Revolusi Biru Melalui Pemberdayaan Masya
1
BAB 1
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan garis pantai sepanjang 81
kilometer yang melingkupi 17.508 pulau, patut jika Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP, 2010) menyusun visi “Indonesia Menjadi Penghasil Produk
Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015” dan misi Mensejahterakan Masyarakat
Kelautan dan Perikanan”.
Sayangnya, hingga saat ini aset alam tersebut belum dimanfaatkan secara
maksimal. Hal ini bisa dilihat dari data KKP (2010) yang menunjukkan share
sektor perikanan hanya 2,2 persen PDB. Angka yang sangat kecil jika melihat
potensi laut yang dimiliki Indonesia (Nugroho dan Rokhim, 2012). Selain share
yang sangat kecil terhadap PDB, umumnya kondisi ekonomi masyarakat di
wilayah pesisir juga masih berada dalam garis kemiskinan, bahkan menempati
rangking tertinggi dalam struktur penduduk miskindi Indonesia. Menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 terdapat sekitar
7,87 juta masyarakat pesisir miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat
miskin yang tersebar tersebar di 10.640 desa. Badan Pusat Statitisk (BPS)
menegaskan bahwa jumlah tersebut lebih dari 25% dari total penduduk Indonesia
yang berada dibawah garis kemiskinan.
Nugroho dan Rokhim (2012) menjelaskan, bahwa umumnya ketimpangan
ekonomi yang terjadi di kawasan pesisir disebabkan mata pencaharian
masyarakatnya sebagai nelayan yang sangat tergantung pada musim. Pada musim
penangkapan mereka sangat sibut melaut, tetapi pada musim peceklik kebanyakan
mereka terpaksa menganggur karena kegiatan melaut yang berkurang.
Kampung Nelayan Kenjeran merupakan salah satu kawasan pesisir di
Surabaya yang masyarakatnya sangat menggantungkan hidupnya kepada hasil laut.
Selain bekerja sebagai nelayan, mereka juga mengolah hasil laut menjadi cemilan
kerupuk seperti kerupuk terung laut, teripang,kulit ikan kakap, kulit ikan pari,
2
hingga lambung ikan. Sentra produksi kerupuk olahan hasil laut ini terletak di
Pesisir Pantai Kenjeran,
khususnya di
kelurahan Sukolilo.
Sedangkan
pemasarannya melalui kios-kios sepanjang jalan menuju Pantai Kenjeran, salah
satu tempat wisata di Surabaya.
Nilai ekonomis hasil laut yang telah diolah menjadi kerupuk jauh lebih
tinggi dibandingkan hasil laut yang langsung dijual mentahnya. Sebagai contoh,
teripang yang masih basah (mentah) harganya hanya Rp1.500 per kilogram,
sedangkan setelah menjadi kerupuk harga jualnya saat ini mencapai Rp160.000
per kilogram. Pedagang keupuk hasil laut tersebut bisa meraih omset Rp. 400.000
hingga Rp. 1.000.000 per hari.Produk ini juga telah merambah pasar ekspor, yaitu
ke Dubai dan Korea. (http://www.surabayapost.co.id, 2013).
Usaha pengolahan kerupuk hasil laut ini sangat potensial dikembangkan
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir. Kegiatan
produksinya menggunakan potensi SDA dan SDM setempat, produk memiliki
value added yang tinggi, memiliki prospek pasar domestik dan ekspor yang sangat
bagus dan dapat memicu pertumubuhan ekonomi di berbagai sektor terkait,
khususnya di daerah pesisir. Sayangnya, usaha ini masih dalam skala kecil karena
proses produksinya yang relatif rumit dan lama, dan manajemen pemasaranya
yang masih sangat sederhana.
Melihat potensi dan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan analisis
SWOT usaha kerupuk olahan hasil laut di Kenjeran untuk menemukan strategi
yang tepat bagi pengembangan usaha tersebut guna meningkatkan kesejahteraan
ekonomi lokal, khususnya bagi masyarakat pesisir.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sektor usaha apa saja yang menjadi sektor basis di Surabaya?
2. Bagaimana gambaran umum dan analsisi SWOT usaha pengolahan
kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran, Surabaya?
3. Bagaimana grand strategy yang tepat untuk mengembangkan usaha
pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran Surabaya sebagai
leading sector pemberdayaan masyarakat pesisir di Indonesia?
3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sektor usaha yang menjadi sektor basis di Surabaya.
2. Untuk mengetahui gambaran umum dan SWOT usaha pengolahan
kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran, Surabaya
4. Untuk mengetahui grand strategy yang tepat untuk mengembangkan usaha
pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran Surabaya sebagai
leading sector pemberdayaan masyarakat pesisir di Indonesia?
1.4 Manfaat Penulisan
1. Manfaat Bagi Penulis
Dapat melatih dan meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat
karya tulis serta memperluas wawasan keilmuan khususnya dalam
peningkatan kesejahteraan ekonomi lokal masyarakat pesisir.
2. Manfaat Bagi Pembaca
Dapat menambah wawasan keilmuan dan sebagai referensi dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal masyarakat pesisir.
3. Manfaat Bagi Pemerintah
Sebagai referensi dalam menentukan dan melakukan berbagai
kebijakan ekonomi, khususnya
untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi masyarakat pesisir melalui pengembangan UKM yang sesuai
dengan potensi lokal
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masyarakat Pesisir dan Revolusi Biru
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami suatu wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan khas
yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan suberdaya pesisir
(Satria, 2004 dalam Satria, 2009). Sebagai masyarakat yang hidup di dekat laut,
umumnya masyarakat pesisir memiliki pekerjaan utama sebagai nelayan selain
pembudidaya ikan, pengolah ikan dan pedagang ikan.
Karakteristik utama masyarakat nelayan, yaitu ketergantungan mereka pada
musim. Pada musim penangkapan mereka sangat sibut melaut, tetapi pada musim
peceklik kebanyakan mereka terpaksa menganggur karena kegiatan melaut yang
berkurang. Hal ini menyebabkan, kondisi perekonomian mereka sangat rentan.
Biasanya pada musim paceklik, mereka seringkali terpaksa meminjam uang
kepada para pedagang pengumpul (tauke) untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Akibatnya, mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada para
pedagang pengumpul dengan harga yang sangat rendah. Selain itu keterbatasan
fasilitas pengolahan dan pengawetan membuat mereka harus segera menjual hasil
tangkapannya meskipun dengan harga yang rendah.
Karakteristik lain dari masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum wanita dan
dan anak-anak yang ikut mencari nafkah. Selain bekerja sebagai pedagang ikan,
umumnya kaum wanita akan mengolah ikan dalam skala kecil untuk dijual sendiri
maupun sebagai buruh di perusahaan pengolahan ikan. Sedangkan anak-anak
nelayan seringkali juga membantu dalam kegiatan melaut, sehingga banyak
diantara mereka yang tidak bersekolah (Nugroho dan Rokhim, 2012: 283-284).
Data BPS tahun 2002 menyebutkan bahwa sebesar 32, 14 persen dari
16,420.000 jiwa masyarakat pesisir yang hidup di 8.090 desa masih berada di
bawah garis kemiskinan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2.1.
5
Tabel 2.1 Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia, 2002
No.
Kondisi Masyarakat Pesisir
1
Desa Pesisir
2
Masyarakat Pesisir
3
Jumlah
8.090 desa
16.420.000 jiwa
- Nelayan
4.015.320 jiwa
- Pembudidaya
2.671.400 jiwa
- Masyarakat pesisir lainnya
7.733.280 jiwa
Prosentase yang hidup di bawah garis
kemiskinan
5.254.400 jiwa
Sumber: DKP (2007) dalam Satria (2009)
Hal senada juga disampaikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), bahwa pada tahun 2010 terdapat sekitar 7,87 juta masyarakat pesisir
miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat miskin yang tersebar tersebar di
10.640 desa. Badan Pusat Statitisk (BPS) menegaskan bahwajumlah tersebut lebih
dari 25% dari total penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan.
Melihat kondisi masyarakat pesisir dan potensi laut yang kontrakdiktif
tersebut, maka KKP sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam
pemberdayaan perikanan dan kelautan menggagas Revolusi Biru. Revolusi Biru
adalah perubahan cara berpikir dari daratan ke maritime dengan konsep ekonomi
pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan produksi kelautan. Ada empat
pilar yang melandasi revolusi biru, yaitu: (1) Perubahan cara berpikir dan orientasi
pembangunan dari daratan ke maritime, (2) Pembangunan berkelanjutan, (3)
Peningkatan produksi kelautan dan perikanan, dan (4) Peningkatan pendapatan
rakyat yang adil, merata, dan pantas.
Revolusi Biru diimplemetasikan melalui sistem pembangunan sektor
kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan menggunakan konsep
Minapolitan yang bisa diartikan “Kota Perikanan”. Umumnya kegiatan ekonomi
perikanan dan kelautan berada di pedesaan yang lambat berkembang karena
keterbatasan sarana dan prasarana. Dengan konsep Minapolitan ini diharapkan
pembangunan sektor perikanan dan kelautan sebagai leading sector bisa
6
dipercepat melalui pendekatan dan sistem menejemen kawasan cepat tumbuh
seperti sebuah kota (Nugroho dan Rokhim, 2012: 216 dan 284-285).
2.1 Teori Basis Ekonomi (Location Quention )
Teori basis ekspor murni dikembangkan pertmana kali oleh Tiebot. Teori ini
membagi kegiatan produksi/ jenis pekerjaan yang terdapat di dala satu wilayah
atas sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan yang
bersifat eksogenous berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya.
Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di daerah itu sendiri. Oleh karena itu, pertumbuhannya tergantung
kepada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Artimya, sektor ini bersifat
endogenous (tidak bebas tumbuh). Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi
perekonomian wilayah secara keseluruhan (Tarigan, 2004 : 53)
Analisis basis ekonomi adalah berkenan dengan identifikasi pendapatan
basis (Richardson, 1977 : 14). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu
wilayah akan menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan,
yang selanjutnya menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalam
wilayah tersebut, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan volume kegiatan
non basis. Sebaliknya berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan
berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah, sehingga akan
menyebabkan turunya permintaan produk dari aktivitas non basis.
Untuk mengukur basis ekonomi suatu daerah, teknik yang lazim digunakan
adalah dengan menggunakan Location Quention. Dasar pemikiran teknik ini
adalah teori economic base yang intinya adalah karena
basis menghasilkan
barang untuk pasar didalam dan diluar daerah yang bersangkutan, maka penjualan
ke daerah akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus
pendapatan dari luar daerah akan menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan
investasi di daerah tersebut yang pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan
kesempatan kerja baru. Oleh karena itu, industri basislah yang patut
dikembangkan di suatu daerah (Arsyad, 1999).
7
Location Quotient (kuosien lokasi) adalah suatu perbandingan tentang
besarnya peranan suatu sektor/ industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan
sektor/ industri tersebut secara nasional. Ada banyak variable yang bisa
diperbandingkan, tetapi yang umum adalah nilai tambah (tingkat pendapatan) dan
jumlah lapangan kerja, berikut ini digunakan adalah nilai tambah (tingkat
pendapatan). (Tarigan 2005 : 30-42) dengan rumus sebagai berikut :
LQ = vi/vt : Vi/Vt
Keterangan :
vi = pendapatan sektor tertentu pada suatu daerah.
vt = total pendapatan daerah tersebut.
Vi = pendapatan sektor tertentu secara regional atau nasional
Vt = total pendapatan regional atau nasional.
2.3 Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu instrument strategi perencanaan dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan (Strenght) dan kelemahan (Weakness)
internal, serta kesempatan (Opportunitiy) dan ancaman (Threat) eksternal (Start
dan Ingie dalam New Weave (2002:170) dan Schuler (1986) Empowerment and
the Law).
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan strength
dan opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan weaknesses dan
threats. Hasil dari analisis SWOT digunakan untuk merancang empat strategi,
yaitu: (1) Strategi S-O, strategi yang menggunakan strength untuk memanfaatkan
opportunity, (2) Strategi W-O, strategi yang menanggulangi weakness dengan
memanfaatkan opportunity, (3) Strategi S-T, strategi yang menggunakan strength
untuk mengatasi threat, dan (4) Strategi W-T, strategi yang memperkecil
weakness dan menghindari threat (Rangkuti, 2001 dalam Mangiwa).
2.4 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencaan
untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di
8
daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam
menciptakan nilai sumberdaya-sumberdaya swasta secara bertanggungjawab
(Arsyad, 1999: 127). Dengan adanya pembangunan ekonomi tersebut diharapkan
output atau kekayaan ekonomi suatu daerah dapat bertambah serta menyerap
pengangguran (Irawan dan Suparmoko, 2002).
Menurut Sumodiningrat (2012) terdapat tiga tahapan dalam pembangunan
wilayah, yakni perkembangan industri, efisiensi industri dan keunggulan wilayah:
1. Industri berkembang untuk memenuhi permintaan dari luar wilayah yang
dipandu oleh teori export base. Keberhasilan tahapan ini ditentukan oleh peran
pemerintah dalam berbagai insentif antara lain pajak, infrastruktur, kawasan
industri dan fasilitas lainnya.
2. Efisiensi industri dimana dalam tahap ini industri kecil melaksanakan
konsolidasi untuk mengefiseinsikan sistem produksi dan memperbaikai skala
ekonomi. Pemerintah dalam hal ini memfasilitasi dengan berbagai bentuk
deregulasi agar terbentuk lingkungan bisnis yang kompetitif.
3. Keunggulan wilayah yang ditandai dengan kekuatan internal
yang
menghasilkan nilai tambah yang signifikan dalam pasar global. Ekonomi
wilayah tidak lagi diperankan oleh usaha besar tetapi oleh usaha kecil dan
menengah yang lincah dan efisien.
Salah satu teori yang terkait erat dengan pembangunan ekonomi wilayah
adalah Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson
pada tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa
setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki
potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan.
Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan
nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan
sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin,
produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri).
Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang
sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor-
9
sektor adalah membuat sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung.
menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain
yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
2.5 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Industri merupakan kegiatan ekonomi yang berupa pengolahan bahan
mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan barang jadi menjadi barang dengan
nilai yang nilainya lebih tinggi, atau menciptakan nilai tambah dari bahan yang
ada menjadi barang baru dengan tujuan memperoleh keuntungan. Industri dapat
dibedakan menjadi industri ekstraktif yang mengolah langsung dari bahan alam,
industri non-esktraktif dan industri jasa. Industri pengolahan ikan termasuk dalan
industri ekstraktif, yaitu pengolahan langsung dari bahan alam. Berdasarkan skala
usahanya, ada industri skala rumah tangga (mikro), kecil, menengah dan besar.
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pengertian UMKM dibagi menjadi tiga
macam:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tersebut.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tersebut.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut.
10
Sumber: Kementrian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah RI, 2013
Gambar 2.1 Kriteria Klasifikasi UMKM menurut Asset dan Omzet
Tabel 2.2
Permasalahan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
No. Faktor Internal
1.
2.
Faktor Eksternal
Kurangnya permodalan dan terbatasnya akses Iklim
usaha
belum
pembiayaan
sepenuhnya kondusif
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Terbatasnya
sarana
dan prasarana
3.
Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan Implikasi
penetrasi pasar
4.
5.
otonomi
daerah
Mentalitas pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Implikasi perdagangan
menengah
bebas
Kurangnya transparasi
Terbatasnya
akses
pasar dan informasi
Sumber: Bachtiar Rifa’i (Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik), 2013
11
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang kami gunakan diringkas dalam
gambar 3.1.
Analisis data sekunder
Pengamatan lapangan
Analisis Deskriptif
Profil Industri Kerupuk
di Kenjeran
Analisis SWOT
Model pengembangan industri
krupuk di Kenjeran
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3.1 Skema Metode Pengumpulan Data
3.2. TeknikPengolahan Data
input
proses
output
Gambar 3.2 Skema Teknik Pengolahan Data
Input :
Data yang dikumpulkanmeliputi data sekunder yang berasal dari
jurnalpenelitian dan hasil survei baik cetak maupun elektronik
(internet), literatur buku maupun dari situs-situskoran online.
12
Proses : menganalisis data yang terkumpul yang berkaitandenganpermasalahan
yang diangkatdalamkaryatulis.
Output : penyajian data berupa makalah karyatulis
3.3. TeknikAnalisis Data
Analisis data yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif deskriptif.
Hal ini dilakukan karena kami ingin berusaha mengerti dan memahami secara
komprehensif mengenaisektor di Surabaya yang termasuk sektor basis,
menganalisis sektor basis potensial yang dapat dikembangkan di Surabaya
khususnya berbasis UMKM dan melakukan analisis SWOT untuk menentukan
rekomendasi kebijakan yang sesuai.Langkah-langkah yang penulis tempuh
didasarkan atas cara berpikir runtut untuk memperoleh jawaban atas permasalahan
yang menjadi titik pangkal dalam penulisan ini.
13
BAB 4
HASIL ANANLISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Sektor Basis Dan Non Basis Di Surabaya
Dalam merencanakan pembangunan ekonomi di suatu wilayah termasuk
Surabaya, perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki
potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun
karena
sektor
itu
memiliki
competitive
advantage
untuk
dikembangkan. Perkembangan sektor basis tersebut akan mendorong sektor
lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh.
Untuk menganalisisnya kami menggunakan Location Quention. Adapun hasil
perhitungannnya kami sajikan dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan LQ Kota Surabaya
No
1
Sektor
Pertanian
2007
2008
2009
2010
0.01
0.01
0.00
0.01
Pertambangan &
2
penggalian
0.00
0.00
0.32
0.00
3
Industri pengolahan
1.11
1.10
0.83
0.86
4
Listrik, gas, air bersih
1.69
1.72
1.31
1.72
5
Konstruksi
2.13
2.14
2.05
2.10
1.19
1.20
1.22
1.36
1.73
1.68
1.65
1.57
Perdagangan, hotel,
6
restoran
Pengangkutan dan
7
komunikasi
Keuangan, persewaan,
8
dan jasa perusahaan
1.28
1.25
11.57
1.20
9
Jasa-jasa
0.90
0.89
0.99
0.98
Sumber: BPS Jawa Timur, 2013 (diolah).
14
Dari tabel diatas, bisa kita klasifikasikan mana yang termasuk sektor basis
atau sektor non basis di Kota Surabaya. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab
2.1, sektor basis merupakan sektor yang mampu mencukupi kebutuhan domestik
di kabupatennya (LQ=1) atau bahkan mampu mengekspor hasilnya ke luar
kabupatennya (LQ>1). Adapun sektor non-basis merupakan sektor yang belum
mampu memenuhi kebutuhan domestik di kabupaten tersebut (LQ
BAB 1
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan garis pantai sepanjang 81
kilometer yang melingkupi 17.508 pulau, patut jika Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP, 2010) menyusun visi “Indonesia Menjadi Penghasil Produk
Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015” dan misi Mensejahterakan Masyarakat
Kelautan dan Perikanan”.
Sayangnya, hingga saat ini aset alam tersebut belum dimanfaatkan secara
maksimal. Hal ini bisa dilihat dari data KKP (2010) yang menunjukkan share
sektor perikanan hanya 2,2 persen PDB. Angka yang sangat kecil jika melihat
potensi laut yang dimiliki Indonesia (Nugroho dan Rokhim, 2012). Selain share
yang sangat kecil terhadap PDB, umumnya kondisi ekonomi masyarakat di
wilayah pesisir juga masih berada dalam garis kemiskinan, bahkan menempati
rangking tertinggi dalam struktur penduduk miskindi Indonesia. Menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 terdapat sekitar
7,87 juta masyarakat pesisir miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat
miskin yang tersebar tersebar di 10.640 desa. Badan Pusat Statitisk (BPS)
menegaskan bahwa jumlah tersebut lebih dari 25% dari total penduduk Indonesia
yang berada dibawah garis kemiskinan.
Nugroho dan Rokhim (2012) menjelaskan, bahwa umumnya ketimpangan
ekonomi yang terjadi di kawasan pesisir disebabkan mata pencaharian
masyarakatnya sebagai nelayan yang sangat tergantung pada musim. Pada musim
penangkapan mereka sangat sibut melaut, tetapi pada musim peceklik kebanyakan
mereka terpaksa menganggur karena kegiatan melaut yang berkurang.
Kampung Nelayan Kenjeran merupakan salah satu kawasan pesisir di
Surabaya yang masyarakatnya sangat menggantungkan hidupnya kepada hasil laut.
Selain bekerja sebagai nelayan, mereka juga mengolah hasil laut menjadi cemilan
kerupuk seperti kerupuk terung laut, teripang,kulit ikan kakap, kulit ikan pari,
2
hingga lambung ikan. Sentra produksi kerupuk olahan hasil laut ini terletak di
Pesisir Pantai Kenjeran,
khususnya di
kelurahan Sukolilo.
Sedangkan
pemasarannya melalui kios-kios sepanjang jalan menuju Pantai Kenjeran, salah
satu tempat wisata di Surabaya.
Nilai ekonomis hasil laut yang telah diolah menjadi kerupuk jauh lebih
tinggi dibandingkan hasil laut yang langsung dijual mentahnya. Sebagai contoh,
teripang yang masih basah (mentah) harganya hanya Rp1.500 per kilogram,
sedangkan setelah menjadi kerupuk harga jualnya saat ini mencapai Rp160.000
per kilogram. Pedagang keupuk hasil laut tersebut bisa meraih omset Rp. 400.000
hingga Rp. 1.000.000 per hari.Produk ini juga telah merambah pasar ekspor, yaitu
ke Dubai dan Korea. (http://www.surabayapost.co.id, 2013).
Usaha pengolahan kerupuk hasil laut ini sangat potensial dikembangkan
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir. Kegiatan
produksinya menggunakan potensi SDA dan SDM setempat, produk memiliki
value added yang tinggi, memiliki prospek pasar domestik dan ekspor yang sangat
bagus dan dapat memicu pertumubuhan ekonomi di berbagai sektor terkait,
khususnya di daerah pesisir. Sayangnya, usaha ini masih dalam skala kecil karena
proses produksinya yang relatif rumit dan lama, dan manajemen pemasaranya
yang masih sangat sederhana.
Melihat potensi dan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan analisis
SWOT usaha kerupuk olahan hasil laut di Kenjeran untuk menemukan strategi
yang tepat bagi pengembangan usaha tersebut guna meningkatkan kesejahteraan
ekonomi lokal, khususnya bagi masyarakat pesisir.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sektor usaha apa saja yang menjadi sektor basis di Surabaya?
2. Bagaimana gambaran umum dan analsisi SWOT usaha pengolahan
kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran, Surabaya?
3. Bagaimana grand strategy yang tepat untuk mengembangkan usaha
pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran Surabaya sebagai
leading sector pemberdayaan masyarakat pesisir di Indonesia?
3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sektor usaha yang menjadi sektor basis di Surabaya.
2. Untuk mengetahui gambaran umum dan SWOT usaha pengolahan
kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran, Surabaya
4. Untuk mengetahui grand strategy yang tepat untuk mengembangkan usaha
pengolahan kerupuk hasil laut di Pesisir Kenjeran Surabaya sebagai
leading sector pemberdayaan masyarakat pesisir di Indonesia?
1.4 Manfaat Penulisan
1. Manfaat Bagi Penulis
Dapat melatih dan meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat
karya tulis serta memperluas wawasan keilmuan khususnya dalam
peningkatan kesejahteraan ekonomi lokal masyarakat pesisir.
2. Manfaat Bagi Pembaca
Dapat menambah wawasan keilmuan dan sebagai referensi dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal masyarakat pesisir.
3. Manfaat Bagi Pemerintah
Sebagai referensi dalam menentukan dan melakukan berbagai
kebijakan ekonomi, khususnya
untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi masyarakat pesisir melalui pengembangan UKM yang sesuai
dengan potensi lokal
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masyarakat Pesisir dan Revolusi Biru
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami suatu wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan khas
yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan suberdaya pesisir
(Satria, 2004 dalam Satria, 2009). Sebagai masyarakat yang hidup di dekat laut,
umumnya masyarakat pesisir memiliki pekerjaan utama sebagai nelayan selain
pembudidaya ikan, pengolah ikan dan pedagang ikan.
Karakteristik utama masyarakat nelayan, yaitu ketergantungan mereka pada
musim. Pada musim penangkapan mereka sangat sibut melaut, tetapi pada musim
peceklik kebanyakan mereka terpaksa menganggur karena kegiatan melaut yang
berkurang. Hal ini menyebabkan, kondisi perekonomian mereka sangat rentan.
Biasanya pada musim paceklik, mereka seringkali terpaksa meminjam uang
kepada para pedagang pengumpul (tauke) untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Akibatnya, mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada para
pedagang pengumpul dengan harga yang sangat rendah. Selain itu keterbatasan
fasilitas pengolahan dan pengawetan membuat mereka harus segera menjual hasil
tangkapannya meskipun dengan harga yang rendah.
Karakteristik lain dari masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum wanita dan
dan anak-anak yang ikut mencari nafkah. Selain bekerja sebagai pedagang ikan,
umumnya kaum wanita akan mengolah ikan dalam skala kecil untuk dijual sendiri
maupun sebagai buruh di perusahaan pengolahan ikan. Sedangkan anak-anak
nelayan seringkali juga membantu dalam kegiatan melaut, sehingga banyak
diantara mereka yang tidak bersekolah (Nugroho dan Rokhim, 2012: 283-284).
Data BPS tahun 2002 menyebutkan bahwa sebesar 32, 14 persen dari
16,420.000 jiwa masyarakat pesisir yang hidup di 8.090 desa masih berada di
bawah garis kemiskinan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2.1.
5
Tabel 2.1 Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia, 2002
No.
Kondisi Masyarakat Pesisir
1
Desa Pesisir
2
Masyarakat Pesisir
3
Jumlah
8.090 desa
16.420.000 jiwa
- Nelayan
4.015.320 jiwa
- Pembudidaya
2.671.400 jiwa
- Masyarakat pesisir lainnya
7.733.280 jiwa
Prosentase yang hidup di bawah garis
kemiskinan
5.254.400 jiwa
Sumber: DKP (2007) dalam Satria (2009)
Hal senada juga disampaikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), bahwa pada tahun 2010 terdapat sekitar 7,87 juta masyarakat pesisir
miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat miskin yang tersebar tersebar di
10.640 desa. Badan Pusat Statitisk (BPS) menegaskan bahwajumlah tersebut lebih
dari 25% dari total penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan.
Melihat kondisi masyarakat pesisir dan potensi laut yang kontrakdiktif
tersebut, maka KKP sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam
pemberdayaan perikanan dan kelautan menggagas Revolusi Biru. Revolusi Biru
adalah perubahan cara berpikir dari daratan ke maritime dengan konsep ekonomi
pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan produksi kelautan. Ada empat
pilar yang melandasi revolusi biru, yaitu: (1) Perubahan cara berpikir dan orientasi
pembangunan dari daratan ke maritime, (2) Pembangunan berkelanjutan, (3)
Peningkatan produksi kelautan dan perikanan, dan (4) Peningkatan pendapatan
rakyat yang adil, merata, dan pantas.
Revolusi Biru diimplemetasikan melalui sistem pembangunan sektor
kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan menggunakan konsep
Minapolitan yang bisa diartikan “Kota Perikanan”. Umumnya kegiatan ekonomi
perikanan dan kelautan berada di pedesaan yang lambat berkembang karena
keterbatasan sarana dan prasarana. Dengan konsep Minapolitan ini diharapkan
pembangunan sektor perikanan dan kelautan sebagai leading sector bisa
6
dipercepat melalui pendekatan dan sistem menejemen kawasan cepat tumbuh
seperti sebuah kota (Nugroho dan Rokhim, 2012: 216 dan 284-285).
2.1 Teori Basis Ekonomi (Location Quention )
Teori basis ekspor murni dikembangkan pertmana kali oleh Tiebot. Teori ini
membagi kegiatan produksi/ jenis pekerjaan yang terdapat di dala satu wilayah
atas sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan yang
bersifat eksogenous berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya.
Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di daerah itu sendiri. Oleh karena itu, pertumbuhannya tergantung
kepada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Artimya, sektor ini bersifat
endogenous (tidak bebas tumbuh). Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi
perekonomian wilayah secara keseluruhan (Tarigan, 2004 : 53)
Analisis basis ekonomi adalah berkenan dengan identifikasi pendapatan
basis (Richardson, 1977 : 14). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu
wilayah akan menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan,
yang selanjutnya menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalam
wilayah tersebut, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan volume kegiatan
non basis. Sebaliknya berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan
berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah, sehingga akan
menyebabkan turunya permintaan produk dari aktivitas non basis.
Untuk mengukur basis ekonomi suatu daerah, teknik yang lazim digunakan
adalah dengan menggunakan Location Quention. Dasar pemikiran teknik ini
adalah teori economic base yang intinya adalah karena
basis menghasilkan
barang untuk pasar didalam dan diluar daerah yang bersangkutan, maka penjualan
ke daerah akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus
pendapatan dari luar daerah akan menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan
investasi di daerah tersebut yang pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan
kesempatan kerja baru. Oleh karena itu, industri basislah yang patut
dikembangkan di suatu daerah (Arsyad, 1999).
7
Location Quotient (kuosien lokasi) adalah suatu perbandingan tentang
besarnya peranan suatu sektor/ industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan
sektor/ industri tersebut secara nasional. Ada banyak variable yang bisa
diperbandingkan, tetapi yang umum adalah nilai tambah (tingkat pendapatan) dan
jumlah lapangan kerja, berikut ini digunakan adalah nilai tambah (tingkat
pendapatan). (Tarigan 2005 : 30-42) dengan rumus sebagai berikut :
LQ = vi/vt : Vi/Vt
Keterangan :
vi = pendapatan sektor tertentu pada suatu daerah.
vt = total pendapatan daerah tersebut.
Vi = pendapatan sektor tertentu secara regional atau nasional
Vt = total pendapatan regional atau nasional.
2.3 Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu instrument strategi perencanaan dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan (Strenght) dan kelemahan (Weakness)
internal, serta kesempatan (Opportunitiy) dan ancaman (Threat) eksternal (Start
dan Ingie dalam New Weave (2002:170) dan Schuler (1986) Empowerment and
the Law).
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan strength
dan opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan weaknesses dan
threats. Hasil dari analisis SWOT digunakan untuk merancang empat strategi,
yaitu: (1) Strategi S-O, strategi yang menggunakan strength untuk memanfaatkan
opportunity, (2) Strategi W-O, strategi yang menanggulangi weakness dengan
memanfaatkan opportunity, (3) Strategi S-T, strategi yang menggunakan strength
untuk mengatasi threat, dan (4) Strategi W-T, strategi yang memperkecil
weakness dan menghindari threat (Rangkuti, 2001 dalam Mangiwa).
2.4 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencaan
untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di
8
daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam
menciptakan nilai sumberdaya-sumberdaya swasta secara bertanggungjawab
(Arsyad, 1999: 127). Dengan adanya pembangunan ekonomi tersebut diharapkan
output atau kekayaan ekonomi suatu daerah dapat bertambah serta menyerap
pengangguran (Irawan dan Suparmoko, 2002).
Menurut Sumodiningrat (2012) terdapat tiga tahapan dalam pembangunan
wilayah, yakni perkembangan industri, efisiensi industri dan keunggulan wilayah:
1. Industri berkembang untuk memenuhi permintaan dari luar wilayah yang
dipandu oleh teori export base. Keberhasilan tahapan ini ditentukan oleh peran
pemerintah dalam berbagai insentif antara lain pajak, infrastruktur, kawasan
industri dan fasilitas lainnya.
2. Efisiensi industri dimana dalam tahap ini industri kecil melaksanakan
konsolidasi untuk mengefiseinsikan sistem produksi dan memperbaikai skala
ekonomi. Pemerintah dalam hal ini memfasilitasi dengan berbagai bentuk
deregulasi agar terbentuk lingkungan bisnis yang kompetitif.
3. Keunggulan wilayah yang ditandai dengan kekuatan internal
yang
menghasilkan nilai tambah yang signifikan dalam pasar global. Ekonomi
wilayah tidak lagi diperankan oleh usaha besar tetapi oleh usaha kecil dan
menengah yang lincah dan efisien.
Salah satu teori yang terkait erat dengan pembangunan ekonomi wilayah
adalah Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson
pada tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa
setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki
potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan.
Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan
nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan
sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin,
produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri).
Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang
sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor-
9
sektor adalah membuat sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung.
menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain
yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
2.5 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Industri merupakan kegiatan ekonomi yang berupa pengolahan bahan
mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan barang jadi menjadi barang dengan
nilai yang nilainya lebih tinggi, atau menciptakan nilai tambah dari bahan yang
ada menjadi barang baru dengan tujuan memperoleh keuntungan. Industri dapat
dibedakan menjadi industri ekstraktif yang mengolah langsung dari bahan alam,
industri non-esktraktif dan industri jasa. Industri pengolahan ikan termasuk dalan
industri ekstraktif, yaitu pengolahan langsung dari bahan alam. Berdasarkan skala
usahanya, ada industri skala rumah tangga (mikro), kecil, menengah dan besar.
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pengertian UMKM dibagi menjadi tiga
macam:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tersebut.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tersebut.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut.
10
Sumber: Kementrian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah RI, 2013
Gambar 2.1 Kriteria Klasifikasi UMKM menurut Asset dan Omzet
Tabel 2.2
Permasalahan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
No. Faktor Internal
1.
2.
Faktor Eksternal
Kurangnya permodalan dan terbatasnya akses Iklim
usaha
belum
pembiayaan
sepenuhnya kondusif
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Terbatasnya
sarana
dan prasarana
3.
Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan Implikasi
penetrasi pasar
4.
5.
otonomi
daerah
Mentalitas pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Implikasi perdagangan
menengah
bebas
Kurangnya transparasi
Terbatasnya
akses
pasar dan informasi
Sumber: Bachtiar Rifa’i (Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik), 2013
11
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang kami gunakan diringkas dalam
gambar 3.1.
Analisis data sekunder
Pengamatan lapangan
Analisis Deskriptif
Profil Industri Kerupuk
di Kenjeran
Analisis SWOT
Model pengembangan industri
krupuk di Kenjeran
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3.1 Skema Metode Pengumpulan Data
3.2. TeknikPengolahan Data
input
proses
output
Gambar 3.2 Skema Teknik Pengolahan Data
Input :
Data yang dikumpulkanmeliputi data sekunder yang berasal dari
jurnalpenelitian dan hasil survei baik cetak maupun elektronik
(internet), literatur buku maupun dari situs-situskoran online.
12
Proses : menganalisis data yang terkumpul yang berkaitandenganpermasalahan
yang diangkatdalamkaryatulis.
Output : penyajian data berupa makalah karyatulis
3.3. TeknikAnalisis Data
Analisis data yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif deskriptif.
Hal ini dilakukan karena kami ingin berusaha mengerti dan memahami secara
komprehensif mengenaisektor di Surabaya yang termasuk sektor basis,
menganalisis sektor basis potensial yang dapat dikembangkan di Surabaya
khususnya berbasis UMKM dan melakukan analisis SWOT untuk menentukan
rekomendasi kebijakan yang sesuai.Langkah-langkah yang penulis tempuh
didasarkan atas cara berpikir runtut untuk memperoleh jawaban atas permasalahan
yang menjadi titik pangkal dalam penulisan ini.
13
BAB 4
HASIL ANANLISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Sektor Basis Dan Non Basis Di Surabaya
Dalam merencanakan pembangunan ekonomi di suatu wilayah termasuk
Surabaya, perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki
potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun
karena
sektor
itu
memiliki
competitive
advantage
untuk
dikembangkan. Perkembangan sektor basis tersebut akan mendorong sektor
lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh.
Untuk menganalisisnya kami menggunakan Location Quention. Adapun hasil
perhitungannnya kami sajikan dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan LQ Kota Surabaya
No
1
Sektor
Pertanian
2007
2008
2009
2010
0.01
0.01
0.00
0.01
Pertambangan &
2
penggalian
0.00
0.00
0.32
0.00
3
Industri pengolahan
1.11
1.10
0.83
0.86
4
Listrik, gas, air bersih
1.69
1.72
1.31
1.72
5
Konstruksi
2.13
2.14
2.05
2.10
1.19
1.20
1.22
1.36
1.73
1.68
1.65
1.57
Perdagangan, hotel,
6
restoran
Pengangkutan dan
7
komunikasi
Keuangan, persewaan,
8
dan jasa perusahaan
1.28
1.25
11.57
1.20
9
Jasa-jasa
0.90
0.89
0.99
0.98
Sumber: BPS Jawa Timur, 2013 (diolah).
14
Dari tabel diatas, bisa kita klasifikasikan mana yang termasuk sektor basis
atau sektor non basis di Kota Surabaya. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab
2.1, sektor basis merupakan sektor yang mampu mencukupi kebutuhan domestik
di kabupatennya (LQ=1) atau bahkan mampu mengekspor hasilnya ke luar
kabupatennya (LQ>1). Adapun sektor non-basis merupakan sektor yang belum
mampu memenuhi kebutuhan domestik di kabupaten tersebut (LQ