BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asuhan Keperawatan pada Ibu Post Sectio Caesarea - ANDINI MAGHFIROH BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asuhan Keperawatan pada Ibu Post Sectio Caesarea

  2.1.1 Pengkajian Pengkajian adalah fondasi dari proses keperawatan. Pengumpulan data yang dapat mengarah pada identifikasi status kesehatan, kekuatan dan masalah klien untuk menegakkan diagnosis keperawatan, yang memberikan acuan untuk intervensi dan implementasi keperawatan dan mengurangi masalah-masalah klien (Christensen & Kenney, 2009).

  Tujuan anamnesa adalah kumpulan beberapa informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang telah dipaparkan oleh pasien terkait dengan masalah kesehatan yang menyebabkan pasien melakukan kunjungan ke palayanan kesehatan pasien (Niman, 2013). Hal-hal yang perlu dikaji riwayat ibu nifas yaitu:

  1. Data umum klien

  2. Riwayat kesehatan Bertujuan untuk mendapatkan dan mengenal tentang psikososial, suku, dan latar belakang budaya yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien (Niman, 2013).

  3. Genogram.

  4. Riwayat kehamilan dan persalinan.

  5. Riwayat kehamilan saat ini 6. Masalah ginekologi.

  7. Riwayat KB.

  8. Pola Psikososial, terdiri dari: a. Pola pikir dan persepsi.

  b. Suasana hati.

  c. Hubungan/ komunikasi.

  d. Kebiasaan seksual.

  e. Pertahanan koping.

  f. Sistem nilai dan kepercayaan.

  g. Tingkat perkembangan.

  9. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik merupakan bagian dari proses assessment yang dilakukan oleh perawat untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran lengkap tentang keadaan fungsi fisiologis (Niman, 2013).

  Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada ibu post partum meliputi :

  a. Status obstertik (Gravida, Partus, Abortus)

  b. Keadaan umum

  c. Tanda-tanda vital Tekanan darah, suhu, respirasi, nadi. d. Kepala-leher Kepala, mata, hidung, mulut, telinga, leher.

  e. Masalah khusus Dada, jantung, paru, payudara, putting susu, pembesaran putting susu (menonjol atau mendatar, adakah bendungan, adakah nyeri, adakah lecet pada aerola, ASI atau kolostrum sudah keluar atau belum, adakah radang atau benjolan abnormal, adakah pembengkakan).

  f. Abdomen Involusi uterus, fundus uterus, kandung kemih, fungsi pencernaan.

  g. Perineum dan genital Vagina, integritas kulit, edema, memar, hematom, perineum (kemerahan, bengkak, echimosis, discharge, approxiamate), kebersihan.

  h. Lochea (jumlah, jenis warna, bau, konsistensi, hemorrhoid) i. Ekstremitas

  Atas (edema, kesemutan, baal), bawah (edema, varises, reflek patela). j. Eliminasi k. Istirahat dan Kenyamanan

  Pola tidur, keluhan ketidaknyamanan. l. Mobilisasi dan latihan

  Tingkat mobilisasi, latihan/senam m. Nutrisi/cairan Asupan nutrisi, asupan cairan. n. Keadaan mental Adaptasi psikologis, penerimaan terhadap bayi. o. Kemampuan menyusui p. Terapi q. Hasil pemeriksaan penunjang 2.1.2 Diagnosa

  Diagnosa keperawatan adalah pertanyaan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola aktual/potensial) dari individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan untuk mengurangi, atau mencegah perubahan (Rohman dkk, 2014).

  Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual dan potensial atau proses kehidupan (Dermawan, 2012). Diagnosa yang muncul pada klien ibu post Sectio Caesarea, yaitu:

  1. Gangguan rasa nyaman: Nyeri Akut b.d agen injuri fisik

  2. Resiko Infeksi dengan faktor risiko prosedur infasif

  2.1.3 Perencanaan Perencanaan (Intervensi) adalah fase proses keperawatan yang penuh pertimbangan dan sistematis mencakup pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah. Dalam proses menyusun rencana asuhan keperawatan klien, perawat harus terlebih dahulu menetapkan prioritas, menetapkan tujuan atau hasil yang diharapkan pada klien, memilih intervensi keperawatan dan menulis program keperawatan (Kozier, 2011). Perencanaan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan:

  1. Gangguan rasa nyaman: nyeri akut b.d agen injuri fisik Domain IV- pengetahuan tentang kesehatan & perilaku Kelas Q- perilaku sehat Outcomes 1605- kontrol nyeri

  a. Tujuan dan kriteria hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat mengontrol nyeri dengan kriteria hasil sebagai berikut:

  No Skala outcome Awal Akhir

  1. Mengenali kapan nyeri terjadi

  2

  4

  2. Melaporkan nyeri yang terkontrol

  2

  4 2 = Jarang menunjukan 3 = Kadang-kadang menunjukan 4 = Sering menunjukan 5 = Konsisten menunjukan b. Intervensi Domain I- fisiologis: dasar Kelas E- peningkatan kenyamanan fisik Outcomes 1400- kontrol nyeri

  1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.

  2. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri.

  3. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur.

  4. Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan nyeri.

  5. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (tenknik relaksasi musik) untuk mengurangi nyeri.

  2. Risiko Infeksi dengan faktor risiko prosedur infasif

  a. Tujuan dan kriteria hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil sebagai berikut:

  No. Indikator Awal Akhir

  1. Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi

  2

  4

  12

  2. Menunjukan kemampuan untuk mencegah

  2

  4 timbulnya infeksi

  3. Jumlah leukosit dalam batas normal

  2

  4

  4. Menunjukan perilaku hidup sehat

  2

  4 Tabel 2.2 Nursing Outcome Clasification Risiko Infeksi Keterangan: 1 = Tidak pernah Menunjukan 2 = Jarang Menunjukan

  3 = Kadang-kadang Menunjukan 4 = Sering Menujukan 5 = Konsisten Menunjukan

  b. Intervensi Outcome: Kontrol Risiko

  1. Pertahankan teknik aseptik

  2. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan

  3. Monitor tanda dan gejala infeksi

  4. Tingkatkan intake nutrisi

  5. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.

  6. Anjurkan pasien untuk meningkatkan istirahat.

  7. Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi

  8. Kolaborasi pemberian antibiotik

  Pelaksanaan

  2.1.4

  Pelaksanaan (Implementasi) adalah penatalaksanaan rencana keperawatan oleh perawat pada klien. Fokus utama dari komponen implementasi adalah pemberian asuhan keperawatan yang aman dan individual dengan pendekatan multifocal (Christense & Kenney, 2009).

  Dalam implementasi terdapat pedoman yang harus diperhatikan oleh setiap perawat yaitu diantaranya tindakan yang dilakukan konsisten dengan rencana dan terjadi setelah validasi rencana tersebut, ketrampilan interpersonal, intelektual, dan teknis dilakukan dengan dengan kompeten dan efisien di lingkungan yang sesuai, keamanan fisik dan psikologi klien dilindungi, dokumentasi tindakan dan respon klien dicantumkan dalam catatan perawatan kesehatan dan rencana asuhan (Dermawan, 2012).

  Evaluasi

  2.1.5 Evaluasi adalah aktifitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika klien dan professional kesehatan menentukan kemajuan klien menuju pencapaian tujuan atau hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi adalah aspek yang penting proses keperawatan karena kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan atau diubah (Kozier, 2011).

2.2 Sectio Caesarea

  2.2.1 Pengertian Sectio Caesarea

  Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin

  dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009). Tindakan sectio caesarea digunakan bilamana diyakini bahwa penundaan persalinan pervaginam tidak mungkin dilangsungkan secara aman (Cunningham, 2006).

  2.2.2 Tipe-tipe Sectio Caesarea (Harry Oxorn & William, 2010)

  a. Segmen Bawah: Insisi melintang Abdomen dibuka dan uterus disingkapkan. Lipatan

  vesicouterina periteoneum (bladder flap) yang terletak dekat

  sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan disayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan bersama- sama kandung kemih didorong ke bawah serta ditarik agar tidak menutupi lapangan pandangan. Pada segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang kecil, luka insisi ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti di dekat daerah pembuluh- pembuluh darah uterus. Kepala janin yang pada sebagian besar kasus terletak dibalik insisi diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan kemudian plasenta serta selaput ketuban. Insisi melintang tersebut ditutup dengan jahitan catgut bersambung satu lapis atau dua lapis. Lipatan vesicouterina kemudian dijahit kembali pada dinding uterus sehingga seluruh luka insisi terbungkus dan tertutup dari rongga peritoneum generalisata. Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.

  b. Segmen Bawah: Insisi Membujur Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama seperti pada insisi melintang. Insisi membujur dibuat dengan scalpel dan dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.

  c. Sectio Caesarea Klasik Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan scalpel ke dalam dinding anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul. Diperlukan luka insisi yang lebar karena bayi sering dilahirkan dengan bokong terlebih dahulu. Janin serta plasenta dikeluarkan dan uterus ditutup dengan jahitan tiga lapis. Pada masa modern ini hampir sudah tidak dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan sectio caesarea klasik. Indikasi dalam Sectio

  Caesarea Klasik yaitu: 1. Kesulitan dalam menyingkapkan segmen bawah.

  2. Bayi yang tercekam pada letak lintang.

  3. Beberapa kasus plasenta previa anterior.

  4. Malformasi uterus tertentu.

d. Sectio Caesarea Extraperitoneal

  Pembedahan extraperitoneal dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektoi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal. Ada beberapa metode sectio caesarea extraperitoneal, seperti metode Waters, Latzko dan Norton.

  Teknik pada prosedur ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk ke dalam vacuum peritonei, dan insidensi cedera vesica urinaria meningkat. Perawatan prenatal yang lebih baik, penurunan insidensi kasus yang terlantar, dan tersedianya darah serta antibiotik telah mengurangi perlunya teknik extraperitoneal. Metode ini tidak boleh dibuang tetapi disimpan sebagai cadangan bagi kasus-kasus tertentu.

  e. Histerektomi Caesarea Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang dilanjutkan dengan pengeluaran uterus. Kalau mungkin histerektomi harus dikerjakan lengkap (histerektomi total). Akan tetapi, karena pembedahan subtotal lebih mudah dan dapat dikerjakan lebih cepat, maka pembedahan subtotal menjadi prosedur pilihan kalau terdapat perdarahan hebat dan pasiennya shock, atau kalau pasien dalam keadaan jelek akibat sebab-sebab lain. Pada kasus-kasus semacam ini, tujuan pembedahan adalah menyelesaikannya secepat mungkin.

  Indikasi histerektomi caesarea yaitu:

  1. Perdarahan akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal.

  2. Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan pada kasus-kasus plasenta previa dan abruption placentae tertentu.

3. Placenta accrete.

  4. Fibromyoms yang multiple dan luas.

  5. Pada kasus-kasus tertentu kanker cervix atau ovarium.

  6. Rupture uteri yang tidak dapat diperbaiki.

  7. Sebagai metode sterilisasi kalau kelanjutan haid tidak dikehendaki demi alasan medis.

  8. Pada kasus-kasus yang terlantar dan terinfeksi kalau risiko peritonitis generalisata tidak dijamin dengan mempertahankan uterus.

  9. Cicatrix yang menimbulkan cacat pada uterus.

  10. Pelebaran luka insisi yang mengenai pembuluh-pembuluh darah sehingga perdarahan tidak bisa dihentikan dengan pengikatan ligature.

  Indikasi Sectio Caesarea

  2.2.3 Indikasi sectio caesarea pada ibu menurut Wiknjosastro (2002) antara lain yaitu panggul sempit absolute (CV kurang dari 8 cm), tumor jalan lahir, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa totalis atau sub totalis, disporsisi sefalo pelvic, rupture uteri membakat, dan partus lama. Sedangkan indikasi pada janin yaitu kelainan letak, dan gawat janin.

  Indikasi persalinan setio caesarea yang dibenarkan dapat terjadi secara tunggal atau secara kombinasi, prevalensi persalinan sectio

  

caesarea mengalami peningkatan yang sangat pesat hal ini disebabkan

  oleh keputusan dalam menegakkan indikasi semakin longgar dan indikasi persalinan sectio caesarea semakin berkembang, selain indikasi medis ada pula indikasi non medis. Sebelum dilakukan persalinan sectio caesarea hal yang harus selalu diperhatikan adalah mengetahui indikasi apa saja perlu tindakan tersebut, cara apa yang dikerjakan dan bagaimana penyembuhan luka tersebut.

  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persalinan sectio casarea (Rasjidi, 2009).

  Indikasi persalinan Sectio Caesarea:

  a) Indikasi mutlak Faktor mutlak untuk dilakukan operasi sectio caesarea dapat dibagi menjadi dua indikasi, yang pertama adalah indikasi ibu, antara lain: panggul sempit absolute, kegagalan melahirkan secara normal karena kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis serviks, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan rupture uteri. Indikasi yang ke dua adalah indikasi janin, antara lain: kelainan otak, gawat janin, prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan mencegah hipoksia janin karena preeklamsi.

  b) Indikasi relatif Yang termasuk factor dilakukan sectio caesarea secara relatif, antara lain: riwayat sectio caesarea sebelumnya, presentasi bokong, distosia fetal distress, preeklamsi berat, ibu dengan HIV positif sebelum inpartu atau gemeli.

  c) Indikasi sosial Permintaan ibu untuuk melakukan sectio caesarea sebenarnya bukanlah suatu indikasi untuk dilakukan sectio

  caesarea . Alasan yang spesifik dan rasional harus di eksplorasi dan

  didiskusikan. Beberapa alasan ibu meminta dilakukan sectio caesarea, antara lain: ibu yang melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, ibu yang ingin sectio caesarea secara elektif karena takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan.

  

World Health Organitation (WHO) memperkirakan standar rata-

  rata sectio caesarea disebuah negara adalah sekitar 5 sampai dengan 15 persen per 1.000 kelahiran di dunia. Angka kejadian

  sectio caesarea di Indonesia menurut data survey nasional pada

  tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8 persen dari seluruh persalinan (Dewi Y., dkk. 2007 ; Rasjidi, 2009). Peningkatan persalinan sectio caesarea merupakan hal yang masih menjadi kontroversi di kalangan penyedia pelayanan kesehatan, yang kebenarannya hanya dapat dibuktikan dengan melakukan analisa kasus perkasus untuk mengetahui apakah tiap tindakan diindikasikan secara medis. Ketika pasien tertentu sudah memiliki suatu kepercayaan anti intervensi hal ini menyebabkan peningkatan sectio caesarea dan hasil akhir yang tragis (Reeder dkk, 2011).

  Kontra Indikasi

  2.2.4 Menurut Cunningham (2006) Sectio Caesarea tidak boleh dikerjakan kalau ada keadaan berikut:

  1. Janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil. Dalam keadaan ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi berbahaya yang tidak diperlukan.

  2. Jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk caesarea extraperitoneal tidak tersedia.

  3. Ada infeksi pada dinding abdomen, syok

  4. Kelainan congenital

  5. Jika dokter bedahnya tidak berpengalaman, kalau keadaannya tidak menguntungkan bagi pembedahan, atau kalau tidak tersedia tenaga asisten yang memadai.

  6. Tidak ada / kurang sarana / fasilitas.

  Komplikasi yang Bisa Timbul (Winkjosastro, 2002)

  2.2.5

  1. Infeksi

  Lokasinya pada rahim juga dapat meluas ke organ-organ dalam rongga panggul disekitarnya. Faktor-faktor predisposisi partus lama, keuban pecah dini, tindakan vaginal sebelumnya.

  2. Perdarahan Perdarahan bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri uterin ikut terbuka atau karena atonia uteri.

  3. Bekuan darah di kaki (tromboblebitis), organ-organ dalam panggul, yang kadang sampai ke paru-paru.

  4. Luka kandung kemih

  5. Kurang kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga biisa terjadi rupture uteri pada kehamilan berikutnya.

  2.2.6 Resiko Persalinan Sectio Caesarea (Kasdu, D. 2003)

  a. Resiko Jangka Pendek Ada beberapa resiko jangka pendek dari persalinan sectio caesarea yaitu: 1) Infeksi pada bekas jahitan

  Infeksi luka akibat sectio caesarea berbeda dengan luka persalinan normal. Luka persalinan normal sedikit dan mudah dilihat, sedangkan luka akibat sectio caesarea besar dan berlapis-lapis. Diketahui ada 7 lapisan mulai dari dinding perut sampai dinding rahim, yang setelah operasi selesai masing- masing lapisan dijahit tersendiri, jadi bisa ada 3-5 lapisan jahitan. Bila penyembuhan tidak sempurna, kuman akan lebih udah masuk dan akan lebih mudah terjadi infeksi sehingga luka menjadi lebih parah. Bahkan bukan tidak mungkin dilakukan penjahitan ulang. 2) Infeksi rahim

  Infeksi rahim terjadi jika ibu sudah terjadi infeksi sebelumnya, misalnya mengalami pecah ketuban. Saat dilakukan operasi, rahim terinfeksi. Apalagi jika antibiotik yang digunakan tidak cukup kuat.

  3) Keloid Keloid atau jaringan parut muncul pada organ terntentu karena pertumbuhan berlebihan. Sel-sel pembentuk organ tersebut, ukuran sel meningkat dan terjadilah tonjolan jaringan parut.

  4) Cedera pembuluh darah

  Pisau atau gunting yang dipakai dalam operasi berisiko mencederai pembuluh darah misalnya tersayat. Kadang cedera terjadi pada penguraian pembuluh darah yang lengket. Ini adalah salah satu sebab mengapa darah yang keluar pada persalinan sectio caesarea lebih banyak dibandingkan persalinan normal.

  5) Cedera pada kandung kemih Kandung kemih letaknya pada dinding rahim. Saat sectio

  caesarea dilakukan, organ ini bisa saja terpotong. Perlu dilakukan operasi lanjutan untuk memperbaiki kandung kemih yang cedera tersebut.

  6) Perdarahan Perdarahan tidak bisa dihindari dalam proses persalinan.

  Namun, darah yang hilang lewat sectio caesarea lebih banyak dua kali lipat dibandingkan persalinan normal.

  7) Air ketuban masuk pada pembuluh darah Selama operasi sectio caesarea berlangsung, pembuluh darah terbuka. Ini memungkinkan komplikasi berupa masuknya air ketuban ke dalam pembuluh darah (embolus). Bila embolus mencapai paru-paru, terjadilah apa yang disebut pulmonary

  embolism . Terjadilah kematian mendadak.

  8) Pembekuan darah Pembekuan darah dapat terjadi pada urat halus dibagian kaki atau organ panggul. Jika bekuan ini mengalir ke paru-paru, terjadilah embolus.

  9) Kematian saat persalinan Beberapa penelitian menunjukan, angka kematian ibu pada section caesarea lebih tinggi dibandingkan persalinan normal.

  Lematian umumnya disebabkan karena kesalahan pembiusan, atau perdarahan yang tidak ditangani secara cepat.

  10) Kelumpuhan kandung kemih

  Usai sectio caesarea, ada kemungkinan ibu tidak bisa buang air kecil akrena kandung kemihnya kehilangan gaya gerak. Ini terjadi karena saat proses pembedahan kandung kemih terpotong.

  11) Hematoma Hematoma adalah perdarahan pada rongga tertentu, jika ini terjadi selapu disamping rahim akan membesar membentuk kantung akibat pengumpulan darah yang terus menerus. Akibatnya fatal, yaitu kematian ibu. Kasus ini juga bisa terjadi pada persalinan normal, tetapi mengingat resiko perdarahan pada sectio caesarea lebih tinggi, resiki hematoma pun lebih besar dibanding persalinan normal.

  12) Usus terpilin

  Sectio caesarea mengakibatkan gerakan usus tidak bagus,

  kemungkinan karena penanganan yang salah akibat manipulasi usus, atau perletakan usus saat mengembalikannya ke posisi semula.

  13) Keracunan darah Keracunan pada sectio caesarea dapat terjadi karena sebelumnya ibu sudah mengalami infeksi. Ibu yang awal kehamilan mengalami infeksi bawah rahim, berarti air ketubannya sudah mengandung kuman. Jika ketuban pecah dan didiamkan, kuman akan aktif sehingga vagina berbau busuk karena bernanah. Selanjutnya kuman masuk ke dalam pembuluh darah ketika operasi berlangsung, dan menyebar keseluruh tubuh. Keracunan darah yang berat dapat menyebabkan kematian ibu.

  b. Resiko Jangka Panjang 1) Masalah psikologis

  Berdasarkan penelitian, perepuan yang mengalami sectio

  caesarea mempunyai perasaan negatif usai menjalaninya (tanpa

  memperhatikan kepuasan hasil operasi). Depresi pasca persalinan juga maslah yang sering muncul. Beberapa mengalami reaksi stress pascatrauma berupa mimpi buruk, kilas balik, atau ketakutan luar biasa pada kehamilan. Masalah psikologis ini lama-lama akan mengganggu kehidupan rumah tangga atau menyulitkan pendekatan terhadap bayi. Hal ini muncul jika ibu tidak siap menghadapi operasi. 2) Perlekatan organ bagian dalam

  Penyebab perlekatan organ bagian dalam pasca sectio

  caesarea adalah tidak bersihnya lapisan permukaan dari noda

  darah. Terjadilah perlekatan yang menyebabkan rasa sakit pada panggul, masalah pada usus besar, serta nyeri pada saat melakukan hubungan seksual. Jika kelak dilakukan sectio

  caesarea lagi, perlekatan menimbulkan kesulitan teknis hingga melukai organ lain, seperti kandung kemih atau usus.

  3) Pembatasan kehamilan Perempuan yang pernah mengalami sectio caesarea hanya boleh melahirkan tiga bahkan sampai lima kali, tetapi dengan risiko dan komplikasi yang lebih berat.

  c. Resiko Persalinan Selanjutnya 1) Sobeknya jahitan rahim

  Ada tujuh lapisan jahitan yang dibuat sectio caesarea, yaitu jahitan pada kulit, lapisan lemak, sarung otot, otor perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahi, dan rahim. Jahitan rahim ini dapat sobek pada persalinan berikutnya. Makin sering menjalani

  sectio caesarea makin tinggi resiko terjadinya sobekan.

  2) Pengerasan plasenta Plasenta bisa tumbuh ke dalam melewati dinding rahim, sehingga sulit dilepaskan. Bila plasenta sampai menempel terlalu dalam (sampai ke myometrium), harus dilakukan pengangkatan rahim karena plasenta mengeras. Risikonya terjadi plasenta ini bisa meningkat karena sectio caesarea.

  3) Tersayat Habisnya air ketuban yang membuat volume ruang dalam rahim menyusut. Akibatnya ruang gerak bayipun berkurang dan lebih mudah terjangkau pisau bedah. 4) Masalah pernafasan

  Bayi yang lahir lewat sectio caesarea cenderung mempunyai masalah pernafasan yaitu nafas cepat dan tidak teratur. Ini terjadi karena bayi tidak mengalami tekanan saat lahir seperti bayi yang lahir alami sehingga cairan paru-paru tidak bisa keluar. Masalah pernafasan ini akan berlanjut hingga beberapa hari setelah lahir.

  5) Angka APGAR rendah Angka APGAR adalah angka yang mencerminkan kondisi umum bayi pada menit pertama dan menit ke lima. Rendahnya angka APGAR merupakan efek anestesi dari resiko caesarea, kondisi bayi tidak distimulasi sebagaimana bayi yang lahir lewat persalinan normal. Berdasarkan penelitian, bayi yang lahir lewat

  sectio caesarea butuh perawatan lanjutan dan alat bantu pernafasan yang lebih tinggi dibandingkan bayi lahir normal.

2.3 Nyeri

  2.3.1 Definisi Nyeri Nyeri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan dari suatu emosional disertai kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial atau kerusakan jaringan secara menyeluruh. Nyeri post sectio caesarea ditimbulkan oleh luka insisi sectio caesarea. Pada luka insisi section caesarea tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri (Nugroho, 2011). Persalinan secara

  sectio caesarea sering mengalami rasa nyeri akibat insisi abdomen.

  Berdasarkan hasil penelitian rasa nyeri yang timbul setelah operasi dinding abdomen adalah nyeri ringan 25% dari 14 pasien, nyeri sedang 48,2% sebanyak 27 pasien dan nyeri berat 26,8% dengan 15 pasien (Fitri, Trisyani,& Maryati 2012).

  Keluhan rasa nyeri di bekas jahitan Caesar sebetulnya wajar karena tubuh tengah mengalami luka dan proses penyembuhan (reaksi imflamasi). Apalagi jika luka tersebut tergolong panjang dan dalam. Dalam proses penyembuhan tak bisa dihindari terjadinya pembentukan jaringan parut, jaringan parut inilah yang dapat menyebabkan nyeri saat melakukan ativitas tertentu. Rasa nyeri ini bisa berlangsung sampai delapan minggu paska persalinan dan beberapa wanita terus merasa kedutan dengan rasa nyeri di tempat bekas luka selama berbulan-bulan sesudahnya (Kasdu, 2003).

  2.3.2 Klasifikasi Nyeri Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya dan waktu lamanya serangan nyeri (Asmadi, 2011). a. Nyeri berdasarkan tempatnya:

  1. Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit, mukosa.

  2. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.

  3. Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

  4. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system syaraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain- lain.

  b. Nyeri berdasarkan sifatnya:

  1. Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.

  2. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama.

  3. Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

  c. Nyeri berdasarkan berat ringannya: 1. Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.

  2. Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.

  3. Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

  d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan:

  1. Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner.

  2. Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan.

  Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali, begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalkan nyeri karena neoplasma. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis, yaitu:

  a. Nyeri akut:

  • Waktu kurang dari enam bulan
  • Daerah nyeri terlokalisai
  • Nyeri terasa tajam seperti ditusuk, disayat, dicubit dan lain- lain
  • Respon system saraf simpatis

  • Penampilan klien tampak cemas, gelisah, dan terjadi ketegangan otot

  b. Nyeri kronis:

  • Waktu lebih dari enam bulan
  • Daerah nyeri menyebar
  • Nyeri terasa tumpul seperti ngilu, linu dan lain-lain
  • Respon system sraf parasimpatis
  • Penampilan klien tampak depresi dan menarik diri Menurut Asmadi (2011) ada beberapa teori yang menjelaskan mekanisme nyeri. Teori tersebut diantaranya adalah:

  a. The Specificity Theory (Teori Spesifik) Otak menerima informasi mengenai objek eksternal dan struktur tubuh melalui saraf sensoris. Saraf sensoris untuk setiap indra perasa bersifat spesifik. Artinya, saraf sensoris dingin hanya dapat dirangsang oleh sensasi dingin, bukan oleh panas. Begitu pula dengan saraf sensori lainnya.

  Ada dua tipe serabut saraf yang menghantarkan stimulus nyeri yaitu serabut saraf tipe delta A dan serabut saraf tipe C.

  Menurut teori spesifik ini, timbulnya sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung serabut bebas oleh perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperature yang berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri ditalamus.

  b. The Intensity Theory (Teori Intensitas) Nyeri adalah rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat.

  c. The Gate Control Theory (Teori Kontrol Pintu) Teori ini menjelaskan mekanisme transmisi nyeri. Kegiatannya bergantug pada aktivitas serat saraf aferen yang berdiameter besar atau kecil yang dapa mempengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa. Aktivitas serat yang berdiameter besar menghambat tra nsmisi yang artinya “pintu ditutup”, sedangkan serat saraf yang berdiameter kecil mempermudah transmisi yang artinya “pintu dibuka”.

  Tetapi menurut penelitian terakhir, tidak ditemukan hambatan presinaptik. Hambatab oleh presinaptik pada serat berdiameter besar maupun kecil hanya terjadi bila serat tersebut dirangsang secara berturut-turut. Oleh karena tidak semua sel saraf di substansia gelatinosa menerima input konvergen dari sel saraf besar maupun kecil baik yang membahayakan atau tidak, maka peranan kontrol pintu ini menjadi tidak jelas.

  2.3.4 Penilaian Nyeri Ada beberapa cara untuk mengetahui tingkat nyeri menggunakan skala assessment nyeri tunggal atau multidimensi. Skala assessment nyeri: A.

   Un-dimensional

  • Hanya mengukur intensitas nyeri
  • Cocok untuk nyeri akut
  • Skala assessment nyeri un-dimensional meliputi:

  1. Visual Analog Scale (VAS) Skala analog visual adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin di alami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis spanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada setiap sentimeter. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah penggunanannya yang sangat mudah dan sederhana.

  Tidak Nyeri Nyeri Sangat Hebat

  2.3.4.1 Gambar Visual Analog Scale (VAS)

  2. Verbal Rating Scale (VRS) Skala verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang dapat digunakan berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang atau redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak berkurang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/nyeri hilang. Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pasca bedah, karena secara alam verbal atau kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.

  No Pain

  Mild Moderate Savere Wost possible pain 2.3.4.2 Gambar Verbal Rating Scale (VRS)

  3. Numeric Rating Scale (NRS) Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitive terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik dari pada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgetik.

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

  10 Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Tak Nyeri Ringan Sedang Hebat Tertahankan

  2.3.4.3 Gambar Numeric Rating Scale (NRS)

4. Wong Baker Pain Rating Scale

  Skala ini menggunakan ekspresi wajah klien. Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.

  2.3.4.4 Gambar Wong Baker Pain Rating Scale B. Multi-dimensional

  • Mengukur intensitas dan afektif nyeri
  • Diaplikasikan untuk nyeri kronis
  • Dapat dipakai untuk outcome assessment klinis
  • Skala multi-dimensional meliputi:

  1. McGill Pain Questionnaire (MPQ) Terdiri ari empat bagian, yaitu gambar nyeri, indeks nyeri, pertanyaan-pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya dan indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini.

  2. The Brief Pain Inventory (BPI) Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri. Awalnya digunakan untuk mengasses nyeri kanker, namun sudah divalidasi juga untuk assessment nyeri kronik.

3. Memorial Pain Assessment Card

  Merupakan instrument yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas dan pengobatan nyeri kronis secara subjektif.

  Terdiri atas 4 komponen penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan mood

  4. Catatan Harian Nyeri (Pain Diary) Adalah catatan tertulis atau lisan mengenai pengalaman pasien dan perilakunya. Jenis laporan ini sangat membantu untuk memantau variasi status penyakit sehari-hari dan respons pasien terhadap terapi.

  Terapi Musik

  2.4

  2.4.1 Pengertian Terapi Musik Terapi musik merupakan intervensi alami non invasive yang dapat diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan ahli terapi, harga terjangkau dan tidak menimbulkan efek samping (Samuel, 2007 dalam Pratiwi 2014). Terapi musik adalah suatu terapi kesehatan menggunakan musik dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah terapi yang dilakukan dengan memberikan stimulus musik, dimana musik tersebut masuk kedalam pikiran melalui sensasi auditori. Suara musik atau musik yang lembut dapat mengurangi stress, persepsi nyeri, cemas dan perasaan terisolasi (Satiadarma, 2004).

  Musik merupakan suatu sarana yang bermanfaat dan mudah diperoleh (Meritt, 2003). Musik didefinisikan sebagai suara dan dian yang terorganisir memalui waktu yang mengalir (dalam ruang), beberapa kesimpulan sementara dari pertanyaan yang muncul adalah musik berasal dari vibrasi, suara berasal dari vibrasi dan vibrasi adalah esensi dari segala sesuatu (Amsila, 2011). Musik ialah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang (Farida, 2010).

  Semua jenis musik dapat digunakan dalam terapi, tidak hanya musik klasik saja, asalkan musik yang akan digunakan memiliki ketukan yang sesuai dengan irama jantung manusia, sehingga mampu memberikan efek terapeutik yang sangat baik terhadap kesehatan (Indriya, Dani dan Indri Guli, 2010).

  Kini telah banyak dikembangkan terapi-terapi keperawatan untuk menangani nyeri atau kecemasan, salah satunya adalah terapi musik yang dapat mengurangi tingkat kecemasan dan nyeri pada pasien. Terapi musik ini terbukti berguna dalam proses penyembuhan karena dapat menurunkan rasa nyeri dan dapat membuat perasaan klien rileks (Kate and Mucci, 2002 dalam Faradisi, 2012).

  Jenis Terapi Musik

  2.4.2 Jenis terapi musik ada dua yaitu:

  1. Aktif-Kreatif Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk ikut aktif dalam sebuah sesi terapi melalui cara: a. Menciptakan lagu (Composing) yaitu mengajak klien untuk menciptakan lagu sederhana b. Improvisasi, yaitu upaya membuat musik secara spontan dengan menyanyi atau bermain musik pada saat itu juga dan membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis

  c. Re-Creating, yaitu dengan cara mengajak klien bernyanyi atau bermain musik dari lagu-lagu yang sudah terkenal Pasif-Reseptif 2.

  Dalam sesi reseptif, klien akan mendapat terapi dengan mendengarkan musik. Terapi ini lebih menenangkan fisik, emosi intelektual, estetik spriritual dari musik itu sendiri sehingga klien akan merasakan ketenangan atau relaksasi. Musik yang digunakan dapat bermacam jenis dan style tergantung dengan kondisi yang dihadapi klien (Natalina, 2013).

  2.4.3 Manfaat Musik Manfaat utama terapi musik menurut para pakar terapi musikantara lain:

  1. Mengurangi rasa sakit Musik bekerja pada system saraf otonom yaitu bagian system saraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung dan fungsi otak, yang mengontrol perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua system tersebut bereaksi sensitive terhadap musik. Saat merasa sakit, kita menjadi takut, frustasi, dan marah yang membuat kita menegangkan otot-otot tubuh, hasilnya rasa sakit menjadi semakin parah. Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh rileks secara fisik dan mental, sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah rasa sakit. Pada proses persalinan, terapi musik berfungsi mengatasi kecemasan dan mengurangi rasa sakit (Marmi, 2013).

  2. Relaksasi Mengistirahatkan tubuh dan fikiran merupakan manfaat yang pasti dirasakan setelah melakukan terapi musik sehingga klien akan merasakan perasaan rileks, tubuh lebih bertenaga dan fikiran lebih fresh (Eka, 2009).

  3. Meningkatkan kecerdasan Sebuah efek terapi musik yang bisa meningkatkan intelegensia seseorang disebut efek Mozart. Hai ini telah diteliti secara ilmiah oleh Frances Rauscher et al dari Universitas California (Eka, 2009).

  4. Meningkatkan motivasi Motivasi adalah hal yang hanya bisa dimunculkan dengan perasaan dan mood tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun akan muncul dan segala kegiatan bisa dilakukan. Dari hasil penelitian, ternyata jenis musik tertentu juga bisa meningkatkan motivasi, semangat dan meningkatkan level energy seseorang (Eka, 2009).

  5. Mengembangkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi Terapi musik akan menciptakan sosialisasi karena dalam bermusik dibutuhkan komunikasi (Natalina, 2013).

  6. Musik menyebabkan tubuh menghasilkan hormone beta-endorfin.

  Ketika mendengarkan suara kita sendiri yang indah maka hormon “kebahagiaan” beta-endorfin akan berproduksi (Natalina, 2013).

  Tata Cara Pemberian Terapi Musik

  2.4.4 Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam pemberian terapi musik. Sering kali durasi yang diberikan dalam pemberian terapi musik adalah selama 20-35 menit, tetapi untuk masalah kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan durasi 30-45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lambat, 50- 70 ketukan per menit menggunakan irama yang tenang (Schou 2007 dalam Mahanani 2013).

  Terapi musik didengarkan minimal 30 menit setiap hari sampai semua rasa sakit yang dikeluhkan hilang sepenuhnya dan tidak kembali lagi. Jika diputar saat rasa sakit muncul, maka rasa sakit akan berkurang atau bahkan hilang sepenuhnya (Eka, 2009).

  2.4.5 Mekanisme Musik sebagai Terapi Pada saat musik diterima oleh daun telinga, maka diteruskan ke telinga tengah yang akan menggetarkan membrane tympani, dengan getaran ini maka maleus, incus dan stapes ikut bergetar, suara tersebut masuk ke telinga dalam (koklea) melalui fanestra ovalis, disini getaran suara akan membangkitkan impuls saraf yang akan mempengaruhi system limbik, yang pertama akan diterima langsung oleh Talamus, yaitu suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi dan perasaan.

  Kedua diterima oleh Hipotalamus mempengaruhi struktur basal “forebrain” termasuk system limbik dan ketiga melalui axon neuron secara difus mempersarafi neokorteks. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori dan lain- lain. Di hipotalamus maka respon dari musik yang tenang akan menimbulkan ketenangan dan mengurangi rasa nyeri (Indriya, Dani dan Indri Guli. 2010).

  2.5 Kerangka Teori:

  Faktor yang mempengaruhi nyeri: Indikasi Sectio Caesarea:

  1. Usia

  6. Dukungan

  2. Kebudayaan

  7. Pengalaman

1. Faktor Janin

  a. Bayi terlalu besar

  3. Keletihan

  8. Perhatian

  4. Gaya koping

  b. Kelainan letak (letak sungsang dan letak

  5. Ansietas lintang) c. Ancaman gawat janin

  d. Janin abnormal

Sectio

Nyeri

  e. Faktor plasenta Caesarea f. Kelainan tali pusat

  g. Bayi kembar

2. Faktor Ibu

  

a. Usia Terapi Farmakologi: Terapi Non Farmakologi:

  b. Tulang panggul sempit

Obat Analgetik non

c. Post persalinan sectio Bimbingan antisipasi nyeri narkotika dan NSAID, caesarea sebelumnya

Opiat dan Obat

  d. Hambatan jalan lahir tambahan. Kompres air hangat dan e. Kelainan kontraksi kompres air dingin rahim

  f. Ketuban pecah dini TENS (Transcutananeous g. Rasa takut akan Penurunan Nyeri

  Elektrical Stimulation ) kesakitan

  Relaksasi Terapi Musik:

  1. Klasik Mozart

  2.

  3. Jazz Instrumental

  4.

5. Pop

Gambar 2.5 Kerangka Teori

  2.6 Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Depeneden

  Terapi Musik Penurunan Tingkat Klasik Nyeri

Dokumen yang terkait

Program Discharge Planning Dalam Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Ibu Pasca Operasi Sectio Caesarea Di Ruang Tanjung II RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan

16 140 136

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Rasa Nyaman: Nyeri - Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Gangguan Aman Nyaman: Nyeri pada Post Sectio Caesaria di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 25

BAB II PENGELOLAAN KASUS 2.1 Konsep Dasar Sectio Caesaria 2.1.1 Definisi Sectio Caesaria - Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Gangguan Aman Nyaman: Nyeri pada Post Operasi Sectio Caesaria di RSUD. dr. Pirngadi Medan

0 0 35

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Rasa Nyaman: Nyeri - Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Gangguan Aman Nyaman: Nyeri pada Post Sectio Caesaria di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sectio Caesarea 2.1.1 Defenisi - Gambaran Determinan Permintaan Persalinan Sectio Caesarea Tanpa Indikasi Medis Di RSU X Tahun 2014

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan - Kepatuhan Perawat dalam Penerapan Protap Perawatan Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC) di RSUD Langsa

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi - Pasien Sectio Caesarea Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2009 - 2011

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Electromyograph - BAB II TINJAUAN PUSTAKA

0 2 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Sectio Caesaria - ALIFAH NUR LAELI BAB II

0 1 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asuhan Keperawatan Ibu Post Partum dengan Perawatan Tali Pusat 1. Pengkajian - NAHDAH DYAH NADILLA BAB II

0 0 23