Melemahnya pertumbuhan ekonomi Amerika serikat

Melemahnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa, mulai berimbas ke
Indonesia, dengan turunnya ekspor. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012
masih bisa mencapai 6,23% (YoY) dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia setelah
China yang tumbuh sebesar 7,8% (YoY), namun lebih rendah dari asumsi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ini juga lebih
rendah dibandingkan tahun 2011 yang mampu mencapai 6,5%. Adapun nilai PDB Indonesia
atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2012 mencapai IDR 2.618,1 trilyun, naik sebesar
IDR
153,4
trilyun
dibandingkan
tahun
2011
yang
mencapai
IDR
2.464,7
trilyun.
Berdasarkan penggunaannya, laju pertumbuhan sektor tertinggi pada tahun 2012 terjadi
pada komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi fisik sebesar 9,81%
(YoY). Meski mengalami laju pertumbuhan tertinggi, secara kuartalan pertumbuhan sektor

PMTB mengalami penurunan cukup signifikan. Pada kuartal IV 2012 secara year on year,
sektor PMTB tumbuh sebesar 7,29% menurun dibandingkan kuartal sebelumnya yang
mampu mencapai pertumbuhan sebesar 9,80%. Bahkan pada kuartal II 2012 PMTB tumbuh
sebesar 12,47% (YoY). PMTB memilikimultiplier effectyang luas karena tidak hanya
mendorong sisi produksi, namun juga menstimulasi sisi konsumsi. PMTB akan mendorong
pembukaan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, yang
nantinya akan menstimulasi konsumsi masyarakat.
Selain PMTB, pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 juga ditopang oleh Konsumsi Rumah
Tangga, tercatat tumbuh sebesar 5,28% (YoY). Sedangkan, sektor Konsumsi Pemerintah
yang diharapkan menberikan sumbangan optimal pada pertumbuhan ekonomi nasional
hanya tumbuh sebesar 1,25% (YoY).
Sementara itu, tekanan pelemahan ekonomi global berimbas pada melambatnya ekspor
nasional karena berkurangnya permintaan dari negara tujuan ekspor. Di tahun 2012 ekspor
Indonesia tercatat tumbuh sebesar 2,01% (YoY). Sementara itu, impor tumbuh jauh lebih
tinggi yaitu sebesar 6,65% (YoY). Secara kuartalan, di kuartal IV 2012, impor Indonesia
meningkat pesat, tumbuh sebesar 6,79% (YoY) padahal pada kuartal sebelumnya
mengalami pertumbuhan minus 0,17% (YoY). Peningkatan impor ini diakibatkan oleh
meningkatnya impor non migas dan migas. Selain itu, kenaikan impor juga dipengaruhi oleh
meningkatnya impor bahan baku dan barang modal. Di tahun 2012, impor bahan baku
tercatat sebesar IDR 140.127,6 juta, atau tumbuh 7,02% dibandingkan tahun sebelumnya

yang tercatat sebesar IDR 130.934,3 juta. Sementara itu, impor barang modal di tahun 2012
mencapai IDR 38.154,8 juta, tumbuh sebesar 15,24% dibandingkan tahun 2011 yang
tercatat sebesar IDR 33.108,4 juta. Laju pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan
komponen ekspor menyebabkan Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan.
Dalam kondisi perekonomian global yang tidak menentu, nampaknya Indonesia masih akan
mengandalkan konsumsi dalam negeri dan investasi untuk menggenjot pertumbuhan
ekonominya di tahun 2013 ini karena kontribusi ekspor belum bisa diharapkan akibat
permintaan global yang sedang menurun.

Dari sisi lapangan usaha, 9 sektor lapangan usaha mencatat pertumbuhan positif pada
tahun 2012. Di tahun 2012, sektor Pengangkutan dan Komunikasi mencatat pertumbuhan
tertinggi sebesar 9,98% diikuti sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang tumbuh
sebesar 8,11%, serta sektor Konstruksi sebesar 7,50%. Adapun pertumbuhan terendah
dialami oleh sektor Pertambangan dan Penggalian, tumbuh sebesar 1,49% di tahun 2012.
Hal ini disebabkan oleh turunnya harga komoditas pertambangan.
Sementara itu, di kuartal IV 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh seluruh
sektor. Namun, pertumbuhan paling kecil dialami oleh sektor Pertambangan dan Penggalian,
tercatat sebesar 0,48%. Di kuartal IV 2012, terdapat 6 sektor yang memiliki pertumbuhan
melebihi angka pertumbuhan PDB yang tumbuh sebesar 6,11% seperti sektor Pengangkutan
dan Komunikasi yang tumbuh 9,63%, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh

7,80%, sektor Konstruksi dan Pengolahan masing-masing tumbuh sebesar 7,79%, sektor
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan tumbuh 7,66%, serta sektor Listrik, Gas dan Air
Bersih tumbuh sebesar 7,25%.

Meski laju pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, kondisi ketenagakerjaan Indonesia
pada Agustus 2012 menunjukkan keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi
ketenagakerjaan periode sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pengangguran yang
semakin menurun. Tingkat pengangguran Indonesia pada bulan Agustus 2012 menurun
dibandingkan dengan tingkat pengangguran Indonesia pada bulan Februari 2012. Pada
bulan Agustus 2012 tingkat pengangguran Indonesia sebesar 7,24 juta atau 6,14%,
sedangkan pada bulan Februari 2012 sebesar 7,61 juta atau 6,32%. Tingkat pengangguran
Indonesia pada bulan Agustus 2012 juga lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat
pengangguran pada bulan yang sama tahun sebelumnya tercatat mencapai 6,56%.
Turunnya tingkat pengangguran Indonesia, nampaknya juga didukung oleh persentase
jumlah angkatan kerja Indonesia yang menurun pada bulan Agustus 2012. Pada bulan
Agustus 2012 persentase angkatan kerja Indonesia adalah 67,88% menurun dari Februari
2012 yaitu 69,66%.

digg


Berbagai kajian yang menelaah krisis keuangan Asia telah banyak dilakukan, dari berbagai sudut pandang
pula. Secara umum terlihat suatu pola dan karakteristik yang berlaku sama di seluruh negara yang dilanda
krisis. Namun, dalam hal kedalamannya dan jangka waktunya, Indonesia dapat dikatakan sangat unik. Sulit
mencari pembandingnya, barangkali negara yang paling layak untuk dibandingkan waktu itu adalah Rusia,
dan sekarang mungkin Argentina. Oleh karena itu, dalam uraian berikut kita akan mengkaji secara singkat
mengapa krisis di Indonesia begitu parah, dan mengapa pemulihannya begitu lambat.
Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya, sama sekali
tidak terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara
bermasalah yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak
diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika
Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama.
Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat
kejatuhan ekonomi Thailand.
Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah
menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan,
bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan
sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan
senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang

dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis
berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara
tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari
pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda
krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya
sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada
perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran,
mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan
menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang
meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, danequity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat
dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997).
Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif,
seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi
Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom)
karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi
andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus
modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih

mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung
biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang
telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999).
Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan
aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi
bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang
semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam

kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity)
hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor
swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari
satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal
langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.
Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya
dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran
kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal

cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai
rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam
kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan
otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang
menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas
di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu
mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering
dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini.
Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi
pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan
pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis
kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi
pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi
modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada
gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik

telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua
faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan
ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar
tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).

Ekonomi makro Indonesia - Definisi dari ekonomi makro Indonesia adalah suatu sistem yang mempelajari tentang
perubahan ekonomi di indonesia yang membawa pengaruh besar terhadap masyarakat, pasar, dan juga
perusahaan. Dengan kata lain ekonomi makro indonesia adalah sistem yang melakukan analisa mengenai segala
bentuk perubahaan kondisi ekonomi indonesia untuk mencapai hasil analisa terbaik. Bentuk perubahaan ekonomi
yang dimaksud di sini meliputi tentang pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan kestabilitasan harga, serta tercapai
atau tidaknya kesimbangan neraca yang dilakukan secara berkesinambungan.
Namun perlu diketahui juga bahwa karakter ekonomi indonesia ini termasuk dalam kategori Small Open Economy
yang berarti bahwa kondisi perekonomian indonesia dipengaruhi tidak hanya karena perekomian di dalam negeri
namun juga dipengaruhi oleh perekonomian yang terjadi di negara-negara maju serta beberapa negara yang
termasuk negara tujuan ekspor. Itu artinya Indonesia punya tantangan tersendiri untuk berusaha menyeimbangkan
pasar keuangan internasional dengan pasar keuangan nasional.
Di sini lain ada juga tiga variabel yang ada dalam ekonomi makro Indonesia yang pada kenyataannya memiliki
cakupan lebih luas dalam perekonomian Indonesia.


Tiga Variabel dalam Ekonomi Makro
Indonesia :
1.

Nilai Tukar Rupiah

2.

Tingkat Suku Bunga

3.

Inflasi

Konsumsi privat, pengeluaran pemerintah, impor dan ekspor, serta investasi adalah dipengaruhi oleh ketiga variabel
tersebut di dalam permintaan agregat.
Semakin membaik atau tidaknya permintaan agregat itu tergantung semakin baik atau tidaknya varibel di atas. Dan
supaya perekonomian indonesia dapat berkembang sesuai keinginan masyarakat dan pemerintah maka harus
mendapat penanganan yang seimbang. Hal ini dikarenakan selain permintaan agregat ada juga penawaran agregat
yang meliputi pasar tenaga kerja dan teknologi atau yang kita kenal dengan IPTEK.

Seperti informasi yang lalu mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011, saat itu menurut RAPBN 2011
diperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6,4% yang berarti mengalami peningkatan 0,6 persen lebih
tinggi dari pada tahun 2010 yang hanya sebesar 5,8 %. Dan perkiraan pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 – 2014
diprediksi mencapai angka antata 6,4% sampai dengan 7,7%.
Namun seperti pada artikel sebelumnya menjelaskan bahwa prediksi ekonomi Indonesia 2013 baru akan mencapai
angka 6,8%.

Dan mengenai kerangka asumsi makro ekonomi Indonesia yang diakui pemerintah selama ini selalu
mempertimbangkan baik faktor eksternal maupun internal dalam penetapannya.

Faktor eksternal yang akan mempengaruhi ekonomi
makro Indonesia yaitu :


Harga minyak mentah internasional relatif stabil



Perekonomian global diperkirakan akan tumbuh pada level yang moderat




Proses pemulihan terhadap perekonomian global.

Faktor internal yang akan mempengaruhi ekonomi makro Indonesia
yaitu :


Hutang terhadap PBB yang terus mengalami penurunan.



Optimalisasi terhadap anggaran belanja negara.



Meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur.



Fiscal Sustainability tetap terdukung dengan terkendalinya konsolidasi fiskal.



Terkendalinya penerapan target inflasi.

Selain penjelasan di atas, ada juga sebagian pihak memiliki asumsi dan skenario makro ekonomi Indonesia hingga
tahun 2025 mendatang. Seperti video yang dikutip dari Youtube berikut ini :

Jika dilihat dari sisi makro, nilai tukar mana uang juga merupakan salah satu variabel penting bagikondisi ekonomi
Indonesia. Sesuai dengan data dari BI (Bank Indonesia) tahun 2010 dan 2011 rupiah mengalami penguatan nilai
tukar sebesar lebih dari 3,8% meskipun di beberapa hari pada bulan-bulan tertentu nilai tukar rupiah mengalami
pergerakan melemah. Demikian juga yang kita amati di tahun 2012. Melemahnya nilai rupiah di beberapa waktu
tersebut salah satu penyebabnya dikarenakan kondisi pasar yang tidak menentu sehingga membuat para pelaku
pasar cenderung menunjukkan penurunan aktivitas pada pasar uang sehingga menyebabkan rupiah melemah.

Sebenarnya, nilai tukar rupiah masih memiliki kemungkinan untuk lebih menguat ladi dan lebih stabil lagi karena
kondisi makro ekonomi di dalam negeri saat ini lebih baik jika dibandingkan dengankondisi ekonomi global. Namun
ada penghalang yang mencegah rupiah untuk terus menguat, yaitu terdapat beberapa investor dari luar yang masih
melepas saham pada pasar ekuiti lokal.
Di lain pihak kenaikan mata uang di Asia memperlihatkan dukungan juga terhadap pergerakan mata uang di dalam
negeri. Dan pemerintah juga terus berusaha untuk mencegah anjloknya nilai rupiah agar stabilitas kondisi ekonomi
Indonesia tidak terganggu. Selain itu juga pemerintah bertujuan untuk menekan tingkat inflasi.
Terjadinya inflasi disebabkan karena meningkatnya harga barang secara umum dalam waktu yang berlangsung
terus-menerus. Hal ini juga disebabkan beberapa faktor yang berkaitan dengan mekanisme pasar, yaitu :
1.

Meningkatnya daya konsumsi masyarakat.

2.

Terhambatnya pendistribusian barang.

3.

Spekulasi yang memicu konsumi karena berlebihnya likuiditas di pasar.

Selain beberapa penjelasan di atas mengenai ekonomi makro Indonesia, sebenarnya ada satu masalah lagi yang
juga menjadi masalah utama ekonomi di Indonesia, yaitu jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar. Menurut
data terakhir dari Badan Statistik Nasional bulan Maret tahun 2012 saja angka kemiskinan Indonesia masih
mencapai angka 11,96% atau sekitar 29,13 juta jiwa. Meskipun sudah mengalami peningkatan dari tahun 2011 yang
mencapai angka 12,49% atau sekitar 30 juta orang. Yah, mungkin ini masih menjadi tugas pemerintah lagi untuk
menekan angka kemiskinan di Indonesia yang juga memiliki pengaruh besar terhadap kondisi ekonomi di Indonesia.
Tentunya hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan kita semua.

Perkembangan Ekonomi di Indonesia (Makalah)

BAB I
PEDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perkembangan ekonomi saat ini mengalami kenaikan beberapa persen. Walaupun
begitu, perkembangan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari banyaknya perubahan-perubahan
yang telah dilakukan dan diterapkan dalam perekonomian di Indonesia. Untuk itu penulis
kemudian membuat makalah tentang “Perkembangan Ekonomi di Indoneisia”.
1.2.Tujuan
Adapun tujuan yang hendak penulis paparkan, yakni :
1. Sejarah mengenai perekonomian di Indonesia
2. Perkembangan perekonomian di Indonesia
3. Masalah-masalah yang di hadapi oleh Indonesia dalam pengembangan perekonomian di
Indonesia
1.3.Rumusan Masalah
Adapaun, pokok-pokok masalah yanga telah penulis rumuskan, diantaranya :
1. Bagaimana sejarah perekonomian di Indonesia
2. Bagaimana Perkembanagn perekonomian di Indonesia
3. Apa saja masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam mengembangkan perekonomian
di Indonesia
1.4.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang penulis buat sangat sederhana, yakni :
 Bab I adalah Pendahuluan
 Bab II adalah Kajian Teori
 Bab III adalah Pembahasan
 Bab IV adalah Penutup
Serta ditutup dengan DAFTAR PUSTAKA

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Sejarah Perekonomian di Indonesia
1.

ORDE LAMA (pasca kemerdekaan 1945-1950
Keadaan ekonomi&keuangan pada masa ini sangat buruk, karena disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi yang dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata
uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :

a.

Menteri keuangan Ir. Surachman melaksanakan Program Pinjaman Nasional

dengan

persetujuan BP-KNIP pada bulan Juli 1946
b. Usaha melawan blokade dengan diplomasi beras ke India
c.

Mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika

d. Melawan blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Tujuan dilakukannya Konferensi Ekonomi Februari 1946 untuk memperoleh k
esepakatan yang tetap dalam menanggulangi masalah ekonomi yang mendesak, seperti :
a.

Masalah produksi&distribusi sandang,pangan,papan, serta status dan administrasi perkebunan.

b. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
c.

Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

d.

Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan
membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Karena pengusaha pribumi masih lemah&belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi,
terutama pengusaha Cina.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a.

Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun, Gunting Syarifuddin
memotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret 1950.

b.

Membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional program ini disebut Program Benteng.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin& struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (pemerintah mengatur segalanya) sebagai akibat dari dekrit
presiden 5 Juli 1959. Sistem ini diharapkan akan membawa kemakmuran bersama dan
persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Namun kebijakan ekonomi
tersebut pada masa ini belum bisa memperbaiki keadaan ekonomi indonesia, seperti :

a.

Menurunkan nilai uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan pada Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959.

b.

Dibentuknya Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia dan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.

c.

Tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

d.

Pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya sehingga memperparah tindakan
moneter.

2.

ORDE BARU
Stabilisasi politik menjadi prioritas utama pada masa ini. Karena pengusaha pribumi tidak
bisa bersaing dengan pengusaha non pribumi, serta sistem etatisme pun tidak memperbaiki
keadaan, maka Dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi
pancasila yang merupakan campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi,
pasar tidak bisa menentukan sendiri dalam keadaan atau masalah tertentu.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang,seperti:

a.

kebutuhan pokok

b.

pendidikan dan kesehatan

c.

pembagian pendapatan

d.

kesempatan kerja

e.

kesempatan berusaha

f.

partisipasi wanita dan generasi muda

g.

penyebaran pembangunan

h.

peradilan
Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30
tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).

Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan tingkat
kesejahteraan rakyat dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil
menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia
minimum orang yang akan menikah,dampak positif ini diperoleh pada tahun 1984.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan
sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar
kelompok dalam masyarakat, serta penumpukan utang luar negeri. Akibatnya, ketika terjadi
krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling
buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan
menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
3.

ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan

untuk

mengendalikan

stabilitas

politik.

Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, juga tidak ada tindakan yang
cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan

Nepotisme),

pemulihan

ekonomi,

kinerja

BUMN,

pengendalian

inflasi,

dan

mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden
Megawati.

Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri Masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang
ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3
dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di alam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum
ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat
banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Kebijakan kontroversial pertama
presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga
BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.

Kebijakan

yang

ditempuh

untuk

meningkatkan

pendapatan

perkapita

adalah

mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1.

Perkembangan Ekonomi di Indonesia
Ekonomi indonesia saat ini optimis pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Dengan

pertumbuhan dan pendapatan nasional yang semakin meningkat kita dapat melihat
perkembangan dan kemajuan kita pada negara lain. Dengan pendapatan nasional per tahun
indonesia mampu memberikan kemajuan. Ekonomi makro yang sangat berpengaruh dalam
pertumbuhan ekonomi saat ini, salah satu pertumbuhan ekonomi itu dapat dilihat
dengan permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Selain
itu, ekspor dan impor serta investasi juga mempengaruhi..
Di lihat dari sedikit perekonomian makro dibidang perbankan ini dapat kita rasakan
pertumbuhan ekonomi itu meningkat. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan
ekonomi sepanjang triwulan I-2011 masih akan tumbuh tinggi, yakni di kisaran 6,4 persen.
Sehingga, sepanjang tahun ini, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh di kisaran 6-6,5
persen.
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengungkapkan hal itu dalam rapat kerja dengan
Komisi XI (membidangi keuangan dan perbankan) DPR, Senin (14/2). “Prospek perekonomian
ke depan akan terus membaik dan diperkirakan akan lebih tinggi,” kata Darmin. Dia
mengatakan, permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian.
Selain itu, ekspor dan impor, serta investasi, juga akan tumbuh pesat. Ia menambahkan,
Indonesia sudah melalui tantangan yang di 2010. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
baik di tahun lalu, yakni 6,1 persen, akan mempermudah mencapai target pertumbuhan di 2013.
Meski demikian, inflasi tinggi masih akan menjadi tantangan serius di tahun ini.
3.2.

Masalah-masalah dalam Pengembangan Ekonomi di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang kaya. Namun, harus diakui bahwa masih banyak

sumber daya milik Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal atau bahkan malah
justru pihak asing yang berhasil mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Hal tersebut
merupakan salah satu masalah ekonomi Indonesia. Berikut ini adalah beberapa masalah ekonomi
Indonesia yang lain:
1. Pengangguran

Ini merupakan masalah klasik yang belum juga terselesaikan secara tuntas. Dari tahun ke
tahun jumlah pengangguran di Indoensia semakin bertambah. Upaya pemerintah untuk
menciptakan lapangan kerja belum bisa menyelesaikan masalah ini.
2. Ekonomi Biaya Tinggi
Ini juga merupakan masalah klasik di dunia industri. Ada banyak hal yang menyebabkan
biaya produksi menjadi tinggi. Diantaranya adalah pungutan liar / pungli yang tidak hanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun tidak jarang dilakukan secara terbuka.
3. Regulasi Ekonomi
Beberapa kali pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai regulasi ekonomi yang
dianggap tidak tepat bagi kondisi perekonomian Indonesia. Contohnya adalah keputusan
pemerintah untuk masuk dalam anggota CAFTA yang sekarang ini mengakibatkan
membanjirnya produk China di Indonesia sehingga membuat produk lokal kepayahan di pasar
sendiri.
4. Kelangkaan Bahan Pokok
Operasi pasar yang sering dilakukan pemerintah disaat harga bahan pokok mulai beranjak
naik bisa dipastikan tidak membantu menyelesaikan masalah ini. Kelangkaan bahan pokok
memang merupakan masalah yang sangat sering terjadi di wilayah luar jawa karena alasan teknis
seperti transportasi. Namun menjelang puasa, lebaran, dan natal bisa dipastikan wilayah jawa
juga mengalami masalah yang sama.
5. Tingginya Suku Bunga Perbankan
Suku bunga merupakan salah satu indikator sehat / tidaknya kondisi perekonomian
Indonesia. Suku bunga yang terlalu tinggi ataupun yang terlalu rendah akan sangat
mempengaruhi perekonomian.
6. Tingginya Nilai Inflasi
Nilai inflasi akan sangat berpengaruh bagi kondisi perekonomian suatu negara, termasuk
Indonesia. Di Indonesia sendiri nilai inflasi tergolong tinggi sehingga banyak masalah ekonomi
susulan yang terjadi karena inflasi ini. Selain itu, inflasi di Indonesia sangat 'sensitif' mudah

sekali naik. Misalnya walaupun hanya dipengaruhi oleh tingginya harga cabai rawit beberapa
waktu yang lalu

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Perkembangan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkemabangannya di
zaman sebelumnya. Mulai dari masa Orde Lama→Orde Baru→Reformasi. Semuanya
bermetamorfosa dalam mencapai perkembangan ekonomi yang lebih baik.
Namun, yang patut kita garis bawahi saat ini adalah sumber daya manusia yang ada di
Negara kita ini, jangan sampai kekayaan Indonesia terus menerus dikelola oleh orang asing.

4.2. Saran
Untuk memajukan perekonomian di Indonesia ini bukan hanya tanggungjawab
pemerintah saja. Namun, kita juga sebagai generasi muda yang suatu saat akan memimpi negeri
kita ini patut ikut ambil bagian dalam hal ini. Seperti mendirikan usaha-usaha padat karya atau
mengasah kemampuan kita melalui Balai Latihan Kerja.