Pancasila Sebagai Etika Politik (3)

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai
pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang
pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa
menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan
pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia
sebagai manusia.
Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar
etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk
yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa
maupun negara bisa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu
negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak
kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar
kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang baik secara
moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter,
karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara.
Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat
dan martabat manusia sebagai manusia.

Latar Belakang Masalah
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun
norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat Pancasila terkandung di dalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif
dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak
secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan
melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan
universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai

tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan
suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi norma moral dan norma hukum. Dalam
norma inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di
negara Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang sejak
dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan
sehari-sehari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara. Atas dasar pengertian inilah
maka nilai-nilaim Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri atau dengan
lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal-mula materi nilai-nilai Pancasila.
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang langsung

bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang
merupakan sumber norma baik meliputi norma mora maupun norma hukum, yang pada
gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut daam norma-norma etika, moral maupun norma
hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
Perumusan Masalah
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan
bahasanya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika termasuk ke dalam kelompok filsafat praktis.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susia dan tidak susia, baik dan buruk.
Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat
disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebijakan yang dilawankan dengan
kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya
dikatakan orang-orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan
prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah aku manusia. Dapat juga
dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan
tingkah laku manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

A.

Pengertian Etika Politik

Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral.
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang berhadapan
dengan berbagai ajaran moral.
Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan khusus. Etika umum adalah etika
yang mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan
etika khusus adalah etika yang membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi menjadi etika individual yaitu yang
membahas tentang kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yaitu yang
membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang
merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Pengertian politik berasal dari kosa kata ‘politics’, yang memiliki arti bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan tujuantujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih
itu.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi
seseorang. Selain itu politik menyangkut kelompok termasuk partai politik, lembaga
masyarakat maupun perseorangan.

B.
a.

Dimensi Politis Manusia
Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat mungkin memenuhi
segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia
hanya bersifat individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan
menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukannya.
Konsekuensinya ia harus mengambi sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia

dapat menyesuaikan diri dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu kemungkinan
untuk melawan mereka.
Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan pikirannyadalam hubungan
dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannyadan sejauh ia dapat mencoba untuk

bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat ruang gerak
dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara moral senantiasa berkaitan
dengan orang lain. Oleh karena itu bagaimanapun juga ia harus memutuskan sendiri apa yang
layak atau tidak layak dilakukannya secra moral. Ia dapat memperhitungkan tindakannya
serta bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut.
b.

Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Dalam Kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai
individu maupun makhluk sosial suit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya
perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya
anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat
hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh
karena itu berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social,
dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, system-sistem nilai
serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Daam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhuk sosial,
dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga
senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu

pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap moral dalam hubungannya
dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis
manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu
kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagi anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan
yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakantindakannya.

C.

Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik

Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundangundangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan
nilai kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yaitu bukanlah negara
yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada nilai religius.
Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan nilai religius, melainkan
berdasarkan nilai hukum serta demokrasi.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai
moralitas dalam kehidupan bernegara. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus

mendapatkan jaminan hukum, yaitu setiap manusia berhak mendapatkan hak, pandangan
serta perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan manusia tersebut dari segi ras, suku,
keturunan, status maupun agama..
Sila ke-III ‘Persatuan Indonesia’ tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena
seluruh sila merupakan suatau kesatuan yang bersifat sistematis. Nilai yang terkandung dalam
sila ini adalah sebagai penjelmaan dari sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagi makhluk
individu dan sosial. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan
diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam satu semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Perbedaan bukannya untuk digunjing menjadi suatu konflik dan permusuhan melainkan
diarahkan pada persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula
kekuasaaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggara negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai
pendukung pokok negara.
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan daam hidup bersama
sebagaimana terkandung dalam sila ke-V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara.
Oleh karena itu pelaksanaan ndan penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum yang
berlaku agar terciptanya perdamaian serta keadilan dalam hidup bersama.
BAB III

PENUTUP
A.

Kesimpulan

Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai
pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang
pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa
menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan
pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia
sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara,
etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat
manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti
moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang
memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada
hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka
seseorang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta
masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu

masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan
kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

B.

SARAN

Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan
bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesinambungan usaha
pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat
untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu
negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat
sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.

Daftar Pustaka:
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasia, Paradigma : Yogyakarta
Toyibin Aziz, M., 1997, Pendidikan Pancasila, Rineka Cipta : Jakarta
Kaelan, 1983, Filsafat Pancasila, Paradigma : Yogyakarta
Surihatini, Amin. 2005. Kewarganegaraan kelas XI. Klaten : Cempaka Putih.
Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Baru Algesindo.


Listyarti, Retno, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA dan MA Kelas XI, Jakarta
: Esis.
Sukarna, 1979,Sistem Politik, Bandung : Alumni