Penculikan perdana menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946 SKRIPSI

Oleh: Masdar Hilmi

NIM: K4405026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946

Oleh : MASDAR HILMI NIM: K4405026

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Halaman Persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Sri Wahyuning S., M. Pd Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum NIP.195310241981032001 NIP. 196506271990031003

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : Rabu Tanggal : 11 November 2009

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Djono, M. Pd ........................ Sekretaris

: Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ....................... Anggota I

: Dra. Hj. Sri Wahyuning S, M. Pd ........................

Anggota II : Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum .......................

Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 196007271987021001

ABSTRAK

Masdar Hilmi. K4405026. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Oktober 2009.

Tujuan Penelitian ini untuk: (1) Memahami situasi yang menyebabkan terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (2) Mengetahui proses terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (3) Memahami dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer berupa surat kabar sementara sumber sekunder digunakan yaitu buku-buku, foto dan dan informan. Teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu studi pustaka dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dilakukan dengan empat tahap yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1). Pemerintahan Sjahrir yang dibentuk pada 14 November 1945 menimbulkan ketidakpuasan menyangkut susunan menteri yang kurang representatif dan program Pemerintah yang dianggap kurang menekankan perjuangan melawan Belanda. Tekanan terhadap Pemerintahan Sjahrir makin terasa sejak Persatuan Perjuangan (PP) terbentuk. Kuatnya tekanan terutama dari PP membuat Pemerintahan Sjahrir memilih mundur pada 26 Februari 1946. Presiden Sukarno lalu kembali menunjuk Sjahrir membentuk pemerintahan. Pemerintahan Sjahrir kedua yang diresmikan pada 13 Maret 1946 tidak meredakan ketidakpuasan yang ada. Ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Sjahrir memuncak saat usulan perundingan Indonesia dengan Belanda diketahui umum. (2). Kekecewaan terhadap Pemerintahan Sjahrir dilampiaskan dengan menculik Perdana Menteri Sjahrir. Penculikan Sjahrir dan rombongan di Surakarta pada 28 Juni 1946 dipimpin oleh Mayor A. K. Yusuf, dari Divisi III yang didukung Panglima Divisi III Jenderal Soedarsono dan dibantu pimpinan Divisi IV Kolonel Sutarto. Sjahrir dan rombongan yang diculik dibawa ke daerah Paras di Boyolali. (3). Penculikan Perdana Menteri Sjahrir membuat Presiden Sukarno menyatakan Indonesia dalam keadaaan darurat pada

28 Juni 1946. Kekuasaan Pemerintahan untuk sementara dikembalikan kepada Presiden pada 30 Juni 1946. Presiden Sukarno kemudian segera berpidato yang antara lain mencela penculikan Sjahrir dan meminta pembebasannya. Sjahrir dan rombongan yang diculik dibebaskan pada 1 Juli 1946. Para pelaku dan tokoh yang terkait dengan kelompok penculik baru ditangkap setelah terjadi Peristiwa 3 Juli 1946.

ABSTRACT

Masdar Hilmi. K4405026. The Prime Minister Sjahrir Kiddnap in Surakarta on 1946. Paper. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, October 2009.

The objectives of this research are (1) To learn the condition that causes the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (2) To know the process of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (3) To learn damages of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946.

This research use history methods. The research data sources is primary sources that consist by the newspapaer, and secondary sources that consist by the books, picture and informant. The data gathering in this research are library learning and interview. The technique of data analysis that used in this research is historical analysis, it give a priority to sharp the process of history data. The procedures of this reasearch was done with four steps, that is heuristic, criticism, interpretation, dan historiography.

Based on this research, it concluded that: (1). The Sjahrir Establishment had found on November 14th 1945 make disappointment about the cabinet person that less representative and the program that not focus about fight againts Dutch. The pressure to Sjahrir Establishment stronger since Persatuan Perjuangan (PP) has been found. The PP pressure has powerfull and make the Sjahrir Establishment resign on February 26th 1946. President Sukarno then appoint Sjahrir to form the establishment. The second cabinet of Sjahrir that found March 13th 1946 not down unsatisfied attitude. Finally, the disappoinment become top when the secret agreement Indonesia-Dutch opened to the public (2). Unsatisfied to the Sjahrir Establishment did by kiddnap the Prime Minister Sjahrir. This action lead by Major A. K. Yusuf from 3rd Divition and supprort by 3rd Divition Commander General Major Soedarsono and also helped by the leader 4th Divition Colonel Sutarto. Sjahrir and his friends take to Paras in Boyolali regency. (3). The Prime Mininte Sjahrir kiddnap make President Sukarno declare state on emergency. The authoroty power take again by Presiden Sukarno on June 30th 1946. Then President Sukarno speech and call down the Prime Minister Sjahrir kidnap and want his release. Sjahrir and his friend release on July 1st 1946. All the kiddnaper and the other close person arrested after July 3rd 1946 Affair.

MOTTO

Een leidersweg is een lijdensweg Leiden is lijden (Jalan Kepemimpinan Bukan Jalan Yang Mudah

Memimpin Adalah Jalan Yang Menderita)

(Kasman Singodimedjo)

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu

2. Kakak-Kakak dan Keponakanku

3. Kawan-kawan P. Sejarah UNS 2005

4. Mereka yang telah membantuku

5. Almamater

6. Semua orang yang mengenalku

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Dra. Hj. Sri Wahyuning. S, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi. Penulis memohon pula maaf apablila terdapat tindakan dan perkataan penulis yang kurang berkenaan.

Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, November 2009

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jepang menyerah terhadap Sekutu dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus tahun 1945. Jepang lalu diperintahkan Sekutu untuk mempertahankan status quo di Indonesia sebelum Sekutu mengambil alih kekuasaan. Menyerahnya Jepang membuat Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Kelompok pemuda di Jakarta yang mengetahui kekalahan Jepang merasa yakin bahwa telah tiba saat untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi kelompok pemuda menyadari bahwa peran Sukarno dan Hatta sebagai tokoh yang lebih tua dan lebih dikenal rakyat, penting untuk memproklamirkan kemerdekaan. Beberapa perwakilan kelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta untuk meminta keduanya memproklamirkan Indonesia. Kedua tokoh tersebut tidak langsung menerima permintaan kelompok pemuda. Sukarno dan Hatta ingin memastikan terlebih dahulu situasi yang sebenarnya dari Jepang dan menginginkan proses kemerdekaan melibatkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal itu sangat mengecewakan kelompok pemuda yang ingin segera meraih kemerdekaan namun tanpa campur tangan PPKI.

Kelompok pemuda yang putus asa terhadap sikap Sukarno dan Hatta lalu memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok.

Sukarno dan Hatta tetap didesak kelompok pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta awalnya tetap tidak mau menuruti

kemauan pemuda. Akan tetapi setelah mendapat jaminan dari Jepang (Laksamana Maeda) dan pengertian dari kelompok pemuda maka Sukarno, Hatta dan pemuda

segera kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta Sukarno, Hatta dan kelompok pemuda bersama para anggota PPKI langsung berkumpul membahas persiapan proklamasi. Pertikaian tetap berlanjut antara kelompok pemuda dengan para tokoh tua termasuk Sukarno dan Hatta.

Setelah melewati pembahasan yang menegangkan, Proklamasi Indonesia dilaksanakan pada 17 Agustus 1945. Sehari setelah Proklamasi pemerintahan Indonesia mulai dibentuk. PPKI yang telah disesuaikan, memilih Sukarno sebagai Presiden, Hatta sebagai Wakil Presiden dan mengesahkan konstitusi Indonesia.

Dalam perkembangannya PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan tugas sebagai penasehat presiden dan kabinet. Akhir bulan Agustus 1945 kabinet Indonesia berhasil dibentuk. Semua posisi dalam pemerintahan diisi oleh orang-orang yang bekerja dalam instansi Jepang untuk menjamin pengalihan kekuasaan sipil dari Jepang ke Indonesia. (Ricklefs, 1989: 319). Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan pemerintahan daerah dilakukan bersamaan dengan pembagian provinsi Indonesia (Kahin, 1995: 177). Militer Jepang di Indonesia umummnya membiarkan euforia proklamasi Indonesia berlangsung sambil menantikan kedatangan Sekutu.

Kabinet Sukarno yang terbentuk mendapat tantangan dari luar kabinet. Kabinet dikritik kelompok pemuda yang anti Jepang setelah melihat para menteri terlalu berbau Jepang. Kekecewaan terhadap kabinet bertambah setelah kabinet mengambil sikap lunak yang cenderung terhadap Jepang. Kegelisahan Kabinet Sukarno bertambah dengan menjelang waktu kedatangan Sekutu ke Indonesia. Pihak Sekutu belum memiliki sikap jelas terhadap Indonesia. Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia sebelum Jepang dan anggota Sekutu justru mengambil sikap bermusuhan dengan Kabinet Sukarno dan ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.

Sikap lebih aktif diperlihatkan para pemuda di berbagai daerah (Anderson, 1988: 140). Berbagai aksi menyambut proklamasi dilakukan terutama oleh kelompok pemuda di Jawa dan Sumatera yang berhasil mengambil alih tempat-tempat penting dan berbagai persenjataan Jepang. Proses pengambilalihan senjata ada yang berjalan damai namun tak jarang terjadi pertempuran. Situasi mulai memanas saat Sekutu yang diwakili Inggris tiba di Indonesia pada akhir September 1945. Sikap Kabinet Sukarno yang mempersilakan Inggris melaksanakan tugasnya menimbulkan kekecewaan banyak pihak. Terlebih kedatangan Inggris ternyata disertai oleh Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Hal tersebut makin memacu sikap keras khususnya para pemuda. Berbagai insiden dan pertempuran muncul antara rakyat dengan Inggris dan Belanda di berbagai daerah. Jepang yang harus mematuhi perintah

Sekutu turut pula memanaskan suasana yang ada. Kabinet Sukarno mulai tidak sepenuhnya mampu menguasai situasi yang berkembang.

Kabinet Sukarno pun menghadapi tekanan dalam bidang politik. Sejumlah anggota KNIP merasa peran KNIP tidak jelas dalam pemerintahan. Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara tunggal pun dianggap akan tumpang tindih dengan fungsi KNIP. PNI sebagai partai negara negara yang tunggal dianggap pula dapat menimbulkan bahaya politik. Kekhawatiran lain menyangkut sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sistem presidensial dengan kekuasaan besar di tangan presiden tanpa adanya lembaga legislatif dapat menimbulkan bahaya kediktatoran dari presiden. Apalagi situasi Indonesia yang belum kondusif.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, dilakukan sejumlah perubahan politik. KNIP diberikan fungsi legislatif. Untuk mengefektikan fungsi KNIP, dibentuklah Badan Pekerja (BP) KNIP. Disamping itu sistem multi partai diputuskan untuk diterapkan di Indonesia. Pembentukan PNI sebagai partai negara dibatalkan dan sebagai gantinya berdirilah berbagai organisasi partai politik, organisasi pemuda, badan perjuangan dan organisasi lainnya. Sistem presidensial juga diubah menjadi sistem parlementer. Sutan Sjahrir kemudian ditunjuk memimpin pemerintahan parlementer (Kahin, 1995: 190). Citra dan kemampuan Sjahrir dianggap paling tepat memimpin pemerintahan Indonesia. Sjahrir telah dikenal sebagai tokoh Pergerakan Nasional dan cukup dikenal kalangan kelompok pemuda.

Setelah terbentuk, Kabinet Sjahrir justru mendapat kecaman keras. Susunan menteri dan juga BP-KNIP dianggap sangat tidak repersentatif (Kahin, 1995: 214). Perwakilan Islam dan nasionalis sangat kurang sementara perwakilan Kristen dianggap berlebihan dalam kabinet. Unsur kelompok pemuda malah hampir tidak ada dalam kabinet. Posisi-posisi kunci kabinet dipegang Sjahrir sendiri dan rekannya, Amir Sjarifuddin. Kolega-kolega dekat Sjahrir dan Amir mengisi hampir semua jabatan menteri. Kabinet pun dianggap terlalu Dutch Minded karena kebanyakan menteri lulusan pendidikan

Belanda. Kekecewaan makin besar setelah program Kabinet Sjahrir diumumkan (Anderson, 1988: 226).

Ketegangan masih berlangsung meskipun pemerintahan telah berganti. Pertempuran dan insiden dengan Sekutu tetap terjadi. Ibukota Jakarta bahkan harus dipindahkan ke Yogyakarta karena gawatnya situasi. Bersamaan dengan itu mundurnya ketertiban sosial mulai berlangsung. Aksi penculikan dan penyerobotan sering terjadi pada masa Revolusi. Unsur-unsur penguasa lama di beberapa daerah yang dianggap menyengsarakan rakyat atau tidak jelas dukungannya terhadap proklamasi mulai disingkirkan. Peristiwa Rengasdengklok telah menjadi model para pemuda di daerah untuk menekan kaum tua agar tidak hanya mengandalkan kompromi belaka dan lebih tegas bertindak. Akan tetapi banyak tindakan “revolusioner” yang ada sulit dibedakan dengan aksi kriminal biasa. Pemerintah tetap kesulitan mengatasi situasi. Di daerah, laskar atau kelompok yang memiliki senjata terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah. Selanjutnya alat-alat negara di daerah makin tidak menghiraukan pemerintah pusat. Saling tangkap atau serobot antara pemerintah dengan laskar malah kerap terjadi (Ricklefs, 1989: 328; Nasution, 1992: 4).

Keberadaan berbagai partai politik, badan perjuangan, laskar dan pihak tentara makin menyulitkan posisi Sjahrir. Banyak dari partai politik, badan perjuangan, laskar dan pihak tentara yang menentang berbagai kebijakan Pemerintahan Sjahrir. Serangan Sjahrir terhadap hal-hal berbau Jepang juga meningkatkan kebencian terhadap Kabinetnya. Banyak kalangan politisi, pemuda dan militer yang marah karena merasa menjadi sasaran propaganda Sjahrir. Kabinet Sjahrir mendapat tekanan-tekanan kuat dari para penentangnya dalam KNIP maupun agitasi-agitasi langsung di lapangan. Para penentang Kabinet Sjahrir segera mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah. Upaya oposisi terhadap Sjahrir mendapatkan hasil ketika Kabinet Keberadaan berbagai partai politik, badan perjuangan, laskar dan pihak tentara makin menyulitkan posisi Sjahrir. Banyak dari partai politik, badan perjuangan, laskar dan pihak tentara yang menentang berbagai kebijakan Pemerintahan Sjahrir. Serangan Sjahrir terhadap hal-hal berbau Jepang juga meningkatkan kebencian terhadap Kabinetnya. Banyak kalangan politisi, pemuda dan militer yang marah karena merasa menjadi sasaran propaganda Sjahrir. Kabinet Sjahrir mendapat tekanan-tekanan kuat dari para penentangnya dalam KNIP maupun agitasi-agitasi langsung di lapangan. Para penentang Kabinet Sjahrir segera mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah. Upaya oposisi terhadap Sjahrir mendapatkan hasil ketika Kabinet

Sjahrir kembali ditunjuk memimpin pemerintahan. Kabinet Sjahrir II kali ini mendapat dukungan penting dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta. Meskipun demikian, ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir II tetap besar meski telah melakukan sejumlah perubahan. Berbagai kelompok di luar pemerintah tetap keras menentang Pemerintahan Sjahrir. Pemerintah dan oposisi sama-sama mempertahankan sikap yang dipegang. Situasi tidak mereda karena pemerintah dan penentangnya saling melakukan berbagai manuver untuk melemahkan satu sama lain.

Tingginya tensi politik nasional turut memengaruhi wilayah Surakarta. Situasi politik Surakarta telah panas sejak awal Proklamasi. Pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta telah menyatakan mendukung proklamasi dan pemerintahan. Kedua kerajaan mendapat hak istimewa untuk tetap memerintah dibawah Republik. Gerakan Anti Swapraja kemudian muncul menentang Pemerintahan dari Kasunanan dan Mangkunegaran yang dianggap sebagai lambang feodal. Perpindahan Ibukota Indonesia dari makin meningkatkan suhu politik Surakarta. Banyak orang dari Jakarta yang berada di Surakarta setelah perpindahan tersebut. Surakarta segera berkembang menjadi daerah oposisi yang kuat Kabinet Sjahrir. Gerakan Anti Swapraja sedikit banyak termasuk bagian dari kelompok penentang Kabinet Sjahrir.

Situasi nasional Indonesia terus memanas. Pemerintah dan kelompok penentangnya sama-sama tidak mau mengalah. Ketegangan kondisi di Indonesia akhirnya mencapai puncak saat Perdana Menteri Sjahrir tiba-tiba menghilang ketika singgah di Surakarta. Menghilangnya Sjahrir pada 27 Juni 1946 menimbulkan dampak besar terhadap perkembangan situasi Indonesia berikutnya.

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam skripsi berjudul “PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

2. Bagaimana proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari terjadinya penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitan ini yaitu:

1. Untuk memahami situasi yang menyebabkan terjadinya penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

2. Untuk mengetahui proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

3. Untuk memahami dampak yang ditimbulkan atas penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian dilihat dari besarnya manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian tersebut. Berdasarkan hal itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis bermanfaat:

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca tentang penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Dapat memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kebijakan Pemerintah

a. Konsep Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah sering pula disebut dengan istilah kebijakan

publik atau kebijakan umum. Kebijakan sendiri memiliki beragam pemahaman yang berbeda. Bambang Sunggono (1994: 11) mengutip beberapa pendapat mengenai konsep kebijakan, yaitu:

1). Kleijn menguraikan kebijakan sebagai tindakan sadar dan sistematis, dengan memakai sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dilakukan secara bertahap;

2). Carl J. Fredrick menerangkan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu;

3). James E. Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai rentetan tindakan yang memiliki tujuan tertentu dan diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku untuk memecahkan persoalan tertentu.

Menurut Miriam Budiarjo (2008: 20), kebijakan merupakan kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk melaksananakan kebijakan.

Thomas Dye yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 25) mengatakan bahwa kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik apabila tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Menurut Hoogerwerf dalam Bambang Sunggono (1994: 24), suatu kebijakan akan dianggap sebagai kebijakan publik jika:

1). Kebijakan

berkaitan langsung atau tidak langsung dengan semua anggota masyarakat di daerah kekuasaan tertentu;

publik

2). Kebijakan publik mengikat semua anggota masyarakat. Kesimpulannya, kebijakan pemerintah merupakan keputusan yang

diambil pemerintah mengenai suatu permasalahan tertentu dengan serangkaian diambil pemerintah mengenai suatu permasalahan tertentu dengan serangkaian

b. Tujuan Kebijakan Pemerintah Menurut Hoogerwerf yang dikutip oleh Bambang Sunggono (1994: 12) mengungkapkan tujuan-tujuan penting kebijakan yaitu:

1). Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator); 2). Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal

(negara sebagai stimulator); 3). Memadukan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator); 4). Menunjuk dan membagi benda material dan non material (negara

sebagai distributor). Sementara Robert H. Simmons dalam Ibnu Syamsi (1986: 54)

menyatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintahan yaitu:

1). Meningkatkan pemuasan kepentingan umum; 2). Menetapkan proses administrasi yang tepat; 3). Menghindari konflik sosial yang destruktif.

c. Faktor Yang Memengaruhi Kebijakan Pemerintah Kebijakan publik dibuat sebagai solusi dari masalah publik yang

muncul dan berkembang dalam masyarakat (Joko Widodo, 2007: 50). Namun tak semua masalah bisa menjadi kebijakan (M. Irfan Islamy, 2004: 77).

Charles F. Andrain (1992: 16) mengemukakan bahwa dalam suatu sistem politik, keyakinan, struktur masyarakat, motif, persepsi dan sikap individual semuanya berinteraksi untuk memengaruhi pilihan atau kebijakan negara.

Menurut Nigro dan Nigro dalam M. Irfan Islamy (2004: 25), pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh: 1). Tekanan dari luar dimana pembuatan keputusan tidak bisa lepas dari pengaruh dunia nyata; 2). Kebiasaan lama yang dipandang masih memuaskan untuk diteruskan atau karena kengganan admininstrator untuk mengkritik kebiasaan lama yang ada;

3). Sifat pribadi dari pihak pembuat keputusan; 4). Kelompok dari luar dalam hal ini lingkungan sosial dimana peran

dari pihak lain diperlukan dalam pembuatan keputusan; 5). Pengaruh keadaaan masa lalu. Ramlan Surbakti (1992: 191) menjelaskan bahwa jumlah yang terlibat,

aturan pembuatan dan informasi yang cukup harus dipertimbangkan saat membuat keputusan. Randall B. Ripley dalam Ramlan Surbakti (1992: 194) menyatakan proses kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan (lingkungan dalam dan luar pemerintah serta lingkungan khusus kebijakan tertentu), persepsi pembuat kebijakan tentang lingkungan, aktivitas pemerintah dalam menghasilkan rumusan keputusan dan aktivitas masyarakat tentang kebijakan.

Nilai-nilai seperti nilai politik, nilai organisasi, nilai pribadi, nilai kebijakan dan nilai ideologi turut melandasi tindakan dari pihak pembuat keputusan dalam mengambil keputusan (Anderson dalam Irfan Islamy, 2004: 27).

M. Irfan Islamy (2004: 121) mengemukakan bahwa nilai itu berasal dari pola keyakinan dan aspirasi masyarakat untuk mempertahankan dan menyejahterakan kehidupan fisik dan mentalnya. Nilai-nilai tersebut turut pula menentukan penggunaan sumber-sumber (manusia, energi, uang, alam dan lain- lain) dalam suatu sistem sosial (M. Irfan Islamy, 2004: 121).

Peter Brigman dan Glyn Davis dalam Kristian Widya Wicaksono (2006:

65) menyatakan bahwa kebijakan publik memiliki beberapa karakteristik yaitu:

1). Memiliki tujuan untuk dicapai atau tujuan yang dipahami; 2). Melibatkan keputusan beserta konsekuensinya; 3). Hakekatnya adalah politis;

4). Bersifat dinamis. Brigman dan Davis meneruskan bahwa kebijakan publik bisa dilihat dari

3 dimensi (Kristian Widya Wicaksono, 2006: 65), yaitu: 1). As Authoritative Choice, yaitu kebijakan bisa dilihat sebagai tanggapan pembuat keputusan terhadap isu atau problem publik; 2). As Hypothesis, yaitu kebijakan dibangun dalam sebuah kerangka model teori sebab dan akibat; 3). As Objective, yaitu kebijakan publik merupakan pencapaian tujuan. Menurut Amara Rakasasataya dalam M. Irfan Islamy (2004: 20),

kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga macam elemen yaitu:

1). Identifikasi tujuan yang ingin dicapai; 2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan

yang diinginkan; 3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu

kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.

Sjahrir berkeinginan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa (Roesdy Husein dalam sudarjanto.multiply.com).

Pemerintahan Sjahrir telah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti penarikan semua kekuatan bersenjata Indonesia dari Jakarta, pengangkutan tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoner of War and Internees), bantuan Pemerintahan Sjahrir telah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti penarikan semua kekuatan bersenjata Indonesia dari Jakarta, pengangkutan tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoner of War and Internees), bantuan

d. Perumusan Kebijakan Pemerintah M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu

kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.

Pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas dari permasalahan kebijakan dengan benar dalam merumuskan suatu kebijakan. Kekeliruan menentukan permasalahan kebijakan akan membuat salahnya perumusan permasalahan kebijakan sendiri. Kekeliruan tersebut akan berdampak panjang dalam proses selanjutnya (Bambang Sunggono 1994: 50).

Langkah berikutnya ialah memasukkan permasalahan dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah harus menggambarkan permasalahan atau isu dimana para pembuat keputusan harus memiliki perhatian khusus terhadapnya.

Menurut Cobb dan Elder dalam Charles O. Jones (Joko Widodo, 2007: 56), prasyarat permasalahan masuk ke agenda pemerintah yaitu:

1). Permasalahan kebijakan mendapat perhatian luas dari masyarakat; 2). Adanya persepsi dan pendapat publik yang luas bahwa diperlukan

beberapa tindakan untuk mengatasi permasalahan kebijakan; 3). Persepsi yang sama dari masyarakat bahwa permasalahan kebijakan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sementara Anderson dalam Irfan Islamy (2004: 86) menyebutkan bahwa adanya ancaman keseimbangan antar kelompok, kepemimpinan politik, krisis besar, gerakan protes dan isu umum yang masuk ke pers turut memengaruhi problema umum masuk menjadi agenda pemerintah

Setelah agenda pemerintah dibuat, dipilihlah salah satu alternatif pemecahan yang akan diajukan menjadi usulan kebijakan. Usulan kebijakan biasanya diajukan oleh lembaga eksekutif kepada badan legislatif atau pihak yang berwenang. Usulan tersebut oleh badan legistaltif bisa diterima, ditolak atau diterima dengan catatan. Apabila usulan kebijakan disahkan maka kebijakan publik perlu diberi bentuk hukum dengan berbagai bentuk perundang-undangan yang ada. Pemberian bentuk hukum akan memberikan legitimasi bagi kebijakan. Berikutnya kebijakan dapat dipaksakan berlaku dan pelaksanaannya bersifat mengikat bagi yang menjadi sasaran kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 53).

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Bambang Sunggono (1994: 53), tahap-tahap pembentukan kebijakan publik yaitu: 1). Policy germination, yaitu penyusunan konsep pertama dari suatu kebijakan; 2). Policy recomendation, yaitu rekomendasi mengenai suatu kebijakan; 3). Policy analysis, yaitu analisa kebijakan dimana berbagai informasi

dan penelaahan dilakukan terhadap adanya suatu rekomendasi suatu kebijakan, yang biasanya juga mempertimbangkan berbagai alternatif implikasi pelaksanaanya;

4). Policy formulation, yaitu perumusan kebijakan; 5). Policy decision atau policy approval, yaitu pengambilan keputusan

formal terhadap suatu kebijakan, yang umumnya hal ini kemudian disahkan dalam bentuk perundang-undangan;

6). Policy implementation, yaitu pelaksanaan kebijakan; 7). Policy evaluation, yaitu penilaian pelaksanaan kebijakan.

e. Kendala Pelaksanaan Kebijakan

Kerap kali dalam pelaksanaan kebijakan cenderung akan bermasalah. Beberapa tipe kebijakan menurut Budi Winarno (2002: 158) yang berpotensi menimbulkan masalah ialah kebijakan yang sama sekali baru, kebijakan yang didesentralisasikan, kebijakan yang kontroversial, kebijakan yang kompleks, kebijakan yang terkait dengan krisis dan kebijakan yang ditetapkan pengadilan.

Pelaksanaan kebijakan umumnya dilakukan oleh lembaga pemerintah di berbagai tingkat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan, perlu diperhatikan peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang bertindak sebagai wakil dari obyek kebijakan. Kegiatan dari kelompok-kelompok kepentingan yang ditujukan untuk menghambat atau mempercepat pelaksanaan kebijakan menjadi bagian dari proses pelaksanaan itu sendiri. Disamping itu, perlu diperhatikan pula suara dari pers dan keputusan keputusan dari pengadilan yang bisa saja terkait dengan pelaksanaan kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139).

Menurut James E. Anderson dalam Budi Winarno (2002: 179) melesetnya dampak kebijakan pemerintahan dari yang diinginkan semula dikarenakan beberapa hal, yaitu:

1). Sumber-sumber yang tidak memadai; 2). Cara melaksanakan kebijakan yang tidak pas; 3). Banyaknya faktor yang memengaruhi suatu kebijakan; 4). Cara orang menanggapi suatu kebijakan, yang berbeda dengan apa

yang diperkirakan sebelumnya; 5). Tujuan-tujuan kebijakan yang tidak sebanding atau malahan bertentangan satu sama lain; 6). Biaya yang diperuntukkan menyelesaikan masalah justru lebih besar dari masalah itu sendiri; 7). Terlalu banyak masalah publik yang sulit diselesaikan;

8). Sifat masalah yang akan dipecahkan oleh tindakan kebijakan. Anderson yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 139) menjelaskan

anggota masyarakat dapat menerima suatu kebijakan karena: 1). Respek terhadap otoritas dan keputusan badan-badan pemerintah; 2). Kesadaran menerima kebijakan; 3). Keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah dan dibuat para

pembuat kebijakan lewat mekanisme yang telah ditetapkan; 4). Anggapan bahwa kebijakan sesuai dengan kepentingannya; 5). Sanksi yang akan diterapkan apabila tidak melaksanakan kebijakan; 6). Penyesuaian waktu terutama untuk kebijakan yang kontroversial

yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam pelaksanaannya.

Anderson menambahkan bahwa anggota masyarakat bisa saja menolak suatu kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139) karena: 1). Konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat kebijakan yang kurang mengikat; 2). Bertentangan dengan pemikiran atau gagasan kelompok tempat anggota masyarakat bergabung; 3). Keinginan mencari keuntungan dengan cepat yang membuat orang cenderung bertindak melawan hukum; 4). Ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang bisa saja saling bertentangan satu sama lain; 5). Pertentangan tajam antara kebijakan dengan sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Perbedaan pandangan antara Pemerintah Sjahrir dengan kelompok diluar pemerintah cukup lebar. Pemerintah berkepentingan mengambil berbagai kebijakan yang moderat terhadap Belanda. Pandangan sebaliknya yang banyak dipegang kelompok luar Pemerintah adalah justru tidak perlu melakukan kompromi dengan Belanda (Reid, 1996: 149).

Misalnya upaya pemerintah melakukan pembicaraan dengan Sekutu karena merasa lebih realistis menghadapi Belanda dan Sekutunya mengingat Misalnya upaya pemerintah melakukan pembicaraan dengan Sekutu karena merasa lebih realistis menghadapi Belanda dan Sekutunya mengingat

Kelompok pemuda terutama yang menentang kebijakan perundingan. Pertempuran di Surabaya dan Jawa Tengah membuat mereka yakin akan perjuangan kemerdekaan 100%. Para pemimpin yang juga berkaca dari pertempuran tersebut justru menganggap diplomasi menjadi jalan terbaik mempertahankan kemerdekaan (de Jong dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 64).

2. Polarisasi Politik

a. Konsep Polarisasi Politik Polarisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 339) yaitu

pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Jadi polarisasi politik merupakan pembagian kelompok yang memiliki pandangan politik menjadi dua bagian yang berbeda satu sama lain.

James E. Anderson dalam Bambang Sunggono (1994: 139) menyatakan anggota masyarakat bisa saja menolak kebijakan mengingat beberapa hal seperti konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat kebijakan yang kurang mengikat, kebijakan yang bertentangan dengan pemikiran atau gagasan kelompok tempat anggota masyarakat bergabung, keinginan mencari keuntungan dengan cepat yang membuat orang cenderung bertindak melawan hukum, ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang bisa saja saling bertentangan satu sama lain dan pertentangan tajam antara kebijakan dengan sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

Ramlan Surbakti (1992: 158) mengatakan dalam proses pembuatan keputusan, hampir akan terjadi konflik, konsesnsus dan perubahan. Didalam proses politik selalu terjadi konflik diantara pihak-pihak yang berusaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Dalam proses politik pula kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan akan memiliki aspirasi yang berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain.

Dalam bidang politik, persaingan kelompok diwujudkan dalam sikap kelompok yang tidak menyampaikan kepada yang lainnya tujuan masing-masing kelompok. Bahkan mereka mengharapkan agar lawan menjadi lengah. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari belum tentu merasakan adanya persaingan yang ada. Masyarakat baru menyadari jika persaingan berubah menjadi pertentangan (Astrid S. Soesanto, 1983: 108).

Peluang kontraversi yang berakibat terjadinya polarisasi selalu ada dimana-mana. Hendropuspito (1989: 246) menyatakan hal itu wajar karena pendapat orang tidak selalu sama dengan orang yang lain. Keuntungan yang diperoleh satu pihak belum tentu menyenangkan pihak lainnya. Kontravensi sebagi fakta sosial selalu berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang bersifat negatif, seperti rasa antipati, iri hati, praduga, rasa kahawatir akan terdesak oleh piohak lain, frustasi dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut muncul hampir selalu berkaitan dengan maslah pernbedaan ras, suku, agama atau keperceyaan, ideologi dan politik, perbedaan status, perbedaan nasib dan perbedaan dalam sosial dan ekonomi.

Hendropuspito (1989: 246) melanjutkan bahwa pelaku kontravensi mudah ditemukan. Baik secara terang-terangan atau tersembunyi, terjadi kontravensi antara golongan agama yang satu melawan golongan agama dengan yang lain, golongan kaya dengan golongan miskin, golongan terdidik dengan golongan yang tidak terdidik dan kelas yang berkuasa dengan kelas yang tidak berkuasa. Kontravensi dapat pula terjadi antara partai politik yang satu dengan partai politik yang lain dan negara yang satu dengan negara lainnya.

b. Kelompok Polarisasi Politik Sering kali dalam masyarakat terdapat kelompok yang tidak

menyesuaikan diri dengan kaidah yang berlaku. Kelompok-kelompok tersebut memiliki motivasi yang berbeda namun motivasi mereka dikarenakan dua hal (Hendropuspito, 1989: 312), yaitu

1) Kelompok yang tidak puas dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kelompok ini dibedakan dua yaitu golongan ekstrim (non konformis) dan golongan moderat.

a). Golongan ekstrim dibedakan dua, yaitu ektrim kanan (melakukan penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada dianggap tidak menjamin tercapainya nilai sprirtual keagamaan yang mereka inginkan) dan ekstrim kiri (melakukan penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada dianggap tidak menjamin tercapainya nilai materiil yang memuaskan);

b). Sementara golongan moderat tidak setuju dengan pelaksanaan pola dasar di masyarakat namun tidak menentang pola dasarnya sendiri.

2) Kelompok yang tidak bisa mengikuti aturan permainan yang ada, seperti:

a). Kelompok penderita cacat mental; b). Kelompok pemderita cacat fisik; c). Kelompok pengemis pelacur dan gelandangan; dan d). Kelompok kriminil.

Ralf Dahrendorf yang dikutip Veeger (1990: 217) mengungkapkan jika ada sekelompok orang yang memilki kepentingan bersama namun mereka belum berorganisasi, mereka disebut “kelompok konflik potensial”. Ginsberg (Veeger, 1990: 217) menyebut mereka sebagai field for groups (ladang-ladang darimana kelompok-kelompok dapat dikerahkan). Selama mereka tidak berinteraksi mengenai tujuan bersama maka belum akan lahir solidaritas dan perasaan bersatu.

Dahrendorf menambahkan jika sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama berkumpul dalam satu wadah, kepentingan mereka Dahrendorf menambahkan jika sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama berkumpul dalam satu wadah, kepentingan mereka

Dahrendorf lalu menyatakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah kelompok kepentingan potensial menjadi aktual (Veeger, 1990: 218), yaitu:

1). Kondisi struktural, yaitu adanya nilai atau program bersama, organisasi yang terarah dan pemikir dalam organisasi; 2). Kondisi politik dalam suatu negara, entah menguntungkan atau merugikan kelompok kepentingan itu sendiri; 3). Kondisi sosial yaitu adanya pertemuan dan interaksi anggota kelompok. Penghayatan dari tujuan utama kelompok yang murni ditemukan jika terdapat kesediaan pengorbanan, yang seimbang dengan perwujudan tujuan kelompok tersebut dan apabila partisipasi masyarakat ditingkatkan. Suatu kelompok baru mencapai fase idealnya jika perbedaan yang ada mengalami pengintegrasian. Pembentukan kelompok dipengaruhi keyakinan bersama perlunya pengelompokan dan tujuan, harapan yang dihayati kelompok dan ideologi yang mengikat semua anggota kelompok (Astrid S. Soesanto, 1983: 112 dan 39).

Dalam polarisasi politik biasanya terjadi persaingan antar kelompok untuk meraih tujuan yang hendak dicapai masing-masing kelompok Sudijono Sastroatmodjo (1995: 111) menyatakan biasanya dalam masyarakat memiliki infra struktur politik yaitu komplek hal-hal yang berkenaan dengan pengelompokan warga negara dan anggota masyarakat kedalam berbagai macam golongan yang biasaya dikenal dengan kekuatan sosial politik dalam mayarakat. Kehidupan politik masyarakat dalam infra struktur politik turut memengaruhi jalannya Dalam polarisasi politik biasanya terjadi persaingan antar kelompok untuk meraih tujuan yang hendak dicapai masing-masing kelompok Sudijono Sastroatmodjo (1995: 111) menyatakan biasanya dalam masyarakat memiliki infra struktur politik yaitu komplek hal-hal yang berkenaan dengan pengelompokan warga negara dan anggota masyarakat kedalam berbagai macam golongan yang biasaya dikenal dengan kekuatan sosial politik dalam mayarakat. Kehidupan politik masyarakat dalam infra struktur politik turut memengaruhi jalannya

Secara umum infra struktur politik (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 111), terdiri dari:

1) Partai Politik;

2) Kelompok Penekan;

3) Kelompok Kepentingan;

4) Media Komunikasi Politik; dan

5) Tokoh Politik. Komponen-komponen infra struktur politik tersebut dalam jalannya

sistem memiliki fungsi masukan. Fungsi masukan tersebut memberikan bahan masukan atau informasi yang harus diproses oleh sistem tersebut serta tenaga yang yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup sistem tersebut. Fungsi masukan meliputi dua unsur, yaitu tuntutan dan dukungan.

Yang dimaksud dengan tuntutan yaitu keinginan atau aspirasi dari masyarakat yang terorganisasi dalam berbagai bentuk partai-partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan. Unsur dukungan merupakan pandangan- pandangan maupun tindakan-tindakan yang memberikan “support” untuk berjalannya sistem. Tanpa dukungan, tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat tidak dapat terpenuhi dan konflik-konflik yang ada dalam sistem politik tidak dapat terselesaikan. Agar tuntutan yang diajukan dalam sistem politik mendapat tanggapan yang baik maka anggota-anggota yang memperjuangkan tuntutan menjadi keputusan yang mengikat. Bagi mereka yang ingin memengaruhi proses politik maka mereka harus mampu memperoleh dukungan dari pihak lain dalam sistem tersebut (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 134).

c. Jalannya Polarisasi Politik Persaingan bisa memiliki fungsi yang positif seperti mendorong terciptanya kemajuan yang lebih tinggi, adanya fokus untuk mencapai hasil yang lebih baik dari hasil yang telah diperoleh sekarang dan memacu orang untuk menciptakan hal-hal baru yang menungguli orang lain. Namun persaingan dapat pula memicu pihak yang lemah menjadi tertutup kesempatan hidup dan apabila tidak dapat dikontrol dapat menimbulkan bentrokan dalam masyarakat (Hendropuspito, 1989: 241).

Bila dalam masyarakat terdapat gejolak diantara berbagai pihak, dengan segala motivasi yang mendorongnya maka masing-masing pihak akan berusaha merumuskan dan mengajukan kepada pemerintah selaku pembuat dan pelaksana Bila dalam masyarakat terdapat gejolak diantara berbagai pihak, dengan segala motivasi yang mendorongnya maka masing-masing pihak akan berusaha merumuskan dan mengajukan kepada pemerintah selaku pembuat dan pelaksana

Pemerintah memiliki tentu saja memiliki pertimbangan tersendiri dalam menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut. Tuntutan tersebut bisa diterima atau justru ditolak. Namun tentu saja keputusan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah tidak selalu mampu menghentikan pertikaian yang ada. Pihak-pihak yang berkepentingan belum tentu bisa menerima keputusan pemerintah dan justru terus menyuarakan tuntutannya sehingga permasalahan bisa terus berkelanjutan atau malah dimulai dari awal lagi. Apabila tuntutan pihak yang berkepentingan diterima pun bisa pula membuat perubahan baru di bidang lain yang justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat (Ramlan Surbakti, 1992: 164).

Persaingan yang timbul diantara pihak yang bertikai dapat berkembang menjadi permusuhan atau kontravensi. Kontravensi atau oposisi dapat dilakukan dengan beberapa cara (Hendropuspito, 1989: 244), yaitu

1) Oposisi kasar dan oposisi halus. Oposisi kasar ditandai dengan ketidaksopanan seperti gangguan, fitnah, provokasi dan lain-lain yang bermaksud menjelekkan lawan; Sementara oposisi halus dilakukan dengan bahasa yang sopan namun memiliki makna tajam dan diketahui oleh umum.

2) Oposisi terbuka dan oposisi tertutup. Oposisi terbuka terjadi bila pihak mana atau siapa yang melakukan penentangan diketahui seperti demonstrasi atau unjuk rasa; Sementara oposisi tertutup sulit diketahui pihak yang menentang karena aksi yang dilakukan meski diketahui umum namun sulit diterka pihak yang melakukannya seperti surat kaleng atau selebaran gelap;

3) Oposisi resmi dan oposisi tidak resmi. Oposisi resmi adalah penentangan yang diterima dan ditegaskan dengan ketentuan hukum. Penegasannya dilakukan lewat lembaga negara atau agama. Ada pula partai oposisi dalam demokrasi yang berfungsi mengkritik yang berguna untuk jalannya pemerintahan; Oposisi tidak resmi merupakan cara penentangan yang tidak dikukuhkan dengan peraturan hukum dan tidak dilembagakan. Oposisi tidak resmi kerap ditemui dalamdiskusi atau proses promosi kesarjanaan. Maksud dari “kritik” ialah supaya suatu kebenaran yang hendak diterima sungguh merupakan kebenaran yang tangguh dan tahan uji.

Kontravensi atau oposisi memiliki dampak (Hendropuspito, 1989: 247), yaitu:

1) Bagi yang menjadi sasaran kontravensi, dapat membuat tertunda atau bahkan gagalnya tujuan yang hendak dicapai;

2) Terlibatnya pihak ketiga dalam ketegangan. Konflik kepentingan akibat polarisasi politik dapat menyebabkan

terjadinya perubahan politik. Konflik kepentingan diantara berbagai kelompok yang menyebabkan perubahan merupakan hasil interaksi kepentingan yang secara ketat dikontrol bahkan ditentukan oleh posisi sosial atau kondisi materiil elit yang terlibat. Gagasan dan nilai merupakan pencerminan dari kepentingan saja.