Perkembangan Pers Pada Masa Revolusi Fis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman Revolusi Fisik (1945-1949) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang
dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh
pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi
alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah
Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia
itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk
persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih
adil akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama
kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba
paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang
mengatakan bahwa rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya
merupakan sedikit dasar sejarah.1
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II (1939-1945) membawa pengaruh bagi
perkembangan sosial-politik di Indonesia. Tentara pendudukannya yang otoriter dan
represif tidak lagi berdaya di Indonesia. Pada pertengahan bulan Agustus 1945 keadaan
yang terjadi sedemikian rupa sehingga mengarah ke dislokasi sosial. Kekuatan-kekuatan
bersifat revolusioner dari masyarakat – yang selama ini dibungkam oleh rezim militer –
mencuat ke permukaan dan mengalir laksana air bah yang dahsyat. Arus revolusi, dengan
demikian, telah dimulai dan sepertinya sulit untuk dikendalikan.2 Dalam suasana yang
seperti itulah pers republik bermunculan. Kehadirannya dimaksudkan selain untuk
memberikan penerangan dan koordinasi bagi hasrat besar masyarakat yang ingin bebasmerdeka, juga untuk memahami visi dari para pemimpin bangsa tentang bentuk
kemerdekaan yang dicita-citakan.3
1
2
3
Yahwa, Revolusi Fisik, dalam http://yahwa-ki.blogspot.co.id/2014/02/revolusi-fisik.html, di akses pada
tanggal 18 September 2015 pukul 13.45 WIB. Dalam tulisan aslinya tahun 1945-1950 kemudian oleh
pemakalah diganti menjadi tahun 1945-1949, karena pada umumnya periode Revolusi Fisik adalah tahun
1945-1949.
Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 98, yang dikutip oleh
Andi Suwirta, Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi
Indonesia 1945-1947, Makalah pada Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan
Sejarah di Aula Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah
FPIPS UPI, 2005),
hlm. 1.
Ulrich Kratz, Peranan Pers dalam Revolusi, dalam Collin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api
Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm.49-51, yang dikutip oleh Andi
Page | 1
Pada masa ini pemerintahan Indonesia mengalami goncangan setelah datangnya
kembali Belanda yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. Dalam hal ini,
tentunya masyarakat Indonesia tentunya tidak ingin dijajah kembali oleh bangsa mana pun.
Berangkat dari hal itu, pers-pers Indonesia berusaha untuk menjaga semangat kemerdekaan
Indonesia supaya persatuan Indonesia tidak merasa takut dengan datangnya Belanda yang
ingin menjajah lagi.
Dalam makalah ini, kami berusaha menguraikan mengenai kondisi pemerintahan
Indonesia pada masa revolusi, pers yang ada pada masa revolusi, proses terbentuknya PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar), serta peranan
pers pada masa revolusi. Selain itu, makalah ini akan menjelaskan mengenai
penyalahgunaan pers pada masa revolusi Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi?
2. Bagaimana Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
3. Bagaimana Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS
(Serikat Perusahaan Suratkabar)?
4. Bagaimana Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
5. Bagaimana Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi
Indonesia?
C. Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi.
2. Untuk mengetahui Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
3. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan
SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar).
4. Untuk mengetahui Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
5. Untuk mengetahui Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi
Suwirta, Ibid.,
hlm. 1.
Page | 2
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, mengakhiri
Perang Pasifik dan menamatkan riwayat kekuasaan tentara Jepang di Indonesia yang telah
berlangsung lebih kurang tiga setengah tahun lamanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945
berkumandanglah ke seluruh dunia, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.4
Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang maka
muncullah tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Pada awal tahun 1945, pihak
sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian
pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian tanggung jawab atas Indonesia akan
dipindahkan dari Komando Pasifik barat daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara
Inggris dibawah pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tentu saja belanda ingin sekali
menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang bekerja sama dengan
Jepang.5
Pemerintah Pusat Republik Indonesia segera dibentuk di Jakarta pada akhir agustus
1945. Pemerintah menyetujui konstitusi yang telah di rancang oleh panitia kemerdekaan
Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak angkatan laut Jepang
memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya tidak
akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa
kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan. Soekarno diangkat sebagai
presiden dan hatta sebagai wakil presiden, karena politikus yakin bahwa hanya merekalah
yang dapat berurusan dengan pihak Jepang.6
Tidak adanya ketentraman pada hari-hari sesudah diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh kedatangan tentara pendudukan
sekutu yang diwakili tentara Inggris, yang di dalamnya ikut pula tentara Belanda untuk
maksud dapat menduduki kembali Indonesia secara berangsur-angsur, maka kantor-kantor
Pemerintahan Republik Indonesia yang baru mulai bekerja, berpindah ke Yogyakarta.
Untuk sementara waktu Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia yang berlangsung
sampai akhir tahun 1949 dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia
internasional.7
4
5
6
7
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: PT TRIYINCO, 1977), hlm. 35.
Yahwa, Revolusi Fisik.
Yahwa, Revolusi Fisik.
Kusnadi, Periode Revolusi Fisik Kemerdekaan, dalam http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&cad=rja&uact=8&ved=0CC8QFjAEOApqFQoTCO7a1O6
AhcgCFc3UjgodoTsJRw&url=http%3A%2F%2Farchive.ivaaonline.org%2Ffiles%2Fuploads%2Ftexts
%2F93101%2520periode%2520revolusi%2520fisik
%2520kemerdekaan.pdf&usg=AFQjCNFfXD_2k7t2OoLH9KYh7YrAitEWnQ&sig2=Bq6G0kcA2peVgP
T7BEY70w&bvm=bv.103073922,d.c2E, di akses pada tanggal 19 September 2015 pukul 14.02 WIB.
Page | 3
Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat terasa sekali pada
saat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia yang
mencakup periode 1945-1950 adalah revolusi yang anti kolonial. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi.
Perubahan yang fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial,
yang dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial.
Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan
struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.8
Pergolakan-pergolakan sosial ini sering merupakan suatu proses waktu yang singkat
dengan gerakan radikal yang intensif, misalnya keganasan, penculikan, pembunuhan dan
lain sebagainya. Kadangkala pergolakan sosial itu berjalan dalam proses waktu yang lama.
Dalam konteks Revolusi Indonesia ini, pergolakan-pergolakan sosial ini timbul karena
terjadinya transformasi sosial dan pohtik yang secara mendadak, dan erat dengan nilai-nilai
Revolusi Indonesia, seperti anti kolonialisme, anti feodalisme, patriotisme, nasionalisme,
radikalisme, idealisme, dan heroisme. Revolusi Indonesia adalah revolusi nasional yang
menghasilkan kemerdekaan dan pembentukan bangsa. Oleh sebab itu anti kolonialisme
menjadi suatu kehidunan politik yang menyeluruh bagi bangsa Indonesia.9
B. Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh
Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya,
pihak Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri
untuk memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan langsung
memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Guna melincinkan jalan bagi
kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk
mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan
Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi
bentrokan fisik besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.10
Dengan latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut
berjuang mempertahankan Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada
8
Suyatno, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989),
hlm. 1.
9
John Dunn, Modern Revolutions An Introduction to the A nalysis of Political Phenomenon, (London:
Gambridge University Press, 1972), hlm. 124, yang dikutip oleh Suyatno, Revolusi Nasional Lokal, hlm. 12.
10
Tribuana Said, Sekilah Sejarah Pers Nasional, dalam http://pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilassejarah-pers-nasional, di akses pada tanggal 20 September 2015 pukul 16.25 WIB.
Page | 4
17 Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa
pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan
mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakanpercetakan yang dikuasai Jepang.11
Periode Revolusi Fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah
perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan,
yaitu:
1.
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan
Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2.
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers
Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. pers Republik disuarakan oleh kaum Republik
yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menetang usaha penduduk
Sekutu. Pers benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha
mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di
Indonesia.12
1.
Pers Republik
Kira-kira sebulan setengah setelah proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945),
surat-suratkabar resmi yang semula milik Jepang diambil-alih dan diubah menjadi
surat kabar milik Republik. Pengambilalihan biasanya dilakukan oleh para pemudapelajar yang punya pengalaman di bidang jurnalistik. Begitulah, misalnya, surat kabar
Asia Raya di Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari
di Yogyakarta, dan Soeara Asia di Surabaya, berubah menjadi surat kabar Merdeka (1
Oktober 1945 – sekarang), Soeara Merdeka (September 1945 – Juli 1947), Warta
Indonesia (September 1945 – Nopember 1945), Kedaulatan Rakjat (27 September
1945 – sekarang), dan Soeara Rakjat (Oktober 1945 – Juli 1947).13
11
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Hasan, Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Fisik Indonesia, dalam http://kulpulanmateri.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-pers-pada-masa-revolusi.html, di akses pada tanggal 20
September 2015 pukul 14.35 WIB.
13
Tentang perubahan surat kabar dari Asia Raya ke Merdeka; dan Soeara Asia ke Soeara Rakjat, lihat JR.
Caniago et al., Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka, 1945-1985, (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987),
hlm.23-34, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka., hlm. 2.
12
Page | 5
Surat kabar di kota-kota lain juga bermunculan laksana cendawan di musim hujan.
Hal itu sejalan dengan anjuran pemerintah, selain keinginan dari masyarakat sendiri,
untuk mendirikan suratkabar sebanyak mungkin sebagai manifestasi dari revolusi
Indonesia yang demokratis. Maka di Jakarta, selain surat kabar Merdeka, terbit pula
Berita Indonesia, Ra’jat, dan Negara Baroe; di Bogor ada Gelora Rakjat; di Cirebon
ada Republik dan Genderang; di Magelang ada Penghela Rakjat; di Yogyakarta, selain
Kedaulatan Rakjat, ada Al-Djihad, Boeroeh, dan Nasional; di Surakarta ada Lasjkar,
Soeara Moeda, Menara Islam, dan Perintis; di Madiun ada Api Rakjat; di Mojokerto
ada Bhakti; di Malang ada Berdjoeang, dan sebagainya.14
Di Aceh, Ali Hasjmy, Abdullah Arif dan Amelz menerbitkan Semangat Merdeka
(18 Oktober 1945). Di Medan, Pewarta Deli terbit kembali, kali ini dipimpin
Mohammad Said dan Amarullah Ombak Lubis. Ini terjadi pada bulan September
1945. Kemudian Mimbar Oemoem dengan redaktur Abdul Wahab Siregar,
Mohammad Saleh Umar dan M. Yunan Nasution (bulan November). Di Medan juga
terbit Sinar Deli, Buruh dan Islam Berdjuang. Di Padang terbit Pedoman Kita di
bawah Jusuf Djawab dan Decha, serta Kedualatan Rakjat pimpinan Adinegoro dengan
dibantu Anwar Luthan, T. Sjahril, Zuwir Djamal, Zubir Salam, Sjamsuddin Lubis,
Darwis Abbas, Maisir Thaib, dan lain-lain. Di Palembang terbit Soematra Baroe
dipimpin Nungcik Ar.15
Di Ujung Pandang, waktu itu masih bernama Makassar, terbit harian Soeara
Indonesia di bawah Manai Sophiaan. Di Manado terbit Menara (Desember 1945) atas
prakarsa G.E. Dauhan. Di Ternate, Arnold Mononutu (menteri penerangan 1949,
1951, 1952), menerbitkan mingguan Menara Merdeka (Oktober 1945), dibantu
Hassan Missouri. Di samping surat kabar-surat kabar swasta, pihak pemerintah RI
menerbitkan koran sendiri, seperti Soeloeh Merdeka di Medan (Oktober 1945) yang
diasuh Jahja Jakub dan Arif Lubis, serta Negara Baroe di Jakarta yang dipimpin
Parada Harahap.16
2.
Inggris Mengekang Pers Republik
Sejak pasukan pendudukan Inggris mendarat di Indonesia dengan membawa
satuan-satuan tentara Belanda, pers nasional dan para wartawannya terus menghadapi
14
Wartini Santoso, Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional 1810-1984, (Jakarta: Perpustakaan
Nasional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar
Soeara Merdeka., hlm. 2.
15
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
16
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 6
berbagai macam tindakan kekerasan pihak musuh berhubung karena tulisan-tulisan
dan berita-berita mereka selalu mendukung kepentingan RI. Di Medan, harian Sinar
Deli dipaksa Inggris untuk berhenti terbit. Juga di Medan, Pewarta Deli dipaksa
berhenti pada bulan Maret 1946, sementara A.O. Lubis dan pemimpin percetakan
Syarikat Tapanuli, Rachmat, ditahan selama tiga minggu. Begitu pula, Wahab Siregar
dari Mimbar Oemoem ditahan, dan percetakan Soeloeh Merdeka diduduki oleh
pasukan Inggris. Di Padang, percetakan yang menerbitkan Oetoesan Soematra
diledakkan oleh serdadu Inggris. Di Jakarta, kantor Berita Indonesia diserbu serdadu
Belanda sehingga terpaksa pindah percetakan. B.M. Diah dan Herawati Diah dari
harian Merdeka sempat pula meringkuk dalam tahanan Inggris. Di Makassar, Manai
Sophiaan selalu menjadi incaran serdadu Belanda dan terpaksa mengungsi ke Jawa. Di
Bandung, kantor Tjahaja dirusak tentara Jepang dan sejumlah wartawannya disekap.
Di antara wartawan-wartawan Republik yang pernah ditangkap Belanda adalah Sajuti
Melik, Wonohito, P. Wardojo, Sudarso Warsokusumo, Anwar Tjokroaminoto, Siauw
Giok Tjan, Tabrani dan Adam Malik.17
Akibat pendudukan pasukan Sekutu dan aksi teror serdadu Belanda di Jakarta,
pemerintah Republik memutuskan pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sejak
itu, perjuangan pers nasional terbagi antara mereka yang beroperasi di wilayah
kekuasaan efektif Republik dan mereka yang terus bertahan di daerah pendudukan
Sekutu/ Belanda yang rawan. Pers Republik yang melaksanakan misi perjuangan di
kota-kota yang diduduki musuh, selain yang sudah disebut di atas dan masih terbit,
adalah sebagai berikut:
Di Jakarta tercatat Sumber, Pemandangan dan Pedoman. Di Medan, Waspada
(terbit mulai Januari 1947). Di Padang, Tjahaja Padang. Di Bukit Tinggi, Detik. Di
Palembang, Obor Rakjat (eks Soematra Baroe) yang terbit 1 Juli 1946. Fikiran Rakjat,
Soeara Rakjat (eks Obor Rakjat). Di Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa
Barat, Gelora Rakjat, Neratja, Perdjoangan, Sinar Priangan, Perdjoangan Rakjat,
Toedjoean
Rakjat dan Patjoel. Di Semarang, Warta Indonesia. Di Makassar,
Pedoman, Proletar dan beberapa mingguan serta berkala. Di Minahasa, Soeara
Pemoeda. Beberapa koran Republik, seperti Merah Poetih pimpinan Abdul Azis,
melakukan gerilya setelah mengungsi dari Surabaya dan pindah ke Modjokerto.
Merah Poetih kemudian terpecah tiga: satu terbit di Modjokerto, satu di Kediri dan
17
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 7
satu lagi di Malang. Di Malang selatan terbit Siaran Daerah atas upaya Sunarjo
Prawiroadinoto. Di Sumatera tengah terbit Menara Rakjat di bawah pimpinan Sutan
Usman Karim (Suska). Di sekitar Yogyakarta, Sumantoro dan adiknya Sugijono dan
Muljono menerbitkan Gerilja Rakjat dan Berita Gerilja. Di Maluku sendiri kemudian
terbit Soeara Rakjat Maloekoe dan Siwa Lima.18
3. Pers Belanda
Perkembangan pers Republik yang secara teguh menyokong kemerdekaan
Indonesia telah memaksa Belanda untuk menerbitkan pula medianya sendiri sebagai
tandingan. Kantor berita Aneta, yang sudah ada sejak masa kolonial, diterbitkan
kembali. Di masa lalu, Aneta terkenal dengan pola pemberitaan yang merugikan
perjuangan kemerdekaan. Karena pengalaman ini, Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), dewan perwakilan republik waktu itu, pernah mengeluarkan keputusan hanya
mengakui Antara sebagai satu-satunya kantor berita nasional Indonesia.19
Salah satu basis penerbitan pers Belanda adalah Makassar. Dari kota ini surat
kabar-surat kabar pendukung Belanda diedarkan ke daerah Indonesia Timur. Ada pun
koran-koran pro Belanda yang pernah terbit di Makassar waktu itu adalah Oost
Indonesie Bode (kemudian berganti nama menjadi Makassarse Courant), Negara
Baroe (kemudian bernama Indonesia Timoer) dan Noesantara. Koran-koran Belanda
lainnya adalah Het Midden (Semarang), De Courant (Bandung), De Lokomotief
(Semarang), Het Dagblad voor Soematra (Medan), Java Bode, Het Nieuws van de
Dag dan De Nieuwsgiers (Jakarta). Sebagian surat kabar-surat kabar Belanda tersebut
dapat tetap terbit sampai dilarang oleh pemerintah Indonesia menjelang kampanye
menentang penjajahan Belanda atas Irian Jaya (waktu itu disebut Irian Barat) pada
tahun 1958.20
Terbitnya surat kabar-surat kabar Belanda tersebut, bahkan tindakan-tindakan
pengekangan militer Inggris dan Belanda sekali pun, tidak berhasil membendung pers
nasional untuk terus menyiarkan berita tulisan perlawanan terhadap kolonialisme dan
menentang siasat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Pers Republik
mendukung upaya diplomasi internasional atas dasar kemerdekaan penuh, baik
menghadapi Persetujuan Linggarjati (15 November 1946) maupun Persetujuan
Renville (17 Januari 1948), apa lagi terbukti pihak Belanda sendiri telah menginjak18
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
20
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
19
Page | 8
injak persetujuan tersebut dengan melancarkan Agresi Militer pertamanya pada bulan
Juli 1947 dan Agresi Militer kedua pada bulan Desember 1948.21
Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers
Republik secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung
Belanda, seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947),
Negara Madura (1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948),
Negara Djawa Timur (1948) dan lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia
memberontak terhadap pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan
tersebut. Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari
perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja
Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda
atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka
menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional yang melandasi berdirinya
Republik Indonesia.22
C. Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat
Perusahaan Suratkabar)
Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai
patriot bangsa
bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang
berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan bahkan
menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas
pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis
politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan
rakyat terhadap penjajahan, Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu
mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran
ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan
peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam
upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.23
Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana
yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan
21
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
23
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
22
Page | 9
mempertahankan
Republik
Indonesia
dari
ancaman
kembalinya
penjajahan,
melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat
patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa dan negara.
Bahkan dengan kelahiran PWI, wartawan Indonesia menjadi semakin teguh dalam
menampilkan dirinya sebagai ujung tombak perjuangan nasional menentang kembalinya
kolonialisme dan dalam menggagalkan negara-negara noneka yang hendak meruntuhkan
Republik Indonesia.24
Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari
sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi
fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat
perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946
tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional,
untuk mengikrarkan berdirinya
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu
bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan
dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing
masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.25
Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat
bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari
1946. Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai
“kembar siam”. Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari
itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang beragam
wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan
pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:
1. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indones dengan nama Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris
Sudarjo Tjokrosisworo.
2. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan:
a. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
b. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
c. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
d. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
e. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
24
25
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 10
f. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
g. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
h. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).
Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas
mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha
mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan
harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisasisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat
perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional,
untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”26
Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha” yang dibentuk oleh
Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian
komisi bertemu lagi di kota itu bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang
Komite Nasional Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946.
Komisi bersidang dan membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya
sepakat perlunya segera membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan
pengusaha surat kabar, waktu itu disebut Serikat Perusahaan Suratkabar.27
D. Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
1.
Pers Republik sebagai Pers Perjuangan
Pada masa revolusi Indonesia, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers
Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan
kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang
diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember
1945, kondisi pers Republik Indonesia semakin kuat, yang ditandai oleh mulai
beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free
Indonesia.28
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan
kita dicetuskan, dengan sendirinya adalah parallel dengan perjuangan rakyat Indonesia
26
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
28
Hassan Gunawan, Pengertian dan Sejarah Pers, dalam
http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-dan-sejarah-pers.html, di akses pada
tanggal 20 September 2015 pukul 16.02 WIB.
27
Page | 11
dalam mendirikan dan memperkuat Republik Indonesia yang baru lahir ini, sebagai
tanggung jawab yang harus dipikul dengan adanya proklamasi itu. Malahan di antara
wartawan kita, tidak sedikit jumlahnya yang langsung turut serta dalam usaha-usaha
proklamasi dan penggalangann persatuan rakyat guna menghadapi usaha-usaha kaum
penjajah yang ingin kembali ke Indonesia. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap
Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan kita.29
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
dengan meletusnya revolusi bangsa Indonesia, sangat mencemaskan tentara
pendudukan Jepang yang ketika itu masih berada di Indonesia dan masih memiliki
segala alat kemiliteran dengan serba lengkap. Pimpinan tentara/ pemerintahan Jepang
yang telah kehabisan semangat dan hanya mengharapkan lekas tibanya tentara
pendudukan Sekutu yang akan menggantikan tugas mereka di Indonesia, mengambil
tindakan-tindakan untuk memadamkan revolusi bangsa Indonesia yang sedang
menggelora itu.30
Rakyat Indonesia, termasuk para wartawan serta pegawai-pegawai perusahaanperusahaan pers tentunya tidak tinggal diam menghadapi tindakan-tindakan Jepang
yang ingin mengambil muka Sekutu itu, mengadakan perlawanan. Perebutanperebutan kekuasaan dilakukan di mana-mana oleh bangsa Indonesia dari tangan
Jepang, juga para wartawan kita dan pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan surat
kabar tidak ketinggalan melakukan perebutan kekuasaan dari Jepang, termasuk alatalat percetakan. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, perebutan
kekuasaan dalam segala bidang dari pihak Jepang sangat menegangkan suasana, apalgi
dengan adanya tantangan-tantangan dari pihak Jepang serta orang-orang Belanda,
Inggris dan lain sebagainya yang baru dibebaskan dari perkumpulan tawanan dan
menganggap sepi Republik Indonesia.31
2.
Pers Republik berusaha menandingi Pers Belanda
Tindakan-tindakan tentara Jepang yang menganggap sepi Republik Indonesia
yang baru lahir dan bermaksud hendak melumpuhkan semangat perlawanan rakyat
Indonesia, dilakukan juga dengan menggunakan alat-alat propagandanya seperti surat
kabar “Berita Gunseikanbu” dinyatakan, bahwa pemerintahan serta Negara Republik
Indonesia adalah tidak syah dan bahwa tentara Jepang masih tetap menjalankan
29
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 35.
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 36.
31
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 36.
30
Page | 12
kekuasaan di Indonesia sampai datangnya tentara Sekutu, dijawab dengan tindakantindakan merebut kedudukan militer Jepang yang telah bangkrut itu. Karena para
pejuang kita, termasuk juga para wartawan kita, mengetahui kegunaan surat kabar
sebagai alat pembangkit semangat dan jiwa kepahlawanan, maka untuk menandingi
Berita Gunseikanbu tersebut di atas, diterbitkan surat kabar Berita Indonesia di
Jakarta, yang dapat dianggap sebagai pelopor dari Koran-koran Republik. Berita
Indonesia ini terbit dengan jumlah 5000 lembar dan setiap hari rakyat berebut-rebut
untuk membacanya. Demikianlah peranan pers kita di Jakarta pada saat-saat sesudah
proklamasi Kemerdekaan diumumkan. Setelah kedudukan Jepang diganti oleh tentara
Sekutu yang didalamnya ada kepentingan Belanda yang ingin menjajah kembali,
bertambah pentinglah fungsi surat-surat kabar Republik yang berada di daerah-daerah
pendudukan Sekutu/ Belanda, seperti antara lain di Jakarta, Medan, Bandung,
Semarang, Surabaya, dan lain-lain tempat, karena selain membawa suara Republik,
juga
merupakan
lawan
dari
Koran-koran
yang
diterbitkan
oleh
Regeeringsvoorlichtingsdienst Belanda (Jawatan Penerangan Belanda).32
3.
Pers Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.
Peranan lain pers pada masa revolusi Indonesia adalah untuk mengekspresikan
pendirian, sikap dan pandangan. Semangat yang meluap dari rakyat untuk meraih dan
mempertahankan kemerdekaan, radikalisme sebagian besar pemuda untuk merebut
senjata dari Jepang, dan pertempuran melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICABelanda di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, mejadi
berita utama dan disorot dengan tajam oleh surat kabar pada waktu itu. Identifikasi
pers sebagai pembawa suara dan aspirasi rakyat, nampak dari pemilihan nama penjaga
kolom catatan pojok yang populer pada masing-masing surat kabar. Misalnya, “Mas
Kloboth” atau “Dr. Clenic” (Merdeka), “Mas Semprot” atau “Semar” (Kedaulatan
Rakjat), “Bang Djeboel” (Berita Indonesia), “Bang Bedjad” (Al-Djihad), “Fikiran
Rakjat” (Warta Indonesia), “Podjok Kiri” (Genderang), “Soedoet Tikam” (Api Rakjat),
dan sebagainya.33
Aneka karikatur, walaupun tidak banyak, untuk menyindir atau mendiskreditkan
pihak lawan, terutama tentara Inggris dan Belanda disajikan dengan cara telanjang dan
terus terang. Sedangkan slogan, motto, atau kata-kata mutiara untuk membangkitkan
semangat rakyat, sebagai renungan, dan arah perjuangan, ditempatkan pada bagian
32
33
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 36-37.
Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2.
Page | 13
muka sudut kanan atau kiri suratkabar. Semuanya itu menunjukkan bahwa pers
memiliki peranan yang tidak kecil sebagai “pengawal pendapat umum” selama
revolusi Indonesia berlangsung.34 Perkembangan pers kita selama revolusi fisik di
daerah-daerah adalah sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia yang sedang
mempertahankan daerah-daerah Republik terhadap usaha-usaha kaum penjajah yang
ingin dapat berkuasa kembali.35
Peranan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, yaitu:
a.
Surat Kabar Merdeka di Jakarta
Surat kabar Merdeka pertama kali terbit pada tanggal 1 Oktober 1945.
Kelahiran surat kabar ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran B.M.
Diah dan kawan-kawannya, yang pada akhir bulan September 1945 mengambil
alih kantor surat kabar Asia Raya dan menduduki gedung percetakan De Unie di
Jalan Molenvliet No. 8 (sekarang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta), tempat surat
kabar milik Jepang itu diterbitkan.36 Terbit setiap hari dengan dua lembar atau
bahkan satu lembar, dengan demikian hanya empat atau dua halaman, Merdeka
menyatakan dirinya sebagai pers yang berjiwa republik. Dalam edisi perdananya,
sebagaimana nampak dalam tulisan “Permoelaan Kata”, Merdeka menyatakan
akan mendukung pemerintah Republik Indonesia di satu sisi, dan membangkitkan
semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan RI di sisi lain.37
Sikapnya itu semakin dipertegas dengan menetapkan motto yang populer bagi
Merdeka, yaitu sebagai: “Soeara Rakjat Repoblik Indonesia”. Walaupun begitu
bukan berarti surat kabar ini akan membeo saja kepada kemauan dan kepentingan
politik pemerintah. Sebagaimana akan diperlihatkan nanti, Merdeka ternyata
memiliki kebebasan yang besar dalam mengekspresikan visi, sikap, dan pendirian
para redaktur persnya. Hal itu nampaknya sejalan dengan motto lain yang
ditetapkan oleh surat kabar ini, yaitu: “Merdeka berfikir, merdeka berbitjara, dan
merdeka menoelis itoe hanja ada pada ra’jat merdeka”.38
b.
Surat Kabar Soeara Merdeka di Bandung
34
Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2-3.
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 38.
36
JR. Chainago et al., Sejarah: Perjuangan Merdeka., hlm. 12, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers,
Revolusi, dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi
Indonesia, 1945-1947, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2002), hlm. 5.
37
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 5-6.
38
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 6.
35
Page | 14
Surat kabar Soeara Merdeka terbit pada bulan September 1945. Surat kabar
ini terbit di atas reruntuhan surat kabar Tjahaja milik Jepang. Dalam hal ini peran
yang dimainkan oleh Boerhanoeddin Ananda dan Mohamad Koerdi dalam
mengambil alih kantor surat kabar Tjahaja dan kemudian merubahnya menjadi
Soeara Merdeka menjadi penting, sebab kedua orang itulah yang kemudian
menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya. Terbit setiap hari dengan 4
halaman, Soeara Merdeka pada mulanya beralamatkan di Jalan Groot PostwegOost 54-56 (sekarang Jalan Asia Afrika), Bandung. Namun ketika terjadi bencana
banjir pada bulan Nopember 1945, akibat meluapnya sungai Cikapundung, dan
desakan tentara Sekutu agar kota Bandung dikosongkan dari para pemuda yang
berjiwa republiken, Soeara Merdeka pun pindah ke daerah pedalaman dan
beralamatkan di Jalan Galunggung 46, Tasikmalaya. Baik ketika masih di
Bandung maupun di Tasikmalaya, visi dan jati diri Soeara Merdeka sebagai pers
yang ingin menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia di satu sisi, dan membela
kepentingan politik negara RI di sisi lain tetap tidak berubah.39
Sebagai pers Republik yang terbit di Bandung dan pada bulan Oktober 1945
tentara Sekutu (Inggris dan Belanda) sudah menduduki kota itu, Soeara Merdeka
sangat yakin dengan perlunya politik diplomasi dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia di satu sisi, dan perlunya masyarakat bertindak
tenang, teratur, rasional, dan taat kepada pemerintah RI di sisi lain. Bahkan ketika
berbagai pihak, termasuk pers, melibatkan diri dalam pro-kontra di sekitar
Perundingan Linggarjati pada bulan Nopember 1946-Maret 1947, Soeara
Merdeka termasuk pers yang tetap konsisten dengan visi dan artikulasinya bahwa
persatuan dan kesatuan bangsa itu penting, serta perlunya berpikir dingin, tenang,
dan rasional dalam mensikapi berbagai keadaan. Walaupun begitu bukan berarti
surat kabar ini tidak punya daya kritis sama sekali. Sikap kritis Soeara Merdeka
yang disampaikan dengan cara-cara yang halus, sopan, ksatria, dan rasional itu
tetap ada seperti nampak dalam catatan-catatan pojoknya. Bahkan kritik-kritik
yang lebih canggih, dengan nada sinis dan sarkastis, disampaikan lewat sajian
cerpen (cerita pendek) kontekstual yang sering ditulis oleh M.O. Koesman,
dengan inisial M.O.Km., seorang penulis lepas bekas wartawan Sipatahoenan
pada zaman Belanda.40
39
40
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 10.
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 12-13.
Page | 15
c.
Surat Kabar Warta Indonesia di Semarang
Kalau ada pers yang usianya sangat singkat pada masa revolusi, barangkali
itulah yang terjadi dengan surat kabar Warta Indonesia di Semarang. Mulai terbit
pada tanggal 29 September 1945, Warta Indonesia merupakan perwujudan baru
dari surat kabar Sinar Baroe yang semula milik pemerintah pendudukan Jepang.
Sejak awal berdirinya, surat kabar yang beralamatkan di Jalan Purwodinatan
Tengah No. 22-24-26 Semarang itu sudah berjiwa republik dan bahkan sangat
berpihak pada kepentingan politik pemerintah Republik Indonesia. Hal itu bisa
dilihat dari tujuan diterbitkannya Warta Indonesia, yaitu: “[...] oentoek
membantoe oesaha K.N.I. choesoesnja, serta segenap oesaha bangsa Indonesia
oemoemnja, jang bersifat membangoen (constuctief) jang bermanfaat bagi
langsoengnja Repoeblik Indonesia.”41 Dan ketika KNI (Komite Nasional
Indonesia) menjadi parlemen sementara dan didominasi oleh orang-orang
Sosialisnya Sutan Sjahrir, Warta Indonesia termasuk pers yang mendukung
politik diplomasi pemerintah Syahrir.42
Namun ketika pertempuran antara pihak Sekutu dengan para pemuda
Indonesia melanda Semarang dan kota-kota penting lainnya di Jawa pada bulan
Oktober 1945, sikap Warta Indonesia mulai keras. Slogan-slogan bombastis
dengan maksud untuk membangkitkan semangat perlawanan pemuda, menghiasi
halaman-halaman pertama surat kabar ini seperti: “Sak Doemoek Batoek Sak
Njatji Boemi, Wedjangan leloehoer jang pantas dipeloek oleh 70.000.000
ketoeroenannja”.43 Begitu juga ketika terjadi pertempuran 10 Nopember 1945 di
Surabaya yang hebat itu, Warta Indonesia mengeluarkan “fatwa jihad” yang
khusus ditulis oleh K.H. Moenawar Cholil, ulama terkenal di Semarang, yang
menyatakan bahwa barang siapa yang mati mempertahankan kemerdekaan tanah
airnya maka ia “termasoek mati sjahid djoega”.44
d.
Surat Kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta
Jika Warta Indonesia di Semarang termasuk pers yang singkat usianya, maka
Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta termasuk pers yang panjang usianya. Terbit di
41
Warta Indonesia, (Semarang: 29 September 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi
dan Demokratisasi., hlm. 16.
42
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 16.
43
Warta Indonesia, (Semarang: 29 Oktober 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi
dan Demokratisasi., hlm. 16.
44
Warta Indonesia, (Semarang: 10 Nopember 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi
dan Demokratisasi., hlm. 17.
Page | 16
daerah pedalaman, Yogyakarta, yang juga menjadi ibukota negara RI sejak tahun
1946, Kedaulatan Rakjat seperti tidak terganggu oleh kehadiran tentara Sekutu
yang mulai berdatangan dan menduduki kota-kota penting lainnya di Jawa.
Setidaknya sampai bulan Desember 1948, ketika Belanda melakukan Agresi
Militer II dengan menduduki kota Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat terus terbit.
Namun dalam usia penerbitannya yang panjang selama revolusi itu, surat kabar ini
mengalami dinamika internal yang menarik untuk dicermati, terutama yang
menyangkut perubahan visi dan jati dirinya dari pers yang sangat kritis dan vokal
pada masa awal revolusi menjadi pers yang akomodatif dalam perkembangan
selanjutnya.45
Pada masa awal revolusi, Kedaulatan Rakjat termasuk pers yang paling
bersemangat dalam membela eksistensi kemerdekaan RI di satu sisi, serta
menyerang pihak Belanda dan mereka yang mau menegasikan kemerdekaan
Indonesia di sisi lain. Surat kabar ini juga termasuk yang menentang keras dan
bersikap sangat kritis kepada pemerintah Sjahrir ketika akan melakukan politik
diplomasi dengan pihak Belanda. Dalam pandangan Kedaulatan Rakjat, politik
diplomasi itu bukan saja tidak epektif tetapi juga tidak jantan dan tidak berani
bertempur di tengah-tengah gelombang revolusi yang hebat itu. Untuk
menunjukkan ketidaksetujuannya pada politik diplomasi, Bramono, Pemimpin
Umum Kedaulatan Rakjat, membuat sumpah bahwa dirinya akan berjuang ke
medan pertempuran dan tidak akan kembali lagi ke meja redaksi sebelum revolusi
Indonesia ini selesai. Pernyataan sumpah yang dilakukan Bramono pada masa
revolusi itu memang bukanlah hal yang aneh. Para pemuda lain yang berjiwa
revolusioner – apakah untuk main-main atau serius – sering juga berkata seperti:
“Saya bersumpah tidak akan menikah, atau saya berjanji tidak akan pulang ke
rumah, atau saya bersumpah tidak akan mencukur rambut saya, dan sebagaiya,
sebelum perjuangan dalam revolusi ini selesai”.46
e.
Surat Kabar Soeara Rakjat di Surabaya
Kisah surat kabar Soeara Rakjat di Surabaya barangkali bisa disejajarkan
dengan Soeara Merdeka di Bandung. Sama-sama terbit di daerah pendudukan
tentara Sekutu, yang menguasai kota Bandung dan Surabaya sejak bulan Oktober
1945, kedua surat kabar itu harus “hijrah” ke daerah pedalaman yang relatif lebih
45
46
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 18.
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 20.
Page | 17
aman. Kalau Soeara Merdeka, sebagaimana telah dijelaskan di muka, harus
pindah dari Bandung ke Tasikmalaya; maka Soeara Rakjat harus pindah dari
Surabaya ke Malang, Mojokerto, dan Kediri. Akhir perjalanan hidup kedua surat
kabar itu juga sama. Ketika Belanda melakukan tindakan Agresi Militer I pada
tanggal 21 Juli 1947 dan menduduki kota-kota penting di Jawa, termasuk kota
tempat penerbitan Soeara Merdeka dan Soeara Rakjat, maka kedua surat kabar itu
dibredel oleh Belanda dengan alasan yang sama pula: “menghasut dan
menimbulkan permusuhan kepada Belanda”. Dalam tulisan ini akan dibahas
Soeara Rakjat yang pernah terbit di Surabaya dan di Malang saja, dengan alasan
data-datanya cukup lengkap bila dibandingkan dengan Soeara Rakjat yang terbit
di Mojokerto dan Kediri.47
Sebagaimana Soeara Merdeka di Bandung, Soeara Rakjat juga tergolong pers
yang moderat. Betapapun berada di jantung daerah pertempuran yang dahsyat
pada akhir bulan Oktober dan awal bulan Nopember 1945, Soeara Rakjat tetap
berpandangan bahwa masyarakat hendaknya tetap tenang, bertindak rasional,
penuh perhitungan, dan taat pada pimpinan nasional. Surat kabar ini, dengan
demikian, jelas sangat mendukung langkah-langkah politik yang sedang ditempuh
oleh pemerintah, yaitu politik diplomasi untuk mendapatkan pengakuan dari dunia
internasional terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.48 Catatan pojok yang
ditulis “Beta” (nama samaran Abdoel Azis, Pemimpin Redaksi Soeara Rakjat),
ketika menanggapi sebagian keinginan sebagian besar “arek-arek” Surabaya untuk
bertindak tegas dan berperang melawan tentara Sekutu, misalnya, juga
menunjukkan sikap surat kabar itu yang tenang dan rasional.49
Memang untuk menunjukkan betapa hebat perjuangan dan pengorbanan yang
telah diberikan oleh “arek-arek” Surabaya itu, Soeara Rakjat juga memberikan
pujian, penghormatan melalui slogan-slogan yang bombastis seperti: “Darah,
darah, darah Indonesia telah mengalir di Soerabaja ... oentoek kemerdekaan
Indonesia, oentoek Repoeblik jang berkedaulatan Rakjat !!!”.50 Namun kembali
47
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 27.
Soeara Rakjat (Surabaya) seperti: “Hatta lawan Van Mook” (23 Oktober 1945); dan “Haloean Politik
Pemerintah” (3 Nopember 1945), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm.
28-29.
49
Soeara Rakjat (Surabaya: 22 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi, hlm. 29.
50
Soeara Rakjat (Surabaya: 4 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirtta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi, hlm. 29.
48
Page | 18
lagi, betapapun suasananya tegang, cemas, kalut, dan kacau akibat pertempuran,
surat kabar ini tetap memberikan bumbu-bumbu humor yang menggelitik dan
segar. Melalui catatan-catatan pojoknya, “Beta” berhasil menggambarkan suasana
revolusi secara hidup, terutama ketika menyinggung semangat tempur “arek-arek”
Surabaya yang hebat itu. “... Wah hebat. Saking hebatnja, orangnja masih digaris
belakang, semangatnja soedah mentjolot lari ke garis depan, hingga jang
bertempoer kelihatan hanja semangat melawan miteralioer.”51 Begitu juga ketika
kelompok oposisi pada awal tahun 1946 mendesak pemerintah Sjahrir untuk
merubah haluan politiknya dari “beroending” menjadi “bertempoer”, Soeara
Rakjat termasuk pers yang mengajak para pembacanya untuk bersikap tenang,
rasional, dan penuh perhitungan.52
E. Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Sebenarnya dalam periode revolusi fisik inilah, mulai timbul gejala-gejala, bahwa pers
kita sedang beralih ke cara-cara yang biasanya ditempuh oleh pers dalam alam demokrasi
liberal. Hal ini adalah wajar, karena ketika pemerintah mengeluarkan maklumat yang
terkenal dengan maklumat pemerintah bulan Nopember 1945, maka tumbuhlah laksana
cendawan di musim hujan partai-partai politik, yang dengan sendirinya berusaha
mempengaruhi pers atau berusaha memiliki surat-surat kabar yang dapat menjadi alat
partai-partai tersebut.53
Timbulnya partai-partai politik di masa revolusi fisik adalah laksana cendawan di
musim hujan dan dengan sendirinya karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula
banyak pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas tergambar dalam
surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang saling bertentangan. Di
Surakarta misalnya, Lasjkar yang non partai disapu habis oleh harian-harian yang
dikendalikan oleh partai-partai yang menentang pendapat atau politik yang dikemukakan
oleh harian Lasjkar, seperti antara lain harian-harian Pacific, Murba dan Guntur dari
golongan partai Gerakan Revolusi Rakyat yang juga merupakan lawan harian-harian sayap
kiri yaitu Bekerja dan Bangun. Di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia,
selain harian-harian Nasional dan Kedaulatan Rakyat yang telah terbit sejak tahun 1946,
51
Soeara Rakjat (Surabaya: 6 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 29-30.
52
Soeara Rakjat (Malang: 24 April 1946), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 30.
53
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 40.
Page | 19
menjelang tahun 1948, terbit harian-harian Massa dari Tan Malaka dan Suara Ibukota dari
golongan Sayap Kiri, di samping harian Suara Ummat dari Masyumi, yang saling
bertentangan pula.54
Sengaja diambil kota Solo dan Yogyakarta, karena justru di kedua kota dan sekitarnya
inilah pertentangan-pertentangan antara partai-partai dan persnya nampak jelas sekali.
Malahan pertentangan-pertentangan ini akhirnya sampai menimbulkan peristiwa Madiun
yang menyedihkan itu. Pertentangan politik yang menghebat di kedua tempat tersebut di
atas dan sekitarnya, dengan jelas dapat kita saksikan pada isi sebagian besar pers
Indonesia, yang jika pada mulanya mejadi penggerak dan motor revolusi, tetapi kemudian
menjadi pula pelopor dalam pertentangan-pertentangan antara partai-partai. Malahan
pertentangan antara pers di masa ini bukan saja terbatas dalam tulisan-tulisan saja, tetapi
sampai kepada mengadu kekuatan fisik dengan daulat mendaulat percetakan. Sebagai
contoh dapat dikemukakan peristiwa perebutan percetakan antara harian Murba dan
Bekerja yang masing-masing menggunakan pasukan-pasukan bersenjata dalam bulan
Maret 1948.55
Gejala lain dalam pers kita di masa revolusi fisik ini, ialah menonjolnya ke muka
penyalahgunaan “kemerdekaan pers”, sehingga istilah-istilah yang digunakan, yang
sebenarnya kurang pantas dan sopan, menjadi hal yang biasa digunakan sehari-hari.
Dengan sendirinya pertentangan-pertentangan politik antara partai-partai yang menajam,
mendapat salurannya melalui pers. Dalam usaha mencemarkan atau menjatuhkan lawanlawan politiknya, tidak jarang dimuat oleh harian-harian, dokumen-dokumen yang
membuktikan maksud suatu golongan untuk menjatuhkan pemerintah, dan dengan sendiri
dibalas pula oleh golongan yang diserang, dengan tangkisan-tangkisan yang dimuat dalam
pers yang mereka miliki atau pengaruhi, tentang kepalsuan dokumen-dokumen yang
dimuat oleh lawan mereka.56
54
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 41.
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 41-42.
56
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 42.
55
Page | 20
BAB III
SIMPULAN
Kondisi Indonesia pada masa revolusi mengalami goncangan setelah pada awal
tahun 1945, mulai berdatangan pihak sekutu yang telah memutuskan bahwa pasukanpasukan amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di jepang. Dengan
demikian tanggung jawab atas Indonesia akan dipindahkan dari komando pasifik barat
daya Amerika kepada komando
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman Revolusi Fisik (1945-1949) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang
dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh
pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi
alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah
Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia
itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk
persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih
adil akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama
kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba
paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang
mengatakan bahwa rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya
merupakan sedikit dasar sejarah.1
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II (1939-1945) membawa pengaruh bagi
perkembangan sosial-politik di Indonesia. Tentara pendudukannya yang otoriter dan
represif tidak lagi berdaya di Indonesia. Pada pertengahan bulan Agustus 1945 keadaan
yang terjadi sedemikian rupa sehingga mengarah ke dislokasi sosial. Kekuatan-kekuatan
bersifat revolusioner dari masyarakat – yang selama ini dibungkam oleh rezim militer –
mencuat ke permukaan dan mengalir laksana air bah yang dahsyat. Arus revolusi, dengan
demikian, telah dimulai dan sepertinya sulit untuk dikendalikan.2 Dalam suasana yang
seperti itulah pers republik bermunculan. Kehadirannya dimaksudkan selain untuk
memberikan penerangan dan koordinasi bagi hasrat besar masyarakat yang ingin bebasmerdeka, juga untuk memahami visi dari para pemimpin bangsa tentang bentuk
kemerdekaan yang dicita-citakan.3
1
2
3
Yahwa, Revolusi Fisik, dalam http://yahwa-ki.blogspot.co.id/2014/02/revolusi-fisik.html, di akses pada
tanggal 18 September 2015 pukul 13.45 WIB. Dalam tulisan aslinya tahun 1945-1950 kemudian oleh
pemakalah diganti menjadi tahun 1945-1949, karena pada umumnya periode Revolusi Fisik adalah tahun
1945-1949.
Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 98, yang dikutip oleh
Andi Suwirta, Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi
Indonesia 1945-1947, Makalah pada Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan
Sejarah di Aula Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah
FPIPS UPI, 2005),
hlm. 1.
Ulrich Kratz, Peranan Pers dalam Revolusi, dalam Collin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api
Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm.49-51, yang dikutip oleh Andi
Page | 1
Pada masa ini pemerintahan Indonesia mengalami goncangan setelah datangnya
kembali Belanda yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. Dalam hal ini,
tentunya masyarakat Indonesia tentunya tidak ingin dijajah kembali oleh bangsa mana pun.
Berangkat dari hal itu, pers-pers Indonesia berusaha untuk menjaga semangat kemerdekaan
Indonesia supaya persatuan Indonesia tidak merasa takut dengan datangnya Belanda yang
ingin menjajah lagi.
Dalam makalah ini, kami berusaha menguraikan mengenai kondisi pemerintahan
Indonesia pada masa revolusi, pers yang ada pada masa revolusi, proses terbentuknya PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar), serta peranan
pers pada masa revolusi. Selain itu, makalah ini akan menjelaskan mengenai
penyalahgunaan pers pada masa revolusi Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi?
2. Bagaimana Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
3. Bagaimana Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS
(Serikat Perusahaan Suratkabar)?
4. Bagaimana Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
5. Bagaimana Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi
Indonesia?
C. Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi.
2. Untuk mengetahui Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
3. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan
SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar).
4. Untuk mengetahui Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
5. Untuk mengetahui Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi
Suwirta, Ibid.,
hlm. 1.
Page | 2
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, mengakhiri
Perang Pasifik dan menamatkan riwayat kekuasaan tentara Jepang di Indonesia yang telah
berlangsung lebih kurang tiga setengah tahun lamanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945
berkumandanglah ke seluruh dunia, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.4
Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang maka
muncullah tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Pada awal tahun 1945, pihak
sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian
pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian tanggung jawab atas Indonesia akan
dipindahkan dari Komando Pasifik barat daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara
Inggris dibawah pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tentu saja belanda ingin sekali
menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang bekerja sama dengan
Jepang.5
Pemerintah Pusat Republik Indonesia segera dibentuk di Jakarta pada akhir agustus
1945. Pemerintah menyetujui konstitusi yang telah di rancang oleh panitia kemerdekaan
Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak angkatan laut Jepang
memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya tidak
akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa
kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan. Soekarno diangkat sebagai
presiden dan hatta sebagai wakil presiden, karena politikus yakin bahwa hanya merekalah
yang dapat berurusan dengan pihak Jepang.6
Tidak adanya ketentraman pada hari-hari sesudah diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh kedatangan tentara pendudukan
sekutu yang diwakili tentara Inggris, yang di dalamnya ikut pula tentara Belanda untuk
maksud dapat menduduki kembali Indonesia secara berangsur-angsur, maka kantor-kantor
Pemerintahan Republik Indonesia yang baru mulai bekerja, berpindah ke Yogyakarta.
Untuk sementara waktu Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia yang berlangsung
sampai akhir tahun 1949 dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia
internasional.7
4
5
6
7
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: PT TRIYINCO, 1977), hlm. 35.
Yahwa, Revolusi Fisik.
Yahwa, Revolusi Fisik.
Kusnadi, Periode Revolusi Fisik Kemerdekaan, dalam http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&cad=rja&uact=8&ved=0CC8QFjAEOApqFQoTCO7a1O6
AhcgCFc3UjgodoTsJRw&url=http%3A%2F%2Farchive.ivaaonline.org%2Ffiles%2Fuploads%2Ftexts
%2F93101%2520periode%2520revolusi%2520fisik
%2520kemerdekaan.pdf&usg=AFQjCNFfXD_2k7t2OoLH9KYh7YrAitEWnQ&sig2=Bq6G0kcA2peVgP
T7BEY70w&bvm=bv.103073922,d.c2E, di akses pada tanggal 19 September 2015 pukul 14.02 WIB.
Page | 3
Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat terasa sekali pada
saat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia yang
mencakup periode 1945-1950 adalah revolusi yang anti kolonial. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi.
Perubahan yang fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial,
yang dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial.
Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan
struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.8
Pergolakan-pergolakan sosial ini sering merupakan suatu proses waktu yang singkat
dengan gerakan radikal yang intensif, misalnya keganasan, penculikan, pembunuhan dan
lain sebagainya. Kadangkala pergolakan sosial itu berjalan dalam proses waktu yang lama.
Dalam konteks Revolusi Indonesia ini, pergolakan-pergolakan sosial ini timbul karena
terjadinya transformasi sosial dan pohtik yang secara mendadak, dan erat dengan nilai-nilai
Revolusi Indonesia, seperti anti kolonialisme, anti feodalisme, patriotisme, nasionalisme,
radikalisme, idealisme, dan heroisme. Revolusi Indonesia adalah revolusi nasional yang
menghasilkan kemerdekaan dan pembentukan bangsa. Oleh sebab itu anti kolonialisme
menjadi suatu kehidunan politik yang menyeluruh bagi bangsa Indonesia.9
B. Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh
Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya,
pihak Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri
untuk memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan langsung
memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Guna melincinkan jalan bagi
kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk
mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan
Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi
bentrokan fisik besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.10
Dengan latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut
berjuang mempertahankan Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada
8
Suyatno, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989),
hlm. 1.
9
John Dunn, Modern Revolutions An Introduction to the A nalysis of Political Phenomenon, (London:
Gambridge University Press, 1972), hlm. 124, yang dikutip oleh Suyatno, Revolusi Nasional Lokal, hlm. 12.
10
Tribuana Said, Sekilah Sejarah Pers Nasional, dalam http://pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilassejarah-pers-nasional, di akses pada tanggal 20 September 2015 pukul 16.25 WIB.
Page | 4
17 Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa
pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan
mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakanpercetakan yang dikuasai Jepang.11
Periode Revolusi Fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah
perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan,
yaitu:
1.
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan
Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2.
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers
Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. pers Republik disuarakan oleh kaum Republik
yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menetang usaha penduduk
Sekutu. Pers benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha
mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di
Indonesia.12
1.
Pers Republik
Kira-kira sebulan setengah setelah proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945),
surat-suratkabar resmi yang semula milik Jepang diambil-alih dan diubah menjadi
surat kabar milik Republik. Pengambilalihan biasanya dilakukan oleh para pemudapelajar yang punya pengalaman di bidang jurnalistik. Begitulah, misalnya, surat kabar
Asia Raya di Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari
di Yogyakarta, dan Soeara Asia di Surabaya, berubah menjadi surat kabar Merdeka (1
Oktober 1945 – sekarang), Soeara Merdeka (September 1945 – Juli 1947), Warta
Indonesia (September 1945 – Nopember 1945), Kedaulatan Rakjat (27 September
1945 – sekarang), dan Soeara Rakjat (Oktober 1945 – Juli 1947).13
11
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Hasan, Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Fisik Indonesia, dalam http://kulpulanmateri.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-pers-pada-masa-revolusi.html, di akses pada tanggal 20
September 2015 pukul 14.35 WIB.
13
Tentang perubahan surat kabar dari Asia Raya ke Merdeka; dan Soeara Asia ke Soeara Rakjat, lihat JR.
Caniago et al., Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka, 1945-1985, (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987),
hlm.23-34, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka., hlm. 2.
12
Page | 5
Surat kabar di kota-kota lain juga bermunculan laksana cendawan di musim hujan.
Hal itu sejalan dengan anjuran pemerintah, selain keinginan dari masyarakat sendiri,
untuk mendirikan suratkabar sebanyak mungkin sebagai manifestasi dari revolusi
Indonesia yang demokratis. Maka di Jakarta, selain surat kabar Merdeka, terbit pula
Berita Indonesia, Ra’jat, dan Negara Baroe; di Bogor ada Gelora Rakjat; di Cirebon
ada Republik dan Genderang; di Magelang ada Penghela Rakjat; di Yogyakarta, selain
Kedaulatan Rakjat, ada Al-Djihad, Boeroeh, dan Nasional; di Surakarta ada Lasjkar,
Soeara Moeda, Menara Islam, dan Perintis; di Madiun ada Api Rakjat; di Mojokerto
ada Bhakti; di Malang ada Berdjoeang, dan sebagainya.14
Di Aceh, Ali Hasjmy, Abdullah Arif dan Amelz menerbitkan Semangat Merdeka
(18 Oktober 1945). Di Medan, Pewarta Deli terbit kembali, kali ini dipimpin
Mohammad Said dan Amarullah Ombak Lubis. Ini terjadi pada bulan September
1945. Kemudian Mimbar Oemoem dengan redaktur Abdul Wahab Siregar,
Mohammad Saleh Umar dan M. Yunan Nasution (bulan November). Di Medan juga
terbit Sinar Deli, Buruh dan Islam Berdjuang. Di Padang terbit Pedoman Kita di
bawah Jusuf Djawab dan Decha, serta Kedualatan Rakjat pimpinan Adinegoro dengan
dibantu Anwar Luthan, T. Sjahril, Zuwir Djamal, Zubir Salam, Sjamsuddin Lubis,
Darwis Abbas, Maisir Thaib, dan lain-lain. Di Palembang terbit Soematra Baroe
dipimpin Nungcik Ar.15
Di Ujung Pandang, waktu itu masih bernama Makassar, terbit harian Soeara
Indonesia di bawah Manai Sophiaan. Di Manado terbit Menara (Desember 1945) atas
prakarsa G.E. Dauhan. Di Ternate, Arnold Mononutu (menteri penerangan 1949,
1951, 1952), menerbitkan mingguan Menara Merdeka (Oktober 1945), dibantu
Hassan Missouri. Di samping surat kabar-surat kabar swasta, pihak pemerintah RI
menerbitkan koran sendiri, seperti Soeloeh Merdeka di Medan (Oktober 1945) yang
diasuh Jahja Jakub dan Arif Lubis, serta Negara Baroe di Jakarta yang dipimpin
Parada Harahap.16
2.
Inggris Mengekang Pers Republik
Sejak pasukan pendudukan Inggris mendarat di Indonesia dengan membawa
satuan-satuan tentara Belanda, pers nasional dan para wartawannya terus menghadapi
14
Wartini Santoso, Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional 1810-1984, (Jakarta: Perpustakaan
Nasional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar
Soeara Merdeka., hlm. 2.
15
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
16
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 6
berbagai macam tindakan kekerasan pihak musuh berhubung karena tulisan-tulisan
dan berita-berita mereka selalu mendukung kepentingan RI. Di Medan, harian Sinar
Deli dipaksa Inggris untuk berhenti terbit. Juga di Medan, Pewarta Deli dipaksa
berhenti pada bulan Maret 1946, sementara A.O. Lubis dan pemimpin percetakan
Syarikat Tapanuli, Rachmat, ditahan selama tiga minggu. Begitu pula, Wahab Siregar
dari Mimbar Oemoem ditahan, dan percetakan Soeloeh Merdeka diduduki oleh
pasukan Inggris. Di Padang, percetakan yang menerbitkan Oetoesan Soematra
diledakkan oleh serdadu Inggris. Di Jakarta, kantor Berita Indonesia diserbu serdadu
Belanda sehingga terpaksa pindah percetakan. B.M. Diah dan Herawati Diah dari
harian Merdeka sempat pula meringkuk dalam tahanan Inggris. Di Makassar, Manai
Sophiaan selalu menjadi incaran serdadu Belanda dan terpaksa mengungsi ke Jawa. Di
Bandung, kantor Tjahaja dirusak tentara Jepang dan sejumlah wartawannya disekap.
Di antara wartawan-wartawan Republik yang pernah ditangkap Belanda adalah Sajuti
Melik, Wonohito, P. Wardojo, Sudarso Warsokusumo, Anwar Tjokroaminoto, Siauw
Giok Tjan, Tabrani dan Adam Malik.17
Akibat pendudukan pasukan Sekutu dan aksi teror serdadu Belanda di Jakarta,
pemerintah Republik memutuskan pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sejak
itu, perjuangan pers nasional terbagi antara mereka yang beroperasi di wilayah
kekuasaan efektif Republik dan mereka yang terus bertahan di daerah pendudukan
Sekutu/ Belanda yang rawan. Pers Republik yang melaksanakan misi perjuangan di
kota-kota yang diduduki musuh, selain yang sudah disebut di atas dan masih terbit,
adalah sebagai berikut:
Di Jakarta tercatat Sumber, Pemandangan dan Pedoman. Di Medan, Waspada
(terbit mulai Januari 1947). Di Padang, Tjahaja Padang. Di Bukit Tinggi, Detik. Di
Palembang, Obor Rakjat (eks Soematra Baroe) yang terbit 1 Juli 1946. Fikiran Rakjat,
Soeara Rakjat (eks Obor Rakjat). Di Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa
Barat, Gelora Rakjat, Neratja, Perdjoangan, Sinar Priangan, Perdjoangan Rakjat,
Toedjoean
Rakjat dan Patjoel. Di Semarang, Warta Indonesia. Di Makassar,
Pedoman, Proletar dan beberapa mingguan serta berkala. Di Minahasa, Soeara
Pemoeda. Beberapa koran Republik, seperti Merah Poetih pimpinan Abdul Azis,
melakukan gerilya setelah mengungsi dari Surabaya dan pindah ke Modjokerto.
Merah Poetih kemudian terpecah tiga: satu terbit di Modjokerto, satu di Kediri dan
17
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 7
satu lagi di Malang. Di Malang selatan terbit Siaran Daerah atas upaya Sunarjo
Prawiroadinoto. Di Sumatera tengah terbit Menara Rakjat di bawah pimpinan Sutan
Usman Karim (Suska). Di sekitar Yogyakarta, Sumantoro dan adiknya Sugijono dan
Muljono menerbitkan Gerilja Rakjat dan Berita Gerilja. Di Maluku sendiri kemudian
terbit Soeara Rakjat Maloekoe dan Siwa Lima.18
3. Pers Belanda
Perkembangan pers Republik yang secara teguh menyokong kemerdekaan
Indonesia telah memaksa Belanda untuk menerbitkan pula medianya sendiri sebagai
tandingan. Kantor berita Aneta, yang sudah ada sejak masa kolonial, diterbitkan
kembali. Di masa lalu, Aneta terkenal dengan pola pemberitaan yang merugikan
perjuangan kemerdekaan. Karena pengalaman ini, Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), dewan perwakilan republik waktu itu, pernah mengeluarkan keputusan hanya
mengakui Antara sebagai satu-satunya kantor berita nasional Indonesia.19
Salah satu basis penerbitan pers Belanda adalah Makassar. Dari kota ini surat
kabar-surat kabar pendukung Belanda diedarkan ke daerah Indonesia Timur. Ada pun
koran-koran pro Belanda yang pernah terbit di Makassar waktu itu adalah Oost
Indonesie Bode (kemudian berganti nama menjadi Makassarse Courant), Negara
Baroe (kemudian bernama Indonesia Timoer) dan Noesantara. Koran-koran Belanda
lainnya adalah Het Midden (Semarang), De Courant (Bandung), De Lokomotief
(Semarang), Het Dagblad voor Soematra (Medan), Java Bode, Het Nieuws van de
Dag dan De Nieuwsgiers (Jakarta). Sebagian surat kabar-surat kabar Belanda tersebut
dapat tetap terbit sampai dilarang oleh pemerintah Indonesia menjelang kampanye
menentang penjajahan Belanda atas Irian Jaya (waktu itu disebut Irian Barat) pada
tahun 1958.20
Terbitnya surat kabar-surat kabar Belanda tersebut, bahkan tindakan-tindakan
pengekangan militer Inggris dan Belanda sekali pun, tidak berhasil membendung pers
nasional untuk terus menyiarkan berita tulisan perlawanan terhadap kolonialisme dan
menentang siasat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Pers Republik
mendukung upaya diplomasi internasional atas dasar kemerdekaan penuh, baik
menghadapi Persetujuan Linggarjati (15 November 1946) maupun Persetujuan
Renville (17 Januari 1948), apa lagi terbukti pihak Belanda sendiri telah menginjak18
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
20
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
19
Page | 8
injak persetujuan tersebut dengan melancarkan Agresi Militer pertamanya pada bulan
Juli 1947 dan Agresi Militer kedua pada bulan Desember 1948.21
Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers
Republik secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung
Belanda, seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947),
Negara Madura (1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948),
Negara Djawa Timur (1948) dan lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia
memberontak terhadap pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan
tersebut. Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari
perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja
Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda
atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka
menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional yang melandasi berdirinya
Republik Indonesia.22
C. Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat
Perusahaan Suratkabar)
Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai
patriot bangsa
bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang
berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan bahkan
menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas
pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis
politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan
rakyat terhadap penjajahan, Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu
mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran
ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan
peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam
upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.23
Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana
yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan
21
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
23
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
22
Page | 9
mempertahankan
Republik
Indonesia
dari
ancaman
kembalinya
penjajahan,
melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat
patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa dan negara.
Bahkan dengan kelahiran PWI, wartawan Indonesia menjadi semakin teguh dalam
menampilkan dirinya sebagai ujung tombak perjuangan nasional menentang kembalinya
kolonialisme dan dalam menggagalkan negara-negara noneka yang hendak meruntuhkan
Republik Indonesia.24
Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari
sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi
fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat
perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946
tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional,
untuk mengikrarkan berdirinya
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu
bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan
dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing
masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.25
Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat
bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari
1946. Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai
“kembar siam”. Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari
itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang beragam
wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan
pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:
1. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indones dengan nama Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris
Sudarjo Tjokrosisworo.
2. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan:
a. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
b. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
c. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
d. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
e. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
24
25
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 10
f. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
g. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
h. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).
Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas
mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha
mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan
harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisasisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat
perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional,
untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”26
Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha” yang dibentuk oleh
Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian
komisi bertemu lagi di kota itu bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang
Komite Nasional Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946.
Komisi bersidang dan membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya
sepakat perlunya segera membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan
pengusaha surat kabar, waktu itu disebut Serikat Perusahaan Suratkabar.27
D. Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
1.
Pers Republik sebagai Pers Perjuangan
Pada masa revolusi Indonesia, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers
Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan
kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang
diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember
1945, kondisi pers Republik Indonesia semakin kuat, yang ditandai oleh mulai
beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free
Indonesia.28
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan
kita dicetuskan, dengan sendirinya adalah parallel dengan perjuangan rakyat Indonesia
26
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
28
Hassan Gunawan, Pengertian dan Sejarah Pers, dalam
http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-dan-sejarah-pers.html, di akses pada
tanggal 20 September 2015 pukul 16.02 WIB.
27
Page | 11
dalam mendirikan dan memperkuat Republik Indonesia yang baru lahir ini, sebagai
tanggung jawab yang harus dipikul dengan adanya proklamasi itu. Malahan di antara
wartawan kita, tidak sedikit jumlahnya yang langsung turut serta dalam usaha-usaha
proklamasi dan penggalangann persatuan rakyat guna menghadapi usaha-usaha kaum
penjajah yang ingin kembali ke Indonesia. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap
Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan kita.29
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
dengan meletusnya revolusi bangsa Indonesia, sangat mencemaskan tentara
pendudukan Jepang yang ketika itu masih berada di Indonesia dan masih memiliki
segala alat kemiliteran dengan serba lengkap. Pimpinan tentara/ pemerintahan Jepang
yang telah kehabisan semangat dan hanya mengharapkan lekas tibanya tentara
pendudukan Sekutu yang akan menggantikan tugas mereka di Indonesia, mengambil
tindakan-tindakan untuk memadamkan revolusi bangsa Indonesia yang sedang
menggelora itu.30
Rakyat Indonesia, termasuk para wartawan serta pegawai-pegawai perusahaanperusahaan pers tentunya tidak tinggal diam menghadapi tindakan-tindakan Jepang
yang ingin mengambil muka Sekutu itu, mengadakan perlawanan. Perebutanperebutan kekuasaan dilakukan di mana-mana oleh bangsa Indonesia dari tangan
Jepang, juga para wartawan kita dan pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan surat
kabar tidak ketinggalan melakukan perebutan kekuasaan dari Jepang, termasuk alatalat percetakan. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, perebutan
kekuasaan dalam segala bidang dari pihak Jepang sangat menegangkan suasana, apalgi
dengan adanya tantangan-tantangan dari pihak Jepang serta orang-orang Belanda,
Inggris dan lain sebagainya yang baru dibebaskan dari perkumpulan tawanan dan
menganggap sepi Republik Indonesia.31
2.
Pers Republik berusaha menandingi Pers Belanda
Tindakan-tindakan tentara Jepang yang menganggap sepi Republik Indonesia
yang baru lahir dan bermaksud hendak melumpuhkan semangat perlawanan rakyat
Indonesia, dilakukan juga dengan menggunakan alat-alat propagandanya seperti surat
kabar “Berita Gunseikanbu” dinyatakan, bahwa pemerintahan serta Negara Republik
Indonesia adalah tidak syah dan bahwa tentara Jepang masih tetap menjalankan
29
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 35.
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 36.
31
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 36.
30
Page | 12
kekuasaan di Indonesia sampai datangnya tentara Sekutu, dijawab dengan tindakantindakan merebut kedudukan militer Jepang yang telah bangkrut itu. Karena para
pejuang kita, termasuk juga para wartawan kita, mengetahui kegunaan surat kabar
sebagai alat pembangkit semangat dan jiwa kepahlawanan, maka untuk menandingi
Berita Gunseikanbu tersebut di atas, diterbitkan surat kabar Berita Indonesia di
Jakarta, yang dapat dianggap sebagai pelopor dari Koran-koran Republik. Berita
Indonesia ini terbit dengan jumlah 5000 lembar dan setiap hari rakyat berebut-rebut
untuk membacanya. Demikianlah peranan pers kita di Jakarta pada saat-saat sesudah
proklamasi Kemerdekaan diumumkan. Setelah kedudukan Jepang diganti oleh tentara
Sekutu yang didalamnya ada kepentingan Belanda yang ingin menjajah kembali,
bertambah pentinglah fungsi surat-surat kabar Republik yang berada di daerah-daerah
pendudukan Sekutu/ Belanda, seperti antara lain di Jakarta, Medan, Bandung,
Semarang, Surabaya, dan lain-lain tempat, karena selain membawa suara Republik,
juga
merupakan
lawan
dari
Koran-koran
yang
diterbitkan
oleh
Regeeringsvoorlichtingsdienst Belanda (Jawatan Penerangan Belanda).32
3.
Pers Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.
Peranan lain pers pada masa revolusi Indonesia adalah untuk mengekspresikan
pendirian, sikap dan pandangan. Semangat yang meluap dari rakyat untuk meraih dan
mempertahankan kemerdekaan, radikalisme sebagian besar pemuda untuk merebut
senjata dari Jepang, dan pertempuran melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICABelanda di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, mejadi
berita utama dan disorot dengan tajam oleh surat kabar pada waktu itu. Identifikasi
pers sebagai pembawa suara dan aspirasi rakyat, nampak dari pemilihan nama penjaga
kolom catatan pojok yang populer pada masing-masing surat kabar. Misalnya, “Mas
Kloboth” atau “Dr. Clenic” (Merdeka), “Mas Semprot” atau “Semar” (Kedaulatan
Rakjat), “Bang Djeboel” (Berita Indonesia), “Bang Bedjad” (Al-Djihad), “Fikiran
Rakjat” (Warta Indonesia), “Podjok Kiri” (Genderang), “Soedoet Tikam” (Api Rakjat),
dan sebagainya.33
Aneka karikatur, walaupun tidak banyak, untuk menyindir atau mendiskreditkan
pihak lawan, terutama tentara Inggris dan Belanda disajikan dengan cara telanjang dan
terus terang. Sedangkan slogan, motto, atau kata-kata mutiara untuk membangkitkan
semangat rakyat, sebagai renungan, dan arah perjuangan, ditempatkan pada bagian
32
33
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 36-37.
Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2.
Page | 13
muka sudut kanan atau kiri suratkabar. Semuanya itu menunjukkan bahwa pers
memiliki peranan yang tidak kecil sebagai “pengawal pendapat umum” selama
revolusi Indonesia berlangsung.34 Perkembangan pers kita selama revolusi fisik di
daerah-daerah adalah sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia yang sedang
mempertahankan daerah-daerah Republik terhadap usaha-usaha kaum penjajah yang
ingin dapat berkuasa kembali.35
Peranan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, yaitu:
a.
Surat Kabar Merdeka di Jakarta
Surat kabar Merdeka pertama kali terbit pada tanggal 1 Oktober 1945.
Kelahiran surat kabar ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran B.M.
Diah dan kawan-kawannya, yang pada akhir bulan September 1945 mengambil
alih kantor surat kabar Asia Raya dan menduduki gedung percetakan De Unie di
Jalan Molenvliet No. 8 (sekarang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta), tempat surat
kabar milik Jepang itu diterbitkan.36 Terbit setiap hari dengan dua lembar atau
bahkan satu lembar, dengan demikian hanya empat atau dua halaman, Merdeka
menyatakan dirinya sebagai pers yang berjiwa republik. Dalam edisi perdananya,
sebagaimana nampak dalam tulisan “Permoelaan Kata”, Merdeka menyatakan
akan mendukung pemerintah Republik Indonesia di satu sisi, dan membangkitkan
semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan RI di sisi lain.37
Sikapnya itu semakin dipertegas dengan menetapkan motto yang populer bagi
Merdeka, yaitu sebagai: “Soeara Rakjat Repoblik Indonesia”. Walaupun begitu
bukan berarti surat kabar ini akan membeo saja kepada kemauan dan kepentingan
politik pemerintah. Sebagaimana akan diperlihatkan nanti, Merdeka ternyata
memiliki kebebasan yang besar dalam mengekspresikan visi, sikap, dan pendirian
para redaktur persnya. Hal itu nampaknya sejalan dengan motto lain yang
ditetapkan oleh surat kabar ini, yaitu: “Merdeka berfikir, merdeka berbitjara, dan
merdeka menoelis itoe hanja ada pada ra’jat merdeka”.38
b.
Surat Kabar Soeara Merdeka di Bandung
34
Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2-3.
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 38.
36
JR. Chainago et al., Sejarah: Perjuangan Merdeka., hlm. 12, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers,
Revolusi, dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi
Indonesia, 1945-1947, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2002), hlm. 5.
37
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 5-6.
38
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 6.
35
Page | 14
Surat kabar Soeara Merdeka terbit pada bulan September 1945. Surat kabar
ini terbit di atas reruntuhan surat kabar Tjahaja milik Jepang. Dalam hal ini peran
yang dimainkan oleh Boerhanoeddin Ananda dan Mohamad Koerdi dalam
mengambil alih kantor surat kabar Tjahaja dan kemudian merubahnya menjadi
Soeara Merdeka menjadi penting, sebab kedua orang itulah yang kemudian
menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya. Terbit setiap hari dengan 4
halaman, Soeara Merdeka pada mulanya beralamatkan di Jalan Groot PostwegOost 54-56 (sekarang Jalan Asia Afrika), Bandung. Namun ketika terjadi bencana
banjir pada bulan Nopember 1945, akibat meluapnya sungai Cikapundung, dan
desakan tentara Sekutu agar kota Bandung dikosongkan dari para pemuda yang
berjiwa republiken, Soeara Merdeka pun pindah ke daerah pedalaman dan
beralamatkan di Jalan Galunggung 46, Tasikmalaya. Baik ketika masih di
Bandung maupun di Tasikmalaya, visi dan jati diri Soeara Merdeka sebagai pers
yang ingin menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia di satu sisi, dan membela
kepentingan politik negara RI di sisi lain tetap tidak berubah.39
Sebagai pers Republik yang terbit di Bandung dan pada bulan Oktober 1945
tentara Sekutu (Inggris dan Belanda) sudah menduduki kota itu, Soeara Merdeka
sangat yakin dengan perlunya politik diplomasi dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia di satu sisi, dan perlunya masyarakat bertindak
tenang, teratur, rasional, dan taat kepada pemerintah RI di sisi lain. Bahkan ketika
berbagai pihak, termasuk pers, melibatkan diri dalam pro-kontra di sekitar
Perundingan Linggarjati pada bulan Nopember 1946-Maret 1947, Soeara
Merdeka termasuk pers yang tetap konsisten dengan visi dan artikulasinya bahwa
persatuan dan kesatuan bangsa itu penting, serta perlunya berpikir dingin, tenang,
dan rasional dalam mensikapi berbagai keadaan. Walaupun begitu bukan berarti
surat kabar ini tidak punya daya kritis sama sekali. Sikap kritis Soeara Merdeka
yang disampaikan dengan cara-cara yang halus, sopan, ksatria, dan rasional itu
tetap ada seperti nampak dalam catatan-catatan pojoknya. Bahkan kritik-kritik
yang lebih canggih, dengan nada sinis dan sarkastis, disampaikan lewat sajian
cerpen (cerita pendek) kontekstual yang sering ditulis oleh M.O. Koesman,
dengan inisial M.O.Km., seorang penulis lepas bekas wartawan Sipatahoenan
pada zaman Belanda.40
39
40
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 10.
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 12-13.
Page | 15
c.
Surat Kabar Warta Indonesia di Semarang
Kalau ada pers yang usianya sangat singkat pada masa revolusi, barangkali
itulah yang terjadi dengan surat kabar Warta Indonesia di Semarang. Mulai terbit
pada tanggal 29 September 1945, Warta Indonesia merupakan perwujudan baru
dari surat kabar Sinar Baroe yang semula milik pemerintah pendudukan Jepang.
Sejak awal berdirinya, surat kabar yang beralamatkan di Jalan Purwodinatan
Tengah No. 22-24-26 Semarang itu sudah berjiwa republik dan bahkan sangat
berpihak pada kepentingan politik pemerintah Republik Indonesia. Hal itu bisa
dilihat dari tujuan diterbitkannya Warta Indonesia, yaitu: “[...] oentoek
membantoe oesaha K.N.I. choesoesnja, serta segenap oesaha bangsa Indonesia
oemoemnja, jang bersifat membangoen (constuctief) jang bermanfaat bagi
langsoengnja Repoeblik Indonesia.”41 Dan ketika KNI (Komite Nasional
Indonesia) menjadi parlemen sementara dan didominasi oleh orang-orang
Sosialisnya Sutan Sjahrir, Warta Indonesia termasuk pers yang mendukung
politik diplomasi pemerintah Syahrir.42
Namun ketika pertempuran antara pihak Sekutu dengan para pemuda
Indonesia melanda Semarang dan kota-kota penting lainnya di Jawa pada bulan
Oktober 1945, sikap Warta Indonesia mulai keras. Slogan-slogan bombastis
dengan maksud untuk membangkitkan semangat perlawanan pemuda, menghiasi
halaman-halaman pertama surat kabar ini seperti: “Sak Doemoek Batoek Sak
Njatji Boemi, Wedjangan leloehoer jang pantas dipeloek oleh 70.000.000
ketoeroenannja”.43 Begitu juga ketika terjadi pertempuran 10 Nopember 1945 di
Surabaya yang hebat itu, Warta Indonesia mengeluarkan “fatwa jihad” yang
khusus ditulis oleh K.H. Moenawar Cholil, ulama terkenal di Semarang, yang
menyatakan bahwa barang siapa yang mati mempertahankan kemerdekaan tanah
airnya maka ia “termasoek mati sjahid djoega”.44
d.
Surat Kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta
Jika Warta Indonesia di Semarang termasuk pers yang singkat usianya, maka
Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta termasuk pers yang panjang usianya. Terbit di
41
Warta Indonesia, (Semarang: 29 September 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi
dan Demokratisasi., hlm. 16.
42
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 16.
43
Warta Indonesia, (Semarang: 29 Oktober 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi
dan Demokratisasi., hlm. 16.
44
Warta Indonesia, (Semarang: 10 Nopember 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi
dan Demokratisasi., hlm. 17.
Page | 16
daerah pedalaman, Yogyakarta, yang juga menjadi ibukota negara RI sejak tahun
1946, Kedaulatan Rakjat seperti tidak terganggu oleh kehadiran tentara Sekutu
yang mulai berdatangan dan menduduki kota-kota penting lainnya di Jawa.
Setidaknya sampai bulan Desember 1948, ketika Belanda melakukan Agresi
Militer II dengan menduduki kota Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat terus terbit.
Namun dalam usia penerbitannya yang panjang selama revolusi itu, surat kabar ini
mengalami dinamika internal yang menarik untuk dicermati, terutama yang
menyangkut perubahan visi dan jati dirinya dari pers yang sangat kritis dan vokal
pada masa awal revolusi menjadi pers yang akomodatif dalam perkembangan
selanjutnya.45
Pada masa awal revolusi, Kedaulatan Rakjat termasuk pers yang paling
bersemangat dalam membela eksistensi kemerdekaan RI di satu sisi, serta
menyerang pihak Belanda dan mereka yang mau menegasikan kemerdekaan
Indonesia di sisi lain. Surat kabar ini juga termasuk yang menentang keras dan
bersikap sangat kritis kepada pemerintah Sjahrir ketika akan melakukan politik
diplomasi dengan pihak Belanda. Dalam pandangan Kedaulatan Rakjat, politik
diplomasi itu bukan saja tidak epektif tetapi juga tidak jantan dan tidak berani
bertempur di tengah-tengah gelombang revolusi yang hebat itu. Untuk
menunjukkan ketidaksetujuannya pada politik diplomasi, Bramono, Pemimpin
Umum Kedaulatan Rakjat, membuat sumpah bahwa dirinya akan berjuang ke
medan pertempuran dan tidak akan kembali lagi ke meja redaksi sebelum revolusi
Indonesia ini selesai. Pernyataan sumpah yang dilakukan Bramono pada masa
revolusi itu memang bukanlah hal yang aneh. Para pemuda lain yang berjiwa
revolusioner – apakah untuk main-main atau serius – sering juga berkata seperti:
“Saya bersumpah tidak akan menikah, atau saya berjanji tidak akan pulang ke
rumah, atau saya bersumpah tidak akan mencukur rambut saya, dan sebagaiya,
sebelum perjuangan dalam revolusi ini selesai”.46
e.
Surat Kabar Soeara Rakjat di Surabaya
Kisah surat kabar Soeara Rakjat di Surabaya barangkali bisa disejajarkan
dengan Soeara Merdeka di Bandung. Sama-sama terbit di daerah pendudukan
tentara Sekutu, yang menguasai kota Bandung dan Surabaya sejak bulan Oktober
1945, kedua surat kabar itu harus “hijrah” ke daerah pedalaman yang relatif lebih
45
46
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 18.
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 20.
Page | 17
aman. Kalau Soeara Merdeka, sebagaimana telah dijelaskan di muka, harus
pindah dari Bandung ke Tasikmalaya; maka Soeara Rakjat harus pindah dari
Surabaya ke Malang, Mojokerto, dan Kediri. Akhir perjalanan hidup kedua surat
kabar itu juga sama. Ketika Belanda melakukan tindakan Agresi Militer I pada
tanggal 21 Juli 1947 dan menduduki kota-kota penting di Jawa, termasuk kota
tempat penerbitan Soeara Merdeka dan Soeara Rakjat, maka kedua surat kabar itu
dibredel oleh Belanda dengan alasan yang sama pula: “menghasut dan
menimbulkan permusuhan kepada Belanda”. Dalam tulisan ini akan dibahas
Soeara Rakjat yang pernah terbit di Surabaya dan di Malang saja, dengan alasan
data-datanya cukup lengkap bila dibandingkan dengan Soeara Rakjat yang terbit
di Mojokerto dan Kediri.47
Sebagaimana Soeara Merdeka di Bandung, Soeara Rakjat juga tergolong pers
yang moderat. Betapapun berada di jantung daerah pertempuran yang dahsyat
pada akhir bulan Oktober dan awal bulan Nopember 1945, Soeara Rakjat tetap
berpandangan bahwa masyarakat hendaknya tetap tenang, bertindak rasional,
penuh perhitungan, dan taat pada pimpinan nasional. Surat kabar ini, dengan
demikian, jelas sangat mendukung langkah-langkah politik yang sedang ditempuh
oleh pemerintah, yaitu politik diplomasi untuk mendapatkan pengakuan dari dunia
internasional terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.48 Catatan pojok yang
ditulis “Beta” (nama samaran Abdoel Azis, Pemimpin Redaksi Soeara Rakjat),
ketika menanggapi sebagian keinginan sebagian besar “arek-arek” Surabaya untuk
bertindak tegas dan berperang melawan tentara Sekutu, misalnya, juga
menunjukkan sikap surat kabar itu yang tenang dan rasional.49
Memang untuk menunjukkan betapa hebat perjuangan dan pengorbanan yang
telah diberikan oleh “arek-arek” Surabaya itu, Soeara Rakjat juga memberikan
pujian, penghormatan melalui slogan-slogan yang bombastis seperti: “Darah,
darah, darah Indonesia telah mengalir di Soerabaja ... oentoek kemerdekaan
Indonesia, oentoek Repoeblik jang berkedaulatan Rakjat !!!”.50 Namun kembali
47
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 27.
Soeara Rakjat (Surabaya) seperti: “Hatta lawan Van Mook” (23 Oktober 1945); dan “Haloean Politik
Pemerintah” (3 Nopember 1945), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm.
28-29.
49
Soeara Rakjat (Surabaya: 22 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi, hlm. 29.
50
Soeara Rakjat (Surabaya: 4 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirtta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi, hlm. 29.
48
Page | 18
lagi, betapapun suasananya tegang, cemas, kalut, dan kacau akibat pertempuran,
surat kabar ini tetap memberikan bumbu-bumbu humor yang menggelitik dan
segar. Melalui catatan-catatan pojoknya, “Beta” berhasil menggambarkan suasana
revolusi secara hidup, terutama ketika menyinggung semangat tempur “arek-arek”
Surabaya yang hebat itu. “... Wah hebat. Saking hebatnja, orangnja masih digaris
belakang, semangatnja soedah mentjolot lari ke garis depan, hingga jang
bertempoer kelihatan hanja semangat melawan miteralioer.”51 Begitu juga ketika
kelompok oposisi pada awal tahun 1946 mendesak pemerintah Sjahrir untuk
merubah haluan politiknya dari “beroending” menjadi “bertempoer”, Soeara
Rakjat termasuk pers yang mengajak para pembacanya untuk bersikap tenang,
rasional, dan penuh perhitungan.52
E. Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Sebenarnya dalam periode revolusi fisik inilah, mulai timbul gejala-gejala, bahwa pers
kita sedang beralih ke cara-cara yang biasanya ditempuh oleh pers dalam alam demokrasi
liberal. Hal ini adalah wajar, karena ketika pemerintah mengeluarkan maklumat yang
terkenal dengan maklumat pemerintah bulan Nopember 1945, maka tumbuhlah laksana
cendawan di musim hujan partai-partai politik, yang dengan sendirinya berusaha
mempengaruhi pers atau berusaha memiliki surat-surat kabar yang dapat menjadi alat
partai-partai tersebut.53
Timbulnya partai-partai politik di masa revolusi fisik adalah laksana cendawan di
musim hujan dan dengan sendirinya karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula
banyak pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas tergambar dalam
surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang saling bertentangan. Di
Surakarta misalnya, Lasjkar yang non partai disapu habis oleh harian-harian yang
dikendalikan oleh partai-partai yang menentang pendapat atau politik yang dikemukakan
oleh harian Lasjkar, seperti antara lain harian-harian Pacific, Murba dan Guntur dari
golongan partai Gerakan Revolusi Rakyat yang juga merupakan lawan harian-harian sayap
kiri yaitu Bekerja dan Bangun. Di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia,
selain harian-harian Nasional dan Kedaulatan Rakyat yang telah terbit sejak tahun 1946,
51
Soeara Rakjat (Surabaya: 6 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 29-30.
52
Soeara Rakjat (Malang: 24 April 1946), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 30.
53
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 40.
Page | 19
menjelang tahun 1948, terbit harian-harian Massa dari Tan Malaka dan Suara Ibukota dari
golongan Sayap Kiri, di samping harian Suara Ummat dari Masyumi, yang saling
bertentangan pula.54
Sengaja diambil kota Solo dan Yogyakarta, karena justru di kedua kota dan sekitarnya
inilah pertentangan-pertentangan antara partai-partai dan persnya nampak jelas sekali.
Malahan pertentangan-pertentangan ini akhirnya sampai menimbulkan peristiwa Madiun
yang menyedihkan itu. Pertentangan politik yang menghebat di kedua tempat tersebut di
atas dan sekitarnya, dengan jelas dapat kita saksikan pada isi sebagian besar pers
Indonesia, yang jika pada mulanya mejadi penggerak dan motor revolusi, tetapi kemudian
menjadi pula pelopor dalam pertentangan-pertentangan antara partai-partai. Malahan
pertentangan antara pers di masa ini bukan saja terbatas dalam tulisan-tulisan saja, tetapi
sampai kepada mengadu kekuatan fisik dengan daulat mendaulat percetakan. Sebagai
contoh dapat dikemukakan peristiwa perebutan percetakan antara harian Murba dan
Bekerja yang masing-masing menggunakan pasukan-pasukan bersenjata dalam bulan
Maret 1948.55
Gejala lain dalam pers kita di masa revolusi fisik ini, ialah menonjolnya ke muka
penyalahgunaan “kemerdekaan pers”, sehingga istilah-istilah yang digunakan, yang
sebenarnya kurang pantas dan sopan, menjadi hal yang biasa digunakan sehari-hari.
Dengan sendirinya pertentangan-pertentangan politik antara partai-partai yang menajam,
mendapat salurannya melalui pers. Dalam usaha mencemarkan atau menjatuhkan lawanlawan politiknya, tidak jarang dimuat oleh harian-harian, dokumen-dokumen yang
membuktikan maksud suatu golongan untuk menjatuhkan pemerintah, dan dengan sendiri
dibalas pula oleh golongan yang diserang, dengan tangkisan-tangkisan yang dimuat dalam
pers yang mereka miliki atau pengaruhi, tentang kepalsuan dokumen-dokumen yang
dimuat oleh lawan mereka.56
54
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 41.
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 41-42.
56
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 42.
55
Page | 20
BAB III
SIMPULAN
Kondisi Indonesia pada masa revolusi mengalami goncangan setelah pada awal
tahun 1945, mulai berdatangan pihak sekutu yang telah memutuskan bahwa pasukanpasukan amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di jepang. Dengan
demikian tanggung jawab atas Indonesia akan dipindahkan dari komando pasifik barat
daya Amerika kepada komando