Dinamika Relasi Agen dan Struktur dalam

Dinamika Relasi Agen dan Struktur dalam Persoalan Agraria di Indonesia. Studi pada

Empat Kasus

Oleh: Tantan Hermansah 1 (email: tantan.hermansah@ui.ac.id dan

tantanhermansah@yahoo.com)

ABSTRAK

Dinamika persoalan keagrariaan di Indonesai yang sangat kompleks, telah membuat banyak ahli melihatnya

Dengan melandaskan pada hasil studi di empat tempat, paper ini mencoba memasukkan pendekatan struktural dalam sosiologi untuk memahami dinamika persoalan agraria ini. Manfaat memahami dengan pendekatan ini kita bisa melacak bagaimana perubahan-perubahan struktural terjadi pada setiap titik interaksi antara pihak yang berkepentingan pada pengelolaan sumberdaya agraria ini. Selain itu, pendekatan ini juga bisa mengungkapkan bagaimana dinamika komunitas yang berhubungan dengan sumberdaya agraria ini memberikan pemaknaan baru atas perubahan yang terjadi pada kehidupan sosial mereka.

dari berbagai

perspektif.

Keyword: Agraria. Agen-Struktur. Petani. Komunitas.

A. Latar Belakang Kompleksitas persoalan agraria di Indonesia selalu menarik untuk

dicermati. Analisis berbasis kesejarahan (Achdian, 2009; Fauzi, 2009; Wiradi, 2009; Lutfi, 2010); Soetarto,2010), ekonomi (Siregar, 2007; Winoto, 2010), politik (Winoto, 2009,2010; Soetarto, 2010), hukum (Sumardjono, 2010), sosiologis, (Lawang, 2010) dan yang lainnya terus dilakukan. Semua mengrucut kepada sebuah kesimpulan yang hampir serupa bahwa kepekatan persoalan agraria di Indonesia di satu

1 Tantan Hermansah adalah Dosen Sosiologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sekaligus adalah peneliti di Brighten Institute Bogor. Saat

ini sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia.

merupakan sumur kekayaan ilmu pengetahuan yang seakan tidak akan habis digali, dan di sisi lain dipahami sebagai arena masalah yang harus dibahas agar bisa dicari cara yang cukup jitu untuk menyelesaikannya.

Tulisan singkat ini akan memotret masalah agraria dari persoalan sosiologis, terutama dengan melihat dinamika agen dan struktur yang berkontestasi dalam suasana yang dinamis. Kadang-kadang penuh ketegangan, namun tidak jarang tersublimasi dalam nuansa yang adem ayem.

Dengan menggunakan pendekatakan yang saat ini sedang trend di kalangan sosiolog, serta membasiskan pada data primer yang digali dalam sebuah penelitian dengan tema yang berbeda, maka bisa dilihat bagaimana dinamia agen dan struktur dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumberdaya agraria menjadi sangat dominan. Hasilnya adalah meski banyak gagasan ideal yang dikemukakan para peneliti, aktivis, pemikir, dan birokrat, tetap saja di lapangan, persoalan agraria memiliki dinamikanya sendiri.

Relasi dinamika agen dan struktur sendiri menarik dibahas karena memperhatikan beberapa hal berikut; Pertama, terjadinya diferensiasi pada masyarakat modern yang —jika meminjam istilah Sosiolog Elias— semakin panjangnya rantai tindakan sosial dan kesalingtergantungan. Dari sini maka diperlukan analisis atas dinamika yang terjadi pada setiap presisi momentum ini. Sebab kompleksitas persoalan di setiap titik momentum, bisa berpengaruh kepada realitas yang terjadi kemudian.

Kedua, keagenan (agency) dalam kehidupan sosial tidak bisa dihilangkan atau dihapuskan. Setiap orang/pihak bisa menjadi agen bagi sesuatu. Contoh, mantri desa bisa menjadi agen bagi warga desa dalam hal akses. Mantri kesehatan akses kepada keringanan pembayaran tindakan atas sakit yang dialami masyarakat; Mantri tani menjadi agen para petani yang ingin mendapatkan bantuan KUR dari pemerintaha, dan sebagainya. Begitu juga kelompok lain seperti tokoh agama, aktivis sosial, ketua koperasi, dan sebagainya.

Ketiga, struktur merupakan wujud interaksi dalam kehidupan manusia yang kemudian dari hasil interaksi tersebut melahirkan apa yang dalam sosiologi dikenalkan sebagai pranata. Pranata atau institusi memuati persoalan yang cukup banyak, seperti nilai, sistem, ruang/arena, dan sebagainya. Setiap orang/pihak atau agen dalam sebuah struktur memungkinkan dirinya untuk berinteraksi dengan yang lain dan kemudian membangun nilai-nilai tertentu yang bisa jadi, ketika anggotanya semakin besar maka nilai-nilai tersebut dianggap atau diposisikan sebagai nilai yang berlaku umum. Jadi struktur, mengutip

Giddens misalnya, merupakan praktik yang ditata di sepanjang ruang dan waktu (Giddens, 1984:2). Dari sini maka kita bisa menjelaskan dualitas hubungan dialektik antara agensi dan struktur.

B. Agen dan Struktur dalam Dinamika Agraria Pertanyaan awal yang harus jelas dijawab dalam konteks ini adalah,

siapakah agen dalam konteks agraria di Indonesia? Dan bagaimana struktur agraria di Indonesia ini berrelasi dengan agennya? Apakah sumbangan yang bisa diberikan oleh pendekatan ini pada permasalahan agraria di Indonesia.

1. Agen Agen dalam konteks agraria bisa diposisikan dan dirujukkan kepada

beberapa pihak berikut. (a) Aparat pemerintahan (eksekutif dan legilatif); (b) masyarakat pemilik atau penguasa tanah; (c) swasta atau pihak yang berkepentingan terhadap tanah untuk kepentingan tertentu.

Ketiga kelompok yang disebutkan di atas memenuhi kriteria sebagai agen (setidaknya seperti yang dikriteriakan Giddens), karena mereka memiliki peran menciptakan tindakan sosial yang karena fasilitas atau kekuatan yang dimilikinya, memungkinkan tindakan tersebut berulang dan membuat kondisi yang akhirnya memosisikan dia sebagai aktor.

Contoh sederhana jika seorang aparat pemerintah selalu meminta uang pelicin dari masyarakat yang ingin menguruskan sumberdaya agraria yang dikuasainya, dan aparat tersebut memiliki fasilitas untuk menekan (koersif) kepada mereka. Maka yang terjadi pada momentum berikutnya adalah kejadian tersebut dipahami sebagai legal. Sehingga masyarakat pun akhirnya membangun persepsi bahwa jika sebuah kepentingan/ urusan ingin lancar maka harus menggunakan uang pelicin.

Begitu juga yang terjadi pada swasta atau pemilik kapital. Dengan kapital yang mereka miliki mulai dari kapital material seperti uang yang banyak, kapital sosial seperti jaringan, dan kapital simbolik seperti gelar kesarjanaan yang menunjukkan keilmuan tertentu, maka pihak yang berhubungan dengan dia (entah itu aparat atau masyarakat) akan membangun persepsi tertentu mengenai hubungan-hubungan ini. Misalnya jika dia ingin ‗mencaplok‘ tanah, maka lewat seluruh kapital yang dimilikinya, maka tindakan tersebut kemudian seperti menjadi pembenar bagi peristiwa-peristiwa lain kemudian.

2. Struktur Relasi dari setiap pihak tadi melahirkan struktur tersendiri. Meski bisa

jadi secara formal bertabrakan dengan struktur formal yang berbasis jadi secara formal bertabrakan dengan struktur formal yang berbasis

Dengan demikian, eksistensi struktur tidak bisa dilepaskan dari interaksi para agen. Sehingga bisa dilihat level kedalaman interaksi mereka akan melahirkan struktur seperti apa. Struktur menyerupai sistem sosial, yang oleh Giddens disebutkan sebagai mereproduksi praktik sosial, atau ―mereproduksi hubungan antara aktor dengan kolektivitas yang diatur sebagai praktik sosial terorganisasi ‖ (Giddens,1984: 17, 25).

Secara lebih rinci, mengikuti apa yang dikerangkakan oleh Giddens bahwa, studi ini kemudian akan setidaknya melihat pada: (1) tatanan dan perubahan institusi sosial dalam dimensi melintasi ruang dan waktu; (2) kepemimpinan yang melakukan perubahan pada institusi sosial; dan (3) bagaimana hasil dari studi ini bagi kehidupan sosial yang lebih besar. (Ritzer, 2004: 512).

Dalam ruang yang lebih praksis, terutama yang sering kita temukan sehari-hari, struktur itu tampak pada beberapa gambaran dinamis seperti kehadiran para broker tanah yang kadang lebih berkuasa daripada pemilik tanah. Atau tidak jarang para pengembang (properti), dengan desain usahanya mampu mendikte aparat sehinga merubah RTRW sebuah wilayah.

C. Metodologi Tulisan ini bersumber pada data catatan lapangan yang dihasilkan dari

sebuah penelitian untuk kepentingan yang berbeda. Penelitian yang bertema ―Study on Supportive Policies of Maximizing Agricultural Investment in Indonesia‖ ternyata meninggalkan banyak data lain yang bisa dianalisis melalui perspektif yang berbeda. Namun demikian bagian ini tetap harus menjelaskan bagaimana proses pengambilan data lapangan tersebut dilakukan.

Data dikumpulkan melalui beberapa tahapan, yaitu Focus Group Discussion (FGD), dengan jumlah peserta tiap lokasi antara tiga belas sampai tujuhbelas orang. Jadi berikut tim peneliti lapangan, peserta diskusi itu mencapai antara sembilanbelas sampai duapuluhtiga orang. FGD pertama ini dimaksudkan untuk melihat gambaran umum mengenai komunitas yang diteliti, berikut beberapa model interaksi antara mereka dengan alat-alat produksi mereka. Dari sini diketahui gambaran yang umum mengenai banyak fenomena: sistem produksi, Data dikumpulkan melalui beberapa tahapan, yaitu Focus Group Discussion (FGD), dengan jumlah peserta tiap lokasi antara tiga belas sampai tujuhbelas orang. Jadi berikut tim peneliti lapangan, peserta diskusi itu mencapai antara sembilanbelas sampai duapuluhtiga orang. FGD pertama ini dimaksudkan untuk melihat gambaran umum mengenai komunitas yang diteliti, berikut beberapa model interaksi antara mereka dengan alat-alat produksi mereka. Dari sini diketahui gambaran yang umum mengenai banyak fenomena: sistem produksi,

Setelah FGD dilakukan, tim peneliti melakukan pemetaan data. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keragaman data, serta memastikan data- data mana yang perlu didalami di pelaku/subyek yang diwawancarai, atau data yang kurang logis sehingga harus dikonfirmasi ulang, dan sebagainya.

Kemudian tim peneliti melakukan pendalaman melalui dua model penggalian data. Yang pertama wawancara menggunakan instrumen tertulis, di mana di dalamnya termasuk ada pencatatan data-data kuantitatif seperti pengeluaran rumahtangga, dan sebagainya. Serta pendalaman lebih lanjut mengenai beberapa fakta yang harus digali lebih jauh.

Selain melalui wawancara, tim peneliti juga melakukan observasi lapangan. Antara lain tim melihat lokasi tempat para petani/ narasumber itu melakukan aktivitas produksi, dan bagaimana kondisi ekologi yang mempengaruhi sistem produksi mereka.

Data-data lapangan tahap pertama ini kemudian dikumpulkan untuk dilakukan analisis awal. Setelah diketahui gambaran utuhnya, maka tim peneliti kemudian melaksanakan lagi proses serupa pada kunjungan berikutnya, kecuali komunitas keempat. Khusus komunitas keempat, yakni para petani organik Gapoktan Tasikmalaya, frekwensi kunjungannya hanya dilakukan satu kali saja meski dengan tahapan yang sama.

Jadi dari data-data hasil studi inilah paper ini ditulis, direfleksikan, dan dilakukan analisis ulang atas temuan-temuan tadi. Sehingga meski tahapan pengambilan datanya persis dengan penelitian yang sudah disebutkan di atas, namun paper ini sama-sekali berbeda dengan studi di atas.

1. Paradigma Studi Untuk paper ini, penelitian menggunakan pendekatan struktural. —

terutama yang dikerangkan oleh Giddens (1994). Hal ini semata-mata untuk menjaga konsistensi tema yang dipergunakan. Di mana relasi agen dan struktur dalam Sosiologi struktural, dipahami sebagai realitas yang memiliki capaian-capaian. Coleman misalnya menjelaskan bagaimana proses rasionalitas itu bisa menjadi dasar apa yang dinamakannya sebagai integrasi mikro ke makro. Di mana di level mikro, terdapat nilai-nilai yang menjadi dasar individu dalam melakukan terutama yang dikerangkan oleh Giddens (1994). Hal ini semata-mata untuk menjaga konsistensi tema yang dipergunakan. Di mana relasi agen dan struktur dalam Sosiologi struktural, dipahami sebagai realitas yang memiliki capaian-capaian. Coleman misalnya menjelaskan bagaimana proses rasionalitas itu bisa menjadi dasar apa yang dinamakannya sebagai integrasi mikro ke makro. Di mana di level mikro, terdapat nilai-nilai yang menjadi dasar individu dalam melakukan

Begitu ke level makro, nilai-nilai yang sifatnya individu kemudian menjadi sistem yang lebih besar, seperti agama, keyakinan, dan sebagainya. Sedangkan perilaku ekonomi akan mendorong kuat atau tidaknya sistem kapitalisme atau sistem ekonomi lain yang berlaku dalam masyarakat.

Selain itu, paradigma struktural juga melihat bahwa nilai dan norma dalam kehidupan manusia begitu sentral, sehingga hal ini mendinamisasi kehidupan masyarakat, terutama berkaitan dengan struktur yang dihasilkannya. Alhasil, dalam prosesnya kemudian, masyarakat diasumsikan sebagai entitas yang dalam seluruh perjuangan kehidupannya berusaha menciptakan, melahirkan, membangun, menjaga, dan memperkuat struktur. Jika kemudian ada proses yang mengkritisi struktur tersebut, hal itu terjadi semata-mata karena struktur tersebut butuh untuk disesuaikan dengan tuntutan perubahan yang ada.

2. Sumber Data Sumberdata untuk paper ini dibagi dua bagian. Pertama, sumberdata

sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Di mana sifat dari sumberdata sekunder ini difungsikan sebagai data konfirmatif atas temuan-temuan lapangan. Kedua, sumberdata primer yang diperoleh langsung dari lapangan tempat penelitian ini dilakukan.

3. Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dilakukan secara kualitatif. Di mana setiap

narasumber atau informan diwawancarai secara mendalam dan terstruktur. Selain itu untuk menguji keabsahan data naratif tersebut peneliti melakukan proses konfirmasi dalam setiap FGD yang dilakukan.

4. Lokasi Studi Adapun lokasi studi ini ada di empat lokasi, yaitu: (1) Desa Cipelang

Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Desa Cipelang mewakili desa pegunungan dengan komoditas utama pertanian holtikultur dan sayur mayur. Selain itu para petani di sana juga mengembangkan pertanian tanaman keras seperti kayu sengon dan jabon.

(2) Desa Cibungur, Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Pandeglang Banten. Desa Cibungur mewakili tipologi desa pertanian padi sawah dataran rendah. Desa Cibungur berada di dekat pantai, dengan kualitas (2) Desa Cibungur, Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Pandeglang Banten. Desa Cibungur mewakili tipologi desa pertanian padi sawah dataran rendah. Desa Cibungur berada di dekat pantai, dengan kualitas

(3) Kampung Tonjong adalah komunitas petani pinggir hutan. Terletak di Desa Tenjolaya, Kecamatan Tapos Kabupaten Bogor. Kelompok ini mewakili komunitas petani hutan, dengan keragaan tanaman homogen.

(4) Komunitas kelompok petani padi organik, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik Tasik. Kelompok ini mewakili komunitas petani khusus padi yang cukup mapan karena mereka menggunakan pendekatan organik dalam sistem produksi dan sistem ekonominya.

5. Mekanisme Analisis Data Proses analisis data mengikuti prosedur studi kualitatif. Di mana sejak

proses penggalian awal, data sudah dianalisis. Setelah itu data yang diperoleh akan terus dikonfirmasi dengan nara sumber dan informan di lapangan. Sehingga intervensi peneliti hanya terjadi ketika menggunakan teori sosiologi untuk menganalisis data.

Selain itu, untuk membangun kedalaman, meski berbeda dengan perspektif awal penelitian, hasil analisis ini juga didiskusikan di tingkat internal peneliti. Hal ini semata-mata untuk melakukan konfirmasi akhir dari data yang dipergunakan sebagai bahan baku paper ini. Setelah kualitas datanya bisa dipertanggungjawabkan, penulis kemudian melakukan tahapan reduksi data, di mana data yang kurang relevan tidak dipergunakan dalam proses analisisnya. Sedangkan data-data yang cocok, terus diuji dengan cara terus menerus melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan data tersebut.

Proses analisis yang tidak bisa diabaikan adalah refleksif. Refleksif adalah metode analisis yang dikemukakan oleh Ginddes dalam membangun apa yang dinamakannya sebagai strukturasi. Metode ini dikonstruksi dalam tiga fase, yaitu signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Signifikasi adalah struktur yang berhubungan dengan realitas-realitas simbol, pemaknaan dan wacana; lalu dominasi berhubungan dengan masalah penguasaan, terutama pada pengusaan politik dan ekonomi; sedangkan legitimasi yaitu hal-hal yang berkaitan dengan peraturan normatif, terutama dalam dimensi hukum.

D. Gambaran Dinamika di Aras Mikro-Komunitas Bagian berikut akan menggambarkan bagaimana dinamika yang terjadi

di aras komunitas saja. Tiap komunitas disorot pada hal-hal yang berbeda-beda. Sehingga framework memahami tiap komunitas yang dideskripsikan tidak bisa disamakan. Namun demikian, semua di aras komunitas saja. Tiap komunitas disorot pada hal-hal yang berbeda-beda. Sehingga framework memahami tiap komunitas yang dideskripsikan tidak bisa disamakan. Namun demikian, semua

1. Komunitas Masyarakat Petani Kampung Cibungur Masyarakat petani Kampung Cibungur yang menjadi subyek studi ini

adalah para petani padi sawah dataran dekat dengan pantai. Sawah- sawah mereka berjarak kurang dari setengah kilometer dari pantai, dan tadah hujang. Sehingga dinamika variansi pola pertanian mereka terdiri dari: padi-padi-menganggur, padi-buah/kacang-menganggur, atau jika sedang musim hujan cukup panjang, padi-padi-kacang. Bisa diperhatikan bahwa kebanyakan dari proses produksi sangat bergantung kepada kehadiran air untuk mengairi lahan mereka.

Adapun luasan dari lahan pertanian mereka beragam. Mulai dari 1400 m2, sampai hampir dua hektar. Namun dari sisi produktivitas, hasil panen dari sawah mereka hanya 4,1 ton perhektar, yang berarti masih dibawah rata-rata kapasitas produksi nasional.

Meski rata-rata hasil produksi di bawah kapasitas produksi nasional, untuk menopang kebutuhan mereka melakukan usaha lain. Bagi kebanyakan petani di Cibungur, hasil produksi padi dari sawah mereka sudah dioptimalkan untuk mengamankan kebutuhan subsistensi mereka, yaitu: beras untuk kebutuhan dapur, dan jaminan atau pembayaran utang kepada saudara/ tetangga, atau sebagai modal awal untuk mengelolal padi sawah kembali di musim berikutnya.

Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, mereka melakukan berbagai usaha lain seperti berdagang, bekerja kepada pemilik lahan lain yang lebih besar, bekerja ke luar daerah, dan sebagainya. Akan tetapi satu hal yang menjadi sangat penting dari temuan hasil studi ini adalah bahwa motivasi untuk menjual lahan padi sawah mereka cukup rendah. Artinya mereka akan berusaha mempertahankan lahan padi sawah mereka, bahkan jika mungkin berusaha menambah luasannya.

Dalam alam pikiran para petani di Cibungur ini, mengamankan kebutuhan subsisten mereka sangat penting selain untuk melanjutkan kehidupan juga sebagai dasar dari seluruh aktivitas produksi mereka. Dengan sawah yang dimiliki, mereka memiliki peluang untuk tetap mendapatkan pinjaman (jika pertanian mereka merugi, misalnya), atau menjual hasil produksi untuk memulai kembali aktivitas pertanian mereka.

Di aras keagrariaan, hubungan-hubungan produksi antara petani dengan alat-alat produksi bisa dikatakan cukup kuat. Ada satu mekanisme yang biasa dilakukan para petani dalam mempertahankan Di aras keagrariaan, hubungan-hubungan produksi antara petani dengan alat-alat produksi bisa dikatakan cukup kuat. Ada satu mekanisme yang biasa dilakukan para petani dalam mempertahankan

menggadaikan sawah mereka ke orang luar daerah 2 . (Seperti ditemukan dalam penelitian ini, di Cibungur hampir tidak ada yang menyewakan lahan sawah) Namun dengan perikatan bahwa mereka sendiri tetap menggarap lahan sawah mereka.

Dari hasil menggadaikan sawah itu, mereka mendapatkan modal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang besar itu, dan juga untuk modal pertanian mereka sendiri. Termasuk di dalamnya mereka juga melakukan gadai kepada petani lain yang memiliki kebutuhan serupa.

Hasil dari menggarap sawah yang telah digadaikan tersebut adalah 50 persen. Misalnya jika ia mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp. 10 juta, maka sebagai penggarap akan mendapatkan Rp. 5 juta. Lalu dari pertanian hasil menggadai kepada petani lain, iajuga mendapatkan hasil (misalnya) 5 juta. Maka dari satu periode musim tanam dengan mekanisme seperti itu, ia sebenarnya bisa mendapatkan penghasilan cukup —tentu dengan asumsi produksi moderat—yang kemudian mereka tabung untuk menebus lagi sawahnya yang digadaikan tersebut.

Harga gadainya sendiri sebenarnya tidak ada patokan. Disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki oleh petani sendiri. Sebab dalam bayangan petani, jika menggadaikan dengan harga tinggi khawatir tidak bisa ditebus kembali.

Hal menarik yang terjadi di Cibungur adalah kisah masuknya investasi besar-besaran ke daerah tersebut. Investasi itu dalam bentuk tambak udang seluas 500 hektar. Tambak yang sempat ‗membuai‘ warga itu hanya sekitar 14 tahun saja beroperasi produktif. Saat ini tambak 500 Ha itu akhirnya menganggur.

Sekedar gambaran, meski secara geografi masuk pada kawasan wisata, tidak kemudian menjadikan Desa Cibungur menjadi daerah tujuan

2 Mekanisme menggadaikan sawah itu sebagai berikut. Petani yang berniat menggadaikan sawah mendatangi calon pegadai. Lalu dia dicapailah kesepakatan

harga gadai. Biasanya harga sangat fleksibel. Kemudian sawah yang digadai tadi, sekarang hak penguasaannya ada di pegadai. Namun biasanya, si petani pemilik asli yang menggarapnya. Kemudian jika si petani sudah memiliki dana yang cukup untuk menebusnya, maka uang itu diserahkan kepada pegadai, dan si pegadai kemudian menyerahkan tanah sawah yang dikuasainya itu kepada pemilik. Dalam sistem gadai nilai nominal uang yang berlaku tetap, tidak terkena inflasi. Misalnya jika petani baru mampu menebus 5 tahun kemudian, maka uang yang harus diserahkan tetap seperti saat ia meminjam 5 tahun lalu. Jika dulu menggadaikannya 1 juta, maka ia harus mengembalikannya 1 juta. Hal ini dianggap umum karena pegadai sudah bisa menikmati keuntungan dari hasil pengolahan tanah yang digadainya.

wisata. Persepsi umum bahwa kawasan wisata itu denyut nadinya diwarnai dengan aktivitas jasa wisata, tidak tampak sama sekali. Yang ada adalah rumah-rumah yang sangat biasa, ladang dan sawah yang juga biasa saja, serta beberapa industri rumahan yang juga sangat biasa. Semua itu seperti tidak ada hubungannya sama sekali dengan area wisata. Seorang warga menceritakan bahwa betapa berat label daerah wisata itu kepada mereka. Terutama kepada mekanisme dan harga pajak tanah. Misalnya, Bu Anah, pemilik 1,5 Hektar tanah di situ, setiap tahun harus membayar pajaknya hampir satu juta. Padahal penghasilan dari tanah yang sudah kena rembesan air laut itu pertahun paling antara 2-3 juta.

Di sebelah tanahnya itula, posisi tambak udang yang 500 hektar itu berada. Terdapat banyak cerita seiring dengan hadirnya tambak tersebut. Misalnya —dan ini yang paling umum—ada banyak warga yang dijanjikan akan mendapatkan banyak peluang: pekerjaan, modal, pendapatan, dan sebagainya. Sehingga banyak petani yang merasa punya harapan bahwa dengan menjual tanahnya akan lebih produktif ketimbang hanya menjadi sawah. Selain tentu saja banyak yang menjual karena ingin naik hajji, menikah dengan ‗wah‘, dan keinginan konsumtif lainnya.

Penduduk memang dilibatkan secara intensif di awal-awal pengerjaan proyek. Sebab selain alat-alat berat, juga pekerjaan fisik dibutuhkan. Akan kondisi terkini dari tambak itu sungguh menyedihkan. Setelah 20 tahun berlalu lahan-lahan tambak yang dibangun puluhan miliar tersebut kini menganggur hanya menjadi kolam-kolam raksasa tempat para warga menjala ikan darat. Beberapa malah menganggur saja tidak produktif. Mungkin satu-satunya yang masih produktif itu, beberapa lahan sekitar kolam tambak yang sudah menjadi tegalan (padang rumput) itu kini menjadi tempat para pemilik kebo menggembalakan kerbau yang mereka miliki.

Dalam konteks masyarakat Cibungur ini, jelas sekali bahwa dinamika relasi agen dan struktur demikian dinamis. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti sistem budaya, penetrasi modal ke desa, dan sebagainya.

2. Komunitas Mayarakat Kampung Tonjong Kampung Tonjong adalah sebuah daerah dengan jumlah penduduk

‗hanya‘ 13 kepala keluarga. Berada persis di kaki Gunung Salak, dan beririsan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNHS). Bahkan ada 3 rumah yang langsung ada di wilayah hutan. Untuk sampai ke kampung tersebut, harus dilalui dengan jalan kaki. Ada dua jalur yang bisa dipergunakan. Pertama melalui obyek wisata Gunung Bunder. Di mana jika melewati daerah ini, maka kendaraan bisa (TNHS). Bahkan ada 3 rumah yang langsung ada di wilayah hutan. Untuk sampai ke kampung tersebut, harus dilalui dengan jalan kaki. Ada dua jalur yang bisa dipergunakan. Pertama melalui obyek wisata Gunung Bunder. Di mana jika melewati daerah ini, maka kendaraan bisa

Kemudian jalur kedua melalui kampung lain. Memang tidak seterjal melalui Gunung Bunder. Tapi tetap saja jauh dan harus menyebrangi sungai. Meski jauh dari kampung yang beraspal dan berjalanraya besar, Kampung Tonjong sudah berlistrik dan tampak di jendela rumah kacanya tertempel stiker sensus penduduk. Tapi jangan salah, meski berlistrik, jarang rumah dengan meterannya cukup jauh, sekitar 2,5 km. Hal ini terpaksa dilakukan warga karena banyak petugas PLN tidak mau mengecek meteran jika meterannya disimpan di Kampung Tonjong.

Penduduknya sendiri menggantungkan hidup dari usaha pertanian. Ada

3 jenis pertanian utama yang dijadikan basis kehidupan masyarakat Kampung Tonjong ini. Pertama, tanaman Kucay, di mana mereka menjadi penyuplai utama kebutuhan Kucay di Bogor. Mereka menanam dan menjadikan Kucay sebagai penyangga kebutuhan ekonomi utama. Bahkan luasan lahan yang mereka tanami untuk Kucay ini jauh lebih luas daripada lahan komoditas lain yang mereka garap. Kedua, lahan padi sawah dengan jumlah luasan lebih kecil daripada kebun Kucay. Meski lebih kecil, namun luasan yang rata-rata dimiliki para petani ini mampu menjadikan lahan sawahnya sebagai penyangga kebutuhan dasar (primer) rumah tangga. Sehingga warga Kampung Tonjong kebanyakan bisa dikatakan tidak pernah membeli beras. Ketiga, kebun kayu. Mereka menjadikan komoditas kayu keras in i sebagai ‗tabungan‘ untuk masa depan. Biasanya tabungan ini dipergunakan untuk mendanai acara-acara yang memerlukan dana besar atau untuk menyewa/ gadai tanah sebagai bentuk ekstensifikasi aset.

Kampung Tonjong memiliki sejarah agraria yang cukup heboh. Keberasaan mereka yang berada di pinggir dan di dalam kawasan taman nasional menyebabkan riwayat hidup mereka diwarnai konflik agraria. Konflik agraria yang berlangsung cukup lama ini terjadi karena klaim pemerintah atas tanah/ sumberdaya agraria yang dikuasai oleh warga sekian tahun. Sampai akhirnya tercapai kesepakatan di mana warga Kampung Tonjong dipersilahkan untuk mengelola tanah/lahan yang selama ini mereka garap, namun mereka tidak bisa memperjualbelikan

atau menambah luasan lahan yang mereka garap. 3

Hubungan-hubungan produksi para petani di Kampung Tonjong saat ini bisa dipetakan sebagai berikut. Pertama mereka memaknai tanah

3 Seluruh data bagian konflik ini hasil diskusi dengan warga yang difasilitasi oleh Bagus Hadipriatna, seorang aktivis Rimbawan Muda Indonesia.

sebagai sumber penghidupan yang tidak bisa lagi tidak dipilih mereka. Keterikatan mereka dengan sumebrdaya agraria demikian mendalam karena selama ini mereka bisa mendapatkan banyak hal: ekonomi, sosial, dan budaya dari relasi mereka dengan tanah.

Kedua mereka telah menjadikan tanah sebagai tempat membangun kebudayaan sosial-ekonomi. Kucay misalnya, yang selama ini menjadi sumber ekonomi paling produktif bagi mereka, menjelma tidak hanya sebagai sumber ekonomi an sich, tapi juga sebagai kapital yang dipergunakannya untuk keperluan lainnya.

Selain itu, karena komunitas ini sudah dikerangkengi oleh sebuah kesepakatan formal dengan pihak TNHS, maka modus kelembagaan yang terjadi dalam sistem produksi cenderung solid dan mapan. Apa yang oleh Durkheim dikatakan sebagai solidaritas, pada warga Kampung Tonjong terjadi dengan sangat nyata. Para warga saling membantu, meski bukan saudara karena didasarkan kepada satu garis perjalanan sejarah dan perjuangan yang sama.

Namun demikian, sistem pengupahan dalam proses pengelolaan tanah pertanian terjadi dalam berbagai tingkat. Pada tahap awal, ketika lahan yang digarap selesai dipanen, biasanya proses penggarapan dilakukan secara borongan. Sedangkan pada masa pemeliharaan kebanyakan digarap sendiri. Kemudian pas panen, baru warga lain turut gabung kembali membantu petani memanen hasil.

Dalam kehidupan sehari-hari, penyangga modal untuk memenuhi kebutuhan hidup atau kebutuhan acara lain yang memerlukan dana yang cukup besar, para petani di Tonjong tidak bisa menjadikan tanahnya sebagai jaminan. Perjanjian yang mengikat mereka menyebabkan mereka hanya bisa melakukan perjanjian over garapan saja. Tetapi karena tingkat produksi mereka yang selama ini cukup baik, studi ini tidak menemukan ada gadai atau over garapan yang tidak tertebus oleh pemiliknya.

Meskipun demikian, bukan berarti pergantian kepemilikan lahan tidak terjadi. Meski tidak massif, namun beberapa warga yang merasa bisa ‗keluar‘ dari kampung banyak yang kemudian menjual tanahnya kepada warga kampung asli.

Sedangkan di tingkat struktur penduduk, seperti telah disinggung bahwa solidaritas komunitasnya demikian kuat. Untuk menjaga hal itu, warga menerapkan beberapa aturan yang mengikat di antara mereka saja. Misalnya ada kokolot atau ketua kampung yang menjadi pemersatu, dan sekaligus juru bicara keluar mewakili kepentingan Sedangkan di tingkat struktur penduduk, seperti telah disinggung bahwa solidaritas komunitasnya demikian kuat. Untuk menjaga hal itu, warga menerapkan beberapa aturan yang mengikat di antara mereka saja. Misalnya ada kokolot atau ketua kampung yang menjadi pemersatu, dan sekaligus juru bicara keluar mewakili kepentingan

3. Komunitas Masyarakat Kampung Cipelang Narasumber yang ditemui di Cipelang mayoritas memiliki lahan

pertanian. Lahan pertanian mereka bisa dibagi menjadi dua kategori: pertama lahan milik sendiri dan kedua lahan garapan yang sebenarnya berstatus milik pihak lain.

Dari hasil FGD dan wawancara kepada mereka diperoleh gambaran bahwa meski memiliki lahan yang subur, namun tata produksi pertanian mereka belumlah seoptimal petani lain di kawasan lain seperti Lembang. Istilah warga ―tani heureuy‖ atau pertanian (agak) bercanda. Hal ini dikarenakan pertanian bukan menjadi mata pencaharian utama dan satu-satunya.

Kebanyakan warga Cipelang memiliki alat produksi yang tidak tunggal. Mereka kebanyakan mengkombinasikannya dengan pekerjaan lain. Misalnya pertanian dengan dagang. Pertanian dengan pegawai. Pertanian dengan peternakan. Pertanian dengan kontraktor bangunan di kota, dan sebagainya. Artinya daya dukung subsisten sudah lama dilampaui warga Cipelang. Sehingga kebanyakan kebutuhan warga berkutat pada investasi dan pengembangan aset.

Sistem produksi pertanian warga Cipelang memang tidak bisa dilepaskan dari hadirnya sebuah kawasan yang ‗tidak jelas‘. Kawasan tersebut seluas kurang lebih 250 hektar. Dahulu lahan tersebut dimiliki oleh sebuah perusahaan pengembang proverti. Namun, menurut warga, kemudian perusahaan tersebut mengalihkan rencana pengembangan tersebut ke kawasan Puncak. Sementara tanah itu sendiri sudah ditukargulingkan dengan tanah di kawasan Puncak tersebut.

Warga yang sebelumnya dijanjikan akan dilibatkan dalam pembangunan kawasan perumahan elit tersebut, akhirnya memanfaatkan lahan tersebut untuk usaha pertanian. Namun yang pertama-tama dilakukan adalah mematok batas-batas penguasaan sumberdaya agraria tersebut. Selain itu ada kesepakatan di antara mereka bahwa tanah itu hanya boleh dikuasai oleh warga Cipelang saja. Sehingga warga di luar Cipelang hanya berstatus meminjam, menyewa, atau bagi hasil dengan penggarap.

Relasi agraria

5 tahun kemudian, relasi-relasi agraria terbentuk. Struktur penguasaan makin mengerucut kepada mereka yang memiliki sumberdaya kapital 5 tahun kemudian, relasi-relasi agraria terbentuk. Struktur penguasaan makin mengerucut kepada mereka yang memiliki sumberdaya kapital

Sistem penyakapan seperti gadai hampir tidak ditemui. Petani di Cipelang lebih senang —dan hampir semua mengatakan demikian— untuk disewa saja. Pertimbangan-pertimbangan rasional ekonomi (Colleman) begitu dalam keputusan tersebut. Selain itu, keputusan ini juga mencerminkan bahwa strategi petani untuk meminimumkan resiko kerugian maksimum memang ada dalam benak dan alam pikir mereka.

Akibatnya adalah proses transformasi budaya bertani tidak segencar di daerah atau kawasan lain, seperti yang mereka katakan (di Lembang). Sehingga subtitusi sumberdaya agraria yang bisa mereka akses tidak memberikan peningkatan kesejahteraan yang signifikan kepada warga yang mengelolanya. Bahkan ketika akhirnya mereka ―mentok‖ yang dilakukan oleh para petani tersebut adalah menyewakan lahan yang mereka kuasai kepada orang lain.

Dengan menyewakan lahan-lahan yang mereka kuasai tersebut, mereka bisa mendapatkan uang cash antara 10-12 juta/hakter persewa 5 tahun. Bagi mereka dana sebesar itu lumayan untuk menjadi tambahan modal bagi sawah atau membeli ternak.

Dari pola seperti di atas, akhirnya para pemilik kapital besarlah yang kemudian menjadi pengendali relasi-relasi produktif. Apalagi dalam beberapa hal, petani besar yang menjadi agen itu kemudian juga menjadi ‗penentu‘ bagi terbangunnya struktur relasi dalam kultur mereka.

4. Komunitas Petani Simpatik Berbeda dengan ketiga komunitas yang dijadikan subyek studi,

kelompok keempat ini merupakan kelompok petani yang secara kelembagaan bisa dikatakan sudah mapan. Artinya, organisasi petani tempat mereka berhimpun sudah bisa dikatakan sangat baik. Keadaan ini terjadi karena berdirinya Gapoktan Simpatik tidak diawali oleh kebutuhan ekonomi dari para anggota atau pelopor awalnya. Justru pilihan melembagakan sistem pertanian organik didasarkan kepada

keinginan untuk : a. Mengembalikan kesehatan tanah; b. Menyemalatkan keluarga dari makanan produk kimia; c. Menjadikan sistem pertanian yang ramah alam.

Terasa mulia dan terlalu ideal, namun demikian adanya.Cita-cita dan harapan itu memang terdengar indah, namun bukan merupakan pekerjaan mudah. Para penggagas dan garda depan kelompok tani harus berkutat dengan banyak hal sebelum akhirnya sampai kepada titik di mana akhirnya —seperti terjadi saat ini—banjir dukungan.

Berdasarkan penjelasan dari hasil FGD, setidaknya mereka memberikan enam penanda momentum perubahan yang sangat mendasar pada gabungan kelompok Simpatik (demikian mereka menamakan diri)

mereka. 4 Momentum pertama dan kedua berlangsung antara Tahun 2001 – 2004.

Di mana masa ini merupakan periode penemuan, ujicoba dan pengembangan. Cerita diawali ketika penggagas sistem pertanian organik ini, Aep Saefudin dari Desa Sukapada Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya pada awalnya melihat fakta di lapangan, di mana terjadinya penurunan tingkat kesuburan tanah dan stagnasi peningkatan produktivitas padi. Sementara di sisi lain, ia juga menemukan bahwa Rumput Jajagoan ( E.Crusgali ) tumbuh subur menempel disekitar tanaman padi. Dari sini Asep mendapatkan inspirasi yang selanjutnya dilaksanakan dalam bentuk ujicoba kepada tanaman padi. Proses ujicoba yang dilaksanakan oleh Asep itu sebenarnya sederhana saja. Ia menanam padi dengan bibit tunggal dan ditanam secara dangkal. Hasilnya sungguh mencengangkan karena padi tersebut pertumbuhannya subur dan dapat sekaligus bisa meningkatkan produktivitas. Teknologi ini kemudian diekpose di FAO dan dikenal dengan ―AEP DEET (Tanam Tunggal dan dangkal).

Hasil dari percobaan itu, dikaji lebih lanjut oleh Alik Sutaryat (seorang insinyur dari LP2HPT Tasikmalaya) tahun 2002 dengan beberapa perbaikan aspek/komponen teknologi yaitu Pengelolaan Tanah (pemupukan dengan pupuk organik), Pengelolaan Air dan Pengelolaan Tanaman. Kelak ketika metode ini sudah mapan, pendekatan tersebut dikenal sebagai metoda SRI Organik.

Hasil dari ujicoba tingkat lanjut itu kemudian diimplementasikan dalam sistem pertenian yang mereka sebar di beberapa kecamatan. Maka kemudian diperoleh hasil tahap pertama ini dengan hasil panen yang signifikan.

4 Data-data mengenai Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Simpatik ini diolah dari berbagai sumber data: (1) Wawancara dengan Kang Evan (sekretaris Gapoktan),

(2) FGD di lokasi, (3) observasi lapangan ke sawah dan lokasi produksi lain seperti pembuatan kompos dan proses pengolahan gabah menjadi beras, dan (4) melalui studi dokumen yang diperoleh melalui berbagai proses komunikasi seperti via email, telpon dan SMS, dan situs jejaring sosial.

No Varietas Perolehan Perhektar

1 Varietas IR 64 6,5 – 7,0 ton GKG

2 Varietas Sintanur 7,1 – 10,15 Ton GKG

3 Varietas Ciherang 7,0 – 12,0 Ton GKG Dengan hasil sebesar itu, maka kelompok tani yang berorientasi kepada

penyelamatan ekologi dan penanaman nilai-nilai kesadaran kepada para petani semakin optimis bisa menjadikan SRI sebagai pendekatan yang tepat.

Momentum berikutnya adalah masa penyadaran dan masa pengembangan kawasan SRI. Masa ini berlangsung dari tahun 2004 sampai tahun 2006. Bisa dikatakan bahwa momentum ketiga dan keempat ini merupakan tahapan paling kritis karena agendanya adalah melakukan penumbuhan kesadaran kepada masyarakat mengenai apa itu SRI, Organik, penyelamatan lingkungan, dan sebagainya.

Menurut sekretaris Gapoktan, setidaknya ada 4 (empat) pihak penting dalam proses penyadaran,dalam penerapan pertanian organik yaitu : (1) Pengelolaan tanah yang sehat; (2) Pengeloaan potensi tanaman secara optimal; (3) Pengelolaan air yang baik dan teratur; dan (4) Pengeloaan bahan organik.

Sesudah tahapan ini bisa dikatakan berhasil. Tahapan berikutnya adalah tahap pengembangan kawasan. Di mana tahapan ini berlangsung dari tahun tahun 2005-2006 . Dari sini kegiatan pemasyarakatan sudah mulai mendapatkan dukungan publik dan pemerintah. Terbukti Gubernur Jawa Barat pada tanggal 3 Januari 2005 melakukan ‖ Pencanangan Gerakan Pemupukan Organik di Jawa Barat (Jabar Go Organik) ‖.

Tahap kelima berlangsung dari Tahun 2006 – 2007 dengan fokus kepada Pemantapan Kawasan SRI Organik, yang mana strategi yang dilakukan secara gradual dan evolutif. Artinya karena proses yang diinginkan adalah penyadaran maka agenda yang dilakukan adalah penumbuhan Etalase SRI Tingkat Kecamatan. Kemudian tahap atau momentum keenam ketika mereka menemukan apa yang mereka lakukan saat ini, harus dilakukan melalui gerakan sosial.Untuk itu sejak tahun Tahun 2008-2010 , mereka mencanangkan apa yang mereka sebut sebagai ―Gerakan Masyarakat Organik‖.

Beberapa kegiatan yang menjadi penanda gerakan ini adalah (1) Penerapan SRI dalam Satu Daerah Irigasi (865 ha). Hal ini bisa dilakukan melalui kerja sama antara Balai Irigasi Departemen Pekerjaan Umum, Deptan (Dirjen PLA) dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya direncanakan dilaksanakan kajian Usaha Tani Hemat Air melalui Metode SRI dalam kawasan Daerah Irigasi Ciramajaya seluas 865Ha. Kemudian (2) Penumbuhan Desa Organik; (3) Pembangunan Rumah Kompos tingkat kecamatan dan tingkat desa; dan (4) Pembangunan Rumah Kompos Tingkat Kelompok

E. Analisis Permasalahan terbesar dalam dinamika relasi agen dan struktur dalam

konteks agraria terletak pada aspek tenurial. Sebab bisakah dinamika yang ada pada setiap kasus tersebut memberikan jaminan ( garantee) kepada warga pengakses sumberdaya agraria ini pada aspek tenurial. Lawang (2010) misalnya menjelaskan bahwa hak tenurial ini harus hadir di level ekonomi, fisik, dan hukum. Di mana tenurial secara ekonomi memungkinkan pemilik/ penguasa tanah atau sumberdaya agraria itu memperoleh kepastian dari usaha atau aktivitas ekonomi di dan dari tanahnya. Sedangkan tenurial secara fisik memungkinkan pemilik bisa bekerja dengan bebas dan tanpa gangguan apapun. Serta tenurial hukum menjamin si pemilik tanah, terutama petani berlahan sempit, memiliki perasaan kepastian hukum atas tanahnya tersebut.

1. Dinamika Agen dalam Masalah Agraria Dengan melihat keempat kasus yang diangkat, kita bisa menemukan

bawa agen dalam konteks komunitas masyarakat petani bisa sangat berlapis. Di Cipelang, agen bisa diklasifikasi berdasarkan beberapa kriteria. Dari aspek luasan lahan yang dikuasai, maka agen utama adalah mereka yang menguasai sumberdaya agraria paling luas, paling bagus, paling produktif. Petani-petani yang menguasai lahan di atas 0,5 hektar bisa menjadi agen karena mereka memungkinkan untuk merekrut orang lain bekerja kepadanya. Dengan fasilitas yang dimiliki membuat dia bisa membangun kapitalnya dengan relatif lebih mudah.

Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa, jikapun ada penetrasi modal ke pedesaan, belum tentu akan memberikan keuntungan kepada rakyat. Kembali kita melihat kejadian di Cipelang, misalnya. Penetrasi capital di pedesaan ini malah berakibat berubahnya sistem hidup dan nilai-nilai kehidupan sosial, meluruhnya daya kohesifitas, dan mengendurkannya ikatan solidaritas.

Meski kawasannya ada di lereng tepi hutan, di mana lokasi bersebelahan dengan salah satu pusat penelitian milik Departemen Pertanian RI, Meski kawasannya ada di lereng tepi hutan, di mana lokasi bersebelahan dengan salah satu pusat penelitian milik Departemen Pertanian RI,

Transformasi Awalnya, sebagaimana cerita indah jika ada investasi masuk ke desa,

banyak penduduk yang ‗terbuai‘ dengan akan hadirnya perusahaan tersebut di sekitar kehidupan social-ekonomi mereka. Namun kemudian, setelah secara resmi perusahaan tersebut menguasai asset masyarakat, ternyata proyek yang dijanjikan tersebut tidak kunjung berlangsung. Penduduk tetap seperti sebelum rencana pengembangan proyek tersebut berjalan.

Akibatnya beredar desas desus bahwa proyek tersebut dihentikan atau bangkrut, atau tukar guling, dan sebagainya. Yang jelas hasilnya adalah terjadinya proses transformasi di lingkungan masyarakat sendiri. Mereka berbondong-bondong membuat patok sebagai tanda penguasaan lahan milik perusahaan tersebut. Luasnya penguasaan tersebut beragam, disesuaikan dengan kemampuan mereka ketika pertama menguasai area tersebut.

Beberapa orang kaya, dan kebanyakan kelompok petani besar, menguasai lahan lebih besar dan strategis. Sementara mereka yang tergolong biasa, menguasai lahan cukup luas tapi tidak strategis. Ada beragam model dengan kombinasi macam-macam. Namun yang jelas, penduduk sementara mengalami shock yang cukup besar. Karena seolah- oleh mereka mendapatkan durian runtuh atau rejeki yang tumpah dari langit.

Di sini, kita mendapatkan banyak pelajaran berharga, yaitu: Pertama, saat ada kesempatan untuk melakukan penguasaan atas bidangan lahan, ternyata bisa dikatakan tidak ada proses kerjasama yang terjadi dan berlaku di antara mereka. Para petani besar yang membawa pekerja untuk menguasai area, mendatangkan pekerja di luar Desa Cipelang. Sebab jika dari Cipelang dipastikan mereka juga berhasrat untuk mendapatkan tanah. Kedua, peluruhan dan persaingan atas kehidupan social-ekonomi sudah terjadi sejak lahan-lahan tersebut dikuasai oleh pemilik modal. Banyak warga berusaha mendekat dan melupakan basic kehidupan social mereka sebagai petani. Ketiga, terjadi transformasi di antara sesame petani terutama pada material produk pertanian mereka sendiri.

Lalu bagaimana kisah selanjutnya sudah bisa ditebak. Meski tanah atau sumberdaya agraria merupakan pondasi utama berdiri tegaknya Lalu bagaimana kisah selanjutnya sudah bisa ditebak. Meski tanah atau sumberdaya agraria merupakan pondasi utama berdiri tegaknya

Ketika studi ini dilaksanakan, saat ini konsolidasi penguasaan tanah garapan sudah terjadi sangat massif. Beberapa petani yang dulu cuma menguasai 0,5 hektar, saat ini kemudian ada yang sudah memiliki hampir empat hektar. Begitu juga mereka yang tadinya menjadi penggarap sendiri di area garapan mereka itu, kini mereka menjadi buruh pada tanah yang dulu mereka perjuangkan.

Jadi investasi material saja tanpa investasi skill menjadi sangat sia-sia untuk kasus petani dan pertanian di Cipelang. Hal ini disetujui ketika dalam sesi FGD yang diadakan para petani menyebutkan bahwa system pertanian mereka masih heureuy (bercanda; bahasa Sunda) sebab apa yang mereka lakukan pada system usaha pertanian mereka belum ‗seserius‘ petani lain di kawasan lain seperti di Lembang, atau Garut.

Kami juga mendengar info bahwa lahan garapan tadi akan habis HGU/ HGB-nya sekitar 5-6 tahun ke depan. Artinya bahwa mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari mekanisme garapan pada tanah yang bukan miliknya tersebut bisa terusir jika saatnya tiba ketika ada pihak lain yang memang berwenang kepada sumberdaya agrarian tersebut.

Sementara potensi konflik yang sekarang terpendam sehubungan dengan system yang berlaku di antara mereka, seperti sewa, gadai, bahkan jual itu, juga tidaklah kecil. Sebab banyak lahan yang disewakan oleh mereka sebagai penggarap kepada pihak lain itu, tidak dilengkapi dengan berbagai kebutuhan semestinya seperti mekanisme administrasi, maupun ketidakmemahaminya mereka mengenai system pertanahan di Indonesia. Lalu bagaimana jika mereka, sebagaimana banyak dilakukan saat ini, sudah sampai pada tahun penghabisan luas garapan tersebut, sementara transaksi yang dilakukan antar individu justru melampaui batas waktu yang sudah ada.

Jika di Cibungur penetrasi modal ke pedesaan telah menyebabkan kemiskinan semakin mapan, padahal sebelumnya sempat terbuai oleh harapan dengan hadirnya sebuah usaha besar, kemudian di Cipelang penetrasi dalam bentuk hadirnya kawasan untuk kaum pemilik modal besar, sedangkan di Tonjong, para petani dihadapkan kepada Jika di Cibungur penetrasi modal ke pedesaan telah menyebabkan kemiskinan semakin mapan, padahal sebelumnya sempat terbuai oleh harapan dengan hadirnya sebuah usaha besar, kemudian di Cipelang penetrasi dalam bentuk hadirnya kawasan untuk kaum pemilik modal besar, sedangkan di Tonjong, para petani dihadapkan kepada

Kampung Tonjong memang cukup mapan dari sisi kelembagaan sosiologisnya. Namun demikian, secara social-ekonomi, masyarakat menghadapi dilemma investasi karena beberapa hal berikut: Pertama, kawasan kampong berada di daerah yang berbatas dengan hutan. Dan mereka sudah terikat suatu kontrak social bahwa tidak akan ada lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan.

Kedua, skill para petani sangat terbatas. Meski mereka saat ini ada dalam kondisi menjadi hampir satu-satunya suplayer utama komoditas pertanian untuk jenis kucay, tapi dari sisi produksi hampir bisa dikatakan tidak mengalami peningkatan berarti sejak sepuluh tahun terakhir.