PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA TAHUN 1945 1946

(1)

commit to user

i

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)

SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI

SURAKARTA TAHUN 1945-1946

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo

C0506004

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET


(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)

SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI

SURAKARTA TAHUN 1945-1946

Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo

C0506004

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Pembimbing

Drs. Tundjung W.Sutirto., M.Si.

NIP. 19611225198703 1 003

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum.


(3)

commit to user

iii

HALAMAN PENGESAHAN

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA

TAHUN 1945-1946

Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo

C0506004

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada tanggal ……….

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. ...

NIP. 19540223198601 2 001

Sekretaris M. Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. ……….

NIP. 19770904200501 1 001

Penguji I Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si. ………

NIP. 19611225198703 1 003

Penguji II Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. ...

NIP. 19730613200003 2 002

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A.


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Aditya Wahyu Prabowo NIM : C0506004

Menyatakan bahwa dengan sesungguhnya skripsi berjudul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 7 Desember 2010 Yang membuat pernyataan,


(5)

commit to user

v

MOTTO

Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan. (Walt Disney)

Tiada doa yg lebih indah selain doa agar skripsi ini cepat selesai. (Penulis)


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Mama dan (Alm) Papaku tercinta


(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi dengan judul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)

Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:

1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, juga sebagai Ketua Tim Penguji yang berkenan memberikan waktunya untuk menguji.

3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang

memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Ibu Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. selaku Penguji II yang telah

berkenan memberikan waktunya untuk menguji.

6. Bapak Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. selaku Sekretaris Penguji yang telah

berkenan memberikan waktunya untuk menguji.

7. Bapak Waskito Widi, SS. selaku Pembimbing Akademik yang telah

membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu dan wacana pengetahuan.


(8)

commit to user

viii

8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan.

9. Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko

Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

10.Orang Tua yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan

tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

11.Saudara-saudaraku: Mbak Wielma, Mas Deden yang selalu memberikan

dukungan baik moril maupun materiil.

12.Teman-temanku angkatan 2006, Bagus, Trisna, Lia, Memik, dan Ulwa

yang memotivasi untuk cepat lulus. Aga, Dwi, Endras, Helmy, Adi, Endah, Embri, Dyah, Hasri, Sidik, Sunu, Jarot, Jadi, Feby, Putut, Gilang, Dhani, Candra, Edy, Ari, dan teman-teman yang lain, tetap kompak dan cepat menyelesaikan skripsi.

13.Kawan-kawan Goggle.net Slamet Riyadi, Gito, Anita, Fajar, Farid, Ernand,

Andri selalu ramah dan bekerja keras.

14.Novita Wisma Saputri, yang selalu mendengar keluh kesahku.

15.Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya

penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surakarta, 7 Desember 2010

Penulis


(9)

commit to user

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... …. i

HALAMAN PERSETUJUAN...…… ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR ISTILAH... xi

DAFTAR LAMPIRAN...……….…. xiv

ABSTRAK... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Kajian Pustaka... 9

F. Metode Penelitian ……… 12

G. Sistematika Skripsi ……… 16

BAB II AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945 ... 18

A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911 ... 18

1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo ... 18

2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam ... 20

B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi ... 23

1. Gerakan Radikal Komunis di Surakarta ... 23


(10)

commit to user

x

C. Radikalisme di Surakarta pada masa Jepang... 30

1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan ... 30

2. Munculnya Hizbullah di Surakarta ... 34

BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945 ... 38

A. Surakarta sebagai kota Oposisi ... 38

B. Kelompok Oposisi di Surakarta ... 40

a. Persatuan Perjuangan ... 40

b. Barisan Banteng ... 46

C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta ... 48

D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945 ... 51

BAB IV PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA ... 59

A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta ... 59

B. Peran KNID Surakarta ... 63

1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan KNID Surakarta ... 63

2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah ... 73

3. Peran KNID Surakarta dalam Gerakan Anti Swapraja .... 76

C. Hubungan antara Kekuatan Pergerakan Politik dengan KNID Surakarta ... 86

BAB V PENUTUP ... 90

DAFTAR PUSTAKA... 94


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

1. Istilah

Abdi Dalem pegawai keraton

Apanage lungguh; bengkok; gaji

Bupati Nayaka Bupati pertama

Butai Masse Markas militer Jepang di Surakarta

double bestuur pemerintahan ganda

Gakuttotai Barisan anak-anak sekolah

kawula-gusti pola hubungan raja-rakyat atau juga

manusia-Tuhan

Kenpeitai polisi militer Jepang

Kompleit Perubahan status tanah apanage yang

dipegang para abdi dalem kepada rakyat

Kooti Jimmu Kyoku Kekuatan sipil bentukan Jepang

manunggaling kawula lan gusti persatuan rakyat dan raja atau persatuan manusia dan Tuhan

Multipunctie mengambil sampel dari limpa yang

diteliti

Narpawandawa Perkumpulan Darah Dalem

oposisi kekuatan politik dan massa yang

berlawanan dengan pemerintah yang berkuasa

Panatagama Kepala Agama Islam

patron-client pola hubungan bapak-anak buah

Patuh tuan

Priyayi masih berhubungan dengan eratin;

bangsawan

Reh Kasentanan Dewan Pertimbangan Raja


(12)

commit to user

xii

Romusha buruh atau kuli yang dimobilisasi

dengan paksa untuk suatu pekerjaan kasar di bawah kekuasaan militer Jepang

Seinendan Barisan Pemuda

Sendenbu Badan Propaganda Jepang

Volksraad Dewan Rakyat

vorstenlanden wilayah raja-raja

2. Singkatan

AMRI Angkatan Muda Republik Indonesia

BKR Badan Keamanan Rakyat

BLB Barisan Laskar Banteng

BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional

Indonesia Pusat

BPRI Badan Pemberontak Republik

Indonesia

BPU Badan Pengawas dan Penyelidik

Umum

BTI Barisan Tani Indonesia

BU Budi Utomo

GRI Gerakan Rakyat Indonesia

IPI Ikatan Pelajar Indonesia

IPTAS Ikatan Prajurit Sejati

KNID Komite Nasional Indonesia Daerah

KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat

KPPRI Kantor Daerah Pemerintah Republik

Indonesia

M.Ng. Mas Ngabehi

NICA Netherlands Indies Civil


(13)

commit to user

xiii

Pesindo Pemuda Sosialis Indonesia

PETA Pembela Tanah Air

PKS Pakempalan Kawula Surakarta

PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia

SDI Sarekat Dagang Islam

SI Sarekat Islam

TP Tentara Pelajar

VOC Vereeniging Oost-Indische


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Undang-undang No.1 tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah ………. 100

2. Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS. 1945 ... 107

3. Piagam penetapan Presiden RI kepada Pakubuwono XII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945... 108

4. Maklumat Presiden kepada Mangkunegoro VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945... 109

5. Penyerahan Kekuasaan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada Mangkunegaran ... 110

6. Peta Wilayah Surakarta tahun 1945-1946... 111

7. Selebaran dari Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta, 1945... 114

8. Penetapan Pemerintah tentang keamanan di Daerah Istimewa, 1946... 116

9. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat, 1946... 117

10.Surat dari Wakil Presiden kepada Presiden dan Menteri Pertahanan tentang kedudukan keistimewaan daerah Surakarta dan Mangkunegaran... 118

11.Penetapan Pemerintah RI Jogjakarta no. 16/S.D tanggal 15 Juli 1946 tentang perubahan sementara bentuk dan susunan Pemerintah di Daerah Istimewa Surakarta ... 119

12.Susunan Panitia Anti Swapraja………... 120

13.Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang penunjukan Gubernur Jawa Tengah R. Soerjo, sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah Surakarta……... 121

14. Maklumat Mangkunegoro VIII, 1 September 1945……… 122

15. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang Daerah Istimewa Surakarta … 123

16. Maklumat Sri Paduka Pakubuwono XII tentang Daerah Istimewa Surakarta ... 124

17. Pernyataan Bersama KNID Kab. Klaten dalam gerakan Anti Swapraja .... 125

18. Pernyataan KNID Kab. Kota Mangkunegaran tentang Status Pemerintahan di Surakarta ... 126


(15)

commit to user

xv

ABSTRAK

Aditya Wahyu Prabowo. C0506004. 2010. Peran Komite Nasional Indonesia

Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta tahun 1945-1946. Sripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946? (2) Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?

Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah

yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern

maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan politik.

Setelah Pemerintah Pusat RI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi

kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai

Masse yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Sejak awal pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya.

Dari analisis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa KNID Surakarta mempunyai berbagai peran dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946, yaitu merebut kekuasaan sipil dan militer pemerintah Jepang, sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah, dan juga terlibat dalam gerakan anti swapraja di Surakarta.


(16)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Genderang Revolusi Indonesia dibunyikan saat rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia merupakan klimaks dari proses panjang suatu perjuangan dari rangkaian pergerakan nasional hingga runtuhnya Hindia Belanda. Oleh karena itu tidak aneh apabila dianggap sebagai “jembatan emas” yang harus dipelihara maupun dipertahankan walaupun tidak sedikit dilaksanakan dengan caranya sendiri-sendiri. Proses awal yang lazim adalah melembagakan Negara sehari setelah proklamasi yaitu tanggal 18 Agustus 1945. Pelembagaan dari hasil tawar-menawar dengan Jepang ini diupayakan oleh PPKI yang oleh pemuda, dianggap sebagai kolabolator-kolabolator Jepang. Hasil dari sidang PPKI ini adalah menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai

Wakil Presiden, serta membentuk KNIP.1

Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai pengaruh luas bagi bangsa dan Negara. Proklamasi merupakan momentum dalam sejarah Republik Indonesia. Perubahan-perubahan yang menyangkut masalah politik, pemerintahan dsb, pasti terjadi setelah merdeka, baik untuk pusat maupun daerah-daerah.

1

Julianto Ibrahim , 2008, Keraton Surakarta: Gerakan Anti Swapraja, Yogyakarta: Malioboro


(17)

commit to user

Setelah proklamasi, terjadi reorganisasi dalam berbagai aspek, terutama politik pemerintahan. Berkaitan dengan hal ini, maka daerah Surakarta setelah Proklamasi langsung mendapat keputusan dari pusat. Presiden RI pada waktu itu mengeluarkan piagam berkenaan dengan kedudukan daerah Surakarta. Piagam tanggal 19 Agustus 1945 tersebut ditujukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan Mangkunegara VIII yang mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat untuk mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan jiwa raga bagi keselamatan daerahnya yang merupakan bagian wilayah Republik Indonesia sebagai Daerah Istimewa. Kedua penguasa tradisional ini juga tetap mempunyai kedudukan otonom sebagaimana tercermin dari keputusan Presiden tersebut.

Bersamaan itu pula pada 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI juga berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP). Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat, tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Komite di daerah-daerah terbentuk dalam waktu tidak lama sesudah KNIP. Komite di daerah juga dilengkapi dengan Badan Pekerja yang menjalankan tugas sebagai pelaksana secara riil dalam pemerintahan. Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.

Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan republik. Akan tetapi permasalahan utama dari pebentukan komite ini ialah


(18)

commit to user

keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan dan status quo oleh sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur yang

sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka2.

Permasalahan lainnya dalam mendirikan komite di daerah ialah masih berkuasanya para birokrasi pribumi yang sebagian besar merupakan abdi setia kekuasaan. Fenomena tersebut terjadi pula di Surakarta yaitu dengan adanya kekuasaan pribumi yang direpresentasikan oleh Raja-raja yang secara otomatis menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Surakarta mencoba untuk mengukuhkan kekuasaannya. Mereka telah terbiasa sebagai hamba kekuasaan apapun juga selama kekuasaan dan jabatan mereka dapat dipertahankan. Selain itu kaum birokrasi pribumi yang terbiasa dengan kesadaran politik yang tinggi menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan tidak memiliki landasan hukum apapun juga dari sistem hukum internasional yang berlaku dan menyebabkan mereka untuk memposisikan diri kepada para pemenang Perang Dunia II. Hal ini menjadi salah satu penyebab dari meningkatnya kekerasan di daerah-daerah yang ditujukan

untuk penggulingan tatanan lama pemerintahan pribumi.3

Hal ini bertentangan dengan keinginan para politisi dan pejuang di Surakarta yang menginginkan agar mobilitas politik di Surakarta bersifat secara terbuka dan oportunisme kekuasaan dari para politisi tersebut. Namun, pihak kerajaan melakukan sebuah kesalahan pada masa tersebut dengan tidak menganggap penting radikalisasi di Surakarta dan menganggap bahwa kekuasaan di Surakarta dengan sah masih berada di tangan para raja yang bekerjasama

2

George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press

hal. 178

3

Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa,


(19)

commit to user

dengan tentara Jepang untuk membangun keamanan yang bersifat sementara.4

Lambannya kerajaan dalam menanggapi tuntutan dari para pejuang dan pemerintah Republik menyebabkan Surakarta sangat lambat dalam pendirian pemerintahan di bawah Republik daripada tetangganya di Yogyakarta. Walaupun pihak kerajaan telah diberi pengakuan kedaulatan kekuasaan raja oleh pemerintah RI namun pihak kerajaan terkesan sangat berhati-hati dalam menghadapi kekuasaan Jepang. Lambannya usaha pihak kerajaan di Surakarta dalam menegakkan kekuasaan republik dan perebutan senjata dari Jepang menyebabkan pemerintah pusat RI campur tangan untuk membentuk Komite Nasional di Surakarta.

Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan. Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan elite politik, dengan program melucuti senjata Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.

Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda Tentara, Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU), Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai.

4

Anthony Reid, 1987, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera.


(20)

commit to user

Pada tanggal 30 September 1945, Soemodiningrat beserta wakilnya

Suprapto disertai Barisan Rakyat menemui H. Watanabe sebagai Kepala Koti

Jimmu Kyoku Chukan di gedung Balaikota. Pada pertemuan tersebut, Soemodiningrat berhasil meyakinkan Watanabe agar bersedia menyerahkan kekuasaan sipilnya kepada KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan ini mengandung arti bahwa pemerintahan di Surakarta dikendalikan oleh KNID. Oleh karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1945 dibentuk Kantor Pusat Pemerintahan Republik Indonesia (KPPRI) yang kemudian berubah menjadi Kantor Daerah

Pemerintah Republik Indonesia (KDPRI) sebagai nama baru dari Koti Jimmu

Kyoku. Pelaksanaan tugas sehari-hari di KDPRI diserahkan kepada Soeripto,

Soetopo, dan Soemantri.5

Pembentukan KDPRI sebagai pemegang kendali pemerintahan di Surakarta telah menimbulkan perselisihan dengan pemerintah Swapraja. Pada

waktu itu di Surakarta terdapat dua pemerintahan double bestuur yaitu dari pihak

kraton dan pihak KNID Surakarta melalui KDPRI.

Revolusi sosial dan aksi-aksi kekerasan di Surakarta yang terjadi pada masa revolusi merupakan bagian yang tidak bisa dielakkan dari kekacauan di hampir semua kehidupan masyarakat. Kekerasan seperti itu merupakan bagian dari konflik politik yang mewarnai hampir setiap waktu dalam perjalanan revolusi Indonesia. Kekerasan yang muncul merupakan bagian dari pertentangan kepentingan dari kekuatan-kekuatan politik yang semula ditandai dengan pertentangan di antara idiologi kiri kemudian bergeser antara kekuatan kiri dengan kekuatan kanan. Konflik ditandai pula dengan perebutan kekuasaan diantara

5

Panitia Pembangunan Monumen Pejuang 1945, Buku Kenang-kenangan Perjuangan Rakyat


(21)

commit to user

kekuatan oposisi dengan kekuatan republik atau kompetisi diantara

kelompok-kelompok yang sedang beroposisi.6

Pada masa awal revolusi, konflik yang berkembang merupakan bentuk perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golongan tua yang moderat. Konflik itu memuncak pada peristiwa Rengasdengklok yang merupakan sebuah bentuk tekanan dari golongan muda terhadap golongan tua

untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.7 Konflik pun masih berlanjut

ketika lembaga-lembaga negara mulai terbentuk. Isu-isu tentang kolabolator yang diperankan sebagian nasionalis tua yang dituduhkan golongan muda terutama Syahrir merupakan isu utama pada waktu itu. Syahrir menginginkan perubahan pemerintahan presidensil menjadi setengah parlementer dengan indikasi kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Setelah melalui sidang BP-KNIP dan disetujui Presiden Soekarno, akhirnya pada 14 Oktober 1945 kabinet Syahrir

terbentuk yang kemudian dikenal dengan pemerintahan sayap kiri.8

Selama menjadi perdana menteri, Syahrir menghendaki arah revolusi ditentukan dengan cara diplomasi yang luwes dan pintar untuk menghindarkan Inggris dan Amerika memberikan dukungan penuh kepada Belanda. Visi Syahrir ini secara cepat menimbulkan kekecewaan di kalangan pemuda. Dalam beberapa minggu saja, kabinet Syahrir kehilangan dukungan pemuda. Arah serta gaya politik Syahrir bertentangan dengan psikologi dari gerakan pemuda. Kekecewaan dari para pemuda dan sebagian besar badan perjuangan kemudian dimanfaatkan oleh seorang tokoh, yaitu Tan Malaka. Sejak awal revolusi, Tan Malaka sudah

6

Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Wonogiri: Bina Citra

Pustaka, hal. 154. 7

Sidik Kertapati, 1961, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Pembaharuan, ha. 83. 8


(22)

commit to user

berambisi mengendalikan jalannya revolusi. Tokoh ini menawarkan suatu kemerdekaan yang dekat dengan hati pemuda, yaitu revolusi total dengan pengakuan kemerdekaan seratus persen. Ia kemudian berhasil membentuk organisasi bernama ”Persatuan Perjuangan” yang menggambarkan tekad perjuangan yang anti diplomasi dalam revolusi Indonesia. Dalam kongresnya yang pertama di Solo, 14-15 Januari 1946, organisasi ini menetapkan kota

Surakarta sebagai pusat kegiatannya.9

Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja yang radikal di Surakarta sebagai bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta. Gerakan-gerakan anti swapraja ini menyebabkan kedudukan keraton menjadi sangat lemah dan sulit, sehingga status swapraja Surakarta dapat dengan mudah diruntuhkan.

Penelitian dengan tema mengenai Komite Nasional Indonesia Daerah di Surakarta menjadi hal yang menarik. Pada periode tahun 1945-1946 banyak terjadi peristiwa penting antara lain adanya revolusi sosial di beberapa daerah termasuk di Surakarta pada tahun 1946 serta mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Terbentuknya Komite ini mendapat dukungan dari berbagai badan perjuangan rakyat sehingga setelah KNID Surakarta dibentuk, perpolitikan di Surakarta memasuki masa baru dimana mulai muncul pergerakan politik yang radikal. Selama awal kemerdekaan, KNID Surakarta harus melaksanakan tugas penting yaitu melucuti dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan pemerintah Indonesia melalui Komite ini. Program yang juga menjadi tujuan

9


(23)

commit to user

lembaga ini dibentuk tidaklah mudah untuk dijalankan mengingat situasi sosial dan politik di Surakarta pada masa revolusi fisik cukup menegangkan, maka bentuk-bentuk eksistensi dan peran dari lembaga ini dalam pergerakan politik di Surakarta yang ditulis sebagai judul skripsi.

B.

Perumusan Masalah

Atas dasar Latar Belakang Masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta

dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?

2. Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta

dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?

C.

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.

2. Mengetahui peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.

D.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan pengetahuan tentang sejarah Surakarta pada awal


(24)

commit to user

Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta.

2. Dengan mengkaji Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta,

maka dapat direkonstruksi Sejarah Revolusi yang terkait dengan kota Surakarta.

E.

Kajian Pustaka

Dalam buku karya Julianto Ibrahim yang berjudul Bandit & Pejuang di

Simpang Bengawan, Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta dengan penerbit Bina Citra Pustaka Wonogiri, banyak menggambarkan tindak kekerasan di Surakarta yang diwarnai dengan peristiwa penggedoran, pencurian, hingga penculikan yang terjadi di Surakarta. Kekacauan di Surakarta yang menjadi wilayah anarki tidak terlepas dari peran serta badan-badan perjuangan yang menginterpretasikan makna daulat dalam khasanahnya masing-masing sehingga terjadi perubahan makna dari kedaulatan menjadi mendaulat.

Sejarah Revolusi Indonesia sering kali ditulis dan hanya berisikan kisah tentang perjuangan bersenjata ataupun perjuangan diplomasi saja. Sementara gejolak yang terjadi di kalangan para pejuang atau di antara laskar dalam masa yang penuh heroik itu tak banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah. Salah satu soal dalam revolusi Indonesia dan berlanjut pada masa berikutnya adalah keberadaan dan aktivitas para bandit, yang sebagian di antaranya pejuang dan tergabung dalam beberapa kesatuan laskar. Dalam zaman yang terkadang disebut zaman gegeran, serobotan, gedoran ataupun pendaulatan itu, para bandit justru harus berhadap-hadapan dengan bangsa sendiri atau dengan para pejuang yang pernah bersama-sama mereka di arena pertempuran. Sehingga berbagai tindakan


(25)

commit to user

kriminal pun sering kali tidak dapat dihindari oleh mereka.

Membaca karya ini, dalam usaha membangun sejarah dari bawah (grassroots history), kian bermakna terutama jika kita melihat revolusi Indonesia dari sisi yang lain. Bandit yang menjadi pejuang atau pejuang yang menjadi bandit adalah bagian dari dinamika revolusi itu sendiri dan seharusnya tidak diabaikan begitu saja dalam sejarah Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa para bandit, orang-orang yang tersingkirkan, dan orang-orang biasa lainnya ternyata bukan hanya ikut menentukan arah dan jalannya revolusi Indonesia, mereka juga sekaligus memberi watak pada revolusi itu sendiri. Penulisan ini lebih menekankan terhadap gerakan rakyat dan pemuda dalam badan-badan perjuangan sehingga mengabaikan peran bangsawan dan kerajaan yang pada masa sebelum kemerdekaan merupakan kelompok politik terkuat.

Sebuah buku yang berjudul Dasar-dasar Teori Sosial karya James S.

Coleman dijelaskan bahwa dalam menyelidiki persoalan revolusi, para ilmuwan sosial memusatkan perhatian pada masyarakat tempat revolusi benar-benar terjadi dan memeriksa periode di masyarakat itu sebelum konflik. Tidak seperti biasanya, jawaban-jawaban disusun dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi struktural stabil yang mengawali sistem-sistem sosial tertentu, bukan sistem-sistem sosial yang lain, yang akan mengalami perubahan wewenang lewat revolusi atau pemberontakan. Banyak teori revolusi memandang titik kritis dalam sebuah perjuangan revolusioner sebagai titik ketika sistem-sistem wewenang yang ada kehilangan legitimasi di mata rakyat atau segmen-segmen penting rakyat.

Ben Anderson dalam karyanya, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang


(26)

commit to user

Surakarta terjadi karena adanya perpaduan antara konflik politik nasional dan konflik politik lokal yang ditandai dengan peningkatan kegiatan sosialis, komunis hingga sindikalisme di Surakarta yang berujung pada perang antar kelas. Selain itu Ben Anderson menggambarkan dengan baik situasi revolusioner yang melanda kaum pemuda.

Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc.T. Kahin juga banyak menjadi referensi dalam penulisan penelitian ini. Dalam karyanya, di Bab IV Kahin mengutarakan bagaimana dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945), suatu kesadaran politik yang kuat berkembang dalam masyarakat, dan terutama di antara pemuda dan pelajar yang sebelumnya banyak yang bersifat apolitis. Sebelas bab berikutnya secara rinci membahas revolusi Indonesia sampai dengan saat kedaulatan Indonesia diakui pada bulan Desember 1949 dan terbentuknya Negara Kesatuan pada 17 Agustus 1950.

Bab tentang Revolusi, Kahin menulis bahwa Soekarno memilih seorang Gubernur untuk masing-masing Provinsi dari kalangan penduduk setempat, dan KNIP memberi mandat kepada salah seorang anggota dari masing-masing daerah untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap provinsi guna membantu para gubernur menjalankan pemerintahan. Terbentuklah KNI setempat secara spontan di tingkat distrik maupu kotapraja. Selama suatu periode yang lama, komite-komite setempat yang revolusioner bekerja menurut kekuatan pemerintah yang sebenarnya di daerah masing-masing. Semula daerah-daerah itu diatur menurut kehendak pemimpin setempat yang diakui, tetapi kemudian sejak akhir bulan November diatur menurut suatu pola peraturan yang seragam. Menjelang tahun 1946, keadaan dianggap memungkinkan, KNI dibentuk


(27)

commit to user

berdasarkan pemilihan setempat.

F.

Metode Penelitian

1. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Sejarah. Metode Sejarah merupakan proses mengumpulkan, menguji dan menganalisis secara kritis rekaman-rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat

dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang meliputi 4 tahapan10:

a. Heuristik

Adalah proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sebagai data yang relevan dengan masalah yang diteliti. Pencarian dan pengumpulan sumber yang dilakukan yaitu sumber primer yang berupa dokumen-dokumen arsip baik itu arsip lokal atau surat kabar yang sejaman. Selain itu juga data-data yang diperoleh berasal dari arsip koleksi Perpustakaan Rekso Pustaka Mangkunegaran.

b. Kritik Sumber, terdiri dari kritik Intern dan ekstern

Kritik Intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya. Sedangkan kritik ekstern meliputi material yang digunakan guna mencapai kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil-hasil sumber yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya

10

Sartono Kartodirdjo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, hal. 60-62.


(28)

commit to user

sumber itu sebagian berbahasa Indonesia lama. Kondisi dari data yang mudah rusak karena bahan kertasnya sudah berusia sangat tua sehingga mudah rapuh dan sobek. Terkadang tulisan yang berupa tulisan tangan sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk dibaca. Memilih dan memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena tidak semua arsip yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data.

c. Interpretasi/ penafsiran

Yaitu menafsirkan keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh. Setelah melakukan kritik baik itu kritik intern maupun ekstern, maka usaha yang dilakukan adalah menjelaskan apa yang telah diperoleh dari data dokumen itu dengan pemikiran dan analisa.

d. Historiografi

Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menyampaikan sumber yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan kata-kata dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah memahami maksudnya dan tidak membosankan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah yang harus digunakan dalam mengadakan sutu penelitian. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi Dokumen


(29)

commit to user

berupa sumber tertulis dan sejaman. Dari dokumen terdapat fakta-fakta sejarah serta bahan yang akan ditulis. Dokumen mempunyai nilai otentik dan dapat

dipercaya.11 Dokumen sebagai sumber utama dalam penelitian. Untuk

memantapkan nilai suatu dokumen terhadap pengguanannya dalam ilmu sejarah, perlu diadakan langkah-langkah sebagai berikut: pengumpulan objek yang berasal dari jaman itu, pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis misalnya surat kabar terbitan sejaman, dokumen tertulis, peraturan-peraturan, surat keputusan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi yang belum diterbitkan, surat-surat keluarga dan catatan perjalanan.

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data berupa Arsip dan Koran, antara lain Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS, Solo, Mangkunegaran: Arsip berupa berkas masalah Jepang tahun 1945; Piagam Penetapan Presiden RI, Solo, Mangkunegaran: Arsip Rekso Pustoko tahun 1946; Kutipan koran “Kedaulatan Rakyat”, 4 Juni 1946: Masalah kedudukan KNI Surakarta (Arsip Rekso Pustaka).

b. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Pusat UNS, perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Reksa Pustaka Mangkunegaran, Monumen Pers, dan Perpustakaan Daerah. Dalam studi pustaka ini berhasil dihimpun buku-buku, artikel-artikel serta terbitan-terbitan lain yang secara langsung menulis tentang masalah yang sesuai dengan topik permasalahan.

11


(30)

commit to user

3. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data sangat terkait dengan metode dan pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial & politik sehingga dapat memisahkan proses-proses politik yang terjadi dan berkaitan dengan situasi sosial di Surakarta. Studi ini bukan hanya menggambarkan apa dan kapan peristiwa Sejarah itu terjadi, tapi juga mengidentifikasi masalah bagaimana dan faktor-faktor apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penggunaan pendekatan sosial dimaksudkan untuk mengungkap kualitas terhadap data-data dan fakta-fakta yang ada, sebab peristiwa yang satu mempunyai keterkaitan dengan peristiwa yang lain.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12

Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini

12

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Indayu,


(31)

commit to user

terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.

G.

Sistematika Skripsi

Skripsi ini disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang terperinci. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang berurutan.

Bab I merupakan bab Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika skripsi.

Bab II berisi tentang akar-akar gerakan radikal di Surakarta sebelum Revolusi 1945. Terbagi dalam tiga masa yaitu masa pergerakan dengan munculnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Masa aksi dimulai banyaknya gerakan radikal komunisme kemudian munculnya Insulinde. Masa pendudukan Jepang dengan terbentuknya laskar perjuangan salah satunya gerakan Hizbullah.

Bab III membahas kondisi sosial politik Surakarta pada masa Revolusi Fisik 1945. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota

yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu

Surakarta. Kota Surakarta juga menjadi basis kelompok oposisi seperti Persatuan Perjuangan dan Barisan Banteng. Setelah adanya Maklumat dari Pakubuwono XII pada tanggal 1 September 1945, Surakarta mendapat kedudukan sebagai daerah


(32)

commit to user

istimewa dari pemerintah pusat RI. Status sebagai daerah istimewa tersebut kemudian mengundang berbagai konflik sosial politik di Surakarta.

Bab IV akan menguraikan tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta. Berbagai peranan KNID Surakarta juga tampak dalam pergerakan politik di Surakarta pada tahun 1945-1946. Di awal pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya. Hubungan antara kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta juga dibahas dalam bab ini.

Bab V merupakan kesimpulan dari semua isi dan penjelasan dalam penulisan skripsi ini.


(33)

commit to user

18

BAB II

AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM

REVOLUSI 1945

A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911

1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo

Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebagai penjajah. Buktinya adalah semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang ke arah kesadaran nasional. Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno,

dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan.1

Boedi Oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksikan

1

Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan


(34)

commit to user

dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap penetrasi Barat dengan imperialisme dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio-kultural yang diciptakan oleh politik kolonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat untuk menjunjung tinggi derajat bangsa.

Gagasan untuk mendirikan suatu perkumpulan yang sifatnya umum di Jawa ini mendapat persetujuan dan pengikut dari kalangan pelajar sekolah-sekolah menengah, yaitu sekolah pertanian dan sekolah kehewanan di Bogor, sekolah

Menak di Magelang, dan Probolinggo, Burgeravondschool di Surabaya dan

sekolah-sekolah guru di Bandung dan Jogjakarta. Penerimaan anggota dibatasi dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan antusiasme untuk mendukung dan memencarkan ide itu. Walaupun tidak dilakukan propaganda secara besar-besaran dalam satu triwulan jumlah anggota sudah mencapai 650 orang, diantaranya yang paling banyak kaum terpelajar, pamong

praja, dan wiraswasta.2

Pada awal aktivitasnya Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara samar-samar, yaitu kemajuan bagi Hindia. Anggotanya juga masih terbatas. Tetapi munculnya organisasi ini telah menarik khalayak ramai, karena itu dalam waktu singkat antara bulan Mei sampai Oktober 1908 cabang-cabang Boedi Oetomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya, Probolinggo, dan Yogyakarta.

Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Boedi Oetomo, maka seorang guru dari Yogyakarta, M.Ng. Dwidjosewojo, dipilih

2Ibid,


(35)

commit to user

sebagai pejabat ketua selama beberapa bulan sampai kongres tanggal 8-9 Juli 1916 di Surabaya ketika R.M. Woerjaningrat, rekan terpimpin sebuah kelompok anti-Belanda yang kuat dalam keraton Susuhunan, terpilih sebagai ketua.

Woerjaningrat adalah Bupati Nayaka atau Bupati Pertama di Surakarta dan anak

tiri Susuhunan Paku Buwono X. Di bawah pimpinan Woerjaningrat pemindahan kepemimpinan pengurus pusat Boedi Oetomo dari Yogyakarta, yang telah dimulai sejak pengunduran diri Notodirodjo pada tahun 1914, menjadi mantap. Sekitar tahun 1918 Surakarta juga berada di garis depan pada tingkat cabang. Secara nasional jumlah cabang telah meningkat dari 40 pada akhir 1909 menjadi 51 pada tahun 1918, sedangkan jumlah anggotanya telah menurun dari sekitar 10.000 menjadi 3.914. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa Boedi Oetomo adalah partai elite yang kecil dan berpengaruh, dan bukan partai massa.

Boedi Oetomo juga menciptakan dan menyebarkan pengaruhnya di Surakarta. Organisasi ini berhasil menarik simpati para priyayi dan berusaha mencari kemajuan-kemajuan lewat pengajaran, tapi sayangnya sentuhan Boedi Oetomo hanya terbatas lapisan atas, sehingga tidak populer di kalangan masyarakat bawah terutama petani.

2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam

Organisasi lain yang muncul di Surakarta dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat ialah Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (1911). SDI didirikan Haji Samanhudi dilatarbelakangi unsur-unsur ekonomis dan agama.

Secara ekonomis, pendirian organisasi ini sebagai counter terhadap pedagang


(36)

commit to user

terancam kemundurannya di bidang perbatikan. Persatuan antar muslim di Surakarta yang mulanya bersifat ekonomis ini berkembang menjadi persatuan antar sesama penganut Islam yang sudah waktunya menunjukkan kekuatannya di panggung politik nasional. Berkembangnya SI ke berbagai daerah membuktikan

daya kekuatan Pan Islamisme yang mendasari ideologi organisasi itu. SI tidak

hanya diikuti kalangan intelektual saja, tetapi oleh rakyat secara luas. SI merupakan pencerminan gerakan rakyat dari para pedagang Indonesia melawan

kekuatan kelas menengah Cina.3 Gerakan SI dapat mengisi kelemahan Boedi

Utomo yang tidak dapat menjangkau massa kalangan rakyat bawah.

Penghapusan pada masa awalnya kata “dagang” dari nama sarekat ini mencerminkan berkurangnya faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor agama dan nasionalisme Jawa yang memainan peranan yang lebih besar. Perhimpunan baru ini segera meluas dalam jenis kegiatannya yang beraneka ragam. Di samping boikot anti-Cina, Sarekat Islam dengan cepat mengembangkan rencananya untuk bergerak di bidang perdagangan, mendirikan sekolah Islam, dan menerbitkan sebuah surat kabar harian yang murni berbahasa Jawa. Nasionalisme Jawa ini muncul karena berbagai macam faktor, termasuk pula faktor komersial dan pertentangan etnis terhadap orang Cina, sentimen anti-Eropa, dan perlawanan terhadap upaya untuk memodernisasi dan mengubah masyarakat. Popularitas Sarekat Islam di Surakarta juga sebagian besar berpangkal dari permulaannya sebagai suatu perkumpulan rahasia yang berfungsi sebagai perhimpunan amal dan protektif.4

3

WF. Wertheim, 1956, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Bandung:

Van Hoeve, hal. 184..

4

George D. Larson, 1990, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta


(37)

commit to user

Karena nasionalisme Jawa ini pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap dominasi orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat istiadat Jawa, adalah wajar apabila Sarekat Islam Surakarta cenderung mencari dukungan pada Susuhunan dan pembesar di sekelilingnya dan melawan pegawai-pegawai yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Bertentangan dengan Budi Utomo, Sarekat Islam merupakan organisasi yang cepat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Terlepas dari

kedudukan Sultan sebagai panatagama atau Kepala Agama Islam, Sunan sangat

berhubungan erat dengan Sarekat Islam yang berhaluan Islam. Akan tetapi kerjasama Sarekat Islam dengan elite istana berakhir karena faktor eksternal yang berupa tekanan dan campur tangan pemerintah kolonial, sedangkan faktor internal berupa penggeseran kepemimpinan. Dalam kongres Sarekat Islam lokal pada bulan April 1914, Cokroaminoto menggantikan H. Samanhudi sebagai anggota pusat Sarekat Islam. Hal ini berarti hilangnya rasa hormat terhadap elite istana. Sejak inilah gerakan Sarekat Islam makin radikal karena anggotanya banyak yang berasal dari golongan bawah.

Radikalisme Sarekat Islam terlihat jelas pada masa 1920-an. Gerakan Sarekat Islam sampai di pedesaan Surakarta di bawah kepemimpinan Cipto Mangunkusumo, H. Misbach, Suryopranoto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini merupakan tokoh-tokoh agitator yang cukup pandai. Pengaruhnya cukup mendalam dan meluas di Surakarta. Namun pada masa 1920-an itu, perkembangan Sarekat Islam mengalami dualisme, di satu sisi ada Sarekat Islam Putih, dan di sisi lain ada Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih bersifat Islami murni, dan Sarekat Islam Merah bersifat akomodatif dengan sosialis-komunis


(38)

commit to user

yang memang telah merasuki tanah air melalui organisasi ISDV dipimpin Hendrik Snevliet dengan beberapa tokoh komunis lokal. Dengan masuknya pengaruh komunis di dalam Sarekat Islam menambah keradikalannya. Berbagai peristiwa politik dan sosial di daerah Klaten sekitar tahun 1920, misalnya pemogokan buruh merupakan hasil agitasi politik Sarekat Islam secara nyata di pedesaan dalam melawan kekuasaan asing. Di kalangan Sarekat Islam Merah banyak menuntut reorganisasi agraris yang menyangkut soal tanah, sehingga masyarakat pedesaan yang sudah lama mengalami ekstraksi sosial-ekonomi oleh kolonial bersikap anti-Belanda, anti-gubernemen, dan anti-kapitalis. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Haji Misbach tentang apa yang diistilahkan sebagai ”Islam Abangan”, yang diartikan: ”Islam” adalah ”prajurit”, dan ”Abangan” adalah ”bendera merah”. Oleh sebab itu ”Islam Abangan” menandakan ”prajurit yang berani”, seperti yang dikatakannya saat pidato di desa Kateguhan (subdistrik Sawit) 2 Mei

1920.5

B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi

1. Gerakan Radikal Komunisme di Surakarta

Gerakan radikal kemudian bergeser dari Sarekat Islam kepada organisasi-organisasi berhaluan kiri. Dalam sejarah Surakarta suatu tonggak penting adalah tahun 1918 ketika munculnya suatu gerakan radikal yang menentang kedua istana, perusahaan perkebunan dan gubernemen. Peristiwa ini merupakan awal dari tahun-tahun yang bergejolak di kalangan sebagian rakyat jelata Kasunanan dan

5Ibid.,


(39)

commit to user

Mangkunegaran dari istana kerajaannya. Di samping masyarakat petani, gerakan ini juga menyusupi kalangan pegawai pribumi, polisi dan militer. Gerakan ini mendapat beberapa penganut di kalangan aristokrasi dan bangsawan. Pada masa puncaknya, pada tahun 1920 gerakan ini mempunyai 50.000 pengikut dan boleh dikatakan merasuki semua perkebunan di karesidenan ini. Walaupun gerakan ini akhirnya ditumpas oleh gubernemen, ia telah meninggalkan warisan yang merintis

jalan untuk gerakan komunis.6

Alasan dasar yang dikemukakan oleh para pemimpin radikal adalah bahwa gerakan mereka timbul karena suatu reaksi terhadap kesulitan yang sangat besar di kalangan ekonomi. Di samping itu faktor-faktor utama yang sesungguhnya mencetuskan gerakan ini adalah kehadiran beberapa pemimpin yang sangat bersemangat, terjadinya suatu bencana alam (wabah pes), kekesalan terhadap tindakan gubernemen menghadapi bencana ini, dan ketidakpuasan terhadap reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen.

Permasalahan bermula dari menjalarnya wabah pes pada bulan Maret 1915. Wabah ini dianggap sebagai bencana alam yang secara tradisional dianggap

sebagai pertanda berakhirnya dinasti raja.7 Upaya Belanda dalam memberantas

penyakit ini dengan mengambil beberapa tindakan, namun ironisnya, upaya dari Pemerintah justru meninggalkan jejak kekecewaan dan kemarahan yang membekas di hati masyarakat. Misalnya dua dokter Belanda melakukan multipunctie (mengambil sampel dari limpa yang diteliti), suatu praktek yang sangat memalukan dan menghina perasaan keagamaan. Kemarahan ini berlanjut dengan keresahan akan program perbaikan rumah pada saat masyarakat tidak

6Ibid

, hal 131. 7


(40)

commit to user

mampu membiayai perbaikan tersebut.8 Perbaikan ini berjalan di atas

perekonomian yang sangat merosot. Laporan-laporan pada saat itu menyebutkan bahwa pada masa-masa tahun 1918 dan 1920 merupakan masa yang sulit. Kesulitan dapat diidentifikasikan dengan inflasi dan biaya hidup yang membumbung tinggi disaat gaji tetap. Hasil pertanian tidak mampu mencukupi isi

perut alias makan.9

Revolusi di Surakarta pada dasarnya bersifat radikal. Hal ini dikarenakan adanya sifat mudah memberontak di daerah ini yang dimulai sejak zaman penjajahan. Sebelum perang di Surakarta sudah ada tradisi melakukan protes yang sifatnya politik. Di kota misalnya oleh tokoh-tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo dan Haji Misbach, dan di daerah pedesaan oleh PKS (Pakempalan Kawula

Surakarta) maupun oleh gerakan-gerakan Ratu Adil.10 Baik Tjipto maupun

Misbach dengan sukses telah memberikan pimpinan dalam gerakan protes yang dilakukan oleh kaum tani kebun tebu dari pabrik gula Klaten terhadap penguasa kolonial. Gerakan-gerakan tersebur makin lama semakin menjauh dari kraton, karena Sunan dan Mangkunegoro tidak lagi dianggap sebagai pemegang kekuasaan menurut adat, melainkan sebagai agen dari kaum penjajah yang mengeksploitasi rakyat, sebagian karena mereka (tidak seperti Sultan dan Paku

Alam) juga memiliki pabrik-pabrik gula.11

Kesulitan-kesulitan telah meggerakkan aksi-aksi radikal yang dipimpin Haji Muhammad Misbach dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Menurut Shiraisi, Haji Muhammad Misbach dapat diibaratkan sebagai "sang mubalich" dalam

8

George D. Larson, op.,cit, hal. 134. 9Ibid

, hal. 158. 10

R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, Ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo:

Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta: Rekso Pustoko, hal. 2. 11


(41)

commit to user

hubungannya dengan aksi-aksi radikal di Surakarta. Misbach lahir di Kauman Solo pada tahun 1876. Misbach menegaskan, "tanah bukan milik Susuhunan atau Gubernemen tetapi berasal dari nenek moyang kita dan kita harus mencari jalan untuk memperolehnya kembali". Kebencian terhadap kraton terutama ditunjukkan oleh Tjipto. Kritik-kritik Tjipto terhadap Kraton sangat pedas terutama ditujukan kepada Sunan dan Nasionalisme Jawa.

Di Surakarta ciri khas dari gerakan komunis adalah usahanya yang tekun untuk memadukan marxisme dengan Islam. Tokoh yang menyemaikan gagasan ini adalah H. Misbach yang sebelumnya telah menggunakan agama dengan mahir untuk mencetuskan bergeloranya gerakan radikal. Corak komunisme Islam yang dianut Misbach adalah suatu percampuran antara Muhammad, Marx dan wawasan abangan tradisional. Argumen dasar dari Misbach adalah bahwa semua penyakit sosial, ekonomi dan spiritual yang diderita oleh masyarakat Hindia Belanda disebabkan oleh sistem kapitalis di seluruh dunia yang secara tidak manusiawi menindas dan memeras rakyat jelata. Gubernemen, para kapitalis, raja bumiputera, arsitokrasi, bahkan orang muslim yang kaya raya semuanya merupakan bagian dari sistem penindasan dan ketidakadilan yang berlaku dimana-mana. Oleh karena itu, kelompok yang menikmati kekayaan dengan ketidakadilan

tersebut harus disingkirkan.12

"Ajaran" Misbach ini telah menggerakkan para anggota Sarekat Rakyat maupun anggota komunis lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan teroris kecil-kecilan di Surakarta pada bulan-bulan awal tahun 1923. Aksi-aksi tersebut bertujuan mengganggu jalannya pemerintahan dan ketenangan masyarakat seperti

12Ibid


(42)

commit to user

sabotase jalan kereta api, pelemparan bom terhadap mobil pejabat maupun keraton

dan pembakaran terhadap rumah orang kaya.13 Pemerintah kemudian bertindak

dengan menangkap Misbach beserta beberapa pengikutnya pada bulan Oktober 1923 dan kemudian dibuang ke Manokwari pada tahun 1924.

Hubungan antara pimpinan Misbach dalam politik pedesaan di Surakarta dengan permulaan dari gerakan komunis lebih jelas. George D. Larson dalam Disertasinya menjelaskan bahwa gerakan komunis di Surakarta timbul tidak lama sesudah Haji Misbach dikeluarkan dari penjara Pekalongan pada bulan Agustus 1922, dan tenggelam setelah pemberontakannya yang terkenal dalam bulan

November 1926 menemui kegagalan.14

Pengaruh yang kuat dari agitasi yang dilakukan oleh Misbach di daerah perkebunan menimbulkan kesadaran politik diantara petani, sehingga mereka matang untuk menerima ide-ide dari organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan kaum komunis dalam masa revolusi. Sesungguhnya selama zaman kolonial Belanda selalu ada keresahan yang bersifat laten di perkebunan-perkebunan tebu.15

Setelah kepergian Misbach, tekanan-tekanan pemerintah terhadap kekuatan radikal yang tergabung dalam PKI, Sarekat Rakyat, Moe'alimin dan beberapa organisasi berhaluan komunis lainnya semakin intensif. Pemerintah semakin giat melakukan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis-aktivis organisasi radikal ini. Tindakan penangkapan dan penekanan yang dilakukan pemerintah menyebabkan muncul aksi-aksi balasan yang bersifat kriminal.

13

Van der Marel, Memorie van Overgrave 1924, hal. 106-107

14

George D. Larson, 1979, Prelude to Revolution: Palace and Politics in Surakarta 1912-1942, Tesis dari Northern Illinois University, hal. 230.

15


(43)

commit to user

Tindakan kejahatan tersebut diorganisasikan oleh kekuatan radikal seperti PKI maupun Sarekat Rakyat baik di perkotaan maupun pedesaan untuk mengacaukan dan mengganggu keamanan. Beberapa tindak kejahatan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1926 dan 1927 yang merupakan aksi pemberontakan kaum komunis terhadap pemerintah. Pemberontakan ini tidak hanya berlangsung di Surakarta tetapi terjadi juga di Jawa Barat dan Sitiung Sumatra Barat.

2. Munculnya Insulinde di Surakarta

Munculnya Misbach sebagai mubaligh terkemuka dan kembalinya Tjipto sebagai anggota volksraad ternyata menjadi faktor utama bangkitnya Insulinde di Surakarta. Dalam konteks pergerakan-pergerakan di Surakarta, Insulinde adalah front persatuan kekuatan-kekuatan oposisi untuk melawan kekuasaan priyayi (kraton) yang mengendalikan Budi Utomo dan kekuasaan keagamaan serta pedagang batik Laweyan yang mengendalikan SI Surakarta.

Insulinde Surakarta merupakan front persatuan kaum pinggiran, yaitu orang-orang partikulir, muslim reformis, dan buruh-buruh, dalam hierarki sosial Surakarta. Dengan kehadiran Insulinde yang berhasil memobilisasi petani pedesaan Surakarta, keresahan petani di pedesaan menjadi meningkat. Mobilisasi petani itu memicu bangkitnya radikalisasi petani yang ternyata di luar kendali pemimpin Insulinde Surakarta. Gerakan komunis merupakan pertumbuhan langsung dari gerakan radikal ini dan mengadakan perlawanan terhadap kraton,

gubernemen dan perusahaan perkebunan.16 Insulinde Surakarta berhasil

mengubah dirinya menjadi perkumpulan bumiputra yang besar, sementara

16

Takashi Shiraishi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:


(44)

commit to user

pemimpin pusat Insulinde terutama di pusat pemerintahan dan komersial seperti Surabaya, Bandung, dan Batavia sebagian besar didominasi orang Indo.

Insulinde dengan ciri nasionalis Hindia-nya sampai pertengahan tahun 1918 masih didominasi golongan konservatif, Galestien sebagai ketuanya dan Soetadi sebagai sekretaris. Tampilnya kembali Tjipto sebagai pemimpin pergerakan mulai terasa saat itu. Oleh karena itu ia ditunjuk oleh Gubernur

Jenderal menjadi anggota Volksraad. Meskipun ia belum jadi anggota komite

sentral Insulinde, ia mulai hadir dalam pertemuan bestuur afdeling secara teratur

dan mulai menerbitkan organ Insulinde berbahasa Jawa, Panggoegah, tiga kali

sebulan.17

Kekuatan penentang SI Surakarta banyak bergabung dengan Insulinde

Surakarta sebelum vergadering umum pada April 1919. Keanggotaan ganda di SI

dan Insulinde pada masa itu bukan sesuatu yang aneh. Meskipun Insulinde adalah perkumpulan yang bekerja demi ”Hindia untuk orang Hindia” tanpa pandang ras dan agama, sedangkan SI adalah perkumpulan muslim Hindia. Perbedaan keduanya tidak ideologis. Kehadiran orang-orang Insulinde di tubuh SI membuktikan bahwa cita-cita Insulinde membangun Hindia merdeka juga ada di kalangan anggota SI.

Beberapa anggota SI bertahan untuk tidak bergabung dengan Insulinde karena Insulinde dianggap sebagai perkumpulan orang Indo. Hal ini tidak berlaku di Surakarta setelah Tjipto direhabilitasi dan mulai menerbitkan organ Insulinde

berbahasa Jawa, Panggoegah. Dalam organ tersebut, Tjipto dengan bahasa

sederhana membicarakan dan mempertajam berbagai isu mulai dari cepatnya

17


(45)

commit to user

perubahan dunia sampai ke isu-isu yang dibicarakan di Volksraad, seperti

kekurangan pangan akibat tertundanya impor beras dari Hindia Inggris (Birma), pengurangan penanaman gula tebu untuk meningkatkan produksi bahan pangan, dan pembentukan dewan kota praja dan dewan desa. Semua ini membuat Tjipto dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang

radikal, dan di mata mereka Insulinde Surakarta lekat dengan sosok Tjipto.18

C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang

1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan

Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial. Kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional. Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya.

Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng (BLB) yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada

yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya

kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan

18


(46)

commit to user

Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang sebenarnya berpusat di Surabaya di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama dari kalangan rakyat terpelajar.

Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri. Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando

Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.19

Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP) dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto, dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial. Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi.

Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai

manifestasi dari suatu urban revolution ( revolusi kota) ke rural revolution

19

Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran


(47)

commit to user

(revolusi desa). Para anggota kelaskaran di desa-desa terdiri dari pemuda, tokoh politik, pemimpin agama, dan lainnya. Organisasi kelaskaran ini misalnya Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar

Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.20

Laskar-laskar di pedesaan tersebut timbul secara spontan dan menentukan para pemimpinnya sendiri. Untuk menghadapi musuh para anggota laskar di

desa-desa itu menggunakan strategi perang “gerilya”. Secara umum mereka banyak

menggunakan persenjataan tradisional, misalnya keris, pedang, granggang, tombak, bandil, dsb. Hal ini berbeda dengan apa yang dimiliki oleh laskar-laskar di kota yang terutama berasal dari kesatuan-kesatuan eksponen militer yang telah banyak memegang senjata modern. Para anggota kelaskaran di desa-desa juga

diwarnai dengan penguasaan ngelmu tertentu dan berbagai jimat untuk

mempertebal kekuatan diri secara magis. Kekuatan magis ini dicari dan diperoleh dari cara berguru kepada para ahli magis atau dukun dan kyai. Beberapa macam jimat yang dipakai sebagai sarana kekuatan magis itu diantaranya bernama Tanjungsari, Kulbuntet, Bolandoh, Kalacakra, dll. Ini merupakan suatu refleksi tradisi Jawa yang masih berlanjut dalam masa Revolusi. Tradisi ini telah lama ada misalnya bersamaan dengan munculnya gerakan protes atau sosial yang sering diperkuat oleh unsur-unsur religio-magis itu, tujuannya untuk memperoleh kasekten, kawedungan, kadigdayan.

Di Surakarta terdapat beberapa sumber ngelmu dari para kyai atau dukun, dan yang terkenal waktu itu antara lain Kyai Juru Mertani, Kyai Mangun Hartono, Kyai Parakan, dan mbah Balak. Tampaknya bagi para pemuda dan pejuang secara

20 Ibid.


(48)

commit to user

umum mencari sandaran religio-magis dianggap penting selama revolusi kemerdekaan 1945-1950 itu dan memang secara psikologis hal ini cukup berpengaruh bagi timbulnya semangat percaya diri yang kuat untuk menghadapi musuh.

Selama revolusi juga terlihat peranan para pejuang yang bersifat heroik terutama para pemuda. Di masyarakat pedesaan khususnya banyak ditemukan

tokoh-tokoh pejuang yang dinamakan “jago” yang secara umum mereka memiliki

sifat arogan atau “bandit”. Mereka pandai pencak silat dan memiliki kekuatan

magis lainnya. Di beberapa daerah istilah “jago” ini sering berlainan, misalnya di

daerah Karesidenan Pekalongan disebut Lenggaong.21 Di daerah Surakarta para

“jago” tersebut juga penting artinya selama revolusi.

Selama pendudukan militerisme Jepang di Surakarta timbul gerakan protes bawah tanah atau ilegal. Gerakan ini menentang fasisme Jepang misalnya yang dilancarkan oleh anggota-anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Wonogiri yang menamakan diri IPTAS (Ikatan Prajurit Sejati). Gerakan ini di bawah pimpinan Sutarto, seorang anggota PETA, dan di masa revolusi sebagai pendiri Angkatan Muda Tentara (AMT) di Surakarta pada 20 Agustus 1945.

Bila dilihat dari kepemimpinannya, maka timbulnya gerakan protes atau sosial tidak lepas dari pengaruh orang-orang kharismatik yang berasal dari golongan sosial bangsawan, ulama, atau tokoh-tokoh yang memiliki kewibawaan/otoritas tradisional lainnya misalnya guru tarekat, dukun dsb.

Tendensi religio-magis yang diperoleh dari berbagai sumber ngelmu menjadi

penting dalam berbagai peristiwa gerakan, misalnya kadigdayan, kawedungan,

21

Anton E. Lucas, 1989, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, Jakarta: Grafiti Pers, hal. 143.


(49)

commit to user

kasekten dan daya magis lainnya. Unsur-unsur itu berpengaruh tidak saja bagi para pengikut gerakan sosial pada masa kolonial, namun juga dapat ditemukan pada masa revolusi kemerdekaan untuk digunakan menghadapi musuh.

Dengan demikian tradisi gerakan protes atau sosial yang telah ada sejak masa kolonial dan sering berakibat timbulnya pergolakan yang besar dalam masyarakat itu turut menjadi faktor penting dan berpengaruh bagi revolusi sosial di Surakarta. Meskipun pada masa revolusi terjadi proses transisi politik yang jelas, akan tetapi dasar-dasar kekuatan tradisional yang telah hidup pada masa lampau secara mapan dalam pola pemikiran masyarakat Surakarta tidak lenyap begitu saja. Justru pada masa terjadinya ”krisis” itu peranan daya religio-magis dan tradisi masa lampau ikut mendukung mengatasinya secara spontan. Terjadinya berbagai pergolakan sosial-politik di Surakarta juga tidak terlepas dari struktur gerakan tradisional yang telah ada sebelumnya. Pada masa revolusi sosial hal ini terimplementasi dalam gerakan revolusioner, pendaulatan, konflik-konflik dll.

2. Munculnya Hizbullah di Surakarta

Salah satu langkah politik yang dilakukan Pemerintah Militer Jepang untuk pemanfaatan sumber daya manusia adalah memobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam program semi militer maupun militer. Tujuan utamanya adalah sebagai tenaga cadangan kepentingan militer Jepang. Mobilisasi

rakyat terbentuk dalam barisan-barisan perjuangan antara lain Keibodan,

Seinendan, Fujinkai, dan Pembela Tanah Air (PETA). Pembentukan barisan perjuangan tersebut mendorong rakyat mempunyai sikap mental serta keberanian


(50)

commit to user

untuk menentang penjajah dan adanya pemahaman mengenai kemerdekaan. Sikap mental ini mengarah pada terbentuknya semangat nasionalisme baru di kalangan rakyat. Organisasi militer dan semi militer itu dijadikan sebagai wadah para pemuda dan rakyat untuk mengembangkan semangat keberanian menentang

pendudukan Jepang.22

Adanya pemberontakan PETA, Jepang merasa bahwa upayanya dalam menggalang kerjasama dengan kaum nasionalis tidak berhasil. Jepang kemudian banyak melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh umat Islam yang berpengaruh kuat dalam masyarakat. Hal ini dilakukan karena sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam dan mempunyai sikap kepatuhan yang besar terhadap pimpinan. Jepang kemudian menghidupkan kembali organisasi Islam MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia) yang sebelumnya telah ada. MIAI kemudian dirubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk mendapat simpati para tokoh

Islam.23

Jepang gencar mengadakan pendekatan terhadap tokoh-tokoh Islam dengan memberikan kesempatan kepada pemimpin Islam untuk memperluas peranannya agar meningkatkan posisi agama Islam. Hal ini dilakukan agar para pemimpin Islam di Indonesia dapat mempengaruhi pengikut-pengikutnya untuk mendukung dan bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang. Adanya pengaruh ini menyebabkan banyak pemuda Islam turut serta dalam barisan-barisan militer yang dibentuk Jepang.

Tanggal 14 September 1944 secara resmi didirikan badan perjuangan

22

Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan

hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 185-186. 23

Hasyim Latief, 1995, Laskar Hizbullah Berjuang Menegakkan Negara Republik Indonesia,


(51)

commit to user

Islam yang diberi nama Hizbullah. Jepang mengijinkan Hizbullah yang terdiri dari para pemuda Islam lingkungan pesantren maupun masyarakat umum. Unsur muslim dalam pergerakan nasional merupakan unsur yang secara politik dipercaya oleh Jepang dan dapat membantu Jepang karena merupakan kelompok anti Barat

dan anti kafir.24

Wilayah Surakarta dalam merespon pendirian Hizbullah pusat dilakukan dengan ikut mengirim perwakilan pemuda untuk mengikuti pelatihan militer di Cisarua, Jawa Barat. Pembentukan Hizbullah Surakarta kemudian dipimpin oleh Moh. Munawar yang mendapat respon dari pemuda di Surakarta. Para pemuda mendaftar sebagai anggota Hizbullah berasal dari Madrasah Mambaul Ulum, Tsanawiyah, Salawiyah, Kalliyat, Mualimin dan beberapa pondok pesantren

sekitar Surakarta dan masyarakat umum.25

Anggota Hizbullah Surakarta tersebut direkrut melalui propaganda oleh pelopor Hizbullah Surakarta. Solidaritas dan kebutuhan untuk mengelompok pada masa penjajahan menciptakan kondisi positif bagi berdirinya Hizbullah Surakarta sebagai salah satu badan perjuangan yang berjuang meraih kemerdekaan. Semangat berjihad dimanfaatkan untuk merekrut sebanyak mungkin anggota Hizbullah baik dari dalam kota Surakarta maupun dari wilayah sekitar. Persyaratan yang mudah semakin menguntungkan dalam masa pendirian Hizbullah di Surakarta.

Keikhlasan serta semangat mempertahankan negara dan agama menjadi dasar keikutsertaan para anggota. Semangat perjuangan laskar Hizbullah

Sabilillah muncul karena adanya semangat jihad fi sabilillah. Hal ini berarti

24

Tashadi, 1995, Hizbullah-Sabilillah Divisi Sunan Bonang dalam Revolusi Kemerdekaan, Lahir

dan Pertumbuhannya (Sejarah Lokal), Jakarta: Depdikbud, hal. 224-225. 25


(52)

commit to user

berperang membela kebenaran dengan cara memperkuat pertahanan militer dan

mengatur barisan militer sesuai dengan ajaran Islam.26

Pusat latihan Hizbullah yang sekaligus menjadi markas pertama adalah

gedung Sie Dian Hoo Purwosari, karena kurang strategis markas dipindahkan ke

Rumah Sakit Kustati Surakarta. Daerah ini dipilih karena mayoritas masyarakatnya beragama Islam, sudah ada masjid dan lapangan yang memadai untuk latihan. Hizbullah juga berkembang di beberapa daerah sekitar Surakarta. Selain militer, para anggota juga mendapat pendidikan agama Islam untuk

memperkuat iman dan semangat cinta tanah air.27

26

Ibid., hal. 231. 27

Moh.Munawar, 2004, Perjalanan Hizbullah Divisi Sunan Bonang, Surakarta:Yayasan Bhakti


(1)

commit to user

Purbayan sebagai tempat pelaksana rapat mereka. Tempat tersebut juga menjadi Markas Komando Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Surakarta dan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh revolusioner yang membuat banyaknya organisasi pergerakan politik berkumpul disana.30

Rapat pembentukan pengurus KNID Surakarta dihadiri 144 peserta dari seluruh Surakarta. Mereka adalah para politisi dan pejuang yang tergabung dalam barisan pejuang dan laskar-laskar rakyat di Surakarta. Beberapa diantara mereka pernah melakukan aksi revolusioner antara lain dengan menyerobot fasilitas publik di Surakarta seperti gedung-gedung pemerintahan dan industri gula. Latar belakang anggota KNID Surakarta yang berasal dari badan-badan kekuatan politik ini yang menjadi cikal bakal pergerakan politik yang dilakukan KNID Surakarta.

Aksi-aksi revolusioner ditunjukkan secara bersama-sama antara KNID Surakarta dengan para anggota Barisan Pelopor, Markas Delapan, dan Indonesia Muda. Mereka berhasil melakukan perebutan terhadap gedung-gedung pemerintahan sipil Jepang antara lain Kantor Jawatan Pos dan Telepon, Jawatan Perminyakan, Jawatan Percetakan, Jawatan Angkutan Bermotor, Jawatan Radio, Dinas Kepolisian, Dinas Rahasia dan Reserse, dan Dinas Penjara. Perebutan kantor-kantor tersebut pada akhirnya menjadi fasilitas publik pemerintah RI yang berada di bawah kewenangan KNID Surakarta.31

30

Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953, Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta 1945-1953, Surakarta: t.p., hal. 2-3.

31


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

Pada awal Januari 1946 Surakarta menjadi markas kelompok oposisi Persatuan Perjuangan (PP). Kehadiran PP disambut antusias para pemuda di Surakarta karena program meraka sangat menentang proses diplomasi yang dilakukan pemerintahan Syahrir dan lebih mempercayai revolusi atau pertempuran untuk menghadapi Belanda. KNID Surakarta sangat berperan dalam pelaksanaan kongres PP di Surakarta pada 4 Januari 1946. Pada kongres tersebut lahirlah Minimum Program yang dipelopori oleh Tan Malaka. Karena berperan aktif dalam Persatuan Perjuangan, KNID Surakarta yang tergabung dalam PP mendapat tempat terhormat yaitu dengan diangkatnya ketua KNID Surakarta, Suyono (mantan aktivis PKI 1926) sebagai Sekretaris Jenderal di struktur pengurus Persatuan Perjuangan.32

32

Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan


(3)

commit to user

90

PENUTUP

Simpulan

Pada tanggal 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP). Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat, tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.

Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan. Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan elite politik.

Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai.

Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsur-unsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di dalam kota Surakarta.

Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Di awal tahun 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.

Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah mengalami kekalahan. Tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan kekuasaannya di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala Pemerintah Surakarta. Pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi seluruh kekuasaan Jepang di Surakarta telah diserahkan kepada bangsa Indonesia.

Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat. Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera


(5)

commit to user menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh.

Sikap kurang tanggap terhadap situasi revolusi dan tidak mampu mengantisipasi secara tepat akhirnya membawa nasib aristokrasi di Surakarta menyimpang atau bahkan berbalikan dari apa yang diharapkan. Kelemahan terhadap semangat revolusi dari aristokrasi ini menimbulkan krisis kekuasaan di Surakarta pada awal kemerdekaan.

Krisis ini memberikan peluang besar bagi institusi-institusi baru yang berjiwa revolusi untuk menggantikannya. Pasifnya raja-raja Surakarta segera diimbangi aktifitas di kalangan pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan sosial. Akhirnya pemerintahan republik di Surakarta diperkuat dengan berdirinya KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta yang diprakarsai oleh seorang bangsawan kraton Kasunanan, yaitu Wuryaningrat pada awal bulan September 1945. Terbentuknya KNID Surakarta yang bertugas melucuti Jepang akhirnya mendapat keberhasilan secara gemilang. Adanya KNID Surakarta disambut baik oleh golongan-golongan pejuang kemerdekaan di Surakarta. Dengan demikian terjadinya krisis kekuasaan di Surakarta pada masa awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.

Di daerah Surakarta, peristiwa revolusi sosial terjadi karena keinginan partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan. Terlepas dari segala konflik istana, keberadaan KNID Surakarta pada akhirnya digunakan sebagai sarana semangat revolusi pemuda dalam mewujudkan impiannya tentang Negara yang berkedaulatan rakyat dan menjadi motor gerakan anti swapraja


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

dalam menentukan pemerintahan kerakyatan. KNID Surakarta ingin memberikan bukti bahwa kedudukan KNID Surakarta sebagai lembaga kekuasaan di Surakarta adalah resmi dengan adanya pengakuan kedudukan KNID Surakarta berkaitan dengan pengambilalihan kekuasaan.