Kinerja Bauran Pemasaran Politik terhadap Keputusan Memilih Kepala Daerah Kota Bandung.

(1)

viii

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

In a local election in Indonesia, needs to be examined several factors that can be used by a candidate to win the election. darting through the use of political marketing is needed to be able to achieve the sound that much, it is not apart from the fame factor of candidates to be elected in a local election in Indonesia.

Political marketing commonly used in Indonesia since the enactment of direct elections. it is not independent of the fame factor of the regional leaders, so the decision to choose the community in a general election can be influenced by the fame of the character who ran as a candidate in the general election of regional heads in Indonesia. Research on political marketing is done on the campus of Maranatha Christian university with 100 respondents, who are voters in the municipal elections held in Bandung in 2013. where Ridwan Kamil who eventually was elected mayor for the period 2013-2018.


(2)

ix

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Dalam pemilihan lokal di Indonesia, ada beberapa faktor yang digunakan seorang kandidat untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Penggunaan Pemasaran Politik sangat dibutuhkan untuk mendapatkan suara yang banyak, dan faktor keterkenalan sangat menentukan kemenangan kandidat dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia Pemasaran politik yang umum digunakan di Indonesia sejak diberlakukannya pemilihan langsung. itu tidak terlepas dari faktor ketenaran dari pimpinan daerah, sehingga keputusan untuk memilih masyarakat dalam pemilihan umum dapat dipengaruhi oleh ketenaran dari karakter yang maju sebagai calon dalam suatu pemilihan.

Penelitian pemasaran politik yang dilakukan di kampus Universitas Kristen Maranatha dengan 100 responden, yang merupakan pemilih dalam pemilu kota yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 2013. Ridwan Kamil akhritnya tepilih sebagai walikota Bandung untuk periode masa bakti 2013-2018.


(3)

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ……….. i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ………... ii

SURAT PERNYATAAN MENGADAKAN PENELITIAN TIDAK MENGGUNAKAN PERUSAHAAN ………... iii

SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ……… iv

KATA PENGANTAR ………... v

ABSTRACT ………... viii

ABSTRAK ………. ix

DAFTAR ISI ……….. x

DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Identifikasi Masalah ………. 12

1.3. Maksud dan Tujuan ……….. 12

1.4. Manfaat Penelitian ……… 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka ……… 14

2.1.1. Pemasaran Politik (Marketing Politics) ……….. 14

2.1.2. Orientasi Pasar Politik ……… 29


(4)

xi

Universitas Kristen Maranatha

2.1.4. Strategi Pemasaran Politik (Political Marketing Strategies) ………… 36

2.1.5. Publisitas Politik ………... 43

2.1.6. Branding Politik ………... 44

2.1.7. Proses Keputusan Memilih ……….. 49

2.2. Rerangka Teoritis ……… 53

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian ………. 54

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 55

3.2.1. Lokasi ……….. 55

3.2.2. Waktu Penelitian ………. 55

3.3. Jenis Penelitian ………... 55

3.4. Jenis dan Sumber Data ………... 56

3.4.1. Data Primer ………. 56

3.4.2. Data Sekunder ………. 57

3.5. Definisi Operasional Variabel ……… 57

3.5.1. Operasional Variabel ………... 58

3.6. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……….. 60

3.6.1. Populasi ………... 60

3.6.2. Sampel ………. 60

3.6.3. Teknik Pengambilan Sampel ………... 61

3.7. Alat Analisis ……… 61

3.7.1. Validitas ……… 61

3.7.2. Reliabilitas ……… 62

3.8. Analisis Regresi ………. 64

3.8.1. Teknik Pengolahan data ………. 65

3.9. Uji Validitas ……….. 67

3.9.1. Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ………. 68

3.9.2. Uji Reliabilitas Variabel Produk Politik (X1) ………... 68


(5)

xii

Universitas Kristen Maranatha

3.9.4. Uji Reliabilitas Variabel Distribusi/Jaringan Politik (X3) ………. ... 69

3.9.5. Uji Reliabilitas Variabel Harga Politik (X4) ………. 69

3.9.6. Uji Reliabilitas Sub Variabel Keputusan Memilih (Y) …………... 70

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Responden ……….. 71

4.2. Pembahasan ……….. 71

4.2.1. Variabel Pemasaran Politik 4.2.2. Sub Variabel Produk Politik 4.2.3. Sub Variabel Promosi Politik 4.2.4. Sub Variabel Distribusi/Jaringan Politik 4.2.5. Sub Variabel Harga Politik 4.2.6. Variabel Keputusan Memilih 4.2.7. Pengaruh Pemasaran Politik yang Meliputi Produk Politik, Promosi Politik, Distribusi atau Jaringan Politik dan Harga Politik Terhadap Keputusan Memilih ……… 88

4.2.8. Persamaan Regresi Linier Berganda ……….... 88

4.2.9. Pengujian Hipotesis Simultan (Uji F) ………... 90

4.2.10. Pengujian Hipotesis Parsial (Uji t) ……….. 91

4.2.11. Analisis Koefisien Determinasi ……… 94

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ………... 96


(6)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Penggunaan Hashtag di Twitter Ridwan Kamil ……….……..….. 18

Gambar 2 : YouTube sebagai sarana kampanye RIDO di media social ……...…… 21

Gambar 3 : Proses Marketing Politik ……….……….….…. 28

Gambar 4 : Segmentasi dan Positioning Politik ……….……….….…. 32

Gambar 5 : Bagan Partai Politik dan Pemilih ….……….….…. 42

Gambar 6 : Tipologi Pemilih ……….……….… 46

Gambar 7 : Penelitian Dan Analisis Konsumen Pada Strategi Pemasaran …..……. 50

Gambar 8 : Jenis-Jenis Respon Afektif …… ………….………... 51

Gambar 9 : Rerangka Teoritis ………...………...………. 53

Gambar 10 : Operasional Variabel ……….. 59

Gambar 11 : Diagram Frekuensi Data Berdasarkan Kategori Tentang Pemasaran Politik ………. 73

Gambar 12: Diagram Frekuensi Data Berdasarkan Kategori Tentang Keputusan Memilih ……….. 86


(7)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Kampanye Pemilu vs. Kampanye Politik ………...… 26

Tabel 2 : Perolehan suara Pilwakot Bandung Tahun 2013 ………...…….... 40

Tabel 3 : Bobot Penilaian Berdasarkan Skala Likert ………...……...….. 65

Tabel 4 : Uji Validitas Akhir ………...…...…….. 67

Tabel 5 : Hasil Uji Reliabilitas Produk Politik (X1) ………...………….. 68

Tabel 6 : Hasil Uji Reliabilitas Promosi Politik (X2) ………... 68

Tabel 7 : Hasil Uji Reliabilitas Distribusi/Jaringan Politik (X3) …………...…….. 68

Tabel 8 : Hasil Uji Reliabilitas Harga Politik (X4) ………...………… 70

Tabel 9 : Hasil Uji Reliabilitas Keputusan Memilih (Y) ………... 70

Tabel 10 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Variabel Pemasaran Politik ………. 72

Tabel 11 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Sub Variabel Produk Politik …………..……… 74

Tabel 12 : Bagaimana tingkat kualitas Citra dari Gerindra dan PKS partai politik pendukung calon walikota-wakil walikota ………..… 75

Tabel 13 : Bagaimana tingkat kualitas Citra pemimpin partai politik Gerindra dan PKS pendukung calon walikota-wakil walikota ……….……. 75

Tabel 14 : Bagaimana tingkat komitmen Kebijakan partai politik Gerindra dan PKS pendukung calon walikota-wakil walikota ………..………. 76

Tabel 15 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Sub Variabel Promosi Politik ………. 77

Tabel 16 : Bagaimana tingkat pengertian tentang Iklan politik calon walikota-wakil-walikota di surat kabar ……… 78

Tabel 17 : Bagaimana tingkat pengertian tentang Penyiaran politik calon walikota-wakil walikota di radio ……… 78


(8)

xv

Universitas Kristen Maranatha Tabel 18 : Bagaimana tingkat pengertian tentang Hubungan Kemasyarakatan calon

walikota-wakil walikota ………....…….. 79 Tabel 19 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Sub

Variabel Distribusi/Jaringan Politik ………... 80 Tabel 20 : Bagaimana tingkat kemampuan Kerja tim sukses di lapangan dari calon

walikota-wakil walikota ….………. 81 Tabel 21 : Bagaimana tingkat keberhasilan Penggalangan suara calon walikota-wakil

walikota ……….…... 81 Tabel 22 : Bagaimana tingkat kualitas Kunjungan di lapangan dari calon

walikota-wakil walikota ……….. 82 Tabel 23 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Sub

Variabel Harga Politik ……….………. 83 Tabel 24 : Bagaimana tingkat pertimbangan Resiko Ekonomi dimasa yang akan datang

dalam menentukan calon walikota-wakil walikota ……… 84 Tabel 25 : Bagaimana tingkat pertimbangan Resiko Psiklogis dimasa yang akan datang

dalam menentukan calon walikota-wakil walikota …………...………… 84 Tabel 26 : Frekuensi Tanggapan Responden Berdasarkan Kategori Tentang Variabel

Keputusan Memilih ……… 86 Tabel 27 : Bagaimana tingkat Pengetahuan anda terhadap calon walikota-wakil walikota

selama ini .……….. 87 Tabel 28 : Bagaimana tingkat Ketertarikan/kesukaan anda terhadap calon walikota-wakil walikota selama ini ……….. 87 Tabel 29 : Bagaimana tindakan anda untuk Memilih calon walikota-wakil walikota,

setelah mengetahui adanya bauran pemasaran politik, peristiwa mutakhir dan personal branding serta citra kandidatnya ………..……… 88 Tabel 30 : Bagaimana tindakn anda untuk Memilih calon walikota-wakil walikota,

setelah megetahui adanya bauran pemasaran politik, peristiwa mutakhir dan personal branding serta citra kandidatnya ………. 88


(9)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai suatu negara demokrasi Indonesia dihadapkan pada pemilihan secara langsung, baik itu pada pemilu maupun pemilihan pada tingkat daerah atau pemilukada. Di Indonesia Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) telah berlangsung selama kurang lebih 8 Tahun. Pemilukada pertama kali digelar pada bulan Juni tahun 2005 dan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten atau Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten atau Kota. Khusus di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Aceh (Panwaslih Aceh), hal ini dibenarkan karena Aceh yang merupakan daerah Otonom khusus. Berdasarkan pengaturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang, Undang-Undang ini berdasarkan dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal. Selama berlangsungnya Pemilukada, banyak hal yang menarik untuk disoroti, terutama hal yang berkaitan dengan pengaturan sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat (Pilkada). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada masuk


(10)

2 Universitas Kristen Maranatha didalam pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2007. Pada tahun 2011, terbit Undang-Undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu UU Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Selama ini pengaturan Pemilukada diatur dalam beberapa Undang-Undang. Pada tahun 1999, aturan Pilkada ditorehkan dalam UU No.22 Tahun 1999. Pada tahun 2004, pemerintah lalu menerbitkan undang-undang baru untuk pemilukada, yakni UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya juga dimuat sejumlah aturan-aturan terkait Pemilukada. Seiring dengan berjalannya waktu, pelaksanaan Pemilukada tidak selalu berjalan mulus, terdapat sejumlah hal yang terjadi yang ternyata belum diatur selama ini oleh undang-undang terakhir, yaitu UU No.32 tahun 2004, akibatnya, terdapat sejumlah undang-undang ataupun peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang yang dibuat setelahnya untuk mengakomodir kekosongan hukum itu. Salah satu di antaranya adalah UU No.12 Tahun 2008 yang mengatur tentang calon independen atau perseorangan, yang mana hal ini menafikan partai politik (parpol) di dalam mengusung calon kepala daerah.

Didalam suatu negara demokrasi pemilu maupun pemilukada merupakan suatu hal yang sangat penting, dikarenakan sifatnya yang langsung memilih pemimpin yang diinginkan rakyat, sehingga antara pemilih dan yang dipilih harus memiliki interaksi, terutama para calon yang harus memperkenalkan profil mereka kepada masyarakat luas sehingga calon tersebut dapat merebut hati masyarakat luas sebagai jaminan untuk dapat memenangkan pemilukada.

J. Kristiadi (2004), menyatakan bahwa:

Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan demokratis adalah sebagai institusi untuk melakukan perubahan kekuasaan (pengaruh) yang dilakukan secara regulasi, norma dan etika sehingga sirkulasi elit politik (pergantian kekuasaan) dapat dilaksanakan secara damai dan beradab.


(11)

3 Universitas Kristen Maranatha Pelaksanaan Pemilukada merupakan sarana untuk mendapatkan sosok pemimpin yang diinginkan masyarakat, seseorang akan terpilih biasanya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, namun yang utama tentu saja seberapa populer calon tersebut dimata masyarakat kemudian barulah para pemilih (voters) akan melihat visi, misi maupun ide dan gagasan dari calon yang maju di dalam suatu pemilukada. Jika semua syarat ini ada dan melekat pada sosok calon pemimpin, maka biasanya akan populer di mata masyarakat dan akan menjadi sebuah sinyalemen kuat bahwa figur ini akan menarik banyak suara, terlebih biasanya lembaga-lembaga survei politik akan menempatkan sosok seperti ini di posisi teratas dalam suatu polling.

Besarnya ongkos politik yang harus disiapkan para calon pemimpin untuk memenangkan pilkada maupun pemilu, serta semakin maraknya penggunaan money politics di pilkada maupun pemilu memunculkan pertanyaan yang besar, apakah sebenarnya pemilihan langsung merupakan bentuk demokrasi yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia sekarang ini, bangsa ini mungkin masih muda di dalam pelaksanaan demokrasi, tetapi apakah hakikatnya demokrasi Indonesia sesuai dengan budaya dan islam sebagai mayoritas agama masyarakat di Indonesia. Pertanyaan seperti ini mungkin menjadi sebuah anomali bagi kehidupan berdemokrasi, karena pada kenyataannya tidak ada yang salah pada sistem demokrasi, namun pertanyaanya adalah apakah masyarakat memahami makna dari demokrasi itu sendiri. Mencari seorang pemimpin hakikatnya adalah yang terbaik dan mampu melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab politiknya, bahkan di banyak negara arab mereka menginginkan sistem demokrasi diterapkan di negara mereka yang notabene selama ini memakai sistem kerajaan dan pemerintahan yang otoriter, sehingga menimbulkan fenomena arab spring seperti beberapa waktu yang lalu, hal ini menunjukkan demokrasi merupakan sebuah langkah berbangsa dan bernegara yang semakin banyak diinginkan oleh masyarakat diseluruh dunia. Namun pada kenyataanya demokrasi juga dihadapkan pada berbagai macam masalah terhadap sistem penerapannya, rakyat akan berpikir bahwa demokrasi merupakan penyebab utama fenomena korupsi yang merajalela di Indonesia belakangan ini, partai-partai politik semakin tidak dipercaya dan menjadi sebuah organisasi yang hanya mengenyangkan perut para pejabat, berbanding terbalik pada saat kampanye yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak. Sehingga masyarakatlah


(12)

4 Universitas Kristen Maranatha yang menjadi korban para elite di dalam perebutan kekuasaan. Korupsi menjadikan masyarakat tidak percaya pada calon pemimpin yang akan mereka pilih, hal ini menimbulkan menurunya presentase pemilih di dalam setiap pemilu maupun pilkada yang digelar, angkanya cenderung naik setiap tahun. Pergolakan politik di Mesir menjadi dampak dari kegagalan negara di dalam menerapkan demokrasi. Proses pencalonan presiden sampai pada Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) harus kita jadikan contoh bahwa proses menjual dan mencitrakan diri dalam konteks mendulang suara para calon peserta dari tingkat konvensi sampai pada tingkat calon presiden dari dua partai besar yaitu, Republik dan Demokrat, dari negara adidaya ini kita bisa melihat bagaimana konsep ide dan gagasan dan visi misi yang jelas dari para calon untuk negara lebih menonjol daripada sekedar iklan pencitraan yang banyak namun berputar pada memperkenalkan diri, tanpa dengan jelas memiliki konsep sebagai pemimpin negara, calon presiden amerika yang bertarung di konvensi dan pemilu seperti Barack Obama, John Kerry, Hillary Clinton, Joe Biden, Joe McCain, sangat meyakini citra personal saja tidak cukup untuk memimpin suatu negara, karena yang diperlukan sesungguhnya adalah implementasi ide-ide cemerlang untuk amerika, bertarung dengan ide dan gagasan yang cemerlang untuk kemajuan negara yang akan dipimpin. Obama yang terpilih memakai Dream dan kerja keras diawal pemerintahannya sehingga mampu merangkul secara bersama-sama memajukan negara amerika saat negara ini mengalami resesi terparah diawal-awal pemerintahannya, sampai sekarang dia mampu membawa perekonomian amerika pulih menuju arah yang lebih baik, walaupun pada saat bersamaan amerika juga dihadapkan pada persoalan dalam dan luar negeri (dalam hal ini kebijakan luar negeri amerik serikat sendiri), walaupun popularitasnya naik turun akibat berbagai macam kebijakan namun dia mampu terpilih untuk periode kedua masa jabatan presiden amerika dan kembali memimpin negara terkuat di dunia ini untuk kedua kalinya, hal ini menggambarakan dengan jelas bahwa naik turunnya popularitas boleh saja terjadi, maka untuk mendapatkan simpati publik kembali, yaitu dengan membuat kebijakan yang populer dimata warga amerika, dan setelah pencitraan didapat maka pencitraan diri tidak disalahgunakan untuk meraih kekuasaan melainkan setelah mendapatkannya maka menjalankan kekuasaan yang didapat tersebut dengan sebaik-baiknya, hal inilah yang tidak kita dapatkan di Indonesia, kala politisi berlomba untuk


(13)

5 Universitas Kristen Maranatha menjadi penguasa dan setelah berkuasa maka dia lupa akan apa yang menjadi janji politik, tanggung jawab, dan prioritas dia untuk negara, karena kekuasaan yang dimiliki juga maka terjadi penyalahgunaan jabatan yang berujung pada tindakan korupsi dan hilangnya nasionalisme dan tanggung jawab prbadi kepada negara dan masyarakat yang memilih. Para kepala daerah yang tertangkap oleh KPK harus menjadi gambaran bahwa demokrasi dinegeri ini belum berjalan dengan sebagaimana mestinya, syair Percy

Bysshe Shelley dalam “The Flower That Smiles Today” dapat dijadikan pegangan untuk berhenti korupsi: “The flower that smiles today, tomorrow dies; All that we wish

to stay, tempts and then flies; What is this world’s delight? Lightning, that mocks the

night, briefs even as bright.”

Praktik korupsi dan jual beli suara yang marak terjadi dapat menjadi gambaran betapa buruknya sistem demokrasi negara ini. Mungkin apa yang dikatakan Bapak pendiri bangsa kita Mohammad Hatta tentang demokrasi benar adanya bahwa demokrasi tidak cukup diartikan dengan pemerintahan rakyat, tetapi harus disertai tanggung jawab dan toleransi karena demokrasi baru bisa jalan jika ada toleransi dan tanggung jawab.

Praktik pembelian suara yang marak baik ditingkat pilpres maupun pilkada juga menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang mengerti dampak yang akan diakibatkan oleh perilaku tersebut, namun pola ini berlahan juga sudah ditinggalkan masyarakat, hal ini dikarenakan banyakanya kasus korupsi yang terbuka ke ranah publik, yang membuat rakyat semakin muak dengan perebutan kekuasan yang menghalalkan segala cara ditingkat elit. Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyampaikan temuannya setelah melakukan polling belum lama ini. Dari situ diketahui, banyak pemilih yang toleran terhadap politik uang ternyata tidak berkontribusi memengaruhi elektabilitas

partai atau calon anggota legislatif bersangkutan. “Temuan kita sendiri, ada 58%

pemilih yang menganggap toleran terhadap money politics, tetapi mereka tidak memberikan suara. Secara potret besar, memang sebenarnya tidak efektif,” meski begitu, kata dia, ada sekitar 28% dari masyarakat yang toleran terhadap money politics, tetapi mau memberikan suaranya kepada pihak pemberi uang. Ia mengatakan pola transaksional seringkali dianggap sebagai jalan tengah bagi politisi ataupun partai politik untuk meraup suara konstituen. Politik uang juga juga terjadi pada level massa. Dalam momentum kepemiluan di saat konstituennya kecil seperti pemilu kada, hampir


(14)

6 Universitas Kristen Maranatha dipastikan akan ada politik uang karena perebutan suara akan semakin ketat. (Burhanuddin Muhtadi. Media Indonesia, 2013)

Berbagai macam dinamika politik yang terjadi oleh para elit menjadi suatu gambaran negatif di dalam berdemokrasi di Indonesia dewasa ini, masyarakat yang akan menjadi korban dalam pertarungan elit juga semakin cerdas di dalam menentukan pilihannya, tidak heran disetiap pemilu maupun pilkada kecenderungan penurunan pemilihan banyak terjadi dan munculnya fenomena swing voters (pemilih berpindah partai politik), penyebabnya tak lain adalah menurunya kepercayaan public terhadap para politikus. Para politisi bangsa ini sepertinya harus banyak belajar cara berpolitk yang tepat, melihat banyaknya fenomena kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, baik yang sudah ditetapkan sebagai tersangka maupun sudah menhjadi terdakwa. Hal ini tentunya sangat menciderai rasa tanggung jawab terhadap jabatan yang mereka emban maupun tanggung jawab terhadap masyarakat yang sudah memilih mereka. Seorang Kriminolog dan Ekonom Italia Cesare Beccaria (1738-1794) pernah bekata

“Bahwa metode paling tepat untuk mencegah kejahatan adalah dengan menyempurnakan sistem pendidikan. Tapi ini adalah objek yang terlalu luas, dan melampaui rencana saya; sebuah objek, jika saya boleh menyatakannya, yang begitu intim terhubung dengan sifat pemerintahan sehingga selalu menyisakan tempat tandus, hanya bisa diolah oleh segelintir orang bijak”.

Mungkin apa yang terjadi di Indonesia sekarang sudah ada dalam pikiran Cesare Beccaria berabad-abad lampau bagaimana orang-orang yang berpendidikan justru yang melakukan kejahatan korupsi, kepercayaan publik kepada sosok pemimpin disalahgunakan dengan berbagai cara, termasuk tindakan korupsi oleh para pejabat samapai kedaerah. Namun fenomena ini juga tidak terlepas dari bagaimana mudahnya mendapatkan gelar pendidikan bahkan dalam prakteknya banyak calon kepala daerah maupun yang sudah menjadi pejabat negara yang ijazahnya dipermasalahkan karena tanpa mengikuti pendidikan sudah mendapat gelar, bagaimana ijazah dan gelar dengan mudahnya diperjualbelikan, apalagi jika kita melihat spanduk yang bertebaran di jalan saat pilkada calon-calon dengan sederet gelar yang tidak tahu benar atau tidak mendapatkannya, faktanya orang Indonesia khususnya lebih melihat gelar seseorang ketimbang kualiatas yang bersangkutan. Aturan yang dibuat bahwa seorang kepala


(15)

7 Universitas Kristen Maranatha daerah diharuskan memiliki gelar tanpa mengindahkan darimana gelar tersebut didapat dalam akdemik atau merujuk kualitas seseorang dalam akademik, hal ini yang menjadi masalah terbesar dikala gelar yang didapat tidak sesuai dengan kulaitas dan pola pikir pemimpin tersebut, sehingga lagi-lagi yang akan menjadi korban adalah masyarakat, maka dalam suatu pemilihan baik itu pemilu maupun pilkada, masyarakat dituntut cerdas di dalam memilih dan menentukan calon pemimpinnya kelak sebab itu akan dirasakan dalam kurun waktu yang relatif lama. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar didunia. Dalam suatu sistem demokrasi, terutama di negara seperti Indonesia Partai politik merupakan infrastruktur politik yang sangat penting. Sejak awal, demokrasi tidak hidup di ruang hampa politik. Ketika elite politik yang tidak berasal dari pilihan rakyat mabuk kuasa dan melanggengkan dinasti kekuasaan, tak peduli kesejahteraan publik, rakyat pun menuntut haknya untuk ikut menentukan siapa yang layak mewakili aspirasi mereka. Dalam keyakinan Thomas Jefferson (1743-1826), peletak dasar demokrasi Amerika, semua orang tercipta setara dalam hak-hak dasar yang melekat dalam eksistensinya (inalienable). Pemerintah mendapat mandat dari rakyat untuk menjamin hak hidup, kebebasan, dan hak konstitusional warga. Demokrasi memberi peluang bagi rakyat untuk memilih sendiri wakil dan pemimpin mereka yang mampu membahagiakan mereka. Republik ada untuk publik. Manakala tujuan demokrasi tak tercapai, pemerintah diganti dan diakhiri secara konstitusional. Namun, demokrasi juga bukan segala-galanya. Ia tidak mengenyangkan perut yang lapar. Tiada korelasi langsung antara demokrasi dan kemajuan negara. Lee Kuan Yew, bapak bangsa Singapura, pernah menegaskan prinsip bernegaranya dalam konferensi bisnis di Filipina (18/11/1992), “Berlawanan dengan para komentator politik di Amerika, saya tak yakin demokrasi selalu menyebabkan kemajuan. Saya yakin yang

dibutuhkan negara untuk maju adalah disiplin lebih daripada demokrasi.” Negeri itu pun

tak terganggu dengan label otoritarian dari barat. Ia tetap menjadi tempat tujuan wisata dan investasi asing. Keunggulannya dalam tertib administrasi dan tata kelola negara membuat kepastian hukum di negeri itu amat tinggi. Kepastian berusaha terjamin. Negeri itu bersih dari praktik pungli, korupsi, mafia peradilan, mafia proyek, ataupun makelar kasus. Birokrasi bekerja untuk memajukan negara dan membahagiakan rakyat. Kapitalisme pun berjaya tanpa demokrasi. Kendati demikian, demokrasi merupakan


(16)

8 Universitas Kristen Maranatha sebuah jalan bernegara yang paling sesuai dengan kodrat manusia merdeka. Indonesia telah memilih jalan itu dengan menutup mati pintu belakang otoritarianisme. Ratusan pemilihan kepala daerah telah digelar dan menyedot anggaran negara sangat besar. Semasa kampanye, calon mencitrakan diri sebagai sosok yang sesuai harapan rakyat. Sesudah terpilih, keluar watak aslinya yang menolak terikat dengan nasib rakyat. Tidak banyak sosok kepala daerah seperti bupati di Bantaeng (Sulawesi Selatan) atau wali kota di Surabaya (Jawa Timur). Mereka pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, menurunkan angka kemiskinan, menjauhkan kota dari citra kumuh dan semrawut, tidak menghabiskan anggaran belanja daerah untuk membiayai kemewahan birokrasi, tidak memperkaya diri, dan tidak hidup seperti miliarder. (Karman. Kompas, 18 November 2013).

Pilihan Politik di dalam berdemokrasi sedianya harus disikapi dengan benar sebab akan berdampak terhadap keputusan politik yang diambil nantinya, diharapkan jangan sampai mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat, sebab para pelaku politik diharapkan mampu mengontrol diri dan membuat suatu keputusan terbaik bagi kemajuan negara, dan selalu menomor satukan kepentingan masyarakat luas dan kemajuan negara diatas kepentingan pribadi, partai maupun golongan walaupun nantinya parati menjadi saluran dalam politik itu sendiri.

Demokrasi merupakan sebuah sistem besar yang hanya efektif kalau dia berhasil membangun mekanisme-mekanisme lain dalam dirinya, yang membuatnya menemukan jalan mencapai sasaran dalam kinerjanya. Ada sistem perantara yang harus ada terlebih dahulu agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik. Korupsi, misalnya, bisa dikurangi dan bahkan dicegah kalau sudah ada tata kelola yang rapi dan tangguh dalam pemerintahan, yaitu tegaknya good governance. Tata kelola yang baik dalam pemerintahan terbangun kalau ada kombinasi yang optimal antara birokrasi yang bersih dan efisien dan kemauan politik dan kekuatan politik yang tercermin dalam kebijakan publik yang dapat diimplementasikan. Seorang pemimpin yang peragu cenderung mereplikasikan keraguannya pada mereka yang dipimpinnya, sedangkan pemimpin yang terlalu yakin tentang kemampuan dan kepandaiannya cenderung gagal membentuk tim kerja yang berhasil karena dia tidak mampu menimbulkan perasaan pada orang-orang lain bahwa mereka mempunyai potensi, dan potensi mereka dibutuhkan. Masalah


(17)

9 Universitas Kristen Maranatha yang harus diklarifikasi ialah apakah penerapan demokrasi dengan sendirinya mendorong tegaknya negara hukum yang kuat? Dalam sejarah politik di berbagai tempat di dunia, segara terlihat bahwa penerapan demokrasi dan penegakan hukum dapat berjalan secara tidak simetris. Ini terjadi karena hukum dapat ditegakkan dengan baik, dalam negara yang kurang demokratis, tidak demokratis, dan bahkan dalam negara yang otoriter. Otto von Bismarck mempersatukan Jerman dan berhasil membangun negara Prusia dengan menggunakan tangan besi, sambil menerapkan semboyan yang kemudian diwariskan dalam seluruh birokrasi Jerman, Ordnung muss sein, yaitu semua harus tertib dan teratur. Lee Kuan Yew barangkali bukan seorang democrat yang patut dicontoh, tetapi dia sanggup membangun rule of law di Singapura. Kalau diingat bahwa demokrasi adalah sistem politik yang tujuan akhirnya adalah mempertahankan martabat manusia, sedangkan martabat manusia direalisasikan dalam perwujudan hak-hak politik dan hak-hak sipil, sebagai konkretisasi hak-hak asasi manusia, maka dapat ditegaskan bahwa demokrasi yang berhasil akan lebih memungkinkan terjaganya hak-hak asasi itu, karena terjaminnya hak-hak itu bentuk konkret penghormatan kepada martabat manusia yang dibela dalam setiap demokrasi. Asimetrinya terletak di sini, bahwa sekalipun tegaknya hukum tidak dengan sendirinya memperkuat demokrasi, tetapi perkembangan demokrasi yang matang dapat memperkuat rule of law. Namun, terlepas dari diskusi di atas, kita sebaiknya memberikan perhatian kepada masalah lain yang sangat mungkin dihadapi Indonesia pada hari-hari ini dan hari-hari mendatang. Kenyataan yang ada sekarang ialah bahwa pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan rakyat semakin terancam oleh praktik korupsi yang meluas dan semakin meningkat besarannya. Kegagalan suatu pemerintahan demokratis untuk mengurangi dan bahkan menghentikan sama sekali praktik-praktik korupsi dapat menimbulkan keraguan dikalangan orang banyak tentang dua hal. Pertama, apakah ada sistem lain yang lebih efektif mengakhiri korupsi? Kedua, apa yang terjadi kalau sistem yang lebih efektif itu bukan sistem yang demokratis, tetapi sistem yang otoriter. Untuk Indonesia saat ini kedua pertanyaan tersebut bukanlah masalah teoretis dalam debat akademis, melainkan masalah politik yang sangat mungkin harus dihadapi sebagai pilihan politik, kalau pemerintahan yang demokratis tidak mempunyai kekuatan dan determinasi cukup untuk mengakhiri praktik korupsi yang merugikan negara dan menghambat kesejahteraan rakyat, dalam jangka


(18)

10 Universitas Kristen Maranatha waktu yang tidak terlalu lama. Korupsi yang terlalu meluas dapat dianggap menimbulkan krisis politik, sedangkan krisis politik hanya dapat diatasi dengan suatu tindakan darurat yang tegas. (Kleden. Kompas, 18 November 2013).

Dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia kaum muda memiliki peranan yang sangat besar. Kaum muda, terutama pemilih pemula, sangat penting bagi perkembangan dan konsolidasi demokrasi karena mereka pelaku demokrasi di masa depan. Mereka juga akan menjadi pemimpin yang menjalankan dan mengendalikan penyelenggaraan pemerintahan mendatang. Bagaimana sensitivitas dan sikap kaum muda terhadap politik sangat penting bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Jumlah kaum muda cukup besar. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 diperkirakan 30 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014. Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34 persen. Maka, memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan pembangunan politik di masa akan datang. Secara umum, dari segi usia pemilih Indonesia sebetulnya tergolong muda. Yang berusia di bawah 50 tahun berjumlah tak kurang dari 70 persen dari seluruh pemilih. Para pemilih ini sudah cukup lama tersosialisasi dengan demokrasi dalam era reformasi, yaitu sejak mereka berusia 35 tahun (sejak 1998) atau lebih muda lagi. Dengan kata lain, bahkan pemilih tertua di kelompok 70 persen ini telah mengalami dan terekspos dengan nilai-nilai dan praktik demokrasi sejak usia yang sangat muda. Tidaklah mengherankan jika sebagian besar pemilih menunjukkan sikap dan atau penilaian terhadap politik dan demokrasi yang tak berbeda jauh dengan rekan-rekan mereka di negara demokrasi lain. Mereka umumnya memiliki cara berpikir yang terbuka (open minded), kritis, dan cosmopolitan. Seperti di negara demokrasi lain, dukungan kaum muda terhadap demokrasi tinggi.


(19)

11 Universitas Kristen Maranatha Lebih dari 70 persen dari mereka mendukung dan menganggap demokrasi cocok untuk Indonesia (Liddle dan Mujani, 2013). Menurut data Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), angka ini lebih tinggi dibandingkan dukungan rakyat Indonesia secara umum kepada demokrasi (69 persen). Dalam demokrasi di Asia, dukungan ini lebih rendah dibandingkan Taiwan (74,8 persen) dan Korea (82,2 persen), tetapi lebih tinggi dibandingkan Filipina (62,4 persen). Sedikit berbeda dengan generasi yang lebih dewasa ketika rezim Soeharto jatuh, kaum muda atau pemilih yang saat ini berusia 25 tahun ke bawah memiliki sikap dan gaya hidup tersendiri. Beberapa sikap menonjol mereka adalah kurang perhatian pada masalah-masalah nasional (57,4 persen, Kompas, 2011), lebih berorientasi pada materi/kekayaan (ingin sukses dalam karier dan pendidikan, ingin terkenal dan kaya), mereka juga kurang nasionalis (hanya 20 persen menganggap kepentingan nasional agenda mereka, Kompas, 2010), dan lebih berorientasi ke pada diri sendiri (63 persen, Kompas 2011). Karakteristik menonjol yang lain adalah ketergantungan pada teknologi. Tidak kurang dari 14 jam per minggu mereka habiskan untuk kegiatan yang terkait dengan teknologi (Nielsen, 2011). Meski demikian, tak berarti kaum muda tak terlibat kegiatan sosial kemasyarakatan. Banyak di antara mereka aktivis, seperti juga generasi yang lebih tua lagi. Namun, aktivisme mereka memiliki sejumlah perbedaan mendasar dibandingkan aktivisme generasi terdahulu. Dengan sejumlah karakteristik ini, dapat dikatakan, politik dan demokrasi bukan hal asing bagi kaum muda. Dengan memperhatikan sikap dan kecenderungan mereka, peristiwa politik dan demokrasi, termasuk pemilu, dapat dijadikan media sosialisasi yang lebih jauh sehingga pedalaman dan praktik demokrasi dapat terus terpelihara untuk masa menengah dan panjang. Walhasil, pada gilirannya kaum muda ini dapat menjadi actor yang berperan penting dalam penyebaran nilai-nilai dan praktik demokrasi di Indonesia. Konsolidasi demokrasi, karenanya, memperoleh jalannya untuk terus melaju. (Hanan. Kompas, 18 November 2013).

Sistem demokrasi yang diadopsi Indonesia hampir 15 tahun ini merupakan antitesa dari sistem politik otoriter warisan Orde Baru yang dianggap memupus aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan pembangunan. Otoritarianisme berjalan dengan koridor berikut: perencanaan dan kebijakan sepenuhnya dirajut pemerintah dan dikendalikan pelaksanaanya oleh pemerintah (pusat) juga. Pengambilan keputusan


(20)

12 Universitas Kristen Maranatha sangat efektif, tidak bertele-tele, dan langsung dapat dieksekusi. Sisi negatifnya, pilihan kebijakan berpotensi sesat karena tidak menyerap suara rakyat, sekaligus mengabaikan partisipasi publik dalam pengerjaan dan pengawasan. Hasilnya, pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan kencang, tetapi dengan segenap penyimpangan. Demokrasi melawan itu dengan memberi pilihan jalan yang berbeda: perumusan kebijakan merupakan hasil dari percakapan lalu lintas suara publik, yang kerap kali berisik, sehingga opsi kebijakan merupakan pilihan terbaik. Sampai pada tahap itu demokrasi telah dipraktikan dan menghasilkan sebagian kebijakan ekonomi yang bagus. Masalahnya, kenapa kebijakan itu tak juga punya tapak di lapangan, di sinilah perdebatan yang absen selama ini: bahwa demokrasi akan lumpuh apabila tak bersanding dengan kapasitas negara (pemerintah/birokrasi). Kapasitas negara ini dapat dimaknai sebagai kemampuan mengimplementasikan tujuan-tujuan pembangunan yang sudah ditetapkan. Tanpa kualitas birokrasi yang bagus/solid, efektivitas pengerjaan kebijakan publik, seperti pengumpulan pajak dan penyediaan layanan publik, menjadi mandul. Pada titik ini, demokrasi dan kapasitas negara dalam posisi komplementer untuk meraih kinerja pembangunan ekonomi yang hebat (Knutsen, 2013). Kelemahan ini secara lugas dapat dinyatakan dalam frasa ini: demokrasi menghasilkan reformasi kebijakan ekonomi, tetapi nihil reformasi administrasi untuk menambah bobot kapasitas birokrasi. (Erani. Kompas, 4 Desember 2013).

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasikan oleh peneliti adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan pemasaran politik, produk politik, promosi politik, distribusi/jaringan politik & harga politik pada Pemilihan Walikota Bandung? 2. Bagaimana keputusan memilih pada pemilihan walikota Bandung?

3. Seberapa besar pengaruh pemasaran politik terhadap keputusan memilih?

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:


(21)

13 Universitas Kristen Maranatha 1. Untuk mengetahui pemasaran politik, produk politik, promosi politik,

distribusi/jaringan politik & harga politik pada Pilwakot Bandung 2. Untuk mengetahui keputusan memilih pada Pilwakot Bandung

3. Untuk mengetahui pengaruh pemasaran politik terhadap keputusan memilih

1.4 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini peneliti berharap dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi semua pihak, antara lain:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna memberikan sumbangan bagi perkembangan keilmuan, terutama ilmu manajemen pemasaran dalam menganalisis pengaruh Pemasaran Politik terhadap Pilwakot Bandung 2013. 2. Dapat menjadi masukan bagi akademisi, maupun lembaga-lembaga survei

dalam melihat kaitan antara politik dan juga pemasaran untuk melihat sejauh mana ketertarika pemilih pada seorang calon yang akan dipilih.

3. Penelitian ini dapat diharakan menjadi referensi bagi calon peneliti yang mengambil topik penelitian yang serupa dengan penelitian ini.


(22)

107 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa dan pengolahan data pada penelitian tentang “Pengaruh Pemasaran Politik yang Meliputi Produk Politik, Promosi Politik, Distribusi atau Jaringan Politik dan Harga Politik Terhadap Keputusan Memilih”, maka dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa tanggapan responden tentang variabel Pemasaran Politik yang diteliti termasuk dalam kategori Mengetahui, sedangkan tanggapan responden tentang variabel Produk Politik termasuk dalam kategori Tinggi. Dan untuk tanggapan responden tentang variabel Promosi Politik termasuk dalam kategori juga Tinggi, kemudian adapun tanggapan responden tentang variabel Distribusi/ Jaringan Politik termasuk dalam kategori Tinggi, kemudian tanggapan Responden tentang variabel Harga Politik termasuk dalam kategori Mengetahui, dan tanggapan responden tentang variabel Pemasaran Politik juga termasuk dalam kategori Tinggi.

Untuk variabel tentang keputusan memilih tanggapan responden adalah termasuk di dalam kategori mengetahui para kandidat maupun partai politik yang mengusung pasangan calon walikota Bandung.

Kemudian tanggapan responden tentang variabel Keputusan Memilih termasuk dalam kategori Mengetahui Variabel Produk politik (X1) berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih (Y), VariabelPromosi politik (X2) berpengaruh terhadap Keputusan Memilih (Y), namun tidak signifikan. Variabel Distribusi atau Jaringan Politik (X3) berpengaruh terhadap Keputusan Memilih (Y), namun tidak signifikan, dan variabel Harga Politik (X4) berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih (Y).

Variabel Produk politik (X1), Promosi politik (X2), Distribusi atau Jaringan Politik (X3) dan Harga Politik (X4) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih (Y) dan persentase pengaruhnya sebesar 54,9%, sedangkan sisanya sebesar 45,1% dipengaruhi oleh faktor lain yang diabaikan peneliti.


(23)

108 Universitas Kristen Maranatha 5.1. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti memberikan saran kepada para calon kandidat di dalam pemilihan kepala daerah, bahwa pengamplikasian pemasaran politik sangat diperlukan dewasa ini untuk menjual diri dan memperkenalkan profile diri kepada masyarakat, dan biasanya sosok yang terkenalah yang nantinya menjadi pemenang , sebab citra yang ditonjolkan kandidat akan menjadi lebih baik bila dibarengi dengan keterkenalan kepada masyarakat luas yang menjadi konstituennya.


(24)

98

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008).

Henneberg, Stephen “Generic Functions of Political Marketing Management,” http://www.bath.ac.uk/management/research/pdf/2003-19.pdf, diakses tanggal 26 November 2010.

Hughes, Andrew & Stephen Dann, “Political Marketing 2006; Direct Benefit, Value and Managing The Voter Relationship,”

http://conferences.anzmac.org/ANZMAC2006/ documents/Hughes_Andrew1.pdf, diakses tanggal 26 November 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Brand, diakses tanggal 26 November 2013.

http://marketing.about.com/cs/brandmktg/a/whatisbranding.htm, diakses tanggal 26 November 2013.

http://www.prezi.com, diakses tanggal 26 November 2013 http://www.marzukialie.com, diakses tanggal 26 November 2013

Mensah, Kobby “Kwame Nkrumah and Political Marketing,”

www.kobbymensah.com,26 November 2010. Diakses tanggal 1 Desember 2013

Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenagkan Pemilu: Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(25)

99

Universitas Kristen Maranatha Newman, Bruce, Handbook of Political Marketing (California: Sage Publication,

1999).

Ormrod, Robert, “Understanding Political Market Orientation,”

http://research.asb.dk/fbspretrieve/5432/ormrod_2009, diakses tanggal 25 November 2013.

Santoso, Joko, “Strategi Branding dalam Komunikasi Pemasaran Politik,”


(1)

12 Universitas Kristen Maranatha sangat efektif, tidak bertele-tele, dan langsung dapat dieksekusi. Sisi negatifnya, pilihan kebijakan berpotensi sesat karena tidak menyerap suara rakyat, sekaligus mengabaikan partisipasi publik dalam pengerjaan dan pengawasan. Hasilnya, pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan kencang, tetapi dengan segenap penyimpangan. Demokrasi melawan itu dengan memberi pilihan jalan yang berbeda: perumusan kebijakan merupakan hasil dari percakapan lalu lintas suara publik, yang kerap kali berisik, sehingga opsi kebijakan merupakan pilihan terbaik. Sampai pada tahap itu demokrasi telah dipraktikan dan menghasilkan sebagian kebijakan ekonomi yang bagus. Masalahnya, kenapa kebijakan itu tak juga punya tapak di lapangan, di sinilah perdebatan yang absen selama ini: bahwa demokrasi akan lumpuh apabila tak bersanding dengan kapasitas negara (pemerintah/birokrasi). Kapasitas negara ini dapat dimaknai sebagai kemampuan mengimplementasikan tujuan-tujuan pembangunan yang sudah ditetapkan. Tanpa kualitas birokrasi yang bagus/solid, efektivitas pengerjaan kebijakan publik, seperti pengumpulan pajak dan penyediaan layanan publik, menjadi mandul. Pada titik ini, demokrasi dan kapasitas negara dalam posisi komplementer untuk meraih kinerja pembangunan ekonomi yang hebat (Knutsen, 2013). Kelemahan ini secara lugas dapat dinyatakan dalam frasa ini: demokrasi menghasilkan reformasi kebijakan ekonomi, tetapi nihil reformasi administrasi untuk menambah bobot kapasitas birokrasi. (Erani. Kompas, 4 Desember 2013).

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasikan oleh peneliti adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan pemasaran politik, produk politik, promosi politik, distribusi/jaringan politik & harga politik pada Pemilihan Walikota Bandung? 2. Bagaimana keputusan memilih pada pemilihan walikota Bandung?

3. Seberapa besar pengaruh pemasaran politik terhadap keputusan memilih?

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:


(2)

13 Universitas Kristen Maranatha 1. Untuk mengetahui pemasaran politik, produk politik, promosi politik,

distribusi/jaringan politik & harga politik pada Pilwakot Bandung 2. Untuk mengetahui keputusan memilih pada Pilwakot Bandung

3. Untuk mengetahui pengaruh pemasaran politik terhadap keputusan memilih

1.4 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini peneliti berharap dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi semua pihak, antara lain:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna memberikan sumbangan bagi perkembangan keilmuan, terutama ilmu manajemen pemasaran dalam menganalisis pengaruh Pemasaran Politik terhadap Pilwakot Bandung 2013. 2. Dapat menjadi masukan bagi akademisi, maupun lembaga-lembaga survei

dalam melihat kaitan antara politik dan juga pemasaran untuk melihat sejauh mana ketertarika pemilih pada seorang calon yang akan dipilih.

3. Penelitian ini dapat diharakan menjadi referensi bagi calon peneliti yang mengambil topik penelitian yang serupa dengan penelitian ini.


(3)

107 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa dan pengolahan data pada penelitian tentang “Pengaruh Pemasaran Politik yang Meliputi Produk Politik, Promosi Politik, Distribusi atau Jaringan Politik dan Harga Politik Terhadap Keputusan Memilih”, maka dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa tanggapan responden tentang variabel Pemasaran Politik yang diteliti termasuk dalam kategori Mengetahui, sedangkan tanggapan responden tentang variabel Produk Politik termasuk dalam kategori Tinggi. Dan untuk tanggapan responden tentang variabel Promosi Politik termasuk dalam kategori juga Tinggi, kemudian adapun tanggapan responden tentang variabel Distribusi/ Jaringan Politik termasuk dalam kategori Tinggi, kemudian tanggapan Responden tentang variabel Harga Politik termasuk dalam kategori Mengetahui, dan tanggapan responden tentang variabel Pemasaran Politik juga termasuk dalam kategori Tinggi.

Untuk variabel tentang keputusan memilih tanggapan responden adalah termasuk di dalam kategori mengetahui para kandidat maupun partai politik yang mengusung pasangan calon walikota Bandung.

Kemudian tanggapan responden tentang variabel Keputusan Memilih termasuk dalam kategori Mengetahui Variabel Produk politik (X1) berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih (Y), VariabelPromosi politik (X2) berpengaruh terhadap Keputusan Memilih (Y), namun tidak signifikan. Variabel Distribusi atau Jaringan Politik (X3) berpengaruh terhadap Keputusan Memilih (Y), namun tidak signifikan, dan variabel Harga Politik (X4) berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih (Y).

Variabel Produk politik (X1), Promosi politik (X2), Distribusi atau Jaringan Politik (X3) dan Harga Politik (X4) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih (Y) dan persentase pengaruhnya sebesar 54,9%, sedangkan sisanya sebesar 45,1% dipengaruhi oleh faktor lain yang diabaikan peneliti.


(4)

108 Universitas Kristen Maranatha

5.1. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti memberikan saran kepada para calon kandidat di dalam pemilihan kepala daerah, bahwa pengamplikasian pemasaran politik sangat diperlukan dewasa ini untuk menjual diri dan memperkenalkan profile diri kepada masyarakat, dan biasanya sosok yang terkenalah yang nantinya menjadi pemenang , sebab citra yang ditonjolkan kandidat akan menjadi lebih baik bila dibarengi dengan keterkenalan kepada masyarakat luas yang menjadi konstituennya.


(5)

98

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008).

Henneberg, Stephen “Generic Functions of Political Marketing Management,” http://www.bath.ac.uk/management/research/pdf/2003-19.pdf, diakses tanggal 26 November 2010.

Hughes, Andrew & Stephen Dann, “Political Marketing 2006; Direct Benefit, Value and Managing The Voter Relationship,”

http://conferences.anzmac.org/ANZMAC2006/ documents/Hughes_Andrew1.pdf, diakses tanggal 26 November 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Brand, diakses tanggal 26 November 2013.

http://marketing.about.com/cs/brandmktg/a/whatisbranding.htm, diakses tanggal 26 November 2013.

http://www.prezi.com, diakses tanggal 26 November 2013 http://www.marzukialie.com, diakses tanggal 26 November 2013

Mensah, Kobby “Kwame Nkrumah and Political Marketing,”

www.kobbymensah.com,26 November 2010. Diakses tanggal 1 Desember 2013

Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenagkan Pemilu: Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(6)

99

Universitas Kristen Maranatha Newman, Bruce, Handbook of Political Marketing (California: Sage Publication,

1999).

Ormrod, Robert, “Understanding Political Market Orientation,”

http://research.asb.dk/fbspretrieve/5432/ormrod_2009, diakses tanggal 25 November 2013.

Santoso, Joko, “Strategi Branding dalam Komunikasi Pemasaran Politik,”