BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Albumin - Pola Penggunaan Albumin Pada Pasien Luka Bakar Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia, yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga dengan bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan larut sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total albumin 3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada orang dewasa sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah ini 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya di dalam kompartemen ektravaskular (Evans, 2002). Albumin manusia (human albumin) dibuat dari plasma manusia yang diendapkan dengan alkohol. Albumin secara luas digunakan untuk penggantian volume dan mengobati hipoalbuminemia (Uhing, 2004: Boldt, 2010).
2.2 Fungsi Albumin
Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam tubuh mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan albumin terhadap tekanan onkotik plasma rnencapai 80% yaitu 25 mmHg. Albumin mempunyai konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan protein plasma lainnya, dengan berat molekul 66,4 kDa lebih rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi rnasih mempunyai tekanan osmotik yang bermakna. Efek osmotik ini usaha untuk mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang bermuatan positif (Nicholson dan Wolmaran, 2000; Dubois dan Vincent, 2002).
Secara detil fungsi dan peran albumin dalam tubuh adalah seperti yang akan dipaparkan berikut: a.
Albumin sebagai pengikat dan pengangkut Albumin akan mengikat secara lemah dan reversibel partikel yang bermuatan negatif dan positif, dan berfungsi sebagai pembawa dan pengangkut molekul metabolit dan obat. Meskipun banyak teori tentang pentingnya albumin sebagai pengangkut dan pengikat protein, namun masih sedikit mengenai perubahan yang terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia (Nicholson dan Wolmaran, 2000; Khafaji dan Web, 2003; Vincent, 2003).
b.
Efek antikoagulan albumin Albumin mempunyai efek terhadap pembekuan darah. Kerjanya seperti heparin, karena mempunyai persamaan struktur molekul. Heparin bermuatan negatif pada gugus sulfat yang berikatan antitrombin III yang bermuatan positif, yang menimbulkan efek antikoagulan. Albumin serum juga bermuatan negatif (Nicholson dan Wolmaran, 2000). c.
Albumin sebagai pendapar Albumin berperan sebagai buffer dengan adanya muatan sisa dan molekul albumin dan jumlahnya relatif banyak dalam plasma. Pada keadaan gugus anion yang dapat mempengaruhi status asam basa. Penurunan kadar albumin akan menyebabkan alkalosis metabolik, karena penurunan albumin 1 g/dl akan meningkatkan kadar bikarbonat 3,4 mmol/L dan produksi basa >3,7 mmol/L serta penurunan anion 3 mmol/L (Nicholson dan Wolmaran, 2000).
d.
Efek antioksidan albumin Albumin dalam serum bertindak memblok suatu keadaan neurotoxic oxidant stress yang diinduksi oleh hidrogen peroksida atau copper, asam askorbat yang apabila teroksidasi akan menghasilkan radikal bebas (Gum dan Swanson, 2004).
e.
Selain yang disebut di atas albumin juga berperan mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga mencegah masuknya kuman-kuman usus ke dalam pembuluh darah, sehingga terhindar dari peritonitis bakterialis spontan (Nicholson dan Wolmaran, 2000).
2.3 Farmakologi
2.3.1 Sintesis albumin
Sintesis albumin hanya terjadi di hepar. Pada orang sehat kecepatan sintesis albumin adalah 194 mg/kg/hari (12-25 gram/hari). Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi albumin (Evans, 2002).
2.3.2 Distribusi albumin
Konsentrasi albumin tertinggi terdapat di dalam sel hati, yaitu berkisar antara 200-500 mcg/g jaringan hati. Adanya albumin di dalam plasma a. langsung dari dinding sel hati ke dalam sinusoid.
b. melalui ruang antar sel hati dan dinding sinusoid kemudian ke saluran limfe hati yaitu duktus torasikus dan akhirnya ke dalam kompartemen intravaskuler. Hanya albumin dalam plasma (intravaskuler) yang mempertahankan volume plasma dan mencegah edema, sedangkan albumin ekstravaskuler tidak berperan.
Albumin merupakan 50% dari protein plasma dan yang memelihara tekanan onkotik plasma adalah sebesar 66-75%. Sebagian fungsi albumin dapat digantikan oleh globulin yang meningkat.
2.3.3 Degradasi albumin
Degradasi albumin total pada orang dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar 14 gram/hari atau 5% dan pertukaran protein seluruh tubuh per hari, albumin dipecah di otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar 10%, dan 10% sisanya merembes ke dalam saluran cerna melalui dinding lambung. Produk degradasi akhir berupa asam amino bebas. Pada orang sehat kehilangan albumin adalah melalui urin dan biasanya minimal tidak melebihi dari 10-20 mg/hari karena hampir semua yang melewati membran glomerolus akan diserap kembali (Evans, 2002).
2.3.4 Ekskresi albumin
Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada keadaan sehat ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting. Penyakit ginjal dapat mempengaruhi degradasi dan sintesis. Pada sindrom nefrotik, albumin plasma dipertahankan dengan menurunkan degradasi apabila kehilangan albumin 100 mg/kg BB/hari, tetapi bila kecepatan hilangnya albumin meningkat, sintesis albumin akan meningkat lebih dan 400 mg/kg BB/hari.
2.4 Ekivalensi Plasma
Albumin mempunyai ekivalensi dengan darah sebagai berikut: a. Dua puluh lima gram albumin ekivalen osmotik dengan lebih kurang 2 unit (500 ml) plasma beku segar (fresh frozen plasma).
b.
Seratus ml albumin 25% sama dengan yang dikandung protein plasma dan 500 ml plasma atau 2 unit darah lengkap (whole blood).
2.5 Indikasi Penggunaan Albumin
Albumin dalam aspek klinis digunakan dalam beberapa hal yaitu: a. Hipovolemia
Hipovolemia dicirikan oleh defisiensi volume intravaskular akibat kekurangan cairan eksternal atau redistribusi internal dan cairan ekstraselular.
Jika terjadi hipovolemia dan disertai hipoalbuminemia dengan hidrasi yang memadai atau edema, lebih baik digunakan albumin 25% daripada albumin 5%. Jika hidrasi berlebihan, harus digunakan albumin 5% atau albumin 25% dilarutkan dengan kristaloid. Walaupun kristaloid atau koloid dapat digunakan untuk pengobatan emergency syok hipovolemik, human albumin memiliki waktu paruh intravaskular yang panjang.
Hipoalbuminemia Hubungan antara hipoalbuminemia dengan hasil akhir yang buruk telah memotivasi para klinisi untuk memberikan albumin eksogen pada pasien dengan hipoalbuminemia. Human albumin telah diindikasikan untuk terapi hipoalbuminemia di Amerika Serikat dan negara lainnya. Tetapi masih terdapat kontroversi, meskipun hipoalbuminemia secara langsung menyebabkan hasil akhir pengobatan yang buruk (Khafaji dan Web, 2003). Hipoalbuminemia bukan suatu indikasi untuk pemberian albumin karena hipoalbuminemia tidak berhubungan langsung dengan plasma dan volume cairan lainnya, tetapi disebabkan kelebihan dan defisit cairan di intravaskular yang disebabkan dilusi, penyakit dan faktor distribusi (Allison dan Lobo, 2000).
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak adekuat (malnutrisi, luka bakar, infeksi dan pada bedah mayor), katabolisme yang berlebihan (luka bakar, bedah mayor, dan pankreatitis), kehilangan albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang berlebihan, redistribusi dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi).
Pemberian albumin akibat kehilangan protein yang berlebihan hanya memberi efek sementara dan jika tidak diberikan akan memperparah penyakit.
Pada kebanyakan kasus, peningkatan penggantian asam amino dan atau protein akan memperbaiki kadar normal plasma albumin secara efektif dibandingkan larutan albumin. Beberapa kasus hipoalbuminemia yang disertai dengan cedera, infeksi atau pankreatitis tidak dapat memperbaiki kadar albumin plasma secara cepat dan suplemen nutrisi gagal untuk memperbaiki kadar tambahan.
c.
Luka bakar Albumin diberikan pada jam ke 24 pasca trauma untuk membantu penarikan cairan dan ekstravaskuler ke intravaskuler.
d.
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Karakteristik ARDS adalah keadaan hipoproteinemia yang disebabkan oleh edema pulmonari, jika terjadi overload pulmonari disertai hipoalbuminemia, larutan albumin 25% akan memberikan efek terapetik jika dikombinasi dengan diuretik.
e.
Nefrosis Albumin mungkin berguna untuk membantu pengobatan edema pada pasien nefrosis yang menerima steroid dan atau diuretik.
f. Operasi By Pass Kardiopulmoner
g. Untuk mengikat dan mengeluarkan bilirubin toksik pada neonatus dengan penyakit hemolitik.
2.6 Luka Bakar
Luka bakar adalah suatu bentuk cedera traumatik yang disebabkan oleh panas, listrik, kimiawi atau agen radioaktif. Sekitar 80% luka bakar terjadi di rumah, dan lingkungan kerja lainnya. Nyala api adalah penyebab utama luka bakar.
Pada keadaan normal, sel-sel tubuh dapat menahan temperatur sampai
o o o
kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap derajat kenaikan temperatur,
o
kecepatan dan waktu penyinaran yang terbatas dapat ditoleransi di atas 51
C, dalam hal ini protein terdenaturasi dan laju kerusakan sangat hebat. Temperatur
o
di atas 70 C menyebabkan kerusakan seluler yang sangat cepat dan hebat, kerusakan ini yang merupakan cedera luka bakar (Nettina, 2001).
2.7 Epidemilogi Luka Bakar
Jumlah penderita luka bakar di seluruh dunia terus mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat 500.000 orang dirawat di Unit Gawat Darurat, sementara 74.000 pasien perlu perawatan inap di rumah sakit akibat luka bakar. Lebih dari 20.000 pasien mengalami luka bakar yang sangat hebat sehingga memerlukan perawatan pada pusat perawatan khusus luka bakar, dua belas ribu korban luka bakar meninggal akibat luka-lukanya. Di Indonesia, luka bakar merupakan kasus terbanyak yang terjadi saat ini, yang disebabkan oleh
2 nyala api ataupun bahan kimia (Anonim , 2011).
Insiden puncak luka bakar pada orang dewasa terjadi pada orang dewasa muda yaitu umur 20-29 tahun, diikuti oleh anak umur 9 tahun atau lebih muda.
Luka bakar jarang terjadi pada umur 80 tahun ke atas. Sekitar 85% luka bakar terjadi di rumah. Pada umur 3-14 tahun, penyebab paling sering adalah dari nyala api yang membakar baju. Dari umur 15 sampai 60 tahun, luka bakar paling sering disebabkan oleh kecelakaan industri, setelah umur ini luka bakar biasanya terjadi karena kebakaran di rumah akibat rokok karena membakar
2.8 Etiologi Luka Bakar
Pusat-pusat perawatan yang berdekatan dengan perumahan penduduk atau berdekatan dengan daerah industri cenderung lebih sering menerima korban luka akibat terbakar. Sementara pusat-pusat di tengah kota lebih banyak merawat cedera melepuh. Cedera akibat listrik dapat timbul akibat kerja atau tidak disengaja berkontak dengan arus tegangan tinggi. Kasus luka bakar akibat rokok tampaknya dilaporkan lebih sedikit.
Lebih dari 80% luka bakar pada anak balita merupakan cedera lepuh. Luka ini dapat terjadi bila balita yang tidak terurus dengan baik yang dengan mudah dapat tersiram air panas, selain itu kulit balita lebih tipis dan kulit anak yang lebih besar dan orang dewasa, sehingga lebih rentan terhadap cedera (Shires, et al., 2002).
2.9 Patofisiologi Luka Bakar
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dan suatu sumber panas tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik.
Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel, kulit dan saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan.
Kedalaman luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan agen tersebut. Perawatan luka bakar harus direncanakan menurut luas dan kedalaman luka bakar, perawatannya dilakukan
a. Fase resusitasi/darurat Fase pada keadaan ini mulai dari cedera pertama sampai selesainya resusitasi cairan. Maksud fase ini diprioritaskan sebagai: i.
Pertolongan pertama ii. Pencegahan syok iii. Pencegahan gangguan pemafasan iv. Deteksi dan penanganan cedera yang menyertai v. Penilaian luka dan perawatan pendahuluan.
b. Fase akut Pada fase ini durasi dimulai sejak diuresis hingga hampir selesai penutupan luka. Prioritas fase ini adalah: i.
Perawatan dan penutupan luka ii. Pencegahan atau penanganan komplikasi, termasuk infeksi. iii.
Pemberian dukungan nutrisi.
c.
Fase rehabilitasi Durasi fase ini dimulai sejak terjadi penutupan luka besar hingga kembali kepada tingkat penyesuaian fisik dan psikososial yang optimal (Bare dan Smeltzer, 2001). Prioritas fase ini adalah: i.
Pencegahan parut dan kontraktur ii. Rehabilitasi fisik iii. Rekontruksi fungsional dan kosmetik Konseling psikologi (Bare dan Smeltzer, 2001).
2.10 Pembagian Luka Bakar
2.10.1 Luka bakar listrik
Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak dengan sumber tenaga bervoltase tinggi seperti kejadian pada petugas listrik yang bekerja berdekatan dengan sumber listrik tinggi. Anggota gerak merupakan tempat kontak yang paling sering terjadi tangan dan lengan yang lebih sering cedera daripada tungkai dan kaki. Lewatnya tenaga listrik bervoltase tinggi melalui jaringan akan mengubahnya menjadi tenaga panas, cedera ini menimbulkan luka bakar yang tidak hanya mengenai kulit dan jaringan subkutis, tetapi juga semua jaringan pada jalur arus listrik tersebut. Luka bakar ini menyebabkan kerusakan vaskular atau saraf pada jarak tertentu dan daerah luka bakar kulit. Anggota gerak dengan luka bakar listrik mudah terkena komplikasi sindroma kompartemen karena adanya luka otot yang dalam atau vaskular. Pada luka bakar listrik yang luas diperlukan penggantian cairan yang cukup banyak untuk menghindari komplikasi.
Perawatan luka bakar listrik yang tepat mengikuti prinsip perawatan umum luka bakar atau luka yang besar, apabila pasien mengalami kematian jaringan dan saraf maka pasien membutuhkan amputasi anggota gerak (Sabiston, 1995).
2.10.2 Luka bakar karena panas
panas serta air panas, yang menyebabkan cedera lepuh. Cedera lepuh ini
2 membuat keterlambatan pertumbuhan kulit (Anonim , 2011).
2.10.3 Luka bakar bahan kimia
Luka bakar karena bahan kimia berbeda dengan luka bakar yang diakibatkan panas yaitu pada derajat lukanya karena berhubungan langsung dengan lamanya kontak sumber panas oleh sebab itu dokter dapat langsung merubah kedalaman luka dengan perawatan yang cermat, untuk luka bakar karena bahan kimia sangat dibutuhkan larutan irigasi untuk penatalaksanaannya. Luka bakar bahan kimia bisa disebabkan oleh larutan fenol, asam hidrofluorida dan fosfor (Sabiston, 1995).
2.11 Penentuan Derajat Luka Bakar
2.11.1 Luka bakar derajat pertama
Ciri-ciri luka bakar derajat pertama adalah berwarna merah muda sampai merah, edema ringan, dan hilang dengan cepat. Selain itu nyeri dapat berlangsung 48 jam dan reda dengan pendinginan (Gambar 2.1). Dasar pengobatan luka bakar derajat pertama adalah: a. epidermis mengelupas dalam 5 hari.
b. kulit gatal dan berwarna merah muda selama sekitar 1 minggu. c. jaringan parut tidak terjadi.
d. penyembuhan secara spontan dalam 10 hari sampai 2 minggu tanpa infeksi.
Luka bakar ketebalan parsial adalah luka yang sembuh dalam waktu lebih dari 3 minggu, penyembuhan yang lama ini sering kali menimbulkan pembentukan jaringan parut. Luka bakar ini dibagi menjadi 2 sub tipe, yaitu: a.
Superfisial i.
Berwarna merah muda atau merah, pembentukan vesikel, berair dan terjadi edema. ii.
Lapisan kulit superfisial rusak, luka nyeri dan lembab.
b.
Dermal bagian dalam i.
Bercorak merah dan putih, area edema yang kemerahan memutih jika ditekan. ii.
Dapat menjadi kekuningan, lunak dan elastik, sensitif atau tidak sensitif terhadap sentuhan udara dingin.
Dasar pertimbangan pengobatan luka bakar derajat dua menurut Nettina (2001) adalah: a. memerlukan beberapa minggu untuk sembuh.
b. jaringan parut dapat terjadi.
2.11.3 Luka bakar derajat tiga/ketebalan penuh
Luka bakar ketebalan penuh atau luka bakar derajat tiga biasanya dapat dengan mudah dikenali, luka bakar ini biasanya disebabkan oleh paparan terhadap zat kimia pekat, atau listrik dengan tegangan tinggi dan kontak yang lama dengan benda yang panas atau jilatan api (Shires, et al., 2002).
Ciri – ciri luka bakar derajat tiga adalah: kerusakan epidermis, dennis, lemak, otot, dan tulang.
b. area kemerahan tidak dapat memutih jika ditekan.
c. luka tidak nyeri, tidak elastis, wama bervariasi dari putih hingga kecoklat.
d. luka ditandai dengan kering dan mati rasa dan bersifat kaku.
Dasar pertimbangan pengobatan luka bakar derajat tiga menurut Nettina (2001) adalah: a. luka harus dibersihkan dengan debridement. Jaringan granulasi terbentuk pada epitalium yang paling dekat dan tepi luka atau tandur penopang.
b. penanduran diperlukan untuk area yang lebih besar dari 3 sampai 5 cm.
Gambar anatomi kulit dan hubungan dengan derajat luka bakar dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Anatomi kulit dan hubungan dengan derajat luka bakarTerkait dengan pertimbangan pengobatan luka derajat tiga, sewaktu pasien diperiksa dalam kamar gawat darurat, dilakukan penilaian persentase luka pada seluruh daerah permukaan tubuh. Pemeriksaan awal pada luka bakar daerah luka dapat dilakukan dengan Hukum Sembilan (Tabel 2.1) dalam rumus ini tiap daerah anatomi ditentukan persentase luas pada seluruh permukaan tubuh yang merupakan perkalian Sembilan (Schwartz, 2000). Persentase luka bakar pada seluruh luas permukaan tubuh dapat juga dilihat pada Gambar 2.2.
Tabel 2.1 Hukum sembilan untuk menghitung persentase tubuh yang terbakar(% LPTT) Anak Dewasa
Kepala/leher
18
9 Lengan
9
9 Tubuh anterior
18
18 Tubuh posterior
18
18 Tungkai (pangkal paha sampai jari kaki)
14
18 LPTT= Luas Permukaan Tubuh Total (Shires, et al., 2002).
Gambar 2.2 Persentase luka bakar pada seluruh luas permukaan tubuh (Shires, et al., 2002).2.12 Pemeriksaan Luka Bakar
Pemeriksaan luka bakar melingkupi dua hal:
2.12.1 Pemeriksaan fisik
Pasien luka bakar merupakan pasien trauma dan kalau melakukan evaluasi harus aman dan tangkas. Penyebab ketidakstabilan yang paling dini timbul pada pasien luka bakar adalah cedera inhalasi berat sehingga jalan napas atas mendekati letal. Pengamatan pertama harus cepat yaitu harus dapat mengenali semua kesulitan-kesulitan tersebut. Pemeriksaan lain penting yang harus dilakukan adalah pemeriksaan abdomen yang cermat sebelum pasien mendapatkan analgesik dan sedatif.
2.12.2 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dimulai dan perhitungan darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia harus dilakukan setelah pasien tiba di fasilitas perawatan. Konsentrasi gas darah dan karboksi hemoglobin juga perlu segera diukur. Pemberian oksigen dapat mengatur keparahan keracunan karbon monoksida yang dialami penderita.
Sebaiknya dilakukan rontgen dada karena tekanan yang terlalu yang kuat pada dada, pasien luka bakar harus menjalani pemeriksaan radiografi dan seluruh vetebra dan tulang belakang.
2.13 Komplikasi
2.13.1 Syok Hipovolemik Akibat pertama dari luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan, cairan yang masuk ke bula pada luka bakar derajat II dan pengeluran cairan dari kropeng pada luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar <20% biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasi tetapi bila >20% terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan-lahan dan maksimal pada delapan jam (Nugroho, 2012).
2.13.2 Udem Laring
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka terjadi di muka, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, uap panas yang terhisap, udem yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas karena udem laring. Gejala yang timbul adalah sesak napas, takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap karena jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi dan penyerapan cairan edema kembali ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis (Nugroho, 2012).
2.13.3 Keracunan Gas CO
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila >60% hemoglobin terikat dengan CO, penderita dapat meninggal (Nugroho, 2012).
2.13.4 SIRS (systemic inflammatory respone syndrome)
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mata, yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit untuk mengalami penyembuhan karena tidak terjangkau oleh pembuluh darah kapiler yang mengalami trombosis. Kuman penyebab infeksi berasal dari kulitnya sendiri, juga dari kontaminasi kuman dari saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial ini biasanya berbahaya karena banyak yang sudah resisten terhadap antibiotik.
Prosesnya dimulai oleh aktivasi makrofag, netrofil, dan pelepasan mediator-mediator, yang kemudian diikuti oleh: a.
Gangguan hemodinamik berupa vasodilatasi, depresi miokardium, gangguan sirkulasi dan redistribusi aliran.
b.
Perubahan mikrovaskuler karena endotel dan edema jaringan, mikroemboli, dan maldigesti aliran. c.
Gangguan oksigenasi jaringn. Ketiganya menyebabkan hipoksia seluler dan menyebabkan kegagalan fungsi organ. Yang ditandai dengan meningkatnya kadar limfokin dan sitokin dalam darah (Nugroho, 2012).
2.13.5 MOF (Multi Organ Failure)
Adanya perubahan permeabilitas kapiler pada luka bakar menyebabkan gangguan sirkulasi. Di tingkat seluler, gangguan perfusi menyebabkan perubahan metabolisme. Pada tahap awal terjadi proses perubahan metabolisme anaerob yang diikuti peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat menimbulkan asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan perfusi, sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemi jaringan akan berakhir dengan nekrosis.
Gangguan sirkulasi makro menyebabkan gangguan perfusi ke jaringan- jaringan organ penting terutama otak, hepar, paru, jantung, gunjal, yang selanjutnya mengalami kegagalan menjalankan fungsinya. Dalam mekanisme pertahanan tubuh, terjadi gangguan pada sistem keseimbangan tubuh (homeostasis), maka organ yang dimaksud dalam hal ini adalah ginjal. Dengan adanya penurunan atau disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat.
Resusitasi cairan yang inadekuat pada fase ini menyebabkan berjalannya proses sebagaimana diuraikan diatas. Sebaliknya bila terjadi kelebihan pemberian cairan (overload) sementara sirkulasi dan perifer tidak atau belum berjalan normal, atau pada kondisi syok; cairan akan ditahan dalam jaringan paru yang manifestasi klinisnya tampak sebagai edema paru yang menyebabkan kegagalan fungsi paru sebagai alat pernapasan, khususnya pertukaran oksigen dengan karbondioksida, kadar oksigen dalam darah sangat rendah, dan jaringan hipoksik mengalami degenerasi yang bersifat ireversible.
Sel-sel otak adalah organ yang paling sensitif; bila dalam wakru 4 menit terjadi menyebabkan kegagalan fungsi pengaturan di tingkat sentral (Nugroho, 2012).
2.13.6 Kontraktur
Kontraktur merupakan salah satu komplikasi dari penyembuhan luka, terutama luka bakar. Kontraktur adalah jenis scar yang terbentuk dari sisa kulit yang sehat di sekitar luka, yang tertarik ke sisi kulit yang terluka. Kontraktur yang terkena hingga lapisan otot dan jaringan tendon dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan.
Pada tahap penyembuhan luka, kontraksi akan terjadi pada hari ke-4 dimana proses ini bersamaan dengan epitelisasi dan proses biokimia dan seluler dari penyembuhan luka. Kontraktur fleksi dapat terjadi karena kehilangan lapisan superfisial dari kulit. Biasanya dengan dilakukan eksisi dari jaringan parut yang tidak elastik ini akan menyebabkan sendi dapat ekstensi penuh kembali. Pada luka bakar yang lebih dalam, jaringan yang banyak mengandung kolagen akan meliputi neurovascular bundles dan ensheathed flexor tendons, juga permukaan volar dari sendi akan mengalami kontraksi atau perlekatan sehingga akan membatasi range of motion (Nugroho, 2012).
2.14 Perawatan Luka Bakar
2.14.1 Penggantian cairan
Penggantian cairan atau resusitasi cairan dimaksudkan untuk dan mengembalikan kadar plasma pada nilai yang normal pada akhir periode 48 jam. Cairan yang dapat digunakan seperti kristaloid yaitu larutan natrium klorida fisiologik atau larutan Ringer Laktat. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pada luka bakar yang luas terdapat kegagalan pompa natrium-kalium (suatu mekanisme fisiologik yang terlibat dalam pengaturan keseimbangan cairan-elektrolit ditingkat seluler). Jadi pasien dengan luka bakar yang sangat luas membutuhkan lebih banyak cairan per persen luas bakar dibandingkan dengan pasien yang luka bakarnya lebih kecil. Pasien dengan luka bakar listrik, cedera panas akan memerlukan tambahan cairan.
2.14.2 Debridemen
Debridemen merupakan sisi lain pada perawatan luka bakar, tindakan ini Memiliki dua tujuan untuk: a. menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh bakteri dan benda asing sehingga pasien terhindar dari kemungkinan infeksi bakteri.
b. menghilangkan jaringan yang sudah mati.
Debridemen dibagi 3 nama: a.
Debridemen alami Pada debridemen alami, jaringan mati akan memisahkan diris secara spontan dan jaringan viabel yang ada di bawahnya. Namun pada pemakaian preparat topikal antibakteri cenderung memperlambat proses pemisahan eskar alami ini.
b.
Debridemen mekanis memisahkan dan mengangkat eskar. Biasanya debridemen mekanis dikerjakan setiap hari pada saat penggantian balutan serta pembersihan luka. Debridemen dengan cara ini dilaksanakan sampai tempat yang terasa sakit dan mengeluarkan darah.
c.
Debridemen bedah Debridemen bedah merupakan tindakan operasi dengan melibatkan pengelupasan lapisan kulit yang terbakar secara bertahap hingga mengenai jaringan yang masih viabel dan berdarah. Tindakan ini dapat dimulai beberapa hari pasca luka bakar atau segera setelah kondisi hemodinamika pasien stabil dan edemanya berkurang (Bare dan Smeltzer, 2001).
2.14.3 Penggantian Balutan
Pembalutan luka bakar dilakukan untuk menutupi luka sementara, melindungi jaringan granulasi, mengurangi nyeri dan membantu menentukan ketika luka yang tergranulasi akan menerima autograph (Nettina, 2001). Menurut Nettina (2001), jenis balutan terbagi dua: a.
Balutan biologis Balutan biologis digunakan untuk menutup luas permukaan tubuh.
Biasanya balutan ini berupa robekan tebal graf yang ditanam baik dan jaringan kulit manusia maupun dan donor mamalia lain seperti babi, amnion manusia juga dapat digunakan.
b.
Balutan biosintetis didapat.
2.14.4 Penggunaan antibiotik
Pengguanaan terapi antibiotika pada luka bakar ada dua metode yaitu terapi antibiotika topikal dan terapi intravena. Terapi antibiotika secara topikal tidak mensterilkan luka bakar tetapi hanya mengurangi jumlah bakteri agar keseluruhan populasi mikroba dapat dikendalikan oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien, terapi antibiotika topikal akan meningkatkan upaya untuk mengubah luka yang terbuka dan tertutup serta kotor menjadi luka yang tertutup dan bersih, contoh antibiotika preparat topikal yaitu: gentamisin sulfat. Terapi antibiotika intravena dapat diberikan profilaksis untuk pencegahan infeksi gram positif pada luka bakar (Nettina, 2001).
2.14.5 Mengurangi nyeri pada luka bakar
Nyeri terasa hebat pada luka bakar derajat dua ketimbang pada luka bakar derajat tiga karena pada derajat dua ujung-ujung sarafnya tidak rusak, ujung-ujung saraf yang terkena sangat sensitif terhadap aliran udara yang dingin sehingga diperlukan kasa penutup steril yang bisa membantu mengurangi rasa nyeri tersebut. Namun demikian pasien dengan luka bakar derajat tiga tetap merasakan nyeri yang dalam dan nyeri disekitar luka bakar. Untuk meningkatkan efektivitas pengobatan, maka preparat nyeri analgetik harus diberikan sebelum nyeri terasa hebat terjadi (Bare dan Smeltzer, 2001).
Oleh karena banyaknya variabel luka bakar termasuk cedera penyerta, penyakit kronik, lamanya waktu pasca luka bakar sebelum dirawat di rumah sakit, dan kejadian-kejadian di sekitar luka bakar, maka mortalitas memiliki nilai yang kecil dan sering kali menyesatkan (Schwartz, 2002). Gambaran faktor yang menentukan beratnya luka bakar dan kemungkinan akibatnya bagi seseorang dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Malnutrisi yang sudah ada
Area permukaan Kedalaman cedera Umur
sebelumnya
Tubuh yang Terkena (%)
Penyakit yang Faktor–faktor pasien Letak cedera Sifat luka bakar yang lebih luas. melemahkan yang terjadi bersamaan Faktor psikososial
Faktor yang Ketepatan pertolongan pertama menentukan keparahan Waktu untuk memperoleh luka bakar dan harapan yang dilakukan akses ke pertolongan spesialis segera hidup guna mendapatkan pemeriksaan dan penatalaksanaan (bagi semua pasien luka bakar kecuali yang lukanya sangat kecil.
Gambar 2.3 Skema faktor yang menentukan beratnya luka bakar dan harapan hidup (Morison, 2004).2.16 Permasalahan Pasca Luka Bakar
Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah akibat jaringan parut yang dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi dan menyebabkan kekakuan sendi, atau menimbulkan cacat estetis yang jelek sekali terutama bila parut tersebut berupa keloid.
Kekakuan sendi memerlukan program fisipterapi yang intensif dan kontraktur memerlukan tindakan bedah.
Pada cacat estetik yang berat mungkin diperlukan ahli ilmu jiwa untuk mengembalikan rasa percaya diri penderita, dan diperlukan pertolongan ahli bedah rekonstruksi terutama jika cacat mengenai wajah atau tangan. Bila luka bakar merusak jalan nafas akibat inhalasi, dapat terjadi atelektasis, neumonia atau insufisiensi fungsi paru pasca trauma (Nugroho, 2012).