SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946.

(1)

SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946

Diajukan Untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

SKRIPSI

Disusun oleh Devvi Ariyanti

0705552

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946

Oleh:

Devvi Ariyanti (0705552)

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Devvi Ariyanti 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotocopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946 Masalah utama yang dikaji dalam skripsi ini adalah “Bagaimana sikap internal Kasunanan dalam mengatasi gerakan anti swapraja”. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode historis yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis data-data peninggalan dan peristiwa masa lampau dengan melakukan empat langkah penelitian yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sedangkan untuk pengumpulan data penulis melakukan teknik studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interdisipliner dengan menempatkan sejarah sebagai ilmu utama dibantu dengan ilmu sosial lainnya.

Adapun yang menjadi rumusan masalahnya yaitu 1) Bagaimana latar belakang munculnya gerakan anti swaparaja? 2) Bagaimana tindakan rakyat dalam gerakan anti swapraja? 3) Bagaimana situasi politik internal Kasunanan Surakarta? 4) Bagaimana tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian Gerakan Anti Swapraja?.

Kasunanan Surakarta merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya pada masanya. Setelah terpecah Kasunanan Surakarta penuh dengan konflik baik konflik sesama bangsawan yang kemudian mengakibatkan terbaginya kekuasaan Kasunanan Surakarta dengan Mangkunegaran, konflik eksternal antara Kasunanan Surakarta dengan rakyatnya. Bibit konflik Kasunanan dengan rakyatnya ini telah terjadi selama kekuasaan Kasunanan Surakarta memerintah kedekatan Kasunanan ini dengan Belanda, kedekatan ini juga mempengaruhi kebijakan Kasunanan yang cenderung lebih memihak Belanda dan semakin membuat rakyat semakin sengsara. Kesengsaraan serta tingkat kesehatan yang rendah, upah yang minim, pajak yang tinggi inilah yang membuat rakyat sering melakukan aksi-aksi protes kepada Kasunanan ditunjang dengan keterbukaan Surakarta dengan pemikiran-pemikiran baru yang menyebabkan muncul golongan-golongan muda yang menginginkan adanya keadilan bagi rakyat Surakarta sehingga ikut berperan dalam jalannya protes aksi protes rakyat. Keadaan ini yang menjadikan Surakarta mendapat julukan sebagai „kota yang tidak pernah tidur‟. Ternyata keadaan tidak berubah bahkan semakin parah saat Surakarta diambil alih oleh Pemerintah Militer Jepang, rakyat harus mengalami romusha serta harus bergabung dalam organisasi militer bentukan Jepang. Gejolak kemerdekaan disambut sukacita oleh rakyat Surakarta karena rakyat Surakarta akan terlepas dari kesengsaraan penjajahan. Namun, kemerdekaan di Surakarta hanyalah sebuah kata sedangkan dalam prakteknya rakyat tetap terjajah oleh Kasunanan Surakarta yang mendapat hak istimewa untuk mengurus daerahnya sendiri. Keadaan ini membuat kemarahan rakyat Surakarta. Akhirnya rakyat melakukan aksi-aksi protes hingga pada puncaknya mendeklarasikan Gerakan Anti Swapraja bertujuan untuk menghapuskan keistimewaan Surakarta dalam aksinya gerakan ini melakukan penculikan serta pembunuhan terhadap pegawai Kasunanan Surakarta. Keadaan ini membuat Kasunanan Surakarta terdesak dengan usaha perdamaian yang mengalami kegagalan sehingga Kasunanan mengembalikan keistimewaan Surakarta kepada pemerintah yang secara otomatis menghilangkan keistimewaan Surakarta hingga saat ini.


(5)

ABSTRACT

This skripsi is titled "Kasunanan Surakarta Act Cope Anti Swapraja Movement In Surakarta 1945-1946. main problem studied in this thesis is" How Kasunanan internal attitude in dealing with anti-self-government ". The method used in this research is that the historical method to critically examine and analyze legacy data and events of the past with the four steps that comprise heuristic research, criticism, interpretation and historiography. As for the author's data collection techniques that examine literature sources relevant to the study authors, while the approach used is an interdisciplinary approach to the science of history placing

principal assisted by other social sciences.

As for the formulation of the problem: 1) What is the background appearance of the anti swaparaja? 2) How do the actions of the people in the anti-self-government? 3) What is the internal political situation in Surakarta? 4) How does

the settlement Surakarta Anti Swapradja?.

Surakarta is a splinter of the Islamic Mataram kingdom which had triumphed in his time. After the split of conflict Surakarta good fellow nobles conflict which led to the division of powers with Mangkunegaran Surakarta, external conflict between the people Surakarta. Seeds Kasunanan conflicts with people this has happened during the reign of power Surakarta Kasunanan closeness with the Dutch, this proximity also affects Kasunanan policies that tend to favor the Netherlands and in turn make people more miserable. Tribulation and a low level of health, minimal wages, high taxes that makes people frequent protests to Kasunanan supported by openness Surakarta with new ideas that lead to young emerging factions who want justice for the people of Surakarta so played a role in the course of popular protests protests. This situation makes Surakarta earned the nickname as 'the city that never sleeps'. Apparently things are not changed even more severe when Surakarta taken over by the Japanese Military Administration, people must undergo romusha and should join the military organization formed by Japan. The turmoil of independence joy greeted by the people because the people Surakarta Surakarta is released from the misery of occupation. However, independence in Surakarta is just a word, while in practice the people remain colonized by Surakarta are privileged to take care of its own. This situation makes the anger of the Surakarta. Finally, people do protest actions until the peak of the Autonomous Anti declared aim to eliminate the privilege of Surakarta in action movement with kidnapping and killing of an employee Surakarta. This situation makes Surakarta pressed with peace efforts have failed so Kasunanan Surakarta to the government to restore privileges that automatically removes the privilege of Surakarta to this day.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

1.5 Metode dan Teknik Penulisan ... 14

1.7 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tinjauan Pustaka ... 20

2.1.1 Revolusi Indonesia ... 21

2.1.2 Kasunanan Surakarta ... 32

2.1.3 Gerakan-Gerakan Sosial Di Surakarta ... 37

2.2Tinjauan Teori ... 44

2.2.1 Teori Konflik ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian ... 51

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Penelitian ... 51

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 51

3.1.3 Mengurus Perizinan ... 52

3.1.4 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian ... 53


(7)

3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 54

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 54

3.2.1.1 Sumber Tertulis ... 55

3.2.2 Kritik Sumber ... 56

3.2.2.1 Kritik Eksternal ... 57

3.2.2.2 Kritik Internal ... 59

3.2.3 Interpretasi ... 60

3.3 Historiografi ... 62

3.3.1 Sistematika Penulisan ... 63

BAB IV GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946 4.1 Surakarta sebelum gerakan anti swapraja tahun 1945-1946 ... 66

4.1.1 Faktor Internal ... 66

4.1.2 Faktor Eksternal ... ... 74

4.2 Gambaran proses terjadinya gerakan anti swapraja yang terjadi tahun 1945-1946 4.2.1 Pembentukan laskar-laskar rakyat ... 86

4.2.2 Proses terjadinya gerakan anti swapraja 1945-1946 ... 91

4.2.3 Tindakan rakyat sampai kepada respon dari Kasunanan Surakarta terhadap peristiwa gerakan anti swapraja...107

4.3 Proses Penyelesaian Gerakan Anti Swapraja Tahun 1945-1946 4.3.1 Tindakan Kasunanan Surakarta ... 110

4.3.2 Tindakan penyelesaian dari kelompok gerakan anti swapraja ...114

4.3.3 Tindakan Penyelesaian dari pemerintah hingga menghilangnya Keistimewaan Surakarta ...117

BAB V KESIMPULAN ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 131 LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Pada masanya, Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa yang pusat kekuasaannya berada di Kertosuro. Saat Mataram Islam mengalami keruntuhan, Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogjakarta dengan adanya perjanjian Giyanti. Maka sejak saat itulah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta terpisah.

Adanya perjanjian ini, membagi kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kasunanan Surakarta pun harus kembali membagi wilayahnya menjadi Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegaran dalam Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. Latar belakang adanya perjanjian salatiga dikarenakan janji Pakubuwono X yang akan membagi kekuasaannya kepada seseorang yang dapat mengusir Belanda dari Surakarta karena Pakubuwono X beranggapan Belanda telah ikut campur dalam peta politik Kasunanan dan dapat mengganggu stabilitas politik Kasunanan. Pada akhirnya Raden Mas Said dapat mengusir Belanda dari Surakarta dengan melakukan pemberontakkan besar-besaran, namun setelah ia dapat mengusir Belanda dari Kasunanan ternyata Pakubuwono X melanggar janji yang telah beliau ucapkan, sejalan dengan hal itu pula, keadaan internal Surakarta pun sedang memanas dengan konflik perebutan kekuasaan antar


(9)

keluarga Sunan. Mendapat bantuan dari keluarga Sunan yang kecewa dengan Pakubuwono X, Raden Mas Said melakukan pemberontakan secara besar-besaran hingga akhirnya Pakubuwono rela membagi kekuasaan Kasunanan Surakarta menjadi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegara (Nurfajarini, 1993: 21).

Setelah Kasunanan Surakarta terpecah dengan Puri Mangkunegaran, wilayah kekuasaannya menjadi terbagi-bagi yakni, kekuasaan Kasunanan meliputi Sukoharjo, Boyolali, Sragen, dan Klaten sedangkan Puri Mangkunegaran wilayah kekuasaannya meliputi Wonogiri, Karanganyar dan Kadipaten Mangkunegaran. Walaupun kedua keraton yang berkuasa di Surakarta tidak pernah damai dalam segala hal namun kedua keraton ini tetap memegang teguh adat istiadat yang telah ada dari jaman Kerajaan Mataram Islam yang merupakan cikal bakal dari dua Keraton tersebut (Nurhajarini, 1999: 11).

Masyarakat Kasunanan Surakarta banyak yang bekerja sebagai petani garapan dikarenakan tanah-tanah yang berada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta merupakan milik seutuhnya dari Sunan yang berkuasa. Sistem ini telah digunakan sejak jaman Mataram Hindu hingga Mataram Islam, sehingga rakyat hanya dapat menggarap tanah pertanian yang dikuasai oleh Kasunaan beserta kerabat-kerabatnya secara turun temurun (Nurhajarini, 1999: 45).

Tanah–tanah yang berada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta merupakan legitimasi kekuasaan sunan dan penunjang kebutuhan ekonomi Kasunanan Surakarta. Sunan dianggap sebagai perantara Tuhan yang segala keputusannya harus diikuti oleh seluruh rakyatnya sehingga dari itu Sunan sebagai


(10)

pemilik tunggal dari seluruh yang ada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta termasuk tanah-tanah di dalam daerah kekuasaan Surakarta. Menurut Soemarsaid Moertono (1985: 34) raja mempunyai dua jenis hak atas tanah yaitu hak politik atau hak publik, yaitu hak untuk menetapkan luasnya yurisdiksi teritorialnya dan hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1983: 56), tanah yang langsung dikuasai oleh Sunan dinamakan Ampilan dalem. Sebagian tanah lainnya, dinamakan tanah Kejawen atau tanah Gaduhan atau tanah lungguh atau tanah apanage dipergunakan untuk menjamin kebutuhan Sunan dan untuk menggaji para abdi dalem. Tanah-tanah ini oleh Sunan diberikan kepada kerabat-kerabat keluarga atau para abdi dalem. Pengaturan dalam hak penguasaan tanah hanya menguntungkan bagi Sunan dan para pengikutnya saja sedangkan rakyat Surakarta hanya sebagai petani garapannya serta harus membayar pajak tanah yang tinggi untuk sewa tanah karena rakyat tidak dapat memiliki tanah-tanah yang digarapnya.

Adanya peraturan yang telah dianut oleh Kasunanan Surakarta tersebut menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat sendiri, diperburuk dengan masuknya Belanda dalam Surakarta dan memberikan keleluasan bagi pihak swasta untuk menanamkan modal di Surakarta. Pihak swasta itu akhirnya mendirikan perusahaan perkebunan atau onderneming di Surakarta, mempekerjakan rakyat sebagai pekerjanya dikarenakan apabila mempekerjakan rakyat pribumi sehingga dapat memberikan upah yang rendah tanpa harus memperhatikan kesehatan para pekerjanya tidak seperti mempekerjakan orang Indo maupun orang Belanda yang harus dengan upah yang tinggi. Adanya konflik yang terjadi antara rakyat dan


(11)

perusahaan perkebunan ini membuat rakyat pribumi sering melakukan aksi protes kepada perusahaan perkebunan serta melakukan aksi kriminalitas kepada perusahaan-perusahaan perkebunan (Suhartono, 1990: 46).

Usaha Pemerintah Belanda untuk meredam aksi protes rakyat ini pada akhirnya melakukan reorganisasi tanah di Surakarta, dimana semua tanah yang dikuasai oleh Kasunanan dialihkan kepada kabupaten-kabupaten untuk mengurus tanah-tanah yang ada dalam daerah pemerintahannya. Reorganisasi tanah ini memberikan kerugian besar bagi Kasunanan Surakarta, Kasunanan mulai mengalami inflasi karena hasil pajak tanah yang berasal dari kabupaten-kabupaten tersebut secara otomatis masuk ke dalam kas pemerintah Hindia Belanda sedangkan Kasunanan hanya mendapatkan hasil yang sedikit dari kebijakan itu. Maka Kasunanan melakukan pemotongan gaji abdi dalem untuk menekan pembiayaan-pembiayaan rumah tangga Kasunanan yang pada saat itu sering melakukan upacara-upacara adat berskala tinggi dan sebagai persaingan dengan Puri Mangkunegaran (Soeratman 1989: 181).

Dengan adanya keadaan yang seperti itu, membuat para petinggi Kasunanan melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda sehingga sejak saat itu Kasunanan Surakarta bersikap terbuka dengan segala pemikiran-pemikiran yang lahir di Surakarta. Maka dari itu sejak masa pergerakan, Kasunanan Surakarta telah turut ikut serta dalam melahirkan organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam. Hal itu dilakukan agar dapat mengurangi dominasi Belanda dalam Kasunanan surakarta. Sejak saat itulah Kasunanan Surakarta dipenuhi dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang


(12)

menyebabkan Belanda mengurangi dominasinya dalam internal Kasunanan Surakarta (Larsson, 1990: 145).

Dengan lahirnya pemikiran-pemikiran baru dalam Kasunanan Surakarta memberikan warna tersendiri dalam masa pergerakan di Surakarta maupun Indonesia. Banyak dari pendiri-pendiri organisasi pergerakan Indonesia berasal dari Surakarta. Sehingga sejak itu pula, Kasunanan Surakarta mempunyai kontribusi dalam masa pergerakan Indonesia. Hal itu berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, karena Belanda mengalami kekalahan dan Jepang pada akhirnya berkuasa di Indonesia selama 3,5 tahun Jepang pun mengalami kekalahan dalam perang pasifik. Dua kota terbesar di Jepang saat itu yaitu Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh Sekutu (Pusponegoro, 1976: 145).

Dengan adanya kekalahan Jepang atas sekutu terjadi vaccum of power dalam pemerintahan Indonesia. Suasana yang terjadi saat itu, tidak disia-siakan oleh orang Indonesia untuk memerdekakan diri. Pada tanggal 17 Agusutus 1945, adanya pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur no. 56. Sejak saat itu Indonesia telah mulai membentuk sistem pemerintahan, dasar negara beserta undang-undangnya (Pusponegoro, 1976: 146).

Dua hari setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat yang mengakui adanya Daerah Istimewa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Daerah Istimewa Surakarta. Pemberian Daerah Istimewa kepada Surakarta ini mendapat sambutan yang sangat baik dari Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegaran, karena dua keraton ini berhak mengurus daerahnya masing-masing tanpa diikut campuri oleh


(13)

Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat pun memberikan Daerah Istimewa kepada Surakarta dikarenakan pada masa pergerakan Kasunanan Surakarta berperan aktif dengan munculnya beberapa organisasi-organisasi pergerakan yang berasal dari dalam Kasunanan Surakarta, yang pada akhirnya organisasi-organisasi tersebut menjadi organisasi pergerakan nasional. Organisasi tersebut akan menjadi merupakan titik perubahan di Indonesia (Santoso, 2002: 44).

Isi maklumat ini secara sah membuat daerah Surakarta menjadi Daerah Istimewa dan Kasunanan Surakarta dan Keraton Mangkunegaran berhak menjalankan daerahnya sesuai dengan kebijakannya sendiri. Pemberian Daerah Istimewa Surakarta oleh Presiden Soekarno disebabkan karena Kasunanan Surakarta telah berperan dalam masa pergerakan Indonesia. Setelah adanya maklumat ini semakin memperkokoh kekusaan Sunan dalam mengatur jalannya pemerintahan Surakarta sendiri. Pemerintah pusat memang telah memberikan kepercayaan kepada Kasusunanan Surakarta untuk mengatur daerahnya sendiri, namun, di sini pemerintah pusat tetap mengirimkan perwakilannya sebagai penghubung antara pemerintah pusat dengan pemerintah Daerah Istimewa Surakarta dan Jogyakarta, lembaga ini dinamakan Komisaris Tinggi yang dipimpin oleh R.P Soeroso yang berkedudukan di Surakarta (Samroni, 2010: 120).

Pemberian hak keistimewaan terhadap Surakarta tidak disambut baik oleh rakyat Surakarta sendiri. Keistimewaan Surakarta membuat Kasunanan surakarta leluasa untuk berkuasa karena diberi hak untuk mengurus daerahnya sendiri. Hal ini justru berbanding terbalik, dengan diberikannya keistimewaan Surakarta oleh pemerintah kepada Kasunanan Surakarta ini justru membuat kesengsaraan baru


(14)

bagi rakyat sendiri karena Kasunanan tetap memakai sistem peraturan yang sudah usang yang tidak sesuai dengan Indonesia yang sudah merdeka. Rakyat Surakarta diharuskan menghasilkan panen sebanyak 64 ribu ton per tahun, keputusan ini sangat memberatkan bagi Kasunanan (Ibrahim, 2004:110).

Setelah dikeluarkannya maklumat Keistimewaan Kasunanan Surakarta mengeluarkan peraturan yang memberatkan para petani, keadaan ekonomi Surakarta yang tidak stabil membuat rakyat tidak menyetujui dengan diberikannya Keistimewaan terhadap Surakarta karena Keistimewaan itu hanya diinginkan oleh Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegaran bukan rakyat. Ketidaksetujuan ini membuat rakyat melakukan aksi protes terhadap para pejabat Kasunanan yang berada di wilayahnya. Saat keadaan ekonomi memburuk yang dialami Surakarta ditambah dengan kebijakan Kasunanan yang memberatkan para petani. Keadaan politik Surakarta pun memanas dikarenakan aksi-aksii protes yang dilakukan oleh pemuda dan bandit-bandit yang saat itu pun semakin berkembang pesat di kalangan masyarakat (Ibrahim 2004:112).

Keadaan di luar Kasunanan Surakarta yang memanas dengan adanya aksi protes dari rakyat yang didukung oleh laskar-laskar pemuda dan aksi para bandit-bandit yang juga marak. Hal ini dilakukan karena adanya ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan Kasunanan dalam bidang pertanian. Suasana dalam Kasunanan Surakarta pun mengalami keadaan yang sama karena banyak para pejabat Kasunanan yang juga tidak menyetujui dengan kebijakan Kasunanan yang membuat peraturan tentang hasil panen padi.


(15)

Kasunanan Surakarta pun mengalami pergesekan dengan Komisaris Tinggi. Komisaris Tinggi membuat sistem direktorium yang beranggotakan Ronomarsono, Mohammad Dasoeki dan Djoewadi yang merupakan orang-orang dari golongan kiri dan tidak menyetujui dengan adanya Keistimewaan Surakarta. Sistem direktorium dapat dikatakan pemerintahan bayangan dalam Kasunanan Surakarta sendiri. Keputusan yang dikeluarkan oleh Komisaris Tinggi membuat suatu ketakutan dalam Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegaran karena dapat mengancam jalannya pemerintahan Keistimewaan Surakarta (Santoso, 2002:33).

Perlawanan yang dilakukan oleh laskar-laskar rakyat memuncak yang. Pada bulan Oktober 1945, para pemimpin kelompok anti swapraja menculik Pakubuwono XII sebagai ancaman kepada Kasunanan Surakarta. Penculikan ini terjadi beberapa kesepakatan antara kelompok gerakan anti swapraja dengan Pakubuwono XII, sehingga Pakubuwono XII dilepaskan kembali. Setelah terjadi kesepakatan-kesepakatan tersebut, aksi ini teredam kembali dan suasana panas yang terjadi di luar Kasunanan Surakarta kembali tenang kembali (Anderson, 1989: 363).

Seiring berjalannya waktu, ternyata Kasunanan Surakarta melanggar kesepakatan yang telah dilakukan dengan kelompok anti swapraja sehingga Gerakan ini kembali melakukan penculikan terhadap Pakubuwono XII. Dalam waktu yang bersamaan kelompok ini juga mendeklarasikan gerakan mereka pada bulan Januari 1946 dengan nama gerakan anti swapraja, gerakan ini dimotori oleh laskar–laskar golongan kiri beserta Masyumi bersatu dan mendeklarasikan gerakan anti swapraja. Masyumi yang berideologi Islam bersatu dengan


(16)

laskar-laskar yang terinspirasi dengan pemikiran Tan Malaka. Surakarta sejak masa pergerakan memiliki suatu ciri khas dalam setiap gerakan sosialis merupakan perpaduan antara sosialis dengan Islam (Larsson. 1990: 195).

Gerakan tersebut memiliki tiga tujuan yang diantaranya 1) Minta dihapuskannya Daerah Istimewa Surakarta atau Swapraja Surakarta, 2) Minta digantinya raja atau kasusunanan, 3). Minta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa atau Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan zamannya (Woerjaningrat, 1970: 2). Gerakan ini bersifat radikal yang di setiap aksinya melakukan penculikan-penculikan yang disertai pembunuhan terhadap pegawai-pegwai Kasunanan Surakarta.

Puncak perlawanan gerakan anti swapraja ini melakukan penculikan dengan bantuan Barisan Banteng pada Januari 1946, adanya penculikan terhadap sunan PB XII, Kanjeng Ratu, dan Soerjohamidjojo (Ricklefs, 2008:333). Hal itu dilakukan sebagai peringatan terhadap PB XII dan kerabatnya. Tiga bulan kemudian tepatnya pada tanggal 18 April 1946, Barisan Banteng berhasil memasuki wilayah dalam keraton sehingga Barisan Banteng kembali menculik PB XII. Pada tanggal 24 April 1946 pula, yang dilakukan oleh Barisan Banteng yang diantaranya Hadisunarto, Sastronegoro dan Mulyadi Joyomartono. Di lain tempat juga, Barisan Banteng yang diwakilkan oleh Dr. Muwardi, Mangkusudiyono, dan Hadisunarto, untuk menekan secara paksa patih Partono agar menyetujui hilangnya pemerintahan swapraja Mangkunegara dan bersedia bergabung dengan Pemerintahan RI. Barisan banteng yang ekstrim dalam bertindak dengan melakukan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh penting istana. Mereka yang berhasil diculik ialah Patih Sosrodiningrat, Mr. Notonegoro, Mr.


(17)

Jaksonagoro dan Mr. Suwidji, serta Kanjeng Raden Adipati Yudonegoro. Mereka ditawa oleh Barisan Banteng dan Polisi Tentara Surakarta di Kandang Menjangan (Ibrahim, 2004: 160).

Untuk menanggapi aksi-aksi yang dilakukan oleh Gerakan Anti Swapraja ini, Kasunanan Surakarta sering melakukan perundingan dengan kelompok anti swapraja. Tetapi Kasunanan pun tidak bisa merealisasikan keinginan dari kelompok anti swapraja tersebut sehingga Kasunanan menyatakan tidak bisa merubah status keistimewaan dengan sendirinya karena daerah istimewa ini telah dijamin keberlangsungannya dalam UUD yang diakui oleh seluruh bangsa Indonesia. Namun, Gerakan Anti Swapraja ini tetap memegang teguh dengan tujuan mereka untuk menghapuskan Daerah Istimewa Surakarta sehingga merekapun semakin menjadi dalam melakukan aksinya.

Suasana memanas Surakarta yang diakibatkan munculnya Gerakan Anti Swapraja ini, Menteri Dalam Negeri Soedarsono mengunjungi Pakubuwono XII di Keraton Surakarta. Saat kunjungan tersebut, K.R.M.H Woerjaningrat sebagai pepatih dalem mengusulkan yang juga telah disetujui oleh Pakubuwono XII agar dalam sementara waktu hingga terselesaikan gerakan anti swapraja ini, Daerah Istimewa Surakarta dikembalikan kepada pemerintah pusat.

Usulan yang dicetuskan oleh K.R.M.H Woerjaningrat ini, mengalami penolakan dari Mendagri Soedarsono tentang pengembalian Daerah Keistimewaan secara sementara sampai permasalahan tentang Gerakan Anti Swapraja terselesaikan dengan baik. Mendagri Soedarsono menginginkan diadakannya Pemilihan Umum untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat


(18)

Surakarta. Usulan ini ditentang oleh Komisaris Tinggi yang tidak menyukai adanya Pemilihan Umum ini dengan alasan apabila dilakukannya pemilihan umum tersebut akan membuat rakyat menjadi terpecah-pecah secara otomatis membuat Surakarta menjadi daerah federal. Adanya penolakan terhadap usul Soedarsono ini, membuat hubungan antara Kasunanan dan Mangkunegaran dengan direktorium semakin menegang.

Penolakan ini semakin dianggap oleh Kasunanan semakin ikut campurnya Komisaris Tinggi dalam perpolitikan Surakarta yang seharusnya menjadi urusan Kasunanan dan Mangkunegaran. Suasana Surakarta pun semakin memanas dengan adanya penculikan dan pembunuhan terhadap pegawai Kepatihan oleh kelompok anti swapraja dan mengganti pegawai-pegawai yang telah diculik tersebut dengan orang-orang yang mendukung dihapusnya keistimewaan Surakarta.

Menanggapi usulan dari K.R.M.H Woerjaningrat terhadap Mendagri Soedarsono saat mengunjungi Surakarta tentang penyerahan sementara Daerah Istimewa Surakarta hingga gerakan anti swapraja dapat terselesaikan dengan baik. Pada tanggal 22 Mei 1946, Sutan Syahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Mentri mengunjungi Surakarta beserta menteri–menteri dari Kabinetnya untuk membahas penyelesaian permasalahan tentang Gerakan Anti Swapraja. PM Sutan Syahrir dan menteri–menterinya bertemu dengan Pakubuwono XII yang didampingi oleh K.R.M.H Woerjaningrat, Sri Mangkunegara VIII beserta K.R.M.H Partono Handojonoto sebagai pepatih dalem Mangkunegaran di gedung De Javasche Bank untuk membahas penyelesaian permasalahan gerakan anti swapraja. Dalam pertemuan itu, PM. Sutan Syahrir meminta K.R.M.H


(19)

Woerjaningrat menjelaskan kembali usul yang pernah dikatakannya saat bertemu dengan Mendagri Soedarsono untuk sementara Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara diserahkan kembali kepada Pemerintah Pusat hingga permasalahan gerakan anti swapraja ini dapat terselesaikan dengan tuntas.

Usul itu diterima oleh PM. Sutan Sjahrir beserta para mentrinya, Sunan Pakubuwono XII, Sri Mangkunegaran beserta pepatih dalemnya. Untuk merealisasikan usulan tersebut PM. Sutan Sjahrir tanggal 1 Juni 1946 mengirim Gubernur Soerjo untuk memimpin Surakarta dan lembaga Komisaris Tinggi dihapuskan dengan adanya penyerahan sementara Daerah Istimewa Surakarta kedalam kekuasaan Pemerintah Pusat. Adanya realisasi ini posisi Kasunanan Surakarta mengalami perubahan besar dari sebagai pemerintah Daerah Istimewa Surakarta menjadi pemerintah Karesidenan saja.

Pada tanggal 15 Juli 1946. PM. Sjahrir Mengeluarkan penetapan pemerintah yang berhubungan dengan pemerintahan daerah istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Penetapan pemerintah yang bernomor 16/SD tahu 1946 berisikan enam pasal dan tentang dihapuskannya keistimewaan diatur dalam Pasal kedua, Penetapan menyatakan sebagai berikut :

Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura”(Santoso, 2002:34).

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946, sejak saat itulah Surakarta hanya menjadi daerah Karesidenan dan bagian dari


(20)

Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Kasunanan Surakarta hanya sebagai penjaga budaya Jawa yang telah dianut selama ratusan tahun serta Kasunanan sudah tidak berhak lagi mengurusi segala hal tentang Surakarta cukup denga mengurusi rumah tangga Kasunanan.

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menjelaskan keadaan Surakarta sebelum munculnya gerakan anti swapraja yang dilihat dari faktor internal dan faktor eksternal. Selanjutnya menjelaskan tentang proses terjadinya gerakan anti swapraja, yang diawali dengan pembentukkan laskar rakyat di Surakarta, proses terjadinya, serta tindakan rakyat dalam gerakan ini. Setalah itu dijelaskan tindakan Kasunanan yang dengan mudahnya mengembalikan kembali keistimewaan Surakarta kepada pemerintah pusat yang menjadi sikap Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan ini hingga pada akhirnya menghilangkan keistimewaan Surakarta hingga saat ini.

Hal tersebut telah menjadi ketertarikan penulis sehingga dijadikanlah ide dasar dari judul skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam tentang sikap Kasunanan Surakarta dengan ideologi-ideologi yang berkembang dalam internal Kasunanan Surakarta sendiri untuk menyelesaikan gerakan sosial yang terjadi di wilayah kekusaannya dengan judul „Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Tahun

1945-1946‟

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan


(21)

pokoknya adalah “Bagaimana sikap internal Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan anti swapraja tahun 1945-1946.”

Mengingat rumusan masalah tersebut begitu luas, untuk mempermudah penulis dalam menyusun skripsi ini, maka permasalahan umum diatas dibagi menjadi beberapa pembatasan masalah. Secara rinci pembatasan masalah penulisan skripsi ini, ialah :

1. Bagaimana latar belakang munculnya Gerakan Anti Swaparaja? 2. Bagaimana tindakan rakyat dalam Gerakan Anti Swapraja? 3. Bagaimana situasi politik internal Kasunanan Surakarta?

4. Bagaimana tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian Gerakan Anti Swapraja?

1.3Tujuan Penelitian

Dengan mengkaji pembahasan mengenai “Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Tahun 1945-1946. Terdapat beberapa tujuan yang dapat dirasakan oleh penulis, diantaranya :

1.Mendeskripsikan munculnya Gerakan Anti Swapraja di Surakarta tahun1945-1946.

2. Mendeskripsikan tindakan rakyat dalam membantu Gerakan Anti Swapraja.

3. Mendeskripsikan tentang situasi politik internal Kasunanan Surakarta dalam menyelesaikan permasalahan Gerakan Anti Swapraja.


(22)

4. Mendeskripsikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Kasunanan Surakarta dalam menyelesaikan permasalahan Gerakan Anti Swapraja.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penyusunan skripsi ini adalah untuk :

1. Menambah literatur penulisan sejarah politik di Indonesia khususnya sejarah yang ada kaitannya dengan daerah Surakarta.

2. Memberikan pemahaman umum kepada penulis dan pembaca latar belakang hilangnya keistimewaan Surakarta.

3. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan penulisan sejarah masa revolusi.

1.5Metodologi dan Teknik Penelitian

Untuk mengkaji pembahasan ini, penulis menggunakan beberapa metode penelitian Sejarah yaitu suatu metode penelitian untuk memperoleh gambaran rekonstruksi imajinatif mengenai peristiwa Sejarah pada masa lampau secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah (Ismaun, 2005:34). Terdapat empat tahap metode sejarah yakni sebagai berikut:

a) Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Dalam proses mencari sumber-sumber ini, penulis mendatangi berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan UPI, perpustakaan Universitas Gadjah Mada, perpustakaan


(23)

Rekso Pustoko Mangkunegaran, perpustakaan Nasional. Selain itu penulis pun mencari beberapa artikel yang berhubungan dengan masalah dikaji, seperti mengunjungi Monumen Pers Surakarta guna mencari beberapa artikel koran yang membantu dalam penelitian.

b) Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber Sejarah, baik isi maupun bentuknya (eksternal dan internal). Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Sedangkan kritik internal dilakukan oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi (content) dari sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan.

c) Interpretasi, dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Kegiatan penafisran ini dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan proposal ini.

d) Historiografi, merupakan langkah terakhir dalam penulisan ini. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya ke dalam suatu tulisan yang jelas


(24)

dengan bahasa yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

Teknik-teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan. Sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau literatur. Setelah itu penulis menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain, sehingga diperolehlah data-data yang penulis anggap otentik, kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam bentuk karangan naratif yaitu skripsi.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan teknik studi literatur baik berupa buku yang relevan dengan pembahasan yang akan penulis angkat dan sumber internet sebagai penunjang sumber yang didapat oleh penulis.

1.6. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika dari penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini, penulis berusaha untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi, rumusan masalah yang menjadi beberapa permasalahn untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan, pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian sesuai dengan permasalahan utama,


(25)

tujuan dari penelitian yang dilakukan, metode serta sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi.

BAB II Tinjauan Pustaka

Pada bagian bab kedua ini, berisi mengenai suatu pengarahan dan penjelasan topik permasalahan yang penulis teliti dengan mengacu pada tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi bahan acuan dalam penelitian yang penulis lakukan serta dapat memperjelas isi pembahasan yang diuraikan berdasarkan dat – data temuan dilapangan.

BAB III Metodologi Penelitian.

Pada bab ini, penulis memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah – langkah serta tahapan – tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua prosedur serta tahapan – tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir harus diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang akan dikaji.

BAB IV Gerakan Anti Swapraja di Surakarta Tahun 1945-1946

Pada bab ini, berisi mengenai keterangan–keterangan dari data–data temuan di lapangan. Dalam bab ini memiliki bahasan mengenai latar belakang munculnya gerakan anti swapraja, tindakan rakyat dalam gerakan anti swapraja,


(26)

Dinamika yang terjadi dalam internal kasunanan Surakarta, serta tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian gerakan anti swapraja.

BAB V Kesimpulan.

Bab terakhir ini berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis peneliti terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil temuan akhir ini merupakan pandangan dan interpretasi peneliti tentang inti pembahasan penulisan.


(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang metodologi penelitian yang dilakukan dalam mengkaji berbagai permasalahan yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja di Surakarta Tahun 1945-1946. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode historis atau metode sejarah dengan menggunakan studi literatur dan wawancara sebagai teknik penelitiannya.

Metode sejarah yakni proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau (Sjamsuddin, 2007: 17-19). Menurut Gottschalk (1985: 32), metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebut historiografi. Seperti halnya pendapat dari Surakhmad (1994: 32) bahwa metode sejarah merupakan langkah yang di dalamnya kita berusaha mencari penjelasan mengenai suatu gejala dalam masa lampau. Pengertian yang lebih khusus dikemukakan oleh Garraghan yang dikutip oleh Abdurahman (1999: 43-44), bahwa penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematik untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.


(28)

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa metode sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan berasal dari masa lampau sehingga perlu dianalisis terhadap tingkat kebenarannya agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Penulisan sejarah tidak hanya mengungkapkan suatu peristiwa secara kronologis, melainkan dilakukan dengan ditunjang kajian atau analisis dengan penggunaan teori.

Metodologi dalam penelitian sejarah memiliki tahapan-tahapan dalam proses penelitiannya. Ismaun (2005: 34), mengungkapkan beberapa langkah yang harus dilakukan dalam melakukan metode sejarah yaitu:

1) Heuristik

Heuristik, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang relevan (Ismaun, 2005: 49). Heuristik merupakan upaya menemukan jejak-jejak atau sumber-sumber dari sejarah suatu peristiwa. Pada dasarnya, sumber-sumber sejarah itu dapat berupa: sumber benda, sumber tertulis dan sumber lisan. Dalam tahapan ini, penulis mengumpulkan data-data baik dari buku, arsip, artikel, foto, internet tentang sejarah dan perkembangan Kasunanan Surakarta. 2) Kritik atau Analisis Sumber

Kritik atau analisis, yaitu usaha menilai sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 50). Kritik sejarah atau kritik sumber adalah langkah yang digunakan untuk menilai keabsahan sumber yang kita butuhkan dalam mengadakan penulisan sejarah. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang


(29)

diperoleh itu relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Tahap kritik ini meliputi:

a. Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Adapun yang dimaksud kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007: 133-134). Pada tahap ini dilakukan penyeleksian secara ketat, karena setiap sumber harus dinyatakan otentik dan integral. Saksi mata yang dijadikan sumber harus diketahui sebagai orang yang dapat dipercaya (credible).

b. Kritik internal ialah kritik yang dimaksudkan untuk menilai kredibilitas sumber berkaitan dengan aspek “dalam”. Disini, dilakukan evaluasi terhadap kesaksian atau isi sumber. Isi sumber dinilai dengan membandingkan kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Dalam penelitian ini, penulis banyak menggunakan sumber tulisan karena penelitian ini merupakan sejarah lokal yang tentunya dihadapkan pada keterbatasan sumber lisan.


(30)

3) Interpretasi

Interpretasi adalah menafsirkan keterangan dari sumber sejarah berupa data dan fakta yang terkumpul. Tahap ini adalah upaya untuk memahami dan mencari hubungan antar fakta sejarah sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Adapun pendekatan yang digunakan penulis untuk mengkaji permasalahan dalam skripsi ini yaitu pendekatan interdisipliner.

4) Historiografi

Historiografi merupakan tahap akhir dalam langkah penelitian sejarah. Historiografi ialah penulisan sejarah. Di sini, penulis berusaha mengerahkan seluruh daya pikiran, seperti penggunaan keterampilan teknis kutipan-kutipan dan catatan-catatan dan penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisis agar didapatkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dalam suatu penulisan yang utuh. Tulisan ilmiah ini dituangkan ke dalam karya ilmiah berbentuk skripsi yang

berjudul “Sikap Kasunanan Surakarta dalam Gerakan Anti Swapradja tahun

1945-1946 ”. Penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan penulisan karya ilmiah yang berlaku di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, terdapat suatu kesamaan dalam metode historis ini. Pada umumnya tahapan yang harus ditempuh dalam metode ini adalah mengumpulkan sumber, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikannya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan interdisipliner yang dimaksudkan untuk mempertajam analisis penulisan agar suatu


(31)

masalah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga pemahaman tentang masalah yang akan dibahas baik keluasan maupun kedalamannya semakin jelas. Pendekatan interdisipliner merupakan pendekatan dengan meminjam konsep pada ilmu-ilmu sosial lain. Pendekatan ilmu sosial yang digunakan penulis di sini adalah Sosiologi dan Antropologi.

Kuntowijoyo (2003: 89) juga mengemukakan lima tahapan dalam penelitian sejarah, yaitu:

1. Pemilihan topik. 2. Pengumpulan sumber.

3. Verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber). 4. Menginterpretasi.

5. Penulisan.

Teknik penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah studi literatur yaitu dengan cara menelusuri berbagai sumber kepustakaan, baik berupa buku, dokumen maupun hasil penelitian sebelumnya. Berdasarkan penjelasan mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan, penulis mencoba untuk memaparkan tahap-tahap metode sejarah ke dalam tiga langkah penelitian skripsi, yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan laporan hasil penelitian.


(32)

3.1 Persiapan Penelitian.

Tahapan ini merupakan kegiatan yang dilakukan penulis sebelum melakukan penelitian. Adapun beberapa langkah yang dilakukan penulis, diantaranya adalah:

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian.

Tahap ini merupakan langkah awal dari suatu penelitian, setelah peneliti memilih dan menetapkan tema yang sesuai maka kemudian peneliti menentukan tema. Dengan tema yang dipilih serta diajukan oleh peneliti, yakni mengkaji tentang Gerakan Anti Swapraja tahun 1945-1946, didasarkan pada keinginan untuk mengkaji upaya yang dilakukan oleh pihak Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan anti Swapraja di Surakarta berdasarkan pada kajian sosial politik.

Proses dari pemilihan tema ini awalnya dilakukan dengan cara studi literatur dan wawancara dengan pihak Kasunanan Surakarta mencari mengenai masalah yang dikaji. Pada tahap ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa orang pegawai kearsipan Kasunanan dan Mangkunegaran untuk mendapatkan informasi awal tentang gerakan ini. Langkah tersebut sebagai bentuk upaya untuk mencari dan memperoleh sumber-sumber dan data-data yang berhubungan dengan peneliti kaji.

Berdasarkan hasil studi literatur dan studi awal penelitian langsung ke lapangan, maka peneliti mengajukan tema kepada pihak TPPS (Tim Pertimbangan dan Penilaian Skripsi) Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia. Langkah selanjutnya setelah mengajukan judul dan disetujui oleh TPPS, maka


(33)

peneliti mulai menyusun langkah berikutnya yakni membuat suatu rancangan penelitian yang dituangkan dalam bentuk Proposal Skripsi.

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian.

Dalam tahapan ini peneliti melakukan pencarian sumber-sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji. Peneliti membaca berbagai sumber literatur yang relevan mengenai permasalahan yang dikaji. Setelah mendapatkan data, rancangan penelitian ini dijabarkan dalam bentuk proposal oleh peneliti. Setelah proposal selesai, peneliti mengajukannya kembali ke Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi dengan judul yang diajukan adalah Gerakan Anti Swapradja di Surakarta tahun 1945-1946 dan disetujui dengan surat ketetapan dari ketua jurusan Pendidikan Sejarah dengan No: 009 / TPPS/ JPS/ 2011. Setelah proposal disetujui maka ditetapkan calon Pembimbing I dan calon Pembimbing II dan peneliti mempresentasikan proposal skripsi yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 26 Januari 2011 bertempat di Lab Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Adapun rancangan penelitian tersebut meliputi: (1) judul penelitian, (2) latar belakang, (3) rumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (5) tinjauan kepustakaan, (6) metode dan teknik penelitian, (7) sistematika penelitian, (8) daftar pustaka.

3.1.3 Mengurus perizinan.

Pembuatan surat perijinan ini dilakukan agar peneliti lebih mudah dalam mendapatkan informasi ketika melakukan penelitian. Dalam tahapan ini, peneliti membuat surat perijinan dari jurusan yaitu surat permohonan izin mengadakan


(34)

penelitian dalam rangka memenuhi tugas akhir perkuliahan, yang kemudian diajukan kembali ke bagian Sub Bagian Mahasiswa FPIPS yang kemudian ditandatangani oleh Pembantu Dekan bidang pendidikan dan kemahasiswaan. Surat itu ditujukan kepada:

a. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran. b. Perpustakaan Rono Pustoko Kasunanan Surakarta

3.1.4 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian.

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka terlebih dahulu harus direncanakan dalam rancangan yang dapat berguna bagi kelancaran penelitian. Adapun perlengkapan penelitian ini antara lain:

a. Surat izin dari Dekan FPIPS UPI. b. Alat Tulis.

c. Kamera.

3.1.5 Proses Bimbingan.

Proses bimbingan merupakan salah satu tahapan yang penting dalam penyusunan laporan penelitian ini. Dengan melakukan bimbingan, peneliti mendapatkan masukan-masukan dari Pembimbing I dan Pembimbing II yang membantu dalam proses penyusunan skripsi. Dalam penyusunan skripsi ini peneliti dibimbing oleh Dr. Agus Mulyana, M.Hum selaku pembimbing I dan Dra. Hj. Lely Yuliyar selaku pembimbing II. Setiap hasil penelitian yang peneliti dapatkan dilaporkan kepada pembimbing untuk dikonsultasikan agar peneliti lebih memahami,


(35)

dan mendapat petunjuk untuk menghadapi segala kendala yang ditemukan dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam proses bimbingan penulis mendapatkan beberapa masukan dari Pembimbing I dan Pembimbing II diantaranya mengenai redaksional judul skripsi, penajaman latar belakang masalah, pengarahan fokus masalah yang lebih spesifik serta masukan untuk membaca beberapa sumber literatur yang beliau sarankan berkenaan dengan penulisan skripsi ini. Dan proses bimbingan, penulis mengganti judul dikarenakan judul yang diajukan pada saat seminar proposal ternyata judul tersebut sudah pernah dipakai oleh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta sebagai judul skripsinya sehingga penulis berdiskusi dengan pembimbing dengan adanya permasalahan kesamaan judul tersebut. Karena ditakutkan terjadi masalah di kemudian hari sehingga penulis sepakat untuk mengganti judul baru yang masih tetap bertemakan gerakan anti swapraja tersebut namun lebih difokuskan dengan sikap Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan sosial tersebut.

Penulis beranggapan bahwa kegiatan bimbingan ini sangat diperlukan untuk dapat menemukan langkah yang paling tepat dalam proses penyusunan skripsi. Kegiatan bimbingan yang dilakukan dengan cara diskusi dan bertanya mengenai permasalahan yang sedang dikaji serta untuk mendapatkan petunjuk atau arahan mengenai penulisan skripsi maupun dalam melaksanakan proses penelitian. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan dengan masing-masing pembimbing dan tercatat dalam lembar bimbingan.


(36)

3.2 Pelaksanaan Penelitian.

Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tahapan sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yaitu metode historis. Agar penelitian yang akan dilaksanakan lebih sistematis, penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut ini:

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik).

Tahap ini merupakan langkah awal bagi penulis dalam proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang diperlukan dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini. Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang langsung maupun tidak langsung menceritakan atau memberikan gambaran kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau (Sjamsuddin, 2007:73). Untuk mempermudah dalam pengumpulan sumber

yang berkaitan dengan “Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti

Swapradja tahun 1945-1946”, maka pengumpulan sumber tersebut dilakukan melalui dua tahapan yaitu mencari dan mengumpulkan sumber tertulis dan sumber lisan.

3.2.1.1. Sumber Tertulis.

Pada tahapan ini, penulis berusaha untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku dan dokumen yang diperoleh dari berbagai tempat, diantaranya adalah:


(37)

1. Perpustakaan Nasional, Penulis mendapatkan buku-buku yang mengkaji tentang keadaan Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan keadaan sosial ekonomi Jawa pada masa awal kemerdekaan.

2. Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, penulis mendapatkan buku yang mengkaji tentang Kasunanan Surakarta dalam berpolitik pada masa kebangkitan nasional dan memasuki pendudukan Jepang beserta buku yang membahas tentang keadaan Surakarta pasca kemerdekaan.

3. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, penulis memperoleh buku-buku tentang sepak terjang dua Keraton yang ada di Surakarta.

4. Kantor Kearsipan Mangkunegaran, penulis memperoleh arsip-arsip yang berhubungan dengan diberikannya hak Keistimewaan terhadap kedua Keraton di Surakarta hingga surat keputusan pemerintah untuk mengambil alih keistimewaan Surakarta.

5. Perpustakaan Daerah Surakarta, penulis mendapatkan buku tentang masa awal kemerdekaan serta buku-buku yang berhubungan dengan sejarah lahirnya Surakarta.

3.2.2 Kritik Sumber.

Kritik sumber merupakan tahapan mengenai data dan informasi yang telah diperoleh, diselidiki kesesuaian, keterkaitan, dan keobjektifannya. Sebelum sumber-sumber tersebut dapat diperoleh dan dipergunakan paling tidak ada lima pertanyaan, adapun lima pertanyaan tersebut antara lain:


(38)

1) Siapa yang mengatakan itu?

2) Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?

3) Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya? 4) Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang

kompeten, apakah ia mengetahui fakta itu?

5) Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu? (Sjamsuddin, 2007:13).

Kritik sumber dilakukan karena tidak semua sumber terkumpul merupakan data yang sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi, dan yang terpenting adalah dapat dipertanggungjawabkan. Kritik sumber menyangkut verivikasi sumber yaitu pengajian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber tersebut, dalam metode sejarah dikenal dengan kritik eksternal dan internal.

Dengan demikian dapat dibedakan yang benar dan tidak benar, serta yang mungkin dan yang meragukan. Berikut adalah penjelasan dari kritik eksternal dan internal dalam penulisan skripsi oleh penulis :

3.2.2.1 Kritik Eksternal.

Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri. Hal itu untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007:134). Sumber kritik eksternal harus menerangkan fakta dan kesaksian bahwa,

1. Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang itu atau pada waktu itu (authenticity atau otensitas).


(39)

2. Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan,atau penambahan dan penghilangan fakta-fakta yang substansial.

Kritik eksternal dilakukan guna menilai kelayakan sumber tersebut sebelum mengkaji isi sumber. Peneliti melakukan kritik eksternal dalam sumber tertulis, seperti dengan cara melakukan penelusuran dan pengumpulan informasi diantaranya memuat nama penulis buku, tahun terbit, judul buku, tempat diterbitkannya dan penerbit. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis bertujuan untuk melakukan penelitian asal-usul sumber, terutama yang berbentuk dokumen seperti buku, artikel surat kabar dan sebagainya.

Sumber tertulis yang penulis dapatkan yaitu berupa buku dan artikel dari internet. Buku-buku yang menjadi sumber tulisan sebagian besar ditulis dari tahun 1960 sampai 2000-an, sehingga tampilan buku kondisinya cukup baik dan sukar di baca. Selain itu ejaan yang digunakan pun belum disempurnakan masih memakai ejaan lama sehingga terkadang sukar untuk dibaca. Adapun buku yang didapat penulis dibawah tahun 1960 antara lain buku yang berjudul Swapradja : sekarang dan dikemudian hari karya Uneh Ranawidjaja (1958) dan Mangkunegaran : analisis negara di Jawa karya T.H Metz (1939). Sumber buku utama yang dijadikan bahan referensi oleh penulis dinilai penulis cukup berkompeten hal ini dilihat dapat menggambarkan perkembangan politik Kasunanan Surakarta dan pergerakan-pergerakan yang terjadi di Surakarta, seperti halnya buku Revoloesi pemoeda : pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa karya Ben Anderson, beliau merupakan


(40)

seorang sejarahwan yang memfokuskan kepada sejarah Asia Tenggara dan Jawa. Begitu juga dengan George D Larsson dengan bukunya yang berjudul Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan kehidupan politik di Surakarta tahun 1920-1942. redibilitas George D Larsson dalam membahas ini semua tidak perlu ditanyakan kembali karena buku tersebut merupakan disertasi beliau. Namun satu kelemahan dari buku-buku tersebut adalah sulit ditemukan dipasaran karena kedua buku ini merupakan buku yang dicetak diatas tahun 1990an sehingga mencari kedua buku tersebut harus teliti dan menyambangi beberapa perpustakaan.

3.2.2.2 Kritik Internal.

Kritik internal menekankan kegiatannya pada pengujian terhadap aspek-aspek dalam dari setiap sumber. Kritik internal dilakukan untuk mengetahui isi sumber sejarah tersebut atau tingkat kredibilitas isi informasi dari narasumber. Kritik internal dilakukan pada sumber tertulis atau lisan. Dalam sumber tertulis kritik internal dilakukan dengan cara membandingkan antara sumber-sumber yang telah terkumpul dengan sumber lainnya. Hal lainnya dengan menentukan sumber yang relevan dan akurat dengan permasalahan yang dikaji. Kritik intern atau kritik “dalam” bertujuan untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian dari sumber satu dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji kredibilitas sumber (sejauh mana dapat dipercaya) diadakan penilaian terhadap sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipunguti fakta-fakta sejarah melalui


(41)

perumusan data yang di dapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber (Ismaun, 2005: 50).

Contoh kritik yang dilakukan oleh penulis terhadap buku sumber rujukan adalah pada buku yang ditulis oleh Dwi Ratna Nurhajarini dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kerajaan Tradisonal Surakarta (1999). Buku ini menuliskan sejarah nama Surakarta yang merupakan nama lain dari jakarta, pada saat Demak menguasai jakarta dinamakan Jayakarta dan Jayakarta pada saat itu menjadi salah satu kota yang ramai dikunjungi oleh para pedagang yang singgah, sehingga PB II menamainya Surakarta yang diharapkan bisa sebesar Jayakarta. Namun, menurut penulis merupakan sebuah harapan agar Surakarta bisa sebesar Jayakarta dahulu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Brandes yang dikutip oleh Kastoyo Ramelan (2010: 44), menyatakan nama Surakarta merupakan desa Solo yang bisa diubah menjadi Sula, Sola, Sura dihubungkan dengan Karta menjadi Sulakarta. Selain itu nama Surakarta merupakan pemecahan sekaligus pembalikan kata dari nama Kartasura. Dalam buku Kastoyo Ramelan ini bersifat umum sehingga penulis harus lebih teliti dalam menggunakan buku ini sebagai sumber rujukan karena sifat keumumannya ini juga penulis merasa untuk lebih teliti lagi dalam mengkritisi substansi dari buku ini karena pembahasanya mencakup seluruh elemen Kasunanan Surakarta yang tidak hanya bersifat kesejarahan saja.

Dalam kritik eksternal dan internal, peneliti juga melakukan kaji banding antar sumber sesuai dengan kebutuhan penulis dalam penulisan skripsi.


(42)

3.2.3 Interpretasi (Penafsiran Sumber).

Tahap ini merupakan tahap penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah disaring dan diidentifikasikan melalui proses kritik ekstern dan intern yaitu berupa fakta. Fakta yang telah didapatkan tersebut kemudian ditafsirkan oleh peneliti sehingga peneliti dapat menguji kebenarannya. Peneliti melakukan penafsiran terhadap data-data yang telah dikritik dan menetapkan makna dan fakta-fakta dari data-data yang saling berhubungan dari sumber-sumber sejarah yang didapat. Setelah kebenaran didapatkan, maka peneliti menggabungkan atau merekonstruksi fakta

tersebut menjadi sebuah satu kesatuan yang dibantu dengan “historical thingking”,

hal tersebut dilakukan dengan memikirkan kembali masa lalu seolah-olah peneliti mengalami dan menjadi pelaku pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu, sehingga penulis dapat memperoleh gambaran tentang permasalahan yang dikaji.

Ketika melakukan tahapan ini peneliti juga menggunakan pendekatan interdisipliner agar dapat membantu dalam merangkaikan fakta yang telah didapatkan. Pendekatan interdisipliner merupakan pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan secara terpadu. Penggunaan pendekatan interdisiplin maksudnya ialah dalam menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarah menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajiannya (Ismaun, 2005: 198). Pendekatan ini juga digunakan agar penulis lebih jelas dalam mendapatkan jawaban dari permasalahan yang dikaji.


(43)

Penulis melakukan salah satu interpretasi berdasarkan informasi yang didapat dari sumber-sumber rujukan menyatakan bahwa pada masa awal kemerdekaan, Kasunanan Surakarta bersifat tidak tegas dalam menanggapi segala aksi protes yang dilakukan oleh rakyat Surakarta,. Hal ini dikarenakan Sinuhun PB XII saat diangkat menjadi Susuhunan masih amat muda sehingga belum dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dalam Kasunanan maka dari itu pada saat penyelesaian masalah gerakan Anti Swapraja ini lebih berperan Wuryaningrat yang saat itu menjadi pepatih dalem menjadi penasehat Sunan dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi Gerakan Anti Swapraja ini. Selain ketidak tegasan Pakubuwono XII, adanya hubungan tidak harmonis antara Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegara yang membuat penyelesaian Gerakan Anti Swapraja ini terpecah. Penulis memberikan penafsiran seperti ini dengan membandingkan berbagai sumber ini berguna untuk mengantisipasi penyimpangan informasi yang berasal dari pelaku sejarah. Dari hubungan antara berbagai sumber dan fakta inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membuat penafsiran.

3.3 Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)

Historiografi merupakan tahapan akhir yang dilakukan dalam prosedur penelitian ini. Tahapan ini merupakan langkah penyusunan hal-hal yang telah penulis dapatkan dalam bentuk penulisan skripsi. Historiografi berarti pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah lalu yang disebut sejarah (Ismaun, 2005: 28). Pada penulisan ini peneliti merekonstruksi


(44)

berbagai fakta yang telah ditemukan dan yang telah dipahami serta dimengerti secara mendalam sehingga sehingga penulis dapat menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian yang telah dilakukan.

Berbagai penafsiran yang telah didapatkan dikaitkan menjadi beberapa fakta, disusun ke dalam sebuah skripsi. Di dalam skripsi ini tertuang berbagai hal yang telah dilakukan dan dihadapi oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Selain itu, dituangkan pula berbagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Fakta yang didapat oleh penulis tidak hanya ketika melakukan penelitian saja, namun peneliti juga mendapatkannya ketika penulisan laporan ini sedang disusun. Fakta baru ini memberikan informasi dan kontribusi yang penting sehingga penulisan laporan ini menjadi lebih baik lagi. Fakta baru juga dicari oleh penulis ketika merasa ada yang kurang dalam penelitian ini.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika yang berlaku dalam jurusan Pendidikan Sejarah dengan menggunakan ejaan yang disempurnakan. Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia. Penulisan ini ditujukan sebagai salah satu tugas akhir akademis yang harus ditempuh oleh mahasiswa dalam jurusan Pendidikan Sejarah untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana.

Hasil penelitian akan disusun ke dalam lima bab, yang terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Pembahasan, dan Kesimpulan. Pembagian penyusunan kedalam lima bab ini bertujuan untuk memudahkan pemahamam terhadap karya tulis ini.


(45)

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang menjelaskan kerangka pemikiran mengenai pentingnya penelitian terhadap Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja di Surakarta tahun 1945-1946. Untuk memfokuskan penelitian maka bab ini dilengkapi pula dengan rumusan masalah dan pembatasan masalah. Bab ini juga memuat mengenai metode penelitian yang digunakan serta dilengkapi dengan uraian sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini dipaparkan mengenai sumber-sumber buku dan sumber lain yang digunakan oleh penulis sebagai sumber rujukan yang dianggap relevan dalam proses penelitian terhadap judul penelitian Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Dijelaskan pula tentang beberapa kajian dan materi yang berkaitan dengan konsep Revolusi Indonesia, Kasunanan Surakarta secara umum dan Gerakan-gerakan sosial di Surakarta.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini akan menjelaskan mengenai serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji oleh penulis. Diantaranya heuristik, yaitu proses pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Kritik yaitu melakukan penilaian secara intern dan ekstern terhadap data yang telah diperoleh dalam langkah sebelumnya, untuk mendapatkan berbagai informasi yang akurat berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta yang telah ditemukan karena


(46)

pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang diteliti, serta historiografi yaitu tahapan terakhir dalam sebuah penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses penyusunan hasil penelitian.

BAB IV Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Bab ini merupakan pembahasan atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah diantaranya: Pertama, latar belakang munculnya Gerakan Anti Swaparaja. Kedua, tindakan rakyat dalam Gerakan Anti Swapraja. Ketiga, dinamika politik yang terjadi dalam internal Kasunanan Surakarta. Keempat, tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian Gerakan Anti Swapraja. Pada bab ini juga berisi tentang seluruh jawaban-jawaban atas rumusan masalah yang telah dibuat. Jadi pada umumnya dalam bab ini penulis memaparkan seluruh data-data yang telah diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Bab V Kesimpulan. Didalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan serta sebagai inti dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan menguraikan hasil temuan penulis tentang permasalahan yang dikaji pada penulisan skripsi ini.


(47)

BAB V

KESIMPULAN

Pada bab ini penulis mendeskripsikan jawaban dari rumusan masalah penelitian yang berjudul ‘Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Tahun 1945-1946’. Gerakan anti swapraja ini merupakan salah satu gerakan sosial yang terjadi pada masa revolusi nasional, adanya gerakan ini mengakibatkan adanya perubahan besar di Surakarta dan menjadi salah satu yang sedang dipermasalahkan kembali oleh rakyat Surakarta saat ini yang menginginkan dikembalikannya keistimewaan Surakarta kepada Kasunanan Surakarta kepada pemerintah pusat. Latar belakang adanya gerakan ini pun mengalami permasalahan yang sangat kompleks menyebabkan gerakan ini bukan hanya memperjuangkan tujuan awalnya saja melainkan adanya beberapa kepentingan di dalamnya. Maka dari itu penulis membaginya dalam beberapa kesimpulan yang mendasar dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :

Pertama, apabila Kasunanan Surakarta bersikap menerima secara 100% kemerdekaan Indonesia tanpa harus terpengaruh kembali dengan keinginan Belanda yang ingin kembali masuk ke Indonesia mungkin segala kebijakan yang diambil oleh Kasunanan terhadap rakyat mengalami perubahan dan mengikuti irama politik Inodnesia yang sudah merdeka. Kasunanan tetap memakai peraturan yang sudah usang yang telah digunakan selama ratusan tahun yang bersifat kaku dan tetap digunakan setelah Indonesia merdeka sehingga peraturan tersebut dianggap sebagai penjajahan baru bagi rakyat Surakarta. Terlebih lagi Kasunanan


(48)

pun masih tetap melakukan hubungan dengan Belanda bahkan ada kesan membantu Belanda untuk kembali masuk kedalam Surakarta.

Kedua, persaingan antara Kasunanan dan Mangkunegaran. Persaingan selama ratusan tahun antara dua keraton di Surakarta ini pun ikut memperlemah posisi kedua keraton tersebut dalam pandangan rakyat. Kasunanan dan Mangkunegaran ini selalu melakukan persaingan dalam segala hal terutama dalam upacara-upacara keagamaan maupun upacara adat istiadat, dua keraton ini bersaing dengan kemewahannya dan kemerihannya sedangkan rakyat Kasunanan dan Mangkunegaran mengalami kemiskinan dan tingkat kesehatan yang rendah menyebabkan benih-benih kebencian tersebut pun semakin berkembang.

Ketiga, terbukanya rakyat Surakarta dengan paham-paham baru. Surakarta sejak masa pergerakan selalu terbuka dengan paham-paham baru ini pun sehingga tidak heran apabila di Surakarta selalu terjadi aksi-aksi protes rakyat terhadap Kasunanan. Maka tidak aneh apabila rakyat Surakarta sangat terbuka dengan paham-paham baru yang muncul dan berkembang di Surakarta, hal ini juga dilatar belakangi oleh konflik sosial yang terjadi antara Kasunanan dengan rakyatnya dimana Kasunanan sebagai penguasa Surakarta memberikan jarak yang sangat jauh dengan rakyat bahkan ada kesan seolah Kasunanan tidak dapat tersentuh oleh rakyat jelata. Sehingga menyebabkan rakyat mendukung adanya revolusi di Surakarta.

Keempat, perkembangan laskar rakyat di Surakarta. lahirnya laskar-laskar rakyat di Surakarta ini pun tidak terlepas dari adanya peran pembantu BKR untuk menjaga keamanan di wilayah masing-masing karena pada awal


(49)

kemerdekaan anggota BKR sangat sedikit, akhirnya terbentuklah laskar-lasakr rakyat di Surakarta. Keterbukannya Surakarta dengan paham-paham baru ini yang menyebabkan laskar-laskar rakyat ini mulai memiliki ideologi dalam perjuangannya hingga pada akhirnya laskar-laskar rakyat inilah yang menjadi motor adanya revolusi di Surakarta.

Kelima, keadaan politik nasional Indonesia. Seandainya para elit politik saat itu tidak terjadi konflik internal yang menyebabkan stabilitas nasional terganggu tidak akan adanya revolusi di Indonesia. Setelah adanya konflik yang terjadi dalam tubuh pemerintah pusat, pemerintah pusat pun mendapatkan rongrongan dari Belanda yang ingin menduduki Indonesia kembali. Banyaknya sikap yang berbeda dalam menanggapi rencana Belanda ini membuat suara terpecah antara pemerintah pusat dengan sebagian kelompok yang menyebabkan kelompok-kelompok yang tidak meyukai cara pemerintaha dalam menyelesaikan masalahnya ini maka terciptalah kelompok oposisi yang bertujuan untuk menjatuhkan kabinet saat itu.

Keenam, adanya krisis kekuasaan dalam tubuh Kasunanan. Kasunanan sejak kematiannya Pakubuwono X mengalami krisis kekuasaan yang menyebabkan dalam tubuh Kasunanan pun terpecah. Pada awal kemerdekaan Kasunanan dipimpin oleh Pakubuwono XII yang masih teramat muda saat memerintah sehingga pemerintah dipegang oleh pepatih dalem sebagai wali dan segala pengambil keputusan sedangkan Sunan hanya sebagai boneka pemerintahan saja, hal yang sama pun terjadi dalam Mangkunegaran. Maka tidak heran apabila pada masa revolusi Kasunanan bersikap tidak tegas dan kaku sehingga dengan mudahnya menghilangkan status keistimewaannya.


(50)

REKOMENDASI

Penelitian ini yang berjudul ‘Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Dapat membantu untuk menjelaskan materi pembelajaran sejarah kelas XII IPS dengan menggunakan Standar Kompetensi:Menganalisis Perjuangan Bangsa Indonesia sejak Proklamasi hingga lahirnya Orde Baru dengan Kompetensi Dasar : Menganalisis perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemeredekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta dan G30S). Penelitian ini dapat membantu dalam menjelaskan tentang masa revolusi Indonesia yang begitu banyaknya konflik internal yang menciptakan keadaan tidak kondusif Indonesa pasca kemerdekaan.

Nilai yang dapat diambil dari penelitian ini untuk menimbulkan rasa kebangsaan bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah meluntur sebagai dampak negative dari adanya globalisasi sehingga banyak pemuda-pemudi Indonesia yang cenderung melupakan nilai kemerdekaan yang semestinya mereka pertahankan sesuatu yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, mempertahankan disini bukan lagi dengan mengangkat senjata melainkan dengan prestasi yang membanggakan Indonesia dimata dunia internasional. Nilai selanjutnya yang dapat diambil ialah betapa pentingnya bagi kita sebagai warga Negara Indonesia untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia yang beraneka ragam baik itu seni, hukum adat maupun bahasa daerah yang merupakan identitas bangsa Indonesia.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. (1999), Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos. Anderson, Ben. (1988), Revoloesi Pemoeda : Pendudukan Jepang dan

Perlawanan di Jawa Tahun 1944-1946. Surakarta : Pelita Harapan Gottschalk, Louis. (1985), Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Ibrahim, Julianto. (2004). Bandit dan pejuang disamping bengawan : krimanalitas dan kekerasan masa revolusi di Surakarta. Wonogiri : Bina Cipta Pustaka. Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu Dan Wahana Pendidikan.

Bandung: Historia Utama Press.

Kahin, George Mc Turnan, (1995). Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana Yogya. Kurosawa, Aiko (1993). Mobilisasi dan Kontrol : Studi tentang pedesaan Jawa

1942-1945. Jakarta : Grasindo

Kusumasumantri, Iwa. (1969). Sedjarah Revolusi Indonesia : masa revolusi bersendjata. Jakarta : Grafiti

Larsson, George D. (1990). Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan kehidupan politik di Surakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Malaka, Tan. (2009). Gerpolek : Gerakan Politik Ekonomi. Jogjakarta : Shaida. __________, (2010). Massa Aksi. Bandung : Sega Arsy.

Mertokusumo, Sudikno. (1983). Sejarah Dan Perundang-undangannya Di Indonesia Sejak 1942 : Dan Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Jogjakarta : Universitas Atmajaya.


(52)

Metz, T.H. terj : R.Tg Muhammad Husodo Pringgokusumo (1939). Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV Nijgh & Van Ditmar.

Moertono, Soemarsaid (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau : Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nasution, A.H (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Diplomasi sambil Bertempur) jilid 3. Bandung : Disjarah AD dan Angkasa.

Nurhajarini, Dwi Ratna (1999). Sejarah Kerajaan Tradisonal Surakarta. Jakarta : Depdikbud.

Panitia Penjusunan Kerabat Mangkunegaran (1970). Mangkunegaran Selajang Pandang. Surakarta : Mangkunegaran

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (2009). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1974). Sejarah Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Ramelan, Kastoyo. (2004). Sinuhun Paku Buwono X : Pejuang dari Surakarta Hadiningrat. Bandung : Jeihan Institute.

Ranawidjaja, Uneh. (1958). SWAPRADJA : Sekarang dan Dihari kemudian. Jakarta : Djambatan.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Reid, Anthony. (1989). Sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Samroni, Iman dkk. (2010), Daerah Istimewa Surakarta : wacana pembentukan, propinsi Daerah Istimewa Surakarta ditinjau dari Perspektif Historis, Sosiologis, Filosofis, dan Yuridis. Yogyakarta : Pura Pustaka.


(1)

Devvi Ariyanti, 2013

Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946

kemerdekaan anggota BKR sangat sedikit, akhirnya terbentuklah laskar-lasakr rakyat di Surakarta. Keterbukannya Surakarta dengan paham-paham baru ini yang menyebabkan laskar-laskar rakyat ini mulai memiliki ideologi dalam perjuangannya hingga pada akhirnya laskar-laskar rakyat inilah yang menjadi motor adanya revolusi di Surakarta.

Kelima, keadaan politik nasional Indonesia. Seandainya para elit politik saat itu tidak terjadi konflik internal yang menyebabkan stabilitas nasional terganggu tidak akan adanya revolusi di Indonesia. Setelah adanya konflik yang terjadi dalam tubuh pemerintah pusat, pemerintah pusat pun mendapatkan rongrongan dari Belanda yang ingin menduduki Indonesia kembali. Banyaknya sikap yang berbeda dalam menanggapi rencana Belanda ini membuat suara terpecah antara pemerintah pusat dengan sebagian kelompok yang menyebabkan kelompok-kelompok yang tidak meyukai cara pemerintaha dalam menyelesaikan masalahnya ini maka terciptalah kelompok oposisi yang bertujuan untuk menjatuhkan kabinet saat itu.

Keenam, adanya krisis kekuasaan dalam tubuh Kasunanan. Kasunanan sejak kematiannya Pakubuwono X mengalami krisis kekuasaan yang menyebabkan dalam tubuh Kasunanan pun terpecah. Pada awal kemerdekaan Kasunanan dipimpin oleh Pakubuwono XII yang masih teramat muda saat memerintah sehingga pemerintah dipegang oleh pepatih dalem sebagai wali dan segala pengambil keputusan sedangkan Sunan hanya sebagai boneka pemerintahan saja, hal yang sama pun terjadi dalam Mangkunegaran. Maka tidak heran apabila pada masa revolusi Kasunanan bersikap tidak tegas dan kaku sehingga dengan mudahnya menghilangkan status keistimewaannya.


(2)

REKOMENDASI

Penelitian ini yang berjudul ‘Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Dapat membantu untuk menjelaskan materi pembelajaran sejarah kelas XII IPS dengan menggunakan Standar Kompetensi:Menganalisis Perjuangan Bangsa Indonesia sejak Proklamasi hingga lahirnya Orde Baru dengan Kompetensi Dasar : Menganalisis perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemeredekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta dan G30S). Penelitian ini dapat membantu dalam menjelaskan tentang masa revolusi Indonesia yang begitu banyaknya konflik internal yang menciptakan keadaan tidak kondusif Indonesa pasca kemerdekaan.

Nilai yang dapat diambil dari penelitian ini untuk menimbulkan rasa kebangsaan bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah meluntur sebagai dampak negative dari adanya globalisasi sehingga banyak pemuda-pemudi Indonesia yang cenderung melupakan nilai kemerdekaan yang semestinya mereka pertahankan sesuatu yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, mempertahankan disini bukan lagi dengan mengangkat senjata melainkan dengan prestasi yang membanggakan Indonesia dimata dunia internasional. Nilai selanjutnya yang dapat diambil ialah betapa pentingnya bagi kita sebagai warga Negara Indonesia untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia yang beraneka ragam baik itu seni, hukum adat maupun bahasa daerah yang merupakan identitas bangsa Indonesia.


(3)

Devvi Ariyanti, 2013

Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. (1999), Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos. Anderson, Ben. (1988), Revoloesi Pemoeda : Pendudukan Jepang dan

Perlawanan di Jawa Tahun 1944-1946. Surakarta : Pelita Harapan Gottschalk, Louis. (1985), Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Ibrahim, Julianto. (2004). Bandit dan pejuang disamping bengawan : krimanalitas dan kekerasan masa revolusi di Surakarta. Wonogiri : Bina Cipta Pustaka. Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu Dan Wahana Pendidikan.

Bandung: Historia Utama Press.

Kahin, George Mc Turnan, (1995). Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana Yogya. Kurosawa, Aiko (1993). Mobilisasi dan Kontrol : Studi tentang pedesaan Jawa

1942-1945. Jakarta : Grasindo

Kusumasumantri, Iwa. (1969). Sedjarah Revolusi Indonesia : masa revolusi bersendjata. Jakarta : Grafiti

Larsson, George D. (1990). Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan kehidupan politik di Surakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Malaka, Tan. (2009). Gerpolek : Gerakan Politik Ekonomi. Jogjakarta : Shaida. __________, (2010). Massa Aksi. Bandung : Sega Arsy.

Mertokusumo, Sudikno. (1983). Sejarah Dan Perundang-undangannya Di Indonesia Sejak 1942 : Dan Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Jogjakarta : Universitas Atmajaya.


(4)

Metz, T.H. terj : R.Tg Muhammad Husodo Pringgokusumo (1939). Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV Nijgh & Van Ditmar.

Moertono, Soemarsaid (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau : Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nasution, A.H (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Diplomasi sambil Bertempur) jilid 3. Bandung : Disjarah AD dan Angkasa.

Nurhajarini, Dwi Ratna (1999). Sejarah Kerajaan Tradisonal Surakarta. Jakarta : Depdikbud.

Panitia Penjusunan Kerabat Mangkunegaran (1970). Mangkunegaran Selajang Pandang. Surakarta : Mangkunegaran

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (2009). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1974). Sejarah Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Ramelan, Kastoyo. (2004). Sinuhun Paku Buwono X : Pejuang dari Surakarta Hadiningrat. Bandung : Jeihan Institute.

Ranawidjaja, Uneh. (1958). SWAPRADJA : Sekarang dan Dihari kemudian. Jakarta : Djambatan.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Reid, Anthony. (1989). Sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Samroni, Iman dkk. (2010), Daerah Istimewa Surakarta : wacana pembentukan, propinsi Daerah Istimewa Surakarta ditinjau dari Perspektif Historis, Sosiologis, Filosofis, dan Yuridis. Yogyakarta : Pura Pustaka.


(5)

Devvi Ariyanti, 2013

Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Santoso, Sri Juari. (2002). Suara Nurani Keraton Surakarta. Yogyakarta : Komunitas Studi Didaktika.

Suhartono, (1991). Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920). Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.

Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial-Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Suwirta, Andi (2004). Suara dua Kota Revolusi Indonesia dalam pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Jogyakarta). Jakarta : Grafindo.

Setiadi, Bram dan Qomarul hadi. (2001). Raja di Alam Republik : Keraton Surakarta dan Pakubuwono XII. Yogyakarta : Ombak.

Soeratman, Darsiti. (1989). Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1839. Jogjakarta: Tamansiswa Jogjakarta.

Sjamsudin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Jogjakarta: Ombak.

Tirtoprodjo, Susanto (1966). Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta : Pembangunan.

Toer, Pramoedya Ananta. (1999). Kronik Revolusi Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

William, Frederick H (1989). Pandangan dan Gejolak, Masyarakat kota suatu Revolusi : Studi Kasus Surabaya tahun 1942-1945. Jakarta : Grasindo

Sumber Lain Manuskrip

K.R.M.H Woerjaningrat (1970). Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta Setelah Proklamasi Kemerdekaan. Surakarta : Tidak diterbitkan.


(6)

K.R.T Kusumotanoyo (1989). Hitam Dan Putihnya Feodalisme. Surakarta: Tidak diterbitkan.

Mawardi dan Yuliani S.W (1995). Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta. Sukoharjo : Tidak diterbitkan.

Skripsi dan Disertasi

Soeyatno (1982). Revolusi Di Surakarta Tahun 1945-1950 (Abstrak). Disertasi: Tidak diterbitkan.

Utami, Indah Wahyu Puji (2009). Pakempalan Kawulo Surokarto (PKS) 1932-1943: Gerakan Sosial dan Partisipasi Politik Kawulo di Surakarta serta Keterkaitannya dengan Pendidikan Sejarah (Abstrak). Skripsi: Tidak diterbitkan.

Surat Kabar :

Antara, 27 April 1946 Jaya Baya, 24 April 1986 Jaya Baya, 5 Februari 1983

Kedaulatan Rakyat, 17 Januari 1946 Suara Merdeka, 20 Februari 1983 Majalah Prisma No. 7 tahun 1978

Sumber Internet :

Yonie. (2010). Teori Konflik Lewis Alfred Coser. [Online]. Tersedia: http://fisip.uns.ac.id/blog/yonie/2010/10/27/teori-konflik-lewis-alfred-coser [9 Juli 2012].