BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Peranan Kelompok Studi Dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Dalam Meningkatkan Kemandirian Masyaraat Melalui Credit Union Harapan Maju Di Desa Litongnihuta, Kecamatan Ronggurnihuta, Kabupaten Samosir

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Sejak diproklamirkannya negara Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta, Indonesia sudah menjadi negara merdeka yang sudah sepatutnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa tekanan dari manapun dan siapapun. Kemudian dibentuknya tata pemerintahan yang berdaulat dan memiliki landasan hukum, yakni UUD 1945, mengisyaratkan bahwa founding father negara ini memimpikan agar negara ini dapat memenuhi, melindungi dan menghormati hak dan kewajiban warga negaranya, agar tercapai kesejahteraan sosialnya.

  Hal ini juga ditandai dengan makna eksplisit dalam konsepsi pembukaan UUD 1945 dalam Bab IV, yang juga merupakan cita-cita Nasional negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum. Cita-cita Nasional tersebut harus segera diimplementasikan secara konkret, efektif dan efisien. Bertitik tolak dari pernyataan tersebut, maka negara harus melahirkan kreatifitas dan inovasi dalam membangun imajinasi optimisme kultural agar pencapaian yang didapatkan maksimal. Selain itu, negara juga harus mampu mengembangkan potensi masyarakat yang terkubur selama ini agar dapat diberdayakan dalam membangun kerangka negara Indonesia yang lebih sejahtera.

  Konsepsi negara kesejahteraan yang telah didambakan sejak lahirnya konsep negara ini, dituntut harus berkembang menerjang waktu dengan mensyaratkan vitalnya pemikiran modern. Hal ini disebabkan untuk menghindari sensitifnya pergesekan antar individu maupun golongan yang dapat membuat polemik baru yang semakin kompleks.

  Marciano Vidal mengemukakan, bahwa karakteristik negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal (Kompas, 7 November 2011). Pertama, komitmen negara dalam menciptakan peluang lapangan kerja untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja yang aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan sosial yang berlaku bagi semua warga negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan terutama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah-bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalangan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan.

  Kala era pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, tatanan negara sedang dalam masa pembangunan yang sifatnya massif. Selain sebagai negara baru merdeka, Indonesia memiliki tugas yang berat dalam membenahi masyarakatnya. Kebijakan pemerintah pada saat itu antara lain: Nasionalisasi Bank Java menjadi Bank Indonesia; Mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak; Berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan ekspor-impor; Serta beberapa kebijakan lainya yang ditujukan untuk memajukan perekonomian Indonesia. Akan tetapi, hal negatif terjadi dalam perekonomian Indonesia pada saat itu. Pergantian kabinet dan tidak ada dukungan secara komprehensif dari strukturalisasi pemerintahannya, serta tidak adanya kestabilan politik melahirkan perekonomian yang sangat bur ekonomi-indonesia-dari-era.html) diakses pada tanggal 21 Maret 2013 puku 11.23 wib Memasuki era Ore Baru yang dipimpin oleh Soeharto, perekomian

  Indonesia semakin terencana dengan model pembangunan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan yang menitik beratkan pada bidang ekonomi dan infrastruktur pada saat itu mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi di satu sisi, hal itu dirasakan oleh hanya segelintir orang termasuk elite politik dan pejabat negara. Situasi itulah yang melahirkan praktik korupsi semakin subur dimasa orde baru. Praktik kolusi dan nepotisme pun turut terjadi. Hutang negara membengkak dan ekonomi Indonesia semakin terpuruk dan Soeharto dipaksa mundur dari jabatannya pada tahun 1998, periodenya yang kelima sebagai Presiden RI diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul 14.06 wib.

  Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi masih mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih dipaksa jatuh bangun. Hal itu dapat dilihat dari realita: 1. kemiskinan yang masih tinggi, 2. pengangguran tingkat tinggi dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja,

  3. maraknya koruptor di negeri ini karena hukum yang kurang tegas

  (Indonesia peringkat 58 dari 176 negara terkorup),

  4. masih terjadi disparitas ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya,

  5. nilai rupiah masih sekitar Rp 9.000-Rp 10.000, 6. masih memiliki hutang luar negeri.

  Sesuai dengan paparan sebelumnya, negara Indonesia yang sejahtera “masih jauh panggang dari api”. Negara Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi diberbagai dimensi baik tingkat mikro maupun makro. Program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan selama ini bersifat Top-Down (dari pusat ke daerah) yang diharapkan mampu mengatasi berbagai krisis yang melanda negara ini, bukannya mengurangi justru semakin menambah angka (jumlah) orang-orang miskin. Walaupun secara makro kebijakan ini, Top Down, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi secara mikro ternyata kurang menyentuh peningkatan taraf kehidupan masyarakat kelas terbawah, bahkan kemudian menimbulkan disparitas. (Soetomo, 2009:417)

  Pada periode 2000-2005, jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta orang pada tahun 2000, menjadi 35,10 juta pada tahun 2005.

  Secara relatif juga terjadi penurunan persentasi penduduk miskin dari 19,14% pada tahun 2000, menjadi 15,97% pada tahun 2005. Pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin dari 35,10 juta orang (15,97%) pada bulan Februari 2005, menjadi 39,30 juta orang (17,75%) pada Maret 2006. Sebagai catatan, peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin tersebut terjadi akibat kenaikan harga BBM. Pada Maret 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 34,96 juta orang (15,42%). Dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 mencapai 37,17 juta orang (16,58%), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta orang. diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul 14.57 wib.

  Sedangkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), berkurang 0,89 juta orang (0,53 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret 2011

  −Maret 2012, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 399,5 ribu orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2012), sementara di daerah perdesaan berkurang 487 ribu orang (dari 18,97 juta orang pada Maret 2011 menjadi 18,48 juta orang pada Maret 2012). Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23 persen, menurun menjadi 8,78 persen pada Maret 2012. Begitu juga dengan penduduk miskin di daerah perdesaan, yaitu dari 15,72 persen pada Maret 2011 menjadi 15,12 persen pada Maret. diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul 15.05 wib.

  Angka kemiskinan yang telah dipaparkan sebebelumnya menunjukkan bahwa fenomena kemiskinan di Indonesia belum menemukan solusi yang tepat dalam pereduksiannya. Pendekatan pemerintah yang semula Top Down mulai diubah menjadi Bottom Up (dari bawah ke atas) yakni dengan melihat dan mendengar apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Meskipun dalam praktik dan realitasnya masih banyak oknum pemerintah yang alergi menerima dan mendengar apa keinginan dan kebutuhan rakyat. Justru otonomi daerah melahirkan “raja-raja kecil/ baru” yang semakin memperluas lahan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).

  Dilain hal, angka kemiskinan yang tinggi di Indonesia menjadi polemik yang rumit, tatkala sebagai negara agraris, Indonesia tidak mampu mensuplai kebutuhan pribadinya. Padahal mayoritas penduduknya hidup dari sektor pertanian. Dari keterangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia mencatat pada tahun 2012 jumlah petani Indonesia 39,33 juta orang dibanding dengan tahun sebelumnya 41,49 juta orang. Sedangkan dengan jumlah petani gurem 13,7 juta orang yang hanya mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar. Dengan jumlah petani Indonesia yang besar, justru pemerintah mengadakan impor pangan dari tahun ke tahun. Hal tersbut merupakan keadaan yang kontras berkontradiksi. Keberhasilan swasembada pangan Indonesia yang dilakukan pertama kali pada era Presiden Soeharto, tepatnya REPELITA ketiga tahun 1970/80-1983/84, menjadi pertanyaan besar bagi Indonesia diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul 16.10 wib.

  Seperti yang terjadi di negara berkembang lainnya, pemberian prioritas pada sektor pertanian dalam kebijaksanaan pembangunan ekonomi tidak selalu menghasilkan pertumbuhan produksi yang tinggi, belum lagi dalam hal peningkatan pendapatan. Akhirnya, masalah modal selalu muncul ke permukaan.

  Petani pada umumnya tidak memiliki akses untuk memperoleh modal dalam upaya peningkatan produksi. Meskipun di Indonesia, banyak program pemerintah dalam penyediaan modal bagi petani seperti halnya KUT, IDT, UKM, Poktan, dan lain-lain. Namun secara realitasnya yang dapat menikmati berbagai dana tersebut hanyalah golongan tertentu. Kaum Petani sangat sulit bahkan dipersulit dalam mendapatkannya, yang lebih mirisnya lagi, penyaluran dana tersebut sarat dengan KKN, sehingga tidak tepat sasaran. Akibatnya petani selalu kalah bersaing dengan kelompok yang memiliki kemudahan dalam mengakses modal, pasar dan kebijakan.

  Berdasarkan fakta dilapangan, pekerja (petani) laki-laki maupun perempuan di Indonesia sebagian besar berpendidian rendah (SD dan SMP) dengan upah pekerja petani laki-laki lebih besar dari petani perempuan. Tentunya dengan kondisi ini, pendapatan per kapita petani juga rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk dan hanya dapat menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto. Karena itu, sektor pertanian yang merupakan sektor terbesar di Indonesia selalu ditandai dengan kemiskinan struktural yang berat, kebodohan dan keterbelakangan. diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 09.43 wib.

  Pada era globalisasi ini tentunya Indonesia membutuhkan model pengembangan SDM, khususnya petani karena merupakan sektor yang besar di Indonesia, agar mampu bersaing dan tidak menjadi korban globalisasi itu sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan alternatif yang tidak membutuhkan biaya tinggi, khususnya bagi petani. Dalam pengembangan kapasitas ini sangat dibutuhkan partisipasi aktif dan kreatifitas dari para petani untuk selalu mengembangkan keahlian dan keterampilannya. Sebab hanya kaum petani itu sendiri yang lebih mengetahui seluk-beluk produksi yang paling efektif dan efisien (to help people to help them self).

  Pendidikan sejatinya diharapkan dapat mengatasi berbagai kelemahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Sebagai fondasi kemajuan dan peradaban bangsa, pendidikan dituntut memanusiakan manusia. Akan tetapi, pendidikan formal di Indonesia juga masih menganaktirikan masyarakat marjinal. Oleh sebab itu, pendidikan nonformal dapat dikembangkan. Credit Union adalah sebagai tawaran atau alternatif yang diharapkan menjadi wadah bersama dalam mengatasi berbagai kelemahan tersebut.

  Gagasan Credit Union (CU) untuk kali pertama lahir di Jerman oleh Raiffeissen dalam menanggulangi kemiskinan yang terjadi akibat kapitalisme dan revolusi industri. Untuk Indonesia sendiri, CU mulai masuk sejak masa orde lama tepatnya pertengahan 1960-an yang dibawa oleh Pastor K. Albrecth Karim Arbie, SJ. Tepatnya 8 Desember 1969 didirikanlah Credit Union Counselling Office (CUCO), dan Pastor Albrecht terpilih sebagai ketuanya. CUCO mengambil peran tunggal, yaitu mempromosikan CU di Indonesia. Berkat keuletan, kegigihan, dan kerja keras, dalam waktu relatif singkat CUCO sukses di 13 wilayah keuskupan di Indonesia. Perkembangan CU hingga per 31 Desember 1975 seperti berikut: Jumlah CU 197 buah, jumlah anggota 14.834 orang, jumlah simpanan anggota Rp 95.463.089, jumlah pinjaman beredar Rp 86.332.210, jumlah kekayaan Rp 106.272.939 dan jumlah dana cadangan Rp 1.775.163.

   diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 10.17 wib.

  Sudah saatnya Indonesia mengalami transformasi ekonomi agar cita-cita sebagai Welfare State dapat segera terjewantahkan. Konsep CU sebagai pengembangan ekonomi masyarakat dan gerakan semakin tersebar luas di Indonesia. Di Sumatera Utara, terdapat 61 CU di bawah Puskopdit BK3D Sumut. Total aset CU di bawah Puskopdit BK3D ini, per November 2010, mencapai Rp 1 triliun. Uang tersebut semuanya berasal dari simpanan saham anggota CU yang jumlahnya lebih dari 250.000 anggota. Dan masih banyak CU lainnya yang tidak terdaftar terdapat di Sumatera Utara. Hal ini disebabkan berbagai hal, dan yang pasti CU menumbuhkan ekonomi mikro masyarakat.

  Perhimpunan KSPPM (Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat), merupakan NGO (Non Government Organization) yang bergerak dalam pengembangan masyarakat dengan memakai model strategi CU. Walaupun awal berdirinya, pada tahun 1983 dengan nama KSPH (Kelompok Studi Penyadaran Hukum), hanya mengadvokasi masyarakat di Tapanuli Utara di bidang hukum, founding father lembaga ini mulai menambah kiblatnya dalam pengembangan masyarakat karena dirasakan bahwa masyarakat bukan hanya buta akan hukum akan tetapi juga dalam ekonomi yang terpuruk khususnya di wilayah Tano Batak. Untuk pengembangan masyarakat, KSPPM tidak hanya memprakarsai pendirian CU diwilayah dampingan, tetapi juga melalui CU tersebut lembaga KSPPM mengadakan seminar dan pelatihan-pelatihan sebagai bentuk pendidikan nonformal kepada para petani yang masuk kelompok CU dampingannya. Seminar dan pelatihan yang dibuat oleh KSPPM meliputi: Pelatihan Kepemimpinan, Manajemen Organisasi, Manajemen Credit Union, Pengembangan Pertanian Selaras Alam, Sistem pemerintahan desa, Perdes, Pengelolaan ADD, Ketahanan pangan, Perubahan iklim, KDRT, Pelatihan Pemenuhan Hak Sipil dan Ekosob, Pelatihan Keadilan Gender, Pelatihan Pencegaha HIV/ AIDS, Pelatihan Monitoring HAM, dan lainnya yang dianggap perlu dalam mencerahkan pemikiran dan paradigma para petani. Bahkan, dalam pengerjaan programnya, lembaga KSPPM tidak menutup diri untuk bekerja sama dengan lembaga lain yang dianggap se-visi dalam mengembangkan masyarakat. Termasuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), ICW (Indonesian Corruption Watch), Bakumsu (Badan Advokasi dan Hukum Sumatera Utara), JK-LPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen), dan lainnya. Lembaga KSPPM juga termasuk pendiri dan anggota INFID (International NGO Forum for Indonesia Development).

  Mulai dari berdirinya hingga sekarang, lembaga KSPPM telah membentuk

  42 CU yang tersebar di beberapa wilayah, termasuk kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, sedangkan di Kabupaten Dairi ada 15 CU yang tergabung dalam STKD (Serikat Tani Dairi).

  Khusus untuk wilayah Dairi, lembaga KSPPM telah passing out sejak 2010. Salah satu prestasi lembaga KSPPM adalah mandirinya kelompok yang ada di wilayah Kabupaten Dairi dengan kelompok petani kopinya. Artinya, CU yang sudah terbentuk tidak lagi didampingi secara komprehensif, tetapi para petani itu sendiri yang mengurusnya. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga KSPPM sejak berdiri hingga sekarang menunjukkan suatu perubahan yang cukup membantu negara ini dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia.

  Khusus untuk daerah Kabupaten Samosir, lembaga KSPPM telah membentuk 10 CU dan tergabung dalam STKS (Serikat Tani Kelompok Kabupaten Samosir). Salah satu prestasi STKS dalam beberapa tahun terakhir adalah mendapatkan dana APBD Kabupaten. Jumlah yang didapat memang tidak banyak, tetapi sudah cukup menggambarkan bahwasanya ada dampak positif dari pembentukan kelompok CU. Dari sepuluh CU yang ada di Kabupaten Samosir, CU tertua di daerah tersebut adalah CU Harapan Maju yang terletak di daerah desa Lintongnihuta kecamatan Ronggurnihuta. Kelompok CU Harapan Maju ini terbentuk sejak tahun 1997. Dan sekarang, telah memiliki saham hampir 360 juta dengan jumlah pinjaman mencapai 35-40 juta. Disamping itu, anggota kelompok CU Harapan Maju memiliki kapasitas yang lumayan maju dibandingkan dengan masyarakat desa lainnya. Paradigma berpikir mereka juga tidak bertendensi kepada bantuan sosial, artinya setiap ada kegiatan yang ada di desa mereka tidak terlau berharap dengan adanya dana insentif, tapi bagaimana cara mendapatkan ilmu dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Salah satu prestasi CU Harapan Maju yang dapat dibanggakan adalah menaikkan salah satu anggota mereka menjadi kepala desa. Untuk ke depannya, kelompok ini berusaha ingin menaikkan salah satu anggota kelompok menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tujuan utama dan ekspektasi mereka agar suara masyarakat dapat teraspirasikan jika ada yang memiliki jabatan.

  Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dipaparkan, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana Peranan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat dalam meningkatkan kemandirian masyarakat melalui Credit Union Harapan Maju di Desa Lintongnihuta Kecamatan Ronggurnihuta Kabupaten Samosir.

1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Peranan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Dalam Meningkatkan Kemandirian Masyarakat Melalui Credit Union Harapan Maju di Desa Lintongnihuta Kecamatan Ronggurnihuta Kabupaten Samosir.”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.3.1 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Peranan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Dalam Meningkatkan Kemandirian Masyarakat Melalui Credit Union Harapan Maju di Desa Lintongnihuta Kecamatan Ronggurnihuta Kabupaten Samosir.

  1.3.2 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka: 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai model pengembangan masyarakat.

  2. Secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan bahan kajian serta studi komparasi bagi para mahasiswa yang tertarik terhadap masalah pengembangan masyarakat.

  3. Secara praksis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran kepada Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat dalam proses pengembangan konsep, teori maupun model pengembangan masyarakat.

1.4 Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:

  BAB I : Pendahuluan Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

  BAB II : Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tentang teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

  BAB III : Metodologi Penelitian Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

  BAB IV : Deskripsi Lokasi Penelitian Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penetitian yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

  BAB V : Analisis Data Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari penelitian dan analisis data tersebut. BAB VI : Penutup Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.

Dokumen yang terkait

Peranan Kelompok Studi Dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Dalam Meningkatkan Kemandirian Masyaraat Melalui Credit Union Harapan Maju Di Desa Litongnihuta, Kecamatan Ronggurnihuta, Kabupaten Samosir

0 60 125

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Peran Barong Satriyo Singo Lodhoyo Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Desa Pelem Kecamatan Blora Kabupaten Blora

0 0 6

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peranan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Dalam Meningkatkan Kemandirian Masyarakat Melalui Credit Union Sumber Rejeki Pinang Baris Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Fungsi Patung Ojizo Dalam Masyarakat Jepang

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peranan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dan Pantai

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pemertahanan Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Evaluasi Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Tetehosi Kecamatan Idanogawo Kabupaten Nias

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Evaluasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Medan Sunggal

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peranan - Peranan Kelompok Studi Dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Dalam Meningkatkan Kemandirian Masyaraat Melalui Credit Union Harapan Maju Di Desa Litongnihuta, Kecamatan Ronggurnihuta, Kabupaten Samosir

0 0 28