Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah, Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah.

(1)

DISERTASI

PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH,

KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

ALEXANDRA HUKOM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

DISERTASI

PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH,

KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

ALEXANDRA HUKOM NIM 1190671012

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

DISERTASI

PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH,

KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi

Program Pascasarjana, Universitas Udayana Untuk dipertahankan dihadapan Rapat Terbuka

Badan Perwakilan Program Pascasarjana Universitas Udayana

ALEXANDRA HUKOM NIM 1190671012

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

(5)

Disertasi ini Telah Diuji dan Dinilai

Oleh Tim Penilai Ujian Tertutup Program Pascasarjana Universitas Udayana

Pada Tanggal :11 Desember 2015

Tim Penilai Ujian Tertutup Program Doktor Ilmu Ekonomi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 3967/UN 14.4/HK/2015 Tanggal : 8 November 2015

Ketua : Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS.

Anggota :

1) Prof. Dr. Drs. Made Kembar Sri Budhi, MP. 2) Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi. 3) Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE., SU. 4) Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS. 5) Dr. I G. W. Murjana Yasa, SE., MSi. 6) Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmaja, MA.


(6)

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas kasih-NYA disertasi dengan judul “Pengaruh Kinerja Keuangan

Daerah, Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi

terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah” boleh dapat diselesaikan. Disertasi ini juga boleh dapat terselesaikan berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada.

Kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD beserta para pembantu rektor, penulis ucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan dan fasilitas yang disediakan untuk dapat menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., dan para asisten direktur, Asdir I : Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Asdir II : Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D. dan seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana, penulis sampaikan ucapan terimakasih atas kesempatan dan berbagai fasilitas yang diberikan kepada penulis sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ucapan terimkasih kepada Prof. Dr. Drs. Made Kembar Sri Budhi, MP., selaku Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana dan juga sebagai Kopromotor I atas arahan dan bimbingannya dengan kesabaran memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis. Kepada Sekretaris Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana Dr. Drs. I Ketut Djayastra, SU., penulis ucapkan terimakasih.

Ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS., selaku Promotor yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan disertasi ini agar penulisan ini lebih bermakna untuk dipergunakan bagi penulis sendiri maupun kepada peneliti lain dan terlebih kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.


(8)

Ucapan terimakasih kepada Kopromotor II, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi., yang sangat teliti memeriksa dan memberikan arahan dan bimbingan serta ide-ide yang mendukung penulisan disertasi.

Para dosen pengajar Program Doktor Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan teori kajian ilmu ekonomi yang selanjutnya dapat penulis gunakan dalam tugas dan pekerjaan penulis.

Civitas akademika Universitas Palangka Raya, Rektor Universitas Palangka Raya Prof. Dr. Drs. Ferdinand, dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya Dr. Drs. Gundik Gohong, MS., yang telah memberikan ijin tugas belajar kepada penulis.

Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah, Ir. Herson B. Aden, MSi. yang telah meluangkan waktu sejenak untuk dapat berdiskusi. Kepada Kepala Biro Administrasi dan Sumber Daya Alam, Drs. Lubis Rada Inin yang bersedia mewakili Kepala Biro Keuangan Setda Provinsi Kalimantan Tengah untuk dapat berdiskusi dansharingpengalaman.

Terimakasih kepada suami tercinta Johni Sonder, SSTP., MSi. yang selalu memberikan doa, cinta, kesetiaan, tanggungjawab dan semangat selama masa studi. Anak-anak kami yang pintar dan maharati Ephanya Anyuani Sonder dan Mihaela Raina Sonder yang selalu merelakan kasih sayang dan waktu untuk

berkumpul bersama mama “kalian adalah anak-anak HEBAT mama”.

Ibunda tercinta Deliana Tamaela yang selalu mendoakan penulis, setia dan sabar menemani kedua putri penulis. Juga kepada almarhum Papi Miel Hukom yang telah mengamanatkan penulis untuk bisa menempuh pendidikan doktoral. Kepada ayah dan ibu mertua, Bapak Siterpon Sonder dan Ibu Liani Kekes terimakasih untuk topangan doa, semangat dan kesabaran menemani kedua putriku selama penulis di Denpasar. Terimakasih kepada kakak-kakak penulis Bung Kirs, Usi Tedty, Usi Nane, Usi Ade, Bung Mem, Kak Tati, Kak Rolie, dan Kak Eva. Terimakasih juga untuk ponakan terkasih Miel dan Sinta yang setia dan sabar menemani Yuan dan Aina. Terimakasih yang tulus kepada keluarga besar


(9)

Kepada staf Program Doktor Ilmu Ekonomi, Univesitas Udayana, Ni Komang Sri Mariatini, SE., dan Eka Putrawan, SE. Terimakasih atas bantuan dan fasilitasinya kepada penulis selama masa perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Ikatan Alumni Doktor Ekonomi Udayana (IDEYANA), terutama Dr. Ir. Paulus Kurniawan, MBA., dan Dr. Ni Putu Nina Eka Lestari, SE., MM., beserta staf Ni Komang Arsini, atas dukungan dan bantuannya yang tulus.

Teman-teman Angkatan 3 (2011/2012) yang selalu memberi semangat dan saling berlomba yang positif untuk dapat cepat menyelesaikan studi ini dan kembali berbakti dalam tugas dan pekerjaan masing-masing. Terimakasih juga untuk Para Guru, Dosen, Teman/Sahabat alumni Smantig Ambon, Delayota Yogyakarta, Kamajaya UAJY, dan Kagama UGM dimanapun berada yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

Akhirnya ucapan terimakasih penulis kepada semua pihak yang sudah berkontribusi bagi penyelesaian disertasi ini, sekaligus juga menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan penulis. Semoga Tuhan Maha Kuasa memberikan karunia dan berkat terindah bagi kita semua. Tuhan Memberkati, Haleluya, Amin.

Denpasar, Januari 2016


(10)

ABSTRAK

PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH, KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari pembangunan nasional. Keberhasilan tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Pembangunan ekonomi yang prosesnya memberdayakan sumber daya yang dimiliki akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, terutama melalui pengelolaan pendapatan dan belanja daerah. Perubahan struktur ekonomi masyarakat ditunjukan dengan terjadinya pergeseran perubahan ke arah yang lebih baik menuju pada kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2004-2013 dengan menggunakan model persamaan Structural Equation Model (SEM) dan pendekatan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian menunjukkan kinerja keuangan daerah secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur masyarakat, tetapi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Kinerja keuangan daerah secara tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi. Kinerja pembangunan ekonomi secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan struktur ekonomi dan kesejahteraan masyarakat maupun berpengaruh secara tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Melalui penelitian ini disrankan pemerintah daerah diharapkan dapat memedomani ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan keuangan daerah, dan lebih optimal dalam melakukan perencanaan keuangan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci : kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi, perubahan struktur ekonomi, kesejahteraan masyarakat.


(11)

ABSTRACT

THE EFFECT OF REGIONAL FINANCIAL PERFORMANCE AREA, PERFORMANCE OF ECONOMIC DEVELOPMENT, AND

THE STRUCTURAL CHANGE IN THE ECONOMY ON THE WELFARE OF SOCIETY

IN THE CENTRAL KALIMANTAN

Welfare of society is the main purpose of national development. The succes of excluding an increase in the welfare of society will result in gaps and inequality in the life of society. Development of the processes empower the available resources will have an effect on improving the welfare of society. The management of financial area in the form of financial management is transparent and accountable can affect the well-being of society, especially through the management of income and expenditure areas. The structural change in economic society leads to the shift changes to a better direction to go to the well being society. The purpose of this research is to know the influence of financial performance area, the performance of the economic development and changes in the structure of the economy on the welfare of society in the Province Central Kalimantan in 2004 by using models Structural Equation Model (SEM) and Partial Least Square (PLS) approaches. The result of this research showed financial performance of the region as a direct possitive effect and significantly affect to the performance of the development and changes in the structure of the economy, but it is not directly affect to the welfare of society. Performance of the financial areas are not directly impact positive and significant impact to the welfare of society through the performance of economic development and changes in the structure of the economy. Performance of economic development directly to a positive effect and significant to the changes in economic structure and the welfare of society nor be influential directly to the welfare of society through changes in the structure of the economy. Through this research are advised local governments are expected to be guidelines the provisions applicable in financial management, and more optimaly in doing financial planning for the welfare of society.

Keywords: Regional financial perfomance area, performance of economic development, changes in economic structure, welfare of society.


(12)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR……….………... i

SAMPUL DALAM... ii

PRASYARAT GELAR... iii

LEMBAR PENGESAHAN……… iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI... v

PERNYATAAN BEBASPLAGIAT………. vi

UCAPAN TERIMA KASIH……….. vii

ABSTRAK………. x

ABSTRACT………... xi

DAFTAR ISI……….. xii

DAFTAR TABEL……….. xvii

DAFTARGAMBAR………. xx

DAFTAR LAMPIRAN... xxi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………...……… 1

1.2 Rumusan Masalah………...………... 16

1.3 Tujuan Penelitian……… 18

1.4 Manfaat Penelitian……….. 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Masyarakat……….. 21


(13)

2.1.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan……… 27

2.1.3 Pengukuran Kesejahteraan………. 35

2.2 Perubahan Struktur Ekonomi………...……….. 37

2.2.1 Sumber-sumber Perubahan Struktur Ekonomi……….. 40

2.2.2 Hubungan Perubahan Struktur Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi………. 44

2.3 Konsep Pembangunan Ekonomi…………...………. 45

2.3.1 Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi...…... 48

2.3.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi……… 53

2.3.3 Pengangguran………. 55

2.3.4 Kemiskinan………..….. 58

2.3.4.1 Ukuran Kemiskinan……….. 65

2.3.5 Hubungan Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat………. 69

2.3.6 Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi………... 72

2.4 OtonomiDaerah………. 74

2.4.1 Keuangan Daerah………... 78

2.4.2 Kinerja Keuangan Daerah……….. 82

2.4.3 Hubungan Kinerja Keuangan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat………. 89

2.4.4 Hubungan Kinerja Keuangan melalui Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat………. 90


(14)

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir……….. 106

3.2 Kerangka Konsep………... 109

3.3 Hipotesis………. 110

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian………. 112

4.2 Lokasi Penelitian……… 112

4.3 Objek Penelitian………. 113

4.4 Jenis dan Sumber data……… 113

4.5 Identifikasi Variabel………... 115

4.6 Definisi Operasional Variabel……… 117

4.6.1 KinerjaKeuangan Daerah……….. 117

4.6.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi……… 118

4.6.3 Perubahan Struktur Ekonomi………. 119

4.6.4 Kesejahteraan Masyarakat………. 120

4.7 Metode Analisa Data……….. 121

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian……….. 129

5.1.1 Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah………... 129

5.1.2 Kependudukan………... 133

5.2 Kondisi Ekonomi dan Sosial……….. 135


(15)

5.2.2 Pengangguran………. 137

5.2.3 Kemiskinan……… 138

5.3 Analisis Deskriptif……….. 139

5.3.1 Kinerja Keuangan Daerah……….. 139

5.3.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi……… 145

5.3.3 Perubahan Struktur Ekonomi………. 149

5.3.4 Kesejahteraan Masyarakat………. 154

5.4 Analisis Model Persamaan Struktural……… 159

5.4.1 UjiOuterModel………. 159

5.4.2 UjiInnerModel………. 162

5.4.3 Pengaruh Langsung...……….. 164

5.4.4 Pengaruh Tidak Langsung... 165

5.5 Pengujian Hipotesis……… 167

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pembangunan Ekonomi……….. 172

6.2 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah dan Kinerja Pembangunan Ekonomi Terhadap Perubahan Struktur Ekonomi…...……….. . 175 6.3 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah, Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat... 179

6.4 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi... 184

6.5 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Perubahan Struktur Ekonomi Melalui Kinerja Pembangunan Ekonomi………... 186


(16)

6.6 Pengaruh Kinerja Pembangunan Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Melalui Perubahan Struktur

Ekonomi... 187

6.7 Temuan………... 189

6.8 Keterbatasan Hasil Penelitian……… 190

BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan………. 192

7.2 Saran... 193

DAFTAR PUSTAKA... 196

LAMPIRAN... 208


(17)

Tabel 1.1 Total Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun Anggaran 2008-2012

(Juta Rupiah)………..… 6

Tabel 1.2 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun Anggaran 2007-2012 (Juta Rupiah)……….. 8

Tabel 1.3 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah)……….... 10

Tabel 1.4 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Menurut Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2006-2011 (JutaRupiah)………. 12

Tabel 1.5 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2009-2011………... 13

Tabel 1.6 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007-2013………... 15

Tabel 2.1 Cara-cara yang Digunakan untuk Menunjukan Corak Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan…... 38

Tabel 2.2 Indeks HDR-UNDP danIndikatornya……….…….. 68

Tabel 2.3 Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah……….. 86

Tabel 2.4 Pedoman Penilaian Efektivitas Keuangan………. 87

Tabel 2.5 Keserasian Belanja Daerah……… 88

Tabel 4.1 KlasifikasiVariabel Penelitian……….. 115


(18)

Tabel 5.1 Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk danSex Ratio

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah,

Tahun 2012– 2013…...……….……….... 134

Tabel 5.2 Pedoman Penilaian Kinerja Keuangan Daerah... 139 Tabel 5.3 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..……. 141

Tabel 5.4 Rasio Efektivitas Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..…. 142

Tabel 5.5 Rasio Keserasian Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..…. 143

Tabel 5.6 Rasio Upaya PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………... 144

Tabel 5.7 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)……….….. 147 Tabel 5.8 Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)……….….. 148 Tabel 5.9 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..…. 149

Tabel 5.10 Rasio Tenaga Kerja Non Pertanian Kabupaten/Kota di

Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2004-2013 (%)…... 150 Tabel 5.11 Rasio Produksi Non Pertanian Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Tengah, Tahun 2004-2013 (%)………..… 151 Tabel 5.12 Rasio Konsumsi Non Makanan Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Tengah, Tahun 2004-2013 (%)………..…… 152 Tabel 5.13 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………... 154 Tabel 5.14 Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan 156


(19)

Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..….

Tabel 5.15 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (dalam tahun)……... 157

Tabel 5.16 Pengeluaran Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2004–2013 (dalam ribu rupiah)……… 158

Tabel 5.17 Outer LoadingsIndikator terhadap Konstruknya……….. 160

Tabel 5.18 CrossloadingsIndikator terhadap Konstruknya……… 161

Tabel 5.19 NilaiAverage Variance Extracted(AVE)………. 162

Tabel 5.20 Nilai RSquareuntuk Variabel Konstruk Endogen…………... 163

Tabel 5.21 Pengaruh Langsung (Path Coefficients)...………... 164


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Perhitungan IPM……….. 25

Gambar 2.2 Kriteria Kaldor Hicks……….. 31

Gambar 2.3 Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perubahan Struktur Ekonomi……….. 41

Gambar 2.4 Skematis Konsep Ketenagakerjaan Indonesia………. 56

Gambar 2.5 Model Pembangunan Rostow dan Musgrave……….. 93

Gambar 2.6 Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan Menurut Wagner………. 96

Gambar 3.1 Kerangka Proses Berpikir……… 106

Gambar 3.2 Kerangka Konseptual……….. 110

Gambar 4.1 Hubungan Antar Variabel Penelitian………... 122

Gambar 5.1 Peta Wilayah Administrasi Provinsi Kalimantan Tengah…... 132

Gambar 5.2 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 136

Gambar 5.3 PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 137

Gambar 5.4 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 137

Gambar 5.5 Persentase Penduduk Miskin Kota dan Desa di Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 138

Gambar 5.6 Hubungan Indikator dan Konstruk serta Hubungan Langsung Antar Konstruk………... 165 Gambar 5.7 Hubungan Indikator dan Konstruk serta Hubungan


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Penelitian per Indikator... 208

Lampiran 2 Pengukuran Kinerja Keuangan Daerah (X1)... 212

Lampiran 3 Outer Loadings... 216

Lampiran 4 Outer Loadingssetelah dikeluarkan indikator X1.2... 217

Lampiran 5 Discriminant Validity... 218

Lampiran 6 Average Variance Extracted(AVE)... 219

Lampiran 7 R Square... 220

Lampiran 8 Path Coefficients... 221

Lampiran 9 Indirect Effects... 222

Lampiran 10 The State of Arts... 223

Lampiran 11 Format Wawancara dengan Kepala Biro Keuangan... 237

Lampiran 12 Format Wawancara dengan Kepala Bappeda... 239


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 – 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah (KNID), sangat jelas pro-desentralisasi dan lebih mengutamakan otonomi daerah yang berkedaulatan rakyat. Namun, kemampuan desentralisasi finansial yang tidak memadai menyebabkan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sebagaimana yang diharapkan tidak bisa diwujudkan secara maksimal. Permasalahan ini makin bertambah rumit saat situasi politik yang berjalan tidak menentu (Wignjosoebroto, 2010).

Pada masa tahun 1960 – 1990an sistem pemerintahan yang dianut kembali pada sistem pemerintahan sentralisasi, walaupun dalam masa itu ada terbentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Otonomi daerah yang didefenisikan disini tidak hanya sebagai hak dan wewenang, tetapi juga kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pergantian pemerintahan dari orde baru


(23)

pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang lebih luas dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat. Aritenang (2008) menegaskan bahwa krisis keuangan dan perubahan sistem politik menjadi pemicu dimulainya era desentralisasi di Indonesia. Hal ini yang telah mendorong Indonesia yang pada awalnya merupakan negara dengan sistem sentralisasi menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi. Negara ini telah memulai program desentralisasi fiskal, administrasi dan politik pada saat yang bersamaan.

Sejak tahun 2001 seluruh kabupaten/kota di Indonesia melaksanakan otonomi daerah atau desentralisasi. Secara umum, otonomi daerah dilaksanakan dengan dua tujuan, yaitu tujuan politis dan tujuan administratif. Secara politis, kebijakan otonomi daerah adalah mengakomodir kebutuhan politis suatu daerah sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat terjaga. Selain itu, kebijakan dimaksud juga ditujukan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat daerah. Pembelajaran tersebut tidak hanya pada tingkat pimpinan daerah provinsi sampai dengan tingkat pimpinan desa atau kelurahan bahkan sampai pada masyarakat kalangan bawah. Pada akhirnya diharapkan kebijakan ini dapat mewujudkan civil society. Secara administratif, kebijakan desentralisasi ini juga ditujukan untuk memposisikan Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama dalam menyediakan pelayanan masyarakat secara efisien dan efektif. Fungsi


(24)

pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah ini diharapkan dapat berjalan secara baik mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi akhir pelayanan tersebut.

Harapan dilaksanakannya otonomi daerah atau desentralisasi, pemerintah daerah akan lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena dengan desentralisasi pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Sebab dengan makin dekat pemerintah dengan masyarakat, desentralisasi diharapkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemberian otonomi kepada daerah sangat perlu untuk memperbesar partisipasi masyarakat di seluruh Indonesia dalam memberikan keputusan yang berdampak langsung kepada daerahnya, sebab sangat tidak realistik Pemerintah Pusat membuat keputusan mengenai pelayanan masyarakat untuk seluruh wilayah negara. Demikian juga diyakini bahwa masyarakat lokal melalui kabupaten/kota memiliki pengetahuan yang lebih tentang kebutuhan, kondisi dan yang diprioritaskan. Mobilisasi sumber daya lebih dimungkinkan dilakukan oleh masyarakat yang dekat dengan pengambil keputusan di tingkat lokal (Simanjuntak, 2003). Yunisvita (2011) mengatakan bahwa dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu penting yang paling mungkin setiap daerah mendinamisir kegiatan pembangunan


(25)

melalui alokasi yang tepat dalam rangka membuat strategi untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sesuai situasi masing-masing daerah.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu unsur penting. Pertanggungjawaban yang memadai harus mempunyai sifat mudah dimengerti dan memiliki hubungan informasi yang mencerminkan kinerja pemerintah daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam keuangan daerah memiliki dimensi dan cakupan pengaruh yang sangat besar bagi daerah yang bersangkutan dalam konteks pemerintahan, akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapan pengelolaan pemerintah yang baik (Halim, 2004). Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya keuangannya secara optimal.

Kabupaten/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada pemerintah pusat diusahakan seminimal mungkin. Perimbangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat dikatakan ideal apabila setiap tingkat pemerintahan dapat secara independen mengatur keuangannya untuk membiayai tugas dan wewenang daerahnya masing-masing. Konsekuensinya


(26)

adalah pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan analisis kinerja keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.

Analisis kinerja keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya, sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan antara rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Analisis kinerja keuangan daerah yang dilakukan dengan menghitung rasio-rasio keuangan terhadap laporan perhitungan APBD merupakan bentuk dari akuntabilitas program, yaitu terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah pemerintah daerah telah membandingkan alternatif program yang dapat memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Untuk lebih menjamin tercapainya tujuan tersebut pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan


(27)

Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Beberapa rasio yang dapat digunakan dalam menganalisis data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain: a) rasio kemandirian, untuk menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah; b) rasio efektivitas, untuk mengukur tingkat ekonomis, efektivitas, dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah; c) rasio keserasian, untuk mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya; dan d) rasio pertumbuhan dan proporsi APBD untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah (Halim, 2004).

Tabel 1.1

Total Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota

di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2008-2012 (Juta Rupiah)

No. Kab./Kota 2008 2009 2010 2011 2012

1 Kotawaringin Barat 494.130,39 569.909,19 565.476,30 610.152,39 689.427,97

2 Kotawaringin Timur 467.800,15 661.906,99 671.397,47 828.734,51 927.039,48

3 Kapuas 341.641,73 662.816,65 720.581,23 862.118,47 976.057,99

4 Barito Selatan 496.000,00 170.800,43 537.494,78 580.894,71 639.820,69

5 Barito Utara 430.900,00 467.346,02 477.683,65 576.069,10 590.269,94

6 Sukamara 604.587,08 373.972,92 364.877,36 385.968,93 424.229,71

7 Lamandau 371.196,29 394.100,58 381.250,70 452.237,62 487.310,67

8 Seruyan 539.878,11 536.331,57 587.788,76 603.406,56 684.214,89

9 Katingan 547.182,79 542.115,24 572.349,73 596.523,00 662.260,39

10 Pulang Pisau 514.288,00 437.745,62 437.959,64 520.773,74 532.393,82

11 Gunung Mas 369.972,70 457.331,34 453.727,53 529.087,27 566.863,82

12 Barito Timur 372.524,54 381.020,06 387.893,12 507.427,11 528.607,20

13 Murung Raya 411.761,71 496.657,60 594.908,28 608.217,51 736.202,97

14 Palangka Raya 468.377,14 520.442,46 541.747,97 649.020,12 715.735,08

Kalimantan Tengah 6.430.240,68 6.672.496,68 7.295.136,52 8.310.631,03 9.160.434,63 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013


(28)

Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, sejak tahun 2001 juga telah melaksanakan otonomi daerah. Penerimaan daerah, baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan lebih banyak mengalami peningkatan (Tabel 1.1). Peningkatan pendapatan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah lebih sering diakibatkan oleh meningkatnya bantuan pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang alokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Untuk mengetahui perkembangan kemampuan keuangan daerah salah satunya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena setiap daerah dapat meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan dan mengelola PAD sehingga mengurangi ketergantungan transfer dari pemerintah pusat. PAD yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sejak tahun 2010 di seluruh provinsi di Indonesia jumlahnya sudah melebihi total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa secara nasional pemerintah daerah terus berupaya untuk menurunkan porsi


(29)

transfer dari pemerintah pusat di dalam APBD-nya dengan terus meningkatkan PAD.

Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah pada Tahun 2007-2011 tidak merata. Halim (2001) mengatakan bahwa kemampuan suatu daerah untuk menggali pendapatan asli daerah antara lain sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah, seperti pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB, disamping struktur sosial politik dan kelembagaan, kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan daerah. PAD di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan dan Kota Palangkaraya lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan Tengah.

Tabel 1.2

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2007-2012 (Juta Rupiah)

No. Kab/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1 Kotawaringin Barat 6.578 7.108 7.546 8.389 9.534 9.989

2 Kotawaringin Timur 23.278 40.842 46.212 57.677 82.317 90.539

3 Lamandau 9.934 11.606 11.988 12.212 12.839 13.641

4 Sukamara 9.934 11.610 11.760 12.340 12.760 13.595

5 Seruyan 11.237 12.508 13.600 18.390 28.130 28.673

6 Katingan 35.820 21.819 34.750 24.900 37.500 32.890

7 Pulang Pisau 2.847 8.949 13.721 8.213 13.768 15.831

8 Kapuas 15.542 23.120 19.409 18.410 23.953 23.720

9 Barito Selatan 14.685 15.596 15.450 16.097 14.605 15.389

10 Barito Timur 12.834 14.542 18.957 12.834 17.860 17.909

11 Barito Utara 17.333 17.914 19.845 20.157 20.579 21.787

12 Murung Raya 10.092 11.654 18.783 14.270 14.980 17.673

13 Gunung Mas 4.378 4.778 6.109 7.305 7.645 8.761

14 Palangka Raya 26.084 24.599 22.535 26.197 34.973 32.691

Kalimantan Tengah 200.581 226.654 260.670 257.398 331.449 343.094 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013


(30)

Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Alokasi Umum. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan penjumlahan dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam). Pemerintah daerah akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila Dana Bagi Hasil yang diperoleh pemerintah daerah semakin besar. Pada Dana Bagi Hasil Pajak terdapat tiga penerimaan, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan, Bagi Hasil Pajak Penghasilan, dan Bagi Hasil Cukai dari Cukai Tembakau. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke Daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antara daerah dan pelayanan antar bidang. Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu.

Pemerintah pusat sangat dominan dalam hal mekanisme penyaluran Dana Perimbangan khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, baik pada saat penyalurannya maupun


(31)

berapa besar jumlah yang disalurkan kepada pemerintah daerah. Selain itu potensi Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak belum optimal tergali di Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga hal ini berpengaruh terhadap besaran Dana Bagi Hasil kepada daerah. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh bargaining position

daerah dalam menentukan berapa besar jumlah potensi yang menjadi bagian dari pemerintah daerah.

Tabel 1.3

Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)

di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2008–2012. (Juta Rupiah)

No. Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012

1 Kotawaringin Barat 23.574,87 22.476,11 26.596,07 28.943,97 34.980,61 2 Kotawaringin Timur 36.554,20 34.070,93 38.758,37 43.445,81 44.151,25 3 Kapuas 19.483,85 18.472,07 30.956,67 44.541,49 70.617,16 4 Barito Selatan 8.428,45 9.523,02 14.189,09 69.084,91 27.573,72 5 Barito Utara 24.259,44 26.114,27 55.712,19 56.912,56 68.977,90 6 Sukamara 13.278,19 18.335,50 19.945,00 22.305,00 23.485,00 7 Lamandau 20.649,99 25.717,20 30.784,40 31.892,87 34.027,86 8 Seruyan 22.835,00 32.180,00 50.870,00 53.070,00 61.065,00 9 Katingan 19.216,45 42.989,34 48.276,28 55.049,31 54.550,61 10 Pulang Pisau 15.109,73 15.537,05 18.435,50 20.292,09 20.818,59 11 Gunung Mas 19.484,83 19.728,19 13.922,88 23.453,54 32.363,47 12 Barito Timur 22.445,94 22.700,87 19.997,61 19.079,66 19.533,17 13 Murung Raya 63.072,81 69.721,40 58.091,94 104.168,91 144.725,78 14 Palangka Raya 11.501,06 13.048,73 32.271,10 32.103,56 26.770,51

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013

Perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Tengah bervariasi antara satu sama lain (Tabel 1.3). Dana Bagi Hasil dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Tetap (Landrent), dan Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalti) merupakan penyumbang terbesar bagi Dana Bagi Hasil di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya merupakan kabupaten yang menerima Dana Bagi Hasil


(32)

Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) terbesar dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya sebagian besar wilayahnya terletak pada ketinggian 100-200 m di atas permukaan laut dan sisanya pada ketinggian 400-500 m diatas permukaan laut. Potensi terbesar wilayah ini ada pada sektor kehutanan dan pertambangan. Sektor kehutanan sudah cukup lama turut menyumbang pemasukan bagi negara sedangkan sektor pertambangan, seperti tambang emas dan tambang intan juga memberikan andil yang cukup besar. Sementara tambang batubara sudah mulai diproduksi yang menjadi pemasukan cukup besar bagi daerah. Jenis tanah di Kabupaten Murung Raya sesuai untuk berbagai penggunaan seperti perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet, tanaman pangan dan persawahan.

Kabupaten Barito Selatan dan Kota Palangka Raya merupakan penerima Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) terkecil dibandingkan kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Berbeda dengan Kabupaten Murung Raya, perekonomian Kabupaten Barito Selatan didominasi oleh Sektor Pertanian (tanaman padi sawah), Sektor Jasa, dan Sektor Perdagangan, sedangkan Kota Palangka Raya didominasi oleh Sektor Jasa kemudian disusul oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Restoran dan Hotel, dan terakhir oleh Sektor Bangunan. Sementara itu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sangat sedikit sebagai penyumbang dalam perekonomian Kota Palangka Raya. Walaupun kawasan hutan di Kota Palangka Raya terbesar namun tanahnya merupakan tanah mineral dan tanah gambut. Demikian halnya dengan


(33)

Kabupaten Barito Selatan yang berada di pesisir Sungai Barito memiliki dataran rendah dan merupakan daerah rawa pasang surut.

Rendahnya kapasitas dan kemampuan pengelolaan keuangan daerah akan sering menimbulkan siklus efek negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan bagi masyarakat dan atau tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan pengukuran kesejahteraan masyarakat, pendapatan perkapita merupakan indikator penting, dengan meningkatnya pendapatan perkapita menyebabkan akses masyarakat terhadap pendidikan kesehatan juga meningkat. Dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2011 PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami peningkatan menurut harga konstan tahun 2000, seperti tersaji pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4

PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Menurut Harga Konstan Tahun 2000,Selama Tahun 2006-2011 (Juta Rupiah)

No. Kab/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011

1 Kotawaringin Barat 9,51 9,78 10,38 10,68 11,01 11,61 2 Kotawaringin Timur 6,90 7,17 7,30 7,61 7,98 8,42

3 Lamandau 8,20 8,54 8,77 9,03 9,34 9,79

4 Sukamara 13,91 13,65 13,24 13,21 13,35 13,95

5 Seruyan 7,30 8,56 8,10 8,43 8,51 8,61

6 Katingan 7,71 7,95 8,19 8,42 8,74 9,14

7 Pulang Pisau 4,79 5,05 5,30 5,86 6,16 6,42

8 Kapuas 5,52 5,74 5,95 6,25 6,57 6,85

9 Barito Selatan 6,79 7,08 7,19 7,49 7,83 8,17

10 Barito Timur 5,49 5,69 5,97 6,60 6,83 7,13

11 Barito Utara 7,26 7,99 8,02 8,38 8,78 9,19

12 Murung Raya 8,62 8,85 9,13 9,52 9,78 10,25

13 Gunung Mas 5,22 6,24 6,64 6,80 7,01 7,34

14 Palangka Raya 4,91 5,05 5,06 5,24 5,41 6,45

Kalimantan Tengah 7,30 7,67 7,80 8,11 8,38 8,81


(34)

Selama Tahun 2006 – 2011 PDRB per kapita menurut harga konstan tahun 2000 di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 8,01 persen, yaitu dari Rp 7.296.486,- menjadi Rp 8.809.940,-. Berdasarkan Tabel 1.5 juga dapat diketahui bahwa selama Tahun 2006 – 2011 Kota Palangka Raya memiliki PDRB per kapita yang paling rendah, sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Sukamara.

Tabel 1.5

Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2009-2011

No. Daerah

Agustus 2009 Agustus 2010 Agustus 2011

Pengangguran (Orang) TPT (%) Pengangguran (Orang) TPT (%) Pengangguran (orang) TPT (%)

1 Kotawaringin Barat 5.175 4,74 4.836 4,46 3.470 2,81

2 Kotawaringin Timur 6.742 4,42 7.476 4,16 3.987 2,08

3 Kapuas 11.080 5,35 7.390 4,17 6.000 3,52

4 Barito Selatan 2.524 4,00 3.166 5,51 1.609 2,52

5 Barito Utara 2.166 3,50 1.502 2,30 428 0,70

6 Sukamara 988 5,66 1.122 5,32 132 0,58

7 Lamandau 1.319 4,86 912 2,95 863 2,53

8 Seruyan 1.743 3,52 2.925 4,46 1.787 2,41

9 Katingan 3.046 4,42 1.893 3,34 1.937 2,61

10 Pulang Pisau 1.608 2,26 1.199 2,11 1.659 2,62

11 Gunung Mas 1.741 4,15 2.050 4,45 1.130 2,38

12 Barito Timur 1.622 3,22 731 1,35 1.055 2,07

13 Murung Raya 637 1,62 489 1,03 610 1,32

14 Palangka Raya 8.044 9,17 8.462 8,48 4.219 3,82

Kalimantan Tengah 48.435 4,62 44.153 4,14 28.886 2,55

Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012

Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga ditentukan oleh angka pengangguran, makin tinggi angka pengangguran mengidikasikan kinerja pembangunan ekonomi daerah makin buruk (Noor, 2013). Berdasarkan Tabel 1.5 jumlah dan persentase penduduk Provinsi Kalimantan Tengah yang menganggur terus mengalami penurunan. Pada Tahun 2009 jumlah Pengangguran di Provinsi


(35)

Kalimantan Tengah adalah 48.435 orang dan turun menjadi 28.886 orang pada tahun 2011. Jumlah pengangguran terbanyak berada di Kabupaten Kapuas yang mencapai 6.000 orang atau sekitar 3,52 persen dari jumlah penduduk yang menganggur di Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan jumlah Pengangguran tersedikit adalah di Kabupaten Sukamara pada Tahun 2011.

Penurunan angka pengangguran tidak sepenuhnya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini mengingat salah satu indikator yang sering dipergunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat saat ini adalah dengan melihat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan atau kinerja ekonomi daerah dalam bidang penyiapan modal manusia (human capital). Modal manusia yang baik diukur melalui kualitas fisik yang tercermin dari angka harapan hidup, sedangkan kualitas non fisik tercermin dari kualitas pendidikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan daerah dengan kualitas human capital yang baik, pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai pembangunan di sektor-sektor pelayanan dasar, yaitu pendidikan dan kesehatan.

IPM yang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu: 1) kesehatan yang diukur melalui angka harapan hidup; 2) pendidikan yang diukur melalui angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan 3) kehidupan yang layak diukur melalui pengeluaran per kapita riil. Dengan memadukan data sosial dan ekonomi, konsep HDI memungkinkan negara-negara untuk mengambil ukuran yang lebih


(36)

luas bagi kinerja pembangunan mereka, baik secara relatif maupun absolut; disamping itu kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial mereka dapat diarahkan ke sektor atau kawasan yang memang paling membutuhkannya (Todaro, 2000).

Tabel 1.6

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007-2013

No. Kabupaten/Kota IPM

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Kotawaringin Barat 72,14 72,86 73,30 73,79 74,19 74,69 75,11 2 Kotawaringin Timur 72,90 73,36 73,97 74,34 74,74 75,14 75,40

3 Kapuas 72,58 72,89 73,22 73,60 74,00 74,33 74,48

4 Barito Selatan 72,56 72,96 73,29 73,60 74,01 74,34 74,54 5 Barito Utara 74,12 74,57 74,85 75,15 75,50 75,97 76,13 6 Sukamara 70,65 71,00 71,62 71,98 72,42 72,88 73,24 7 Lamandau 71,54 71,98 72,08 72,32 72,74 73,13 73,29

8 Seruyan 71,62 72,00 72,28 72,55 72,93 73,24 73,36

9 Katingan 71,59 72,06 72,33 72,65 73,32 73,67 73,83 10 Pulang Pisau 70,10 70,63 71,18 71,53 72,37 72,75 73,18 11 Gunung Mas 72,40 72,85 73,13 73,43 73,73 74,08 74,26 12 Barito Timur 71,66 72,17 72,72 73,00 73,33 73,75 73,86 13 Murung Raya 71,62 72,18 72,46 72,84 73,34 73,77 73,98 14 Palangka Raya 77,47 77,90 78,02 78,30 78,78 79,30 79,52 Kalimantan Tengah 72,49 73,88 74,36 74,64 75,06 75,46 75,68

Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2014

Perkembangan angka IPM dari tahun ke tahun memberikan indikasi peningkatan atau penurunan kinerja pembangunan manusia setiap tahunnya. IPM Provinsi Kalimantan Tengah berada pada angka 72,35 pada Tahun 2007 meningkat 3,3 poin menjadi 75,68 pada Tahun 2013. Kondisi IPM kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.6. Pada tabel ini, diketahui bahwa pada Kota Palangka Raya dengan nilai IPM sebesar 79,52 berada pada peringkat teratas di Provinsi Kalimantan Tengah melampaui angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan bahkan melampaui IPM


(37)

Nasional tahun 2013 sebesar 73,81. IPM terendah terdapat di Kabupaten Pulang Pisau dengan nilai IPM sebesar 73,18 pada tahun 2013.

Hampir seluruh kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah berada dibawah nilai IPM provinsi, kecuali Kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya. Nilai IPM seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah selalu bergerak kearah positif atau cederung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kesejahteraan di Provinsi Kalimantan Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Provinsi Kalimantan Tengah sudah berada di atas IPM nasional, namun jika dilihat dari IPM kabupaten/kota hanya kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya yang nilai IPM berada diatas IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan IPM Nasional. Secara keseluruhan IPM kabupaten/kota nilai IPM mengalami peningkatan namun kemajuan ini tidak terlepas dari masalah kesenjangan karena masing-masing kabupaten/kota memiliki capaian komponen yang berbeda.

Pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel diduga dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, demikian pula dengan proses pembangunan ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki daerah. Perubahan struktur ekonomi masyarakat yang


(38)

terjadi menunjukkan bahwa terjadi pergeseran perubahan ke arah yang lebih baik yang menuju pada kesejahteraan masyarakat.

Otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah tersebut, maka daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber keuangan daerah sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah.

Pengelolaan keuangan daerah memiliki hubungan yang kuat dengan pembangunan ekonomi daerah terutama melalui pendapatan dan belanja daerah yang mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Keuangan daerah dapat digunakan untuk mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang selanjutnya dapat mensejahterakan masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah memang tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek melainkan baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Oleh karena itu dalam penelitian ingin melihat pengaruh kinerja keuangan daerah, pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah. Karena hasil dan bukti berbeda antar satu negara dengan negara lain ataupun satu daerah dengan daerah lain menghasilkan sifat dan dampak yang tergantung pada kondisi masing-masing daerah.


(39)

Berdasarkan uraian latar belakang dirumuskan masalah untuk diteliti sebagai berikut, yaitu.

1) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?

2) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?

3) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah?

4) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?

5) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap perubahan struktur ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?

6) Apakah kinerja pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi, dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan


(40)

Tengah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji hal-hal sebagai berikut.

1) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah.

2) Pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 3) Pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan

perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah.

4) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah.

5) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap perubahan struktur ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 6) Pengaruh kinerja pembangunan ekonomi terhadap kesejahteraan

masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari menganalisis berbagai indikator pembangunan untuk melihat keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi secara utuh. Dengan menggunakan


(41)

selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan terutama penelitian mengenai pembangunan ekonomi daerah.

2) Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembentukkan kebijakan perencanaan pembangunan ekonomi daerah, sehingga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan pembangunan demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial dengan struktur ekonomi yang kuat.


(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesejahteraan Masyarakat

Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012).

Menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006), kesejahteraan masyarakat menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih baik yang meliputi: pertama, peningkatan kemampuan dan pemerataan distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan perlindungan; kedua, peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih baik, dan peningkatan atensi terhadap budaya dan nilai-nilai kemanusiaan; dan ketiga, memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan sosial dari individu dan bangsa. Kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar yang tercermin dari rumah yang layak, tercukupinya kebutuhan sandang dan pangan, biaya pendidikan dan kesehatan


(43)

memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas anggaran tertentu dan kondisi dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.

Secara umum teori kesejahteraan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu

classical utilitarium,neoclassical welfare theory, dan new contraction approach

(Badrudin, 2012). Classical utilitarian menekankan bahwa kepuasan atau kesenangan seseorang dapat diukur dan bertambah. Tingkat kepuasan setiap individu dapat dibandingkan secara kuantitatif.Neoclassical welfare menekankan pada prinsip pareto optimality. Pareto optimum didefenisikan sebagai sebuah posisi dimana tidak memungkinkan suatu realokasi input atau output untuk membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa menyebabkan sedikitnya satu orang atau lebih buruk. New contraction approach menekankan pada konsep dimana setiap individu memiliki kebebasan maksimum dalam hidupnya. Ketiga pandangan tersebut menekankan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang sangat tergantung pada tingkat kepuasan kesenangan yang diraih dalam kehidupannya.

Gregory dan Stuart (1992) mengatakan bahwa pertumbuhan pendapatan per kapita dari waktu ke waktu umumnya membawa perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat dengan arah yang sama. Pertimbangan menggunakan pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena data tersebut umumnya mudah diperoleh di kantor-kantor statistik. Sebaliknya, data indikator kesejahteraan atau kemakmuran mayarakat yang lebih kompleks, seperti presentase penduduk yang memiliki rumah, menikmati fasilitas air bersih, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, pemilikan alat hiburan seperti televisi dan radio, jarang tersedia (Sukirno, 2001). Meskipun demikian, pengukuran kesejahteraan


(44)

masyarakat yang hanya menggunakan pendapatan per kapita banyak ditentang oleh berbagai pihak. Hal ini terjadi karena kesejahteraan sifatnya normatif sehingga diperlukan pengukuran yang lebih komprehensif yang dapat menggambarkan kemajuan kualitas hidup masyarakat. Todaro (2000) mengatakan bahwa angka kenaikan GNP per kapita mengandung kelemahan yang sangat fatal, yakni menyamarkan kenyataan fundamental yang sebenarnya, yaitu sama sekali belum membaiknya kondisi kesejahteraan kelompok penduduk yang relatif paling miskin.

United Nations Research Institute for Social Development menyusun delapan belas indikator yang apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara sedang berkembang tidak terlampau besar. Delapan belas indikator tersebut, antara lain: 1) tingkat harapan hidup; 2) konsumsi protein hewani per kapita; 3) persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah; 4) persentase anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan; 5) jumlah surat kabar; 6) jumlah telepon; 7) jumlah radio; 8) jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai 20.000 penduduk atau lebih; 9) persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian; 10) persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air, kesehatan, pengakutan, pergudangan, dan transportasi; 11) persentase tenaga kerja yang memperoleh gaji; 12) persentase PDB yang berasal dari industri pengolahan; 13) konsumsi energi per kapita; 14) konsumsi listrik per kapita; 15) konsumsi baja per kapita; 16) nilai per kapita perdagangan luar negeri; 17) produk pertanian rata-rata


(45)

dari pekerja laki-laki di sektor pertanian; dan 18) pendapatan per kapita Produk Nasional Bruto.

World Bank pada tahun 2000 merumuskan indikator kesejahteraan masyarakat sebagai indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yaitu penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan terhadap penyakit menular, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerja sama global. Keberhasilan pembangunan manusia diukur dalam beberapa dimensi utama tersebut. Menurut World Bank, tingkat pencapaian pembangunan manusia dapat diamati melalui dimensi pengurangan kemiskinan (decrease in proverty), peningkatan kemampuan baca tulis (increase in literacy), penurunan tingkat kematian bayi (decrease in infant mortality), peningkatan harapan hidup (life expectancy), dan penurunan dalam ketimpangan pendapatan (decrease income inequality).

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau

Human Development Index (HDI). Indeks ini dibentuk berdasarkan empat indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup merepresentasikan dimensi umur panjang dan sehat. Selanjutnya, angka melek huruf dan rata-rata


(46)

lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak.

Badan Pusat Statistik menggunakan IPM untuk mengukur capaian pembangunan manusia dengan menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan serta kehidupan yang layak. Ketiga dimensi dasar tersebut menggambarkan empat komponen dasar kualitas hidup yakni angka harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah untuk mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan; dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok hidup masyarakat yang dapat dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup yang layak (Gambar 2.1).

Gambar 2.1

Diagram Perhitungan IPM

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012


(47)

memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan pembangunan manusia yang lebih baik, yang akan menciptakan manusia yang lebih terdidik dan sehat, tidak mengalami kelaparan dan memiliki kemampuan berpartisipasi dalam lingkungan sosial (Karmakar, 2006). Selanjutnya, Saharudin (2008) mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikatornya adalah pendapatan per kapita, angka usia harapan hidup dan angka partisipasi sekolah.

2.1.1 Pengertian Kesejahteraan

Setiap manusia memiliki keinginan untuk sejahtera, sejahtera menunjuk ke suatu keadaan yang serba baik atau suatu kondisi manusia, dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Menurut kamus Bahasa Indonesia, sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta selamat, terlepas dari segala macam gangguan. Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, diartikan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Stiglitz (2011) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi standar hidup material (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan), kesehatan,


(48)

pendidikan, aktivitas individu termasuk bekerja, suara politik, dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kina dan masa depan), baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan data objektif dan subjektif.

Perumusan konsep kesejahteraan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa keluarga yang dikatakan sejatera apabila memenuhi kriteria berikut.

1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama;

2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dan jumlah anggota keluarga; dan

3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di samping terpenuhi kebutuhan pokoknya.

2.1.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan

Ekonomi kesejahteraan penting untuk dipahami karena ekonomi kesejahteraan berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kriteria dari ekonomi kesejahteraan berguna dalam mempertimbangkan suatu kebijaksanaan. Kriteria-kriteria kesejahteraan sebagai berikut.


(49)

1) Kriteria Bentham

Jeremy Benthan menyatakan bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila terdapat perubahan positif

welfare total, berarti terdapat perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat anggota masyarakat atau individu yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Secara implisit kriteria ini mengasumsikan adanya komparasi antaraindividual (interpersonal comparison) di antara anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan anggota masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan dalam masyarakat yang bersangkutan.

2) Kriteria Cardinal

Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat berpengaruh terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki uang lebih banyak) akan memperoleh marginal utility yang lebih kecil dibandingkan dengan anggota masyarakat yang berpendapat rendah (memiliki uang yang lebih sedikit). Dengan demikian, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan redistribusi pendapatan di antara anggota masyarakat. Maksimum kesejahteraan masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata di antara anggota masyarakat. Kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal utilityuang adalah sama bagi setiap anggota masyarakat.


(50)

3) Kriteria Pareto-Optimal

Pareto Optimality merupakan kriteria efisiensi (efisiensi alokatif) yang dicetuskan oleh seorang sosiolog dan ekonom Italy yang bernama V. Pareto. Kriteria pareto ini menyatakan bahwa efisiensi alokatif akan terjadi bila tidak mungkin lagi dilakukan re-organisasi produksi sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak (yang terlibat dalam kegiatan ekonomi: produsen dan konsumen) merasa lebih sejahtera (better off). Oleh karena itu, pada keadaan efisiensi alokatif ini utility (kepuasan) seseorang dapat ditingkatkan hanya dengan menurunkan utility orang lain. Contoh keadaan tidak efisien adalah masyarakat yang tidak memanfaatkan sepenuhnya batas kemungkinan produksinya. Dengan lebih dimanfaatkan batas kemungkinan produksinya itu, tidak akan ada orang yang mengalami penurunan utilitas. Cara lain untuk memahami konsep efisiensi ini adalah kaitannya dengan perdagangan. Misalnya, orang membawa hasil produksinya ke pasar untuk ditukarkan dengan barang orang lain. Setiap kali terjadi perutukaran (perdagangan), maka utilitas kedua pihak akan naik. Jika semua kemungkinan pertukaran yang menguntungkan telah habis sehingga tidak ada lagi kenaikan utilitas, maka dapat dikatakan bahwa keadaan telah mencapai efisien.

Pada kenyataannya penggunaan kriteria pareto sangat terbatas untuk diterapkan karena memiliki kelemahan yang mendasar, misalnya sebagai berikut.

a. Tidak berlaku pada kasus suatu perubahan yang menguntungkan beberapa orang, tetapi juga merugikan orang lain. Walaupun besarnya


(51)

keuntungan lebih besar jika dibandingkan dengan besar kerugian, menurut pareto perubahan tersebut bukanlah suatu perbaikan. Dengan demikian kriteria pareto tidak dapat menentukan mana yang lebih baik. b. Berkaitan dengan distribusi pendapatan, tidak menumbuhkan alokasi yang memadai, sebagai contoh banyak individu yang menerima pendapatan rendah.

c. Dalam kenyataannnya sistem yang kompetitif sempurna tidak pernah ada.

Dengan demikian untuk mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat menggunakan kriteria pareto optimal apabila paling sedikit satu orang bertambah makmur (better off) dengan tidak menyebabkan orang lain bertambah miskin (worse off).

4) Kriteria Kaldor-Hicks

Kaldor Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk menilai suatu perubahan, yaitu menilai keuntungan dari mereka yang menikmati perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang menderita kerugian dengan satuan uang. Ini berarti utnuk mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat menurut Kaldor Hicks kemakmuran masyarakat meningkat apabila orang yang memperoleh manfaat dari kebijakan publik/pembangunan (who gain) membantu orang lain yang dirugikan (who lose) sehingga tidak ada orang lain yang bertambah miskin apabila ada orang yang bertambah kaya. Kriteria Kaldor Hicks ditunjukkan dengan gambar sebagai berikut.


(52)

Gambar 2.2 Kriteria Kaldor Hicks

Sumber : Miller dan Meiners, 2000

Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut. a. Diperoleh sebuah kurva UPF (Utility Possibility Frontiers), yaitu kurva

batas-batas kemungkinan kepuasan.

b. Misalkan, perekonomian mula-mula berada di titik A, setiap pergerakan diharapkan menuju titik B atau D karena pergerakan itu meningkatkan kesejahteraan salah satu konsumen tanpa merugikan konsumen lainnya. Akan tetapi bila bergerak ke titik E, sementara salah satu pihak untung, yang lain dirugikan. Menurut Kaldor Hicks, pergerakan ke titik E itu sebenarnya tidak menguntungkan karena pihak yang untung akang mengimbangi kerugian pihak lain. Atau dengan kata lain, menurut Kaldor Hicks bila E tercapai, akan terjadi redistribusi pendapatan atau kekayaan yang akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan ke titik C, dimana setiap orang dalam perekonomian diuntungkan.


(53)

c. Kriteria Kaldor Hicks, setiap titik pada UPF menguntungkan dan lebih baik dari titik mana pun yang berada di bawah UPF (misal di titik A). d. Konsumen 1 (yang untung) akan selalu mengimbangi kerugian konsumen

2, lewat pembayaran uang secara langsung (potensi imbalan atau kompensasi).

Kritera Kaldor Hicks menyatakan bahwa suatu perubahan merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti rugi kepada pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar daripada ganti rugi yang dibayarkan. Menurut Kaldor Hicks, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara pelaku ekonomi A (konsumen 1) dan pelaku ekonomi B (konsumen 2) yang terdapat pada kurva (Gambar 2.2) kemungkinan utilitas dapat diperoleh dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus (lumpsum tax) atau subsidi.

5) Kriteria Ganda Scitovsky

Menurut Scitovsky, kriteris Kaldor Hicks menunjukkan adanya kelemahan karena pada kurva kemungkinan utilitas, yaitu utilitas pelaku ekonomi A (konsumen 1) (U1U1) dan utilitas pelaku ekonomi B (konsumen

2) (U2U2), bahwa perubahan dari suatu aktivitas (E) ke aktivitas lain (A)

merupakan perbaikan, karena penambahan dari suatu aktivitas yang lain (B) melebihi pengurangan utilitas aktivitas (A). Hal ini terjadi karena aktivitas B


(54)

> A, sedangkan aktivitas B mempunyai kedudukan yang sama dengan aktivitas E (dalam hal ini terletak pada kurva kemungkinan utilitas yang sama, yaitu U1U1). Dengan demikian, perubahan kembali dari utilitas

aktivitas ekonomi (A) ke utilitas aktivitas ekonomi (E) merupakan perbaikan juga. Hal inilah yang merupakan kelemahan Kaldor Hicks.

Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), maka tugas negara adalah mengobati kelemahan yang ada pada

competition demi menjamin welfare. Negara menurut Scitovsky harus menyediakan jasa-jasa yang bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif. Scitovsky mendukung anti-trust legislation dan menolak aggressive competition, yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun, pada dasarnya Scitovsky tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol negara. Scitovsky menutupi beberapa kelemahan kriteria Kaldor Hicks dengan mengusulkan uji ganda yang lebih ketat, yaitu menggunakan kriteria Kaldor Hicks untuk menentukkan apakah perubahan dari titik asal ke titik baru merupakan suatu perbaikan, dan menggunakan kriteris Kaldor Hicks untuk menentukkan apakah perubahan kembali dari titik baru ke titik lama bukan merupakan perbaikan pula.

Berbagai kriteria diatas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kritik yang cukup tajam terhadap kriteria Kaldor Hicks dari pakar-pakar ekonomi terjadi karena pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan kepada penerima kerugian. Ganti rugi pada kriteria Kaldor Hicks


(55)

adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran ganti rugi yang aktual perlu digunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik dengan adanya perubahan. Kedua kriteria Kaldor-Hicks dan Scitovsky di kritik oleh Boumol, karena keduanya menggunakan nilai uang sebagai ukuran besarnya utilitas. Padahal uang mempunyai nilai yang relatif tergantung atas kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan konsep Boumol tersebut, maka Bergson telah memperkenalkan kriteria yang lain, yaitu fungsi kesejahteraan sosial (social walfare function).

1. Kriteria Bergson

Bergson menyatakan bahwa penilaian tentang perubahan hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai fungsi kesejahteraan sosial, yang menyatakan bagaimana kebijakan masyarakat tergantung kepada kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menyatakan dalam bentuk yang tepat pertimbangan nilai yang diperlukan untuk derivasi kondisi kesejahteraan ekonomi maksimal. Fungsi ini bernilai riil dan terdeferensialkan. Argumen fungsi, termasuk jumlah komoditas yang berbeda diproduksikan dan dikonsumsi dan sumber daya yang digunakan dalam menghasilkan komoditas yang berbeda, termasuk tenaga kerja. Nilai fungsi maksimum memerlukan kondidi umum sebagai berikut.


(56)

b. Marginal setiap nilai uang dihasilkan dari kerja sama setiap komoditas yang dihasilkan dari setiap masukan tenaga kerja.

c. Marginal biaya setiap unit sumber daya adalah sama dengan nilai produktivitas marginal untuk setiap komoditas.

Bergson menggambarkan sebuah peningkatan kesejahteraan ekonomi yang kemudian disebut perbaikan Pareto. Setidak-tidaknya satu orang pindah ke posisi yang lebih disukai dengan orang lain acuh tak acuh. Fungsi Bergson dapat memperoleh Pareto Optimal yang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk mendefenisikanekuitas normative interpersonal.

2.1.3 Pengukuran Kesejahteraan

Kesejahteraan memiliki banyak dimensi, yakni dapat dilihat dari dimensi materi dan dimensi non materi. Dari sisi materi dapat diukur dengan pendekatan pendapatan dan konsumsi. Mayer dan Sullivan (2002) menyatakan bahwa secara konseptual dan ekonomi data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan data pendapatan karena data konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kerjahteraan. Kesejahteraan dari dimensi non materi dapat dilihat dari sisi pendidikan dan kesehatan. Pengukiran status kesehatan dapat dilakukan melalui pertanyaan tentang pengukuran kesehatan secara umum, penyakit berdasarkan pelaporan respiden dan pengukuran secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan kesehatan psikologi/mental/emosional seperti tetang sulit tidur, perasaan takut/gelisah, dan pertanyaan tentang kebahagiaan (Easterlin, 2001).


(1)

Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 2994 dan 2000: Analisis Input Output”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai sektor unggulan dalam perekonomian dan keterkaitan antar sektor yang terjadi dalam perekonomian dan mengidentifikasi perubahan struktur ekonomi sebagai sumber pijakan bagi kebijakan selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya pergeseran dalam beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Perubahan ini mengindikasikan adanya perubahan sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian.

Priyo Hadi Ari (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi” menganalisis pertumbuhan ekonomi sebelum dan setelah desentralisasi fiskal dan bagaimana kesiapan daerah dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Terkait dengan hal itu alokasi belanja pembangunan harus dilakukan secara cermat. Pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan PAD relatif terjamin, namun demikian yang diuntungkan justru pihak swasta, dalam hal ini investor. Dengan demikian hendaknya belanja pemerintah diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur pembangunan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi dapat merata.

Made Suyana Utama (2006) dalam desertasinya berjudul “Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian dan Perubahan Struktur Ekonomi serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Bali” menemukan bahwa secara umum perkembangan pariwisata berpengaruh secara langsung terhadap


(2)

kinerja perekonomian, berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan struktur ekonomi, tetapi terhadap kesejahteraan masyarakat hanya berpengaruh secara tidak langsung. Perkembangan pariwisata memberikan pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja perekonomian dan perubahan struktur ekonomi.

Andros M. P. Hasugian (2006) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja keuangan sebelum dan masa desentralisasi fiskal; laju dan profil kemiskinan; dan hubungan faktor-faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menemukan bahwa kinerja keuangan diukur dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi. Sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Bahwa jika terjadi peningkatan kemandirian yang ditujukkan melalui rasio PAD terhadap penerimaan negatif artinya rasio PAD terhadap penerimaan lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan, artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal lebih kecil.

Adiwan F. Aritenang (2008)melakukan suatu penelitian dengan judul “A study on Indonesia Regions Disparity: Post Decentralization”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas antar provinsi di Indonesia masih parah dalam semua perhitungan. Kesenjangan memang meningkat sebelum desentralisasi


(3)

fiskal tetapi kemudian menurun setelah tahun 2002. Bahwa tingkat modal manusia, investasi modal tetap, dan proporsi pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Dan bahwa proporsi pendapatan bergeser setelah desentralisasi dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Penelitian Aritenang pada Tahun 2009 tentang “The Impact of Government Budget Shifts to Regional Disparities in Indonesia: Before and After Decentralisation” menggambarkan ketimpangan daerah di Indonesia sebelum dan setelah desentralisasi. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa pembangunan di Indonesia masih menuju pada pertumbuhan konvergensi, dimana tiap provinsi yang miskin memilki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan daerah yang kaya. Namun kecepatan konvergensi telah tertekan oleh krisis keuangan pada Tahun 1997 dan belum berubah selama desentralisasi diberlakukan.

Nanik Wahyuni (2008) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Malang” menemukan bahwa secara rata-rata kinerja pengelolaan keuangan Kota Malang adalah baik. Namun ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki oleh pemerintah Kota Malang, seperti kemandirian keuangan dalam membelanjakan pendapatannya karena sebagian besar digunakan untuk belanja rutin.

Isti’anah (2008) melakukan penelitian terhadap optimalisasi peranan DBH dalam pembangunan daerah menemukan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai saat ini tidak menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai mekanisme yang paling


(4)

bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus maka bisa ditemukan belum tepatnya sistem tersebut.

Jake Kendall pada tahun 2009 melakukan penelitian yang berjudul “Local Financial Development and Growth” menganalisis tentang hubungan antara perkembangan sektor perbankan, modal manusia, pertumbuhan ekonomi, dan kinerja keuangan daerah di tiap kabupaten di India. Hasil penelitian ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah di India secara finansial terkendala karena kurangnya pengembangan sektor perbankan, dan bahwa hubungan antara keuangan lokal dan pertumbuhan ekonomi tidak linear.

Agus Tri Basuki dan Utari Gayatri (2009) dalam tulisannya “Penentu Sektor Unggulan dalam Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir” mengidentifikasikan sektor-sektor dominan di kabupaten Ogan Komering Ilir. Dimana sektor pertanian merupakan sektor unggulan karena menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi yang sangat besar terhadap pembentukkan PDRB. Sektor pengolahan merupakan sektor yang dominan tetapi kontribusinya kecil, sementara sektor bangunan, restoran dan hotel, serta jasa-jasa merupakan sektor kecil tetapi memiliki kontribusi yang besar, hal ini disebabkan oleh penurunan lapangan pekerjaan.

I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2003-2007” mengukur kinerja keuangan daerah di Provinsi NTB dengan melihat tingkat kemandirian daerah, tingkat ketergantungan, tingkat desentralisasi fiskal, tingkat efektivitas, dan tingkat


(5)

efisiensi. Selain itu juga untuk mengukur kemampuan keuangan daerah melalui share dan growth APBD, indeks kemampuan keuangan dan peta kemampuan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kinerja keuangan daerah tidak optimal dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut ditunjang dengan kemampuan keuangan diklasifikasikan sebagai kemampuan keuangan tinggi. Kemampuan keuangan tinggi ini disebabkan oleh besaran subsidi atau bantuan keuangan yang diberikan pemerintah pusat melalui dana perimbangan.

Andi Tri Pambudi (2010) melakukan penelitian dengan judul “Pergeseran Struktur Perekonomian atas dasar Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Tengah” bertujuan untuk menganalisis struktur ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi di Jawa Tengah dari sektor tradisional ke sektor modern. Hal ini terlihat dari sektor industri yang menjadi sektor unggulan dan memiliki kontribusi dan pertumbuhan yang besar dalam penyerapan tenaga kerja daripada sektor tradisional sehingga terjadi pergeseran dalam penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah.

Yunisvita (2011) menganalisis perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Sumatera Selatan khususnya dinamika perubahan struktur ekonomi (pangsa pasar terhadap PDRB) dan kesempatan kerja baik antar sektor maupun menurut jenis dan status pekerjaan. Dalam tulisannya yang berjudul “Transformasi Struktur Ketenagakerjaan dan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan” menemukan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi di Sumatera Selatan. Sementara pola pangsa psar penyerapan tenaga kerja relatif stabil.


(6)

Dampak dari adanya perubahan struktur yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya penumpukkan tenaga kerja dengan pangsa produksi pada sektor pertanian. Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi proses percepatan kemiskinan pada sektor pertanian.

M. Asrie Hamzah (2012) dalam penelitiannya “Menciptakan Lapangan Kerja Produktif dalam Pembangunan Ekonomi Daerah” mengkaji peran lapangan kerja produktif dalam pembangunan di daerah. Lapangan kerja produktif adalah paling utama dalam menanggulangi kemiskinan dan masalah disparitas sosial-ekonomi lainnya. Pertumbuhan sosial-ekonomi bukan saja menjadi sumber nilai tambah, tetapi sekaligus dapat menjadi sumber banyak masalah termasuk masalah keadilan di bidang ekonomi. Untuk mencegahnya maka lapangan kerja produktif harus menjadi pilihan utama kebijakan pembangunan di daerah, guna mengusahakan pertumbuhan ekonomi yang bermutu, seperti upaya pemerataan untuk mengurangi kesenjangan serta meningkatkan produktivitas masyarakat.

Haryo Kuncoro (2012) dalam penelitiannya “Apakah Tata Kelola Perekonomian Daerah di Indonesia telah Meningkat?” menemukan bahwa selama pengamatan tahun 2007 dan 2011 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan pada kinerja tata kelola perekonomian daerah di sejumlah kabupaten/kota di Indonesia. Tidak berubahnya kinerja tata kelola perekonomian daerah dikarenakan masalah lahan, program pengembangan usaha, pajak dan pungutan serta biaya transaksi lainnya, keamanan, serta peraturan pemerintah.