BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara - Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina

BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara Batas adalah tanda pemisah antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain,

  baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting dan mendesak, hal tersebut didasarkan fakta semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut . Kebutuhan akan ruang ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hilang atau berubahnya batas wilayah suatu negara. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin akan muncul sengketa dan saling klaim terhadap wilayah suatu negara

   oleh negara lain.

  Pengakuan Internasional terhadap suatu negara didasarkan pada terpenuhi tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara, antara lain adalah menyangkut wilayah negara, karenanya tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki wilayah dengan batas-

   batas tertentu yang diakui secara internasional.

  Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk 39 Suryo Sakti Hadiwijoyo,Batas Wilayah Negara Indonesia “Dimensi,Permasalahan, dan

  Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Penerbit Gava Media, Yogyakarta.2008.Hal 35 dengan lahirnya negara. Menurut pendapat ahli geografi politik, perbatasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di wilayah bagian depan dari suatu negara. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat

   dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat.

  Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/atau antar bangsa. Hal ini karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Meskipun penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional. Tetapi, latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary dan bertabrakan dengan negara

   lain.

  Berkaitan dengan perbatasan antarnegara, hukum internasional memberikan konstribusi yang penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan atau perjanjian batas antar negara. Hukum internasional secara jelas dan tegas 41 Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional,Graha

  Ilmu,Yogyakarta.2011.Hal 63 memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antar negara. Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat atau di wilayah laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara lain secara tidak langsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, akan tetapi kesepakatan tersebut seyogianya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, sedangkan yang sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang, hal ini pada dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut.

43 Menurut Adi Sumardiman secara garis besar terdapat 2 (dua) hal yang

  menjadi dasar dalam penetapan perbatasan, yaitu: 1.

  Ketentuan Tidak Tertulis Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para pihak yang berwenang di kawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup, perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam membedakan wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Kondisi alam wilayah membatasi manusia dalam menentukan permukimannya. Seiring dengan perkembangan waktu, tanda-tanda alam tersebut dapat pula berkembang menjadi batas wilayah. Melalui proses kebiasaan yang berlangsung lama, perbatasan sedemikian dapat tumbuh menjadi perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional ini yang kemudian dipertegas dalam suatu perjanjian antar negara yang berbatasan.

  Penetapan batas antar negara yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami kesulitan, karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara politis lebih rumit dari pada faktor teknis.

  Berkaitan dengan penetapan dan penegasan batas wilayah,penamaan unsur geografis memegang peranan penting dalam membantu penentuan lokasi perbatasan. Hasil inventarisasi dan penamaan unsur geografis yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan pemuka masyarakat inilah yang dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan. Lokasi perbatasan yang memiliki kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan cara formal dalam deskripsi tertulis dan cara materiil diwujudkan dengan adanya tanda-tanda batas di lapangan.

2. Ketentuan Tertulis

  Dalam studi Hubungan Internasional,perbatasan antar negara merupakan faktor yang mempengaruhi hubungan antar negara. Perjanjian perbatasan anatar negara berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi dengan undang-undang. Dalam perjanjian perbatasan antar negara seyogianya dilandasi oleh kepastian negara yang berbatasan dalam penentuan, penetapan dan penegasan batas wilayah yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian antar negara. Kepastian dan ketegasan tersebut dimaksudkan agar tidak timbul berbagai tafsiran yang dapat mengurangi legalitas dari sebuah perjanjian perbatasan antar negara. Hal ini disebabkan karena perumusan perjanjian perbatasan tidak dapat memuaskan baik para ahli hukum, penyelenggara pemerintahan maupun para ahli pemetaan. Perubahan-perubahan kedudukan perbatasan antar negara yang telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang saling berbatasan.

  Dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan antar negara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas letak dan lokasi dari masing-masing titik batas maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.

B. Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

  

B.1. Prinsip Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

  1. Prinsip Penyelesaian Penetapan Batas Negara. Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus.

  Prinsip umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang dijadikan acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dalam prinsip umum penyelesaian penetapan perbatasan negara, terdapat 2 (dua) landasan hukum internasional, yaitu United Nations Charter (Piagam PBB) dan

   Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, secara umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan prinsip utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara.

  Prinsip kedua dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara adalah prinsip khusus.Prinsip khusus tersebut dalam implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim atau Laut.

   a.

  Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat.

  (1) Uti Possidentis Juris

  Prinsip ini menyatakan bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya. Dalam konteks Indonesia hal tersebut terlihat dalam penetapan batas negara antara lain sebagai berikut ;

  (a) Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris tahun 1891, tahun 1915, dan tahun 1928.

  (b) Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia

  Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 1914.

  (c) Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris tahun 1895.

  (2) Border Stability

  Dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat harus memperhatikan dan menjaga stabilitas kawasan perbatasan. Hal tersebut sangat beralasan karena kawasan perbatasan darat merupakan perbatasan langsung antar negara, selain itu dalam beberapa kasus terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat kedua negara yang berbatasan.

  Penyelesaian penetapan perbatasan darat yang mengabaikan prinsip border stability, pada gilirannya akan menimbulkan disharmonisasi hubungan antar warga negara yang dapat berujung pada timbulnya gangguan hubungan diplomatik antara negara yang berbatasan. Oleh sebab itu, prinsip ini merupakan prinsip yang mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat sebagai wilayah yang berbatasan langsung antarnegara.

  (3) Eternality of Boundary Treaty

  Perjanjian perbatasan antar negara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional, yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan kaedah dalam hukum internasional.

  Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final, sehingga tidak dapat diubah.

  Sehubungan dengan hal tersebut, pihak salah satu negara tidak dapat menuntut perubahan garis besar setelah batas tersebut disepakati bersama.

  Doktrin adanya perubahan fundamental (rebus sict stantibus) yang seringkali berlaku dalam hukum internasional, ternyata tidak dapat diterapkan dalam perjanjian tentang batas antar negara. Secara tegas hal ini dinyatakan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.

  b.

  Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi landasan hukum internasional adalah United Nations Convention on the

  

Law of the Sea 1982 (yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982). Dalam

  kaitan dengan penetapan batas laut teritorial, melalui Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, dinyatakan sebagai berikut :

  “ Dalam hal dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak kecuali, ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titik sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.

  Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.” Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 15 UNCLOS 1982 berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga) hal yaitu : pertama, dalam penetepan batas laut teritorial dilakukan dengan melalui perundingan; kedua, dalam penetapan batas laut teritorial pada negara yang berhadapan,digunakan metode

  

equidistance;ketiga , ketentuan tersebut tidak dapat berlaku, apabila

  terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.

  Berkaitan dengan penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (yang selanjutnya disebut dengan ZEE) dan Landas Kontinen, mengacu pada Pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan

  

  batas garis ZEE dan Pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang

   penyelesaian penetapan batas Landas Kontinen . 46 Pasal 74 Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan .

  (1)

Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan

atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum

internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil. (2)

Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara

yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3)

Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negara-

negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus

melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat

praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi

dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi

tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.

  Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 dan

  Pasal 83 UNCLOS 1982, dalam penyelesaian penetapan batas ZEE dan garis batas Landas Kontinen secara garis besar memperhatikan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dilakukan melalui perundingan ; kedua, dalam penyelesaian penetapan zona ekonomi eksklusif dan garis batas landas kontinen harus berdasarkan pada hukum internasional; dan ketiga, dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen harus mencapai Equitable Result atau mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang bersangkutan.

  B.2. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

  1. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat. Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak dikenal adanya regulasi yang bersifat khusus yang mengatur penetapan wilayah perbatasan darat antar negara. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan wilayah

  Penetapan garis batas landa kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. (1) Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujusn atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil. (2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutanharus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negara- negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. (4) Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, masalah yang berkaitan dengan penetapan garis batas landas kontinen harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan tersebut. perbatasan darat antar negara dapat ditentukan dengan berdasarkan 2 (dua) cara,

  

  yakni: Pertama, Secara Alamiah. Penentuan batas secara alamiah terlihat pada kasus pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan kemudian menjadi negara yang berdaulat penuh pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia maupun Timor Leste dalam kaitan dengan penetapan perbatasan darat.

  Dalam kasus dengan Timor Leste, penetapan batas darat mengacu pada perjanjian (treaty) antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal yang ditandatangani pada 20 April 1859 di Lisabon dan kemudian pada 13 Agustus 1860 dilaksanakan pertukaran ratifikasi. Selanjutnya perjanjian batas wilayah antara koloni Belanda dan Portugal di Pulau Timor secara rinci ditetapkan melalui perjanjian (konvensi) yang ditanda tangani pada 1 Oktober 1904 di Den Haag, dimana pada saat itu Indonesia merupakan koloni dari Kerajaan Belanda, sedangkan Timor Portugis (nama Timor Leste pada saat menjadi koloni Portugal) merupakan koloni Portugal.

  Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bentuk idealnya pola penetapan batas secara alamiah yang dilakukan penguasa kolonial merupakan upaya untuk mempertimbangkan faktor pengelompokan berdasarkan kesatuan etnis yang tinggal di wilayah perbatasan. Hal ini pada hakekatnya konkuren dengan daerah batas penaklukan suatu daerah yang diperoleh dari kekuasaan tradisional penguasa daerah tersebut.

  Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah daerah perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai pendekatan atau metode watersheed, yakni mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan menggunakan metode watersheed apabila kedua belah pihak (negara yang saling berbatasan) tidak mempunyai penafsiran yang sama akan menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat perbedaan fakta di lapangan dengan isi naskah dalam perjanjian. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum internasional menyatakan perlunya membangun kesamaan persepsi dan saling percaya antara negara-negara yang saling berbatasan, untuk mengupayakan jalan damai apabila timbul persengketaan yang berkaitan dengan penetapan atau penegasan perbatasan darat. Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak dalam penetapan perbatasan di lapangan dapat dituangkan ke dalam field plan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penetapan perbatasan darat.

  Kedua, Perbatasan Artifisial, perbatasan secara artifisial adalah penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan cara buatan atau menggunakan properti antara lain berupa pilar, beacon, tugu dan lain sebagainya. Penentuan perbatasan dengan cara buatan/artifisial apabila dibandingkan dengan alamiah lebih praktis dan mudah untuk dilakukan, sehingga mempermudah penetapan di lapangan.

  Dalam hukum internasional apabila penarikan garis batas secara lurus menyinggung / mengenai sungai maka berlaku prinsip thalweg. Prinsip metode

  

thalweg adalah menggunakan dasar sungai yang dapat dijadikan alur pelayaran

  sebagai acuan dalam penentuan perbatasan antar negara.Meskipun penentuan perbatasan dengan menggunakan metode ini lebih praktis dan menguntungkan, metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya memelihara kesatuan etnis yang mendiami wilayah perbatasan sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan potensi konflik horizontal antar negara, terutama berkaitan dengan kesenjangan sosial dan ekonomi antar warga/penduduk di wilayah perbatasan.

3. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut.

  Dalam kaitan dengan penetapan perbatasan laut antar negara dalam konterks hukum internasional dikenal 2 (dua) konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) yaitu

  

  (1) Konvensi Hukum Laut Tahun 1958 (UNCLOS 1958)

  : Pada awalnya perkembangan penetapan perbatasan antar negara di wilayah laut menggunakan metode penetapan batas secara artifisial dengan asumsi bahwa wilayah laut merupakan bagian dari kekuasaan imperium atas daratan.

  Garis batas antar negara di wilayah laut berfungsi sebagai allocation

  line yang menjadi batas pemisah kepemilikan daratan diantara penguasa

  kolonial sehingga tidak dapat menjadi perbatasan laut semata, hal tersebut dapat dilihat dari contoh disepakatinya perjanjian antara Portugis dan

  Spanyol pada abad 15 yang dikenal dengan Perjanjian Tordesilas. Perjanjian Tordesilas ini membagi dunia menjadi 2 (dua) dimana masing- masing merupakan wilayah koloni/jajahan/jalur pelayaran dari Portugis dan Spanyol.

  Selain Perjanjian Tordesilas, pada tahun 1930 disepakati pula Perjanjian Paris (Paris Treaty) antara Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi dasar bagi klaim atas kewilayahan Philipina oleh Amerika Serikat dan Inggris. Kedua perjanjian tersebut merupakan contoh dari penggunaan batas laut oleh negara-negara imperial untuk saling berbagi wilayah koloni, sehingga batas laut sering diartikan sebagai allocation line.

  Dalam kaitan itu, mulai muncul gagasan atau konsep untuk mengatur tentang konsep laut wilayah atau yang lebih dikenal dengan laut teritorial. Pada masa itu konsep laut wilayah merupakan suatu hal baru, seiring ditemukannya teknologi persenjataan meriam, di mana sesuai dengan daya jangkau meriam tersebut yaitu sejauh 3 mil laut, maka jarak 3 mil laut dinyatakan sebagai legitimate claim atas wilayah laut oleh negara pantai. Namun demikian pada praktiknya Konvensi Hukum Laut 1958 (selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1958) tidak berhasil menyepakati masalah ini, melainkan hanya menyebutkan penerapan prinsip

  

equidistance dan median line dalam rangka penetapan batas laut teritorial

  negara yang saling berhadapan. Sementara itu, lebar maksimal klaim laut teritorial yang dibenarkan menurut hukum internasional tidak disebutkan sama sekali.

  Perdebatan tentang lebar laut teritorial menjadi isu yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam UNCLOS 1958. Hal tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya tuntutan rezim kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum) vis a vis dengan sebagian negara yang mengkehendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk melalukan pengawasan atas wilayah perairannya (mare clausum). Terlebih lagi dalam penentuan hak ekonomis terhadap sumber daya alam minyak dan gas di dasar laut (selanjutnya disebut sebagai landas kontinen), UNCLOS 1958 juga belum memberikan batasan yang jelas dan tegas melainkan digantungkan pada faktor natural prolongation dan eksploitabilitas. Hal ini membawa dampak yang tidak menguntungkan, terutama bagi negara-negara yang baru merdeka setelah periode Perang Dunia ke-II, kenyataan tersebut dinilai sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan negara imperial yang adalah negara-negara maritim besar (Spanyol,Portugis,Perancis,Inggris) atas jajahannya/bekas jajahannya.

  Hal ini kemudian mendatangkan ketidakpuasan masyarakat internasional sehingga melahirkan tuntutan-tuntutan yang dipelopori oleh negara-negara di Amerika Selatan yang melakukan klaim laut teritorial secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut. Tindakan ini akhirnya mendorong dilaksanakannya konferensi ketiga hukum laut internasional yang kemudian melahirkan UNCLOS 1982 yang hingga saat ini masih dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia.

  Terlepas dar kegagalan UNCLOS 1958 terhadap dua pokok masalah tersebut, UNCLOS 1958 memberikan sumbangan penting berkaitan dengan diakuinya prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur mengenai perbatasan laut antar negara. Hal ini tercermin dari perkara yang diputuskan Mahkamah Internasional bahkan pada periode setelah UNCLOS 1982 berlaku.

  (2) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982)

  Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the

  Sea ) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang hukum laut III

  yakni pada sidangnya yang ke-11, dan ditandatangani pada tanggal 10

   Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica .UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk negara kepulauan.

  Rezim-rezim hukum laut internasional yang diatur didalam

51 UNCLOS 1982, yaitu :

  1) Perairan Pedalaman

  Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis 50 pangkal yang lain,yang akan menimbulkan adanya perairan pedalaman. 51 DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 309.

  Albert W.Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Keadaan-keadaan tersebut adalah :

  a) Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau pulau-pulau tersebut (Pasal 7) b)

  Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut), laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa gris penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut (Pasal 10).

  c) Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut (Pasal 9)

  2) Laut Teritorial

  Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Kesepakatan yang dicapai mengenai batas laut teritorial,yaitu: 12 mil laut diukur dari garis pangkal (Pasal 4).

  Konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan: apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya, tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan bahwa laut teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara (Pasal 15).

  3) Jalur Tambahan

  Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapakan hukumnya (Pasal 33).

  4) Zona Ekonomi Eksklusif

  Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati: a)

  Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus, dan angin). b) Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan konvensi, pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.

  c) Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.

  Zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dilihat dari ketentuan

  Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut.

  Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif.

  5) Landas Kontinen

  Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi ini adalah, daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76).

C. Klasifikasi Perbatasan Negara

  Dalam perspektif geografi politik, batas wilayah suatu negara (internasional boundary) dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu menurut fungsinya (klasifikasi fungsional) dan menurut terjadinya (klasifikasi

  

  morfologis). Klasifikasi fungsional adalah penggolongan perbatasan internasional berdasarkan pada sifat-sifat relasi di antara garis-garis perbatasan dan perkembangan bentang lahan budaya (cultural landscape) dari negara-negara lain.

53 Menurut Harshborne , klasifikasi perbatasan internasional secara

  fungsional dibedakan menjadi empat,yaitu: (1)

  Antesedent Boundaries Perbatasan ini terbentuk karena negara-negara baru yang saling mendahului untuk saling memasang/menetapakan batas terluarnya. Jadi, terbentuknya perbatasan ini sebelum terjadinya bentang lahan budaya. (2)

  Subsequent Boundaries Perbatasan yang terbentuk setelah adanya bentang lahan budaya dan pembuatannya setelah ada perundingan dan persetujuan bersama antara dua negara. Perbatasan ini mengikuti perbedaan etnik kultural khususnya dalam hal bahasa dan agama. Jenis perbatasan seperti ini banyak dijumpai di negara-negara di wilayah Eropa Timur, sedangkan di Asia terdapat di perbatasan antara India dengan Pakistan atau Bangladesh.

  (3) Superimposed Boundaries

  Superimposed Boundaries merupakan jenis perbatasan yang tidak 52 berhubungan dengan pembagian sosio kultural. Hal ini disebabkan karena

  Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional.Op.cit.Hal 69 diluar pihak yang berkepentingan mengadakan perundingan atau perjanjian terdapat pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar yang berkepentingan, kekuatan-kekuatan ini terutama yang menyangkut kekuatan dan kepentingan politik suatu negara.

  (4) Relic Boundaries

  Perbatasan ini berupa garis yang telah kehilangan fungsi politisnya terutama di bentang budayanya. Tipe perbatasan seperti ini biasanya terjadi pada suatu negara yang masuk ke dalam wilayah negara lain, baik secara sukarela maupun melalui proses imperialisme. Sebagai contoh, batas antara Jerman Timur dan Jeman Barat. Selain Penggolongan berdasarkan klasifikasi fungsional, perbatasan antara negara (international boundaries) dapat pula digolongkan berdasarkan pada morfologinya (proses terbentuknya). Berdasarkan proses terbentuknya perbatasan

  

  dibedakan menjadi 2 (dua) , yaitu: (1)

  Artificial Boundaries Perbatasan yang tanda batasnya merupakan buatan manusia.

  Pemasangan tanda ini biasanya dilakukan setelah adanya perundingan, persetujuan maupun perjanjian antar negara. Batas buatan manusia ini biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain-lain. (2)

  Natural Boundaries Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah. Perbatasan alamiah dapat dibedakan dan dirinci menjadi 5 (lima) tipe,yaitu:

  (a) Perbatasan berupa pegunungan

  Perbatasan alamiah yang berupa pegunungan dianggap paling menguntungkan dan paling besar manfaatnya,khususnya dalam bidang pertahanan. Perbatasan berupa pegunungan juga bersifat lebih stabil. Contoh negara yang memiliki batas pegunungan seperti India yang memiliki batas wilayah Pegunungan Hilmalaya dengan Tibet.

  (b) Perbatasan yang berupa sungai dan laut. Perbatasan alamiah adapula yang berupa sungai, perairan pedalaman maupun laut. Lautan sebagai salah satu unsur fisik geografis mempunyai peranan besar terhadap budaya maupun struktur politik suatu negara. Pengaruh ini terutama tampak dalam bidang perekonomian maupun keamanan dan pertahanan wilayah. Perbatasan laut antar negara atau perbatasan laut merupakan hal yang strategis, khususnya bagi negara yang memiliki wilayah laut luas dan memiliki banyak gugus pulau atau negara kepulauan.

  Selain laut, wilayah antara dua negara atau lebih dapat pula dibatasi oleh sungai, ataupun lembah sungai. Seperti halnya laut, bagi negara yang terdapat di wilayah pedalaman, sungai memegang peranan penting sebagai sarana transportasi yang mendukung dalam pengembangan sektor perekonomian suatu negara. Selain itu ditinjau dari aspek pertahanan, sungai dapat berperan sebagai pertahanan yang efektif dalam menghadapi ancaman dari negara yang berbatasan.

  (c) Perbatasan yang berupa hutan, rawa-rawa, dan gurun. Kenampakan alam ini dapat dijadikan perbatasan antara dua negara yang saling bertetangga. Sebagai contoh, perbatasan antara Finlandia dan Rusia berupa rawa-rawa, perbatasan yang berupa hutan antara Pakistan dan India dan perbatasan yang berupa gurun yakni, perbatasan antara Rusia dan Tiongkok yang dipisahkan oleh Gurun Gobi.

  (d) Perbatasan geometris (Geometric Boundaries)

  Perbatasan jenis ini mengikuti posisi garis lintang dan garis bujur. Perbatasan seperti ini berkaitan dengan dibukanya wilayah baru sebagai wilayah jajahan di masa lampau, terutama bagi wilayah yang masih belum ada penduduknya. Pada masa lampau banyak dijumpai penentuan perbatasan dengan menggunakan cara seperti ini terutama bagi negara-negara jajahan di Benua Afrika.

  (e) Perbatasan Antrophogeografis

  Perbatasan jenis ini dipakai untuk membatasi wilayah-wilayah yang berlainan bahasa, adat, agama dan lain sebagainya yang termasuk dalam ethnic-cultural background yang sekaligus merupakan batas wilayah kebangsaan (nasionalitas). Batas wilayah yang berdasarkan bahasa banyak dijumpai di negara-negara Eropa

  Timur sesudah Perang Dunia ke-I, seperti Polandia, Bulgaria, Hongaria, dan Rumania.

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional menurut Hukum Internasional.

  Dalam kehidupan masyarakat internasional ditandai adanya dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antar masyarakat internasional. Sengketa antar anggota masyarakat internasional beraneka ragam sebabnya, mungkin disebabkan karena alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara kepentingan tersebut. Persengketaan antara bangsa sering bersifat terbuka dan paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang dan tidak sedikit menelan korban. Perkembangan teknologi dalam bidang persenjataan yang dapat dipergunakan untuk perang sering menghantui masyarakat internasional akan timbulnya Perang Dunia yang pasti akibatnya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan Perang Dunia I dan II. Oleh karena itu masyarakat internasional selalu berusaha agar sengketa antara mereka dapat diselesaikan dengan tanpa

  

  menimbulkan perang di antara mereka. Suatu prinsip yang dikenal oleh masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi 1907 ini kemudian diambil alih oleh Piagam PBB, yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang berbunyi : “All members shall settle their

55 Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional,Penerbit Universitas

  

international disputes by peaceful means in such a manner that international

peace and security, and justice, are not endangered.” .

  Ketentuan Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB ini kemudian dijabarkan dalam

  Pasal 33 Piagam PBB. Prinsip penyelesaian secara damai kemudian diambil alih dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerja Sama Antarnegara tanggal 14 Oktober 1970 (A/Res/2625/XXV) dan Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 (A/Res/37/10) mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional

56 Secara Damai. Di dalam hukum internasional lain cara penyelesaian dengan

   damai, dikenal juga penyelesaian dengan kekerasan.

  Cara penyelesaian sengketa dengan damai dapat dilihat dalam Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB, yaitu: perundingan (negotiation), penyelidikan (inquiry), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), arbitrase (arbitration), penyelesaian menurut hukum (judicial settlement) melalui badan atau pengaturan regional atau dengan cara damai yang dipilih sendiri. Cara penyelesaian dengan perundingan, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa tanpa mempergunakan lembaga pengadilan seperti arbitrase atau pengadilan

   internasional.

  D.1. Penyelesaian dengan Damai

   1. Negosiasi

  Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa. 56 57 DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 187.

  Sri Setianingsih Suwardi, Loc.Cit. Negosiasi antar negara biasanya dilakukan melalui saluran diplomatik, artinya dilakukan oleh pejabat Departemen Luar Negeri, atau perwakilan diplomatik di mana ia di tempatkan. Dalam hal masalah yang dirundingkan sangat teknis maka anggota delegasi biasanya terdiri dari wakil-wakil departemen terkait.

  Para pihak juga sering membentuk komisi gabungan (joint commission) di mana anggota dari komisi gabungan terdiri dari wakil-wakil para pihak dan berapa lama komisi gabungan ini menjalankan tugasnya tergantung pada kepentingan untuk apa komisi ini didirikan. Misalnya komisi gabungan yang didirikan oleh Amerika Serikat dan Kanada yang didirikan tahun 1909 mempunyai tugas unntuk menyelesaikan masalah-masalah perkembangan industri, pencemaran udara, masalah-masalah sehubungan dengan perbatasan.

  Negosiasi juga sering dipakai dalam rangka kerja organisasi internasional. Negosiasi dalam rangka organisasi internasional dengan cara pendekatan diplomatik secara informal akan lebih bermanfaat dibandingkan perdebatan konfrontasi secara terbuka. Sekretaris Jenderal PBB dalam tugasnya sering menjalankan negosiasi dengan negara-negara anggota PBB. Kadang-kadang dalam rangka kerja organisasi internasional dibentuk komisi negosiasi dengan anggota yang dipilih di antara anggota-anggota organisasi internasional tersebut.

  Kadang-kadang dalam organisasi internasional komisi yang telah ada diberikan tugas untuk mengadakan negosiasi. Sebagai contoh ketika PBB mengadakan negosiasi dengan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy

  

Agency-IAEA ) dengan Resolusi Majelis Umum No.1115 (XI) memberi wewenang kepada Komite Penasihat untuk Penggunaan Tenaga Atom untuk Kepentingan

   Damai (the Advisory Committee on the Peaceful Uses of Atomic Energy).

  Agar negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa berhasil, maka antar para pihak yang bersengketa harus ada kepercayaan akan penyeleasian dengan negosiasi. Adanya ketidakpercayaan antar pihak dapat menyebabkan tidak tercapainya penyelesaian sengketa mereka.

  Jika negosiasi untuk menyelesaikan sengketa mengalami jalan buntu, maka kemungkinan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengadakan perjanjian yang memberikan kompensasi pada salah satu untuk dapat mencairkan isu substansi .

  Dalam suatu sengketa kemungkinan diselesaikan dengan sistem package

  

deals , hal ini sering dilaksanakan dalam negosiasi multilateral. Penyelesaian

  dengan package deals ini sering terjadi di konferensi multilateral, di mana kepentingan antar anggotanya berbeda-beda. Suatu anggota menawarkan kepentingannya untuk didukung untuk didukung oleh pihak lain, pihak tersebut akan mendukung usul pihak lain yang membutuhkan dukungannya. Sebagai contoh masalah perikanan adalah penting untuk Inggris tetapi tidak penting untuk negara Swiss, maka Inggris meminta Swiss mendukung usulan masalah perikanan yang diajukan oleh Inggris, sebaliknya Inggris akan mendukung usulan mengenai

   masalah keuangan yang diusulkan oleh Swiss.

  Negosiasi hanya terjadi bila para pihak masih mau berunding. Jika kedua belah pihak terlibat dalam sengketa yang serius, biasanya kedua belah pihak tidak 59 Ibid. mau berunding, bahkan sering para pihak akan menarik perwakilan diplomatiknya. Keadaan sukar berunding antar para pihak juga dapat terjadi apabila para pihak tidak mengakui satu sama lain.

  Perlu diingat bahwa negara terikat untuk mengadakan penyelesaian sengketanya dengan negosiasi bila hal tersebut dinyatakan dalam perjanjian yang disetujuinya atau kewajiban untuk mengadakan negosiasi itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Pasal 33 Piagam PBB menentukan alternatif penyelesaian sengketa diantaranya dengan negosiasi. Oleh karenanya negara- negara anggota PBB berhak untuk mempergunakan negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa atau tidak memilihnya untuk penyelesaian sengketanya.

  2. Jasa-jasa baik Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensi suatu negara pihak ketiga yang merasa dirinya wajar untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi

   antara dua negara. Dalam hal ini, pihak ketiga menawarkan jasa-jasa baiknya.

  Peranan pihak ketiga dalam usaha mencari penyelesaian sengketa adalah pihak ketiga berusaha mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar mereka dapat langsung berunding. Pihak ketiga hanya memberikan saran-saran secara garis besar bagaimana sengketa itu akan diselesaikan oleh kedua belah pihak, tanpa ikut langsung dalam perundingan. Saran-saran pihak ketiga ini didasarkan pada pengaruh moral atau politik pihak ketiga pada pihak yang bersengketa.

  Keterlibatan pihak ketiga ini dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa atau atas tawaran pihak ketiga.

  Peran pihak ketiga disini hanya menyarankan kepada kedua belah pihak untuk merundingkan dan mencari penyelesaian sengketa. Bila para pihak yang sedang bersengketa telah berhasil berunding, maka selesailah peran pihak ketiga. Pihak ketiga disini dapat perseorangan (individu), negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh, Swiss sebagai negara netral sering bertindak sebagai negara pelindung (protecting power) di wilayah yang sedang berkecamuk sengketa bersenjata. Demikian juga ketika perang Vietnam, atas jasa baik Perancis pihak Vietnam dan Amerika Serikat berunding untuk menyelesaikan perang

62 Vietnam tahun 1973.

  3. Mediasi Dibandingkan dengan jasa-jasa baik, peran pihak ketiga dalam mediasi lebih aktif, karena pihak ketiga dapat mengambil bagian dalam perundingan antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mempergunakan usul-usul yang berasal dari pihak mediator dan bahkan pihak mediator dapat menjadi pemimpin dari perundingan yang diadakan para pihak yang bersengketa. Usul- usul pihak mediator ini dapat mempergunakan asas-asas hukum ataupun asas-asas di luar hukum yang tujuannya agar para pihak dapat berkompromi untuk menyelesaikan sengketanya, tanpa ada paksaan untuk menerima usulan yang diajukan oleh mediator. Mediator harus menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang bersengketa. Sebagaimana jasa-jasa baik maka mediator ini juga dapat dilakukan oleh individu, negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh sengketa antara Argentina dan Chili dalam rangka pelaksanaan the Beagle Channel Award kedua belah pihak telah menerima Kardinal Antonio Samore sebagai mediator

   atas usul dari Paus.

  Mediasi dapat juga dilaksanakan lebih dari satu negara, sebagai contoh komisi tiga negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) komisi dibentuk oleh PBB dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa Republik Indonesia dan Belanda tahun 1947, komisi ini bahkan membantu perumusan Perjanjian Renville.

  Mediator juga sering dilakukan oleh tokoh-tokoh terkenal. Sebagai contoh sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar tahun 1988, Raja Fahd dari Saudi Arabia bertindak sebagai mediator.

  Mediasi dapat dilaksanakan dengan sokongan keuangan dan bantuan lain yang bernilai untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai contoh pada saat sengketa anatara Pakistan dan India tentang wilayah perairan Indus antara tahun 1951 dan 1961, Bank Dunia menawarkan bantuan keuangan .

  Bagi organisasi internasional seperti PBB atau organisasi regional, penyelesaian sengketa secara damai antar anggotanya merupakan tujuan dari organisasi. Dalam rangka PBB, peran Sekretaris Jenderal PBB dalam hal mediasi sering dilakukan.

  Mediator dalam melakukan suatu mediasi harus mempunyai “itikad baik” dan tidak memihak. Hal ini disebabkan bahwa para pihak dengan itikad baik meyerahkan sengketa kepada mediator dengan harapan bahwa mediator dapat menyelesaikan sengketanya dengan baik. Jadi kepercayaan antara para pihak pada mediator tidak boleh disia-siakan oleh mediator untuk mendekatkan para pihak. Mediator dapat mengusulkan suatu proposal sehingga kedua belah pihak akan menerima. Mediator juga dapat mengatur di mana kedua belah pihak akan bertemu di tempat yang netral. Mediasi tidak dapat dipaksakan pada para pihak yang sedang bersengketa. Mediasi hanya dapat dilakukan bila para pihak menghendakinya. Dalam hal para pihak tidak dapat menerima usulan yang disampaikan oleh mediator ( hal ini disebabkan bahwa para pihak tidak terikat oleh proposal mediator), atau karena para pihak tidak dapat menerima tindakan mediator maka mediasi tidak dapat dilakukan.

  Dalam hal para pihak menerima cara penyelesaian sengketanya dengan mediasi ini berarti para pihak telah mengakui bahwa sengketanya telah merupakan sengketa yang bersifat internasional.

  Cara penyelesaian dengan mediasi berarti mencoba mengadakan kompromi antara para pihak. Jika para pihak yakin bahwa sengketanya tidak akan diselesaikan dengan mediasi atau kompromi sukar dicapai dapat menolak menerima mediasi sebagai cara penyelesaian sengketanya. Sebagai contoh, ketika Nigeria mengadakan perang di Biafra, Nigeria menolak mediasi karena mengatakan bahwa masalah tersebut adalah masalah dalam negeri (domestic

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cahaya - Perancangan Dan Pembuatan Alat Pendeteksi Keberadaan Alfatokoferol Pada Paprika Hijau Dengan Menggunakan Sensor Warna TCS3200

0 0 29

BAB II PROFIL INSTANSI - Strategi Optimalisasi Pendapatan Dinas Pasar Dan Pengaruhnya Terhadap Keuangan Daerah

0 0 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN - Analisis Perbandingan Anggaran Dan Realisasi Dana Dekonsentrasi Pada Dinas Pertambangan Dan Energi Provinsi Sumatera Utara

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

0 0 29

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsu

0 0 29

1 BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

0 0 17

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penanganan Dugaan Penyimpangan Kredit Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

0 0 18