Analisis Permasalahan Pada Implementasi. pdf

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/282606397

ANALISIS PERMASALAHAN PADA
IMPLEMENTASI POLA PENGELOLAAN
KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
Article · December 2014

CITATIONS

READS

0

3,886

1 author:
Budi Waluyo

University of Leicester

3 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Performance Measurement in Higher Education Institutions View project

All content following this page was uploaded by Budi Waluyo on 06 October 2015.
The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue
are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.

ANALISIS PERMASALAHAN PADA IMPLEMENTASI
POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
Budi Waluyo
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
budiwaluyo@stan.ac.id
ABSTRAK
Pemerintah telah menciptakan model baru dalam pengelolaan instansi pelayanan publik (public
service agency) dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) Badan Layanan Umum (BLU).
Model ini diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan
berbasis pada hasil. Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan
kepada masyarakat, didorong untuk menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan

menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Namun demikian, PPK BLU tidak dapat
diimplementasikan dengan mudah. Berbagai kendala dan permasalahan muncul, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan keuangan pada BLU.
Tujuan kajian ini adalah untuk menelusuri secara mendalam mengenai implementasi PPK BLU
untuk memberikan pemaparan secara menyeluruh dan mendalam mengenai implementasi PPK BLU,
permasalahan yang muncul dan beberapa usulan solusinya. Kajian ini menggunakan pendekatan
kualitatif untuk mendapatkan pemahaman atas fenomena empirik yang utuh terkait implementasi
PPK BLU. Data dan informasi diperoleh melalui pengamatan terlibat (participant observation), dan
studi dokumentasi. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif berdasarkan telaah teoritik yang
diolah dari konsep-konsep manajemen keuangan pemerintah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi PPK BLU belum berjalan secara efektif
dikarenakan tarik menarik kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan,
Kementerian Teknis, dan Satuan Kerja (Satker) BLU; konten PPK BLU yang kurang memperhatikan
prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU; serta lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan
kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur
keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi
pemerintah; sehingga temuan pada ketiga elemen tersebut mengakibatkan implementasi PPK BLU
belum memberikan manfaat yang optimal bagi BLU dan masyarakat.
Kata kunci : Pengelolaan Keuangan, Badan Layanan Umum.


LATAR BELAKANG
BLU merupakan instansi pemerintah yang
diberikan mandat oleh Kementerian/Lembaga
untuk menyelenggarakan layanan publik,
seperti layanan kesehatan, pendidikan,
pengelolaan kawasan dan pengelolaan dana.
Menurut Thynne (2003) dalam Egeberg dan
Trondal (2010) pemberian mandat tersebut
dimaksudkan untuk membedakan fungsi

pemerintah sebagai regulator, sekaligus
sebagai upaya mengembangkan aktivitas
pengagenan
(agencification).
Pelayanan
publik tidak harus diselenggarakan oleh
lembaga
birokrasi
murni,
tetapi

diselenggarakan oleh instansi yang dikelola
ala bisnis (bussiness like) dengan menerapkan
prinsip-prinsip
kewirausahaan,
dan
manajemen sektor swasta (Box, 1999).
1

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

Dalam
pelaksanaannya,
upaya
peningkatan layanan kepada masyarakat saat
ini masih belum maksimal dan terdapat
beberapa permasalahan yang terkait dengan
administrasi pengelolaan keuangan BLU.
Sebagai upaya meminimalisir permasalahan
yang terjadi, pada tahun 2013 Kementerian
Keuangan

memberlakukan
moratorium
penetapan BLU baru. Dalam periode tersebut,
tidak ada satuan kerja instansi pemerintah
yang ditetapkan untuk menerapkan PPK BLU.
Kementerian Keuangan melakukan beberapa
perbaikan kebijakan yang terkait PPK BLU,
antara lain penataan regulasi, monitoring dan
evaluasi
terhadap satker BLU, dan
penyusunan road map bagi satker BLU.

METODE KAJIAN
Kajian ini bertujuan menelusuri secara
mendalam mengenai implementasi PPK BLU
menggunakan
pendekatan
kualitatif
(qualitative approach) untuk memberikan
pemaparan

secara
menyeluruh
dan
mendalam mengenai implementasi PPK BLU,
permasalahan yang muncul dan usulan
solusinya. Pemaparan dan penjelasan
tersebut menggunakan deskripsi yang disusun
untuk mengungkap apa yang tampak maupun
yang terdapat di balik implementasi PPK BLU
dengan maksud mencari pemahaman yang
terkandung di dalamnya. Temuan kajian ini
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau
bentuk perhitungan lainnya, tetapi diperoleh
dari data-data yang dikumpulkan dengan
menggunakan beragam sarana.
Melalui kajian ini, penulis hendak
memahami peristiwa yang terjadi atas
implementasi PPK BLU secara konstruktifinterpretatif. Kajian ini tidak bermaksud
membuktikan atau menguji hubungan atau
adanya hubungan antar variabel, menguji

teori, atau mencari generalisasi. Pada kajian
ini, penulis melakukan konstruksi untuk
memahami peristiwa atau fenomena yang

terjadi berdasarkan hasil pengamatan,
terutama pengalaman penulis selama menjadi
salah satu pelaku dalam implementasi PPK
BLU pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Berdasarkan data dan informasi yang
diperoleh, penulis melakukan interprestasi
untuk melihat dan memahami makna dari
implementasi PPK BLU.
Objek kajian ini adalah Badan Layanan
Umum di lingkungan pemerintah Pusat, tidak
termasuk Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD). Ruang lingkup pembahasan terbatas
pada PPK BLU yang mencakup aspek
penganggaran, perbendaharaan, pelaporan,
dan pengendalian.
Kajian ini menggunakan pendekatan

kualitatif, sehingga penulis menjadi ujung
tombak sebagai pengumpul data (instrument)
dengan terlibat secara langsung di lapangan
untuk mengumpulkan data dan informasi
yang dibutuhkan. Data-data dalam kajian ini
bersumber dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari
menggunakan teknik pengamatan terlibat
(participant observation) dengan melakukan
pengamatan langsung terhadap objek kajian
di mana sehari-hari mereka berada dan biasa
melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini, penulis
berinteraksi secara langsung dengan para
pengelola keuangan BLU dalam berbagai
kesempatan, seperti rapat koordinasi dan
kunjungan studi banding. Peneliti melibatkan
diri sebagai pelaku atas implementasi PPK
BLU.
Data sekunder dalam kajian ini penulis
dapatkan dengan teknik studi dokumentasi

dengan cara menganalisis dokumen berupa
perundang-undangan, buku, hasil kajian,
jurnal ilmiah, makalah, dan data yang terkait
dengan implementasi PPK BLU. Dokumen
diperoleh dari Kementerian Keuangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan,
dan Kementerian Teknis Lainnya, serta
beberapa situs internet yang menyediakan
2

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

hasil kajian, jurnal ilmiah, dan makalah secara
online.
TINJAUAN TEORI
Konsep New Public Management yang
telah diimplementasikan di berbagai negara
maju, terutama di Eropa dan Amerika,
memberi dampak yang luas terhadap tata

kelola pemerintahan di berbagai negara. Hal
ini menjadi salah satu faktor pendorong
dilakukannya
transformasi
manajemen
pemerintahan di Indonesia, yang mencakup
penataan kelembagaan, kepegawaian, dan
pengelolaan keuangan negara (Mahmudi,
2003 dalam Waluyo, 2011). Dalam konsep ini,
pemerintah diarahkan untuk meninggalkan
paradigma
lama
seperti
administrasi
tradisional yang cenderung mengedepankan
sistem dan prosedur, birokratis, pemberian
layanan yang tidak efektif dan efisien, agar
digantikan dengan paradigma baru yang lebih
berorientasi pada kinerja dan hasil.
Pemerintah dianjurkan untuk melepaskan diri

dari birokrasi klasik, dengan mendorong
organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel,
dan menetapkan tujuan, serta target
organisasi secara lebih jelas sehingga
memungkinkan
pengukuran
hasil
(Meidyawati, 2011 dalam Waluyo, 2011).
Hal ini yang mendasari dibentuknya BLU
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan
Badan
Layanan
Umum
sebagaimana diperbaharui dengan PP Nomor
74 Tahun 2012. BLU adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual
tanpa
mengutamakan
mencari
keuntungan
dan
dalam
melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi
dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan
BLU merupakan pola pengelolaan keuangan
yang memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktek-

praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Suatu
satker
pemerintah
dapat
menerapkan pengelolaan keuangan BLU,
terlebih dahulu harus memenuhi tiga
kelompok persyaratan. Pertama, persyaratan
substantif bahwa Instansi pemerintah
tersebut menyelenggarakan layanan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa,
pengelola dana khusus, atau pengelola
kawasan atau wilayah. Kedua, persyaratan
teknis bahwa kinerja pelayanan di bidang
tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah
tersebut layak dikelola dan ditingkatkan
pencapaiannya melalui BLU. Penilaian ini
dilakukan
oleh
menteri
teknis; dan Kinerja keuangan instansi
pemerintah tersebut harus sehat. Ketiga,
persyaratan
administratif.
Apabila
persyaratan pertama dan kedua telah
dipenuhi, maka menteri teknis mengusulkan
instansi/satker berkenaan kepada Menteri
Keuangan untuk dilakukan penilaian melalui
dokumen persyaratan administratif yaitu: (1)
Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan
kinerja; (2) Pola Tata Kelola; (3) Rencana
Strategis Bisnis; (4) Laporan Keuangan Pokok;
(5) Standar Pelayanan Minimum (SPM); dan
(6) Laporan audit terakhir atau pernyataan
bersedia untuk diaudit. Berdasarkan hasil
penilaian atas dokumen administratif
tersebut, Menteri Keuangan menerbitkan
ketetapan suatu instansi pemerintah layak
atau tidak layak ditetapkan sebagai satker
BLU.
BLU merupakan format baru dalam
pengelolaan keuangan negara, sekaligus
sebagai wadah baru bagi modernisasi
manajemen
keuangan
sektor
publik.
Perubahan tersebut juga telah mengubah
peran pemerintah terutama dalam hal
hubungan antara pemerintah dengan
masyarakat (Hughes, 1998 dalam Prakoso,
2014). Sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Perbendaharaan Negara, BLU
3

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

memiliki tugas yang sangat mulia, yakni turut
berperan dalam memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tugas dan fungsi BLU adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat dengan
menerapkan pengelolaan keuangan yang
fleksibel, menonjolkan produktivitas, efisiensi
dan efektivitas. Tujuan dibentuknya BLU
adalah untuk lebih memberikan keleluasaan
kepada satuan kerja yang memperoleh
pendapatan dari layanan untuk mengelola
sumber daya yang ada sehingga pemberian
layanan kepada masyarakat menjadi lebih
efisien dan efektif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BLU
diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan
berupa pengecualian atas asas universalitas
dan fleksibilitas lainnya, yaitu:
1. Pendapatan dapat digunakan langsung,
tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Kas
Negara;
2. Belanja menggunakan pola anggaran
fleksibel dengan ambang batas tertentu;
3. Dapat mengelola kas BLU untuk
memanfaatkan idle cash BLU yang
hasilnya menjadi pendapatan BLU;
4. Dapat memberikan piutang usaha
maupun menghapus piutang sampai batas
tertentu;
5. Dapat melakukan utang sesuai jenjang
dengan tanggung jawab pelunasan berada
pada BLU;
6. Dapat melakukan investasi jangka panjang
dengan seijin Menteri Keuangan;
7. Dapat dikecualikan dari aturan umum
pengadaan barang/jasa dan dapat
mengalihkan barang inventaris;
8. Dapat diberikan remunerasi sesuai tingkat
tanggung jawab dan profesionalisme;
9. Surplus dapat digunakan untuk tahun
berikutnya dan defisit dapat dimintakan
dari APBN untuk Public Service Obligation
(PSO);
10. Pegawai dapat terdiri dari PNS dan
profesional non PNS;

11. Pengaturan organisasi dan nomenklatur
diserahkan kepada Kementerian/Lembaga
dan BLU yang bersangkutan dengan seijin
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
(Direktorat PPK BLU, 2014).
Pemberian
fleksibilitas
tersebut
dimaksudkan untuk mendorong satker BLU
agar dapat menerapkan praktik bisnis yang
sehat. Penerapan praktik bisnis yang sehat
merupakan suatu upaya untuk mengadopsi
prinsip dan kaidah manajemen yang baik
dalam pengelolaan keuangan negara. Fungsifungsi manajemen diadaptasi dengan tujuan
agar tercipta tata kelola organisasi yang baik,
akuntabel dan transparan.
Konsep manajerial yang diterapkan dalam
pengelolaan BLU yaitu let the managers
manage and make the managers manage .
Ko sep
let the managers manage
mengandung makna memberi kesempatan
kepada manager (pimpinan satuan kerja)
mengelola layanan pemerintah seperti
pendidikan
dan
kesehatan
dengan
menggunakan anggaran secara efisien dan
efektif. “eda gka
ko sep
ake the
managers manage bermakna memastikan
bahwa pimpinan satuan kerja tersebut telah
melakukan pengelolaan dengan efisien dan
efektif sehingga menghasilkan output yang
optimal (Waluyo, 2011).
Konsep BLU sebenarnya muncul dari
reformasi sektor publik di Inggris pada tahun
1980-an semasa Perdana Menteri Margareth
Thatcher. Institusi publik dikelola secara lebih
otonom dengan tata kelola seperti swasta
(private-like manner). Institusi publik yang
semi otonom dan dikelola dengan mekanisme
layak ya e titas is is itu dise ut de ga
the next step agencies . Negara-negara lain
juga melakukan hal yang sama seperti
Agentschappen di Belanda, Special Operating
Units (SOAs) di Kanada, dan Independent
Administrative Institutions (IAIs) di Jepang.
(Direktorat PPK BLU, 2014).
4

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

Menurut Lane, Stiglitz, dan Walsh, pada
teori principal-agent, agent berusaha
memenuhi keinginan dari principal, karena
principal pada dasarnya adalah merupakan
representasi kepentingan publik. Dengan kata
lain, principal disini dapat juga berperan
se agai controller agent. Hal ini dikarenakan
dalam kondisi politik yang demokratis,
pemegang kekuasaan tertinggi adalah warga
masyarakat (citizen) atau konsumen dari
pelayanan publik (Batley, 2004 dalam
Prakoso, 2014). Pendekatan principal-agent
ini menjadi dasar untuk menempatkan
birokrat sebagai pelayan masyarakat yang
sebenarnya. Penerapan pendekatan ini
diharapkan mampu menyadarkan birokrat
sebagai agent yang bertanggung jawab
kepada masyarakat (principal) dan bukan
sebaliknya. (Prakoso, 2014).
Dalam konteks BLU, implementasi konsep
principal-agent diwujudkan dengan posisi
pemerintah sebagai principal melalui menteri
atau pimpinan lembaga dan yang menjadi
agen adalah BLU. Menteri/pimpinan lembaga
sebagai policy maker dan BLU sebagai
pelaksananya. BLU bertanggungjawab untuk
menyajikan layanan yang diminta kepada
menteri
sebagai
principal.
Dalam
melaksanakan misi pelayanan publik, BLU
memiliki tantangan yang cukup besar
mengingat pemerintah sebagai principal,
meminta kepada BLU sebagai agent untuk
menjalankan
misi
tersebut
dengan
berpedoman kepada prinsip bisnis. Prinsip ini
menekankan efisiensi dan produktivitas
sebagaimana layaknya diterapkan pada dunia
usaha, namun dengan tetap mengutamakan
pada peningkatan kualitas pelayanan. BLU
harus memiliki banyak inovasi agar bisa
melakukan kegiatan yang kreatif dalam
menciptakan metode pelayanan terbaik dan
juga cara terbaik dalam menjalankan prinsipprinsip bisnis.

HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
Hasil kajian dan analisis akan diuraikan
dalam tiga bagian. Masing-masing bagian
didahului dengan paragraf yang tercetak
dengan huruf tebal.
Bagian
Pertama,
bahwa
dalam
implementasi PPK BLU sering terjadi tarik
menarik kepentingan antar pelaku kebijakan
yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian
Teknis, dan Satker BLU. Permasalahan ini
terjadi pada masa transisi, pemanfaatan idle
cash, remunerasi, dan pengukuran kinerja.
Berikut
penjelasan
masing-masing
permasalahan.
Masa Transisi
Ketika suatu Satker ditetapkan menjadi
BLU, harus melakukan langkah-langkah
transisi keuangan yaitu menyetorkan PNBP,
menyusun RBA dan merevisi DIPA. Untuk
Satker yang sebelumnya berstatus sebagai
Pengguna PNBP, harus menyetorkan seluruh
PNBP yang diterimanya sebelum ditetapkan
sebagai Satker BLU ke rekening Kas Negara
yang dikelola oleh Kementerian Keuangan
untuk kemudian ditarik kembali menggunakan
mekanisme penggunaan PNBP. Namun
demikian,
perlu
diperhatikan
bahwa
permohonan pengembalian sisa PNBP yang
dapat ditarik kembali adalah hanya PNBP yang
disetor pada tahun Satker ditetapkan menjadi
Satker BLU, dengan syarat dana PNBP yang
telah disetor tersebut belum dipergunakan
atau belum diterbitkan SP2D-nya.
Selanjutnya adalah menyusun RBA
sebagai dokumen perencanaan kegiatan dan
keuangan. BLU mengajukan RBA kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga untuk dibahas
sebagai bagian dari RKA-KL satker BLU.
Namun demikian, dalam praktiknya Satker
BLU umumnya akan menunggu selesainya
pembahasan RKA-KL di Kementerian Teknis,
baru kemudian menyusun dan mengajukan
RBA.
5

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

Langkah berikutnya adalah merevisi DIPA.
Ketika masih sebagai Pengguna PNBP maka
DIPA ya g di ilki adalah DIPA iasa ,
sebagaimana Satker lainnya. Namun ketika
sudah menjadi Satker BLU maka DIPA yang
ada harus dire isi
e jadi DIPA BLU .
Per edaa
e dasar a tara DIPA iasa da
DIPA BLU selai
u ul ya aku BLU juga
pada halaman pengesahan terdapat saldo
awal dan saldo akhir. Pada masa transisi tentu
belum ada saldo kas karena seluruh PNBP
telah disetor ke kas negara. Pada periode
berikutnya jika memang pendapatan BLU
tidak seluruhnya dibelanjakan, maka akan ada
saldo awal yang dapat digunakan pada tahun
anggaran berikutnya.
Di samping itu, pada awal masa transisi,
beberapa Satker melakukan penyesuaian
kelembagaan setelah menjadi Satker BLU.
Perubahan kelembagaan bukan merupakan
suatu keharusan, dalam arti kelembagaan
Satker tersebut dapat tetap seperti sebelum
menjadi BLU.
Seringkali
ada
anggapan
bahwa
kelembagaan BLU menjadi berbentuk
komersial, padahal tidak demikian. PPK BLU
dapat diterapkan oleh setiap instansi
Pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan
yang bersifat operasional yang dapat berasal
dan berkedudukan pada berbagai jenjang
eselon (struktural) atau non eselon (non
struktural). Sebagian besar Satker PPK BLU
berbentuk struktural, misalnya: Universitas
Negeri Jakarta (Eselon I), dan Rumah Sakit
Umum Pusat Dr Cipto Mangunkusumo (Eselon
II). Namun demikian terdapat juga Satker PPK
BLU berbentuk nonstruktural, misalnya:
Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan
Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah (LLP KUKM)
dibawah Kementerian Koperasi dan UKM,
Pusat Pengelola Kawasan Gelanggang
Olahraga Bung Karno (PPK GBK) dan Pusat
Pengelola Kawasan Kemayoran (PPKK) di
bawah Sekretariat Negara.

Perubahan organisasi sering mengalami
kendala karena berhubungan dengan tugas
pokok dan fungsi Kementerian Teknis. Di
samping itu, harus
berpedoman pada
ketentuan
Kementerian
Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara terkait
organisasi dan tata kerja yaitu:
1. Perubahan organisasi dan tata kerja bagi
Satker PPK BLU di lingkungan Pemerintah
Pusat dapat dilakukan berdasarkan
analisis
organisasi
sesuai
dengan
perkembangan dan kebutuhan;
2. Perubahan tersebut dapat meliputi
penyempurnaan tugas, fungsi, struktur
organisasi dan tata kerja, dan atau eselon
jabatan;
3. Usulan perubahan harus dilengkapi
dengan naskah akademik;
4. Perubahan organisasi dan tata kerja
Satker PPK BLU di lingkungan Pemerintah
Pusat ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan
Lembaga setelah mendapat persetujuan
tertulis
dari
Menteri
Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara.

Pemanfaatan Idle Cash
BLU dapat melalukan optimalisasi
pengelolaan kas dalam bentuk investasi
jangka pendek atas saldo kas yang ada di BLU.
Investasi jangka pendek dilakukan dalam
kerangka
pengelolaan
kas
melalui
pemanfaatan surplus kas BLU, pada instrumen
keuangan dengan risiko rendah seperti
deposito ataupun surat berharga jangka
pendek lainnya.
Namun demikian dalam praktiknya
muncul beberapa permasalahan, antara lain
yang terkait dengan hak BLU atas saldo kas
tersebut. Misalnya saldo kas yang bersumber
dari dana Jamkesmas dan uang muka pasien
pada BLU rumah sakit, serta saldo dana
beasiswa pada BLU universitas. Apakah BLU
boleh menempatkan saldo dana tersebut

6
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

pada investasi jangka pendek seperti
deposito?
Atas permasalahan ini, Kementerian
Keuangan kemudian menerbitkan pengaturan
bahwa BLU hanya diperbolehkan melalukan
optimalisasi pengelolaan kas dalam bentuk
investasi jangka pendek atas saldo kas yang
telah menjadi haknya, dalam arti telah dimiliki
dan atau dikuasainya. Dengan demikian, saldo
dana Jamkesmas dan uang muka pasien pada
BLU rumah sakit, serta saldo dana beasiswa
pada BLU universitas tidak dapat ditempatkan
dalam instrumen investasi jangka pendek.
Saldo kas yang telah menjadi hak BLU
bersumber dari:
1. pendapatan
BLU
sebagai
hasil
penyelenggaraan layanan, kerjasama, dan
usaha lainnya yang sah, misalnya:
pendapatan jasa layanan rumah sakit, jasa
layanan pendidikan, jasa kajian, imbal
hasil/bunga atas investasi / dana bergulir;
2. Pengeluaran pembiayaan anggaran yang
bersumber dari BA BUN, misalnya dana
kelolaan BLU untuk investasi, dana
bergulir untuk KUKM/pengadaan tanah;
3. Dana lainnya yang secara sah dikuasasi
oleh BLU, misalnya BLU Universitas
menguasai dana abadi yang diperoleh dari
para alumninya untuk dikelola dan
hasilnya diperbolehkan untuk digunakan
oleh BLU dimaksud (Direktorat PPK BLU,
2014).
Di samping itu, pendapatan jasa perbankan
sebagai hasil dari pemanfaatan iddle cash
merupakan pendapatan PNBP Satker BLU,
yang harus diajukan pengesahannya ke KPPN.

prestasi, pesangon dan atau pensiun. Pegawai
BLU (Khususnya PNS) hanya dapat diberikan
tunjangan tetap, bonus atas prestasi dan atau
pesangon. Sedangkan untuk pegawai BLU
(Non PNS) dapat diberikan tunjangan tetap,
insentif, bonus atas prestasi, pesangon dan
atau pensiun.
Besaran remunerasi dihitung berdasarkan
kemampuan keuangan (jumlah omset dan
aset BLU), prestasi kerja, lokasi kerja, tingkat
kesulitan pekerjaan, kelangkaan profesi, dan
unsur pertimbangan rasional lainnya. Satker
BLU terlebih dahulu harus mengajukan pola
remunerasi kepada Menteri Keuangan melalui
kementeriannya untuk mendapat penetapan.
Komponen remunerasi terdiri dari:
1. Gaji, adalah imbalan finansial bersih yang
diterima setiap bulan oleh pejabat
pengelola dan pegawai BLU;
2. Honorarium, adalah imbalan finansial
bersih yang diterima setiap bulan oleh
Dewan Pengawas dan Sekretaris Dewan
Pengawas;
3. Tunjangan (tetap), adalah tambahan
pendapatan di luar gaji yang diterima oleh
pejabat pengelola dan pegawai BLU, yang
diberikan berdasarkan prestasi kerja,
lokasi kerja, tingkat kesulitan pekerjaan,
kelangkaan
profesi,
dan
unsur
pertimbangan rasional lainnya;
4. Bonus atas prestasi, adalah pemberian
pendapatan tambahan bagi pejabat
pengelola, pegawai, Dewan pengawas dan
sekretaris dewan pengawas BLU yang
hanya diberikan setahun sekali bila syaratsyarat tertentu dipenuhi (Direktorat PPK
BLU, 2014).

Remunerasi
Dalam pengelolaan BLU, kepada pejabat
pengelola, dewan pengawas, dan pegawai
BLU dapat diberikan remunerasi berdasarkan
tingkat tanggung jawab dan tuntutan
profesionalisme yang diperlukan. Remunerasi
dapat berupa tunjangan tetap, bonus atas

Besaran remunerasi ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek proporsionalitas,
kesetaraan,
kepatutan,
dan
kinerja
operasional.
Proporsionalitas
yaitu
pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah
aset yang dikelola oleh BLU serta tingkat
pelayanan. Pertimbangan ini sejalan dengan
7

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

compensable factor, meliputi segala jenis
faktor yang dipilih untuk menentukan
seberapa besarnya nilai suatu jabatan.
Pertimbangan yang dapat digunakan untuk
mengukur proporsionalitas atas besaran
remunerasi adalah:
1. Posisi Jabatan. Posisi jabatan yang sama,
untuk jenis layanan yang berbeda
ataupun berdasarkan besar kecilnya unit
yang dikelola tentunya tidak dapat
disamakan
besaran
remunerasinya.
Contoh: Rektor Universitas Diponegoro
tidak
dapat
disamakan
besaran
remunerasinya dengan Direktur Sekolah
Tinggi Ilmu Pelayaran;
2. Kualitas individu yang bersangkutan.
Pegawai
dengan
reputasi
atau
pengalaman tertentu tidak dapat
disamakan dengan orang yang belum
punya reputasi atau pengalaman. Contoh:
pegawai baru dan pegawai lama tidak
dapat disamakan karena meskipun
menangani pekerjaan yang sama, orang
yang memiliki pengalaman biasanya akan
menghasilkan hasil kerja yang lebih baik;
3. Kinerja. Pegawai yang mempunyai kinerja
lebih baik tentu tidak dapat disamakan
remunerasinya dengan pegawai dengan
kinerja yang biasa-biasa saja (Direktorat
PPK BLU, 2014).
Aspek kesetaraan memiliki pengertian
memperhatikan industri sejenis, yang bidang
usahanya sama atau pada wilayah yang sama.
Untuk posisi tertentu, contoh: akuntan, tidak
bergantung pada bidang usaha karena
akuntan bisa bekerja pada berbagai
perusahaan yang berbeda-beda bidang
usahanya. Selanjutnya juga yang perlu
dibandingkan adalah gaji dasar (basic salary)
dan total penghasilan (take home pay).
Masing-masing satker BLU kemungkinan
menerapkan remunerasi yang bervariasi
sesuai dengan desain remunerasi yang
mereka susun.
Aspek kepatutan dimaksudkan untuk
menyesuaikan
dengan
kemampuan
pendapatan BLU yang bersangkutan. Proporsi

pendapatan
yang
digunakan
untuk
remunerasi juga menjadi salah satu
pertimbangan
yang
digunakan
untuk
memberikan justifikasi atas usulan remunerasi
yang diajukan.
Sedangkan aspek kinerja operasional yaitu
kinerja operasional BLU yang ditetapkan oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga, yang sekurangkurangnya mempertimbangkan indikator
keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat dari
masyarakat. Kinerja operasional ini bisa
dijadikan pertimbangan dalam penentuan
remunerasi ataupun dasar pemberian bonus
atas prestasi kerja.
Agar diperoleh remunerasi yang dapat
dikaitkan dengan kinerja pegawai, tahapan
dalam pengelolaan remunerasi dapat
dilaksanakan sebagai berikut:
1. Analisa dan Uraian Jabatan (Job
Description and Analysis)
Analisa jabatan adalah proses secara
sistematis untuk mendapatkan informasiinformasi yang penting dan relevan
mengenai suatu Jabatan. Sedangkan
uraian jabatan adalah menjelaskan
mengenai apa yang harus dikerjakan,
mengapa dikerjakan, di mana dikerjakan,
dan
secara
ringkas
bagaimana
mengerjakannya;
2. Penilaian Jabatan (Job Evaluation)
Adalah proses secara sistematis untuk
menilai besar-kecilnya atau bobot (secara
relatif) jabatan-jabatan yang terdapat
dalam suatu organisasi. Berdasarkan
penilaian
jabatan
akan
diperoleh
pemeringkatan jabatan (Job Grading).
Yang dibutuhkan untuk menilai suatu
jabatan adalah Compensable Factor, yaitu
segala jenis faktor yang dipilih untuk
menentukan besarnya nilai jabatan.
Compensable factor memiliki beberapa
derajat/tingkatan
pengukuran,
yang
umumnya meliputi:
a. Kemampuan (Skill) yang meliputi:
pengetahuan (formal maupun nonformal),
kemampuan
analitik,
kemampuan fisik/visual, kreativitas,
dan kemampuan berkomunikasi;
8

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

b. Aktivitas (effort) yang meliputi
aktivitas fisik dan aktivitas mental;
c. Tanggung jawab (responsibility) yang
meliputi: akibat terhadap organisasi,
pengambilan keputusan, hubungan
internal atau eksternal organisasi, dan
akuntabilitas;
d. Kondisi kerja (working condition) yang
meliputi: tingkat resiko lingkungan
kerja dan tingkat kenyamanan tingkat
kerja.
3. Struktur Remunerasi
Pembuatan
struktur
remunerasi
bertujuan
untuk
mendapatkan
perimbangan/interaksi dari keadilan
internal, kesetaraan eksternal, dan
kemampuan BLU. Struktur remunerasi
ditentukan dengan skala remunerasi
tertinggi dan skala remunerasi terendah
berdasarkan pemeringkatan jabatan;
4. Penilaian Kinerja
Untuk kepentingan penghargaan atas
pekerjaan, maka setiap peringkat
pekerjaan dapat ditetapkan indeks berupa
nilai atau angka. Indeks kinerja ini
ditetapkan indeks kinerja individu dan
indeks kinerja unit. Indeks kinerja individu
berupa perbandingan antara pencapaian
total target individu dengan Satuan Kerja
Individu
pada
faktor-faktor
yang
ditentukan targetnya. Total target wajib
dideskripsikan secara spesifik, terukur,
realistis, dapat dicapai, menantang dan
jelas waktu pencapaiannya. Sedangkan
indeks kinerja unit, pencapaian total
target unit kerja sesuai struktur
organisasi. Tujuannya adalah agar setiap
individu memberikan perhatian tinggi
pada pencapaian kinerja unit kerjanya.
Penilaian kinerja ini dapat dijadikan acuan
untuk memberikan reward (misalnya:
bonus) dan punishment (Direktorat PPK
BLU, 2014).
Permasalahan yang muncul adalah
ketentuan bahwa BLU harus membayar
remunerasi kepada seluruh pegawai di semua
Unit. Padahal di beberapa BLU, hanya Unit
tertentu yang bersifat revenue center,

sementara yang lain adalah cost center dan
kegiatannya sama sekali
tidak
ada
hubungannya dengan kegiatan BLU.
Permasalahan
lain,
remunerasi
menghendaki agar pegawai diberikan single
salary payment, namun dalam praktiknya
masih berpeluang menimbulkan double
payment, misalnya pembayaran honorarium
yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi
satker BLU. Ketentuan APBN menggariskan,
bahwa dalam pengelolaan keuangan, honor
yang dapat dibayarkan adalah honor yang
termasuk dalam belanja barang operasional
dan belanja barang non-operasional. Honor
yang termasuk dalam belanja barang
operasional adalah honor yang terkait dengan
operasional satker, misalnya honorarium
pejabat pembuat komitmen. Sedangkan
honor yang termasuk dalam belanja barang
non-operasional adalah honor yang terkait
dengan output kegiatan, yaitu honor untuk
tim
pelaksana
kegiatan,
namun
pembayarannya harus selektif dengan
ketentuan:
1. Pelaksanaannya
memerlukan
pembentukan
panitia/tim/kelompok
kerja;
2. Mempunyai output jelas dan terukur;
3. Sifatnya
koordinatif
dengan
mengikutsertakan satker/organisasi lain;
4. Sifatnya
temporer
sehingga
pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau
di luar jam kerja;
5. Merupakan perangkapan fungsi atau
tugas tertentu kepada PNS disamping
tugas pokoknya sehari-hari;
6. Bukan
operasional
yang
dapat
diselesaikan secara internal satker.

Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja BLU dilakukan dengan
mempertimbangkan dua aspek yaitu aspek
keuangan dan aspek kepatuhan. Aspek
keuangan meliputi penilaian terhadap rasio
keuangan yang terdirif dari rasio vertikal dan
9

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

rasio horizontal. Rasio Vertikal meliputi antara
lain Rasio Kas (cash ratio), Rasio Lancar
(current ratio), Periode Penagihan Piutang
(collection period), Perputaran Aset Tetap
(fixed asset turnover), Imbalan atas Aktiva
Tetap (return on asset), dan Imbalan Ekuitas
(return on equity). Rasio Horisontal meliputi
antara lain Peningkatan Pendapatan (PNBP),
Peningkatan Pendapatan Usaha Jasa Layanan,
Peningkatan Pendapatan Usaha Lainnya,
Peningkatan Nilai Aset, dan Peningkatan Nilai
Aset Tetap. Sedangkan aspek kepatuhan
meliputi antara lain penilaian terhadap
pelaporan keuangan, pentarifan, dan
Standard
Operating
Procedure
(SOP)
pengelolaan keuangan.
Atas capaian indikator-indikator di atas
kemudian dilakukan scoring/penilaian dan
pembobotan dengan nilai tertentu. Skor/nilai
total kemudian diberi kriteria kurang baik,
cukup, atau baik, yang menunjukkan nilai
kinerja satker BLU dari aspek keuangan.
Terdapat banyak faktor yang dijadikan
dasar dalam penilaian BLU. Mengingat tujuan
pembentukan BLU adalah pelayanan kepada
masyarakat dan tidak berorientasi mencari
keuntungan, maka penilaian atas aspek
keuangan
saja
tidak
akan
mampu
menggambarkan kinerja pelayanan yang
dilakukan oleh BLU. Demikian juga apabila
penilaian didasarkan atas aspek kepatuhan
pengelolaan keuangan BLU saja, maka
penilaian tersebut tidak akan mampu
menggambarkan kinerja keuangan yang telah
dilaksanakan.
Dalam hal penilaian, tujuan dilakukan
penilaian terhadap aspek keuangan adalah
untuk mengetahui seberapa jauh pengelolaan
keuangan
BLU
telah
diselenggarakan
berdasarkan praktek-praktek bisnis yang
sehat (best practice) yang tercermin dari
laporan keuangannya. Namun demikian,
beragamnya core business dan size tiap BLU,
mengakibatkan pengukuran kinerja antar-BLU
menjadi sulit dibandingkan.

Bagian Kedua, hasil kajian terkait dengan
konten PPK BLU yang kurang memperhatikan
prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU.
Permasalahan ini terkait dengan tarif
layanan dan pencatatan Saldo Kas BLU di
KPPN. Berikut penjelasan masing-masing
permasalahan.
Tarif Layanan
Setiap BLU harus menyusun tarif layanan
atas jasa yang telah diberikan kepada
masyarakat. Tarif layanan BLU disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit layanan,
yang merupakan salah satu komponen di
dalam RBA satker BLU. Tarif layanan diusulkan
oleh BLU berkenaan kepada Menteri Teknis
yang selanjutnya akan diajukan kepada
Menteri
Keuangan
untuk
ditetapkan.
Perhitungan
tarif
layanan
harus
memperhatikan empat aspek, yaitu: (1)
kontinuitas dan pengembangan layanan; (2)
daya beli masyarakat; (3) asas keadilan dan
kepatutan; dan (4) kompetisi yang sehat.
Keempat aspek tersebut akan digunakan oleh
Tim Penilai Usulan Tarif dan Remunerasi BLU
di lingkungan Kementerian Keuangan untuk
menyetujui atau menolak usulan dimaksud.
Namun demikian, penetapan Tarif
Layanan oleh Menteri Keuangan mengalami
kendala waktu dan proses yang tidak
sebentar. Demikian pula perubahan tarif
layanan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan lingkungan dan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk memperlancar
penerapan PPK BLU, Menteri Keuangan dapat
mendelegasikan Penetapan tarif layanan BLU
kepada menteri/ pimpinan lembaga dan/atau
pemimpin BLU dengan memperhatikan
karakteristik layanan BLU serta pengaruhnya
terhadap masyarakat umum. Hal tersebut
dimaksudkan memberikan keleluasaan bagi
BLU dalam menghadapi tantangan dan
perubahan pemberian jasa layanannya.

10
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

Di samping itu, dalam praktiknya ada BLU
yang tarif untuk semua layanannya adalah
ol atau gratis. “eperti BLU Le aga
Pe gelola Da a Pe didika LPDP . BLU LPDP
bertugas mengelola dana abadi pendidikan
yang dialokasikan setiap tahun dari APBN.
Dana tersebut disalurkan dalam bentuk
program beasiswa pendidikan, pendanaan
kajian dan rehabilitasi sarana pendidikan yang
rusak akibat bencana. Semua layanan
tersebut diberikan secara Cuma-Cuma.
Sehingga, LPDP tidak memiliki pendapatan
yang terkait dengan layanan utamanya.
Dampaknya, LPDP tidak memiliki tarif layanan.
Pencatatan Saldo Kas BLU di KPPN
Standar
Akuntansi
Pemerintahan
memungkinkan saldo kas pada BLU disajikan
pada aku
Kas pada BLU da
I estasi
Ja gka Pe dek BLU di Nera a BLU. Deposito
berjangka
waktu
1-3
bulan,
masih
diklasifikasika se agai aku Kas pada BLU ,
sedangkan deposito berjangka waktu lebih
dari 3-12 bulan diklasifikasikan sebagai akun
I estasi Ja gka Pe dek BLU .
Secara periodik, KPPN melakukan
rekonsiliasi dan analisis kas BLU dengan
didukung rekening koran satker BLU.
Permasalahan yang mungkin terjadi adalah
pencatatan ganda (double counting) atas
saldo Kas BLU di KPPN. Aku I estasi Ja gka
Pe dek BLU
erfu gsi u tuk e a pu g
saldo kas yang ada di Rekening Pengelolaan
Kas BLU dalam bentuk deposito berjangka
lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 12
(duabelas) bulan, namun tidak termasuk dana
kelolaan yang bersumber dari BA BUN.
Sehingga, de ga
u ul ya aku I estasi
Ja gka Pe dek BLU terse ut, KPPN tidak
perlu melakukan perubahan terhadap akun
Kas pada BLU ya g telah ter atat di KPPN.
KPPN perlu e astika ah a aku Kas
pada BLU dita ah de ga aku I estasi
Ja gka Pe dek BLU sa a de ga aku Da a
La ar BLU . Ke udia , aku Da a La ar

BLU dala Nera a “AI harus sa a de ga
saldo kas BLU pada Laporan Daftar Rincian
Kas BLU di KPPN.

Bagian Ketiga, hasil kajian terkait dengan
lingkungan
kepemerintahan
yang
menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam
pengelolaan keuangan dan secara konsisten
melaksanakan prosedur keuangan dengan
rujukan pada peraturan yang berlaku umum
bagi satuan kerja instansi pemerintah.
Permasalahan ini terkait dengan Standar
Biaya dan Pencatatan Pendapatan Dalam
Bantuk Barang. Penjelasan masing-masing
permasalahan adalah sebagai berikut.
Standar Biaya
Setiap BLU wajib menyusun RBA yang
memuat antara lain kondisi kinerja BLU tahun
berjalan, asumsi makro dan mikro, target
kinerja (output yang terukur), analisis dan
perkiraan biaya per output dan agregat,
perkiraan harga, anggaran, serta prognosa
laporan keuangan. RBA juga memuat
prakiraan maju (forward estimate) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. RBA disusun dengan menganut
pola anggaran fleksibel (flexible budget)
dengan suatu persentase ambang batas
tertentu. RBA dimaksud merupakan refleksi
program dan kegiatan dari kementerian
negara/lembaga.
Satker BLU merupakan bagian dari
Kementerian Negara/Lembaga sehingga RBA
Satker BLU adalah bagian yang tak
terpisahkan dari RKA K/L. Konsekuensinya,
pada saat pelaksanaan anggaran, Satker BLU
pada dasarnya tetap terikat dengan aturan
Standar Biaya dalam melakukan pembayaran
baik yang bersumber dari rupiah murni
maupun penerimaan BLU. Namun demikian,
satker BLU dapat mempergunakan standar
biaya lain melalui penetapan Standar Biaya
Khusus oleh Menteri Keuangan, atau
11

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

penggunaan standar biaya berdasarkan
perhitungan akuntansi biaya sebagai bagian
dari biaya satuan (unit cost) pada saat
penetapan tarif oleh Menteri Keuangan.
Mulai tahun 2011 apabila satker BLU telah
mempunyai perhitungan akuntansi biaya
maka penyusunan RBA-nya menggunakan
standar biaya tersebut, sedangkan untuk
satker BLU yang belum mampu menyusun
standar biaya, RBA disusun berdasarkan
Standar Biaya Umum (SBU). PP Nomor 74
Tahun 2012 memberi peluang baru yaitu
Pemimpin BLU dapat menetapkan standar
biaya sendiri, sepanjang tidak menambah
penghasilan
dan
fasilitas
bagi
pejabat/pegawai.
Di samping itu, pengalokasian anggaran
BLU pada RKA-K/L dirinci hanya pada satu
program, satu kegiatan, dan satu output,
sedangkan rincian pagu anggaran BLU
dituangkan dalam RBA. Hal tersebut
dimaksudkan untuk lebih memberikan
keleluasaan bagi BLU dalam pemberian jasa
layanannya
dengan
meminimalkan
kemungkinan
untuk
melakukan
revisi/perubahan anggaran. Namun demikian,
konsep tersebut sampai saat ini belum dapat
diimplemetasikan karena Aplikasi RKA-K/L
belum dapat mengakomodir penyajiannya.

Pencatatan Pendapatan Dalam Bantuk
Barang
Sebagai instansi pemerintah yang dikelola
dengan model business like, BLU memiliki
fleksibilitas dalam pengelolaan pendapatan.
Sebagaimana umumnya transaksi bisnis, BLU
dapat saja menerima imbalan dalam bentuk
barang atas layanan yang diberikan. Misalnya,
BLU menempatkan deposito di suatu bank, di
samping mendapat bunga juga mendapat
imbalan berupa kendaraan. Di saat yang
bersamaan, BLU telah menganggarkan
pembelian kendaraan untuk keperluan
operasional. BLU menerima imbalan berupa

kendaraan tersebut dengan pertimbangan
mekanisme ini menguntungkan bagi BLU yaitu
tidak perlu melakukan kontrak pengadaan
kendaraan. Di sisi lain, BLU diwajibkan untuk
melakukan pencatatan atas pendapatan
tersebut melalui mekanisme pengesahan ke
KPPN. Di sini muncul permasalahan
pencatatan pendapatan tersebut.
Pengesahan pendapatan BLU ke KPPN,
akan berdampak bertambahnya Saldo Kas
BLU. Hal ini terjadi karena aplikasi SPM akan
membaca setiap penambahan pendapatan
sebagai penambahan kas, kecuali pendapatan
hibah barang. Aplikasi SPM tidak mengenal
pendapatan bunga deposito non-kas. Akun
pendapatan non-kas hanya dapat mencatat
hibah dalam bentuk barang. Padahal,
kendaraan yang diperoleh BLU tadi bukan
merupakan hibah. Kendaraan tersebut
diperoleh dengan menempatkan deposito,
artinya bukan merupakan pemberian secara
cuma-cuma (hibah) dari bank. Sehingga harus
dicatat sebagai pendapatan bunga deposito.
Solusinya, BLU melakukan pengesahan
Pe dapata
sekaligus Bela ja de ga
nominal yang sama dalam satu dokumen
SP3B. Hal ini dapat dikatakan sebagai
pe atata i -out , sehi gga saldo kas BLU
tidak mengalami perubahan (ditambah
se esar pe dapata da dikura gi se esar
ela ja , de ga
o i al ya g sa a).
Kemudian, kendaraan tersebut dicantumkan
dalam Neraca sebagai Asset. Namun
demikian, hal ini harus diungkapkan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan untuk
memberikan
penjelasan
bahwa
ada
Pendapatan Non-kas berupa kendaraan, dan
ada Belanja yang sebenarnya tidak terjadi
(tidak ada dokumen pengadaan belanja
kendaraan).
SIMPULAN DAN SARAN
Implementasi PPK BLU belum berjalan
secara efektif dikarenakan tiga kategori
penyebab.
Pertama,
tarik
menarik
12

Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu
Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis,
dan Satker BLU. Faktor ini antara lain dapat
ditunjukkan dengan permasalahan yang
terjadi pada masa transisi, pemanfaatan idle
cash, remunerasi, dan pengukuran kinerja.
Kedua, konten PPK BLU yang kurang
memperhatikan prinsip fleksibilitas dan
kemudahan bagi BLU. Faktor ini dapat
dijelaskan dengan contoh kasus pada
penetapan tarif layanan dan pencatatan saldo
kas BLU di KPPN. Ketiga, lingkungan
kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya
kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan
dan secara konsisten melaksanakan prosedur
keuangan dengan rujukan pada peraturan
yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi
pemerintah. Faktor ini dapat dijelaskan
dengan permasalahan yang terkait dengan
standar biaya dan pencatatan pendapatan
dalam bentuk barang.
Hasil kajian pada ketiga elemen tersebut
mengakibatkan implementasi PPK BLU belum
memberikan manfaat yang optimal bagi BLU
dan
masyarakat.
Sehingga,
untuk
menyesuaikan dengan perkembangan yang
terjadi di masyarakat dan memperlancar
penerapan penerapan PPK BLU, pemerintah
perlu melakukan perubahan pengaturan BLU
secara berkala. Namun perubahan tersebut
harus tetap memperhatikan akuntabilitas
kinerja dan keuangan sebagai penyeimbang
terhadap fleksibilitas yang telah diberikan.

Referensi:
Batley, Richard. 2004. Development and
Change. 35 (1): 31-56. Blackwell
Publishing, Oxford, UK.
Box, Richard C. (1999). Running Government
Like a BusinessImplications for Public
Administration Theory and Practice. The
American
Review
of
Public
Administration (Impact
Factor:
1).
01/1999; 29(1):19-43.

Direktorat PPK BLU. (2014). Arsip Konsultasi.
http://www.ppkblu.depkeu.go.id/index.p
hp/baca/
berita/44/arsip-konsultasi.
(diakses 21 Agustus 2014)
Egeberg, Morten dan Jarle Trondal. (2010)
Agencification and Location: Does Agency
Site Matter?. Working Paper No. 3,
March 2010. ARENA Working Paper.
Hughes, O. E. (1998) Public Management
and Administration, 2nd Ed., London:
MacMillan Press Ltd.
Meidyawati. (2011). Analisis Implementasi
Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (PPK-BLU) Pada Rumah
Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi.
Diakses 10 Desember 2011.
Prakoso, Cathas Teguh. (2014). Eksistensi
Badan Layanan Umum Ditinjau Dalam
Perspektif New Institutional Dan
Principal-Agent
Theory.
eJournal
Administrative Reform, 2014, 2 (4):
2422-2432.
Thynne, I. (2003). Making Sense of
Organizations in Public Management: A
Back-to-Basics
Approach.
Public
Organization Review, Vol. 3: 317-332.
Waluyo, Indarto. (2011). Badan Layanan
Umum Sebuah Pola Baru Dalam
Pengelolaan Keuangan Di Satuan Kerja
Pemerintah. Jurnal Pendidikan Akuntansi
Indonesia, Vol. IX. No. 2 – Tahun 2011,
Hlm. 1 – 15.
http://www.tbs-sct.gc.ca
(diakses
pada
tanggal 21 Agustus 2014)
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (BLU), sebagaimana
diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2012.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara

13
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45