Produksi Kompos Yang Dihasilkan Dari Limbah Padat Rumah Tangga Dan Kotoran Ternak Babi Dengan Menggunakan Dan Tidak Menggunakan EM4 Sebagai Aktivator.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limbah Padat

  Menurut Asrul (1996), limbah padat atau yang biasanya seperti kita ketahui adalah sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup. Pengertian sampah menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang.

  Menurut Slamet (2002), sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat.

2.1.1 Jenis Sampah

  Jenis sampah menurut Mulyono (2014) dibagi atas 3 yaitu : 1.

  Sampah organik Sampah organik merupakan sampah yang berasal dari limbah tanaman, sisa kotoran hewan, dan kotoran manusia. Sampah organik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu organik basah dan organik kering. Organik basah masih mengandung air dalam sampah, misalnya sampah sayuran, sampah buah

  • – buahan, sampah tanam – tanaman kebun. Sementara itu, sampah organik kering seperti kertas, kardus, kayu, ranting, dan batang pohon kering.

  2. Sampah anorganik Sampah anorganik pasti bukan berasal dari mahluk hidup. Prinsip daur ulang (recycle) berlaku dalam proses pengolahan sampah anorganik seperti plastik dan logam. Ada beberapa bahan plastik yang hanya bisa didaur ulang 1

  • – 2 kali. Namun pada dasarnya plastik tidak boleh didaur ulang lebih dari dua kali karena berbahaya bagi kesehatan.

  3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) Sampah jenis ini sangat berbahaya bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Pasalnya, beberapa bahan mengandung merkuri sangat tinggi, seperti bekas kemasan cat semprot, baterai bekas, bahan insektisida, dan kimia pengawet lainnya.

  Menurut Chandra (2005), sampah padat dapat dibagi menjadi beberapa kategori, seperti berikut:

  1. Berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya.

  a.

  Organik, misalnya sisa makanan, daun, sayur, dan buah b. Anorganik, misalnya logam, pecah-belah, abu, dan lain - lain 2. Berdasarkan dapat atau tidaknya terbakar a.

  Mudah terbakar, misalnya kertas, plastik, daun kering, kayu.

  b.

  Tidak mudah terbakar, misalnya kaleng, besi, gelas, dan lain - lain.

  3. Berdasarkan dapat atau tidaknya membusuk a.

  Mudah membusuk, misalnya sisa makanan, potongan daging, dan sebagainya.

  b.

  Sulit membusuk, misalnya plastik, karet, kaleng, dan sebagainya.

  4. Berdasarkan ciri atau karakteristik sampah

  1. Garbage yaitu jenis sampah yang terdiri dari sisa-sisa potongan hewan atau sayuran dari hasil pengolahan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat yang mudah membusuk, lembab, dan mengandung sejumlah air bebas.

  2. Rubbish terdiri dari sampah yang dapat terbakar atau yang tidak dapat terbakar yang berasal dari rumah - rumah, pusat - pusat perdagangan, kantor - kantor, tapi yang tidak termasuk garbage.

  3. Ashes (Abu) yaitu sisa-sisa pembakaran dari zat - zat yang mudah terbakar baik dirumah, dikantor, industri.

  (Sampah Jalanan) berasal dari pembersihan jalan dan trotoar

4. Street Sweeping

  baik dengan tenaga manusia maupun dengan tenaga mesin yang terdiri dari kertas - kertas, daun - daunan.

  6. Dead Animal (Bangkai Binatang) yaitu bangkai - bangkai yang mati karena alam, penyakit atau kecelakaan.

  7. Houshold Refuse yaitu sampah yang terdiri dari rubbish, garbage, ashes, yang berasal dari perumahan.

  8. Abandonded Vehicles (Bangkai Kendaraan) yaitu bangkai - bangkai mobil, truk, kereta api.

  9. Sampah Industri terdiri dari sampah padat yang berasal dari industry - industri, pengolahan hasil bumi.

  10. Demolition Wastes yaitu sampah yang berasal dari pembongkaran gedung.

  11.Construction Wastes yaitu sampah yang berasal dari sisa pembangunan, perbaikan dan pembaharuan gedung - gedung.

  12. Sewage Solid terdiri dari benda - benda kasar yang umumnya zat organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengelolahan air buangan.

  13. Sampah khusus yaitu sampah yang memerlukan penanganan khusus misalnya kaleng - kaleng cat, zat radiokatif.

2.1.2 Sumber-Sumber Sampah

  Menurut Notoatmojo (2003), Sumber - sumber sampah dibagi sebagai berikut: 1. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic waste)

  Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti : sisa-sisa makanan baik yang sudah dimasak atau belum, bekas pembungkus baik kertas, plastik, daun, pakaian -pakaian bekas, bahan - bahan bacaan, perabot rumah tangga.

  2. Sampah yang berasal dari tempat - tempat umum.

  Sampah ini berasal dari tempat - tempat umum, seperti : pasar, tempat-tempat hiburan, terminal bus, stasiun kereta api. Sampah ini berupa kertas, plastik, botol, dan daun.

  3. Sampah yang berasal dari perkantoran Sampah ini berasal dari perkantoran, perdagangan, departemen, perusahaan. Sampah ini berupa kertas - kertas, plastik, karbon, klip. Umumnya sampah ini bersifat kering dan mudah terbakar (rubbish).

  4. Sampah yang berasal dari jalan raya Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri atas : kertas - kertas, kardus

  • kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban, onderdil - onderdil kendaraan yang jatuh, daun - daunan, dan plastik.

  5. Sampah yang berasal dari industri (industrial waste)

  Sampah dari kawasan industri, termasuk sampah yang berasal dari pembangunan industri dan segala sampah yang berasal dari proses produksi, misalnya: sampah-sampah pengepakan barang, logam, plastik, kayu, potongan tekstil, kaleng.

  6. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian, misalnya : jerami, sisa sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah.

  7. Sampah yang berasal dari pertambangan Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari jenis usaha pertambangan itu sendiri, misalnya: batu - batuan, tanah/cadas, pasir, sisa - sisa pembakaran (arang).

  8. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan Sampah dari peternakan dan perikanan ini berupa : kotoran-kotoran ternak, sisa -sisa makanan, dan bangkai binatang.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Jumlah Sampah

  Menurut Chandra (2005), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah sampah:

  1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk tergantung pada aktifitas dan kepadatan penduduk. Semakin padat penduduk, sampah semakin menumpuk karena tempat atau ruang untuk menampung sampah kurang. Semakin meningkat aktifitas penduduk, sampah yang dihasilkan semakin banyak, misalnya pada aktifitas pembangunan, perdagangan, dan industri.

  2. Sistem pengumpulan atau pembuangan sampah yang dipakai.

  Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak lebih lambat jika dibandingkan dengan truk.

  3. Pengambilan bahan-bahan yang ada pada sampah untuk dipakai kembali.

  Metode itu dilakukan karena bahan tersebut masih memiliki nilai ekonomi bagi golongan tertentu.

  4. Faktor Geografis Lokasi tempat pembuangan apakah didaerah pegunungan, lembah, pantai, atau di dataran rendah.

  5. Faktor Waktu Bergantung pada faktor harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Jumlah sampah perhari bervariasi menurut waktu. Contoh, jumlah sampah pada siang hari lebih banyak daripada jumlah di pagi hari, sedangkan sampah di daerah pedesaan tidak begitu bergantung pada faktor waktu.

  6. Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya Contoh, adat - istiadat dan taraf hidup dan mental masyarakat.

  7. Pada musim hujan, sampah mungkin akan tersangkut pada selokan, pintu air, atau penyaringan air limbah.

  8. Kebiasaan Masyarakat Contoh, jika seseorang suka mengkonsumsi satu jenis makanan atau tanaman, sampah makanan itu akan meningkat.

  9. Kemajuan Teknologi

  Akibat kemajuan teknologi, jumlah sampah dapat meningkat. Contoh: plastik, kardus, rongsokan, AC, TV, dan kulkas.

  10. Sampah Makin maju tingkat kebudayaan suatu masyarakat, semakin kompleks pula macam dan jenis sampahnya.

  Sedangkan timbulan sampah menurut Dinas Kebersihan Kota Medan dalam Kajian Pengolahan Sampah, faktor

  • – faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah : 1.

  Jumlah penduduk, artinya jumlah penduduk meningkat timbulan sampah meningkat.

  2. Keadaan sosial ekonomi, semakin tinggi keadaan sosial ekonomi seseorang akan semakin banyak timbulan sampah perkapita yang dihasilkan.

  3. Kemajuan teknologi, akan menambah jumlah dan kualitas sampahnya

2.1.4 Sistem Pengelolaan Sampah

  Menurut Dinas Kebersihan Kota Medan (2013), pengelolaan sampah adalah pengaturan yang berhubungan dengan pengendalian timbulan sampah, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan sampah dengan cara merujuk pada dasar – dasar yang terbaik mengenai kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konversi, estetika dan pertimbangan lingkungan yang lain dan juga tanggap terhadap perilaku massa.

  Menurut Notoatmodjo (2003), sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga binatang serangga sebagai pemindah / penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat.

  Pengelolaan sampah yang baik bukan saja untuk kepentingan kesehatan tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Yang dimaksud pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan, pengangkutan sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

  Cara – cara pengelolaan sampah antara lain sebagai berikut : 1.

  Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka ini harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing- masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA). Mekanisme, sistem, atau cara pengangkutannya untuk daerah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing keluarga tanpa memerlukan TPS maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk.

2. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah

  Pemusnahan dan/atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut : a.

  Ditanam (landfill) yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah. b.

  Dibakar (inceneration) yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar didalam tungku pembakaran (incenerator).

  c.

  Dijadikan pupuk (composting) yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Daerah pedesaan hal ini sudah biasa sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dengan anorganik kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman, dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah anorganik dibuang dan akan segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian masalah sampah akan berkurang.

2.1.5. Dampak Sampah

  Bila sampah tidak dikelola dengan baik tentu akan dapat menimbulkan masalah bagi manusia. Banyak kejadian

  • – kejadian dari efek yang ditimbulkan oleh sampah, akibat manusia menyepelekan masalah sampah. Menurut Suryati (2014) dampak yang diakibatkan oleh sampah adalah : 1.

  Mengganggu Estetika Sampah yang berceceran di jalan atau disembarang tempat sungguh tidak menyedapkan mata. Tumpukan sampah yang berserakan menimbulkan kesan jorok, tidak bersih, dan sangat merusak keindahan.

2. Mencemari Tanah dan Air Tanah

  Sampah yang menumpuk dipermukaan tanah akan mencemari tanah dan air didalamnya. Cairan kotor dan bau busuk hasil pembusukan sampah yang merembes ke dalam tanah dapat mencemari air tanah. Bukan tidak mungkin, air yang digunakan dari pompa tanah dapat terkontaminasi akibat gaya hidup yang tidak sehat ini.

  3. Mencemari Perairan Sampah yang dibuang kesaluran air akan mencemari perairan sungai, irigasi, waduk, bahkan pantai. Padahal, banyak yang masih memanfaatkan pengairan dari sungai dan sumber air lainnya untuk kebutuhan sehari – hari.

  4. Menyebabkan Banjir Tumpukan sampah yang berada disaluran air (irigasi) dapat menyumbat pintu - pintu air sehingga air sulit mengalir. Maka tak heran jika dikota- kota besar, banjir sering terjadi akibat masyarakatnya menyepelekan sampah.

  5. Menimbulkan Bau Busuk Sampah- sampah yang menumpuk di darat atau yang terendam di air akan mengalami pembusukan. Bau busuk yang menyebar di udara akan tercium dan mengganggu pernafasan.

  6. Sebagai Sumber Bibit Penyakit Sampah yang menimbulkan bau busuk akan mengundang lalat. Pada sampah yang busuk, bersarang bermacam-macam bakteri penyebab penyakit. Lalat tersebut dapat memindahkan bibit penyakit dari sampah kedalam makanan atau minuman. Sedangkan menurut Gelbert dkk (1996), ada tiga dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan yaitu :

  1. Dampak Terhadap Kesehatan Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan sebagai berikut : a. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.

  Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat didaerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai b. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit)

  c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk kedalam pencernaan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah

  2. Dampak Terhadap Lingkungan Cairan rembesan sampah yang masuk kedalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap , hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam oraganik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.

  3. Dampak Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi Dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut :

  a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat : bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana - mana b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan

  c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas) d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain – lain.

  e. Infrastruktur lain dapat juga mempengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, sepertinya tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaki.

2.2. Pengertian Kompos

  Menurut Susetya (2014), kompos adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik seperti dedaunan, batang, ranting lapuk, kotoran ternak dan lain - lain. Kompos adalah hasil fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Sedangkan pengertian lain dari kompos menurut Suryati (2014), kompos merupakan pupuk yang dibuat dari sampah organik yang sebagian besar berasal dari rumah tangga.

  Kompos adalah bahan organik yang bisa lapuk, seperti daun - daunan, sampah dapur, jerami, rumput, dan kotoran lain, yang semua itu berguna untuk kesuburan tanah. Kompos merupakan material organik yang sudah didekomposisi dan digunakan sebagai media tanah, pupuk dan penyubur tanah.

  Menurut Habibi (2008), proses pembuatan kompos sebenarnya meniru proses terbentuknya humus di alam. Namun dengan cara merekayasa kondisi lingkungan, kompos dapat dipercepat proses pembuatanya, yaitu hanya dalam jangka waktu 30-90 hari. Waktu ini melebihi kecepatan terbentuknya humus secara alami. Oleh karena itulah, kompos selalu tersedia sewaktu-waktu diperlukan tanpa harus menunggu bertahun-tahun lamanya

  Menurut Susetya (2014), kompos apabila dilihat dari proses pembuatannya dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu :

  1. Kompos Yang Diproses Secara Alami Pembuatan kompos secara alami adalah pembuatan kompos yang dalam proses pembuatannya berjalan dengan sendirinya, dengan sedikit atau tanpa campur tangan manusia. Manusia hanya membantu mengumpulkan bahan, menyusun bahan, untuk selanjutnya proses pengomposan berjalan dengan sendirinya. Kompos yang dibuat secara alami memerlukan waktu pembuatan yang lama, yaitu mencapai waktu 3-4 bulan bahkan ada yang mencapai 6 bulan lebih.

  2. Kompos Yang Dibuat Dengan Campur Tangan Manusia Pembuatan kompos dengan campur tangan manusia adalah pembuatan kompos yang sejak dari penyiapan bahan (pengadaan bahan dan pemilihan bahan), perlakuan terhadap bahan, pencampuran bahan, pengaturan temperatur, pengaturan kelembaban dan pengaturan kelembaban dan pengaturan konsentrasi oksigen, semua dilakukan dibawah pengawasan manusia. Proses pembuatan kompos yang dibuat dengan campur tangan manusia biasanya dibantu dengan penambahan aktivator pengurai bahan baku kompos. Aktivator pembuatan kompos terdapat bermacam-macam merk dan produk, tetapi yang paling penting dalam menentukan aktivator ini adalah bukan merk aktivatornya, akan tetapi apa yang terkandung didalam aktivator tersebut, berapa lama akitivator tersebut telah diuji cobakan, apakah ada pengaruh dari unsur aktivator tersebut terhadap manusia, terhadap ternak, terhadap tumbuh-tumbuhan maupun pengaruh terhadap organisme yang ada di dalam tanah atau dengan kata lain pengaruh terhadap lingkungan hidup disamping itu juga harus dilihat hasil kompos seperti apa yang diperoleh.

  Tujuan dari pembuatan kompos yang diatur secara cermat seperti sudah disinggung diatas adalah untuk mendapatkan hasil akhir kompos jadi yang memiliki standar kualitas tertentu. Diantaranya adalah memiliki nilai Carbon/Nitrogen (C/N) ratio antara 10-12. Kelebihan dari cara pembuatan kompos dengan campur tangan manusia dan menggunakan bahan aktivator adalah proses pembuatan kompos dapat dipercepat menjadi 2-4 minggu.

2.3. Prinsip Dasar Pembuatan Kompos

  Menurut Suryati (2014), pada dasarnya, membuat kompos adalah untuk meniru proses terjadinya humus di alam dengan bantan mikroorganisme. Ada dua jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan, yaitu mikroorganisme yang membutuhkan kadar oksigen tinggi (aerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah (anaerob). Meskipun menghasilkan produk akhir yang sama (kompos), perbedaan mikroorganisme yang digunakan akan memengaruhi proses pembuatan kompos.

  Proses pengomposan aerobik dan anaerobik juga disampaikan oleh Mulyono (2014), yaitu sebagai berikut : 1.

  Pengomposan Aerobik

  Pada proses pengomposan aerobik, jenis mikroorganismenya memerlukan oksigen dan air yang harus terpenuhi. Mikroorganisme merubah sampah organik menjadi kompos dengan bantuan oksigen dan air. Proses aerobik akan menghasilkan karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan protoplasma pertumbuhan bakteri.

  2,

  Mikroorganisme yang terlibat pada pengomposan aerobik akan menghasilkan CO air panas, humus, dan unsur hara. Mikroorganisme memerlukan energi berupa karbondioksida dan nitrogen untuk mengubah bahan organik menjadi kompos.

2. Pengomposan Anaerobik

  Pada proses pengomposan ini memerlukan bakteri anaerob atau bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Bakteri anaerobik dapat tumbuh tanpa terkontaminasi udara. Pengomposan anaerobik biasa dilakukan secara tertutup dalam wadah tertutup yang hampir hampa udara. Bahan yang cocok untuk dikomposkan adalah bahan organik yang kadar airnya tinggi. Pengomposan anaerob menghasilkan gas metan (CH ),

  4

  karbondioksida (CO

  2 ), asam organik asetat, asam propionat, asam butirat, asam

  laktat, dan asam suksinat. Sebelum digunakan, keringkan kompos yang masih berupa lumpur dan tiriskan. Proses pengeringan sebaiknya jangan terkena matahari langsung. Cairan pengomposan anaerobik bisa digunakan sebagai pupuk cair dan diaplikasikan melaui tanah.

2.3.1. Faktor Penting Dalam Pengomposan

  Menurut Suryati (2014), ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempercepat proses dekomposisi sehingga kompos yang akan dibuat berhasil, yaitu :

  1. Rasio Carbon/Nitrogen (C/N)

  Rasio C/N adalah perbandingan antara bahan dasar kompos yang mengandung Karbon (C) dan Nitrogen (N). Perbandingan keduanya harus tepat, yaitu sekitar 30/40 : 1.

  8. Daun kering 50 : 1 hingga 60 : 1

  16. Bonggol jagung 60 : 1

  15. Rumput segar 12 : 1 hingga 25 : 1

  14. Sampah buah-buahan 35 : 1

  13. Kotoran ayam 10 : 1

  12. Kotoran sapi 20 : 1

  11. Batang/cabang pohon 15 : 1 hingga 60 : 1

  10. Kulit kayu 100 : 1 hingga 130 : 1

  9. Kacang-kacangan 15 : 1

  7. Daun segar 10 : 1 hingga 40 : 1

  Kandungan karbon yang diberikan harus lebih banyak karena karbon akan dipecah oleh mikroba sebagai sumber energi. Sementara itu, nitrogen hanya dibutuhkan bakteri untuk proses sintesa protein saja. Kandungan rasio C/N ini sangat dipengaruhi dari kandungan bahan baku yang digunakan. Berikut tabel ulasannya :

  6. Kayu 00 : 1 hingga 400 : 1

  5. Serbuk gergaji 500 : 1

  4. Jerami jagung 100 : 1

  3. Jerami padi 70:1

  2. Sampah dapur campur 15:1

  1. Sampah sayuran 12 : 1 hingga 20 :1

  No Nama Bahan Organik Rasio C/N

Tabel 2.1. Daftar Rasio C/N Bahan Kompos

  Sumber : Suryati (2014)

  Sedangkan bila menurut Mulyono (2014), kandungan C/N yaitu :

  8. Urine manusia 0,8

  Sumber : Mulyono (2006)

  16. Limbah sayuran 11-27

  15. Serbuk gergaji 500

  14. Sesbania sp 17,8

  13. Jerami jagung 50-60

  12. Ampas Tebu 110-120

  11. Jerami padi 80-130

  10. Jerami gandum 80-130

  9. Enceng gondok 17,6

  8

Tabel 2.2. C/N Rasio Beberapa Bahan Organik

  7. Tepung tulang

  3

  6. Darah

  5. Tinja manusia 6-10

  4. Kotoran babi 11,4

  3. Kotoran sapi 15,8

  2. Kotoran ayam 5,6

  1. Urine ternak 0,8

  No Nama Bahan Organik Rasio C/N

  2. Ukuran Bahan Kompos

  Memotong atau mencacah bahan dasar kompos untuk mempercepat proses dekomposisi. Partikel bahan kompos akan memengaruhi porositas serta luasnya permukaan area kontak antara mikroba dengan bahan kompos. Ukuran ideal potongan bahan mentah sekitar 4 cm. Potongan yang terlalu kecil menyebabkan timbunan menjadi padat sehingga tidak ada sirkulasi udara didalamnya.

  3. Kelembaban Kelembaban dalam tumpukan bahan baku kompos ditunjukkan dalam kadar air bahan, yaitu 30-40%. Tata udara yang baik akan menjadikan tumpukan bahan baku tetap berada pada kisaran suhu dan kelembaban yang optimal. Apabila suhu dan kelembaban berada di luar kisaran tersebut, maka diperlukan upaya untuk mencapai kondisi optimal.

  Sementara itu, proses pengomposan akan berlangsung optimum pada suhu 30-45 C.

  4. Kandungan Air dan Oksigen Kadar air bahan mentah idealnya 50-70%. Jika tumpukan kompos kurang mengandung air, bahan akan bercendawan sehingga proses penguraian bahan akan berlangsung lambat dan tidak sempurna. Karena itu, untuk memastikan tidak adanya kelebihan dan kekurangan air, penting untuk menjaga aerasi selama proses pengomposan dengan cara membuat lubang atau celah di dasar atau bagian samping komposter agar sirkulasi udara terjaga.

  5. Suhu Aktivitas mikroba dapat menghasilkan panas pada proses pengomposan. Peningkatan suhu berkaitan dengan komsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak komsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi terjadi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu berkisar 30-60 C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Namun, suhu yang lebih tinggi dari

  60 C akan membunuh sebagian mikroba, hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih – benih gulma yang ikut saat proses dekomposisi berlangsung. 6. pH Besaran pH (derajat keasaman) saat proses pengomposan berlangsung berkisar 6,5-7,5.

  Pada proses pengomposan, perubahan pH akan berlangsung ketika pengomposan berhasil, dan pH akan berubah menjadi netral (7,0).

Tabel 2.3. Kondisi Ideal Pengomposan

  No

  Parameter Kondisi Ideal Kondisi yang Dapat Diterima

  1. Rasio 25 : 1 atau 35 : 1 20 : 1 atau 40 :1

  2. Kelembaban 40 – 62% 40-65%

  3. Konsentrasi oksigen tersedia >10% >5%

  4. Ukuran partikel Bervariasi 1 inci 5. pH 6,5-8,0 5,5-9,0

  6. Suhu 54-60 C 43-66 C Sumber : Suryati (2014)

  Menurut Habibi (2008), prinsip dasar pengomposan secara aerob adalah :

  1. Rasio C/N Bahan Pada Pengomposan Rasio C/N adalah perbandingan antara kadar karbon (C) dan kadar Nitrogen (N) pada suatu bahan. Semua mahluk hidup tersusun dari sejumlah besar bahan karbon (C) serta Nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Pembuatan kompos aerob yang optimal membutuhkan rasio C/N 25 : 1 sampai 30 : 1. Nilai dari rasio C/N merupakan faktor penting yang mempengaruhi kegiatan bakteri. Unsur karbon (C) dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses metabolisme dan perbanyakan sel. Sedangkan unsur nitrogen (N) digunakan untuk membentuk protein atau pembentukan protoplasma. Jika bahan organik memiliki kandungan C terlalu tinggi maka proses penguraian akan berlangsung lama. Sebaliknya, jika C terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebih sehingga akan terbentuk gas amoniak (NH

  

3 ).

  Kadar amoniak yang terlalu banyak dapat meracuni bakteri. Oleh sebab itu, jumlah C/N ratio perlu dihitung dan direncanakan secara tepat. Dalam hal ini perbandingan C/N dari bahan baku pengomposan pada kelompok yang menggunakan aktivator dan kelompok yang tidak menggunakan aktivator adalah 26,9. Ini menunjukkan bahwa perbandingan C/N pada pengomposan tersebut sudah memenuhi standart pengomposan.

  2. Volume bahan Baik banyaknya bahan baku maupun cara menumpuk bahan baku sangat menentukan proses pengomposan. Tumpukan bahan yang lebih banyak dapat mempercepat proses pengomposan dibandingkan tumpukan bahan yang sedikit. Namun demikian, semakin besar tumpukan bahan baku, semakin sulit untuk mengatur atau mengontrol suhu dan kelembabannya.

  Volume bahan baku yang dibuat pada pengomposan ini dilakukan dengan proporsional, dimana jumlah bahan pengomposan adalah sebesar 21 kg dan komposter pengomposan ini berkapasitas untuk 50 kg, sehingga tumpukan kompos dan banyaknya kompos sesuai.

  3. Ukuran bahan Berlangsungnya proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik jika ukuran bahan baku yang akan dikomposkan diperkecil, karena mikroorganisme akan lebih mudah beraktivitas mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut (substrat) dibandingkan dengan bahan dengan ukuran besar. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan secara aerob yaitu 1-7,5 cm. Pencacahan sebaiknya tidak terlalu lembut seperti bubur, karena pada saat berlangsungnya pengomposan bahan akan mengeluarkan kadar air.

  Ukuran bahan pengomposan ini sesuai dengan ukuran pengomposan yang dianjurkan yaitu berkisar 1 cm.

  4. Kadar bahan pada bahan pengomposan secara aerob Pada proses pengomposan secara aerob, kadar air bahan sebaiknya antara 40 – 50 %. Kondisi kadar air seperti itu harus dipertahankan saat berlangsungnya pengomposan agar mikroorganisme aerob dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati. Kadar air yang sesuai sangat membantu pergerakan mikroba dalam bahan. Transportasi makanan untuk mikroba, dan reaksi kimia yang ditimbulkan oleh mikroba. Apabila kadar air terlalu banyak dapat menyebabkan bahan semakin padat, melumerkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroba dan menghalangi masuknya oksigen ke dalam bahan.

  Namun, jika air terlalu sedikit maka bahan baku akan menjadi kering dan tidak mendukung kehidupan mikroba.

  Kondisi kadar air yang terbaik yaitu sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Cara sederhana untuk mengetahui kadar air yaitu dengan mengambil bahan dan meremasnya dalam genggaman tangan. Apabila bahan kompos pecah/hancur dan tidak keluar air sama sekali dari genggaman maka perlu diberi tambahan air. Apabila bagian kompos keluar dari sela – sela jari dengan air berlebih berarti terlalu basah sehingga kompos perlu dibalik – balik. Kondisi bahan dengan kandungan air yang tepat yaitu, dapat dikepal dengan tangan meskipun hancur lagi.

  Cara untuk mengetahui basah atau tidaknya bagian tengah, dibutuhkan alat pengontrol berupa tongkat bambu atau kayu. Dengan menusukkan alat ini kedalam tumpukan kompos sampai ke tengah maka dapat diketahui tiga hal penting, yaitu basah atau tidak, hangat atau tidak, dan berbau busuk atau tidak. Jika tongkat tersebut hangat dan basah berarti pengomposan masih berlangsung dengan baik. Namun apabila tongkat tersebut kering dan dingin maka perlu disiram air. Disamping itu, untuk menjaga kadar air bahan diperlukan tempat yang terlindung dari air hujan dan sinar matahari langsung. Tempat yang teduh sangat dianjurkan agar proses pengomposan secara aerobik dapat berlangsung dengan baik. Kadar kelembaban pada pengomposan ini diperhatikan secara manual seperti pada penjelasan diatas, dilakukan secara rutin dan seksama.

  5. Suhu (Temperatur) pengomposan secara aerob o Suhu ideal untuk pengomposan secara aerob yaitu diantara 45-65

  C. Suhu kompos organik dapat dijaga agar tetap stabil dengan cara mengatur kadar air.

  Suhu yang terlalu rendah dapat disebabkan bahan yang kurang lembab sehingga aktivitas mikroorganisme menurun. Masalah ini dapat diatasi dengan cara bahan kompos disiram dengan air hingga mencapai kadar air yang optimal.

  Demikian pula, jika kondisi suhu bahan terlau tinggi, tidak baik bagi proses pengomposan seara aerob. Suhu yang terlalu tinggi dapat diatasi dengan cara membalikkan bahan.

  Pengukuran suhu pada pengomposan ini juga dilakukan secara manual (fisik) yaitu dengan menutup komposter dengan benar, kemudian pada hari keempat bahan kompos dibuka untuk membalikkan bahan agar suhu kompos dapat stabil begitu seterusnya sampai pengomposan berakhir dan menjadi kompos. Hal lain untuk melihat suhu pada pengomposan adalah bila pada proses pengomposan terdapat cendawan maka kadar air kurang sehingga dianjurkan menambahkan atau menyiram dengan air.

  6. Derajat keasaman (pH) Untuk berlangsungnya pengomposan secara aerob dengan baik dibutuhkan pH netral yaitu antara 6-8. Jika kondisi asam biasanya dapat diatasi dengan pemberian kapur. Namun, sebenarnya dengan cara memantau suhu dan membolak balikkan bahan kompos secara tepat dan benar sudah dapat mempertahankan konsidi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur.

  Dengan demikian, proses pemeriksaan pH setiap waktu tidak perlu dilakukan.

  Memantau derajat keasaman (pH) juga dilakukan secara manual. Pemantauan juga dilakukan secara rutim dengan cara membolak balikkan bahan kompos secara tepat dan benar.

  7. Aerasi Pengomposan secara aerob membutuhkan membutuhkan oksigen. Oleh karena itu tentunya keberadaan udara atau oksigen mutlak diperlukan oleh mikroba aerob.

  Pada pengomposan secara aerob harus dikondisikan sedemikian rupa agar setiap bagian bahan kompos memperoleh suplai oksigen yang cukup. Pada pembuatan kompos secara aerob skala kecil, jumlah oksigen tidak harus diketahui. Aerasi pada bahan baku pengomposan ini juga sangat diperhatikan, dimana pengaturan oksigen juga dilakukan dengan merancang komposter sedemikian rupa yaitu memberikan lubang aerasi pada tutup bagian atas komposter. Disamping itu membolak balikkan bahan baku pengomposan secara rutin yaitu 3 hari sekali.

  Prinsip Dasar Pengompoan Secara Anaerob menurut Habibi (2008), adalah : Pengomposan secara anaerob yaitu pengomposan yang berlangsung tanpa adanya udara atau oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaannya dibutuhkan tempat khusus yang tertutup rapat. Sebenarnya cara pembuatan kompos secara anaerob ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan biogas atau pembuatan septik tank.

  Hasil pengomposan anaerob berupa CH 4 , H 2 S, H 2 , CO 2 , asam asetat, asam butirat, asam laktat, etanol, metanol, dan hasil sampingan berupa lumpur. Lumpur inilah yang kita namakan sebagai kompos.

  Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan ketika melakukan pengomposan secara anaerob menurut Habibi (2008) :

  1. Rasio C/N Bahan

  Proses pengomposan secara anaerob yang optimal membutuhkan rasio C/N = 25:1 hingga 30:1. Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan semakin cepat, dan kandungan N dalam lumpur semakin tinggi. Sebaliknya, apabila rasio C/N terlalu rendah maka amonia yang dihasilkan terlalu banyak sehingga dapat meracuni bakteri. Prinsip

  • – prinsip perhitungan rasio C/N pada pengomposan secara aerob dapat diterapkan juga pada pengomposan secara anaerob.

  2. Ukuran Bahan

  • – Pada pengomposan secara anaerob, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat lumatnya sampai berupa bubur atau lumpur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penguraian yang dilakukan oleh bakteri dan mempermudah pencampuran atau homogenisasi bahan.

  3. Kadar Air (Rh) Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 50% ke atas.

  Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa

  • – senyawa gas dan bermacam – macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.

  4. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) optimal yang dibutuhkan pada pengomposan secara anaerob yaitu antara 6,7 – 7,2. Untuk mempertahankan kondisi pH hendaknya ditambahkan kapur pada tahap awal bahan dimasukkan.

  5. Temperatur (Suhu) Suhu di daerah tropis rata – rata antara 25-35 C sudah cukup baik bagi proses pengomposan secara anaerob. Namun, suhu paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu diantara 50-60

  C. Suhu optimal tersebut dapat dibantu dengan cara meletakkan tempat pengomposan dilokasi yang terkena sinar matahari langsung. Apabila sinar matahari dimanfaatkan untuk menaikkan suhu maka gas metan yang dihasilkan akan semakin tinggi an proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Dengan demikian, gas metan perlu dikeluarkan setiap hari, yaitu dengan cara membuka lubang gas pada instalasi pengomposan.

  6. Aerasi Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa proses pengomposan secara anaerob tidak dibutuhkan udara (oksigen), karena yang berperan dalam proses pengomposan yaitu mikroorganisme anaerob. Oleh karena itu, tempat pembuatan kompos harus selalu dikondisikan tertutup rapat, tidak diperkenankan udara masuk sedikit pun juga.

2.4. Bioaktivator

  Menurut Setiawan (2012), bioaktivator adalah inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme selulolitik dan lignolitik untuk mempercepat laju pengomposan pada pembuatan pupuk kandang. Dalam bioaktivator ini terdapat berbagai macam mikroorganisme fermentor dan dekomposer. Mikroorganisme dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan dan mengurai bahan organik.

  Secara global terdapat beberapa golongan mikroorganisme pokok dalam bioaktivator, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomycetes sp., ragi (yeast), dan

  Actinomycetes

  1. Bakteri Fotosintetik Bakteri fotosintetik merupakan bakteri bebas yang dapat mensitesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolir yang diproduksi dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangbiakan mikroorganisme yang menguntungkan.

  2. Lactobacillus sp.

  Bakteri ini memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat lain yang bekerja sama dengan bakteri fotosintesis dan ragi. Asam laktat ini merupakan bahan sterilisasi yang kuat yang dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan dapat menguraikan bahan organik dengan cepat.

  3. Streptomycetes sp Streptomycetes sp. mampu memproduksi enzim streptomisin yang bersifat racun terhadap hama dan penyakit yang merugikan.

  4. Ragi (yeast) Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi.

  Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk pertumbuhan sel dan pembelahan akar. Ragi ini juga berperan dalam perkembangan atau pembelahan mikroorganisme menguntungkan lain, seperti Actinomycetes, dan bacteri asam laktat.

  5. Actinomycetes Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur. Organisme tersebut mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik. Tujuannya untuk mengendalikan patogen serta menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan khitin, yaitu zat esential untuk pertumbuhan. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain.

2.4.1 Jenis – Jenis Aktivator

  1. EM-4 (Effective Microorganisms 4) EM-4 merupakan produk bioaktivator yang beredar di pasaran berupa Effective Microorganisms (EM) asli yang tidak dapat langsung diaplikasikan pada media. Hal ini disebabkan kandungan mikroorganisme dalam EM asli masih dalam kondisi tidur (dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM asli perlu dilarutkan menjadi EM aktif apabila ingin digunakan.

  Menurut Suryati (2014), cara mengaktifkan aktivator EM-4 adalah sebagai berikut : a. hingga

  Campurkan 1 liter air EM asli dengan 1 liter molase lalu tambahkan air tercampur menjadi 10 liter larutan.

  b.

  Masukkan larutan yang telah jadi kedalam wadah, lalu tutup hingga rapat.

  c.

  Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara. Wadah harus tertutup rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung.

  d.

  Buka tutup wadah pada hari ke lima untuk mengeluarkan gas agar tidak meledak e. Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium bau asam. pH EM aktif berkisar 3,5

  • – 3,7 f.

  Apabila tidak langsung digunakan, EM aktif bisa dimasukkan ke dalam wadah khusus.Wadah yang baik untuk menyimpan EM aktif adalah tangki plastik atau tangki stainless stell asalkan kondisinya tangki bersih dan dapat mempertahankan kondisi anaerob. Sebaliknya, jangan gunakan tempat bekas oli, tempat bahan kimia atau tangki logam berat.

  Sedangkan cara mengaktifkan aktivator EM4 menurut petunjuk pemakaian EM4 dari pabrik adalah : EM4 sebanyak 1 liter yang dijual dipasaran untuk kapasitas bahan baku pengomposan 1 ton. Prinsip perhitungan campuran 1 liter EM4 tersebut adalah :

  EM4 : molase : air yaitu 1 : 1: 50 untuk 1 ton bahan baku ( 1 liter EM4 : 1 liter molase : 50 liter air).

  2. MOL (Mikroorganisme Lokal) Menurut Mulyono (2014), mol merupakan mikroorganisme hasil fermentasi dari bahan yang ada dilingkungan sekitar dan mudah didapat. Bahan baku untuk membuat mol dapat diperoleh dari hewan dan limbah yang ada disekitar rumah, seperti sisa buah-buahan, rebung, pisang, pucuk tanaman merambat, tulang ikan, keong mas, urine hewan, air tajin, sisa makanan, sisa sayur didapur, nasi yang sudah basi, air kelapa, dan terasi. Intinya sebagian besar limbah organik rumah tangga dapat dijadikan bioaktivator atau mikroorganisme lokal (MOL). Sedangkan bila menurut Setiawan (2012), mol atau biokativator yang dibuat sendiri dan atau mikroorganisme adalah kumpulan mikroorganisme yang bisa “diternakkan” fungsinya sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik. Contoh mol antara lain adalah mol tapai, mol ikan asin, mol buah, mol rebung bambu, dan lainnya.

  3. Kotoran Hewan / Ternak Menurut Susetya (2014), pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan. Kandungan hara dalam pupuk kandang rata-rata sekitar 55% N, 25% P

  2 O 5 , dan 5% K

2 O (tergantung jenis hewan dan makanannya). Menurut Yuliarti

  (2009), dibedakan menjadi pupuk kandang segar dan pupuk kandang busuk. Pupuk kandang segar merupakan kotoran hewan yang baru saja keluar dari tubuh hewan, yang kadang- kadang tercampur dengan urin dan sisa makanan yang ada dikandang. Selain pupuk kandang segar, ada pupuk kandang busuk. Pupuk kandang busuk

  • – padat
  • – padat

  • – padat
  • – cair
  • – padat
  • – cair
  • – cair
  • – cair

  7. Kambing

  0,60 0,30 0,17

  60

  8. Kambing

  1,50 0,13 1,80

  85

  9. Domba – padat 0,75 0,50 0,45

  60

  10. Domba

  1,35 0,05 2,10

  85

  11. Babi – padat 0,95 0,35 0,40

  80

  12. Babi

  0,40 0,10 0,45

  87

  13. Ayam – padat dan cair 1,00 0,80 0,40

  92

  1,00 0,50 1,50

  6. Sapi

  2. Kuda – cair 1,40 0,02 1,60

  biasanya merupakan pupuk kandang yang telah disimpan lama disuatu tempat hingga telah mengalami proses pembusukan.

Tabel 2.4. Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair

  No Nama Ternak dan Bentuk

  Kotorannya Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)

  1. Kuda

  0,55 0,30 0,40

  75

  90

  85

  3. Kerbau

  0,60 0,30 0,34

  85

  4. Kerbau – cair 1,00 0,15 1,50

  92

  5. Sapi

  0,40 0,20 0,10

  55 Sumber : Yuliarti (2009)

Tabel 2.5 Rata – Rata Jumlah Unsur Hara Pada Kotoran Ternak

  

No Jenis N P K Ca Hg Na Fe Mn Zn Cu Ni Cr

Ternak

  1. Sapi 0,5 20 - 1,1 0,9 1,1 0,8 0,2 5726 344 122

  6

  2. Babi 1,7 1,4 0,8 3,8 0,5 0,2 1692 507 624 510

  19

  25

  3. Ayam 2,6 3,1 2,4 12,7 0,9 0,7 1758 572 724

  80

  48

  17 Sumber : Yuliarti (2009)

2.4.2. Keuntungan Kotoran Ternak Menjadi Kompos (Pupuk)

  Menurut Setiawan (2012), tingginya pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kandang karena beberapa keuntungan sebagai berikut :

  1. Dengan mengubah kotoran ternak menjadi pupuk kandang, massa dan volume kotoran ternak menjadi berkurang.