Aplikasi Teknologi Membran untuk Pengola

Aplikasi Teknologi Membran untuk Pengolahan Air
Terproduksi untuk Discharge dan Reuse
Katrin Andina
Teknik Kimia, ITB, Jl. Ganesha No. 10, Bandung, Indonesia
katrin.andina@gmail.com

Abstrak
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber energi utama yang digunakan manusia adalah bahan bakar
fosil. Untuk memperoleh bahan bakar tersebut, diperlukan pengeboran yang akan menghasilkan air
sebagai produk samping. Air terproduksi mengandung kontaminan-kontaminan yang dapat
membahayakan lingkungan. Maka dari itu, air terproduksi haruslah diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang maupun digunakan kembali. Pada awalnya, pengolahan air terproduksi sudah dilakukan
oleh industri minyak secara konvensional dengan dilakukannya proses fisik dan kimiawi terhadap air
terproduksi. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi membran, proses membran mulai
disoroti dan kemudian digunakan dalam proses pengolahan air terproduksi tersebut. Dalam makalah
ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pengolahan primer dan pengolahan sekunder – yang
keduanya merupakan tahap pretreatment dan bertujuan untuk menghindari proses fouling pada
membran dan – serta pengolahan dengan menggunakan teknologi membran. Teknologi membran
pada perbaikan air terproduksi akan berfokus pada jenis membran yang menggunakan tekanan
sebagai gaya dorongnya, yakni mikrofiltrasi (MF) yang digunakan untuk pretreatment, ultrafiltrasi
(UF) untuk discharge, nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) untuk keperluan reuse, serta

aplikasi-aplikasinya yang disertai dengan hasil-hasil percobaan. Selain itu, akan dibahas pula
mengenai membran distilasi (MD) yang berbasis perbedaan termal dan forward osmosis (FO)
sebagai teknologi membran yang berpotensial pada pengolahan air terproduksi.
Kata kunci : pengolahan air terproduksi, industri minyak, teknologi membran
1. Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
setiap aktivitas di kehidupan yang manusia
jalani bergantung pada energi. Dari sekian
banyak sumber energi, bahan bakar fosil
merupakan sumber energi yang paling
banyak digunakan selama lebih dari satu
abad bahkan sampai sekarang untuk
keberlangsungan hidup manusia. Bahan
bakar fosil adalah senyawa hidrokarbon,
seperti batu bara, minyak, gas alam. Dari
bahan bakar fosil, kecuali batu bara, seperti
minyak, gas, dan Coal Bed Methane (CBM),
dihasilkan dengan proses pengeboran bumi
untuk

memperoleh
sumber
energi
hidrokarbon
tersebut.
Pada
proses
pengeboran, dihasilkan air yang merupakan
produk samping. Air tersebut dihasilkan
bersamaan dengan pengeboran minyak dan
gas, yang biasa disebut dengan air
terproduksi. Volume dari air yang diperoleh
pada pengeboran minyak biasanya lebih

banyak daripada volume air yang didapat
pada pengeboran gas. Semakin lama umur
reservoir atau lubuk penyimpanan yang
digunakan, semakin banyak volume air yang
diperoleh. Skema perolehan air dari
pengeboran gas dan minyak dapat dilihat

pada Gambar 1. Karena air yang diperoleh
adalah bagian dari pembentukan alami,
maka komponen pada air tersebut ditentukan
dari formasi geologi naturalnya. Air hasil
pengeboran biasanya bersifat asam dengan
bermacam-macam ion mineral yang
terkandung di dalamnya.
Minyak mentah dan gas yang diperoleh
dari pengeboran kemudian dilakukan proses
pemurnian
atau
perbaikan
sebelum
digunakan akhirnya agar produk yang
digunakan memiliki kualitas yang baik. Pada
proses pemurnian tersebut, air limbah juga
diproduksi dengan skala yang cukup besar
dan biasa disebut air proses (Gambar 1).
Perbedaan utama antara air terproduksi dan


air

proses

adalah

air

dilakukan dengan cara konvensional, yakni
dengan pemisahan fisik air dan minyak
menggunakan gravitasi. Karena dampak dari
air terproduksi yang cukup besar pada
lingkungan, regulasi yang diberjalankan
semakin ketat (Wenten dan Khoiruddin,
2014; Witze, 2015). Oleh karena itu, banyak
perusahaan minyak yang mengusahakan
untuk mencapai keadaan pembuangan
senyawa-senyawa
yang
tidak

membahayakan lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa pengolahan air
terproduksi yang efisien harus mampu
memenuhi target untuk membersihkan air
polusi dan memperoleh kembali air yang
telah dimurnikan untuk penggunaan yang
bermanfaat ke depannya. Dari semua
teknologi pemurnian air yang ada, teknologi
membran dapat menjadi metode yang dapat
memenuhi kriteria-kriteria untuk produk
akhir air yang diinginkan dengan biaya yang
efektif karena teknologi membran sederhana
dalam operasinya, memiliki efisiensi yang
tinggi terhadap bahan baku dan potensi daur
ulang, mudah di scale up khususnya pada
modul tubular, dll. (Wenten, 2014). Maka
dari itu, tujuan dari penggunaan membran
adalah
untuk
mengurangi

dan
menyelesaikan kompleksitas dari material
organik pada tahap pretreatment untuk
mengurangi proses fouling pada membran.
Diharapkan dengan adanya teknologi
membran yang semakin berkembang, air
terproduksi dan air proses dapat diolah
menjadi air yang aman bagi lingkungan atau
bahkan digunakan lebih lanjut pada prosesproses lain.

terproduksi

Gambar 1. Diagram proses pada industri
minyak dan gas
(diadaptasi dari Munirasu dkk, 2016)

mengandung banyak ion mineral yang
terlarut, sedangkan air proses lebih sedikit
mengandung ion inorganik (mineral). Maka
dari itu, yang membedakan antara air

terproduksi dan air proses adalah konsentrasi
polutan yang terkandung di dalamnya.
Konsentrasi
polutan
tersebut
akan
menentukan bagaimana pengolahan air
tersebut akan dilakukan. Secara umum, air
terproduksi mengandung garam yang cukup
tinggi, sedangkan air proses mengandung
material organik (Igunnu dan Chen, 2012).
Secara umum, pengolahan untuk air
terproduksi dapat dibagi menjadi tiga kelas
berdasarkan tingkat separasi makro dan
molekular. (1) Penghilangan material
organik yang larut. (2) Penghilangan
material inorganik yang larut. Jika terdapat
komponen yang besifat radioaktif, maka
harus dilakukan pengolahan khusus. (3)
Penghilangan partikel seperti partikel

tersuspensi, lempung, dan pasir. Pengolahan
air terproduksi melibatkan pengolahan
primer, sekunder, dan tersier.
Sebelum
teknologi
membran
berkembang, pengolahan air terproduksi

2. Pengolahan Primer dan Sekunder Air
Terproduksi dari Lahan Minyak
Pada mulanya, penggunaan teknologi
membran untuk pengolahan air terproduksi
tidak begitu sukses karena tingginya
komponen-komponen
yang
dapat
menyebabkan fouling pada pengolahannya
(Igunnu dan Chen, 2012). Untuk mengatasi
masalah tersebut, maka tahap pretreatment
sebelum umpan menuju proses membran

merupakan aspek yang paling penting dalam

2

pengolahan air ter. Tahap pretreatment
tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
pengolahan
primer
dan
pengolahan
sekunder.
Pengolahan
primer
yakni
screening, sedimentasi yang dibantu oleh
gaya gravitasi, demulsifikasi (Deng dkk,
2005), koagulasi, adsorpsi, presipitasi, dan
flotasi (Zhang dkk, 2005). Sedangkan
pengolahan sekunder yakni penghapusan
komponen terlarut melalui pengolahan

kimiawi dan biologisnya. Pengolahan
kimiawi dapat berupa oksidasi, yang di
dalamnya
termasuk
proses
oksidasi
terdepan, oksidasi biologis, elektrodialisis,
elektrokoagulasi, elektroflokulasi (Wang
dkk, 2014), dll. Sedangkan pengolahan
biologis berupa filter yang meresap dan
pengolahan dengan bantuan zat pengangkut
yang teraktivasi. Bahkan baru-baru ini,
pengolahan biologis yang dikombinasikan
dengan membran menghasilkan teknologi
membran bioreaktor (Munirasu dkk, 2016).
Tujuan dari pengolahan primer dan sekunder
adalah untuk mengurangi kadar polutan
serendah mungkin dengan biaya seefektif
mungkin. Pada beberapa kasus, lebih dari
satu dari pengolahan primer maupun

disekunder dikombinasikan untuk mengolah
air terproduksi untuk mencapai hasil yang
lebih baik.
Salah satu kombinasi pengolahan primer
dan sekunder yang pernah diuji coba adalah
pengolahan minyak pada air yang dilakukan
dengan mengkombinasikan flotasi udara
yang terinduksi sebagai pengolahan primer
dan proses fotofenton sebagai pengolahan
sekunder (da Silva dkk, 2015). Minyak
mentah dicampur dengan air salin sintetis
untuk meniru air terproduksi. Hasil efluen
sintetis yang dihasilkan mengandung 300
ppm minyak. Dengan menggunakan
surfaktan non-ionik, konten minyak pada
efluen dapat dihilangkan sampai 90%. Sisa
~35 ppm minyak di air dapat dihilangkan
dengan
proses
fotofenton
dengan
menggunakan H2O2 dan FeSO4.7H2O. pH
dijaga sehingga tetap pada nilai 3 degan
penambahan H2SO4. Melalui percobaan,
didapat bahwa kombinasi 10 menit flotasi

dan 45 menit proses foto fenton, 99%
minyak pada efluen dapat dihilangkan.
Urutan dari proses yang berlangsung
pada pretreatment juga berdampak pada
hasil akhir produk dari proses. Contohnya
adalah
efek
dari
softening
pada
elektrokoagulasi untuk pengolahan air
produk (Esmaeilirad dkk, 2015). pH pada
proses softening dimanipulisasi dengan
penambahan NaOH dan HCl. Sekitar 99%
dari penghilangan turbiditas dicapai dengan
softening
kemudian
elektrokoagulasi,
sedangkan jika elektrokoagulasi dilakukan
sebelum softening, akan didapat konversi
sebesar 88%.
Selain itu, tahap pretreatment juga turut
menentukan keefektifan dari pengolahan air
terproduksi. Proses-proses pada tahap
pretreatment tersebut dapat dikombinasikan
untuk mencapai pengolahan air terproduksi
yang lebih baik. Hal tersebut telah
dibuktikan pada tiga tahap proses kombinasi
dari
elektrokoagulasi,
spouted
bed
bioreactor (SBBR), dan adsorpsi pada
karbon teraktivasi (El Naas dkk, 2014).
Ketiga metode tersebut divariasikan.
Sebagai proses yang berjalan sendiri (hanya
satu metode), tidak ada dari ketiga metode
tersebut yang memenuhi kriteria produk dari
pengolahan air. Mula-mula, dilakukan
elektrokoagulasi yang kemudian diikuti oleh
adsorpsi dan terakhir SBBR. Kombinasi
tersebut dapat menghilangkan 85% COD.
Jika urutan kombinasi menjadi adsorpsi –
elektrokoagulasi – SBBR, maka 95% COD
akan berhasil dipisahkan. Kombinasi
terakhir adalah SBBR – elektrokoagulasi –
adsorpsi, di mana kombinasi metode ini
dapat menghilangkan 97% COD.
Dapat
disimpulkan
bahwa
untuk
pengolahan primer dan sekunder air
terproduksi, banyak teknologi-teknologi
yang telah bekerja secara efektif yang sudah
diaplikasikan. Setelah pemilahan dan
pemisahan air berdasarkan gravitasi,
pengolahan kimiawi dengan bantuan
koagulan dapat merupakan pilihan yang baik
untuk
mengurangi
kontaminan
agar
menghasilkan umpan yang baik untuk proses
filtrasi membran berikutnya. Berdasarkan

3

sifat alami air terproduksi, khususnya untuk
air terproduksi yang tidak terlalu beracun,
pengolahan biologi dapat menjadi metode
yang
hemat
biaya.
Mengingat
pengembangan-pengembangan
teknologi
yang terus dilakukan, proses oksidasi dan
membran bioreaktor dapat juga menjadi
alternatif yang baik untuk ke depannya.
Penggunaan MBR dapat mengeliminasi
masalah-masalah dalam pengolahan air
terproduksi, seperti konsentrasi biomassa
yang rendah dan terbawanya padatan
suspensi yang halus (Wenten dkk, 2014a).

q

k.A.h
L

(1)

Persamaan hukum Fick:

v

D.A.p
d

(2)

Seperti namanya, mikrofiltrasi beroperasi
pada ukuran pori 0.1-10 μm sehingga
MF dapat menolak partikel tersuspensi,
bakteri, dll. namun mengizinkan virus, ion
divalen, dll. untuk melewati lapisan
membran. Ukuran pori ultrafiltasi yaitu pada
rentang 2-100 nm dan lapisan dapat menolak
makromolekul koloid dan virus, namun ionion terlarut masih dapat melewati lapisan
membran. Pada nanofiltrasi, ukuran pori
dimana operasi akan berlangsung secara
ideal adalah pada rentang 0.5-1nm.
Membran NF akan menolak ion divalen dan
multivalen, seperti Al3+, Fe2+, SO42-, dll. dan
meneruskan ion monovalen, seperti Na+, Cl-,
dll. Sedangkan karena reverse osmosis
berlangsung secara difusi, maka RO yang
ideal akan menolak semua ion monovalen
dan hanya meneruskan molekul air hingga
99%.

3. Pengolahan Air Terproduksi dari
Lahan
Minyak
dengan
Teknologi
Membran
Prinsip dasar dari pemisahan komponenkomponen menggunakan membran adalah
dengan
pengelompokan
komponenkomponen tersebut. Pengelompokan tersebut
biasanya didasarkan pada ukuran dari
komponen yang hendak diseleksi. Membran
yang digunakan pada pemisahan dapat
berupa organik, seperti polimer sintetik, dan
inorganik, seperti keramik. Berdasarkan
ukurannya, membran dapat dibagi menjadi
mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF),
nanofiltrasi (NF), dan reverse osmosis (RO).
Ukuran pori dari membran semipermeabel
tersebut semakin menurun dari MF, UF, NF,
dan akhirnya RO. Semakin kecil ukuran
pori, semakin besar tekanan hidrostatik yang
terjadi pada lapisan (Wenten dan
Khoiruddin,
2014).
Karena
adanya
perbedaan ukuran pori, dapat disimpulkan
bahwa tekanan hidrostatik akan semakin
meningkat dari MF, UF, NF, dan RO. Pada
MF dan UF, operasi berlangsung
berdasarkan mekanisme aliran konvektif
pori (Hukum Darcy), sedangkan operasi
pada
RO
berlangsung
berdasarkan
mekanisme difusi larutan (Hukum Fick).
Membran NF berada antara laju pori dan
mekanisme difusi (Baker, 2004).

Tabel 1. Membran Berdasarkan Tekanan
(Sumber: Wenten, 2016)
Membran
MF
UF
NF
RO

Persamaan hukum Darcy:

4

Ukuran
Pori
0.1-10

Tekanan

Bentuk
Pori

μm

T > CFV > T-TMP >
T-CFV, (ii) untuk resistansi fouling: TMP >
T > CFV > T-TMP > T-CFV > TMP-CFV,
(iii) untuk penolakan TOC > CFV > T >
TMP > TMP-CFV > T-TMP. Dengan
menggunakan kondisi-kondisi operasi yang
erbaik, 100% minyak, 100% TSS, 99%
turbiditas, dan sekitar 50% TOC dapat
berhasil dihilangkan dari air terproduksi.
Hasil ini menunjukkan bahwa adalah
penting untuk mengoptimasi parameterparameter operas untuk mendapatkan
kualitas air terproduksi yang paling baik.
Pada operasi optimisasi yang serupa,
pengolahan air limbah dari unit Tehran API
digunakan untuk proses UF pada kondisi
operasi yang berbeda dan hasil permeatnya
dibandingkan dengan hasil discharge air
terproduksi dari pengolahan biologi (Salahi
dkk, 2012). Dua jenis komersial membran
UF, PAN dan PSf dipelajari pada skala pilot
untuk optimisasi. Setelah mempelajari efek
TMP, CFV, pH, dan temperatur, ditemukan
bahwa kondisi optimumnya adalah TMP–
3bar, CFV–1 m/s, T–40 ℃ , dan pH–9.
Membran PAN menunjukkan fluks air dan
resistansi fouling yang lebih baik
dibandingkan membran PSf. Penggunaan
EDTA untuk agen pembersih dan SDS
sebagai surfaktan diketahui efektif untuk
mengembalikan fluks permeasi hingga 90%.
Dengan menggunakan parameter-parameter
lain, kecuali penyisihan COD, terbukti
bahwa proses UF lebih baik daripada
pengolahan biologi.

yang kadar salinasinya rendah dan tidak
terlalu beracun. Jika air terproduksi tidak
terlalu berbahaya bagi lingkungan, maka
cukup dengan UF saja kualitas air
terproduksi
sudah
mendekati
batas
discharge yang diperbolehkan, misalnya
pada industri minyak lepas pantai. Pada
kondisi yang lebih praktikal, proses UF
dapat menjadi proses yang penting sebelum
air terproduksi diolah pada membran NF dan
RO, sehingga akhirnya didapat air yang
lebih jernih dan dapat digunakan kembali,
seperti irigasi ataupun untuk ternak.
Pengembangan-pengembangan
pada
membran UF berfokus utama pada
pengurangan intensitas fouling, sehingga
diharapkan membran UF dapat bekerja lebih
optimal untuk keperluan mengolah air
terproduksi maupun umpan lainnya yang
hendak diolah.
6. Nanofiltrasi (NF) dan Reverse Osmosis
(RO)
Membran NF dan RO beroperasi pada
tekanan yang lebih tinggi daripada membran
MF dan UF. Pada membran RO, fluks
permeat berbanding proporsional terhadap
tekanan operasi, sedangkan permeasi garam
tidak bergantung pada tekanan. Maka dari
itu, membran akan lebih selektif jika
dioperasikan pada tekanan tinggi. Kedua
membran, baik NF dan RO, bekerja secara
efektif dalam menghilangkan mineral
inorganik. Perbedaan dari mebran NF dan
RO adalah selektivitasnya (Wenten dkk,
2014b). Membran RO menolak semua ion
terlarut, baik monovalen, divalen, dan
polivalen,
sedangkan
membran
NF
memperbolehkan ion monovalen, seperti
Na+, Cl-, untuk melewati membran.
Kebanyakan membran NF dan RO terbuat
dari komposit lapis tipis. Karena membran
ini sangat selektif pada tekanan tinggi,
membran NF dan RO sangat mudah terjadi
fouling. Maka dari itu, umpan yang
diberikan saat NF dan RO harus relatif
bersih dari partikel tersuspensi, lempung,
dll.

Jadi, proses UF dapat menjadi teknologi
membran yang efektif untuk pengolahan air
terproduksi, khususnya untuk air terproduksi

7

Sebelum umpan memasuki proses NF
dan RO, umpan dilalui melalui tahap
pretreatment. Efek dari tahap pretreatment
tersebut telah dipelajari melalui uji coba
mengenai desalinasi dari oil sands processaffected water (OSPW) (Kim dkk, 2011).
Pengolahan air produk dilakukan dengan
menggunakan membran komersial NF dan
RO dari GE-Osmonics. Pada percobaan
tersebut, dilakukan tiga cara yang berbeda,
koagulasi-flokulasi-sedimentasi (CFS) –
untuk mengetahui hasil produk yang
akhirnya akan saling dibandingkan. Ketiga
metode dari prosedur pretreatment tersebut
adalah: (1) material padatan pada air
terproduksi mengendap hanya dengan
bantuan gravitasi, (2) pada OSPW dilakukan
CFS dengan ditambahi koagulan alum
sebagai pretreatment, (3) pada OSPW
dilakukan
CFS,
alum,
koagulan
poli(dimetildialilamoniumklorida). Setelah
proses berlangsung selama 4-5 jam, umpan
membran yang tidak melalui proses
pretreatment akan mengalami reduksi fluks
sebanyak 80% atau bahkan lebih. Dengan
menggunakan gravitasi (cara ke-1), reduksi
fluks yang terjadi sebesar 50%. Sedangkan
pada cara ke-2 dan ke-3, reduksi fluks di
bawah 40%. Namun demikian, tahap
pretreatment saja tidak dapat mengurangi
kadar COD dan TDS dari umpan air
sehingga reduksi fouling dapat terjadi karena
adanya penghilangan padatan melalui proses
CFS pada pretreatment. Dari keempat
membran yang dipelajari, membran dengan
alum dapat mencapai 98.5% desalinasi
OSPW. Pembersih kimia digunakan untuk
menghilangkan lapisan fouling pada
membran. Hasil yang diperoleh pun sesuai
dengan harapan, yaitu bahwa penyaringan
langsung pada pengolahan air terproduksi
tanpa pretreatment menyebabkan terjadinya
fouling pada membran. Walaupun fluks
permeasi meningkat dengan peningkatan
TMP, penurunan fluks semakin tajam pada
TMP yang bernilai tinggi, sedangkan
semakin meningkat CFV, maka semakin
rendah fouling yang terjadi pada membran
NF dan RO. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa adalah benar perlu adanya tahap

pretreatment agar membran NF dan RO
dapat
bekerja
dengan
lebih
baik
(mengurangi frekuensi terjadinya fouling).
Alih-alih proses NF atau RO berdiri
sendiri, kombinasi dari membran NF dan
RO dengan membran UF dan MF juga dapat
dilakukan untuk mewujudkan pengolahan
air yang lebih efektif. Contohnya adalah
kombinasi membran UF yang termodifikasi
dengan membran RO untuk pengolahan dari
air flowback (Miller dkk, 2013). Membran
UF dan RO dimodifikasi melalui
polimerisasi in situ dengan dopamin untuk
membuat permukaan membran lebih
hidrofilik dan tahan terhadap fouling.
Membran
UF
polidopamin
tersebut
dimofidikasi
lebih
lanjut
dengan
mereaksikannya
dengan
PEG-NH2.
Membran
polidopamin-PEG
tersebut
menunjukkan fluks permeat yang realtif
lebih tinggi, tekanan yang lebih rendah, serta
meningkatkan
efisiensi
pembersihan
dibandingkan dengan membran UF yang
tidak dimodifikasi. Membran RO yang
dimodifikasi dengan polidopamin juga
menunjukkan penolakan garam yang lebih
tinggi daripada membran RO tak
termodifikasi.
Pada studi skala pilot, penggunaan
membran RO yang dikombinasikan dengan
tiga jenis tahap pretreatment yang berbeda
dilaporkan dapat mengolah air terproduksi
dari Coal-bed methane (CBM) (Qian dkk,
2012). Beberapa tahap pretreatment, yakni
Manganese sand filter, sand filter, dan
membran UF digunakan sebelum umpan air
terproduksi memasuki pengolahan secara
RO. Manganese sand filter menyisihkan Fe
dan Mn hingga 100%, yang mula-mula
terdapat 0.22 dan 0.04 ppm pada air
terproduksi. Selain itu, manganese sand
filter menurunkan turbiditas hingga 97%.
Kombinasi dari sand filter, UF, dan terakhir
RO menunjukkan penyisihan total turbiditas
dan ion F-. Penyisihan 98% TDS, 81,6%
COD, 85,4% NH3, dan 96,99% ion Cl- juga
dilaporkan tersisihkan dari kombinasi
pengolahan tersebut. Hasil tersebut ternyata
sesuai dengan model teoritis yang dibuat
untuk memprediksi performansi membran.

8

Yang menarik adalah, hasil tersebut
menunjukkan bahwa air yang telah diolah
tersebut memenuhi standar air minum di
China.
Jadi secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa penggunaan NF dapat menjadi sangat
selektif pada industri miyak dan gas. Banyak
pengeboran minyak tersebut menggunakan
air segar untuk menjaga tekanan dan
memompa minyak keluar. Untuk tujuan ini,
kualitas air bisa saja tidak terlalu baik. Air
segar tersebut harus bebas dari korosi,
blocking pori, dan ion-ion yang scale
forming. Agar kriteria tersebut dapat dicapai,
maka digunakan air laut yang bebas dari ionion yang telah disebutkan di atas untuk
pengeboran minyak lepas pantai. Membran
NF kemudian dapat bekerja efektif dalam
menyisihkan ion-ion multivalen yang dapat
menyebabkan masalah. Hal yang penting
untuk diperhatikan adalah bahwa tekanan
operasi pada membran NF lebih kecil,
sehingga biaya operasinya pun lebih kecil
jika dibandingkan dengan membran RO.

dorongnya, MD menggunakan perbedaan
termal antara umpan dan permeat sebagai
gaya dorongnya. MD berpotensi menjadi
metode pengolahan air terproduksi yang
baik karena tingginya perolehan air yang
dihasilkan. Pada operasi membran yang
berbasis
tekanan,
membran
akan
memisahkan polutan dari air sehingga
akhirnya dihasilkan permeat dan retentat
yang berkonsentrasi tinggi. Retentat yang
berkonsentrasi tinggi lama-kelamaan akan
mengganggu proses pemisahan. Namun,
karena MD beroperasi memanfaatkan
perbedaan temperatur, konsentrasi rententat
yang tinggi tidak akan mengganggu
pemisahan tersebut. Maka dari itu, MD
dapat digunakan untuk tahap terakhir untuk
perolehan air dari konsentrasi garam yang
tinggi (Maab dkk, 2012, 2013) Namun
demikian, kehadiran senyawa organik akan
mengganggu proses MD. Senyawa organik
akan memberi dampak pada sifat
pembasahan dari membran. Semakin tidak
basah suatu membran, semakin efektif
proses MD tersebut. Terlebih lagi, jika
tekanan uap senyawa organik tersebut
rendah (mudah menguap), maka senyawa
tersebut akan dengan lebih mudah melalui
lapisan membran pada MD. Selain itu, gasgas yang terlarut pun akan mudah melewati
membran MD. Maka dari itu, umpan dari
proses MD harus diusahakan mengandung
sesedikit mungkin senyawa organik,
terutama komponen yang memiliki titik
didih yang rendah, agar proses MD berjalan
lebih efektif. Jika tidak demikian, permeat
yang diperoleh akan tetap mengandung
material organik dan gas-gas terlarut yang
akan membutuhkan pengolahan lebih lanjut
sebelum digunakan atau dikonsumsi.
Terdapat 4 mode operasi yang terdapat
pada proses MD: (1) Direct contact MD
(DCMD), (2) Air gap MD (AGMD), (3)
Sweep gas MD (SGMD) and (4) Vacuum
MD (VMD). Seperti namanya, umpan dan
permeat pada DCMD berkontak langsung
dengan membran. Pada VMD, alih-alih
mensirkulasi air dingin pada bagian permeat,
keadaan vakum diaplikasian dan uap yang
dihasilkan menjadi condensed. Pada AGMD,

7. Desalinasi Termal dan Forward
Osmosis (FO) untuk Pengolahan Air
Terproduksi
Teknologi desalinisasi yang muncul awal
adalah desalinasi termal. Dua metode
desalinasi termal yan masih digunakan
adalah multistage flash distillation (MSF)
dan multiple effect distillation (Munirasu
dkk, 2016). Kedua metode distilasi tersebut
dapat memisahkan komponen dengan skala
yang sangat besar dan operasi yang cukup
lama, di mana di beberapa kasus mencapai
20 tahun. Namun demikian, teknologi
tersebut sangatlah mahal dan cukup
menggunakan banyak energi.
Karena latar belakang demikianlah,
inovasi-inovasi
teknologi
membran
dikembangkan secara terus menerus. Salah
satu teknik desalinasi termal yang dirasakan
paling efektif adalah membran distilasi
(MD) (Wang dan Chung, 2015). Membran
distilasi
memperlukan
panas
untuk
beroperasi. Di mana MF, UF, NF, dan RO
menggunakan tekanan sebagai gaya

9

jarak udara dibentuk antara membran dan
permukaan kondensasi. Pada SGMD, air
dingin disirkulasikan pada sisi permeat agar
mengumpulkan uap-uap yang terbentuk.
Dari semua kombinasi tersebut, hanya sisi
permeat yang divariasikan bergantung pada
metode kondensasinya. Sisi umpan dibuat
sama untuk semua proses, yaitu dengan
menggunakan air panas. Sisi permeat
seharusnya 20 ℃ lebih dingin dari sisi
umpan agar distilasi berjalan efektif.
Forward osmosis (FO) adalah teknologi
membran lain yang akhir-akhir ini juga
mulai mendapat perhatian untuk pengolahan
air terproduksi (Cath dkk, 2006). Pada
proses RO, tekanan harus diaplikasikan
untuk mengatasi tekanan osmotik umpan
agar molekul air dapat dipaksa untuk
melewati membran. Kebalikan dari RO,
pada FO sisi permeat terdiri dari larutan
yang mengandung tekanan osmotik yang
lebih tinggi. Pemisahan pada FO
berlangsung secara alami karena adanya
perbedaan tekanan antara umpan dan larutan
pendorong. Semakin besar perbedaan
tekanan osmotik antara umpan dan larutan,
semakin
efisien
pemisahan
dapat
berlangsung.
Karena
air
produk
mengandung TDS yang cukup tinggi, maka
dari itu larutan pendorong tersebut harus
memiliki konten garam yang lebih tinggi
daripada umpan dari air produk. Larutan
pendorong tersebut dapat berupa NaCl dan
MgSO4 hingga senyawa-senyawa kimia
baru, seperti garam termolitik, pelarut yang
polaritasnya dapat ditentukan (Shaffer dkk,
2013). FO beroperasi pada tekanan yang
rendah, biasanya pada kondisi umum,
sehingga fouling yang terjadi lebih sedikit
daripada RO. Selama proses FO, larutan
pendorong semakin encer karena terjadinya
osmosis sehingga larutan tersebut harus
diregenerasi (ditambah agar konsentrasinya
meningkat).
Karena
air
terproduksi
mengandung TDS yang tinggi, di beberapa
kasus, MD dapat menjadi alternatif yang
feasible untuk regenerasi dari larutan
pendorong tersebut.
Kombinasi dari FO dan MD untuk
perolehan air dari air terproduksi sintetis

kemudian diujikan (Zhang dkk, 2014).
Membran yang digunakan adalah hollow
fiber TFC untuk FO dan PVDF untuk MD.
2M NaCl digunakan sebagai larutan
pendorong pada proses FO, dan umpannya
adalah air minyak (4000 ppm) dengan 1000
ppm asam asetat. Hasil menunjukkan bahwa
>99.9% minyak dan ~80% asam asetat
ditolak pada FO. MD selanjutnya
menunjukkan 99.9% penolakan garam dan
47% penolakan asam asetat pada suhu 60
℃ .
Hal-hal yang telah diuraikan di atas
adalah hasil-hasil yang menjajikan untuk
menggunakan manfaat daru kombinasi FO
dan MD. Karena air terproduksi termasuk air
limbah yang sulit diolah, kombinasi FO dan
MD dapat dipelajari lebih lanjut untuk
aplikasi praktikal di masa depan. Pada
proses MD, membran komersial yang sudah
ada memiliki fluks permeasi air yang cukup
rendah, sehingga perlu adanya peningkatan
sehingga proses tersebut dapat berlangsung
lebih ekonomis dan efisien.
Secara keseluruhan, agar pengolahan air
terproduksi dapat berjalan dengan sukses,
selain dari keefektifan setiap proses
membran, biaya operasi dapat pula menjadi
faktor yang menentukan. Contohnya adalah,
biaya operasi air laut untuk membran RO
adalah kurang dari 25%, sedangkan 30-50%
untuk membran UF karena adanya fouling
yang tinggi pada mebran UF (Baker, 2004).
Proses mikrofiltrasi adalah proses yang baik
dan memiliki harga yang bersaing. Selain
biaya produksi membran, konidisi operasi
dan desain modul membran juga merupakan
peran yang penting dalam menentukan biaya
akhir. Misalnya adalah modul tekanan tinggi
lebih mahal dengan modul tekanan rendah,
serta modul hollow fiber lebih murah
dibandingkan spiral wound. Namun
demikian, parameter yang paling penting
dalam menentukan keefektifan dan umur
dari proses membran adalah kualitas dari
umpan air terproduksi. Maka dari itu, dalam
memilih proses membran, adalah baik untuk
memeriksa segala kondisi untuk dapat
menentukan membran dan kondisi operasi
mana yang sesuai dengan permasalahan.

10

serta menghasilkan produk pengolahan air
yang baik.

8. Kesimpulan
Kerumitan
dan
kesulitan
dalam
pengolahan air terproduksi maupun air
proses menjadi air – yang kadar
kontaminasinya memenuhi regulasi yang
berlaku – pada industri minyak dan gas
membuat pengolahan air terproduksi dan air
proses adalah salah satu proses yang penting
dan sulit. Sebelum teknologi membran
berkembang, industri minyak menggunakan
proses fisika dan kimia untuk memurnikan
air terproduksi tersebut. Namun, seiring
dengan perkembangan teknologi membran,
teknologi membran menarik perhatian
industri-industri minyak tersebut dan
membran dapat menjadi salah satu cara
efektif
yang
dapat
menyelesaikan
permasalahan tersebut. Secara keseluruhan,
pengolahan air dan tujuan akhir dari
pengolahan air dapat dilihat pada Gambar 5.
Secara umum, pengolahan air terproduksi
menggunakan teknologi membran yang
berbasis
tekanan,
yaitu mikrofiltasi,
ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse
osmosis.
Selain
berbasis
tekanan,
penggunaan membran pada pengolahan air
juga dapat berbasis perbedaan temperatur,
yakni membran distilasi, sedangkan untuk
proses pemisahan alami yang sedang
disoroti adalah forward osmosis.

Daftar Notasi
q
A
k

∆h
L
v
D
∆p
d
Daftar Pustaka

Baker,
R.W.
(Ed.),
2004.
Membrane
Technologoy and Applicatoins., second ed.
John Wiley % Sons, West Sussex, Inggris.
Beier, S.P. 2007. Pressure Driven Membrane
Processes, 2nd Edition. BookBoon, Inggris.
4-19.
Cath, T., Childress, A., Elimelech, M., 2006.
Forward
Osmosis:
Principles,
Applications, and Recend Developments. J.
Membr. Sci. 281, 70-87.
da Silva, S.S., Chiavone-Filho, O., de Barros
Neto, E.L., Nascimento, C.A., 2012.
Integration of Processes Induced Air
Flotation and Photo-Fenton for Treatment
of Residual Waters Contaminated with
Xylene. J. Hazard. Mater. 199-200, 151157.
Deng, S., Yu, G., Jiang, Z., Zhang, R., Ting, Y.P.,
2005, Destabilization og Oil Droplets in
Produced Water from ASP Flooding.
Colloids Surf., A: Physicochem. Eng.
Aspect 252, 113-119
Esmaeilirad, N., Carlson, K., Omuur Ozbek. P.,
2015. Influence of Softening Sequencing on
Electrocoagulation Treatment of Produced
Water. J. Hazard. Mater. 283. 721-729.

Air terproduksi
Pengolahan
primer dan
sekunder
Teknologi
Membran

laju aliran [m3/s]
luas permukaan [m2]
koefisien permeabilitas
[m/s]
perbedaan pressure head
[m]
panjang tabung hidraulik
[m]
laju difusi [kg.m2/s3]
koefisien difusi [m2/s]
perbedaan tekanan [kg.m/s2]
ketebalan lapisan [m]

Secara kimiawi
Secara biologi
Ultrafiltrasi ->
discharge
NF dan RO-> reuse

Gambar 5. Skema pengolahan air terproduksi
(diadaptasi dari Munirasu dkk, 2016)

Akhir kata, peran engineering pada
teknologi
membran
adalah
untuk
mengoptimasi segala proses yang ada
dengan menggunakan biaya yang paling
efektif dan efisien. Proses membran yang
disiapkan juga harus tahan terhadap fouling

11

Igunnu, E.T., Chen, G.Z., 2012. Produced Water
Treatment Technologies. Int J. Low-Carbon
Technology. 9, 157-177.
Kim, E.S., Liu, Y., Gamal El-Din, M., 2011. The
Effects of Pretreatment on Nanofiltration
and Reverse Osmosis Membrane Filtration
for Desalination of Oil Sands ProcessAffected Water. Sep. Purif. Technol. 81,
418-428.
Li, L., Lee, R., 2009. Purification of Produced
Water by Ceramic Membranes: Material
Screening, Process Design and Economics.
Sepc. Sci. Tecjmol. 44, 3455-3484.
Maab H., Francis, L., Al-saadi, A., Aubry, C.,
Ghaffour, N., Amy, G.L., Nunes, S.P., 2012.
Synthesis
and
Fabrication
of
Nanostructured Hydrophobic Polyazole
Membranes for Loew-Energy Water
Recovery. J. Membr. Sci. 423-424, 11-19.
Maab H., Francis, L., Al-saadi, A., Aubry, C.,
Ghaffour, N., Amy, G.L., Nunes, S.P., 2013.
Polyazole hollow fiber membranes for
direct contact membrane distillation. Ind.
Eng. Chem. Res. 52, 10425-10429.
Miller, D.J., Huang, X., Li, H., Kasemset, S.,
Lee, A., Agnihotri, D., Hayes, T., Paul,
D.R., Freeman, B.D., 2013. FoulingResistant Membranes for the Treatment of
Flowback Water from Hydraulic Shale
Fracturing: A Pilot Study. J. Membr. Sci.
437, 265-275.
Motta, A., Borges,C., Esquerre, K., Kiperstok,
A., 2014. Oil Produced Water Treatment
for Oil Removal by an Integration of
Coalescer
Bed
and
Microfiltration
Membrane Processes. J. Membr. Sci. 469.
371-381.
Mulder, M., 1996. Basic Principles of Membrane
Technology. Kluwer academic Publishers,
Dordrecht, Netherlands.
Munirasu, S., Haija, M.A., Banat, F., 2016. Use
of Membran Technology for Oil Field and
Refinery Produced Water Treatment – A
Review. 184-199.
Qian, Z., Liu, X., Yu, Z., Zhang, H., Ju, Y., 2012.
A pilot-scale demonstration of Reverse
Osmosis Unit for Treatment of Coal-Bed
Methane Co-Produced Water and Its

Modeling. Chin. J. Chem. Eng. 20, 302311.
Salahi, A., Mohammadi, T., Rahmat Pour, A.,
Rekabdar, F., 2012. Oily Wastewater
Treatment Using Ultrafiltration. Desalin.
Water Treat. 6, 289-298.
Shaffer, D.L., Arias Chavez, L.H., Ben-Sasson,
M., Romero-Vargas Castrillon, S., Yip,
N.Y., Elimelech, M., 2013. Desalination
and Reuse of High-Salinity Shale Gas
Produced Water: Drivers, Technologies,
and Future Directions. Environ. Sci.
Technol. 47, 9569-9683.
Shahabadi, S.M.S., Reyhani. A. 2014.
Optimization of Operating Conditions in
Ultrafiltration Process for Produced
WaterTreatment via Full Factorial Design
Methodology. Sep. Purif. Technol. 132, 5061.
Walker, A.K., Markoski, L.J., Deeter, G.A.,
Moore, J.S. 1994. Crosslinking chemistry
for high-performance polymer networks.
5012-5013.
Wandera, D., Wickramasinghe, S.R., Husson,
S.M.,
2011.
Modification
and
Characterization
of
Ultrafiltration
Membranes for Treatment of Produced
Water. J. Membr. Sci. 373, 178-188.
Wang, P., Chung T.S., 2015. Recent Advances in
Membrane
Distillation
Processes:
Membrane Developemnt, Configuration
Design and Application Exploring. J.
Membr. Sci. 474, 39-56.
Wang, Y., Yan, J.N., Li, Z.Y., Wang, L.G., Wu, J.,
Tao, Y., You, L.C., 2014. The Mechanism of
Removing the Organic Matter in Heavy Oil
Sewage by the Electric Flocculation
Method. Pet. Sci. Technol. 32, 1529-1536.
Wenten, I.G., 2014, Intensifikasi Proses Berbasis
Membran, Teknik Kimia Institut Teknologi
Bandung. 5-13, 38-39.
Wenten, I.G., 2016. Ultrafiltration in Water
Treatment and Its Evaluation as
Pretreatment for Reverse Osmosis System,
3-4.
Wenten, I.G., Aryanti, P.T.P., Khoiruddin, 2014.
Teknologi Membran Dalam pengolahan

12

Limbah, Teknik Kimia Institut Teknologi
Bandung. 7-26, 31-35.
Wenten, I.G., Aryanti, P.T.P, 2014. Ultrafiltrasi
dan Aplikasinya, Teknik Kimia Institut
Teknologi Bandung. 3-11.
Wenten, I.G., Hakim, A.N., Aryanti, P.T.P.,
2014a.
Bioreaktor
Membran
untuk
Pengolahan Limbah Industri, Teknik Kimia
Institut Teknologi Bandung. 11-26.
Wenten, I.G., Khoiruddin, Hakim, A.N., 2014b.
Osmosis Balik, Teknik Kimia Institut
Teknologi Bandung. 11-17.
Zhang, J.C., Wang, Y.H. Song, L.F., Hu, J.Y.,
Ong, S.L., Ng, W.J., Lee, L.Y., 2005.
Feasibility Investigation of Refinery
Wastewater Treatment by Combination of
PACs and Coagulant with Ultrafiltration.
Desalination 174, 247-256.
Zhang, S., Wang, P., Fu, X., Chung, T.S., 2014.
Sustainable Water Recovery From Oily
Wastewater
via
Forward OsmosisMembran Distillation (FO-MD). Water Res.
52, 112-121.

13