intervensi kemanusiaan di hari Libiya

Tugas UAS Managemant Intervensi
Dosen: DR Surwandono
Oleh : Restu Purnomo

Humanitarian Intervention in Libya, is it justified ?

Arab spring yang sebelumnya terjadi di Tunisia dan Mesir akhirnya sampai juga ke
Libya. Pada tahun 2011 setelah 41 tahun memimpin gelombang demonstrasi mulai dilakukan
oleh beberapa kelompok diLibya,hingga memancing warga lain untuk turun ke jalan.
Meningkatnya jumlah warga yang turun ke jalan untuk melakukan protes ini tentu saja membuat
Gaddafi khawatir. Oleh sebab itu, Gaddafi memerintahkan pasukannya untuk menghalau massa
yang protes. Protes yang pada awalnya berlangsung damai pun berbuah kerusuhan.
Terjadi eskalasi konflik yang cukup serius hinggak akhirnya terjadi perang antara
pemerintah dan pemberontak yang tergabung dalam Libyan National Council atau National
Transitional Council (NTC) yang dipimpin oleh mantan Menteri Keadilan Mustafa Abdel Jalil
yang berpusat di benghazi yang kemudian dikenal dengan kota pemberontak. Merasa
kekuasaannya semakin terancam, Gaddafi tanpa ampun memerintahkan pasukannya untuk
menembak dan menghabisi siapa saja yang melawannya. Sampai dengan akhir februari bahkan
dilaporkan angka kematian sudah mendekati 1000 jiwa.
Menyikapi tindakan brutal rezim Gaddafi, Dewan Keamanan PBB kemudian
mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan aset Gaddafi

dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka melakukan
perjalanan, serta himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi Libya. Resolusi
tersebut juga menyerukan kepada Gaddafi untuk diperiksa di ICC, namun ia bergeming. DK
PBB berdasarkan Piagam PBB bab VII pasal 42, kembali mengeluarkan sebuah resolusi setelah
mendapat desakan Liga Arab. Resolusi yang dikenal sebagai Resolusi 1973 itu berisi tentang
perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona larangan terbang) di wilayah Libya, dan
pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam Resolusi 1970. No-fly zone ditujukan
untuk mencegah pesawat tempur pasukan Gaddafi melakukan misi pembunuhan dari udara, yang
kemudian mengenalkan dunia internasional kepada doktrin Responsibility to Protect.

Masalah utama muncul ketika pada 19 Maret , pasukan koalisi yang dipimpin oleh
Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis melancarkan operasi Odyssey Dawn. Mereka mulai
memasuki dan menyerbu target-target pemerintahan di Libya dengan alasan untuk menegakkan
Resolusi 1973. Setelah sekitar lima hari, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya
diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified Protection. Pada tanggal 24
Maret, NATO mengambil alih komando operasi laut dan sehari sesudahnya mengambil alih
komando operasi udara.
Hal itulah yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, Apakah humanitarian
intervention yang berujung pada military intervention yang dilakukan oleh NATO dan sekutunya
dapat dibenenarkan ? jika memang hal tersebut dapat dibenarkan dan mempunyai landasan

hukum, apakah hal tersebut juga sesuai dengan doktrin Responsibility to Protect yang di susun
oleh PBB ?
Reviw Pustaka
Kajian pertama adalah artikel yang ditulis oleh Alan J. Kuperman dari Harvad Kededy
School yang berjudul Lesson from Libya: How not to Intervene. Dalam artiket tersebut Alan
menjelaskan bahwa apa yang dilakukan NATO di Libya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan,
bukan hanya karena timbul banyaknya korban sipil tapi juga akibat yang ditimbulkan setelah
intervensi dilakukan. Bahkan dengan jelas alan menyebutkan bahwa intervensi ini sarat dengan
kepentingan negara barat, sehingga konflik yang terjadi di Libya pun penuh akan Propaganda
barat yang membuat masyarakat Libya banyak yang turun ke jalan dan berhasrat untuk
menjatuhkan Qadaffi.
Kajian kedua yaitu dalam artikel The Libya Humanitarian Intervention : Is it Lawful in
International law ?, karya Dr. Lawrence Emeka Modeme. Dalam artikel tersebut dikatakan
bahwa antara terjadi pedebatan yang cukup serius antara kedaulatan negara dengan intervensi,
keduanya mempunyai dasar hukum yang kuat, kedaulatan mempunyai prinsip non-interven
sedangkan intervensi mempunyai dasar perlindungan Ham dan resolusi dewan PBB. Namun apa
yang terjadi diLibya sangatlah dipertanyakan, Resolusi keamanan PBB memerintahkan koalisi
internasional untuk melindungi masyarakat sipil, bukan untuk menjatuhkan apalagi melucuti
pemerintahan Libya. Masih banyak yang bisa dilakukan koalisi internasional untuk mencegah
eskalasi konflik yang berkepanjangan selain itu jika dikatakan operasi itu untuk melaksanakan


doktrin Responsibility to Protect, syarat-syarat yang dimiliki NATO belum cukup untuk
melakukan Military Intervention.
Kajian ketiga yang penulis tinjau adalah artikel dari James Pattison berjudul The Ethics
of Humanitarian Intervention in Libya, yang diterbitkan dalam jurnal Ethics and International
Affair, Carnegie Council, New York, 2011. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa situasi di
Libya tidak cukup terlihat serius alasan mengintervensi demi menurunkan rezim Gaddafi, atau
lebih tepatnya memaksakan perubahan rezim oleh pihak-pihak eksternal yang mendukung
perjuangan pemberontak Libya. Bahaya dari perubahan rezim lebih besar daripada intervensi
kemanusiaan. Tujuan NATO melakukan intervensi kemanusiaan di Libya lebih karena ingin
menurunkan rezim yang berkuasa, daripada melindungi warga sipil. Komentar beberapa
pemimpin negara koalisi yang menyatakan bahwa Gaddafi harus turun, menunjukkan bahwa
parameter keberhasilan dari intervensi ini adalah dengan berakhirnya era Moammar Gaddafi di
Libya, bukan mencegah pembunuhan massal. Ini berarti koalisi yang dipimpin NATO akan
melakukan pergantian rezim, sehingga misi mereka akan dianggap sukses besar dan pasukan
koalisi sendiri tidak akan kehilangan muka. Yang menarik juga dari artikel ini adalah munculnya
debat di publik terkait keberatan dan kritik terhadap intervensi NATO di Libya ini. keberatan
umumnya muncul karena secara moral NATO telah gagal untuk juga meresponi kondisi serupa
yang terjadi di Bahrain, Suriah, dan Yaman. Kegagalan untuk bertindak secara militer terhadap
kasus-kasus di atas menunjukkan betapa inkonsistennya standar moral, serta dominannya

kepentingan pribadi dari koalisi NATO tentang siapa yang harus diintervensi, dan tentu
legitimasinya.
Pembahasan
Dari beberapa artikel diatas dapat disimpulkan bahwa legalitas untuk melakuakan
intervensi kemanusian itu dapat dilakukan, namun kasus intervensi militer di Libya sungguh
sangat di pertanyakan. Selain karena hingga saat ini Libya menjadi negara yang belum pulih,
konflik seketarian pun banyak yang muncul. Akibat yang ditimbulkan dari perganitian rezim ini
lebih buruk daripada intervensi kemanusian yang dilakukan.
Dalam kasus di Libya, DK PBB menggunakan doktrin Responsibility to Protect untuk
mendapatkan legalitas intervensi, namun apakah asas-asas yang terdapat dalam Responsibility to
Protect sudah di laksanakan oleh NATO dan sekutunya. Dalam kaitannya dengan R2P ada tiga

kriteria yaitu responsibility to prevent, react, and rebuilt. Dalam hal tersebut pasukan koalisi nato
hanya memlakukan asas yang kedua yaitu responsibility to react, mereka tidak melakukan
pencegahan terlebih dahulu bahkan setelah melakukan intevensi, Libiya di terkesan didiamkan
sehingga perbaikan infrastruktur dan ekonomi pun terbengkalai bahkan padakenyataannya
konflik seketarian banyak yang muncul.
Dalam kaitan lain, humanitarian intervention juga harus memenuhi asas just war
tradisional ynag juga menjadi salah satu indikator dari Responsibility to Protect,. Dalam just war
trasdisioanal ada asas yang harus dipenuhi jika igin melakukan intervensi terhadap sebuah

negara. Ke enam asas tersebut adalah :
1.

R2P menyatakan bahwa intervensi militer hanya terbatas dalam just cause
(situasi ) yaitu : hilangnya hidup dalam skala besar, aktual atau ditangkap,
dengan maksud genosida atau tidak, yang merupakan produk baik dari
kesengajaan negara, atau mengabaikan negara atau ketidakmampuan
untuk bertindak, atau situasi negara yang gagal; atau skala besar
"pembersihan etnis", aktual atau ditangkap, apakah dilakukan oleh
pembunuhan, pengusiran paksa, tindakan teror atau pemerkosaan '.

2.

Syarat ke dua adalah tentang Right authority, yaitu otoritas yang berhak
melakukan intervensi atau pengambil keputusannya, hal ini terkait dengan
pertanyaan siapa yang berhak melakukan ekskusi terhadap negara pelaku
kejahatan. Dalam hal ini setidaknya ada tiga otoritas tertinggi yaitu dewan
keamanan PBB, dewan kehormatan dan organisasi regional. Dewan
keamanan seharusnya menjadi tumpuan pertama dalam melakukan
intervensi namun menginggat banyaknya kegagalan masalalu maka dewan

kehormatan dan organisasi regional patut dipertimbangkan.

3.

Syarat yang ketiga adalah mengenai right intention, Ini berarti bahwa
'tujuan utama intervensi harus menghentikan atau mencegah penderitaan
manusia dan bahwa rezim penggulingan bukan alasan yang sah untuk
menerapkan doktrin.

4.

Syarat yang ke empat adalah the last resort, in berarti bahwa jalan
intervensi militer merupakan pilihan terakhir setelah gagalnya non-militer

dan jalan diplomatik gagal dilaksanakan, namun apabila masih ada segala
kemungkinan selain intervensi militer maka jalan itulah yang harus
ditempuh.
5.

Syarat yang ke lima adalah reasonable procpect, yang berarti bahwa ketika

intervensi dilakukan pertimbangan baik dan buruk harus diperhitungkan.
Ini juga berarti bahwa intervensi yang dilakukan harus dengan keyakinan
bahwa hasilnya akan lebih baik dari keadaan sebelumnya.

6.

Syarat yang ke enam adalah proportional means, yaitu Apakah skala,
durasi, dan intensitas aksi militer yang direncanakan minimum yang
diperlukan untuk mengamankan tujuan perlindungan manusia pasti ?

Dalam kaitannya dengan intervensi di Libiya praktis hanya syarat nomer 2 yang di
penuhi oleh NATO dalam melakukan intervensi terhadap pemerintahan Qadaffi. Asas-asas yang
lain seperti just cause bahkan seolah-olah hanya di buat-buat untuk menhalalkan intervensi yang
sebenarnya haram untuk dilakukan. Jika kita menelisik bahkan unjuk kejahatan perang yang
dilakukan oleh Qadaffi juga tidak terlalu kelihatan bahkan menurut beberapa penulis seperti alan
j kuperman terjadi overwhelming korban yang sebenarnya tidak sesuai dan dilebih-lebihkan,
seperti apa yang dikutip oleh Human Right Watch yang mendata bahwa sebenarnya korban awal
tidak berjumlah 2000 lebih orang seperti apa yang selalu diberitakan media barat namun korban
dari konfli tersebut hanyalah 233 nyawa justru yang lebih mengejutkan adalah jumlah korban
ketika terjadi bentrokan justru lebih kecil daripada pasca serangan NATO, ini membuktikan

bahwa asas proporsional means dari just war tidak diperhitungkan. Bahkan yang lebih
mengejutkan adalah perhitungan kondisi setelah perang, kondisi Libiya era rezim Qadaffi justru
lebih baik daripada setelah rezim ini tumbang, selain reasonable prospectnya tidak
diperhitungkan prinsip Responsibility to Rebuilt-nya juga tidak dilakukan. Sehingga dalam hal
ini doktrin Responsibility to protect menjadi sebuah hal yang terlalu dipaksakan untuk
melakukan humanitarian intervention, dengan kata lain intervensi NATO dan sekutunya terhadap
Libya di tumpangi dengan kepentingan-kepentingan pribadi dari negara-negara lain.
Kepentingan di belakang intervensi NATO inilah kemudian yang menjadi
perdebatan dan terlihat dalam kasus di Libya, karena jika kita membandingkan dengan apa yang

terjadi di Mali tahun 2012 ketika negara tersebut dikuasai oleh jaringan exstrimisme namun tidak
dilakukan intervensi. Apa yang terjadi di Mali juga tidak bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi
di Libya, ketika banyak kombatan yang kemudian berjuang di Mali setelah keberhasilan
menggulingkan pemerintahan Moamar Qadaffi di Libya. Kemudian jika alasan intervensi yang
dilakukan di Libya karena kasus kejahatan perang mengapa hal yang sama juga tidak dilakukan
di Sri lanka ketika pemerintah melakukan pembunuhan ratusan masyarakat sipil ketika melawan
gerakan Liberation Tigers of Tamil Eelam pada tahun 2009, sangksi yang diberikan terhadap
pemerintahan Srilanka hanyalah bersifat normatif. Hal yang sama adalah ketika kita melihat apa
yang terjadi di Suriah dan Krimea, Ukraiana, konflik berkepanjangan terjadi di daerah tersebut,,
bahkan korban yang di timbulkan akibat adanya konflik juga lebih besar daripada apa yang

terjadi di Libya, namun tidak ada humanitarian intervention di dua daerah tersbut, kembali hanya
sangsi-sangsi normatif yang diberikan bahkan pemerintahan negara-negara tersebut tetap
berjalan walaupun sedang terjadi konflik. Hal tersebut kemudian menjadikan pertanyaan pada
hakekat intervensi itu sendiri.
Kasus-kasus diatas juga berimplikasi terhadap analisis konflik di Libya dan semakin
menguatkan bahwa intervensi yang dilakukan di Libya dengan doktrin R2P terlalu dipaksakan
dan penuh dengan kepentingan NATO. DK PBB dalam hal ini juga terkesan terburu-buru untuk
menjatuhkan hukuman intervensi terhadap pemerintahan Libya, karena sebenarnya masih banyak
hal yang dapat dilakukan, termasuk unsur Responsibility to Prevent dalam Responsibility to
Protect.
Kesimpulan
Intervensi militer yang terjadi di libya menjadi sebuah pelajaran penting bagi negaranegara untuk lebih berhati-hati dalam melakukan intervensi. Setidaknya ada tiga hal penting
yang dapat kita pelajari dari kasus tersebut meurut profersor Alan J Bukermain, hal tersebut
adalah pertama, negara pengintervensi harus berhati-hati dalam melakukan intervensi, bukti yang
cukup kuat harus di temukan apakah seuatu negara layak mendapatkan intervensi ataukah tidak,
jangan terpengaruh oleh propaganda sehingga informasi yang diterima akan menjadi salah.
Pelajaran kedua adalah bahwa intervensi kemanusiaan dapat menjadi bumerang oleh
meningkatnya pemberontakan. Hal ini karena beberapa kelompok substate percaya bahwa
dengan keras memprovokasi pembalasan negara, mereka dapat menarik intervensi tersebut untuk


membantu mencapai tujuan politik mereka, termasuk perubahan rezim. Eskalasi yang dihasilkan,
bagaimanapun, memperbesar ancaman terhadap warga sipil sebelum intervensi potensial dapat
melindungi mereka. Dengan demikian, prospek intervensi kemanusiaan, yang dimaksudkan
untuk melindungi warga sipil, bukan mungkin membahayakan mereka melalui bahaya dinamis
moral. Untuk mengurangi patologi ini, adalah penting untuk menghindari intervensi atas dasar
kemanusiaan dengan cara yang menghargai pemberontak, kecuali negara menargetkan warga
sipil. Dan yang ketiga adalah perlu diperhitungan antara akibat yang ditimbulkan intervensi
tersebut dengan kondisi masyarakat karena bisa jadi akibat yang di timbulkan pasca intervensi
justru semakin buruk dan tidak memperbaiki kondisi masyarakat seperti hakekat intervensi
tersebut seperti kasus di Libya ini. Untuk itu setidaknya ada beberapa hal yang sebenarnya bisa
dilakukan untuk menyelesaikan kasus di Libya daripada harus melakukan intervensi militer yang
faktanya justru menyusahkan masyarakat Libya. Hal-hal tersebut antara lain dengan jalan damai
seperti yang tertuang dalam pasal 33 Piagam PBB. Berdasarkan pasal 33 penyelesaian dengan
jalan damai meliputi negosiasi (perundingan) dan enquiry (penyelidikan). Kemudian konsiliasi
(persetujuan) usaha ini diserahkan kepada panitia atau badan internasional yang ditunjuk oleh
pihak-pihak dalam perselisihan untuk mengusulkan atas insiatif sendiri suatu persetujuan yang
layak diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi (perantara/jasa-jasa baik) dapat diselenggarakan
oleh suatu negara, suatu komisi atau seorang tokoh saja, yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang
bersangkutan untuk mempermudah dan mempercepat tercapainya perdamaian. Selain itu dalam
bidang hukum, terdapat juga cara arbitrase yaitu pihak-pihak yang bersangkutan berjanji terlebih

dahulu, bahwa mereka akan menerima dan bersedia menjalankan keputusan seorang pendamai
dari Mahkamah Arbitrasi. Serta keputusan kehakiman yang diambil oleh mahkamah Pengadilan
Internasional. Penggunaan Preventive diplomacy juga dapatdilakukan untuk mengatasi kasus di
Libya, cara tersebut adalah dengan pengguanaan jalur diplomatik untuk mempengaruhi pihak
yang berkonflik untuk tidak menggunakan senjata, cara ini juga dapat menciptaan kepercayaan
antara pihak berkonflik. Preventive diplomacy dapat dilakukan oleh Sekjen PBB pribadi, melalui
pejabat senior, badan-badan khusus atau program, oleh Dewan Keamanan maupun Majelis
Umum dan oleh organisasi-organisasi regional bekerja sama dengan PBB. Setidaknya hal-hal
tersebutlah yang harus dilakukan oleh masyarakat internasional dalam kasus Libya daripada
harus menggunakan intervensi militer yang faktanya merusak kondisi sosial di Libya.

Referensi
http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-ofhumanitarian-intervention
http://www.cfr.org/humanitarian-intervention/dilemma-humanitarian-intervention/p16524
http://www.responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf
http://www.counterfire.org/articles/book-reviews/17060-the-way-it-starts-libya-and-the-disasterof-humanitarian-intervention
http://www.iai.it/pdf/Transworld/TW_WP_15.pdf
http://www.academia.edu/576116/The_Libya_Humanitarian_Intervention_Is_it_Lawful_in_Inter
national_Law
http://belfercenter.ksg.harvard.edu/files/Kuperman%20policy%20brief%20published%20version
%202.pd