Pencetakan Kompos Berbagai Bentuk Dengan Menggunakan Jenis Kompos Yang Berbeda

(1)

Eriyanti Mandasari : Pencetakan Kompos Berbagai Bentuk Dengan Menggunakan Jenis Kompos Yang

ERIYANTI MANDASARI

050308012

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

PENCETAKAN KOMPOS BERBAGAI BENTUK DENGAN

MENGGUNAKAN JENIS KOMPOS YANG BERBEDA

SKRIPSI

Oleh :

ERIYANTI MANDASARI

050308012

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(3)

PENCETAKAN KOMPOS BERBAGAI BENTUK DENGAN

MENGGUNAKAN JENIS KOMPOS YANG BERBEDA

SKRIPSI

Oleh:

ERIYANTI MANDASARI

050308012/TEKNIK PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(4)

ABSTRAK

ERIYANTI MANDASARI: Pencetakan Kompos Berbagai Bentuk Dengan Menggunakan Jenis Kompos Yang Berbeda, dibimbing oleh TAUFIK RIZALDI dan EDI SUSANTO.

Penggunaan kompos saat ini masih mengalami kendala yaitu kebutuhan dosis yang sangat besar sering kali menyulitkan proses penebarannya, membutuhkan ruangan yang lebih luas untuk penyimpanan dan daya simpannya relatif lebih singkat, serta bentuknya kurang menarik. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk membuat bentuk kompos agar lebih menarik dengan variasi jenis kompos dan dosis bahan perekat. Penelitian ini dilakukan pada Juli - September 2009 menggunakan rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu jenis kompos (kotoran sapi, jerami, sekam) dan dosis bahan perekat (20%, 25%, 30%). Parameter yang diamati adalah kapasitas efektif alat, persentase kerusakan hasil,lama kompos melebur, analisis ekonomi, break event point, net present

value, internal rate of return.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas material, kerusakan hasil dan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kapasitas hasil dan lama kompos melebur. Dosis bahan perekat berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas material dan kapasitas hasil, dan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kerusakan hasil cetakan dan lama kompos melebur. Interaksi perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas material, kerusakan hasil cetakan dan lama kompos melebur. Hasil yang terbaik diperoleh pada kombinasi kompos jerami dengan dosis bahan perekat sebesar 30%.

Kata Kunci: Kompos, Tepung Tulang, Alat Pencetak Kompos

ABSTRACT

ERIYANTI MANDASARI: The Molding of Various Compost form Using Different Kind of Compost, supervised by TAUFIK RIZALDI and EDI SUSANTO.

Compost usage has still many problems such as ample doses. That makes dispersion difficult, needs wider space of storage, relatively low storageability and less attractive. The aim of this research was to make more attractive compost using several kind of compost and doses of adhesive material. This research was conducted in July up to September 2009 using the complete randomized design with 2 factors: i.e. the kind of compost (cow manure, straw, husk) and the dose of adhesive (20%, 25%, 30%). Parameters observed were the effective capacity of device, the percentage of broken result, the melting time of compost, economic analysis, a break event point, net present value and internal rate of return.

The results showed that the kind compost had highly significantly affected the capacity of material, the broken result and had significantly affected the capacity of result and compost melting time. The dose of adhesive had highly significantly affected the material capacity and the capacity of result, and gived a significant effect on the percentage of damage result and melting time of compost. The interaction of treatment had highly significantly affected the capacity of the material, the percentage of damage result and the compost melting time. The best result are the combination of straw compost with 30% adhesive.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balimbingan kecamatan Tanah Jawa pada tanggal 20 Juni 1987 dari Ayah Syamsudin dan Ibu Ngatini. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tanah Jawa dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Pemandu Minat dan Prestasi (PMP). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Agriculture

Technologi Moeslim, Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian dan Badan Kenaziran

Mushola, sebagai asisten praktikum di Laboratorium Mekanisasi Pertanian.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Kebun Bah Jambi Pematang Siantar Sumatera Utara dari tanggal 16 Juli sampai 15 Agustus 2008.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pencetakan Kompos Berbagai Bentuk Dengan Menggunakan Jenis Kompos Yang Berbeda”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Taufik Rizaldi, STP, MP dan Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.

Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknik Pertanian, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT. ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesa Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kompos... 5

Meningkatkan Kualitas Kompos ... 7

Peranan Kompos ... 8

Pupuk Organik Padat ... 11

Kotoran sapi... ... 14

Jerami... 15

Sekam Padi .... ... 15

EM-4 (Effective Microorganism) ... 16

Analisa Ekonomi. ... 17

Break Event Point. ... 19

Net Present Value. ... 20

Internal Rate of Return. ... 21

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 23

Bahan dan Alat ... 23

Metode Penelitian ... 23

Pelaksanaan Penelitian. ... 25

Parameter yang Diamati ... 27

Kapasitas Material (Kg/jam). ... 27

Kapasitas Hasil (Kg/jam) ... 27

Kerusakan Hasil Cetakan ... 28

Lama Kompos Melebur. ... 28


(8)

Net Present Value. ... 29

Internal Rate of Return. ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Jenis Kompos. ... 30

Pengaruh Dosis tepung Tulang. ... 30

Kapasitas Material. ... 31

Pengaruh Jenis Kompos... 31

Pengaruh Dosis tepung Tulang. ... 33

Pengaruh Interaksi. ... 34

Kapasitas Hasil. ... 36

Pengaruh Jenis kompos. ... 36

Pengaruh Dosis tepung tulang. ... 37

Pengaruh Interaksi. ... 38

Kerusakan Hasil Cetakan. ... 39

Pengaruh Jenis kompos. ... 39

Pengaruh Dosis tepung tulang. ... 40

Pengaruh Interaksi. ... 42

Lama Kompos Melebur... 43

Pengaruh Jenis kompos. ... 43

Pengaruh Dosis tepung tulang. ... 45

Pengaruh Interaksi. ... 46

Analisis Ekonomi. ... 48

Break Event Point. ... 48

Net Present Value. ... 49

Internal Rate of Return. ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(9)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kandungan unsur hara dalam kompos……… …... 7

2. Perbedaan pupuk organik dan anorganik………….……….. 13

3. Pengaruh jenis kompos terhadap parameter yang diamati……….... 30

4. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap parameter yang diamati………. 31

5. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas material………. 32

6. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas material………... 33

7. Uji LSR Efek interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kapasitas material (kg/jam)……… 35

8. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas hasil………. 36

9. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas hasil……… 37

10.Pengaruh jenis kompos terhadap kerusakan hasil cetakan………. 39

11.Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil cetakan……… 40

12.Uji LSR Efek interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil cetakan……… 42

13.Pengaruh jenis kompos terhadap lama kompos melebur……….. 44

14.Pengaruh dosis tepung tulang terhadap lama kompos melebur………… 45

15.Uji LSR Efek interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap lama kompos melebur……….. 47


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal. 1. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas material………. 32

2. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas material………... 34 3. Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap

kapasitas material (kg/jam)………... 35 4. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas hasil (kg/jam)……….. 37 5. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas hasil

(kg/jam)……… 38 6. Pengaruh jenis kompos terhadap kerusakan hasil cetakan (%)……….. 40 7. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil cetakan (%)….. 41 8. Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap

kerusakan hasil cetakan (%)……….. 43 9. Pengaruh jenis kompos terhadap lama kompos melebur

(hari)……….. 44 10.Pengaruh dosis tepung tulang terhadap lama kompos melebur

(hari)………. 46 11.Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Data pengamatan kapasitas material (Kg/jam) ... 55

2. Data pengamatan kapasitas hasil (Kg/jam). ... 56

3. Data pengamatan kerusakan hasil (%). ... 57

4. Data pengamatan lama kompos melebur (hari). ... 58

5. Analisis ekonomi. ... 59

6. Break event point. ... 62

7. Net present value. ... 63

8. Internal rate of return. ... 66

9. Spesifikasi alat pencetak kompos dengan variasi bentuk cetakan. .... 67

10. Gambar alat pencetak kompos... 68

11. Hasil cetakan. ... 70

12. Gambar alat pencetak kompos tampak depan. ... 72

13. Gambar alat pencetak kompos tampak samping. ... 73


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kompos merupakan pupuk organik yang diperoleh dari hasil pelapukan bahan-bahan tanaman atau limbah organik, seperti jerami, sekam, dedaunan, rerumputan, limbah organik pengolahan pabrik, dan sampah oganik hasil perlakuan manusia (rumah tangga). Kompos dan pengomposan sudah dikenal sejak berabad-abad lalu. Berbagai sumber mencatat bahwa penggunaan kompos sebagai pupuk telah dimulai sejak 1000 tahun sebelum nabi Musa. Tercatat juga bahwa pada zaman kerajaan Babylonia dan kekaisaran Cina, kompos dan teknologi pengomposan sudah berkembang cukup pesat. Dalam proses pengomposan, perlakuan yang umum dilakukan adalah menciptakan lingkungan mikro yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme. Di alam terbuka, kompos bisa terbentuk dengan sendirinya, yakni melalui proses alami. Rumput, dedaunan, kotoran hewan, dan sampah lainnya lama kelamaan terurai, karena kerjasama antara mikroorganisme dengan cuaca. Pengomposan juga dapat dipercepat dengan perlakuan tertentu, hingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu singkat. Kompos merupakan produk daur ulang sampah organik, yang dapat dimanfaatkan sebagai media tanam sekaligus pupuk tanaman. Selaian itu, pengolahan sampah menjadi kompos merupakan upaya yang turut membantu program pemerintah mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir) (Suryati, 2009).


(13)

Seiiring dengan bertambahnya populasi penduduk maka kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat, untuk itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan produksi pangan. Pemupukan merupakan salah satu usaha penting untuk meningkatkan produksi, bahkan sampai sekarang dianggap sebagai faktor penting untuk meningkatkan produksi pertanian karena sampai saat ini belum ada alternatif penggantinya. Penggunaan pupuk (pupuk anorganik) yang terus meningkat dari tahun ke tahun semakin mencemaskan pakar lingkungan hidup karena membawa dampak yang kurang baik. Dampak yang kurang baik akibat penggunaan pupuk anorganik misalnya tanah menjadi rusak (penggunaan yang berlebihan dan terus menerus akan menyebabkan tanah menjadi keras), air tercemar, dan keseimbangan alam terganggu.

Namun, belakangan ini ketersediaan sumber daya alam makin berkurang, harga pupuk anorganik semakin naik, subsidi di bidang pertanian dihapus. Hal ini tentu saja menambah beban biaya bagi petani yang menggunakan pupuk ini. Untuk itu, perlu dicarikan pemecahannya. Alternatif pemecahan masalah yang baik adalah mengurangi ketergantungan atau penggunaan pupuk anorganik tersebut dan segera beralih ke pupuk organik.

Bahan baku pupuk organik sangat mudah diperoleh karena memanfaatkan sampah organik. Bahan bakunya bisa berupa dedaunan, jerami, serasah sisa panen, kotoran ternak, dan sisa sayuran. Proses pembuatan pupuk organik juga sangat sederhana. Karena bahan bakunya diperoleh secara gratis (kecuali menggunakan aktivator harus membelinya, tetapi harganya relatif murah) maka harga pupuk organik terhitung murah. Selain itu, bahan bakunya bisa ditemukan


(14)

disekitar kita sehingga produksinya bisa berjalan terus. Dengan demikian, kelangkaan pupuk bisa teratasi dan tentu harganya lebih murah (Indriani, 2001).

Namun para petani mengalami kendala yaitu kebutuhan dosis pupuk organik yang sangat besar sering kali menyulitkan proses penebarannya, meningkatnya biaya pengangkutan, dan membutuhkan ruangan yang lebih luas untuk penyimpanan dan daya simpannya relatif lebih singkat karena adanya pelepasan unsur-unsur hara, kurang praktis dan dianggap jorok bila diaplikasikan dikalangan ibu-ibu pecinta tanaman hias, selain itu bentuknya kurang menarik. Maka dari itu perlu dilakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut yakni dengan menjadikan bentuk pupuk tersebut menjadi bentuk padat yang akan mempermudah aplikasinya.

Bentuk pupuk organik padat saat ini semakin beragam disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Keragaman bentuk tersebut jangan hanya dilihat sebagai bahan penarik konsumen, melainkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan jenis yang sesuai dengan tanaman sehingga memberikan hasil yang lebih baik dan efisien ( Musnamar, 2008).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variasi jenis kompos dan dosis bahan perekat terhadap kualitas hasil cetakan.

Hipotesa Penelitian

Diduga ada perbedaan kualitas hasil cetakan akibat perbedaan jenis kompos dan dosis bahan perekat serta interaksi kedua faktor tersebut.


(15)

Kegunaan

1. Sebagai syarat untuk melaksanakan ujian sarjana di Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

3. Sebagai input informasi bagi mahasiswa, masyarakat khususnya produsen kompos.


(16)

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Kompos

Akar tanaman menyerap unsur hara dari dalam tanah dengan bantuan energi sinar matahari. Unsur hara dari dalam tanah bersama-sama dengan hasil fotosintesa akan diubah menjadi senyawa kompleks untuk membentuk daun, batang, akar, buah, umbi, maupun bulir-bulir biji. Biji-bijian, buah-buahan, atau umbi selanjutnya akan dipanen dan akan dibawa ke tempat lain. Tidak jarang seresah tanaman sisa panen juga ikut terangkut dari sawah atau dibakar. Proses ini telah berlangsung lama, bahan organik tanah terus mengalami penguraian, sehingga semakin menipis dan unsur hara tanah semakin habis. Selama ini kekurangan unsur hara lebih banyak diimbangi dengan menambahkan pupuk kimia. Hal ini dapat mengakibatkan kesuburan tanah menurun secara drastis. Kekurangan bahan organik dapat menimbulkan banyak masalah, antara lain, kemampuan menahan air rendah dan struktur tanah yang kurang baik, akibatnya produktivitas tanah cenderung turun, sementara kebutuhan pupuk terus meningkat. Salah satu solusi penting untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menambahkan bahan organik yang cukup ke dalam tanah hingga lebih dari 2 % (Sinartani, 2009).

Pengembalian bahan organik ke dalam tanah adalah mutlak dilakukan untuk mempertahankan lahan pertanian agar tetap produktif. Dua alasan yang selama ini sering dikemukakan oleh para ahli adalah (1) pengolahan tanah yang dangkal selama bertahun-tahun mengakibatkan menurunnya kandungan C dan N organik, (2) penggunaan pupuk kimia telah melampui batas efisiensi teknis dan ekonomis


(18)

pupuk yang digunakan semakin menurun. Kedua alasan tersebut memberikan dampak buruk bagi pertanian di masa mendatang jika tidak dimulai tindakan antisipasinya.

Bahan organik yang ditambahkan dikenal sebagai pupuk. Pupuk banyak ragam jenis dan bentuknya, termasuk didalamnya adalah kompos. Kompos adalah pupuk organik yang bahan dasarnya dari pelapukan bahan tanaman atau limbah organik. Menumpuknya limbah organik memerlukan penanganan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti bau tak sedap atau menjadi sarang lalat. Jalan pintas yang sering dijumpai adalah dengan membakar. Pembakaran limbah organik tersebut selain tidak memberikan manfaat, juga akan menimbulkan polusi udara (Musnamar, 2008).

Kompos merupakan pupuk organik yang diperoleh dari hasil pelapukan bahan-bahan tanaman atau limbah organik, seperti jerami, sekam, dedaunan, rerumputan, limbah organik pengolahan pabrik, dan sampah organik hasil perlakuan manusia (rumah tangga). Pengomposan dapat diartikan sebagai proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai perantara (agensia) yang merombak bahan organik menjadi kompos. Dalam proses pengomposan, perlakuan yang umum yang dilakukan adalah menciptakan lingkungan mikro yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Proses pengomposan yang terjadi merupakan fermentasi atau perombakan bahan organik menjadi komponen yang lebih sederhana. Jenis mikroba yang berperan dalam fermentasi tersebut ada yang bersifat aerob dan anaerob. Selain ditentukan oleh proses, kualitas kompos juga ditentukan oleh nutrisi bahan baku


(19)

yang digunakan. Jadi sebenarnya, composting adalah suatu proses yang rumit dan kompleks meskipun dalam pelaksanaannya tidak sesulit itu (Sudradjat, 2007).

Meningkatkan Kualitas Kompos

Kualitas kompos biasanya diidentikkan dengan kandungan unsur hara yang ada di dalamnya. Kualitas kompos sangat variatif, tergantung dari bahan baku atau proses pengomposan. Unsur hara dalam kompos terbilang lengkap (mengandung unsur hara makro dan mikro), tetapi kadarnya kecil sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman. Karena itu, kualitas kompos akan lebih baik jika mutunya ditingkatkan, terutama kandungan unsur hara makro.

Tabel 1. Kandungan unsur hara dalam kompos

Unsur Hara Jumlah

Nitrogen (N) 1.33 %

Fosfor (P2O5) 0.85 %

Kalium(K2O) 0.36

Kalsium (Ca) 5.61 %

Zat Besi (Fe) 2.1 %

Seng (Zn) 285 ppm

Timah (Sn) 575 ppm

Tembaga (Cu) 65 ppm

Humus 53.7 %

pH 7.2

(Simamora dan Salundik, 2008).

Kandungan unsur hara dalam kompos terbilang lengkap, tetapi jumlahnya sedikit, tidak bisa memenuhi jumlah yang dibutuhkan tanaman. Besarnya persentase kandungan unsur hara yang terdapat di dalam kompos sangat bervariasi tergantung dari bahan baku, proses pembuatan, bahan tambahan, tingkat kematangan, dan cara penyimpanan. Karena kandungan haranya sedikit, peranan kompos sebagai sumber unsur hara tidak terlalu bisa diharapkan. Karena itu, kualitas kompos terutama kandungan unsur hara makro (nitrogen, fosfor, dan kalium) perlu ditingkatkan dengan menambahkan bahan lain. Bahan yang


(20)

ditambahkan bisa berupa urine ternak, tepung darah, tepung tulang, tepung kerabang (cangkang telur), dan tepung cangkang udang. Selain itu, kualitas kompos juga bisa ditingkatkan dengan menambahkan mikroorganisme yang menguntungkan seperti mikroba penambat nitrogen (N), pelarut fosfor (P), mikroba yang membantu penyerapan P oleh tanaman, penghasil hormon tumbuh, dan pengendali organisme patogen penyebab penyakit tanaman.

Jenis perekat yang digunakan biasanya berupa tepung kanji, lempung, tepung sagu. Dosis perekat yang baik yang digunakan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan. Jika pemberian dosis dalam jumlah sedikit maka akan mengurangi daya rekatnya, sedangkan pemberian dalam jumlah besar akan menyebabkan daya rekat semakin kuat. Daya rekat yang semakin kuat akan menyebabkan penguraian bahan akan lebih lama (Brades,2007)

Peranan Kompos

Kompos adalah bahan-bahan organic yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput , jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan, rerontokan kembang, air seni dan lain-lain. Penggunaan kompos sebagai pupuk sangat baik karena dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut :

- Menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman - Menggemburkan tanah

- Memperbaiki struktur dan tekstur tanah


(21)

- Memudahkan pertumbuhan akar tanaman - Meningkatkan daya ikat tanah terhadap air - Menyimpan air tanah lebih lama

- Mencegah beberapa penyakit akar - Menghemat pemakaian pupuk kimia

- Meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia

- Menjadi salah satu alternatif pengganti pupuk kimia karena harganya lebih murah, berkualitas, dan akrab lingkungan

- Bersifat multilahan karena bisa digunakan di lahan pertanian, perkebunan, reklamasi lahan kritis, padang golf

(Murbandono, 2008).

Penggunaan berbagai pupuk organik di lahan pertanian terbukti telah dapat meningkatkan produksi sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Dengan penggunaan pupuk organik, perbaikan akan terus berlangsung. Dengan kompos, maka kultur pertanian akan kembali ke bahan-bahan organik. Bahan organik yang mengandung lignin tinggi (seperti sebuk gergaji, ampas tebu, dan sampah daun) akan memperbaiki struktur jaringan tanaman.

Walaupun kompos mempunyai banyak manfaat, tetap saja dalam prosesnya memiliki banyak kekurangan, yakni meliputi biaya, waktu, bau, cuaca, potensi kehilangan N, dan lambat melepaskan unsur hara.

a. Bau dan alergi

Bau sering kali timbul selama proses pengomposan, terutama jika menggunakan bahan baku yang berpotensi menghasilkan bau. Umumnya,


(22)

banyak orang yang alergi terhadap bau, jamur, ataupun debu dari kompos. Walaupun kasusnya jarang terjadi, tetapi keadaan ini harus diantisipasi. Penggunaan penutup hidung dapat mengatasi hal ini walaupun tidak sepenuhnya berhasil.

b. Cuaca

Bahan baku atau campuran kompos sebaiknya tidak terkena air hujan. Air yang masuk ke dalam pori-pori bahan baku akan menghilangkan O2 yang terdapat

didalamnya. Selain itu, air mengakibatkan pencucian unsur hara bahan baku dan kompos. Elemen iklim lain yang patut diperhatikan adalah angin, temperatur dan kelembapan. Pasalnya, ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan timbunan kompos menjadi kering, sehingga mematikan mikroba pengompos. Walaupun secara teknis elemen iklim dapat ditangani, kurangnya perhatian pada elemem iklim dapat menyebabkan kegagalan proses pengomposan

c. Potensi kehilangan N

Proses pengompossan mengakibatkan sebagian N terurai dan lepas ke udara. Dengan melakukan tata cara laksana yang baik bisa mengurangi jumlah N yang hilang.

d. Lambat melepaskan unsur hara

Kompos umumnya berbentuk senyawa organik kompleks yang lambat melepaskan unsur haranya. Pasalnya, mikroba tanah perlu waktu untuk menguraikan unsur hara ini sebelum digunakan oleh tanaman. Karena itu, sebaiknya kompos dicampur dengan tanah dan dibiarkan beberapa waktu sebelum digunakan. Cara lainnya adalah dengan memberikan kompos ke dalam


(23)

tanah terlebih dahulu, baru kemudian tanaman ditanam, sehingga saat dibutuhkan tanaman bisa memanfaatkan unsur hara yang tersedia di dalam kompos.

(Djaja, 2008).

Pupuk Organik Padat

Pupuk organik seperti namanya pupuk yang dibuat dari bahan-bahan organik atau alami. Bahan-bahan yang termasuk pupuk organik antara lain adalah pupuk kandang, kompos, kascing, gambut, dan guano. Berdasarkan bentuknya pupuk organik dapat dikelompokkan menjadi pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Pupuk organik memiliki kandungan hara yang lengkap. Namun, kandungan hara tersebut rendah (Indriani, 2001).

Penggunaan pupuk organik mempunyai kelemahan, diantaranya adalah: (1) diperlukan dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman, (2) bersifat ruah, baik dalam pengangkutan dan penggunaanya di lapangan, dan (3) kemungkinan akan menimbulkan kekahatan unsur hara apabila bahan organik yang diberikan belum cukup matang (Sutanto, 2002).

Kebutuhan dosis pupuk organik yang sangat besar sering kali menyulitkan proses penebarannya. Namun, sekarang telah dipasarkan pupuk organik yang dipadatkan dalam bentuk serbuk, butiran, pelet, dan tablet. Pupuk organik dalam bentuk tersebut lebih mudah diaplikasikan dan dosis yang diperlukan menjadi lebih kecil. Pemberian dosis pupuk organik dalam jumlah besar memang tidak akan merusak tanaman. Namun, keseimbangan antara peningkatan hasil dan biaya yang dikeluarkan harus dipertimbangkan.


(24)

Pupuk organik yang lebih dulu dikenal petani adalah pupuk organik bentuk padat. Ini disebabkan oleh faktor pengetahuan dan ketersedian bahan pupuk. Sebagai contoh, bahan pupuk padat seperti humus banyak dijumpai pada lahan-lahan baru, pupuk kandang dari binatang peliharaan dan kompos dari sampah organik yang dihasilkan dari kehidupan sehari-hari. Pupuk organik padat adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik dengan hasil akhir bentuk padat. Pemakaian pupuk organik padat umumnya dengan ditaburkan atau dibenamkan dalam tanah tanpa perlu dilarutkan dalam air. Pupuk organik padat dapat dimasukkan dalam tiga kategori, yaitu (1) berdasarkan bahan penyusunnya maka pupuk organik padat termasuk pupuk alam (2) berdasarkan cara pemberiannya termasuk dalam pupuk akar karena pemberian haranya melalui akar dan (3) berdasarkan kandungannya termasuk pjuupuk majemuk dan pupuk lengkap karena kandungan haranya lebih dari satu unsur makro nitrogen (N), fosor (P), kalium (K) dan unsur mikro seperti kalsium (Ca), besi (Fe), dan magnesium (Mg) (Musnamar, 2008).

Selain berfungsi sebagai pemberi unsur hara, pupuk organik padat juga sebagai penambah bahan organik di dalam tanah. Pupuk organik padat termasuk pupuk slow release. Artinya, unsur hara dalam pupuk akan dilepaskan secara perlahan dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu sehingga kehilangan unsur hara akibat pencucian oleh air lebih kecil. Bahan organik tidak secara langsung diperlukan oleh tanaman. Pupuk organik padat merupakan makanan bagi tanah karena mempunyai sifat fisik yang sangat menguntungkan bagi kesuburan tanah seperti kapasitas tukar kation, daya serap, dan daya ikat air. Kapasitas tukar kation (KTK) yang relatif tinggi pada pupuk organik akan membantu melepaskan


(25)

ion-ion tanah yang terikat sehingga menjadi tersedia bagi tanaman dan akan mengefisienkan pemupukan kimia karena daya ikatnya terhadap ion. Dengan demikian, kehilangan ion akibat pencucian oleh air hujan yang biasa terjadi pada pemupukan kimia dapat dikurangi. Pupuk organik padat dapat merangsang aktivitas mikroorganisme sehingga kondisi kimia, fisik, dan biologi tanah lebih baik. Pemakaian pupuk organik tidak meninggalkan residu pada hasil panen sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi kesehatan manusia (Novizan, 2007).

Beberapa keunggulan pupuk organik atau kompos dibandingkan dengan pupuk anorganik

Tabel 2. Perbedaan Pupuk Organik dan Anorganik

Pupuk Organik Pupuk Anorganik

1. Mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap, tetapi jumlahnya sedikit

2. Dapat memperbaiki struktur tanah sehingga tanah menjadi gembur

3. Memiliki daya simpan air (water holding capasity) yang tinggi.

4. Beberapa tanaman yang

dipupuk dengan pupuk organik lebih tahan terhadap serangan penyakit.

5. Meningkatkan aktivitas

mikroorganisme tanah yang menguntungkan.

6. Memiliki residual effect yang positif. Artinya pengaruh positif dari pupuk organik terhadap tanaman yang ditanam pada musim berikutnya masih ada sehingga

pertumbuhan dan produktivitasnya masih bagus.

1. Hanya mengandung beberapa unsur hara, tetapi dalam jumlah banyak

2. Tidak dapat memperbaiki

struktur tanah, justru penggunaannya dalam jangka waktu lama menyebabkan tanah menjadi keras.

3. Sering membuat tanaman

rentan terhadap penyakit.

4. Pupuk anorganik mudah

menguap dan tercuci. Karena itu, pengaplikasian yang tidak tepat akan sia-sia karena unsur hara yang ada hilang akibat menguap atau tercuci oleh air.


(26)

Pupuk organik bentuk tablet masih sulit ditemukan dipasaran dibandingkan dengan pupuk kimia tablet. Kalaupun ditemukan, pupuk organik bentuk tablet tersebut masih merupakan barang impor. Sementara pupuk kimia bentuk tablet sangat mudah ditemukan dengan bergam ukuran. Pupuk organik bentuk tablet ini merupakan pupuk organik konsentrat dalam kondisi kering dengan kadar air 10% -20% sehingga dosis anjuran pemakaiannya pun lebih rendah dari pemakaian pupuk organik bentuk serbuk. Penggunaan pupuk bentuk tablet sangat menekan biaya tenaga kerja, terutama untuk lahan skala luas seperti perkebunan dan kehutanan. Penekanan biaya tenaga kerja selain dalam jumlah pemupukan, juga frekuensi pemupukan (Musnamar, 2008).

Kotoran Sapi

Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak) merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi kelangkaan dan naiknya harga pupuk. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk sudah dilakukan petani secara optimal di daerah-daerah sentra produk sayuran. Sayangnya masih ada kotoran ternak tertumpuk di sekitar kandang dan belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber pupuk. Keluhan petani saat terjadi kelangkaan atau mahalnya harga pupuk non organik (kimia) dapat diatasi dengan menggiatkan kembali pembuatan dan pemanfaatan pupuk kompos. Kotoran sapi dipilih karena selain tersedia banyak di petani/peternak juga memiliki kandungan nitrogen dan potasium, di samping itu kotoran sapi merupakan kotoran ternak yang baik untuk kompos


(27)

Jerami

Padi atau tanaman menyerap unsur hara dari dalam tanah. Dengan bantuan energi dari sinar matahari, hara dari dalam tanah ditambah dengan CO2 dari udara ini diubah menjadi senyawa komplek untuk membentuk batang, daun, dan bulir-bulir padi/beras. Padi/beras akan dipanen dan dibawa ke tempat lain, sedangkan jerami sisa-sisa panen umumnya dibakar. Jerami yang dihasilkan dari sisa-sisa panen sebaiknya jangan dibakar, tetapi diolah menjadi kompos dan dikembalikan lagi ke tanah, pembakaran jerami justru akan menghancurkan sebagian bahan organik yang sebenarnya cukup bagus dijadikan pupuk kompos. Kompos jerami ini secara bertahap dapat menambah kandungan bahan organik tanah, dan lambat laun akan mengembalikan kesuburan tanah.

Jerami padi biasanya mengandung sedikit air, tetapi banyak memiliki karbon. Umumnya jerami mudah dirombak dalam proses pengomposan. Nitrogen yang terdapat di dalamnya lebih sedikit karena sudah dipakai untuk pertumbuhan dan produksi. Penggunaan jerami padi pada bahan baku kompos sebaiknya dicacah dahulu sebelum dicampur dengan bahan lainnya (Djaja, 2008).

Sekam Padi

Sekam berfungsi untuk mengikat logam berat dan menggemburkan tanah sehingga bisa mempermudah akar tanaman menyerap unsur hara di dalamnya. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah. Sekam dengan persentase yang tinggi tersebut dapat menimbulkan problem lingkungan. Maka untuk mengatasi


(28)

masalah ini sekam bisa dimanfaatkan untuk bahan baku industri kimia, bahan bakar, dan juga kompos (Isroi, 2009).

Sekam padi mempunyai kandungan kadar air dalam jumlah yang relatif kecil. Selain itu ukuran partikel sekam yang relatif kecil dan ringan juga mempengaruhi dosis pemakaiannya, yaitu diperlukan dalam jumlah yang besar (Sutrisno, 2007).

EM-4 (Effective Microorganism)

EM-4 adalah kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Sebagian besar mengandung mikroorganisme

Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri

fotosintetik Streptomyces sp. dan ragi. EM-4 mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen. EM-4 diaplikasi sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman secara berkelanjutan. EM-4 juga dapat digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan, membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan ikan.

Keuntungan penggunaan EM4

- Memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

- Meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen.


(29)

- Meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi.

- Mempercepat proses fermentasi pada pembuatan kompos.

- Memperbaiki komposisi dan jumlah mikroorganisme pada perut ternak sehingga pertumbuhan dan produksi ternak meningkat

(www.songgolangit.20m.com, 2008).

Analisa Ekonomi

Analisis ekonomi digunakan untuk menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan saat produksi menggunakan alat ini. Dengan analisis ekonomi dapat diketahui seberapa besar biaya produksi sehingga keuntungan alat dapat diperhitungkan.

Biaya variabel adalah biaya yang besarnya tergantung pada out put yang dihasilkan. Dimana semakin banyak produk yang dihasilkan maka semakin banyak bahan yang digunakan. Tak heran jika biayanya semakin besar. Sedangkan, biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada banyak sedikitnya produk yang akan dihasilkan (Soeharno, 2007).

Untuk menilai kelayakan finansial, diperlukan semua data yang menyangkut aspek biaya dan penerimaan usaha tani. Data yang diperlukan untuk pengukuran kelayakan tersebut meliputi data tenaga kerja, sarana produksi, hasil produksi, harga, upah, dan suku bunga (Nastiti, 2008).

Pengukuran Biaya produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (biaya pokok).

Biaya pokok BTT C...(1) x

BT

  

+


(30)

dimana :

BT = total biaya tetap (Rp/tahun) BTT = total biaya tidak tetap (Rp/jam) x = total jam kerja per tahun (jam/tahun) C = kapasitas alat (jam/satuan produksi)

a. Biaya tetap

Biaya tetap terdiri dari :

- Biaya penyusutan (metode garis lurus)

(

)

n S P D= −

………...………(2) dimana :

D = Biaya penyusutan (Rp/tahun)

P = Nilai awal (harga beli/pembuatan) alsin (Rp) S = Nilai akhir alsin (10% dari P) (Rp)

n = Umur ekonomi (tahun)

- Biaya bunga modal dan asuransi, perhitungannya digabungkan, besarnya:

( )( )

n n P i I 2 1 + = ...……….(3) dimana :

i = Total persentase bunga modal dan asuransi (17% pertahun)

- Biaya pajak

Di negara kita belum ada ketentuan besar pajak secara khusus untuk mesin-mesin dan peralatan pertanian, namun beberapa literatur menganjurkan bahwa biaya pajak alsin pertanian diperkirakan sebesar 2%


(31)

- Biaya gudang/gedung

Biaya gudang atau gedung diperkirakan berkisar antara 0,5-1%, rata-rata diperhitungkan 1% nilai awal (P) pertahun.

b. Biaya tidak tetap

Biaya tidak tetap terdiri dari :

- Biaya perbaikan dapat dihitung dengan persamaan :

(

)

jam

S

P

reparasi

Biaya

1000

%

2

,

1

=

………..(4)

- Biaya karyawan/operator yaitu biaya untuk gaji operator. Biaya ini tergantung kepada kondisi lokal, dapat diperkirakan dari gaji bulanan atau gaji pertahun dibagi dengan total jam kerjanya.

(Darun, 2002).

Break Event Point (Perhitungan Titik Impas)

Analisis titik impas umumnya berhubungan dengan proses penentuan tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat membiayai sendiri (self financing). Dan selanjutnya dapat berkembang sendiri (self growing). Dalam analisis ini, keuntungan awal dianggap sama dengan nol. Bila pendapatan dari produksi berada di sebelah kiri titik impas maka kegiatan usaha akan menderita kerugian, sebaliknya bila di sebelah kanan titik impas akan memperoleh keuntungan.

Analisis titik impas juga digunakan untuk :


(32)

2. Rencana pengembangan pemasaran untuk menetapkan tambahan investasi untuk peralatan produksi.

3. Tingkat produksi dan penjualan yang menghasilkan ekuivalensi (kesamaan) dari dua alternatif usulan investasi.

(Waldiyanto, 2008).

Manfaat perhitungan titik impas (break event point) adalah untuk mengetahui batas produksi minimal yang harus dicapai dan dipasarkan agar usaha yang dikelola masih layak untuk dijalankan. Pada kondisi ini income yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya operasional tanpa adanya keuntungan.

Untuk menentukan produksi titik impas (BEP) maka dapat digunakan rumus sebagai berikut:

……… (5) dimana:

N : jumlah produksi minimal untuk mencapai titik impas (Kg) F : biaya tetap per tahun (rupiah)

R : penerimaan dari tiap unit produksi (harga jual) (rupiah) V : biaya tidak tetap per unit produksi. VN = total biaya tidak

tetap per tahun (rupiah/unit) (Darun, 2002).

Net Present Value (NPV)

NPV adalah selisih antara present value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Identifikasi masalah kelayakan finansial dianalisis dengan menggunakan metode analisis


(33)

finansial dengan kriteria investasi. Net present value adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu alat layak atau tidak untuk diusahakan. Perhitungan net present value merupakan net benefit yang telah didiskon dengan

discount factor (Pudjosumarto, 1998).

Secara singkat rumusnya :

CIF – COF ≥ 0………(6)

dimana : CIF = cash inflow

COF = cash outflow

Sementara itu keuntungan yang diharapkan dari investasi yang dilakukan (dalam %) bertindak sebagai tingkat bunga modal dalam perhitungan-perhitungan

Penerimaan (CIF) = pendapatan x (P/A, i, n) + Nilai ahir x (P/F, i, n)...(7) Pengeluaran (COF) = Investasi + pembiayaan (P/A, i, n)………...(8) Kriteria NPV yaitu

− NPV > 0, berarti usaha yang telah dilaksanakan menguntungkan; :

− NPV < 0, berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak menguntungkan;

− NPV = 0, berarti tambahan manfaat sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan.

(Darun, 2002).

Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) ini digunakan untuk memperkirakan kelayakan

lama (umur) pemilikan suatau alat atau mesin pada tingkat keuntungan tertentu.

Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkatan discount rate, dimana


(34)

atau NPV= Y (positif) dan NPV = X (positif) atau NPV = Y (negatif), dihitunglah harga IRR dengan menggunakan rumus berikut:

………...(9) Dan

………..(10) dimana :

p = suku bunga bank paling atraktif

q = suku bunga coba-coba ( > dari p) X = NPV awal pada p

Y = NPV awal pada q (Purba, 1997).


(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2009 di Laboratorium Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian adalah : jerami, sekam, kotoran sapi, tepung tulang, air, EM4, abu gosok, dolomit, gula pasir.

Alat – alat yang digunakan: alat pencetak kompos buatan mahasiswa Teknik Pertanian, dongkrak, timbangan, sarung tangan, plastik hitam, gembor, cangkul, sendok pengaduk, kalkulator, komputer.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian faktorial dengan model rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor perlakuan yaitu :

Faktor I : jenis kompos, dengan tiga taraf perlakuan D1 = kompos kotoran sapi

D2 =kompos jerami

D3 = kompos sekam

Faktor II : dosis tepung tulang P1 = 20 % berat bahan

P2 = 25 % berat bahan


(36)

Jumlah kombinasi perlakuan sebanyak Tc = 3 x 3 = 9, sehingga ulangan percobaan

dapat dihitung : Tc (n-1) ≥15

9(n-1) ≥ 15 (n-1) ≥ 1.67

n ≥ 2.67 dibulatkan menjadi 3

Penelitian dilakukan dengan ulangan sebanyak 3 kali ulangan, dengan kombinasi perlakuan sebagai berikut :

D1P1 D2P1 D3P1

D1P2 D2P2 D3P2

D1P3 D2P3 D3P3

Adapun kode rancangan yang digunakan yaitu : Yijk = µ + i + j + ( )ij + ijk

Dimana :

Yijk = Pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perlakuan faktor jenis

kompos pada taraf ke- i dan perlakuan dosis tepung tulang pada taraf ke- j pada ulangan k

µ = nilai tengah sebenarnya

i = efek perlakuan jenis kompos pada taraf ke- i

j = efek perlakuan dosis tepung tulang pada taraf ke- j

( )ij = efek interaksi perlakuan jenis kompos pada taraf ke- i dengan perlakuan dosis tepung tulang pada taraf ke- j


(37)

Pelaksanaan Penelitian

A. Prosedur Pembuatan Kompos a) Kompos jerami dan sekam

1. Semua bahan dicacah hingga ukuran menjadi lebih kecil.

2. Ditambahkan inokulum ke dalam bahan tersebut. Untuk sekam ditambahkan inokulum sebanyak 0.5 % berat bahan, sedangkan untuk jerami ditambahkan inokulum sebanyak 1.25 % berat bahan.

3. Diaduk campuran hingga merata, lalu ditambahkan air hingga mencapai kadar air sebesar 80 % atau secara visual air tidak menetes saat diperas.

4. Bahan tersebut ditumpukkan diatas lantai semen, kemudian ditutup dengan plastik hitam dan diberi atap sebagai naungan.

5. Kemudian bahan dibiarkan selama 14 hari sambil di bolak balik tiap hari, setelah itu kompos siap digunakan.

b) Kompos kotoran sapi

1. Dicampurkan kotoran ternak dengan inokulum sebanyak 0.25% aduk rata, lalu dimasukkan kedalam wadah pertama. Didiamkan campuran bahan tersebut selama satu minggu.

2. Dilakukan pembalikan bahan kompos sambil dicampur dengan abu gosok dan kapur, diamkan selama satu minggu.

3. Kemudian dilakukan pembalikan lagi hingga kompos matang setelah tiga minggu.


(38)

B. Persiapan Bahan

1. Disiapkan kompos, tepung tulang dan air. 2. Ditimbang kompos, tepung tulang dan air. 3. Dicampurkan air dan tepung tulang.

4. Dimasukkan ketiga bahan ke dalam suatu ember.

5. Diaduk sampai ketiga bahan tersebut tercampur merata membentuk suatu adonan.

6. Ditimbang masing- masing kompos lalu masukan ke dalam wadah plastik. 7. Dituangkan kompos yang ada di dalam wadah plastik ke dalam cetakan. 8. Diratakan semua permukaan kompos.

9. Adonan siap untuk dicetak.

Prosedur Penelitian

Adapun prosedur pengujian alat adalah :

1. Dimasukkan adonan kompos ke dalam suatu wadah plastik yang sudah ditentukan berat masing-masing kompos untuk tiap cetakan.

2. Dimasukkan adonan kompos ke dalam cetakan yang telah disediakan. 3. Diratakan permukaan kompos yang dimasukkan dengan plat besi yang

datar yang telah disediakan.

4. Dioperasikan dongkrak dengan menekan tuas dongkrak naik turun sehingga dongkrak mulai menekan plat penekan ke bawah.

5. Digerakkan engkol kebawah untuk mengeluarkan hasil cetakan.


(39)

7. Dihitung kapasitas cetakan yang dihasilkan alat ini per jam, dilihat keseragaman hasil cetakan secara visual (kasat mata), dilakukan analisis ekonomi.

8. Perlakuan tersebut diulangi sebanyak 3 kali ulangan.

Parameter yang diamati

2. Kapasitas Material (Kg/jam)

Kapasitas material dilakukan dengan membagi berat kompos awal terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencetak kompos.

………(10)

dimana :

KM : Kapasitas material (Kg/jam) BA : Berat awal (kg)

T : Waktu (jam)

3. Kapasitas Hasil (Kg/jam)

Kapasitas hasil dilakukan dengan membagi berat kompos yang dicetak terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencetak kompos.

………(11)

dimana :

KH : Kapasitas hasil (Kg/jam) BC : Berat hasil cetakan (Kg) T : Waktu (jam)


(40)

4. Kerusakan hasil cetakan (%)

Pengukuran persentase kerusakan hasil dapat ditentukan dengan membagi berat kompos yang rusak (tercetak tidak sempurna, pecah, patah) dengan berat isian kompos awal (sebelum dicetak) dikali dengan 100 %. Secara matematis dapat dituliskan dengan persamaan:

=

hasil Kerusakan

% x 100%

BA BR

………. …….(12)

dimana: BR : Bahan rusak (kg) BA : Berat awal (kg)

5. Lama Kompos Melebur (hari)

Lamanya kompos melebur dilakukan dengan mengaplikasikan kompos pada tanaman, tanaman yang digunakan adalah tanaman hias. Pengujian ini dilakuka n untuk mengetahui berapa lama kompos dapat bertahan sehingga bisa diperhitungkan waktu pemupukan selanjutnya.

6. Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi yang dilakukan adalah menghitung biaya pencetakan kompos dengan cara menjumlahkan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (persamaan 1).

Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan, biaya bunga modal dan asuransi, biaya pajak dan biaya gedung/gudang. Sementara biaya tidak tetap terdiri dari biaya perbaikan untuk dongkrak sebagai sumber tenaga penekan dan biaya karyawan/operator.


(41)

7. Break Event Point (BEP)

Manfaat perhitungan titik impas (break event point) adalah untuk mengetahui batas produksi minimal yang harus dicapai dan dipasarkan agar usaha yang dikelola masih layak untuk dijalankan, untuk menentukan produksi titik impas maka digunakan persamaan 5.

8. Net Present Value (NPV)

Net present value adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu alat

layak atau tidak untuk diusahakan. Perhitungannya dilakukan dengan persamaan 2, sementara keuntungan yang diharapkan dari investasi yang dilakukan dapat dilakukan dengan perhitungan menggunakan persamaan 3 dan 4.

9. Internal Rate of Return (IRR)

Internal rate of return digunakan untuk memperkirakan kelayakan lama

(umur) pemilikan suatu alat atau mesin pada tingkat keuntungan tertentu. Harga IRR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 5.


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh jenis kompos

Perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kapasitas material, kapasitas hasil, kerusakan hasil, dan lama kompos hancur. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Pengaruh jenis kompos terhadap parameter yang diamati Jenis

kompos

Kapasitas material (kg/jam)

Kapasitas hasil (kg/jam)

Kerusakan hasil (%)

Lama kompos melebur (hari)

Kotoran sapi 11,34 10,86 19,85 15,56

Jerami 10,93 10,56 13,18 22,33

Sekam 11,45 10,64 12,15 13,78

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kapasitas material tertinggi terdapat pada jenis kompos sekam, sedangkan yang terendah terdapat pada jerami. Kapasitas hasil tertinggi terdapat pada kotoran sapi sedangkan yang terendah pada jerami. Kerusakan hasil tertingi terdapat pada jenis kompos kotoran sapi, sedangkan yang terendah terdapat pada jenis kompos sekam. Waktu kompos melebur tertinggi terdapat pada jenis kompos jerami, sedangkan yang terendah terdapat pada jenis kompos sekam.

Pengaruh dosis tepung tulang

Dari hasil penelitian yang dilakukan, secara umum diperoleh bahwa dosis tepung tulang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kapasitas material, kapasitas hasil, kerusakan hasil, dan lama kompos hancur. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:


(43)

Tabel 4. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap parameter yang diamati Dosis

tepung tulang

Kapasitas material (kg/jam)

Kapasitas hasil (kg/jam)

Kerusakan hasil (%)

Lama kompos melebur (hari)

20% 11,27 10,82 14,98 10,56

25% 11,25 10,65 15,72 16,56

30% 11,20 10,59 14,48 24,11

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa kapasitas material tertinggi terdapat pada dosis 20% sedangkan yang terendah terdapat pada dosis 30%, sementara kapasitas hasil tertinggi terdapat pada dosis 20% dan yang terendah terdapat pada dosis 30%. Untuk kerusakan hasil yang tertinggi terdapat pada dosis 25%, sedangkan yang terendah pada dosis 30%. Lama kompos melebur tertinggi terdapat pada dosis 30% dan yang terendah pada dosis 20%.

Analisis statistik yang dilakukan untuk perlakuan jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kapasitas kerja alat dan kerusakan hasil yang diamati dapat dilihat pada uraian berikut ini:

1. Kapasitas Material Pengaruh jenis kompos

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 1 dapat dilihat bahwa perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas material. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas material untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.


(44)

Tabel 5. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas material (kg/jam)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D1 11,34 a A

2 0,031 0,049 D2 10,93 b B

3 0,033 0,044 D3 11,45 c C

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa kapasitas material tertinggi diperoleh pada perlakuan D3 yaitu 11,45 kg/jam dan yang terendah pada perlakuan D2 yaitu 10,93 kg/jam. Perlakuan D3 memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan.

Hubungan antara jenis kompos dengan kapasitas kerja alat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas material

Dari Gambar 1 menunjukkan bahwa kapasitas material tertinggi diperoleh pada perlakuan jenis kompos sekam. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel kompos sekam yang halus dan lebih ringan sehingga dalam pengisian awal

diperlukan dalam jumlah yang banyak. Hal ini didukung oleh pernyataan Sutrisno (2007) yang menyatakan bahwa sekam padi mempunyai kandungan kadar air


(45)

dan ringan juga mempengaruhi dosis pemakaiannya, yaitu diperlukan dalam jumlah yang besar.

Pengaruh dosis tepung tulang

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 1 dapat dilihat bahwa perlakuan dosis tepung tulang memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap

kapasitas material. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant

Range (LSR) menunjukkan pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas

material untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas kerja alat (kg/jam)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - P1 11,27 a A

2 0,031 0,049 P2 11,25 a A

3 0,033 0,044 P3 11,20 b B

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa kapasitas material tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu 11,27 kg/jam dan yang terendah pada perlakuan P3 yaitu 11,20 kg/jam. Perlakuan P3 memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap P1 dan P2. P2 memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap P1.

Hubungan antara dosis tepung tulang dengan kapasitas material dapat dilihat pada Gambar 2.


(46)

Gambar 2. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas material

Dari Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin besar dosis perekat yang diberikan maka semakin kecil pula kapasitas materialnya. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan unsur padat lainnya sehingga megakibatkan bertambahnya volume dari kompos tersebut.

Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang

Pada analisa sidik ragam Lampiran 1 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan jenis kompos dengan dosis tepung tulang berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas material. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least

Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap dosis

tepung tulang untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa kapasitas material tertinggi diperoleh pada perlakuan D1P1, D3P1, D3P2, D3P3 yaitu sebesar 11,45 kg/jam dan yang terendah D2P3 yaitu sebesar 10,85 kg/jam.


(47)

Tabel 7. Uji LSR Efek interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kapasitas material (kg/jam)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D2P3 10,85 a A

2 0,054 0,085 D2P1 10,91 b A

3 0,056 0,077 D2P2 11,01 c B

4 0,058 0,079 D1P2 11,28 d CD

5 0,059 0,080 D1P3 11,28 d D

6 0,060 0,082 D1P1 11,45 e E

7 0,061 0,082 D3P1 11,45 e EF

8 0,061 0,083 D3P2 11,45 e F

9 0,062 0,084 D3P3 11,45 e F

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Hubungan interaksi antara jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kapasitas material dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini :

Gambar 3. Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang (kg/jam) Semakin sedikit dosis perekat yang digunakan maka kapasitas material yang didapat juga tinggi, sebaliknya semakin besar dosis perekat yang digunakan maka kapasitas material yang di dapat rendah pula. Hal ini disebabkan karena penambahan dosis perekat dalam jumlah yang besar menyebabkan jumlah isian bahan akan bertambah juga, sehingga mempengaruhi kapasitas material. Hal ini


(48)

sesuai dengan pernyataan Brades (2007) yang menyatakan bahwa penambahan bahan padat pada bahan awal akan mempengaruhi jumlah isian pencetakan.

2. Kapasitas Hasil Pengaruh jenis kompos

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 2 dapat dilihat bahwa perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas hasil. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas hasil untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas hasil (kg/jam)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D1 10,86 a A

2 0,129 0,204 D2 10,56 b B

3 0,135 0,184 D3 10,64 b B

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kapasitas hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan D1 yaitu 10,86 kg/jam dan yang terendah pada perlakuan D2 yaitu 10,56 kg/jam. Perlakuan D1 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan D2 dan D3.

Hubungan antara jenis kompos dengan kapasitas kerja alat dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 menunjukkan bahwa kapasitas hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan jenis kompos kotoran sapi. Kandungan air pada kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan jerami dan sekam, sehingga berat hasil cetakan pada kompos kotoran sapi lebih berat dibandingkan kompos jerami dan sekam.


(49)

Gambar 4. Pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas hasil (kg/jam)

Pengaruh dosis tepung tulang

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 2 dapat dilihat bahwa perlakuan dosis tepung tulang memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap

kapasitas material. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant

Range (LSR) menunjukkan pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas

material untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas hasil (kg/jam)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - P1 10,82 a A

2 0,129 0,204 P2 10,65 b AB

3 0,135 0,184 P3 10,59 b B

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa kapasitas hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu 10,82 kg/jam dan yang terendah pada perlakuan P3 yaitu 10,59 kg/jam. Perlakuan P1 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap


(50)

Hubungan antara jenis kompos dengan kapasitas kerja alat dapat dilihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 menunjukkan bahwa kapasitas hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan jenis kompos kotoran sapi.

Gambar 5. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kapasitas hasil (kg/jam)

Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang

Pada analisa sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan jenis kompos dan dosis tepung tulang berpengaruh tidak nyata terhadap kapasitas hasil, sehinga pengujian dengan Least Significant Range (LSR ) tidak dilanjutkan.

Proses pencetakan yang dilakukan dengan menggunakan alat pencetak kompos ini dapat menurunkan kadar air yang berlebih dan keluar melalui celah yang terdapat pada tuas pengungkit sehingga pemakaian pupuk dapat ditekan jumlahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Musnamar (2008) yaitu pupuk organik bentuk tablet ini merupakan pupuk organik konsentrat dalam kondisi kering dengan kadar air 10% -20% sehingga dosis anjuran pemakaiannya pun lebih rendah dari pemakaian pupuk organik bentuk serbuk. Penggunaan pupuk


(51)

bentuk tablet sangat menekan biaya tenaga kerja, terutama untuk lahan skala luas seperti perkebunan dan kehutanan. Penekanan biaya tenaga kerja selain dalam jumlah pemupukan, juga frekuensi pemupukan.

Kapasitas alat dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan ketebalan kompos yang akan dibentuk karena dapat mempercepat waktu untuk mencetak kompos tersebut dan mendapatkan komposisi yang sesuai dalam membuat adonan kompos yang akan dibentuk.

3. Kerusakan hasil cetakan Pengaruh jenis kompos

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 3 dapat dilihat bahwa perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas kerja alat. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas kerja alat untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaruh jenis kompos terhadap kerusakan hasil cetakan (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D1 19,85 a A

2 0,070 0,111 D2 13,18 b B

3 0,073 0,100 D3 12,15 c C

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa kerusakan hasil cetakan tertinggi diperoleh pada perlakuan D1 yaitu 19,85% dan yang terendah pada perlakuan D3 yaitu 112,15%. Perlakuan D1 memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan.


(52)

Hubungan antara jenis kompos dengan kerusakan hasil cetakan dapat dilihat pada Gambar 6. Dari Gambar 6 menunjukkan bahwa kerusakan hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan jenis kompos kotoran sapi.

Gambar 6. Pengaruh jenis kompos terhadap kerusakan hasil cetakan (%)

Pengaruh dosis tepung tulang

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 3 dapat dilihat bahwa perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas kerja alat. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas kerja alat untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - P1 14,98 a A

2 0,070 0,111 P2 15,72 b B

3 0,073 0,100 P3 14,48 c C

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%


(53)

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa kerusakan hasil cetakan tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 yaitu 15,72% dan yang terendah pada perlakuan P3 yaitu 14,48%. Perlakuan P2 memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan.

Hubungan antara dosis tepung tulang dengan kerusakan hasil cetakan dapat dilihat pada Gambar 7. Dari Gambar 7 menunjukkan bahwa kerusakan hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan dosis 20 %. Semakin sedikit jumlah perekat yang diberikan maka daya rekat yang dihasilkan tidak baik, sebaliknya jika jumlah perekat yang diberikan dalam jumlah besar maka daya rekat yang dihasilkan semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brades (2007) yang menyatakan bahwa dosis perekat yang baik yang digunakan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan. Jika pemberian dosis dalam jumlah sedikit maka akan mengurangi daya rekatnya, sedangkan pemberian dalam jumlah besar akan menyebabkan daya rekat semakin kuat.


(54)

Pada analisa sidik ragam pada lampiran 3 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan jenis kompos dan dosis tepung tulang berpengaruh sangat nyata terhadap kerusakan hasil. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least

Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas

kerja alat untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Uji LSR Efek interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D3P1 11,85 a A

2 0,121 0,192 D3P3 11,90 a A

3 0,127 0,173 D2P3 12,50 b B

4 0,131 0,178 D3P2 12,70 c C

5 0,134 0,181 D2P1 13,22 d D

6 0,136 0,184 D2P2 13,82 e E

7 0,137 0,186 D1P3 19,05 f F

8 0,138 0,188 D1P1 19,86 g G

9 0,139 0,189 D1P2 20,63 h H

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa kerusakan hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan D1P2 yaitu sebesar 20,63% dan yang terendah pada perlakuan D3P1 yaitu sebesar 11,85%.

Hubungan interaksi antara jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini :


(55)

Gambar 8. Pengaruh nteraksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil cetakan.

Semakin sedikit tepung tulang yang digunakan maka kerusakan hasil cetakan makin besar, sebaliknya semakin banyak dosis tepung tulang yang digunakan maka semakin kecil kerusakan hasil cetakan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena fungsi tepung tulang sebagai perekat pada kompos sehingga semakin besar dosis perekat maka kerusakan semakin kecil.

4. Lama Kompos Melebur Pengaruh jenis kompos

Pengujian uji kekuatan kompos dilakukan untuk mengetahui tingkat kekuatan kompos, sehingga dapat diketahui lama waktu yang dibutuhkan kompos untuk terurai. Pengujian dilakukan dengan mengaplikasikan kompos ke tanaman. Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 4 dapat dilihat bahwa perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap . Hasil


(56)

menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap kapasitas kerja alat untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13.

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa lama kompos hancur tertinggi diperoleh pada perlakuan D2 yaitu 22,33 hari dan yang terendah pada perlakuan D3 yaitu 13,78 hari. Perlakuan D1 memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan.

Tabel 13. Pengaruh jenis kompos terhadap lama kompos hancur (hari)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D1 15,56 a A

2 0,381 0,604 D2 22,33 b B

3 0,400 0,545 D3 13,78 c C

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Hubungan antara dosis tepung tulang dengan kerusakan hasil cetakan dapat dilihat pada Gambar 9. Dari Gambar 9 menunjukkan bahwa lama kompos melebur yang paling lama diperoleh pada perlakuan jenis kompos jerami.


(57)

Pengaruh dosis tepung tulang

Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 4 dapat dilihat bahwa perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap lama kompos hancur. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap lama kompos hancur untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14.

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa lama kompos hancur tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu 24,11 hari dan yang terendah pada perlakuan P1 yaitu 10,56 hari. Perlakuan P3 memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan.

Tabel 14. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap lama kompos hancur (hari)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

P 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - P1 10,56 a A

2 0,381 0,604 P2 16,56 b B

3 0,400 0,545 P3 24,11 c C

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Hubungan antara dosis tepung tulang dengan lama kompos melebur dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10 menunjukkan bahwa lama waktu yang diperlukan untuk kompos melebur tertinggi diperoleh pada perlakuan dosis tepung tulang sebesar 30 %. Hal ini disebabkan karena daya rekat pada tingkat ini lebih baik dari yang lain, sehingga penguraian kompos membutuhkan waktu yang lebih lama. Pernyataan ini sesaui dengan Brades (2007) yang menyatakan bahwa dosis perekat yang baik yang digunakan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan. Jika pemberian dosis dalam jumlah sedikit maka akan mengurangi daya rekatnya,


(58)

kuat. Daya rekat yang semakin kuat akan menyebabkan penguraian bahan akan lebih lama.

Gambar 10. Pengaruh dosis tepung tulang terhadap lama kompos hancur (hari)

Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang

Pada analisa sidik ragam pada lampiran 4 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan jenis kompos dan dosis tepung tulang berpengaruh sangat nyata terhadap lama kompos hancur. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa

Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jenis kompos terhadap

dosis tepung tulang untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 15. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa lama kompos hancur tertinggi diperoleh pada perlakuan D2P3 yaitu sebesar 30 hari dan yang terendah pada perlakuan D3P1 yaitu sebesar 8 hari.

Kompos bentuk padat memiliki sifat slow realease yaitu lambat melepaskan unsur hara, selain itu pencampuran dengan perekat menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan unsur hara lebih lama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Novizan (2007) yaitu pupuk organik padat termasuk pupuk


(59)

slow release. Artinya, unsur hara dalam pupuk akan dilepaskan secara perlahan

dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu sehingga kehilangan unsur hara akibat pencucian oleh air lebih kecil.

Tabel 15. Uji LSR Efek interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap lama kompos hancur (hari)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - D3P3 8,00 a A

2 0,660 1,047 D1P1 9,67 b B

3 0,693 0,944 D3P2 13,33 c C

4 0,713 0,969 D1P2 15,00 d DE

5 0,728 0,988 D2P1 15,33 d E

6 0,738 1,002 D3P3 20,00 e F

7 0,746 1,013 D2P2 21,67 fg GH

8 0,752 1,022 D1P3 22,00 g H

9 0,756 1,030 D2P3 30,00 h I

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Hubungan interaksi antara jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap lama kompos hancur dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini :

Gambar 11. Pengaruh interaksi jenis kompos dan dosis tepung tulang terhadap kerusakan hasil cetakan.


(60)

Semakin sedikit dosis tepung tulang yang digunakan maka waktu yang diperlukan kompos untuk melebur semakin sedikit, sebaliknya semakin besar dosis yang diberikan maka semakin lama kompos melebur.

Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi digunakan untuk menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan saat produksi menggunakan alat ini. Dengan analisis ekonomi dapat diketahui seberapa besar biaya produksi sehingga keuntungan alat dapat

diperhitungkan.

Dari analisis biaya (Lampiran 5), diperoleh biaya pencetakan kompos dengan variasi bentuk sebesar Rp. 503,20/kg, yang merupakan hasil perhitungan dari biaya tetap dan biaya tidak tetap terhadap kapasitas alat pencetak kompos dengan variasi bentuk cetakan. Untuk biaya tetap sebesar Rp.542.464,29/tahun dan biaya tidak tetap sebesar Rp.5.014,99/jam.

Berdasarkan nilai di atas dapat diketahui bahwa biaya pokok yang harus dikeluarkan untuk mencetak kompos dengan variasi bentuk cetakan sebanyak 1 kg adalah sebesar Rp. 503,20/kg. Dengan kapasitas 10,69kg/jam.

Break Event Point (Perhitungan Titik Impas)

Manfaat perhitungan titik impas (break event point) adalah untuk

mengetahui batas produksi minimal yang harus dicapai dan dipasarkan agar usaha yang dikelola masih layak untuk dijalankan. Pada kondisi ini income yang

diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya operasional tanpa adanya


(61)

kegiatan usaha akan menderita kerugian, sebaliknya bila di sebelah kanan titik impas akan memperoleh keuntungan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan (Lampiran 6), alat ini akan mencapai nilai break event point pada nilai 4740,16 kg hal ini berarti alat ini akan mencapai keadaan titik impas apabila telah mencetak kompos sebanyak 4740,16 kg.

Net Present Value (NPV)

Net present value adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu

alat layak atau tidak untuk diusahakan. Dalam menginvestasikan modal dalam penambahan alat pada suatu usaha maka net present value ini dapat dijadikan salah satu alternatif dalam analisa finansial. Dari percobaan dan data yang

diperoleh pada penelitian maka dapat diketahui besarnya nilai NPV 16% dari alat ini adalah sebesar Rp. 5.394.556,75 dan NPV 20% dari alat ini adalah sebesar Rp. 4.575.896,5. Hal ini berarti usaha ini layak untuk dijalankan karena nilainya lebih besar ataupun sama dengan nol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darun (2002) yang menyatakan bahwa kriteria NPV yaitu :

− NPV > 0, berarti usaha yang telah dilaksanakan menguntungkan;

− NPV < 0, berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak menguntungkan;

− NPV = 0, berarti tambahan manfaat sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan.

Internal rate of return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) ini digunakan untuk memperkirakan


(62)

tertentu. Dalam menginvestasikan sampai dimana kelayakan usaha itu dapat dilaksanakan. Maka hasil yang di dapat dari perhitungan ini adalah sebesar 42,35% (Lampiran 8).


(63)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Jenis kompos memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap kapasitas material, kerusakan hasil cetakan, lama kompos melebur dan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kapasitas hasil.

2. Dosis tepung tulang memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap kerusakan hasil cetakan, lama kompos melebur dan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kapasitas hasil dan kapasitas material.

3. Jenis kompos yang terbaik hasil cetakannya adalah kompos jerami.

4. Kapasitas efektif rata-rata pada alat pencetak kompos dengan variasi bentuk cetakan ini adalah sebesar 10,69 Kg/jam.

5. Persentase kerusakan hasil cetakan alat pencetak kompos dengan variasi bentuk cetakan ini adalah sebesar 15,08%.

6. Biaya pokok yang harus dikeluarkan dalam mencetak kompos dengan alat pencetak kompos dengan variasi bentuk cetakan ini adalah sebesar Rp.503,20/kg.

7. Alat ini akan mencapai nilai Break Event Point apabila telah mencetak kompos sebanyak 4740,16 kg .

8. Net Present Value 16% dan 20% pada alat pencetak kompos dengan

variasi bentuk cetakan ini adalah sebesar Rp. 5.394.556,75 dan Rp. 4.575.896,48 yang artinya usaha ini layak untuk dijalankan.

9. Internal rate of return pada alat pencetak kompos dengan variasi bentuk


(64)

Saran

1. Perlu dilakukan pengujian jenis kompos terhadap variasi jenis perekat lain untuk mencari yang terbaik


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Brades, A. C. 2007. Pembuatan Briket Arang dan Enceng Gondok (Eichornia Crasipess Solm) dengan Sagu Sebagai Pengikat. [25 Oktober 2009].

Darun. 2002. Ekonomi Teknik. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos Dari Kotoran Ternak dan Sampah. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Untung EM4. [25 April 2009].

Indriani, Y. H. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Kastaman, R. 2006. Analisis Kelayakan Ekonomi Suatu Investasi.

http://www.akademik.unsri.ac.id. [13 Oktober 2009].

Murbandono, H. L. 2008. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Musnamar, I. F. 2008. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Nastiti, D., Sriwulan, P., Farid R. A. 2008. Analisis Finansial Agribisnis Pertanian. BPTP, Kalimantan Timur.

Novizan. 2007. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Pudjosumarto, M. 1998. Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Brawijaya Malang.

Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta.

Purba, R. 1997. Analisa Biaya dan Manfaat. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Purwendo, S. dan Nurhidayat. 2006. Mengolah Sampah Untuk Pupuk Pestisida Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Simamora, S dan Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sinartani. 6 Januari 2009. Kompos Proses dan Manfaatnya. Hal: 3 (kolom 1). Soeharno. 2007. Teori Mikroekonomi. Andi Offset, Yogyakarta.


(66)

Sudrajat. 2007. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suryati, T. 2009. Bijak dan Cerdas Mengolah Sampah. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.

Sutrisno, E. 2007. Studi Pengaruh Pencampuran Sampah Domestik, Sekam Padi, Dan Ampas Tebu Dengan Metode Mac Donald Terhadap Kematangan Kompos. http//halaman_1-7_Badrus_endro.pdf. [3 November 2009]. Waldiyono. 2008. Ekonomi Teknik (Konsepse, Teori dan Aplikasi). Pustaka


(67)

Lampiran 1. Data Pengamatan Kapasitas Material (kg/jam)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K1T1 11.45 11.45 11.45 34 11.45

K1T2 11.28 11.28 11.28 34 11.28

K1T3 11.28 11.28 11.28 34 11.28

K2T1 10.91 10.91 10.91 33 10.91

K2T2 11.01 11.01 11.01 33 11.01

K2T3 10.75 10.91 10.91 33 10.85

K3T1 11.45 11.45 11.45 34 11.45

K3T2 11.45 11.45 11.45 34 11.45

K3T3 11.45 11.45 11.45 34 11.45

Total 101 101 101 303

Rataan 11.23 11.25 11.25 11.24

Daftar Analisa Sidik Ragam Kapasitas Material

SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01

Perlakuan 8 1.49 0.19 189.60 ** 2.51 3.71

K 2 1.39 0.70 708.37 ** 3.55 6.01

Linier 1 0.06 0.06 59.54 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 1.33 1.33 1357.21 ** 4.41 8.29

T 2 0.03 0.01 13.68 ** 3.55 6.01

Linier 1 0.03 0.03 25.83 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 0.00 0.00 1.53 tn 4.41 8.29

K x T 4 0.07 0.02 18.17 ** 2.93 4.58

Galat 18 0.02 0.001

Total 26 1.51

Ket : KK = 0,28 % tn = tidak nyata * = nyata


(68)

Lampiran 2. Data Pengamatan Kapasitas Hasil (kg/jam)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K1T1 10.91 11.18 10.91 33 11.00

K1T2 10.75 10.75 10.75 32 10.75

K1T3 10.75 10.75 11.01 33 10.84

K2T1 10.64 10.64 10.64 32 10.64

K2T2 10.48 10.75 10.75 32 10.66

K2T3 10.48 10.36 10.36 31 10.40

K3T1 10.91 10.64 10.91 32 10.82

K3T2 10.64 10.64 10.36 32 10.55

K3T3 10.36 10.64 10.64 32 10.55

Total 96 96 96 289

Rataan 10.66 10.70 10.70 10.69

Daftar Analisa Sidik Ragam

SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01

Perlakuan 8 0.80 0.10 5.92 ** 2.51 3.71

K 2 0.43 0.21 12.73 ** 3.55 6.01

Linier 1 0.23 0.23 13.44 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 0.20 0.20 12.01 ** 4.41 8.29

T 2 0.24 0.12 7.27 ** 3.55 6.01

Linier 1 0.23 0.23 13.39 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 0.02 0.02 1.15 tn 4.41 8.29

K x T 4 0.12 0.03 1.84 tn 2.93 4.58

Galat 18 0.30 0.02

Total 26 1.10

Ket : KK = 1,32% tn = tidak nyata * = nyata


(69)

Lampiran 3. Data Pengamatan Kerusakan Hasil (%) Perlakua

n

Ulangan

Total Rataan

I II III

K1T1 19.84 19.84 19.90 60 19.86

K1T2 20.63 20.63 20.63 62 20.63

K1T3 19.05 19.05 19.05 57 19.05

K2T1 13.33 13.00 13.33 40 13.22

K2T2 13.82 13.82 13.82 41 13.82

K2T3 12.50 12.50 12.50 38 12.50

K3T1 11.90 11.75 11.90 36 11.85

K3T2 12.70 12.70 12.70 38 12.70

K3T3 11.90 11.90 11.90 36 11.90

Total 136 135 136 407

Rataan 15.07 15.02 15.08 15.06

Daftar Analisa Sidik Ragam

SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01

Perlakuan 8 321.96 40.25 8049.08 ** 2.51 3.71

K 2 314.23 157.12 31423.21 ** 3.55 6.01

Linier 1 266.57 266.57 53314.81 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 47.66 47.66 9531.60 ** 4.41 8.29

T 2 6.94 3.47 693.63 ** 3.55 6.01

Linier 1 1.10 1.10 219.04 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 5.84 5.84 1168.21 ** 4.41 8.29

K x T 4 0.79 0.20 39.75 ** 2.93 4.58

Galat 18 0.09 0.005

Total 26 322.05 Ket : KK = 0,46%

tn = tidak nyata * = nyata


(70)

Lampiran 4. Data Pengamatan Lama Kompos Melebur (hari)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

K1T1 10 10 9 29 9.67

K1T2 15 15 15 45 15.00

K1T3 22 22 22 66 22.00

K2T1 15 16 15 46 15.33

K2T2 22 22 21 65 21.67

K2T3 30 30 30 90 30.00

K3T1 8 8 8 24 8.00

K3T2 13 14 13 40 13.33

K3T3 20 20 20 60 20.00

Total 155 157 153 465

Rataan 17.22 17.44 17.00 17.22

Daftar Analisa Sidik Ragam

SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01

Perlakuan 8 1138.00 142.25 960.19 ** 2.51 3.71

K 2 366.89 183.44 1238.25 ** 3.55 6.01

Linier 1 14.22 14.22 96.00 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 352.67 352.67 2380.50 ** 4.41 8.29

T 2 764.67 382.33 2580.75 ** 3.55 6.01

Linier 1 760.50 760.50 5133.38 ** 4.41 8.29

Kuadratik 1 4.17 4.17 28.13 ** 4.41 8.29

K x T 4 6.44 1.61 10.88 ** 2.93 4.58

Galat 18 2.67 0.15

Total 26 1140.67 Ket : KK = 2,24%

tn = tidak nyata * = nyata


(71)

Lampiran 5. Analisis ekonomi I. Unsur Produksi

1. Biaya Pembuatan Alat (P) = Rp. 2.075.000

2. Umur ekonomi (n) = 7 tahun

3. Nilai akhir alat (S) = Rp. 207.500

4 Jam kerja = 5 jam/hari

5. Produksi/hari = 53,45 kg

6. Biaya operator = Rp. 25.000/hari

7. Biaya perbaikan = Rp. 14,99 / jam

8. Bunga modal dan asuransi = Rp. 213.428,6 / tahun 9. Biaya sewa gedung = Rp. 20.750 / tahun

10. Pajak = Rp. 41.500 / tahun

11. Jam kerja alat per tahun = 1495 jam / tahun ( asumsi 299 hari efektif berdasarkan 2009)

II. Perhitungan Biaya Produksi

1. Biaya Tetap (BT) 1. Biaya penyusutan

) 10 ...( ... ... ... ... ... ... ) ( n S P

D= −

7 ) 500 . 207 000 . 075 . 2 ( − = D

D = Rp. 266.785,71/ tahun


(72)

Bunga modal pada bulan September 16%, Asuransi 2% Bunga modal dan asuransi

) 11 ...( ... ... ... ... ... 2 ) 1 )( ( n n P i

I = +

7 2 ) 1 7 )( 000 . 075 . 2 %( 18 X + =

= Rp. 213428,57 / tahun 3. Biaya sewa gedung

= 1 % . P

000 . 075 . 2 % 1 X = = Rp. 20.750/ tahun 4. Pajak

= 2 % . P

= 2% X 2.075.000

= Rp. 41.500/ tahun Total Biaya Tetap (BT)

= Rp.542.464,29/tahun 2. Biaya Tidak Tetap (BTT)

1. Biaya perbaikan alat (reparasi)

= jam S P 1495 ) ( % 2 , 1 − = jam / 1495 ) 500 . 207 00 . 075 . 2 %( 2 , 1 −

= Rp. 14,99/jam 2. Biaya operator


(73)

= Rp. 5.000/Jam

Total Biaya Tidak Tetap (BTT) = Rp.5.014,99/jam

Biaya pencetakan kompos Biaya Pokok

= BTT C...(9)

x BT

   

+

= Rp. 503,20/kg


(74)

Lampiran 6. Break Event Point

(

)

...(13)

V R

F N

− =

Biaya tetap (F) = Rp. 542.464,29/tahun

Biaya tidak tetap (V) = Rp. 5.014,99 / jam (1 jam = 10,69 kg) = Rp. 469,12 / kg

Penerimaan dari tiap kg produksi = (16% x (BT+BTT)) + (BT+BTT)/KA = Rp. 583,56/kg

Alat akan mencapai break event point jika alat telah mencetak kompos sebanyak

(

R V

)

F N

=

= 4740,16 kg/tahun


(75)

Lampiran 7. Net Present Value

Berdasarkan persamaan nilai NVP alat ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

CIF – COF ≥ 0 ……….(5)

Investasi : Rp. 2.075.000

Pendapatan : Rp. 9.326.254

Nilai akhir : Rp. 207.500

Pembiayaan : Rp. 7.497.410/tahun

Keuntungan yang diharapkan : Rp 16% Keuntungan yang diharapkan : Rp 20%

Umur alat : 7 tahun

Cash in Flow 16%

1. Pendapatan : pendapatan x (P/A, 16%,7) : Rp. 9.326.254 x 4,044 : Rp. 37.715.371,87 2. Nilai akhir : nilai akhir x (P/F, 16%,7)

: Rp.207.500 x 0,3552 : Rp. 73.710,92 Jumlah CIF : Rp. 37.789.082,79


(76)

Cash out Flow 16%

1. Investasi : Rp. 2.075.000

2. pembiayaan : pembiayaan x (P/A, 16%, 7) : Rp. 7.497.410 x 4,044 = Rp. 30.319.526,04 Jumlah COF : Rp. 32.394.526,04

NPV 16% = CIF – COF

= Rp. 37.789.082,79 – 32.394.526,04 = Rp. 5.394.556,75

Cash in Flow 20%

1. Pendapatan : pendapatan x (P/A, 20%,7) : Rp. 9.326.254 x 3,605 : Rp. 33.621.146,5

2. Nilai akhir : nilai akhir x (P/F, 20%,7) : Rp.207.500 x 0,2791 : Rp. 57.913,25 Jumlah CIF : Rp. 33.679.059,8


(1)

(2)

Lampiran 11. Hasil Cetakan

1.

Hasil cetakan kompos kotoran sapi

2. Hasil cetakan kompos sekam


(3)

(4)

(5)

(6)