7 Perspektif Pengayaan

Perspektif Pengayaan:
Pendekatan Pendidikan Luar Biasa terhadap Sekolah
Inklusif
Edvard Befring

Pendahuluan
Perspektif pengayaan adalah suatu pendekatan berdasarkan kemampuan dan kekuatan.
Ini merupakan sebuah pendekatan alternatif atau suplementer bagi model pendidikan luar
biasa yang diagnostik-terapeutik. Pendekatan ini melibatkan asesmen untuk mengetahui
apa yang dapat dilakukan oleh anak serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah dan
taman kanak-kanak, dan menggunakan informasi tersebut sebagai titik tolak dalam
menciptakan lingkungan belajar. Artikel ini menyajikan sejarah singkat PLB (atau
pendidikan khusus) di E ropa, menggambarkan beberapa contoh ilustratif tentang
Perspektif Pengayaan dan membahas berbagai mitos dan hambatan implementasi
Perspektif Pengayaan tersebut.

Pendidikan Luar Biasa (atau Pendidikan Khusus)
Di E ropa, “sekolah khusus” pertama didirikan kira-kira 200 tahun yang lalu. Pada abad
ke-20 terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang PLB, dengan semakin diakuinya
hak-hak sipil para penyandang cacat, hingga diberlakukannya perundang-undangan yang
mewajibkan pendidikan untuk semua dan mengharuskan pemberian jaminan formal

untuk pengajaran adaptif bagi semua anak. PLB telah muncul sebagai sebuah bidang
penelitian dan pendidikan guru yang berdiri sendiri. Antara tahun 1900 dan 1950, PLB
hanya mencakup prosentasi kecil (sekitar 1%) dari total populasi siswa dan sebagian besar
diselenggarakan di sekolah khusus yang segregatif. Sejak tahun 1970 perubahan radikal
telah terjadi dan layanan PLB diperluas mencakup para siswa di semua sekolah setempat,
anak usia pra-sekolah, remaja di sekolah menengah atas dan orang dewasa serta orang
lanjut usia yang berkebutuhan pendidikan khusus. PLB telah berkembang menjadi salah
satu bidang utama dalam disiplin ilmu pendidikan secara keseluruhan, dan menciptakan
kesempatan baru bagi para penyandang cacat dari berbagai tingkatan usia (Befring &
Tangen, 2001).
PLB merupakan bagian integral dari sistem negara kesejahteraan, yang didasarkan atas
tiga prinsip utama: pertama, bahwa masyarakat bertanggung jawab untuk menyediakan
sebuah jaringan keselamatan untuk dimanfaatkan oleh semua orang bila mereka
membutuhkannya (misalnya bila sakit atau mengalami kecelakaan, atau bila seseorang
mencapai usia lanjut). Kedua, masyarakat bertanggung jawab untuk menstimulasi dan
mendorong setiap anggotanya untuk mengembangkan sebuah kepribadian yang kaya dan
mencapai potensinya secara penuh. Untuk mencapai tujuan ini, setiap orang harus
mendapat akses yang bebas ke pendidikan dan kegiatan budaya. Ketiga, semua kebijakan
sosial dan kesehatan didasarkan atas prinsip-prinsip diskriminasi positif – ini merupakan


gagasan untuk memberikan semaksimal mungkin kepada mereka yang paling
membutuhkannya. Manajemen PLB yang layak adalah yang berdasarkan prinsip-prinsip
diskriminasi positif, yang berimplikasi adanya telaah yang objektif dan kritis terhadap
tindakan politik maupun praktek profesional (Befring et al., 2000:567).
Telaah kritis PLB meliputi tantangan terhadap premis mayor model medis. Satu asumsi
dasar dari pendekatan medis atau pendekatan diagnostik-terapeutik terhadap PLB adalah
bahwa suatu diagnosis dapat dibentuk berdasarkan observasi dan tes terhadap seorang
individu, dan bahwa terdapat korelasi antara perlakuan dengan efek rehabilitasi. Asumsi
ini telah menyebabkan sumber daya manusia dan sumber dana keuangan dalam jumlah
yang sangat besar diinvestasikan untuk mencari apa yang “salah” dalam diri seseorang
sehingga mereka membutuhkan dukungan dan perhatian profesional. Dalam prakteknya,
ini berarti bahwa seorang individu cenderung diperiksa di luar konteks, sehingga dapat
ditemukan suatu kecacatan tertentu pada dirinya, agar perlakuan dapat ditargetkan secara
spesifik pada gangguan yang diperkirakan ada.
Kegiatan diagnostik meningkat, dan sejumlah besar anak didiagnosis sebagai memerlukan
layanan PLB. Dalam sebuah studi baru-baru ini, Skarbrevik (2001) menemukan bahwa
sebanyak 20% anak dan remaja Norwegia memerlukan layanan PLB. Alat diagnosis yang
paling sering dipergunakan dapat mengidentifikasi adanya kelainan dalam membaca,
menulis dan berbicara, dan kesulitan dalam konsentrasi dan perhatian yang diberi label
disleksia dengan variasinya, gangguan perhatian dan hiperaktivitas, serta masalah-masalah

perilaku. Semua diagnosa ini terjadi dalam konteks kehidupan modern serta tuntutannya
akan pendidikan dan adaptasi sosial, yang menimbulkan tekanan yang besar pada anak
dan remaja. Demikian besarnya tekanan ini sehingga “permasalahan” pada tingkatan
tertentu akan tampak “normal”. Namun, dalam diagnosis tradisional dan dalam
pendidikan dengan model rehabilitasi, realita normal seperti ini sering diabaikan dan
digantikan dengan pemikiran bahwa masalah pada seorang individu dapat diatasi jika
ditangani oleh orang yang memiliki keahlian. Model medis ini telah mengakibatkan orang
memfokuskan perhatiannya pada diagnosis itu beserta permasalahan dan kelemahan yang
diakibatkannya, pelabelan dan stigmatisasi sehingga upaya lebih diarahkan pada
identifikasi masalah, bukan pada kegiatan belajar dan mengajar.
Merupakan alternatif bagi model medis tersebut adalah perspektif pendidikan yang
memfokuskan pada pembelajaran. Alternatif ini memanfaatkan dan membangun
kekayaan personal yang dimiliki (kekuatan dan sumber daya). Sebuah model
pembelajaran berupaya memahami apa yang dapat dicapai oleh seseorang, bukannya
menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Satu tugas utamanya adalah memperkuat
identitas bagi PLB sebagai sebuah bidang yang berorientasikan perkembangan, yang
berkontribusi terhadap proses pembelajaran yang lebih lengkap dalam kontek sosial yang
lebih luas.

Sebuah Perspektif Pembelajaran pada Pendidikan Luar Biasa

Menurut sejarah, filosofi dasar PLB berakar pada prinsip-prinsip bahwa semua manusia
mempunyai nilai yang sama, dan bahwa setiap anak harus mendapat pengasuhan dan
memperoleh pendidikan yang relevan untuk hidup yang bermartabat. Para perintis PLB
seperti Maria Montessori adalah tokoh yang sadar akan prinsip-prinsip tersebut dan
pendukung demokrasi yang didasarkan atas penghargaan terhadap kehidupan.

Dalam konteks E ropa, Montessori (1870-1952) merupakan tokoh yang sangat penting
karena dia berpandangan bahwa perbedaan dalam kemampuan belajar dan berperilaku itu
pada hakikatnya merupakan masalah pendidikan, bukan masalah medis. Dia
membuktikan bahwa anak-anak yang tunagrahita (pada masa itu disebut “tidak dapat
dididik”) dapat memperoleh hasil yang mengesankan dalam belajar membaca, menulis
dan keterampilan manual. Di “rumah anak” yang didirikannya di Roma, Montessori
memulai sebuah program komprehensif untuk mengasuh dan mengajar anak. Dia
menemukan bahwa anak-anak memiliki kapasitas besar untuk pendidikan sendiri,
konsentrasi dan pengulangan, dan memiliki stamina, yang membuatnya mengambil
kesimpulan bahwa kegiatan belajar dapat bertahan lama jika kondisi belajarnya sesuai dan
tugas yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan anak. Montessori menekankan
pentingnya konsentrasi, perkembangan inisiatif, dan kondisi belajar yang memberikan
ruang bagi siswa untuk memperoleh rasa pencapaian pribadi. Dia menyatakan bahwa
kebebasan dan struktur itu saling terkait, dan menekankan bahwa proses belajar harus

menciptakan fondasi bagi kedisiplinan diri dan keahlian yang relevan dengan kehidupan.
Kelahiran kembali gagasan-gagasan Maria selama dua dekade terakhir ini telah mengubah
ekspektasi dan perlakuan terhadap individu yang dianggap tidak memiliki kemampuan
mental. Setelah masa eksperimen dengan pengajaran yang sistematis terhadap para
individu ini pada awal tahun 1060-an, mitos bahwa mereka tidak dapat belajar atau tidak
dapat diajar itu rontok, mengakibatkan munculnya pergerakan politik dan professional di
E ropa dan Amerika Utara. Orang-orang yang pada suatu masa pernah diperlakukan
sebagai orang terbuang dan dimasukkan ke lembaga pemeliharaan, ternyata dapat
membuat kemajuan yang baik dalam perkembangan pribadi dan kemandiriannya, sebagai
akibat dari sebuah perspektif pendidikan. Menganut perspektif pendidikan atau belajar
merupakan sebuah faktor penting dalam pengangkatan harkat manusia.
PLB telah mendapat dorongan sosial dan politis dari berbagai organisasi internasional.
Sebuah perspektif penting bagi bidang ini diberikan pada konvensi PBB 1966 mengenai
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Konvensi tersebut menghasilkan Pasal 13 yang
menetapkan hak setiap orang atas pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai persyaratan
fundamental bagi perkembangan manusia dan merupakan dasar bagi manifestasi harkat
martabat manusia. Kemajuan pengetahuan dan sikap yang relevan [repertoire perilaku]
membuat seseorang berhak atas hak-hak manusia yang fundamental. Konvensi tersebut
menekankan bahwa pendidikan dasar merupakan kewajiban dan tersedia bebas biaya bagi
semua orang. Perlu dicatat bahwa pasal-pasal konvensi itu merupakan dokumen hukum

dan perjanjian internasional yang mengikat, yang harus diperhatikan oleh semua negara
anggota. Konvensi ini memperkuat suatu pemikiran bahwa semua orang mempunyai hak
atas pendidikan, tanpa membedakan potensi belajar mereka [Konvensi PBB 1966, Pasal
13, 2a]. Tahun Penyandang Cacat Internasional 1981 yang disahkan PBB dengan
motonya partisipasi penuh dan kesetaraan, memberikan peringatan dan pengakuan lebih
jauh mengenai hak-hak orang penyandang cacat. Meskipun telah ada pengakuan dan
resolusi dalam skema internasional tersebut, tetapi pandangan yang ada pada tingkatan
lokal tetap tidak hanya menganggap bahwa orang-orang penyandang cacat tidak pantas
dihargai, dilihat sebagai tidak memiliki kemampuan, tetapi juga korban dari diskriminasi
fungsional. Perencana sosial setempat gagal memperhatikan kebutuhan individu
penyandang cacat dengan baik; mereka harus memenuhi kebutuhan individu yang tidak
cacat [Befring 1994]. Laporan tahun 1995 dari E uropean Centre for E ducational
Research and Innovation [Pusat untuk Penelitian dan Inovasi Pendidikan di E ropa]
menerangkan situasi tersebut sebagai berikut: sebuah pendidikan berkualitas tinggi bagi

semua orang melibatkan lebih dari sekedar kebijakan pembangunan bagi sistem
pendidikan saja… tetapi melibatkan juga sebuah keprihatinan terhadap lingkungan sosial
yang lebih luas [E vans 1995:144]. Sebuah referensi yang serupa terhadap kebutuhan
untuk merombak kebijakan sosial dapat ditermukan dalam Penyataan Salamanca dan
Kerangka Aksi UNE SCO (1994) mengenai pendidikan kebutuhan khusus:

Sekolah inklusi menyediakan seting yang baik untuk mencapai persamaan kesempatan dan
partisipasi, tetapi keberhasilannya memerlukan upaya nyata tidak hanya dari guru-guru dan
para staf sekolah tetapi juga oleh teman sekelas, orang tua, keluarga dan para sukarelawan.
Perubahan institusi sosial tidak hanya merupakan sebuah tugas teknis; utamanya tergantung
pada keyakinan, komitmen dan niat yang baik dari setiap individu yang merupakan bagian dari
masyarakat.

Pernyataan ini menggambarkan kebutuhan untuk membangun kesadaran masyarakat
terhadap hasil jangka pendek dan jangka panjang yang positif mengenai pendidikan bagi
orang-orang penyandang cacat secara sosial dan individual [Befring 1994]. Dibutuhkan
adanya dukungan publik untuk sebuah pendekatan pendidikan yang secara simultan
meyakinkan publik agar optimistik mengenai pendidikan bagi anak penyandang kecacatan
maupun tanpa kecacatan, dan mendukung pendidikan anak-anak penyandang cacat
dalam konteks sosial di lingkungan komunitasnya sendiri [misalnya sekolah setempat].
Pandangan optimistik yang diajukan penulis tentang prinsip pengayaan PLB juga relevan
dengan tujuan tersebut.

Perspektif Pengayaan
Perundang-undangan pendidikan di Skandinavia dan negara-negara E ropa lainnya
menekankan tanggung jawab atas anak secara keseluruhan – tanggung jawab untuk

belajar, kesejahteraan/kesehatan dan perkembangan pribadi. Dengan deklarasi resmi ini
berarti bahwa sekolah mempunyai tiga tujuan utama: a) untuk menciptakan eksistensi
yang berguna dan berharkat/berharga bagi semua anak dan remaja, b) untuk
mempersiapkan mereka bagi masa dewasanya , dan c) untuk mempromosikan dan
menjaga nilai-nilai kebudayaan dan sosial.
Konteks sosial merupakan alat untuk mencapai tujuan dan merupakan tujuannya itu
sendiri. Maksudnya adalah agar seorang individu dapat bersosialisasi dan berinteraksi
dengan orang lain dan dengan lingkungannya sejalan dengan menciptakan suasana dan
seting sosial yang memungkinkan interaksi tersebut terjadi. Penerapan perspektif ini
terhadap perkembangan pendekatan baru mengenai aktivitas PLB dikenal sebagai
Pesfektif Pengayaan (Befring 1990; 1994; 1997; 2000).
Menurut Perspektif Pengayaan, sebuah komunitas, sebuah sekolah dan sebuah
masyarakat yang beradaptasi dengan dan merespon terhadap kebutuhan dan wujud orang
yang berbeda kebutuhan dan kemampuannya [misalnya kecacatan] memperkaya semua
orang, para siswa dan juga para pendidik. Dengan kata lain, TK, SD, sekolah menengah
yang “baik” bagi anak-anak penyandang cacat pada kenyataannya akan memberikan
lingkungan ideal untuk belajar dan mendidik dan merawat kesehatan/kesejahteraan
semua anak dalam ruang kelas atau sekolah yang bersangkutan. Dalam perspektif ini
perbedaan individu dilihat sebagai kekayaan, bukan sebagai permasalahan.
Perspektif Pengayaan dimaksudkan sebagai pergeseran dari konsep seperti gangguan dan

kelainan dengan menekankan hal-hal positif yang dapat ditawarkan oleh sumber material

maupun sumber daya manusia PLB. Kekayaan keahlian para guru PLB dapat
memberikan kontribusi untuk mempromosikan sebuah pendekatan pendidikan terpadu
bagi semua anak. Perspektif Pengayaan didasarkan pada pendekatan pendidikan yang
berorientasi pada perkembangan [misalnya menemui setiap siswa di mana pun dia
memasuki pengalaman belajar]. Bila semua anak dengan karakter yang berbeda-beda
disatukan dalam satu sekolah, terdapat juga kesempatan untuk menciptakan konteks
sosial yang ideal untuk perkembangan belajar dan pribadi.
Dari Perspektif Pengayaan, heterogenitas siswa menawarkan tantangan dan kesempatan
untuk meningkatkan konteks pembelajaran. Heterogenitas membangun konteks untuk
interaksi sosial yang lebih beragam. Heterogenitas membentuk dasar untuk menghargai
perbedaan (pembelajaran moral).
Dengan berfokus pada kemampuan yang ada bukannya pada kelemahannya, perspektif
ini didasari oleh prinsip pemahaman yang sama, paradigma yang sama dengan konsep
“enabling” (memupuk kemampuan) dan perspektif pemberdayaan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Lassen bahwa “kemungkinan untuk memberdayakan orang tua dapat
dilaksanakan oleh para praktisi jika mereka memahami kemampuan orangtua, anak-anak
dan sistem, dan bersedia mengembangkan sumber-sumber yang belum dimanfaatkan. Di
sinilah letaknya tantangan pendidikan luar biasa yang sebenarnya” [Lassen 1999].

Perspektif Pengayaan ini bertentangan dengan prinsip dan pelaksanaan pengelompokkan
homogen yang mengakselerasi aktivitas diagnostik, meningkatkan kecenderungan menuju
pemisahan untuk membuat dua kelompok siswa – mereka yang telah didiagnosis dan
mereka yang belum diperiksa – menghasilkan komunitas yang dipisah-pisahkan secara
tidak alami dan artifisial. Jelas sekali bahwa ini bukan kondisi bagi siswa untuk
mendapatkan pengalaman hidup yang bermartabat atau untuk mempersiapkan kehidupan
“nyata” di masa datang di dalam masyarakat yang heterogen.

Perspektif Pengayaan dalam Pelaksanaannya
Selama lebih dari 20 tahun penulis telah mendapatkan inspirasi dari sekolah dan guru
yang mengimplementasikan filosofi pendidikan yang lebih inklusif. Keberhasilan sebuah
sekolah di daerah perkotaan di Norwegia telah memberikan inspirasi bagi penulis untuk
memformulasikan Perspektif Pengayaan ini. Sekolah tersebut mengadopsi kunci dasar
pendidikan sbb: perhargaan bagi setiap identitas siswa, dan variasi dipandang sebagai
sumber daya bukannya sebuah masalah. Kunci dasar ini merefleksikan pandangan moral
dengan menekankan penghargaan atas perbedaan. Dan mereka merefleksikan perspektif
pendidikan dengan memberikan siswa kesempatan untuk belajar dari satu sama lain,
seperti halnya yang akan mereka lakukan di dunia “nyata”.
Setelah bertahun-tahun mengalami konflik dan masalah-masalah, sekolah ini sukses
dalam mengembangkan sebuah lingkungan berkarakter antusiasme dan kebanggan atas

kapasitas mereka untuk mendukung setiap anak dalam pembelajaran dan kemampuan
pribadinya (Helland 1995). Prestasi ini dicapai oleh sebuah sekolah dasar di Norwegia,
yang mempunyai populasi siswa heterogen baik dalam hal kemampuan fungsionalnya
maupun dalam etnisnya. Untuk menerapkan Perspektif Pengayaan membutuhkan upaya
sosial yang sulit. Guru di sekolah lain yang bekerja sama dengan penulis, melaporkan
bahwa dengan menempatkan anak yang menyandang kecacatan di sekolah setempat
dapat mengakibatkan pengasingan dan olok-olok bagi anak tersebut beserta orang tuanya.

Guru-guru ini menekankan perlunya memberi setiap anak kesempatan untuk merasa
dihargai dan seluruh kelas mengambil manfaat dari praktek tersebut. Satu guru
menyebutkan posisi ini dengan jelas:
Integrasi lebih dari sekedar menempatkan siswa bersama-sama dan memberikan
perlindungan bagi yang menyandang kecacatan. Pendidikan harus selalu melibatkan
pembelajaran kompetensi, kepercayaan diri dan toleransi. Ini merupakan tujuan yang realistis
bagi kelas-kelas pada umumnya, memberikan sebuah kesempatan nyata bagi tiap anak agar
diperhatikan dan dihargai dengan penghargaan yang positif (Befring 1994:39).

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, kita dapat mengevaluasi kualitas sebuah
komunitas [misalnya sebuah sekolah, kelas atau lingkungan terdekat] berdasarkan kualitas
layanannya terhadap individu yang paling berkebutuhan. Hal tersebut dapat dicapai
secara logis dan melalui pengalaman. Sebaliknya, jika kita mendefinisikan “kesuksesan
terbesar” adalah remaja yang berfungsi paling baik atau siswa yang paling mudah diatur,
dan ini digunakan sebagai titik awal pendidikan, maka kita beresiko merancang program
pendidikan dan lingkungan sekolah yang penuh konflik dan tidak memberikan rasa aman.
Penelitian empirik tentang layanan PLB di sekolah integrasi tanpa perspektif pendidikan
inklusi menghasilkan konsekuensi negatif seperti di atas [Persson 1995].
Dari perspektif ilmu sosial, terbukti bahwa bila individu yang paling tidak beruntung
merasa terhina, diasingkan atau disisihkan, akan terjadi penggunaan kekuatan, kurangnya
solidaritas, rasa tidak aman, dan upaya untuk merebut posisi yang lebih tinggi dan lebih
baik dalam tatanan sosial. Sebaliknya, Perspektif Pengayaan, dengan mendefinisikan anak
yang memiliki perbedaan dalam belajar dan menghadapi tantangan dalam pendidikannya
sebagai titik tolak, maka akan menghasilkan ekspektasi yang lebih positif tentang potensi
semua siswa dan memberikan dorongan untuk menciptakan lingkungan belajar yang
lebih beragam atau lebih “lengkap”.

Praktek Perspektif Pengayaan
Dalam prekteknya, Perspektif Pengayaan dapat diterjemahkan dan diungkapkan melalui
materi, metode, kualifikasi staf sekolah dan oleh pemahaman fundamental sekolah
tentang proses belajar manusia. Untuk mengimplementasikan Perspektif Pengayaan, staf
sekolah harus bersedia melakukan hal-hal sbb: melakukan telaah kritis terhadap sistem
persekolahan; memandang guru PLB sebagai sumber belajar bagi semua siswa di sekolah
yang bersangkutan; mempertimbangkan untuk memasukkan kemampuan metakognitif
sebagai sebuah kurikulum baru untuk keberhasilan semua siswa; dan siap menghadapi
berbagai mitos dan resistensi.
Kecuali bagi pendidikan kejuruan, sistem sekolah E ropa memberikan prioritas terhadap
teori formal dan pengetahuan akademis daripada keahlian operasional dan praktis yang
pragmatik. Survey menunjukkan bahwa orientasi abstrak ini dapat merupakan sebuah
faktor beresiko besar bagi siswa yang proses belajarnya tidak abstrak. Penelitian
menunjukkan bahwa sistem persekolahan yang berlaku sekarang ini merupakan
kontributor bagi sejumlah besar remaja yang merasa terasing atau rendah diri dan yang
tidak siap untuk menjalani kehidupan sehari-hari (E gelund, E rtman & Jorgensen 1993;
skaalvik 1996; Birkemo 2000). Hal tersebut diakibatkan oleh ketidakcocokan antara
karakteristik dan kebutuhan siswa dengan konsep sekolah yang ada, strukturnya,
kurikulumnya dan pelaksanaan pembelajarannya.

Menurut Perspektif Pengayaan, membawa siswa yang menyandang kecacatan beserta
guru khususnya ke sekolah umum dapat bermanfaat bagi komunitas sekolah. Beberapa
manfaat tersebut adalah: a) lebih mengutamakan keanekaragaman daripada keseragaman
potensi dan kebutuhan anak serta kebutuhan akan pengajaran yang dibedakan; b)
mengajar dalam konteks yang relevan versus teoritis; c) meningkatkan kemungkinan
pendidik melihat betapa dekat kaitan antara proses pengetahuan dengan pengalaman
pribadi anak dalam kehidupannya sehari-hari. Bila sekolah menghargai perbedaan dalam
diri anak dan antara satu anak dengan anak lainnya, maka guru mengembangkan
serangkaian pendekatan instruksional baru termasuk memanfaatkan siswa sebagai
instruktur dan pendukung sosial satu sama lain (misalnya lihat adaptasi kelompok
pembelajaran kooperatif yang dijelaskan dalam Thousand, Villa & Nevin 2001]. Dalam
berperan sebagai tutor pembantu, siswa yang menyandang kecacatan maupun tanpa
kecacatan mempunyai peluang untuk a) menemukan kekuatannya sendiri dan potensi
belajarnya bila mereka membantu siswa lainnya belajar, dan b) menghindarkan diri dari
hubungan kompetitif antar teman sebaya, yang terbentuk dalam sistem sekolah
tradisional dan berstrata. Sebuah hipotesis logis, yang terkait dengan Perspektif
Pengayaan, adalah bahwa anak akan berkembang melalui pengajaran dan dukungan dari
teman sebayanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Logstrup, “kita manusia tergantung satu
sama lain, kita juga mempunyai kekuatan atas satu sama lain dan kita harus belajar
menggunakan kekuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat membantu sesama”
(Logstrup 1989:73).
Suatu sekolah yang bersatu dan heterogen dapat menciptakan suatu konsep bagi anak
agar belajar menjaga satu sama lain. Keahlian ini diterjemahkan menjadi prilaku orang
dewasa yang dapat menciptakan kondisi-kondisi untuk demokrasi yang lebih
dikembangkan dengan perhatian utama pada kesejahteraan semua warga negara. Perlu
dicatat bahwa pergerakan internasional tentang sekolah, Persatuan Perguruan Tinggi
Dunia [United World Colleges] mencantumkan pengasuhan praktis dalam program
pendidikan dan metodologikalnya (Peterson 1987).

Guru Khusus sebagai Nara Sumber
Pengayaan yang bagaimanakah yang dapat diperoleh dengan mengintegrasikan guru
khusus (atau guru PLB) ke dalam seting sekolah reguler setempat? Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, pendidikan luar biasa telah berkembang sebagai bidang studi dan
penelitian yang berdiri sendiri, yang sering terpisah dari praktek dan penelitian dalam
pendidikan umum atau layanan kemanusiaan lainnya (misalnya pekerjaan sosial) atau
ilmu-ilmu sosial ( misalnya psikologi). Di Norwegia, misalnya, pendidikan luar biasa yang
merupakan bidang yang berdiri sendiri telah menyebabkan terlembagakannya gelar
universitas yang terpisah (dengan pilihan konsentrasi studi dalam bidang pendidikan bagi
tunarungu, terapi wicara, tunadaksa, tunanetra, masalah perilaku, kecacatan ganda dan
tekhnologi) serta program doktoral untuk pendidikan luar biasa. Lebih jauh, “sistem
dukungan Norwegia bagi PLB” telah dibentuk, yang memberikan bantuan dengan cara
memberikan konsultasi pendidikan kebutuhan khusus dan konselling bagi siswa, orang
tua, guru dan sekolah-sekolah di dalam komunitas setempat. Pusat ini dipandang sebagai
penghubung dan pendukung bagi perkembangan sekolah inklusif yang merangkul semua
siswa. Sejumlah pertanyaan fundamental harus diajukan yang berhubungan dengan
prioritas profesional dari staf senter ini (misalnya diagnosis dan pendekatan rehabilitasi
yang dibahas sebelumnya), dan di mana layanan diberikan.

Laporan 1995 dari Pusat Penelitian dan Inovasi Pedidikan E ropa menekankan bahwa
integrasi siswa yang berkelainan merupakan proses kompleks yang memerlukan
keterlibatan dan motivasi yang kuat, keahlian khusus, dan pemikiran yang baru, di
samping faktor-faktor lain (OE CD, 1995). Guru khusus membawa pengetahuan dan
sikap profesionalnya. Secara spesifik, guru khusus dilatih untuk berasumsi bahwa setiap
individu mempunyai karakteristik unik yang membutuhkan bantuan tertentu dalam
proses pembelajarannya; secara teoritis mereka mempunyai sikap untuk memandang
keberagaman individu sebagai sumber daya dibanding sebagai masalah. Pendidikan untuk
mempersiapkan guru-guru ini memberikan pengajaran dalam bermacam-macam teori
pembelajaran, penggunaan berbagai peralatan remedial dan teknologi baru, etika, hak-hak
legal, teknik observasi, psikologi perkembangan dan kognitif, dan metode mengajar.

Kompetensi Pribadi:
Kurikulum baru untuk keberhasilan bagi semua.
Manifestasi utama Perspektif Pengayaan adalah pergeseran dalam fokus guru menuju
konsep belajar sebagai satu proses yang mencakup belajar substansi isi, pembelajaran
pribadi (“sikap”) dan “kompetensi metakognitif” – mengetahui bagaimana seseorang
belajar. Pengetahuan metakognitif merupakan indikator seberapa baik seseorang
menggunakan metode-metode dan strategi-strategi untuk mengontrol dan meningkatkan
pembelajaran dan pengetahuannya. Kemampuan ini ditunjukkan, misalnya, bila pembaca
yang kompeten menguarangi kecepatan membacanya pada saat mereka sampai pada
bacaan yang sulit, agar mendapatkan ekstra waktu untuk pemrosesan. Mereka
menyimpulkan apa yang telah dibacanya, mengajukan pertanyaan untuk memperjelas isi,
menerjemahkan dan mempertimbangkan kemungkinan hubungan dengan masalahmasalah lain, dan bersikap kritis terhadap teks berikutnya. Banyak siswa yang berkesulitan
belajar tampaknya tidak mempunyai strategi metakognitif seperti itu. Jadi, bila mereka
didorong agar terus mencoba, mereka akan berulang-ulang gagal sehingga beranggapan
bahwa mereka tidak dapat belajar.
Bentuk kemampuan metakognitif tertentu tampak diperoleh selama awal masa kanakkanak. Pada titik ini, tidak ada hubungan yang jelas antara pengetahuan metakognitif dan
kapasitas belajar. Namun hubungan antara keterampilan metakognitif dan prestasi akan
tampak jelas setelah beberapa lama, yang menunjukkan bahwa pandangan pribadi
mengenai strategi belajar yang berguna merupakan faktor keberhasilan yang signifikan
dalam proses pendidikan (misalnya lihat Brown, 1994). Tanggung jawab para pendidik
adalah untuk membantu semua anak untuk menjadi protagonis terhadap proses
belajarnya sendiri. Ini dapat dilakukan dengan menciptakan kesempatan bagi siswa untuk
mengalami pencapaian penguasaan terhadap sesuatu dan dengan mengarahkan siswa
untuk menemukan dan mempraktekan proses di mana tugas atau konsepnya mereka
kuasai. Semua pendidik perlu mengembangkan keahliannya lebih mendalam untuk
membimbing siswa agar memperoleh kesadaran metakognitif. Keterampilan dan cara
pandang siswa mengenai dimensi meta-learning merupakan sebuah kunci untuk
memperoleh cara pandang terhadap diri sendiri, kepercayaan diri, penghargaan diri,
motivasi dan keinginan yang kuat.
Pembelajaran pribadi dan meta-learning merupakan hal yang sentral untuk melaksanakan
Perspektif Pengayaan. Tanpa itu akan banyak anak yang tetap rentan untuk
mengembangkan sikap negatif terhadap pembelajaran dan dirinya sendiri, beresiko untuk

meyakini bahwa mereka tidak mampu untuk belajar, sehingga mereka rendah diri, tidak
dapat menjadi protagonis atas hidupnya sendiri.

Mitos dan Perspektif Pengayaan
Penolakan terhadap Perspektif Pengayaan akan datang dari berbagai sumber, termasuk
dari keyakinan yang ada mengenai orang-orang yang berkesulitan belajar. Untuk
mengilustrasikan bagaimana perspektif pembelajaran dapat membawa perubahan tentang
keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh penyandang cacat, ingat bahwa
dahulu diyakini bahwa orang yang tunarungu tidak dapat berbicara karena gangguan
intelektual dan perilaku, dan hal ini menjustifikasi orang untuk mengucilkan para
penyandang tunarungu dari aktivitas sosial. Seorang filosof, Cardano (1501-1575)
menentang pandangan ini dengan memperkenalkan anggapan bahwa indera-indera dapat
saling menggantikan satu sama lain; yaitu bila pendengaran terganggu, indera lain dapat
menggantikannya (Befring 1994). Cardano menyatakan bahwa setiap penyandang
tunarungu total perlu belajar untuk “mendengar dengan membaca dan berbicara dengan
menulis;” dan sekolah untuk tunarungu yang pertama dibangun didasari oleh teori ini.
Sekarang, tidak ada yang menganggap bahwa kehilangan pendengaran diasosiasikan
dengan keterbelakangan mental atau ketidakmampuan untuk belajar. Namun sepanjang
sejarah, pandangan-pandangan negatif dan takhayul mengenai berbagai macam kecacatan
merupakan pengesahan atas pelecehan kekuasaan primitif, pemisahan sosial dan
ketidakpedulian pendidikan. Masih relatif baru bahwa fondasi internasonal telah disahkan
untuk memasukkan orang-orang yang menghadapi tantangan kognitif ke dalam konteks
pendidikan (misalnya PBB, 1996, asosiasi publik dan formal bagi kesempatan belajar dan
harkat manusia). Kekuatan kedua yang bertentangan dengan Perspektif Pengayaan adalah
pandangan bahwa kompetisi penting bagi pembelajaran. Dalam praktek pendidikan,
kompetisi sering melegitimasi metode evaluasi komparatif di sekolah, praktek
penyaringan mahasiswa di Universitas, dan semua jenis upaya penelusuran, stratifikasi,
pemilahan dan eksklusi (misalnya program dan sekolah untuk anak berbakat). Kompetisi
di sekolah tumbuh dengan subur meskipun ada bukti empiris dan pengalaman yang
menunjukkan manfaat relatif dari penerapan metode pembelajaran dan lingkungan yang
koperatif (Kohn, 1986).
Kohn (1986) menekankan bahwa integritas pribadi dan standar etnis yang tinggi
dikembangkan terutama melalui interaksi dan berbagi tanggung jawab, dan dapat
terganggu jika orang belajar untuk menganggap sesama manusia sebagai saingan karena
mereka harus terus membuktikan bahwa mereka lebih baik dibandung yang lain. E tika
dan praktek persaingan sering menimbulkan hambatan yang besar bagi sekolah yang
berusaha mempromosikan konsep pendidikan inklusif dan sekolah terpadu. Sebaliknya,
sebuah Perspektif Pengayaan memerlukan dan tergantung pada sebuah konteks
pembelajaran yang non-kompetitif.

Kesimpulan
Artikel ini membahas Perspektif Pengayaan, sebuah pendekatan alternatif bagi model
pendidikan kebutuhan khusus yang berorientasi medis diagnostik-terapeutik, yang
dibangun atas dasar assesmen terhadap apa yang dapat dilakukan oleh orang serta apa
yang dapat dilakukan oleh sekolah dan masyarakat. Perspektif Pengayaan memandang

bahwa apa yang secara instruksional baik bagi mereka yang rentan dalam hal pendidikan,
juga baik bagi mereka yang lebih mudah untuk belajar. Dari Perspektif Pengayaan,
sebuah sekolah dipandang sebagai konteks sosial di mana setiap orang memperoleh
manfaat pendidikan dari kebersamaan di dalam sebuah komunitas. PLB, jika berakar
pada Perspektif Pengayaan, murid-murid dan gurunya yang dulunya terpisah dan
terisolasi, kini tercakup sebagai anggota yang dibutuhkan dan penting dari komunitas
pendidikan umum. Secara ringkas, Perspektif Pengayaan memperkuat upaya-upaya untuk
membangun program pendidikan yang benar-benar terintegrasi dan inklusif.
Jelas bahwa untuk mengaktualisasikan Perspektif Pengayaan akan membutuhkan
perubahan program pendidikan guru, sehingga memperhatikan dan mendukung orang
lain itu menjadi bagian dari kurikulum, baik bagi anak maupun orang dewasa di sekolah.
Ini berarti membantu siswa melepaskan diri dari kungkungan tradisi pemisahan dan
persaingan dalam pendidikan di sekolahnya sehingga mereka melihat dan merasakan
bahwa semua teman sekelasnya mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan
kepada kelompok kelasnya. Ini dilakukan dengan membantu guru membuat sebuah iklim
kelas dan sekolah di mana semua orang dapat memperoleh manfaat dengan berbagi
pengalaman satu sama lainnya. Untuk mengaktualisasikan teori berbagi tersebut akan
memerlukan penumbuhan kesadaran pada diri anak maupun anggota komunitas lainnya
mengenai prinsip-prinsip dasar moral dan sosial dari etos pendidikan inklusif. Jika sebuah
sekolah menerima Perspektif Pengayaan ini, maka akan lebih besar kemungkinannya bagi
semua anak untuk hidup dalam keberadaan yang lebih bermartabat, memperoleh
persiapan yang memadai untuk masa dewasanya, dan akan lebih menghargai nilai-nilai
sosial dan budaya. Perspektif Pengayaan menjanjikan penghapusan isolasi dan jaminan
atas hak-hak anak penyandang cacat, dan mengakui keragaman siswa sehingga akan
dipandang sebagai aset yang berharga, bukan sebagai pengganggu situasi belajar.

Daftar Pustaka
Befring, E. 1990. Special education in Norway. International Journal of Disability,
Development and Education, 37(2): 125-136
Befring, E. 1994. Læring og skole: Vilkår for eit verdig liv [Learning and School:
Conditions for a Dignified Life]. Oslo, Det Norske Samlaget.
Befring, E. 1996. Skolens mote med barn. Behov for pedagogisk nyorientering [The
School and our Children: The Needs for New Educational Perspective]. In I.M.
Helgeland (ed.). Forebyggende arbeid iskolen-en pedagogisk utfordring
[Preventative Measures in School. An Educational Challenge]. Oslo,
Kommuneforlaget: 15-34.
Befring, E. 1997. “The Enrichment Perspective- A Special Educational Approach in a
Inclusive School”, In: Remedial and Special Education, Vol.18, no 3 1997:182-187.
Befring, E. et.al.. 2000. “From Normalization to Enrichment” In: Villa, R.A. &
Thousand, J.S. Restructuring for Caring and Effective Education, Paul H. Brookes
Publ..Co, Baltimore:558-574.
Befring, E. & Tangen, R. 2001. Specialpedagogikk,( Special Education) Oslo,
Cappelen Akademisk.

Birkemo, Asbjørn. 2000. Motivasjon og læring (Motivation and Learning). Oslo,
Pedagogisk Forskningsinstitutt, Universitetet i Oslo.
Brown, A. L.. 1994. The Advancement of Learning. Educational Researcher.8:4-12.
Egelund, N., Ertmann, B., & Jorgensen, P.S.. 1993. Risikobørnset fra en
forskningssynsvinkel [Children at Risk Considered from a Research Point of View].
Copenhagen, Det Tverministerielle Børneudvalg.
Evans, P. 1995. Conclusions and Policy Implications. In P. Evans (Ed.).Our Children
at Risk. Paris, Center for Educational Research and Innovation, Organization for
Economics Cooperation and Development: 137-145.
Helland, U. 1995. Møteplass Fjell [Meeting place Fjell School], SCHOLA (The
Journal of the Norwegian Ministry of Education and Research) no. 3:11-14.
Kohn, A. 1986. No Contest: The Case against Competition. Boston, Hougton Mifflin.
Lassen, Liv 1999. Parenting Children with Rare Progressive Disabilities: A study of Parents’ Needs
Related to Stress and Coping. Oslo, University of Oslo, Department of Special Needs Education.

Løgstrup, K.E.. 1989. Den etiske fordring [The Ethical Demand]. Copenhagen,
Gyldendahlske Boghandel.
Organozation for Economics Cooperation and Development. 1995. Integrating
Students with Special Needs into Mainstream School, Paris, Center for Educational
Reseach and Innovation, Author.
Peterson, A. 1987. School Across Frontiers. Adriatics, Iyaly, United World Colleges.
Persson, B. 1995. Specialpedagogisk arbete i grundskolan [Special Educational
Work in the Elementary School]. Gøteborgs Universtet, International Standart Serial
Number 1104-6759.
Skaalvik, E.. 1996. Barns selvoppfatning-skolen ansvar [Children’s Self Concept: The
School’s Responsibility] Oslo, Tano.
Skårbrevik, Karl Johan. 2001. Spesialundervisning i grunnskolen-omfang og
ressursbruk. (Special Education in Elementary School) Article in Norsk Pedagogisk
Tidsskrift, 2-3 2001:220-230.
Thousand, J. S., Villa, R. A., & Nevin, A. I.. 2001. Creativity and Collaborative
Learning: A Practical Guide to Empowering Students and Teachers. Baltimore, Paul
H. Brookes.
United Nations. 1996. Convention on Economic, Social and Cultural Rights. New
York.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, Education. 1994.
The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education.
Document 94/WS/18. Geneva, Author.