BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK A. Pengertian Anak - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK A. Pengertian Anak Terdapat beraneka ragam pendapat mengenai pengertian anak dan pada umur beberapa seorang anak itu dikategorikan sebagai anak-anak. Menurut Convention on the right of the child (Konvensi Hak Anak) pada

  tanggal 20 November Tahun 1989 yang telah diratifikasikan oleh indonesia, disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak ialah “Semua orang yang dibawah 18 tahun kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal”

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 1 menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak Pasal 1 menyatakan anak adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979, LN 1979-32 tentang kesejahteraan anak Pasal 1 menyatakan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

  Menurut pendapat Irma Soemitro, ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seorang anak harus memperoleh hak- hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmani, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.

8 D Indonesia, dapat ditemukan perbedaan pendapat mengenai orang yang

  dikategorikan sebagai anak seperti : 1.

  Menurut hukum adat, anak tersebut sering dikatakan minderjarig heid (di bawah umur), yaitu apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika dikuasai oleh orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya (voogd)nya.

  2. Menurut fiqh Islam, seseorang dikatakan dewasa dengan salah satu tanda sebagai berikut :

  9 a.

  Cukup berumur 15 tahun; b.

  Keluar mani; c. Mimpi bersetubuh; d.

  Mulai keluar haid bagi perempuan.

  Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan bahwa selama seseorang yang masih dikategorikan anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab 8 Irma Setyowati Soemitro, Aspeh Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, 1990, hal 16 9 Sulaiman Rasyid, 1998, Hal 75

  orang tua wali maupun negara tempat si anak tersebut menjadi warga negara tetap.

  Pada pasal 330 Undang-undang Hukum perdata menyatakan bahwa : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin”

  Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam dalam bab ini.

  10 Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita

  adalah selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, maka orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki- laki, seperti halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya.

  Anak Menurut Konvensi Hak Anak

  Perhatian dunia terhadap nasib anak, sesungguhnya dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib anak-anak yang dijadikan budak atau anak-anak dari budak- budak yang mempunyai nasib sangat buruk. Oleh karena itu, pada tahun 1924

10 Romli Atmasasmita, 1986, Hal 34

  Liga Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Deklarasi Hak Anak yang diusahakan oleh International Union for the Save Children.

  Dalam tahun yang sama lahir Universal Declaration of Human Rights yang meyakinkan bahwa “Semua orang dilahirkan bebas dan sama dalam keluhuran diri dan hak-hak”, diterima 7 butir pokok Deklarasi tahun 1924, pengakuan bahwa manusia berutang budi pada anak untuk sesuatu yang terbaik yang dapat diberikan kepada mereka, serta menerima hal tersebut merupakan

  11 tanggung jawab dalam memenuhi kewajibannya secara terhormat.

  Berkaitan dengan perkembangan perlindungan hak-hak asasi manusia, hak-hak anak menjadi perhatian dan seterusnya diakui bahwa hak anak adalah hak asasi manusia.

  Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the Child) dideklarasikan dalam Sidang Umum PBB 26 Januari 1990, pemerintah Indonesia telah mengesahkannya dalam Keppes No. 36 Tahun 1990 yang menetapkan bahwa “ Semua anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi, tanpa perbedaan atau diskriminasi atau dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bangsa, agama, paham politik lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan, kelahiran, dan status dari dirinya sendiri atau dari keluarganya”.

  Oleh karena itu, Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak, maka Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak Anak. Dalam substansi atau materi Konvensi Hak Anak atau

11 Dalam mukadimah konvensi anak-anak PBB

  materi Konvensi Hak Anak dideskripsikan secara detail, menyeluruh, dan maju apa saja yang menjadi hak anak.

  Konvensi Hak Anak melingkupi segenap hak yang secara tradisional melekat atau dimiliki anak sebagai manusia dan hak-hak anak sebagai hak anak yang memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus. Konvensi Hak Anak terdiri dari 54 pasal yang berdasar materi hukumnya yang mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.

  Materi hukum hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut dapat di kelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu :

  1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right) yaitu hak-hak anak dalam melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan yang tertinggi dan perawatan yang sebaik- baiknya.

  2. Hak terhadap perlindungan (protection right) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan keterlantaran bagi anak yang telah mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi.

  3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan fisik anak.

  4. Hak untuk berpartisipasi (participation right) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan segala pendapat dalam segala hak yang mempengaruhi anak.

  Konvensi hak-hak anak ini memiliki cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan instrumen-instrumen sebelumnya. Perbedaan itu terutama nampak dari cara melihatnya dan memperlakukan anak, bukan semata-mata sebagai pihak yang ditempatkan secara paradoksal dengan orang dewasa, melainkan ia diperlakukan sebagai satu insan yang penuh dengan segala hak-hak yang secara inheren melekat pada diri anak.

  Pasal 2 Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979, dirumuskan hak-hak anak sebagai berikut :

  1. Anak berhak atas kesejahteraan, keperawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

  2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik.

  3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik secara semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

  4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.

  Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979, dikatakan bahwa anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengasuhnya dibawah pengawasan dan bimbingan negara, dan bila perlu oleh negara sendiri. Karena kewajiban inilah, maka yang bertanggung jawab atas asuhan anak wajib pula melindunginya dari gangguan-gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri, sehingga secara kenegaraan, pemerintah menunjuk orang tua asuh lainnya.

  Dalam penjelasan pasal 9 Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979, disebutkan bahwa tanggung jawab otang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara serta mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.

  Pengertian perempuan menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak adalah orang yang mempunyai alat kelamin perempuan, dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan anak, menyusui, dan termasuk orang yang telah mendapat status hukum sebagai perempuan.

B. Sejarah Lahirnya Konvensi Hak Anak

  Sejarah perjalanan hak-hak anak mulai dari gagasan sampai pada penerimaannya sebagai konvensi PBB berlangsung panjang. Berbicara mengenai sejarah perjalanan hak-hak anak dimulai dengan usaha perumusan draf hak-hak anak yang dilakukan Mrs. Englantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund.

  Seusai melaksanakan programnya merawat para pengungsi anak-anak di Balkan setelah perang dunia pertama, Jebb membuat draf “Piagam Anak”. Pada tahun 1923 beliau menulis “Saya percaya bahwa kita harus menuntut hak-hak tertentu bagi anak-anak dan memperjuangkannya untuk mendapatkan pengakuan

  12

  universal”. Dalam draf yang dikemukakannya Jebb mengembangkan 7 (tujuh)

  13

  gagasan mengenai hak-hak anak, yaitu: 1.

  Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan, dan kepercayaan.

  2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.

  3. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik materil, moral, dan spiritual.

  4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus di didik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/diberi perumahan.

  5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.

  12 Lihat UNICEF, Pengembangan Hak Anak dan Pedoman Pelatihan Tentang Konvensi 1996 hal. 24 13 Ibid

  6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi.

  7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian sesama umat.

  Pada tanggal 20 November 1989, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered into force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi Hak Anak ini merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Oleh karena itu, Konvensi Hak Anak ini merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan masing- masing hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Konvensi Hak Anak merupakan hasil dari konsultasi dan pembicaraan negara-negara, lembaga- lembaga PBB, dan lebih dari lima puluh organisasi internasional.

  Berdasarkan materi hukum yang tercakup di dalam Konvensi Hak Anak, dapat dikualifikasikan beberapa isi konvensi, yakni:

  1. Penegasan hak-hak anak; 2.

  Perlindungan anak oleh negara 3. Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.

  Di dalam pembukaan/preambule atau Konvensi Hak Anak, dikemukakan latar belakang dan landasan strategi-filosofis hak-hak anak yang menegaskan bahwa anak-anak, berhubung kondisi mereka yang rentan membutuhkan pengasuhan dan perlindungan khusus.

C. Hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak

  Pada tanggal 20 November 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) telah menyetujui Konvensi Hak Anak. Konseiderans konvensi itu memuat pokok-pokok pikiran, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki seluruh anggota keluarga manusia. Ini menjadi landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di

  14 seluruh dunia.

  Secara garis besar, strukur Konvensi Hak Anak dibagi menjadi empat bagian, yaitu :

  1. Mukadimah yang berisi berbagai pemikiran dan keprihatinan yang mendasari diadopsinya Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB

  2. Pasal-pasal yang mengatur hak-hak anak (pasal 1-41) 3.

  Pasal-pasal yang mengatur mekanisme pemanatauan dan pelaksanaan konvensi (pasal 42-54)

  4. Pasal-pasal yang mengatur soal pemberlakuan konvensi (pasal 46-54) Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden No.

  15

  36 Tahun 1990 adalah sebagai berikut : 14 15 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 103 Ibid, hal 131

  1. Hak hidup (survival right) meliputi a.

  Anak mempunyai hak untuk hidup (pasal 6) b.

  Hak atas tingkat kehidupan yang layak atas kesehatan dan pelayanan kesehatan (pasal 24)

  2. Hak mendapatkan perlindungan (protection right) meliputi a.

  Larangan diskriminasi anak b.

  Larangan eksploitasi anak c. Larangan anak dalam keadaan kritis dan darurat 3. Hak untuk tumbuh kembang (development right) a.

  Hak untuk mengambil langkah legislasi dan administrasi (pasal 4) b.

  Hak hidup (pasal 6) c. Hak untuk mempertahankan identitas (pasal 8) d.

  Hak anak tidak dipisahkan dari orang tuanya (pasal 9) e. Hak menjamin repatriasi keluarga (pasal 10) f. Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar (pasal 13) g.

  Hak untuk kemerdekaan berpikir (pasal 14) h. Hak atas kebebasan untuk berkumpul (pasal 15) i. Hak untuk memperoleh informasi (pasal 17) j. Hak anak menikmati norma kesehatan tertinggi (pasal 24) k.

  Hak mendapat pendidikan, baik formal maupun non formal (pasal 28 dan

pasal 29) l. Hak bermain dan berekreasi keluar negeri.

4. Hak berpartisipasi (participation right)

  a.

  Menjamin pandangan anak (pasal 12) b.

  Hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas (pasal 13) c. Hak anak untuk berkumpul (pasal 15) D.

   Pengertian trafficking

  Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah :

  trafficking

“Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and

  international borders, largely from developing countries and some countries and some countries with economies in transition, with the end goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppressive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic Labour, false marriages, clandestine employment and false adoption.” (Perdagangan adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan adopsi).

  (GAATW) mendefinisikan

  Global Alliance Against Traffic in Women

  istilah perdagangan (trafficking): “Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.

  Sesuai dengan definisi tersebut di atas bahwa istilah “perdagangan“ atau

  trafficking mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a.

  Rekrutmen dan /transportasi manusia; b.

  Diperuntukkan bekerja atau jasa /melayani; c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan.

  Pengertian trafficking dari Protokol PBB pada Desember Tahun 2000, yaitu untuk mencegah, menekan, dan menghukum pelaku terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak (Protocol to prevent, suppress, and punish trafficking in persons especially women and children, supplementing the United Nations Convention against transnational organized crime, December 2000). Pemerintah Indonesia telah menandatangani protokol ini. Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan mengiming-iming) korban, menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin/persetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga (mengeksploitasi) korban.

  Dari definisi di atas dapat disimpulkan: a. Pengertian trafficking mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau (sanak) keluarga. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud di sini tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.

  b.

  Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau apabila korban berada dalam posisi tidak berdaya (misalnya karena terjerat hutang), terdesak oleh kebutuhan ekonomi (misalnya membiayai orang tua yang sakit), dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.

  c.

  Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama eksploitasi tenaga kerja (dengan memeras habis-habisan tenaga yang dipekerjakan) dan ekplotasi seksual (dengan memanfaatkan atau menjual kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang bersangkutan dalam transaksi seks).

  E.

  

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Trafficking terhadap anak

  Dalam Kepres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan perempuan dan anak :

  1. Kemiskinan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecendrungan jumlah penduduk miskin terus meningkat dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun1999, walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun 2002.

  2. Ketenagakerjaan, Sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung pula terus meningkat dari 1,8 juta pada akhir tahun 1999 menjadi 17,6% pada tahun 2000.

3. Pendidikan, Survey sosial ekonomi Nasional Tahun 2000 melaporkan bahwa

  34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun keatas belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat SD dan hanya 15% yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun 2000 terdapat 14 anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan

  4. Migrasi, Menurut Konsorsium Peduli Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) sepanjang tahun 2001 penempatan buruh migran ke luar negeri mencapai sekurang-kurangnya 74.616 orang telah menjadi korban proses trafficking 5. Kondisi Keluarga, karena pendidikan rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga.

  6. Sosial Budaya, anak seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sehendak orang tuanya, ketidakadilan jender, atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh ditengah kehidupan masyarakat desa.

  7. Media massa, masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking, dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila lainnya.

  Banyak faktor yang mendorong orang terlibat dalam perdagangan manusia, yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu supply dan demand.

  Dari sisi supply antara lain : a. Trafficking merupakan bisnis yang menguntungkan. Dari industri seks saja diperkirakan US $ 1,2 – 3,3 milyar pertahun untuk Indonesia. Hal ini menyebabkan kejahatan internasional terorganisir menjadi prostitusi internasional dan jaringan perdagangan manusia sebagai fokus utama kegiatannya.

  b.

  Kemiskinan telah mendorong anak-anak tidak sekolah sehingga kesempatan untuk memiliki ketrampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian anak dan ibu sebagai tenaga kerja wanita, yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga berisiko menjadi korban. c.

  Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi.

  d.

  Konsumerisme merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak remaja, sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. Akibat konsumerisme, berkembanglah kebutuhan untuk mencari uang banyak dengan cara mudah.

  e.

  Pengaruh sosial budaya seperti pernikahan diusia muda yang rentan perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersil.

  Adanya kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak-anak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang atau membuat awet muda, telah membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya.

  Dari sisi demand, antara lain : a. Adanya kegiatan pembangunan yang lebih melibatkan pekerja pendatang tidak tetap yang pada umumnya laki-laki, nampaknya berhubungan dengan tajamnya peningkatan pelacuran.

  b.

  Meningkatkan kemudahan dan frekuensi internasional bersamaan dengan tumbuhnya fenomena migrasi temporer karena alasan pekerjaan, telah meningkatkan peluang perdagangan manusia.

  c.

  Berkembangnya kejahatan usahanya dalam jaringan perdagangan manusia untuk prostitusi dan berbagai bentuk prostitusi lainnya. d.

  Globalisasi keuangan dan perdagangan memunculkan industri multinasional, kerjasama keuangan dan perbankan menyebabkan banyaknya pekerja asing (ekspatriat) dan pebisnis internasional tinggal sementara di Indonesia. Keberadaan mereka meningkatkan demand untuk jasa layanan seks yang memicu peningkatan perdagangan perempuan.

  e.

  Banyak laki-laki China Taiwan yang merindukan perempuan China yang masih “tradisionil”. Melalui layanan “mail order bride” yang sudah lebih dulu marak di Thailand dan Filipina, layanan diperluas ke Indonesia, melibatkan calo-calo sejak dari lapis bawah di Singkawang, tempat transit di Jakarta dan di Taiwan. Satu mempelai bisa membuat para calo mendapat uang sekitar Rp 45 juta. Tetapi tidak semuanya berakhir dengan bahagia, karena ternyata para suami Taiwan itu ada yang hanya petani yang hidup dipelosok Taiwan dan banyak diantaranya suka melakukan tindakan kekerasan, membebani dengan

  16

  banyak pekerjaan dan memperlakukannya sebagai budak f. Kebutuhan para majikan akan pekerja yang murah, penurut mudah diatur, dan mudah ditakut-takuti telah mendorong naiknya demand terhadap pekerja anak

  (pekerja Jermal di Sumatera Utara, buruh-buruh pabrik/industri di kota-kota besar, diperkebunan, pekerja tambang permata di Kalimantan, perdagangan dan perusahaan penangkap ikan). Seringkali anak-anak bekerja dalam situasi yang rawan kecelakaan dan berbahaya.

16 Arif Gosita, dkk, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 200,hal 134.

  g.

  Perubahan struktur sosial yang diiringi oleh cepatnya industrialisasi / komersil, telah meningkatkan jumlah keluarga menengah dan kebutuhan akan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.

  h.

  Dalam kondisi yang tertutup dari luar, anak-anak itu rawan terhadap penganiayaan baik fisik maupun seksual. Selain dipaksa bekerja berat tanpa istirahat, mereka diperlakukan kasar jika mengeluh. merupakan suatu bagian dari dinamika perpindahan penduduk.

  Trafficking

  Dalam hal ini imigrasi tenaga kerja pada satu titik bisa berlangsung secra sukarela untuk kepentingan jangka pendek dan dilakukan secara paksa. Perpindahan tenaga kerja baik secara sukarela maupun paksa bukanlah fenomena baru. Misalnya pada jaman kolonisasi, penduduk lokal dipindahkan baik melalui perbudakan, perdagangan karena hutang, ataupun perpindahan yang dilakukan oleh negara dalam hal penjahat kriminal atau pengasingan politik.

  Namun, ada perbedaan mendasar dengan trafficking yang terjadi pada abad masa kini, yaitu migrasi antar negara. Dalam arus ini, terdapat fenomena lain yang muncul yakni feminisasi migrasi yang didominasi oleh anak gadis dan perempuan. Pekerjaan yang dilakoni oleh gadis-gadis atau perempuan korban penyeludupan manusia bercirikan 3D yaitu Dirty, No Dignity, dan Dangerous atau kotor, tidak memiliki martabat, dan berbahaya.

  Salah satu faktor terjadinya trafficking adalah ambruknya sistem ekonomi lokal, sehingga banyak anak-anak, gadis dan perempuan yang diekspos ke tempat- tempat kerja global untuk mencari pendapatan. Situasi ini semakin merajarela di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi parah serta negara-negara yang mengalami perpecahan. Di samping itu, pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan pekerjaan pilihan mereka untuk tetap tinggal di kampung halamannya.

  Dengan kata lain, pekerjaan ada yang tidak memberi harapan akan kehidupan yang lebih baik lagi bagi para ana gadis tersebut. Bagi para calon migran sendiri, mereka tidak mengetahui apakah calon tenaga kerja atau para rekruter itu resmi atau gelap.

  Menurut Mabes Polri, Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur (Surabaya) sebagai daerah pengirim anak- anak untuk tujuan pelacuran ke berbagai lokasi pelacuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya ialah karena letak Provinsi Sumatera Utara yang berkaitan dengan Malaysia, Singapore, dan pusat bisnis wilayah barat, yaitu Batam. Posisi strategis demikian akhirnya memempatkan Sumatera Utara sebagai daerah pengirim, daerah transit, dan sekaligus daerah penerima. Sebagai daerah transit sebelum anak-anak diperdagangkan dari Jawa ke Batam, Tanjung Balai Karimun, atau Dumai, pada umumnya korban transit terlebih dahulu di Medan karena tidak ada bus yang bisa langsung menuju Batam, kecuali para sindikat yang menggunakan jasa pengangkutan laut. Anak-anak yang akan menjadi korban biasanya tinggal selama 1 sampai 4 hari sampai ada kapal yang akan diberangkatkan dari Medan ke Batam.

  Dilihat dari jalur pengirimannya menuju ke lokasi prostitusi, Provinsi Sumatera Utara memiliki dua jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat adalah yang menggunakan terminal terpadu Amplas sebagai titik tolak menuju seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera. Jalur laut adalah melalui Pelabuhan Belawan, Sibolga, dan Tanjung Balai. Menurut observasi, ditemukan dua lokasi utama yang teridentifikasi sebagai daerah penampungan serta tujuan anak untuk pelacuran, yaitu : 1.

  Untuk daerah Sumatera Utara meliputi Bandar Baru, Warung Bebek (Deli Serdang), Bukit Maraja (P. Siantar), serta diskotik, karaoke, dan hotel-hotel melati dan berbintang di Medan dan sekitarnya.

  2. Daerah tujuan utama di luar daerah Sumatera Utara meliputi Tanjung Balai Karimun, Dumai, Duri, dan Batam (Kepulauan Riau).

  Selain faktor geografis, tumbuh suburnya bisnis perdagangan anak untuk pelacuran di Sumatera Utara disebabkan oleh jaringan perdagangan anak yang terorganisasi dengan rapi. Jaringan perdagangan ini di-backing oleh aparat keamanan/kepolisian. Direktur Handal Mahardika memberikan dua alasan yang menyebabkan jaringan perdagangan anak menjadi kuat, yaitu : 1.

  Sindikat perdagangan anak sering berjalan mulus dan tidak ada hambatan dari aparat.

  2. Tempat-tempat lokalisasi di Medan dan mungkin juga di tempat lain seperti memperoleh jaminan keamanan.

  Hal inilah biasanya membuat perdagangan anak lebih aman untuk melakukan aksinya. Bertransaksi dalam perdagangan anak di tempat-tempat hiburan tidak sulit karena adanya perlindungan dari aparat keamanan.

  Di lain pihak, anak-anak lebih mudah dibujuk atau diiming-imingi kesenangan dan pekerjaan sehingga mudah dijual ke lokasi-lokasi yang memerlukannya. Para pembujuk ini dalam istilah sindikat disebut kolektor dan mereka beroperasi dipusat-pusat keramaian seperti mal, plaza, bahkan hingga ke desa-desa. Para kolektor biasanya sudah terlatih mengenai calon korban yang gampang tergiur dengan tawaran sejumlah uang atau pekerjaan. Di jaringan sindikat, status kolektor dipekerjakan oleh bos sindikat.

  Kian maraknya kasus perdagangan anak untuk pelacuran juga seiring dengan adanya peningkatan permintaan pasar/konsumen, terutama bagi mereka yang berusia 14 sampai 17 tahun. Menurut pandangan konsumen, anak-anak di usia tersebut masih bebas dari berbagai virus dan penyakit, sedangkan untuk pekerjaan rumah tangga, anak dinilai tidak mempersulit majikan karena lebih mudah diatur dan bisa dibayar murah.

  F.

  

Norma-norma hukum internasional yang mengatur penghapusan

perdagangan anak

1. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB 1948

  Deklarasi ini memuat hak-hak setiap manusia. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya anak, tetapi Deklarasi ini sebagai suatu deklarasi yang menegaskan setiap individu mempunyai hak bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafficking. Konvensi Hak Anak 1989. Konvensi ini secara tegas mengatur hak anak yang berbeda dengan orang dewasa.

  Pada pasal 34 dan 35 Konvensi ini berkaitan langsung dengan penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual, dan perdagangan anak.Opsional Protokol Konvensi Hak Anak terhadap Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Opsional Protokol ini telah diadopsi tahun 2000, Indonesia belum meratifikasinya. Akan tetapi Protokol ini tidak berkait langsung dengan penghapusan perdagangan anak, tetapi lebih penentangan terhadap prostitusi dan pornografi anak.

2. Konvensi ILO 182 Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Anak

  Di bawah Konvensi ILO 182, penggunaan anak dalam prostitusi dan pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini sangat berkait erat dengan pekerja anak, sedangkan perdagangan anak tidak termasuk. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan UU No. 1 tahun 2000. Protokol untuk Mencegah Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia Terutama Anak yang Melengkapi Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir antar Negara .

  Protokol ini secara tegas menegaskan definisi perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Pada Protokol ini secara tegas menyebutkan anak “berarti setiap orang yang usianya di bawah delapan belas tahun.”

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini mengatur secara tegas tentang perdagangan anak. Pada Pasal 59 menegaskan “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak ... anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,.”

  Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak ... perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Serta Pasal 78 setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak ... anak korban perdagangan... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).