban terhadap pemegang saham; dan terakhir adalah c. Pertanggungjawaban terhadap kreditor.

Selanjutnya untuk dapat mengukur sampai seberapa jauh tanggung jawab direksi dalam melakukan pengurusan dalam mencapai tujuan PT yang sudah ditetapkan dalam anggaran dasar, direksi harus membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan. Pencapaian dari hasil kerja merupakan bahan evaluasi dalam penilaian kinerja direksi yang dituangkan dalam laporan tahunan yang diserahkan kepada dan untuk disahkan oleh RUPS.

Contoh kasus pelanggaran merek yaitu:

a. Menggunakan merek yang identik atau yang mirip dengan merek yang sudah didaftarkan oleh pihak lain bagi barang-barang dan jasa yang identik atau mirip. Walaupun barang-barang tersebut adalah merupakan barang-barang asli yang diproduksi dan dijual oleh pemiliknya, tindakan menjual barang-barang tersebut yang


(35)

20

b. Menggunakan barang-barang hasil pelanggaran merek untuk dijual walaupun barang-barang tersebut diproduksi oleh orang lain, memajangnya di toko, menyimpannya di gudang untuk dijual, maka barang-barang yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain tersebut telah digunakan merek atau kemasannya tanpa izin, dan lain-lain, dianggap melanggar merek. Baik membeli atau menyimpan barang-barang tanpa mengetahui bahwa menjual barang-barang tersebut merupakan pelanggaran terhadap merek, maka tindakan tersebut tetap dianggap sebagai pelanggaran merek;

c. Menjual atau menggunakan sebuah merek atau kontainer, dan lain-lain. yang merupakan merek yang digunakan tanpa seijin pemilik merek. Tindakan menggunakan sebuah merek, dan lain-lain, yang merupakan pelanggaran terhadap merek yang dimiliki oleh orang lain untuk digunakan sendiri atau memungkin orang lain untuk menggunakannya adalah merupakan pelanggaran terhadap merek. Lebih jauh lagi, misalnya menggunakan piring atau mangkok “western” yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain untuk

20

Dikutip dari http://www.internetlaw.html/virtual_banks/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008


(36)

memberikan jasa, makanan dan minuman untuk digunakan di restoran milik sendiri atau memungkinkan orang lain untuk menggunakannya adalah juga merupakan pelanggaran merek;

d. Memproduksi atau mengimpor sebuah merek, kontainer, Atau yang menunjukkan merek yang digunakan tanpa ijin dari pemilik merek tersebut. Walaupun merek tersebut diproduksi atau diimpor berdasarkan pesanan dari orang lain yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sudah terdaftar tersebut, maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran merek;21

e. Memproduksi, menjual atau mengimpor barang-barang untuk tujuan bisnis untuk digunakan sendiri guna memproduksi sebuah merek, kontainer, dll. Yang merupakan merek yang digunakan tanpa seizin dari pemilik merek. Suatu tindakan memproduksi, menggunakan atau mengimpor ‘printing block’ untuk merek, alat untuk memproduksi kontainer, dll. Untuk tujuan bisnis tanpa instruksi atau ijin pemilik merek atau orang yang memiliki hak atas merek tersebut adalah merupakan sebuah pelanggaran merek.

Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh direksi dalam kasus pelanggaran merek ini, pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara

` 21 Ibid.


(37)

pribadi/individual. Jadi menganut sistem pertanggungjawaban individual/ personal (“individual/ personal responsibility”). Pertanggungjawaban ini merupakan prinsip umum yang wajar, bahwa pertanggungjawaban bersifat pribadi, yaitu hanya dikenakan kepada orang/para pelaku itu sendiri (asas personal) dan hanya dikenakan kepada orang-orang yang bersalah (asas kesalahan/asas culpabilitas).22

2. Konsepsi

Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam studi ini adalah pertanggungjawaban perdata maupun pidana.

Yang dimaksud dengan merek adalah merek dagang dan merek jasa yang telah terdaftar dalam daftar umum merek, pada Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Yang dimaksud dengan pelanggaran merek adalah pelanggaran terhadap hak pemilik merek dagang dan merek jasa terdaftar yang berupa pelanggaran hak-hak keperdataan maupun pelanggaran pidana merek.

G. Metodologi Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian

22 Ibid.


(38)

ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.23 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).24 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.25

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

23

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.

24

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal.118

25

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.


(39)

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.26 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.27 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam kasus pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran merek.

26

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.

27

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997), hal. 42.


(40)

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.28 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran merek.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum

28


(41)

atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.29

c. Bahan hukum tersier:

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.30

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.

29

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141.

30

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan


(42)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 31

5. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dengan menggunanakan penelitian perpustakaan (library research), dengan mengumpulkan bahan-bahan baik itu peraturan perundang-undangan maupun bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

6. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan

31


(43)

undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :32

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah pertanggungjawaban direksi Perseroan Terbatas dalam pelanggaran merek; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian

diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

32


(44)

BAB II

BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK MEREK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan/atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis, atau digunakan untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan. Dalam kedudukannya untuk memperkenalkan produksi suatu perusahaan, merek mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk. Hal ini disebabkan oleh fungsi merek itu sendiri untuk membedakan dalam memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.

Dengan memiliki suatu merek berarti telah dapat diterapkan salah satu strategi pemasaran, yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat pemakai atau kepada masyarakat konsumen, dimana kedudukan suatu merek dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek mempunyai mutu dan karakter yang baik yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar.

Merek merupakan bagian dari HKI yang menembus segala batas. Dimana-mana ada usaha untuk memberikan perlindungan secara lebih besar. Terutama bagi negara-negara yang sudah maju, antara lain Amerika Serikat yang menghendaki adanya perlindungan terhadap HKI warga negaranya dari


(45)

negara-negara lain, supaya arus teknologi penemuan hak cipta serta merek-merek merek-mereka yang sudah terkenal di bidang perdagangan, yang telah mendapatkan “goodwill” secara seksama dengan pengorbanan banyak biaya dan tenaga dapat dilindungi secara wajar oleh negara-negara lain.33

Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreements mengatur tentang definisi merek sebagai berikut :

“Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademark. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services. Member may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually percetible”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreements, setiap tanda atau gabungan dari tanda-tanda yang dapat membedakan barang dan jasa suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda semacam itu, khususnya, kata-kata yang termasuk nama pribadi, huruf, angka, dan gabungan warna, serta setiap gabungan dari tanda semacam itu, dapat didaftarkan sebagai merek dagang.

33

Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam rangka WTO, TRIPs). (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 5-6. Lihat juga Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar HKI dan Penegakan Hukumnya yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property Society/IIPS) pada tanggal 19 – 20 September 2001 hal. 1 bahwa: “Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Merek (dengan brand image-nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu merek dapat merupakan asset individu maupun asset perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, tentunya apabila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik.”


(46)

Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”.34 Merek yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, yaitu antara lain:

Pasal 4 menyebutkan:

Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.

Pasal 5 menyebutkan:

Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

b. Tidak memiliki daya pembeda; c. Telah menjadi milik umum; atau

d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Menurut Persetujuan TRIPs, pembedaan (sering kali disebut dengan “daya pembeda“) adalah satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek. Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1) Persetujuan TRIPs tersebut adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya

34

Pemerintah RI telah menandatangani Persetujuan TRIPs pada tanggal 15 April 1994 dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Selain itu juga telah meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial

Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keppres

No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979, dan Trademark Law


(47)

pembeda itu tadi. Dalam hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan pula sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris.35

Dalam Konvensi Paris, penolakan suatu perlindungan diperbolehkan apabila registrasi atau pendaftaran di negara yang bersangkutan melanggar hak-hak pihak ketiga terdahulu apabila merek yang bersangkutan tidak memiliki karakter pembeda, atau secara eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif, atau apabila merek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau ketertiban umum yang diterima masyarakat. Sementara daya pembeda adalah kunci utama bagi perlindungan menurut Persetujuan TRIPs.

35

Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Op. Cit., hal. 6-7. Lihat Pasal 1 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek: “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.” Lihat juga Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:

a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:

a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.


(48)

Berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan berkembang baik jika suatu merek tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Adanya pembajakan, jelas akan merugikan tidak hanya bagi para pengusaha yang memiliki atau memegang hak atas merek tersebut, tetapi juga bagi para konsumen.

Merek-merek terkenal tertentu, sebagai contoh misalnya CARTIER, LEVI’S dan NIKE, telah mengembangkan kemampuan untuk menciptakan nilai yang tinggi terhadap barang atau produknya, prestise karena upaya promosi yang gencar dan investasi yang besar yang dilakukan oleh pemilik merek sehingga merek-merek tersebut menjadi terkenal di seluruh dunia serta didukung oleh manajemen yang baik.

Daya tarik merek-merek dunia ini menyebabkan banyaknya permintaan terhadap produk-produk yang menggunakan merek-merek ini namun sayangnya permintaan ini sering dipenuhi oleh pemalsu yang memproduksi dan mendistribusikan produk-produk yang tidak sah. Pemalsu memasarkan produknya ke seluruh dunia, dari Hong Kong hingga New York dimana kota-kota tersebut dibanjiri dengan produk-produk palsu. Dari segi ekonomi maupun segi-segi lainnya, pemilik merek menderita kerugian akibat penjualan produk-produk palsu ini. Produk palsu biasanya murah dan berkualitas lebih rendah dibandingkan dengan produk aslinya.

Tindakan pemalsuan merek, tentu akan mengurangi kepercayaan pihak asing terhadap jaminan perlindungan atas merek yang mereka miliki.


(49)

Akibatnya muncul ketidakpercayaan dunia internasional terhadap perlindungan hak atas merek yang diberikan oleh pemerintah Indonesia ataupun untuk melakukan hubungan dagang dengan pihak Indonesia.36

Dalam banyak kasus, peniruan merek secara tidak bertanggung jawab untuk barang yang sejenis selain merugikan pemilik merek yang sah, juga akan merugikan masyarakat umum, khususnya para konsumen, karena merupakan suatu perbuatan curang yang menciptakan kekacauan mengenai asal-usul barang atau usaha industri dan dagang, mendiskreditkan usaha pengusaha atau barang industrial dan komersial pemilik merek yang sesungguhnya dengan adanya pelanggaran terhadap merek, serta mengelabui khalayak ramai berkenaan dengan kualitas suatu barang.37

Contoh kasus pelanggaran merek yaitu:

a. Menggunakan merek yang identik atau yang mirip dengan merek yang sudah didaftarkan oleh pihak lain bagi barang-barang dan jasa yang identik atau mirip. Walaupun barang-barang tersebut adalah merupakan barang-barang asli yang diproduksi dan dijual oleh pemiliknya, tindakan menjual barang-barang tersebut yang dimasukkan ke dalam beberapa kantong, yang menunjukkan merek yang sama seperti merek yang sudah

36

Lihat Laporan USTR – 2005 Special 301 Report yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang masuk dalam kategori Priority Watch List. Selain Indonesia, negara-negara yang juga termasuk dalam kategori Priority Watch List adalah Argentina, Brazil, Mesir, India, Israel, Kuwait, Libanon, Pakistan, Filipina, Rusia, Turki dan Venezuela. USTR menyatakan bahwa negara yang masuk dalam kategori Priority Watch List adalah negara yang tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai maupun penegakan hukumnya.

37

Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT dan Putaran Uruguay, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 27.


(50)

terdaftar pada kantong-kantong tersebut, dianggap, sebagai tindakan pelanggaran merek; 38

b. Menggunakan barang-barang hasil pelanggaran merek untuk dijual walaupun barang-barang tersebut diproduksi oleh orang lain, memajangnya di toko, menyimpannya di gudang untuk dijual, maka barang-barang yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain tersebut telah digunakan merek atau kemasannya tanpa izin, dan lain-lain, dianggap melanggar merek. Baik membeli atau menyimpan barang-barang tanpa mengetahui bahwa menjual barang-barang tersebut merupakan pelanggaran terhadap merek, maka tindakan tersebut tetap dianggap sebagai pelanggaran merek;

c. Menjual atau menggunakan sebuah merek atau kontainer, dan lain-lain. yang merupakan merek yang digunakan tanpa seijin pemilik merek. Tindakan menggunakan sebuah merek, dan lain-lain, yang merupakan pelanggaran terhadap merek yang dimiliki oleh orang lain untuk digunakan sendiri atau memungkin orang lain untuk menggunakannya adalah merupakan pelanggaran terhadap merek. Lebih jauh lagi, menggunakan piring atau mangkok “western” yang mereknya sudah didaftarkan oleh orang lain untuk memberikan jasa, makanan dan minuman untuk digunakan di restoran milik sendiri atau memungkinkan

38

Dikutip dari http://www.internetlaw.html/virtual_banks/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008


(51)

orang lain untuk menggunakannya adalah juga merupakan pelanggaran merek;

d. Memproduksi atau mengimpor sebuah merek, kontainer, Atau yang menunjukkan merek yang digunakan tanpa ijin dari pemilik merek tersebut. Walaupun merek tersebut diproduksi atau diimpor berdasarkan pesanan dari orang lain yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sudah terdaftar tersebut, maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran merek;39

e. Memproduksi, menjual atau mengimpor barang-barang untuk tujuan bisnis untuk digunakan sendiri guna memproduksi sebuah merek, kontainer, dll. Yang merupakan merek yang digunakan tanpa seizin dari pemilik merek. Suatu tindakan memproduksi, menggunakan atau mengimpor ‘printing block’ untuk merek, alat untuk memproduksi kontainer, dll. Untuk tujuan bisnis tanpa instruksi atau ijin pemilik merek atau orang yang memiliki hak atas merek tersebut adalah merupakan sebuah pelanggaran merek.

A. Bentuk-Bentuk Praktek Perdagangan Tidak Jujur. a. Praktek peniruan merek dagang.

Pengusaha yang beritikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upaya-upaya

` 39 Ibid.


(52)

menggunakan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atau jasa yang sudah terkenal untuk menimbulkan kesan seakan-akan barang yang diproduksinya tersebut adalah produk terkenal tersebut.40

b. Praktek pemalsuan merek dagang.

Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad tidak baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya.

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul merek.

Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu.

Prinsip adanya ‘itikad baik’ juga merupakan ketentuan yang sangat penting mengingat ketentuan ini juga merupakan ketentuan internasional

40

Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 202.


(53)

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 BIS Konvensi Paris yaitu bahwa setiap negara peserta terikat untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif agar tidak terjadi persaingan yang tidak jujur.41 Lebih lanjut Pasal 10 ayat 2 (dua) Konvensi Paris menentukan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan honest practice in industrial and commercial matters merupakan suatu perbuatan persaingan tidak jujur.

Sedangkan ketentuan ayat 3 (tiga) menentukan bahwa khususnya dilarang terhadap semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara apapun berkenaan dengan asal-usul barang atau berkenaan dengan aktivitas industri dan perdagangan dari pesaing. Juga semua tindakan-tindakan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul suatu barang. Prinsip ‘itikad baik’ ini harus diterapkan dalam hal kepemilikan suatu merek mengenai siapakah pemilik merek sesungguhnya yang berhak memperoleh perlindungan hukum.

41

Pasal 10 BIS Paris Convention for the Protection of Industrial Property (1967) berbunyi sebagai berikut:

(1) The Countries of the Union are bound to assure to nationals of such countries effective

protection against unfair competition.

(2) Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters

constitutes an act of unfair competition.

(3) The following in particular shall be prohibited:

1. all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment,

the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor;

2. false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the

goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor;

3. indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public

as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods.


(54)

Walaupun Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 telah memberlakukan prinsip ‘itikad baik’, syarat-syarat permohonan merek yang harus ditolak serta ketentuan-ketentuan lain mengenai perlindungan merek terdaftar, termasuk sanksi perdata dan pidana, akan tetapi kenyataannya pelanggaran atas merek masih saja berlangsung, khususnya terhadap merek-merek terkenal, baik di dalam maupun di luar negeri.

B. Perlindungan Merek di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 pada tanggal 1 Agustus 2001.42 Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif dimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek baru akan diperoleh apabila merek tersebut didaftarkan (first to file), menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan.43

Pasal 7 UU No. 15/2001 tentang Merek di bawah ini adalah syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek:

42

Sebelumnya merek dilindungi berdasarkan UU No. 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek. UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek sebagai pengganti UU No. 14 tahun 1997 jo UU No. 19 tahun 1992.

43

Undang-undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem deklaratif (first to use), artinya “siapa yang pertama-tama memakai suatu merek di dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai pihak yang berhak atas merek yang bersangkutan”.


(55)

Pasal 7 menyebutkan:

(1)Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan:

a. Tanggal, bulan, dan tahun;

b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;

c. Nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa;

d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna;

e. Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.

(2)Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.

(3)Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.

(4)Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya.

(5)Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6)Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),

Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang Mewakilkan.

(7)Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut.

(8)Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

(9)Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan Tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.

Ketentuan Pidana yang mengatur tentang sanksi dan denda bagi pelanggar merek diatur dalam Pasal 90–95, yaitu antara lain:

Pasal 90 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan:

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau


(56)

diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 91 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan:

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 92 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan:

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 93 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan:

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 94 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan:

(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan


(57)

hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 95 UURI No. 15/2001 tentang Merek menyebutkan:

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan.

. Dalam hal perlindungan merek, Indonesia sesungguhnya tidak hanya mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan nasional di bidang merek semata, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh TRIPs yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Pembentukan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO).

Oleh karena perjanjian WTO merupakan perjanjian multilateral, maka bagi negara yang menandatanganinya seperti Indonesia harus taat pada ketentuan tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan Persetujuan TRIPs tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Begitu pula mengenai perlindungan bagi merek terkenal sebagaimana pula telah diatur dalam Konvensi Paris pada Pasal 6 BIS.44

44

Lihat juga Nils Victor Montan, Chander M. Lall dan Clifford Borg-Marks, (Author & Ed.), Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pacific Rim (New York: INTA) 2001, hal 97 bahwa: “Menurut Monstret, untuk menentukan apakah merek tersebut termasuk dalam kategori “well known” atau “famous”, maka ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan, yaitu: 1. pengakuan merek;


(58)

Persetujuan TRIPs memuat pengaturan mengenai penegakan hukum untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI di negara-negara anggota. Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan administrasi dan pemegang Hak Kekayaan Intelektual, bila terjadi pelanggaran yang menyangkut Hak Kekayaan Intelektual.

Dalam era global, era perdagangan bebas, dimana negara-negara saling mengembangkan usaha-usaha investasi ke negara-negara lainnya di bidang perdagangan yang memiliki aspek HKI, bagian yang terpenting dalam TRIPs adalah Bagian Keempat yang mengatur tentang “Special Requirements Related to Boarder Measures” yang mengandung prinsip-prinsip pokok dalam penegakan hukum bila terjadi pelanggaran dan/atau adanya indikasi pelanggaran.45

2. penggunaan jangka waktu merek; 3. keluasan dan jangka waktu iklan dan promosi merek; 4. daya pembeda merek tersebut; 5. Derajat keeksklusifan merek serta sifat dan keluasan penggunaan merek yang sama atau serupa oleh pihak ketiga; 6. Sifat barang atau jasa serta jalur perdagangan atas barang dan jasa merek; 7. Derajat reputasi merek melambangkan kualitas; dan 8. nilai komersial yang merek.

45

Lihat Persetujuan TRIPs Pasal 51 dan 52 yang teks aslinya berbunyi sebagai berikut: “Members shall, in conformity with the provisions set out below, adopt procedures to enable

a right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trademark or pirated copyright goods may take place, to lodge an application in writing with competent authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the release into free circulation of such goods. Members may enable such an application to be made in respect of goods which involve other infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met. Members may also provide for corresponding procedures concerning the suspension by the customs authorities of the release of infringing goods destined for exportation from their territories.”

“Any right holder initiating the procedures under Article 51 shall be required to provide

adequate evidence to satisfy the competent authorities that, under the laws of the country of importation, there is prima facie an infringement of the right holder’s intellectual property right and to supply a sufficiently detailed description of the goods to make them readily recognizable by the customs authorities. The competent authorities shall inform the applicant within a reasonable period


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1998

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti Press, 2006

Anwar, H. A. K. Moch., Segi-Segi Hukum Masalah Penyelundupan, Bandung: Alumni, 1982.

Arif, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, cet.2, Jakarta: Rajawali Pers, 1994.

Artikel harian Kompas tanggal 9 April 2002.

BIS Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1967.

Chibro, Soufnir, Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Christianto SH, Hwian, Dikutip dari http://gagasanhukum.wordpress.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

Clarkson, CMV., Understanding Criminal Law. 2nd ed. London: Sweet & Maxwell Ltd., 1998.

Damayanti, V., Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/journal/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

Damayanti, V., Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

Daruherdani, Dwi Anita, Dikutip dari http://indonesianlaw.blogspot.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

Daruherdani, Dwi Anita, Artikel Koran Republika, Dikutip dari www.republika.co.id, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

http://www.inta.org/., 20 November, 2008.

http://puspasca.ugm.ac.id/, Diakses tanggal 12 Desember 2008


(2)

http://www.cbcindonesia.com/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.ebizzasia.com/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.fdic.gov.html/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.fdic.html/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

http://www.gagasanhukum.wordpress.com/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

http://www.google.com/trademark/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.internetlaw.html/virtual_banks/, Diakses hari Minggu, tanggal 13

Juli 2008.

http://www.kompas.com, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

http://www.kompas-cetak/ekonomi/.htm, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

http://www.mediaindo.co.id/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.ristek.go.id/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.theage.com.au/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008. http://www.wikipedia.co.id/, Diakses hari Minggu, tanggal 13 Juli 2008.

Djaidir, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Medan: Disajikan Dalam Seminar Sehari Mengenai Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Dan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas Kantor Wilayah BRI Sumatera Utara, 21 Juni 1997

Djumhana, Muhammad, dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Elliot, Chatherine, and Frances Quinn., Criminal Law, 3rd ed., Essez: Person Education Limited.


(3)

Gautama, Sudargo, dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam rangka WTO, TRIPs), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Gautama, Sudargo, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT dan Putaran Uruguay, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Gautama, Sudargo, dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun

2001, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994

Hasibuan, Syafruddin Sulung, Bahan Kuliah tentang HAKI tanggal 17 November 2007

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007

Jalmav, Margareth Thatcher, Dikutip dari http://digilib.unej.ac.id/, Diakses tanggal 10 Desember 2008.

Kaligis, SH, MH, Prof. Dr. O. C., Teori & Praktik Hukum Merek Indonesia, Bandung: Alumni, 2008.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Prenada Media, 1997.

Kurniadi, Dedi, Perlindungan Hak Cipta Atas Format Program Televisi, Jakarta: Jurist Publishing, 2005.

Laporan USTR – 2005 Special 301.

Lederman, Eli, Criminal Law, Perpetrator and Corporation: Rethiking a Complex Triangle, J. Crim. L. & Criminology : 1985.

Lopa, Baharudin, Tindak Pidana Ekonomi (Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan), Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2004.


(4)

Montan, Nils Victor, Chander M. Lall dan Clifford Borg-Marks, (Author & Ed.), Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pacific Rim (New York: INTA) 2001.

Nasution, Bismar, Diktat Kuliah Hukum Perusahaan.(Bahan Fiduciary Duty dan Teori Salomon) SPS USU.

Oemar, Suwatin, Koran Bisnis Indonesia, terbit tanggal 12 September 2008. Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005 Poernomo dan Dani Mega, Agustinus, Dikutip dari www.adln.lib.unair.ac.id,

Diakses tanggal 12 Desember 2008.

Priapantja, Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar HKI dan Penegakan Hukumnya yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property Society/IIPS) pada tanggal 19 – 20 September 2001.

Rai Widjaya, I. G, Hukum Perusahaan, Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2002 Ranuhandoko, I. P. M., Terminologi Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2003 Republik Indonesia, Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor l4 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Ratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.

Republik Indonesia, Keppres No 17 Tahun 1997 tentang Trademark Law Treaty (TLT).


(5)

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 1961.

Republik Indonesia, Undang-Undang Darurat No. 7/drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 14 Tahun 1997.

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung: Bina Cipta, 2004

Saidin, S.H., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Sitepu, Dina Yenny M., Dikutip dari http://library.usu.ac.id/, Diakses tanggal 11 Desember 2008.

Saliman, Abdul. R., Dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta: Kencana, 2005.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. ---, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:

Grafitti Press, 1990

---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2006

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Supramono, Gatot, Hukum Perseroan Terbatas yang Baru, Jakarta: Djambatan, 1996.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003

Tjager, I Nyoman, Srihandoko, ABC Pasal Modal Indonesia, Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/Institut Bankir Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi DKI Jaya, 1990


(6)

Tunggal, Hadi Setia, Tanya Jawab UU Perseroan Terbatas Indonesia, Jakarta: Harvarindo, 2006.

Usman, Marzuki, Djoko Koesnadi, Arys Ilyas, Hasan Zein M., I Gede Putu Ary Suta, Wilamarta, Misahardi, “Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance”, Cet.1, Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2002.

Utama, Budi, “Pelanggaran Hak Cipta dominasi kasus HAKI”, Bandung: Koran Bisnis Bali, 12 Agustus 2008.

Widjaja, I.G.Rai., Hukum Perusahaan, Jakarta: Kesaint Blanc, 2005.

Widjaja, Gunawan, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Jakarta: Forum Sahabat, 2008.

Yani, Ahmad, & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.