BAB II PENGATURAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERBATASAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Perbatasan - Pengelolaan Wilayah Perbatasan Darat Antara Indonesia Dengan Malaysia Pada Lembaga Perbatasan General Border Committee (Gbc) Menurut Perspektif Hukum

  

BAB II

PENGATURAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERBATASAN

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian Perbatasan Pasal 1 Montevideo Convention on The Right and Duty of The States tahun

  1993 menetapkan bahwa sebagai suatu kesatuan negara harus memiliki empat kualifikasi yaitu memiliki penduduk yang tetap, wilayah dengan batas-batas yang jelas, pemerintahan yang efektif dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Muatan produk hukum tersebut diatas dapat diletakkan pada perspektif kedaulatan sebuah negara, dimana penegasan batas wilayah negara merupakan manifestasi dari kedaulatan sebuah negara. Dalam batas-batas tersebut sebuah negara memiliki complete and exclusive souvereignty (hak berdaulat yang dilaksanakan secara penuh) dalam upaya mewujudkan visi dan tujuannya. Hal inilah yang menjadikan suatu perbatasan menjadi sangat penting bagi masing- masing negara.

  Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara

  

  dua negara yang berdaulat . Menurut pakar perbatasan Guo, bahwa kata border atau perbatasan mengandung pengertian sebagai pembatasan suatu wilayah politik dan wilayah pergerakan. Sedangkan wilayah perbatasan, mengandung pengertian sebagai suatu area yang memegang peranan penting dalam kompetisi politik antar dua negara yang berbeda. Maka demikian, wilayah perbatasan sebenarnya tidak 26 Rizal Darmaputra. 2009. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: hanya terbatas pada dua atau lebih negara yang berbeda, namun dapat pula ditemui dalam suatu negara, seperti kota atau desa yang berada di bawah dua yurisdiksi yang berbeda. Intinya, wilayah perbatasan merupakan area (baik kota

   atau wilayah) yang membatasi antara dua kepentingan yurisdiksi yang berbeda .

  Perbatasan secara politik dapat terbentuk dimana saja, baik dalam negeri manapun dengan negeri lain. Oleh karena itu, wilayah perbatasan dapat digambarkan sebagai suatu faktor pemisahan karena adanya halangan dua sistem kekuasaan politik, sehingga pemerintahan di masing-masing wilayah politik yang berbeda tersebut dapat mengatur dirinya sendiri, seperti terkait dengan ekspor dan impor, apakah yang digunakan instrumen tarif atau non tarif, serta terkait dengan penggunaan visa atau izin imigrasi bagi orang yang ingin memasuki suatu wilayah

  

  Secara historis, perbatasan sebuah negara atau state’s border, dikenal dengan bersamaan lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antarnegara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas antarnegara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya sebagai negara.

  Suatu perbatasan seringkali didefinisikan sebagai garis imajiner di atas permukaan bumi, yang memisahkan wilayah suatu negara dari negara lain. 27 28 J. G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. Sinar Grafika.

  

Irwan Lahnisafitra. 2005. Kajian Pengembangan Wilayah pada Kawasan Perbatasan Namun menurut pakar perbatasan lainnya yaitu Jones, bahwa suatu perbatasan

  

  Menurut pendapat ahli geografi politik, pengertian perbatasan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu boundaries dan frontier. Kedua defenisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di depan (front) atau dibelakang

  (hinterland) dari suatu negara. Oleh karena itu, frontier dapat juga disebut dengan

  istilah foreland, borderland ataupun march. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai

   unit spasial yang berdaulat .

  Beberapa pendapat para ahli geopilitik tentang biundaries dan frontier antara lain sebagai berikut: Menurut A. E. Moodie:

  Dalam bahasa Inggris, perbatasan memiliki dua istilah, yaitu boundaries dan

frontier . Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah tersebut tidak ada bedanya.

Tetapi, dalam perspektif geografi politik, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan makna. Menurut A. E. Moodie, boundaries diartikan sebagai garis- garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara. Sementara frontier merupakan zona (jalur) dengan lebar yang berbeda yang

   berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan negaranya . 29 30 J. G. Starke. Op. Cit.

  

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2008. Batas Wilayah Negara Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Hlm. 37. 31 A. E. Moodie. 1963. Geography Behind Politics. London: Chinsoun University Library. Hlm.

  Menurut Hans Weiger dalam bukunya yang berjudul Principles of

  Political Geography, yaitu:

Boundaries dapat dibedakan menjadi boundaries zone dan boundaries line.

Boundaries line adalah garis yang mendemarkasikan batas terluar, sedangkan

boundaries zone mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan frontier.

Boundarise zone diwujudkan dalam bentuk kenampakan ruang yang terletak

  antara dua wilayah. Ruang tersebut menjadi pemisah kedua wilayah negara dan merupakan wilayah yang bebas. Boundary line diwujudkan dalam bentuk garis,

  

wooden barrier, a grassy path between field (jalan setapak rumput yang

  memisahkan dua atau lebih lapangan), jalan setapak di tengah hutan, dan lain-

   lain .

  Selanjutnya melengkapi pendapat Weiger dan Moodie, Kristof seorang ahli geografi politik dalam tulisannya yang berjudul The Nature of Frontiers and

  Boundarie (1982) membedakan boundaries dan frontier sebagai berikut:

Frontier mempunyai orientasi keluar, sedangkan boundaries lebih berorientasi ke

  dalam. Frontier merupakan sebuah manifestasi dari kekuatan sentrifugal, sedangkan boundaries merupakan manifestasi kekuatan sentripetal. Perbedaan ini bersumber pada perbedaan orientasi antara frontier dan boundaries. Frontier merupakan suatu faktor integrasi antara negara-negara tersebut di satu pihak, sedangkan boundaries merupakan suatu faktor pemisah. Boundaries berupa suatu zone transisi antara suasana kehidupan yang berlainan, yang juga mencerminkan kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan dari negara yang saling berbatasan. Sedangkan frontier masih memungkinkan terjadinya saling interpenetrasi

  

  Sedangkan menurut D. Whittersley:

  

Boundary adalah batas wilayah negara atau perbatasan di mana secara demarkasi

  letak negara dalam rotasi dunia yang telah ditentukan, dan mengikat secara bersama-sama atas rakyatnya di bawah suatu hukum dan pemerintah yang berdaulat. Frontier adalah daerah perbatasan dalam suatu negara yang mempunyai ruang gerak terbatas akan tetapi karena lokasinya berdekatan dengan negara lain, sehingga pengaruh luar dapat masuk ke negara tersebut yang berakibat munculnya masalah pada sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya setempat yang kemudian berpengaruh pula terhadap kestabilan dan keamanan serta integritas suatu

   negara . 32 33 Hans Weiger. 1957. Principlles of Pilitical Geography. New York: Appleton Century. 34 Kristof. 1982. The Nature of Frontier and Boundaries.

D. Whittersley. 1982. Political Geography: a contemporary perspective. New Delhi. Hlm.

  Menurut pendapat Suryo Sakti Hadiwijoyo, perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, yang mana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosial ekonomi dan

   sosial budaya setelah ada kesepakatan antarnegara yang berbatasan .

  Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara mendefenisikan kawasan perbatasan negara adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan yang berhadapan langsung dengan negara tetangga.

  Berdasarkan pendapat para ahli sebagaimana diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perbatasan adalah suatu kawasan yang berbatasan dengan wilayah negara lain sebagaimana sebelumnya telah ditetapkan garis batasnya melalui sebuah kesepakatan/perjanjian antar dua atau lebih negara yang bertetangga, dimana kawasan perbatasan tersebut merupakan tanda berakhirnya kedaulatan suatu negara terhadap wilayah yang dikuasainya.

  Pada hakikatnya, perbatasan Indonesia adalah batas berakhirnya kedaulatan penuh dari Pemerintah Indonesia terhadap wilayahnya berikut segala isi di atas, permukaan dan di bawahnya. Ini mengandung arti bahwa secara hukum (nasional dan internasional) kedaulatan penuh Pemerintah Indonesia hanya sampai di kawasan-kawasan perbatasan NKRI yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam menjalankan kedaulatannya ini, Pemerintah Indonesia berhak melakukan apa saja

  

(to govern itself) terhadap isi dan ruang kawasan perbatasannya sesuai dengan cita dan tujuan negara Indonesia serta arah pembangunan negara Indonesia sebagaiamana telah digariskan melalui rencana-rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Di samping itu, dalam melaksanakan kedaulatan penuhnya di kawasan perbatasan, Pemerintah Indonesia berhak menolak segala campur tangan/intervensi dari pihak atau negara lain. Demikian juga sebaliknya, Pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan intervensi terhadap kawasan yang bukan dibawah yursdiksi kedaulatannya.

  Intervensi terhadap kawasan perbatasan diperbolehkan sepanjang ada kesepakatan

   antara Pemerintah Indonesia dengan pihak atau negara lain .

  Terdapat beberapa nilai-nilai yang terkandung di kawasan perbatasan Indonesia yaitu nilai kedaulatan, integritas, kesetaraan, kesepakatan dan hormat- menghormati, pembangunan negara dan kerjasama, kepastian hukum, ideologi, politis, ekonomis/kesejahteraan, sosial dan budaya, pertahanan keamanan, geografis dan spasial serta teknologi. Sedangkan asas/prinsip yang terkandung dalam kawasan perbatasan Indonesia adalah asas transnasional, persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality), pengakuan (non-recognition

  

principle) , pertahanan dan keamanan (self defence principle), kerjasama,

  keberlanjutan (sustainability principle) , desentralisasi, dekonsentrasi, pembantuan, keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, penggunaan teknologi dan

   negara kepulauan .

36 Mahendra Putra Kurnia. 2011. Hukum Kewilayahan Indonesia. Malang: Universitas Brawijaya Press. Hlm. 83.

B. Fungsi Perbatasan

  Berdasarkan pengertian perbatasan diatas, bahwasannya dapat disimpulkan bahwa perbatasan mempunyai beberapa fungsi. Fungsi perbatasan juga mengalami perkembangan zaman. Pada zaman dahulu fungsi perbatasan umumnya sebagai berikut:

  1. Garis pertahanan Garis pertahanan digunakan untuk mengetahui batas yurisdiksi setiap masing- masing negara. Sehingga negara yang satu dengan negara yang lain tidak mengambil alih atas yurisdiksi suatu wilayah yang bukan merupakan bagian wilayahnya.

  2. Batas wilayah kekuasaan negara Perbatasan sebagai batas wilayah kekuasaan negara agar suatu pemerintahan negara mengetahui sampai dimana kedaulatan wilayahnya dan kewenangannya untuk mengelola wilayahnya.

  3. Untuk melindungi industri di dalam wilayah Hal ini dilakukan agar pemerintah suatu negara dapat mengadakan pajak-pajak tarif tertentu, seperti tarif lintas batas. Hal yang demikian akan mempengaruhi pemasaran bagi hasil-hasil produksi industri tersebut. Jadi perbatasan disini mempunyai fungsi perdagangan.

  4. Fungsi legal (hukum) Perbatasan merupakan batas berlakunya hukum suatu negara. Penduduk yang tinggal di wilayah perbatasan, hendaknya mematuhi hukum-hukum yang berlaku bagi negara di mana mereka tinggal walaupun penduduk tersebut mungkin mempunyai adat istiadat yang sama dengan adat-istiadat penduduk di seberang garis perbatasan negaranya. Akan tetapi dengan timbulnya supranasionalisme yang didasarkan atas kepentingan ekonomi dan kebudayaan, beberapa negara mau

   melepaskan sebagian dari kekuasaannya untuk kepentingan bersama mereka .

  Fungsi perbatasan secara umum bagi masing-masing negara yaitu: 1. Fungsi pertahanan dan keamanan

  Fungsi ini sangat terkait dengan pemahaman perbatasan secara geostrategis yang diyakini sebagai penjelmaan kedaulatan politik suatu negara. Makna yang terkait di dalamnya sangat luas, tidak hanya memberikan kepastian hukum atas yurisdiksi wilayah teritorial Indonesia, akan tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek lain seperti kewenangan administrasi pemerintahan nasional dan lokal, kebebasan navigasi, lalu lintas perdagangan, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Sebagai wilayah batas antar negara, perbatasan juga merupakan sabuk pengaman (security belt) yang berada pada lingkaran prioritas pertama dalam strategi pertahanan keamanan Indonesia terhadap segala bentuk potensi ancaman dari luar, baik dalam bentuk idiologi, politik serta sosial budaya dan pertahanan keamanan.

2. Fungsi kesejahteraan

  Sebagai pintu gerbang negara, wilayah perbatasan tentu memiliki keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.

  Dalam konteks ini, wilayah perbatasan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktifitas ekonomi perdagangan. Sehingga perbatasan dapat dilihat 38

  ”Konsep Dasar Perbatasan”. Sebagaimana yang dimuat dalam

Diakses sebagai daerah kerja sama antar negara bersebelahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah perbatasan kedua negara.

  Fungsi ini sangat penting mengingat realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan darat masih terbelakang , dengan kondisi wilayah yang umumnya terpencil, tingkat pendidikan dan kesehatan rendah dan seringjkali dijumpai penduduk yang tergolong dalam kategori miskin. Apabila fungsi kesejahteraan dapat diwujudkan akan berdampak positif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat perbatasan. Terciptanya kesejahteraan masyarakat akan berdampak langsung terhadap daya tangkal terhadap berbagai kegiatan illegal maupun provokasi pihak lawan yang dapat membahayakan kedaulatan negara.

  Dengan kata lain, terlaksananya fungsi kesejahteraan di wilayah perbatasan dapat secara efektif membantu menciptakan suatu kekuatan pertahanan dan keamanan.

3. Fungsi lingkungan

  Fungsi ini terkait dengan karakteristik di wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang negara yang mempunyai keterkaitan saling mempengaruhi dengan kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun

   regional .

  Menurut Saru Arifin bahwa fungsi perbatasan ada 3 yaitu: 1. Fungsi legal

  Yaitu adanya garis batas yang berfungsi untuk menegaskan batas suatu wilayah dengan suatu standar yurisdiksi dan peraturan negara yang berlaku.

  39 ”Konsep Dasar Perbatasan”. Sebagaimana yang dimuat dalam

  2. Fungsi kontrol Yaitu setiap pergerakan orang maupun barang yang masuk atau keluar dari suatu wilayah perbatasan diatur dan menjadi kontrol negara tersebut.

  3. Fungsi fiskal Yaitu merupakan pelengkap dari fungsi kontrol yang memberikan hak kepada

   suatu negara untuk menerapkan harga fiskal negara yang dituju .

  Selain beberapa fungsi perbatasan diatas yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka fungsi perbatasan menurut hukum internasional oleh Jean Marc F. Blanchard dalam bukunya Linking Border

  

Disputes and War: An Instutional Statist Theory menyatakan bahwa perbatasan

  memiliki 7 fungsi yaitu: 1. Fungsi militer strategis

  Dalam konteks ini perbatasan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan militer strategis suatu negara, terutama pembangunan sistem pertahanan laut, darat dan udara untuk menjaga diri dari ancaman eksternal.

  2. Fungsi Ekonomis Perbatasan berfungsi sebagai penetapan wilayah tertentu dimana suatu negara melakukan kontrol terhadap arus modal, perdagangan antarnegara, investasi asing, pergerakan barang antarnegara. Fungsi ekonomis perbatasan juga memberikan patokan bagi suatu negara untuk melakukan eksplorasi sumber-sumber alam secara legal pada wilayah tertentu.

  3. Fungsi Konstitutif Berdasarkan konsep hukum international modern suatu negara berdaulat wajib memiliki wilayah perbatasan yang terdefinisikan dengan jelas. Artinya, perbatasan menetapkan posisi konstitutif negara tertentu di dalam komunitas international. Suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah yang merupakan teritorialnya sebagaimana ditetapkan oleh perbatasan yang ada.

  4. Fungsi identitas nasional Sebagai pembawa identitas nasional, perbatasan memiliki fungsi pengikat secara emosional terhadap komunitas yang ada dalam teritori tertentu. Kesamaan pengalaman dan sejarah, secara langsung maupun tidak langsung telah mengikat masyarakat secara emosional untuk mengklaim identitas dan wilayah tertentu.

  5. Fungsi persatuan nasional Melalui pembentukan identitas nasional perbatasan ikut menjaga persatuan nasional. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan nasional, para pemimpin negara biasanya mengombinasikan simbol dan jargon dengan konsep teritori dan perbatasan. Konsep-konsep seperti kekuatan maritim dan kekuatan darat biasanya dipakai untuk mendorong warga agar menjadi persatuan dan kesatuan nasional.

  6. Fungsi pembangunan negara bangsa Perbatasan sangat membantu dalam pembangunan dan pengembangan negara bangsa karena memberikan kekuatan bagi negara untuk menentukan bagaimana sejarah bangsa dibentuk, menentukan simbol-simbol apa yang dapat diterima secara luas, dan menentukan identitas bersama secara normatif maupun kultural.

7. Fungsi pencapaian kepentingan domestik

  Perbatasan berfungsi untuk memberikan batas geografis bagi upaya negara untuk mencapai kepentingan nasional di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, pembangunan infrastruktur, konservasi energi, dan sebagainya. Perbatasan juga menetapkan sampai sebatas mana negara dapat melakukan segala upayanya untuk

   mencapai kepentingan nasionalnya .

  Berkaitan dengan fungsi-fungsi perbatasan tersebut, maka setiap negara perlu untuk melakukan tindakan yang dapat menjamin keamanan di wilayah perbatasan. Karena kawasan perbatasan identik dengan kebijakan politik yang berbeda-beda pada dua atau lebih wilayah yang saling berbatasan tersebut, sehingga hal ini sangat penting karena kemampuan negara untuk menjaga keamanan perbatasannya dapat menjamin kelangsungan hidup negara tersebut untuk kedepannya.

C. Tipe Perbatasan

  Berdasarkan pengertian dan fungsi perbatasan, maka O. J. Martinez, mengelompokkan perbatasan kedalam berbagai tipe, yaitu:

1. Alinated borderland

  Yaitu suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktivitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan, serta persaingan etnik.

41 Ganewati Wuryandari. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Jakarta:

  2. Coexistent borderland

  Yaitu suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang penyelesaiaannya berkaitan dengan masalah kepemilikan sumber daya alam yang strategis di perbatasan.

  3. Interdependent borderland

  Yaitu suatu wilayah perbatasan yang kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah.

  4. Integrated borderland

  Yaitu suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam sebuah persekutuan yang erat. Hal ini terjadi di kawasan perbatasan antara

  Mengacu kepada tipologi Martinez diatas, Riwanto Tirtosudarmo mengkategorikan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia termasuk di antara tipe kedua dan ketiga yaitu coexistent dan interdependent borderland. Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat dengan Malaysia (Sabah dan Serawak)

   adalah sejauh 2.004 kilometer .

  Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang bertetangga yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern tidak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Semenjak era kolonialisme Eropa Barat kedua negara meiliki konsep sebagai negara modern yaitu Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Malaysia pada 31 Agustus 1957. Konsekuensi adalah terciptanya garis demarkasi

  

  antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan . Berdasarkan hal ini, maka dalam penetuan titik patok perbatasan secara konseptual menggunakan koordinat titik-titik batas, yang dilampiri sebuah peta ilustrasi umum dari garis batas yang disepakati. Karena sifat garis batas yang sangat penting, sebagai penanda mulai dan berakhirnya hak dan kewajiban suatu negara, maka letak pastinya di lapangan perlu ditegaskan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasang tanda-tanda batas di sepanjang garis batas yang diperjanjikan.

D. Pengaturan Hukum Penetapan Perbatasan Menurut Hukum Internasional

  Penetapan mengenai batas wilayah suatu negara antara masa lalu dengan perkembangan mutakhir di bidang hukum internasional telah mengalami perubahan. Pada masa lalu, batas wilayah suatu negara banyak dipengaruhi oleh kegiatan kolonialisme dengan berbagai variannya, seperti okupasi, preskripsi, cessi, akresi, penaklukan dan akuisisi.

43 Saru Arifin. Op.Cit. Hlm. 56.

  Pada zaman ini telah ada pedoman dari hukum internasional yang ditungkan dalam sumber-sumber hukum internasional. Sumber hukum internasional adalah kumpulan peraturan dan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai rujukan oleh ahli atau pakar hukum internasional saat akan memberlakukan suatu ketentuan hukum internasional. Sumber hukum internasional sangat mempengaruhi argumentasi hukum yang akan dikemukakan dalam suatu putusan hukum internasional

   1.

  Perjanjian Internasional (International Conventions) .

  Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional terdiri dari :

  Perjanjian internasional mengakibatkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saling menyetujui, menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional. Kedudukan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional sangat penting mengingat perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum karena dibuat secara tertulis.

2. Kebiasaan International (International Custom)

  Tidak setiap kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum, ada dua syarat untuk dapat dikatakan menjadi sumber hukum, yaitu: harus terdapat suatu kenbiasaan yang bersifat umum (unsur material) dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum (unsur psikologis)

   45 ”Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam . yang diakses pada tanggal 18 februari 2015 pukul 20.15 WIB. 46 Rochimuddin. “Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam yang diakses pada

  3. Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab Adanya prinsip-prinsp hukum umum sebagai sumber hukum primer, sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif, karena prinsip-prinsip hukum umum ini melandasi semua hukum yang ada di dunia, baik hukum internasional maupun hukum nasional.

  4. Keputusan Pengadilan/Yurisprudensi Internasional (judicial decisions) Keputusan-keputusan peradilan memberikan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional.

  Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional dapat berupa keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasa prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.

  5. Pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya/Doktrin (Theachings of

  the most highly qualified publicists )

  Pendapat para sarjana terkemuka, mengenai suatu masalah tertentu, meskipun bukan merupakan hukum positif, seringkali dikutip untuk memperkuat pendapat tentang adanya atau kebenaran dari suatu norma hukum. Pendapat para sarjana akan lebih berpengaruh jika dikemukakan

  

  Dalam perkembangan mutakhir, batas wilayah negara tersebut lebih ditentukan oleh sumber-sumber dan proses-proses hukum internasional seperti self 47 Rochimuddin. “Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam

  

determination , asas uti possidetis juris, dan perjanjian batas negara. Ketiga cara

  ini telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu cara dalam penentuan wilayah bagi negara yang baru merdeka dari belenggu penjajah maupun yang baru

   berdiri melalui pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri .

  a.

  Self Determination

  Self determination merupakan salah satu dari sumber hukum internasional

  karena sebagai salah satu prinsip-prinsip hukum umum yang telah diakui oleh negara beradab yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Pengertian hak untuk menentukan nasib sendiri (the rights of self determination) dapat dijelaskan dalam 2 arti. Pertama dapat diartikan sebagai hak dari suatu bangsa dalam sebuah negara untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri. Hak demikian sudah diakui dalam hukum internasional, khususnya dalam deklarasi mengenai hak dan kewajiban negara-negara yang dibuat oleh panitia hukum internasional pada tahun 1949 dan dimuat dalam pasal 1 yang menyebutkan: “Every state has the right to

  

independence and hence to exercise freely, without dictation by any other state,

all its legal powers, including the choice of its own form of gevornment”.

  Kedua, hak menentukan nasib sendiri dapat berarti sebagai hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang merdeka. Konsep self determination ini menjadi perhatian serius oleh PBB ketika

  

  Hak penentuan nasib sendiri (right of self determination) oleh suatu bangsa pada prakteknya berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis di abad ke 18. Hak ini berkembang sejalan dengan perkembangan politik dunia,

   permasalahan etnis, dan pemberontakan dari etnis-etnis di Amerika dan Eropa .

  Pada faktanya, selama Perang Dunia I, konsep penentuan nasib sendiri menjadi instrumen penting dalam kelahiran suatu individual nation-state yang saat itu berjuang memisahkan diri dari Kerajaan Austro-Hungaria dan Kerajaan Utsmani. Meskipun demikian, hak penentuan nasib sendiri tidak pernah diakui sebagai suatu hak dalam praktek hukum internasional sampai diadopsinya hak ini dalam Piagam PBB pasal 1 ayat (2) pada Juni 1945 dimana doktrin dari self determination dikodifikasi atau diberlakukan sebagai hukum internasional positif.

  Meskipun Piagam PBB hanya sedikit memberikan pengaturan tentang

  “self determination” , akan tetapi Piagam PBB telah memberikan beberapa doktrin

  mengenai hak penentuan nasib sendiri. Prinsip-prinsip mengenai penentuan nasib sendiri dengan jelas disebutkan adalah pertama kali pada pasal 1 ayat (2) dan kemudian pasal 55 Piagam PBB.

  Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB menyatakan: “To develop friendly relations

  

among nations based on respect for the principle of equal rights and self

determination of peoples, and to take other approppriate measures to strengthen

49 Suryokusumo Sumaryo. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Penerbit Alumni. Hlm. 167. 50 G. J. Simpson. 1996. “The Diffusion of Sovereignty: Self Determination in the Post Colonial

  

universal peace” bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah untuk “membangun

  hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat”. Pasal 55 Piagam PBB juga menyatakan: “With a view to the creation of conditions of stability and weel-

  

being which are necessary for peacefull and friendly relations among nations

based on respect for the principle of equal rights and self determination of

peoples” bahwa yang mendorong PBB untuk meningkatkan standar kehidupan

  masyarakat dunia, menciptakan kondisi stabilitas dan hubungan damai serta mencari solusi terhadap masalah kesehatan dan kebudayaan masyarakat dunia, serta penghormatan universal terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri oleh rakyat serta Hak Azasi Manusia.

  Pengaturan dari penentuan nasib sendiri dalam pasal 1 ayat (2) dan pasal

  55 Piagam PBB kemudian dilengkapi oleh Bab XI tentang Deklarasi mengenai Wilayah-wilayah tidak Berpemerintahan Sendiri dan Bab XII tentang Sistem Perwalian Internasional. Akan tetapi tidak satupun pasal dalam kedua bab ini memberikan penjelasan terperinci tentang self determination.

  Piagam PBB merupakan dasar dari hak penentuan nasib sendiri. Piagam PBB yang pertama kali memasukkan ketentuan penentuan nasib sendiri ke dalam hukum internasional positif. Dengan dimasukkannya prinsip self determination dalam pasal 1 ayat (2), maka pembentuk Piagam PBB mengidentifikasikan self

  

determination sebagai salah satu tujuan utama, atau raisons d’etre dari organisasi

51 PBB . Penentuan nasib sendiri dijalankan dalam konteks untuk menciptakan

  hubungan baik antar negara-negara dengan mengutamakan kesamaan hak setiap bangsa di dunia. Piagam PBB dianggap berkontribusi menyumbangkan prinsip bahwa “kedamaian dunia” adalah tidak mungkin terwujud tanpa self

  

determination . Dalam konteks, praktisnya prinsip self determination sebagai

  dasar terbentuknya suatu negara dan penguasaan wilayahnya, telah dijadikan dasar oleh Mahkamah Internasional dalam memutus beberapa kasus di negara- negara yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya dan dalam hal penentuan batas-batas negaranya.

  b.

  Asas Uti Possidetis Juris

  Uti Possidetis Juris juga merupakan salah satu dari sumber hukum

  internasional karena sebagai salah satu prinsip-prinsip hukum umum yang telah diakui oleh negara beradab yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Uti

  

Possidetis Juris secara terminologi merupakan bahasa latin yang berarti “sebagai

  milik anda” (as you possess). Terminologi ini secara historis berasal dari hukum Romawi yang berarti bahwa wilayah dan kekayaan lainnya mengikuti pemilik asal pada akhir konflik antara negara baru dengan penguasa sebelumnya yang

  51 Antonio Cassese. 1995. Self Determination of Peoples: A Legal Reappraisal. Cambridge University Press. Hlm. 38. 52 P. Thornberry. 1993. The Democratic or Internal Aspect of Self Determination. Martinus

  

  disajikan dalam sebuah perjanjian . Uti Possidetis Juris adalah prinsip dalam hukum internasional bahwa teritori dan properti lainnya tetap dengan pemiliknya pada akhir konflik, kecuali disediakan oleh perjanjian, jika perjanjian tersebut tidak termasuk kondisi tentang kepemilikan properti dan wilayah diambil selama

   perang, maka prinsip uti possidetis juris akan menang .

  Secara historis, dalam hukum Romawi prinsip ini diterapkan dalam kasus penaklukan wilayah seperti yang dilakukan oleh penguasa Jerman pada tahun

  

  1871 atas Alsace Lorraine . Dalam sistem hukum Romawi prinsip ini digunakan untuk terminologi hukum perdata. Dalam konteksnya, terdapat dua perbedaan terminologidari terjemahan Uti Possidetis Juris, secara etimologi antara

  

possession dan ownership dalam hukum perdata. Possession mengandung arti

kepemilikan melalui prosedur yang baik tanpa melalui kekerasan dan kecurangan.

  Hakim Roma menerapkan Uti Possidetis yang terkenal dengan Ita Possidetis yang dalam bahasa Inggris berarti “as you possess, so you may possess”, sebagai milik anda maka anda boleh memilikinya. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam pertanyaan owenership di depan pengadilan yang lebih menekankan pada bukti- bukti formal. Dengan demikian, possession menunjukkan kepada pengertian kepemilikan yang tidak formal, sebagaimana dalam hukum perdata lebih

   bermakna penguasaan faktual . 53 Helen Ghebrewebet. 2006. Identifying Units of Statehood and Determining International

Boundaries: A Revised Look at the Doctrine of Uti Possidetis and the Principle of Self

Determination . Verlag Peter Lang. 54

  

”Uti Possidetis”. Sebagaimana dimuat dalam

diakses pada 25 januari 2015 pukul 20.04 WIB. 55 56 Helen Ghebrewebet, Helen. Loc. Cit.

  Joshua Castellino. 2005. International Law and Indogenous People. Martinus Nijhoff

  Evolusi prinsip Uti Possidetis Juris ini dari hukum perdata ke hukum internasional dilakukan dengan dua tujuan. Pertama, hal ini dimaksudkan untuk menegaskan klaim atas properti dalam suatu kedaulatan teritorial. Kedua, dimaksudkan untuk menyatakan barang milik (possession) yang secara faktual bersifat sementara dalam hukum perdata menjadi berstatus permanen secara

   hukum dari kedaualatan hak milik pada suatu wilayah negara .

  Pada tahun 1986 prinsip ini oleh International Court of Justice (ICJ) diterapkan dalam kasus Burkina Faso v. Republic of Mali. Dalam putusannya tersebut dinyatakan sebagai berikut:

  “(Uti Possidetis) is a general principle, which is logically with the nomenon of obtaining independence, wherever it occurs. Its obvious purpose is to

prevent the independence and stability of new states being endangered by

fratricidal struggles provoked by the changing of frontiers following the

withdrawal of the administering power”.

  Prinsip ini oleh ICJ juga ditegaskan berlaku bagi suatu negara bekas jajahan di luar kasus Burkina Faso v. Republic of Mali tanpa memperhatikan status hukum dan politik entitas sisi perbatasan yang bersangkutan. Penggunaan prinsip ini menurut sebagian ahli hukum internasional seperti Paul R. Hensel Michael E. Allison, akan lebih menciptakan stabilitas di perbatasan dibandingkan perbatasan negara-negara yang tidak diwarisi oleh penjajah. Alasannya adalah bahwa para penguasa kolonial telah meletakkan dasar-dasar batas negara secara jelas dalam sebuah perjanjian, sehingga negara-negara yang baru merdeka dari penguasa penjajah hanya akan meneruskan saja warisan perbatasan yang telah

   ditinggalkan oleh penjajah .

  Dalam sejarahnya, prinsip ini terbagi menjadi dua, yaitu uti possidetis juris dan uti possidetis de facto. Brazil adalah satu-satunya negara yang tidak mau menerima prinsip yang pertama, tetapi ia lebih memilih prinsip yang kedua. Prinsip yang kedua tersebut menegaskan, bahwa kepemilikan suatu wilayah lebih didasarkan pada okupasi secara fisik daripada mengikuti wilayah penguasa kolonial. Brazil menggunakan doktrin ini untuk mempertahankan argumentasi kepemilikan wilayah perbatasan seluas 1810 km di hadapan negara-negara bekas jajahan Spanyol, seperti Bolivia dan Peru. Meskipun prinsip ini mendasarkan batas-batas wilayah suatu negara pada batas-batas wilayah dari negara yang dulu mendudukinya, namun dalam kenyataannya batas-batas wilayah suatu negara (yang lama atau yang baru) dapat saja berubah. Perubahan tersebut dapat terjadi karena adanya putusan pengadilan (yurisprudensi internasional) yang memutuskan sengketa batas wilayah kedua negara atau adanya suatu perjanjian perbatasan antarkedua negara tersebut.

  Tujuan utama dari penggunaan prinsip ini adalah untuk mencegah terjadinya konflik-konflik yang didasarkan pada perebutan perbatasan oleh negara-negara baru. Pada saat ini prinsip ini telah menjadi bagian dari hukum

  

  kebiasaan internasional . Oleh sebab itu, melalui penerapan prinsip ini maka tidak dimungkinkan lagi adanya klaim suatu wilayah yang didasarkan pada terra

  nullis atay wilayah tak bertuan. 58 59 Saru Arifin. Op. Cit. Hlm. 67.

  

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung:

  Selain itu, pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 mengenai perjanjian internasional menyatakan klausula rebus sic stantibus atau tidak dapat diberlakukan terhadap perjanjian internasional yang mengatur mengenai perbatasan negara. Bunyi pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 adalah sebagai berikut:

  “A fundamental change of circumtances may no be invoked as a ground

for terminating or withdrawing from treaty: (a). If the treaty establishes a

boundary; or (b). If the fundamental change is the result of a breach by the party

invoking it either of an abligation under the treaty or of any the international

obligation owed to any party of the treaty”.

  Pernyataan ini dipertegas lagi dalam ketentuan pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina tahun 1986 tentang Hukum Perjanjian Antarnegara-negara dengan Organisasi Internasional atau Antara Organisasi-organsisasi Internasional. Pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina tahun 1986 berbunyi sebagai berikut:

  “A fundamental change of circumtances may no be invoked as a ground for terminating or withdrawing from treaty between two or more states and one or more international organizations if the treaty establishes a boundary” .

  Sesuai dengan penjelasan diatas maka rezim hukum kebiasaan internasional umum pun berlaku mengikat secara penuh terhadap Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan wilayah Republik Indonesia adalah meliputi seluruh wilayah eks-koloni Belanda.

60 Malcolm N. Shaw. 1986. Title to Territory in Africa: Intrnational Legal Issue. Oxford:

  c.

  Perjanjian Perbatasan Perjanjian perbatasan termasuk sebagai perjanjian internasional yang telah dibuat atau disepakati oleh dua negara atau lebih yang saling berbatasan satu sama lain yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Batas-batas negara pada awalnya terjadi berdasarkan histories yuridis, artinya perbatasan tersebut ditetapkan oleh para penguasa wilayah-wilayah tersebut pada masa dahulu, baik secara tertulis maupun cara lainnya yang berlaku pada waktu itu, dan ketetapan tersebut dilanjutkan oleh pemerintahan atau penguasa kedua wilayah tersebut. Selain itu terdapat perbatasan negara yng ditetapkan secara bersama oleh suatu pemerintahan yang ada, karena terdapat bagian-bagian perbatasan negara yang tidak jelas posisinya atau adanya perkembangan baru di daerah tersebut.

  Dalam konteks perjanjian perbatasan, di dalam hukum internasional dikenal dua macam perjanjian, yaitu personal treaties dan imopersonal/dispositive

  

treaties. Konsep ini kemudian diterapkan pada pergantian negara dalam hukum

  intrenasional klasik, dengan ketentuan bahwa diartikan dengan perjanjian

  

dispositive adalah perjanjian yang melibatkan tanah atau wilayah. Perjanjian

  internasional yang membebani wilayah dengan status hukum, misalnya perjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan dan lain-lain. Sedangkan personal

  

treaties atau juga perjanjian yang bersifat politis dapat berbentuk bilateral atau

  multilateral, misalnya perjanjian-perjanjian persektuan, netralitas, dan

  

Teori ini sudah ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan dari praktik negara-negara yang timbul dari bekas wilayah-wilayah jajahan setelah perang dunia kedua. Mengenai perjanjian dispositive, yakni traktat yang terkait dengan hak atas wilayah berlaku mengikuti wilayah, run with the land yaitu tidak mengikuti perubahan kekuasaan atau kedaulatan terhadap wilayahnya.

  Secara yuridis dengan adanya ketentuan rebus sic stantibus atau perubahan yang mendasar dari keadaan yang menguasai perjanjian dapat membuat perjanjian dispositive tidak berlaku. Dengan timbulnya negara baru dari wilayah bekas jajahan bisa asaja menganggap bahwa perjanjian mengenai pangkalan militer asing tidak lagi berlaku, karena situasinya sekarang sudah secara fundamental berubah.

  Namun demikian, telah ada suatu konsensus umum bahwa perjanjian perbatasan sebagai suatu perjanjian dispositive tetap harus beralih dan diakui oleh negara pengganti. Bahkan perubahan keadaan yang mendasar tidak diperkenankan untuk membatalkan perjanjian perbatasan, dan ketentuan ini dirumuskan dalam pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina mengenai perjanjian. Ada dua alternatif teori yang digunakan untuk menganalisis sikap negara-negara baru terhadap perjanjian- perjanjian internasional sehubungan dengan pergantian negara, yaitu: 1. Teori negatif, dimana semua perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat negara yang digantikan tidak mengikat negara pengganti, teori ini juga disebut dengan clean the state principle

2. Teori universal, dimana semua perjanjian internasional yang dibuat negara yang

   digantikan beralih secara langsung mengikat negara pengganti .

  Cara lain untuk mengatur perpindahan perjanjian internasional pada negara-negara baru adalah dengan membuat inheritance agreement atau

  

devolution agreement . Menurut maknanya dapat diterjemahkan sebagai perjanjian

  peralihan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa dibuatnya perjanjian peralihan ini, maka perjanjian multilateral yang berisfat law making treaty

   langsung mengikat negara baru .

  Perjanjian perbatasan antarnegara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan kaidah yang lazim dalam hukum internasional. Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final sehingga tidak dapat diubah, negara pihak tidak dapat menuntut perubahan garis batas setelah batas tersebut disepakati bersama. Doktrin yang berlaku bagi negara yang baru merdeka, sesuai dengan hukum internasional adalah clean state dimana negara baru tidak memiliki keterikatan untuk mempertahankan perjanjian yang dibuat pemerintah sebelumnya sehingga posisi negara baru vis a vis perjanjian tersebut sepenuhnya bebas menerima atau menolak eksistensi perjanjian. Berdasarkan hukum perjanjian internasional hal tersebut wajar karena perjanjian hanya mengikat pihak yang membuatnya dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.

  Pengecualian yang ada berkaitan dengan kepemilikan atas wilayah akibat terbentuknya negara baru ternyata terbentuknya negara baru tersebut tidak 62 Saru Arifin. Ibid. Hlm. 71. berpengaruh terhadap perjanjian perbatasan yang telah dibuat oleh penguasa terdahulu, hal ini juga ditegaskan dalam konvensi Wina 1978 tentang suksesi

64 Negara .

  Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka penetapan wilayah Indonesia mengikuti prinsip self determination dalam proklamasi kemerdekaannya, dan Uti

  

Possidetis dalam penetapan wilayah daratnya, yaitu mencakup seluruh wilayah

  bekas jajahan Belanda. Sementara dalam penetapan batas wilayah laut

   menggunakan rezim UNCLOS 1982 .

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Wilayah Perbatasan Darat Antara Indonesia Dengan Malaysia Pada Lembaga Perbatasan General Border Committee (Gbc) Menurut Perspektif Hukum Internasional

14 144 169

Ketahanan Budaya Masyarakat Lokal Di Wilayah Perbatasan Indonesia - Malaysia

0 3 28

Pengelolaan Perbatasan dan Hubungan Antaretnis di Bengkayang

0 0 13

Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Perbatasan Berbasis Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara

0 0 26

Wilayah Perbatasan Kalimantan Dalam Perspektif Hukum Agraria - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 25

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 26

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara - Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina

0 1 57

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasi

0 0 17

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK A. Pengertian Anak - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989

0 5 24