Keberlanjutan Lembaga Keuangan Perdesaan Dalam Mendukung Pengembangan Sektor Pertanian.

1

KEBERLANJUTAN LEMBAGA KEUANGAN PERDESAAN
DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN*)
Oleh : Tuti Karyani dan Maman H Karmana**)
Abstrak
Kegiatan perekonomian di perdesaan masih didominasi oleh usaha pertanian dan
usaha skala mikro dan kecil yang secara umum masih dihadapkan pada permasalahan klasik
yaitu terbatasnya ketersediaan modal (lack of capital). Disinyalir telah terjadi alokasi kredit
yang timpang antara sektor pertanian dengan sektor lain, yang disebabkan tidak semata-mata
oleh rendahnya kemampuan sektor ini untuk mengembalikan kredit, tetapi lebih disebabkan
oleh keberpihakan yang sangat rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit
yang sangat kaku. Hal ini kemudian disebut sebagai agency problem yaitu Lembaga
Keuangan Perdesaan (LKP) sebagai lembaga profesional di satu pihak harus memperhatikan
pencapaian tujuan untuk meraih keuntungan (profitability) dan keberlanjutan usahanya
(sustainability) serta perannya sebagai “agent of development pada pihak lain.
Tulisan ini bertujuan (1) mengetahui mengenai kondisi pasar keuangan di perdesaan
(2) Peran LKP dalam menjalankan fungsi intermediasinya di perdesaan dan pengaruhnya
terhadap kemiskinan (3) Memformulasikan model LKP yang dapat mengembangkan pasar
keuangan (monetisasi) di perdesaan.


Kata Kunci: Keterbatasan modal (lack of capital), Agent of development, Monetisasi di
perdesaan
Pendahuluan
Pentingnya kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait dengan tipologi
petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit,
sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal untuk investasi pada
teknologi baru. Sebagaimana dikemukakan oleh De Soto (2000) bahwa investment is the
engine for economic growth. Access to financial services can provide access to the
production means required to increase agricultural productivity and scale that lead to higher
incomes. Namun demikian, pemilikan lahan yang sempit dan skim pembiayaan bagi usaha
agribisnis dan agroindustri yang rigid, menyebabkan masyarakat tani tidak dapat mengakses
secara mudah sumber pembiayaan formal saat ini. Kebijakan pembiayaan untuk mendukung
sektor agibisnis dan agroindustri dirasakan sangat lemah dan sektor ini cenderung terabaikan.
Kondisi ini dapat dilihat dari data bahwa hanya sekitar 2%-3% kredit yang dikucurkan
terhadap sektor pertanian, demikian juga bila di segmentasikan lagi dari kredit untuk UMKM,
tetap saja kredit UMKM untuk sektor pertanian hanya sekitar 3%.

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya


2

Sebenarnya di daerah perdesaan terdapat bentuk-bentuk kelembagaan pembiayaan
non formal yang sudah berkembang (Uphoff, 1986; Hastuti dan White,1979) seperti
pedagang output, pedagang input, arisan, kelompok pengajian dan sebagainya, namun potensi
lembaga keuangan formal harus tetap diupayakan seoptimal mungkin karena

lembaga

tersebut mempunyai tugas dan kewajiban yang dibebankan pemerintah sebagai agent of trust
dan agent of development. Yang dimaksud sebagai agent of trust adalah suatu lembaga
perantara (intermediary) yang dipercaya untuk melayani segala kebutuhan dari dan untuk
masyarakat. Sebagai agent of development adalah sebagai lembaga perantara yang dapat
mendorong kemajuan pembangunan melalui fasilitas kredit dan kemudahan-kemudahan
pembayaran serta penarikan dalam proses transaksi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.
Oleh karena itu menarik untuk dikaji (a) bagaimana kondisi pasar keuangan di perdesaan (2)

Peran LKP dalam menjalankan fungsi intermediasinya di perdesaan (2) Memformulasikan
model LKP yang dapat mengembangkan pasar keuangan (monetisasi) di perdesaan.
Pasar Keuangan (Financial Market) di Perdesaan

Rural Financial Markets consist of relationships between buyers and sellers of financial
assets in rural economy. Hubungan yang dibangun para pelaku di pasar keuangan melalui transaksi
keuangan ialah: penabung, peminjam, penjamin dan pengusaha. Perantara biasanya terbagi menjadi
perantara informal seperti pedagang, rentenir, bankir, tuan tanah dan pemilik rumah gadai, dan
perantara formal seperti bank, lembaga kredit khusus dan koperasi (Moll.AJ, 1992)
Sejalan dengan pendapat di atas, FAO Rural Finance (2010) menjelaskan bahwa Rural
finance encompasses the range of financial services offered and used in rural areas by people of all
income levels. It includes agricultural finance, which is dedicated to financing agricultural related
activities such as input supply, production, distribution, wholesale, processing and marketing, and
microfinance which provides financial services for poor and low income people by offering smaller
loans and savings services, while accepting a wider variety of assets as collateral

Gambar 1 memberikan ilustrasi dari diagram hubungan tumpangtindih antara beberapa
konsep yang menyangkut kelembagaan keuangan.
Untuk di perdesaan, pasar keuangan yang mungkin terjadi ialah pasar kredit. Pasar
kredit merupakan pasar yang sangat dinamis, dimana di dalamnya terdapat dua kekuatan yang
saling berinteraksi yaitu penawaran dan permintaan akan kredit. Interaksi kedua kekuatan
tersebut tentunya memerlukan proses waktu yang tidaklah cepat, ini sangat terkait dengan
keberadaan informasi di antara kedua belah pihak. Ketika informasi yang tersedia bagi para
pelaku pasar adalah sempurna maka proses penyesuaian akan berjalan cepat menuju

keseimbangan, akan tetapi jika informasi yang terjadi tidak sempurna (asimetris) maka proses
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

3

Sumber : FAO Rural Finance, 2010
Gambar 1. Hubungan Beberapa Konsep Kelembagaan Keuangan
penyesuaian akan sangat lamban dan dapat terjadi ketidakseimbangan, ataupun keseimbangan
yang terjadi diikuti dengan penjatahan kuantitas kredit (credit rationing equilibrium).
Mekanisme alokasi kredit melalui penjatahan kredit (credit rationing) yang dilakukan oleh
perbankan dan lembaga keuangan pada umumnya dalam usaha menghindari risiko.
Dengan kata lain dalam pasar kredit, perilaku risk averse kreditor dalam pemberian
kredit kepada debitor terjadi karena adanya ketidaksempurnaan informasi dalam pasar,
sehingga pada saat terjadi goncangan ekonomi akan membuat kondisi resesi semakin parah
dan panjang. Dengan semakin memburuknya perekonomian maka memberi pinjaman
semakin berisiko dan tentunya kemampuan dan kesediaan lembaga keuangan pada umumnya
dalam menghadapi risiko tersebut juga menurun.
Secara umum pasar kredit perdesaan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pasar kredit
formal dan pasar kredit nonformal. Dua lembaga kredit ini yang menjadi sumber

pembiayaan pertanian (agribisnis), dimana masing-masing memiliki karakteristik yang khas.
Walaupun demikian, filosofi yang dijadikan pertimbangan dalam pemberian kredit formal
dan nonformal adalah sama yaitu dibangun atas dasar kepercayaan (trust). Hal yang
membedakan adalah pada lembaga kredit formal, kepercayaan dibangun atas dasar buktibukti empiris yang ditunjukkan oleh dokumen yang syah menurut hukum. Sementara pada
kredit nonformal kepercayaan dibangun berdasarkan intensitas hubungan dan citra yang
muncul dalam masyarakat terhadap seseorang (Syukur et al., 2002). Akses kredit bagi
masyarakat petani/perdesaan cenderung ke arah lembaga nonformal yang lebih sesuai
dengan karakteristik masyarakat perdesaan yang tidak suka dengan hal-hal yang bersifat
formalitas. Ini menunjukkan bahwa pemahaman lembaga nonformal terhadap faktor budaya
masyarakat sangat baik. Pertanian memiliki ke-khasan dalam usahanya, dan ini sangat

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

4

dipahami oleh lembaga nonformal seperti bandar dan pengusaha kios saprodi untuk
memberikan pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan petani.
Menurut Langenbucher (2005), secara umum terdapat kendala dalam pengembangan
keuangan pertanian dilihat dari sisi sediaan dan permintaan sbb:


Tabel 1. Kendala dalam Pengembangan Keuangan Pertanian Ditinjau dari Persepektif Sediaan
dan Permintaan
Pemilik Modal: Sisi Sediaan
Perusahaan Pertanian: Sisi Permintaan











Skala usaha kecil dan terpencarpencar dan kepadatan penduduk yang
rendah menyebabkan biaya
pelayanana lebih tinggi karena
volume pinjaman terbatas dan biaya

informasi tinggi.
Keterbatasan dalam agunan
Kurangnya pengetahuan teknis bank
untuk mengevaluasi dan menganalisis
kelayakan kredit agribisnis.
Tidak ada produk khusus yang
ditawarkan oleh lembaga keuangan
untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan sektor pertanian
Tidak tersedia cabang atau
terbatasnya jaringan sehingga
kesulitan untuk menjangkau usahausaha di perdesaan.
Risiko tinggi, baik risiko ekonomi
maupun risiko fisik.
Kurangnya infrastruktur komunikasi
dan transportasi.











Petani tidak cukup memiliki jaminan
untuk dijadikan agunan
Rendahnya keterjangkauan petani
terhadap pasar uang yang
mencerminkan kemampuammya
dalam menanggung risiko
Perencanaan arus kas sulit untuk
dinilai ketika petani menjual langsung
kepada konsumen.
Jadwal pembayaran angsuran sering
tidak dapat terpenuhi sesuai dengan
standar
Kurangnya pengetahuan hukum di
tingkat petani.

Keberhasilan dalam berusahatani
adalah dengan bekerjasama,
walaupun kenyataannya sulit
Kurangnya kemampuan membuat
perencaan usaha.

Sumber: Langenbucher , 2005.
Kendala ini yang menyebabkan tidak terjadi hubungan yang intim antara sektor pertanian
dengan lembaga keuangan. Pemerintah sebenarnya sangat menyadari keadaan ini dan
kemudian berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan kredit program, namun demikan
kenyataannya sulit untuk berkelanjutan. BI sebagai pengatur moneter di Indonesia dengan
berbagai aturannya berusaha untuk mendorong perbankan agar menjalankan fungsi
intermediasi. Tetapi selama tujuan lembaga yang profit oriented, maka perilaku bisnis yang
risk averse tetap dikedepankan dibandingkan dengan perannya sebagai agent of development.
Tentunya dengan dalih bahwa mereka harus tetap menjaga kinerja kerjanya karena dana yang
dikelola adalah dana masyarakat.
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

5


Keterkaitan Pembangunan Perdesaan dengan Lembaga Keuangan
Pengalaman

menunjukkan

peranan

kredit

pertanian

sangat

penting dalam

pembangunan sektor pertanian. Kredit merupakan salah satu faktor pendukung utama
pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar
pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis pembangunan
pertanian (critical point of development) (Syukur et al.,1998). Peran kredit yang strategis

dalam pembangunan pertanian dan perdesaan, telah mendorong pemerintah untuk
menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting. Dalam tataran konseptual, menurut
Tampubolon (2002) kredit dianggap mampu memutuskan “lingkaran setan” kemiskinan di
perdesaan. Kondisi ini terbukti dengan pengalaman Grameen Bank di Bangladesh yang saat
ini mengembangkan bisnisnya tanpa meninggalkan pemiliknya (kaum miskin) yang disebut
sebagai Social Business. Pengenalan bisnis kepada masyarakat kecil ini juga dikembangkan
oleh De Soto (2000) di Peru yang percaya bahwa untuk mengentaskan kemiskinan
masyarakat harus diberikan edukasi mengenai ekonomi pasar, dan ini bisa dilakukan melalui
pemberian property rights

dari pemerintah berupa sertifikasi lahan sehingga

petani

meningkat kemampuannya untuk mengakses modal karena adanya asset yang bisa diagunkan.
Proses ini menggiring masyarakat untuk merubah orientasi usahanya menjadi profit oriented
(komersial) agar keluar dari kemiskinan, sekaligus pengenalan ekonomi pasar (uang) yang
kemudian disebut sebagai monetisasi. Bagian dari proses monetisasi ialah pemahaman
berbagai produk pelayanan keuangan yang bisa digunakan masyarakat dari lembaga
keuangan.
Kinerja Bank di Jawa Barat dalam Menjalankan Fungsi Intermediasinya
Berdasarkan perolehan PDRB Jawa Barat pada tahun 2010, menunjukkan kontribusi
tertinggi berasal dari kegiatan industri dan pengolahan (26%), kemudian perdagangan, hotel
& restoran 17%, sedangkan pertanian ada pada peringkat ke 3. Artinya pertanian masih
memiliki arti penting bagi perekonomian Jawa Barat (BPS Jawa Barat, 2010). Walaupun
demikian bila dikaitkan dengan ketenagakerjaan yang masih menampung pangsa yang besar
(40%), kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah.
Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan
kemampuan adopsi teknologi, yang pada gilirannya terkait dengan kemampuan untuk
memperoleh modal.
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

6

Menurut Agarwal (2001) pertumbuhan ekonomi suatu negara akan sangat ditentukan
oleh perkembangan dalam sektor keuangannya. Hal ini disebabkan karena sektor keuangan
memegang peranan penting dalam menjalankan fungsi intermediasinya guna menjembatani
antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkannya. Fungsi intermediasi
dalam dunia perbankan ditunjukkan dari LDR (Loan to Deposit Ratio).
LDR juga menggambarkan kemampuan suatu bank membayar kembali penarikan
yang dilakukan nasabah dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuditasnya. Perbankan Jawa Barat masih dapat menjaga likuiditasnya dan menyalurkan
kredit dilihat dari LDRnya pada TW IV yang mencapai 73,6% (BI, 2010). Berdasarkan
pengelompokkan Bank ternyata yang LDR tertinggi tahun 2008 ialah BPR (87%), kemudian
Bank Pemerintah (82%), tetapi pada tahun 2009 LDR tertinggi diraih oleh Bank pemerintah
(91%) disusul oleh BPR (84%). Walaupun LDR untuk BPR tinggi, tetapi karena Dana Pihak
Ketiganya kecil, tetap saja jumlah kredit yang disalurkan nilainya kecil.
Pertanyaannya ialah apakah jumlah kredit yang disalurkan tinggi akan membuat
kemiskinan menurun? Ternyata belum tentu, karena ketika dicoba dianalisis dengan
menggunakan data panel selama tahun 2004-2009 dengan cross section kabupaten/kota
diperoleh persamaan sebagai berikut:
PVRT= 246565,5 + 0,556 JLK + 0,003 KRDT - 0,004 PDRBcap + 0,461 AR(1)
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
JLKP?
KRDT?
PDRB?
AR(1)

246565.5
0.556353
0.003429
-0.004097
0.460503

20355.80
0.166524
0.000544
0.001495
0.065997

12.11279
3.340968
6.307169
-2.740264
6.977601

0.0000
0.0012
0.0000
0.0073
0.0000

Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.991230
0.988645
34092.82
383.4577
0.000000

Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat

395581.5
348264.8
1.10E+11
1.770256

Keterangan: PVRT=kemiskinan;
JLK=jumlah Lembaga Keuangan;
KRDT=kredit;
PDRBcap= Produk Domestik Regional Bruto per Kapita

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

7

Dari persamaan regresi ini tampak bahwa jumlah Lembaga Keuangan dan jumlah
Kredit justru berhubungan positif, sedangkan PDRB per kapita berhubungannya negatif
dengan

kemiskinan, artinya dengan meningkatnya PDRB per kapita maka kemiskinan

menurun. Sebaliknya bila lembaga keuangan dan kredit ditingkatkan maka jumlah
kemiskinan meningkat. Kondisi ini disebabkan karena kredit dan jumlah lembaga keuangan
tidak spesifik. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini banyak ragam dan jenis kredit terutama
kredit konsumtif baik untuk perumahan maupun kendaraan. Proporsi kredit produksi di Jawa
Barat pada tahun 2009 baik investasi dan modal kerja hanya 38,5% sedangkan kredit
konsumsi 61,5%. Ada pun kredit program masih dipertanyakan hasilnya berkaitan dengan
kurangnya pengawasan sehingga kemungkinan terjadi fungibility. Kemudian

keberadaan

jumlah lembaga keuangan yang berhubungan positif dengan kemiskinan memberikan indikasi
bahwa golongan miskin masih belum terjangkau dan terlayani, terutama di perdesaan. Oleh
karena itu maka menjadi relevan bila muncul ide untuk mendirikan lembaga keuangan yang
khusus menangani sektor pertanian sebagai sektor utama yang harus dilayani disamping
sektor perdesaan lainnya yang berbasis pertanian.
Merancangbangun Lembaga Keuangan Perdesaan Berkelanjutan
Berdasarkan permasalahan dan paradigma LKP yang selama ini melayani petani dan
UMKM perdesaan, maka ada bebarapa hal yang harus diperhatikan dalam merancangbangun
kelembagaan LKP. Langkah tersebut ialah: (1). Memahami karakteristik bisnis (usaha) calon
nasabah yang akan dilayani (2) Memahami paradigma kelembagaan yang sudah ada (3)
Merancangbangun lembaga yang baru yang bentuknya bisa berupa (a) merestrukturisasi
lembaga yang sudah ada dengan memberikan masukan-masukan baru dengan membuat
modifikasi atau (b) membangun LKP Baru yang betul-betul concern terhadap sektor
pertanian dan perdesaan lainnya.Berikut ini karakteristik dari binis nasabah di perdesaan

Tabel 2 Karakteristik Bisnis dari Kegiatan Pertanian
Karakteristik
Keunikan Produk Pertanian
dan UMKM berbasis
pertanian

Lokasi

Keterangan





Gestatition periode: Bervariasi untuk setiap jenis
komoditas (musiman, tahunan, dsb)
Teknologi: bervariasi
Supply produk: berfluktuasi baik jumlah maupun
kualitas
Tersebar, sehingga secara fisik tidak terjangkau

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

8

Risiko





Jaminan
SDM





Kapasitas Kelembagaan



Skala Usaha: kecil-kecil
Biaya transaksi menjadi mahal
Risiko fisik: karena hama penyakit tanaman,
penanganan pasca panen
Risiko harga
Sebagian besar tidak punya jaminan sebagai agunan
Sebagian besar berpendidikan rendah, tidak bisa
mempromosikan produknya sehingga tidak bankable.
Masih lemah

Dengan karakteristik seperti ini lembaga keuangan yang merupakan lembaga profit
oriented, tentunya akan berfikir ulang untuk terjun membiayai sektor ini, sehingga yang
terjadi adalah munculnya urban bias atau lebih cenderung membiayai sektor perkotaan seperti
perumahan, perdagangan, industri, jasa dan lain-lain. Oleh karena itu pasar keuangan
perdesaan masih terbatas baik aktivitasnya maupun pelaku bisnisnya.

Adapun pasar

keuangan yang selama ini berkembang di perdesaan ialah pasar kredit yang memiliki tiga ciri
utama (Besley, 1990) yaitu:
1) Kelangkaan agunan , sehingga yang tidak memiliki agunan tidak terjangkau untuk
dilayani
2) Kurang berkembangnya lembaga komplementer yang bisa dijadikan sebagai penjamin
kepada LKP (melalui pengembangan Value chain)
3) Pasar kredit bersifat tidak sempurna karena persoalan kepemilikan informasi antara
peminjam dan pemberi pinjaman.
Untuk Informasi yang tidak sempurna ialah menyangkut antara lain (a) infomasi tidak
simetris (asymmetric information) sehingga kreditur tidak mengenal baik usaha nasabah dan
sebaliknya calon nasabah kurang bisa mempromosikan usahanya (b) kesalahan pemilihan
(adverse selection) karena kurangnya pengawasan terhadap kredit sehingga pada gilirannya
gagal bayar kredit, (c) penjatahan kredit (credit rationing), disebabkan karena efisensi yang
rendah sehingga menyebabkan penawaran kredit tidak pernah memenuhi semua permintaan
kredit, (d) moral hazard, selain menyebabkan terjadinya adverse selection,pengawasan yang
kurang juga menyebabkan kesalahan penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan
permintaan kredit.
Selanjutnya dalam merancang bangun Lembaga Keuangan Perdesaan (LKP) yang
perlu dipahami ialah bahwa sebagai lembaga keuangan maka LKP menawarkan “trust”
(kepercayaan) dan selanjutnya

bagaimana menjaga kepercayaan tersebut, sehingga akan

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

9

menjadi beralasan bila LKP menerapkan prudentially banking. Ada pun alasan sebenarnya
karena adanya kandungan risiko atas penyaluran kredit. Oleh karena itu menurut teori
intermediasi finansial yang diamandemen, bahwa penyebab ketidaksempurnaan pasar
mengakibatkan adanya informasi asimetris, kesalahan seleksi, moral hazard bisa diatasi
dengan manajemen risiko.

Adapun fungsi intermediasi bukan lagi sekedar agen yang

menghubungkan antara pemilik dana surplus dengan pihak yang defisit dana, tetapi lembaga
keuangan yang selain menyediakan pelayanan keuangan juga ditambah dengan pelayanan
non finansial sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada nasabah.
Dalam memfasilitasi antara yang surplus dana dan yang defisit dana ini LK
mempunyai aturan untuk menjaga kepercayaan. Signal yang diharapkan penabung adalah
keamanan assets (uang) yang disimpannya, bahkan bisa memperoleh keuntungan dari
tabungannya tsb.

Sementara, LKP sebagai perantara harus mempertimbangkan biaya

operasional yang harus ditanggungnya untuk supaya kesejahteraan pemilik (prinsipal) dapat
tercapai juga biaya operasional sebagai perantara juga diraih. Oleh karena itu LKP akan
berhati-hati menetapkan penyaluran dana yang disimpan penabung dalam bentuk diversifikasi
portofolio agar risiko dapat terserap.
Terdapat paradigma baru mengenai keuangan perdesaan yang menganjurkan
pendekatan sistem keuangan yang menekankan pada 3 strategi prioritas dalam
mengembangkan pasar keuangan perdesaan (Gonzales-Vega, 2003; Zeller, 2003; Nagarajan
and Meyer, 2005), yaitu ( Gambar 2)
(i) Menciptakan lingkungan kebijakan yang menguntungkan, termasuk stabilitas ekonomi
makro

serta

penurunan

kebijakan

yang

bias

terhadap

sektor

perdesaan;

(ii) Penguatan kerangka hukum dan peraturan kerja, termasuk meningkatkan dasar hukum
untuk transaksi yang terjamin yang dapat memberikan berbagai pelayanan jasa keuangan,
tidak hanya sekedar kredit.
(iii) Membangun kapasitas LKP yang berorientasi tidak hanya pada kredit tetapi juga
berorientasi pada pelayanan demand-driven ,misalnya variasi tabungan, dan jasa keuangan
lainnya.

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

10

Impact

ADVANCES
(Institutions,
Products,
Services,
Processes)

Enabling
Environment

Outreach

Sustainability

Gambar 2 The Rural Finance Triangle
Sumber: Gonzales-Vega, 2003; Zeller, 2003; Nagarajan and Meyer, 2005)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Segi tiga paradigma baru LKP bersandar pada pemikiran dan
ide berikut:
a. Bahwa masyarakat perdesaan dapat bankable melalui lembaga yang tepat dan dengan
produk dan jasa yang dirancang cocok untuk kondisi pedesaan .
b. Kredit adalah hanya salah satu pelayanan keuangan yang diminta oleh nasabah perdesaan.
Termasuk

juga

bahwa

mereka

mempunyai

potensi

untuk

menabung.

c. Tujuan yang diinginkan untuk lembaga keuangan perdesaan mencakup memaksimalkan
jangkauan dan mencapai kesinambungan dalam rangka membuat dampak terbesar pada
kehidupan masyarakat perdesaan.
d.Kemajuan pada lembaga, produk dan jasa serta

pelayanan keuangan sehingga tidak

menghambat transaksi keuangan di daerah perdesaan. Kemajuan tersebut didukung oleh
lingkungan berupa dukungan kebijakan ekonomi makro.
Paradigma baru LKP juga mengakui bahwa jasa keuangan mungkin perlu ditambah
dengan (Steel dan Charitonenko, 2003):
(i) Tambahan investasi pedesaan yang membantu masyarakat membangun aset dan
keterampilan dengan mengembangkan ekonomi dan infrastruktur sosial di tingkat
masyarakat; Ini merupakan tugas dari pemerintah daerah.
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

11

(ii) Intermediasi sosial untuk memfasilitasi pembentukan solidaritas kelompok atau
koperasi dan membangun modal sosial
(iii)Pelatihan baik teknis dan manajemen keterampilan, dan
(iv)Mendukung pengembangan pelayanan bisnis
Setelah memahami permasalahan dan tantangan berdasarkan kondisi masyarakat
perdesaan maka langkah berikutnya

ialah merancangbangun kelembagaan yang akan

menjalankan fungsi intermediasi. Berdasarkan hasil penelusuran penelitan di lapangan di
Jawa Barat terdapat beberapa skenario yang disarankan, sebagai berikut:

SKENARIO I:
Pemanfaatan BPR
Menggunakan LKP yang sudah ada tetapi dengan melakukan restrukturisasi bahkan
likuidasi bagi lembaga keuangan yang sangat lemah. Kelembagaan yang berpotensi adalah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Saat ini di beberapa desa atau bahkan di kota-kota banyak
muncul BPR-BPR . Keberadaannya memang diperlukan, tetapi perlu pengawasan yang baik
karena

disinyalir menerapkan sistem

bunga

yang memberatkan nasabah.

Selain

keberadaannya, jumlah modal, kesehatan dan aturan main di BPR-BPR tersebut perlu
ditertibkan. Masyarakat perlu perlindungan yang layak dari kejahatan perbankan. BI harus
konsekuen dengan peraturan kelembagaan dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat
mengenai peraturan pendirian dan kesehatan bank. Pengaturan dan pengawasan BPR
dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3 tahun 2004
tentang Bank Indonesia meliputi

kewenangan memberikan izin (right to license),

kewenangan untuk mengatur (right to regulate), kewenangan untuk mengawasi (right to
control) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction). Pengaturan
dan pengawasan BPR oleh Bank Indonesia diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi BPR
sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan
ekonomi terutama di wilayah pedesaan. Dengan demikian pengaturan dan pengawasan BPR
yang dilakukan disesuaikan dengan karakteristik operasional BPR namun tetap menerapkan
prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) agar tercipta sistem perbankan yang sehat.
Oleh karena itu untuk BPR yang sehat saja yang bisa terus menjadi LKP yang bisa
diijinkan terus beroperasi baik itu BPR milik pemerintah maupun BPR milik swasta.
Terdapat

perbedaan antara BPR pemerintah dan BPR swasta. BPR pemerintah

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

12

merupakan branch banking dari BPR yang kantor pusatnya di ibu kota kabupaten/kota.
BPR swasta walaupun ada beberapa yang menganut sistem branch banking system tetapi masih
banyak yang menganut unit banking yang secara operasional merupakan retail banking
yang melayani usaha kecil yang berdasarkan kehadiran geografisnya merupakan community
banks yang beroperasi dalam pasar lokal. Unit banking atau bank tanpa kantor cabang
ini mempunyai keunggulan dalam mengenal perkembangan dan potensi ekonomi daerah
dan perdesaan dengan baik.
BPR pemerintah daerah dengan branch banking system juga memiliki keunggulan
yaitu telah memiliki infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang merupakan modal awal
yang baik di wilayah kerjanya sehingga meminimalkan biaya karena wadahnya sudah ada,
hanya tinggal membenahi dan memperbaikinya.

SKENARIO 2
Pemanfaatan Lembaga Koperasi
Koperasi merupakan salah satu lembaga ekonomi yang juga bisa dijadikan lembaga
keuangan yang diharapkan menjadi salah satu ujung tombak untuk mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan. Berdasarkan amanat UUD 45 bahkan kedudukannya disejajarkan dengan
badan usaha lainnya. Usaha simpan pinjam merupakan salah satu usaha koperasi yang telah
berakar dan dikenal secara luas oleh anggota koperasi dan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan PP No 9 Tahun 1995, kegiatan usaha simpan pinjam adalah kegiatan yang
dilakukan untuk menghimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan usaha simpan dari dan
untuk anggota koperasi, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya. Dengan demikian
koperasi simpan pinjam merupakan salah satu usaha lembaga keuangan non bank yang
tumbuh sebagai lembaga keuangan alternatif karena sulitnya masyarakat terutama UMKM
untuk mengakses sumber permodalan dari perbankan.
Selama ini sebenarnya terdapat hubungan antara koperasi dengan perbankan sebagai
lembaga intermediasi.

Paradigma yang muncul dalam hubungan kelembagaan bila

mengadaptasi konsep intermediasi

yang mengacu pada teori agensi sebagaimana dapat

dilihat pada Gambar 3

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

13
Paradigma lama hubungan Koperasi dengan Bank

1
BANK

BANK

BANK

KOPERASI

KOPERASI

ANGGOTA

ANGGOTA

2

KOPERASI

ANGGOTA
3

Gambar 3. Keterkaitan Bank (Intermediaries Institutions), Koperasi dan Anggotanya
(dimodifikasi dari Van der Meulen, et.al, 2005 dan Supriyadi, 2010)
Skema 1
Koperasi bertindak sebagai mediator antara anggota dengan bank. Pada skema ini terdapat
kerjasama bank dengan koperasi yang memfasilitasi pemanfaatan jasa pelayanan perbankan
bagi anggota koperasi, misalnya

gaji, dana pensiun, dana asuransi jiwa, dan simpanan

anggota. Anggota memiliki otoritas individu dalam memanfaatkan jasa layanan perbankan
dan memperoleh nilai tambah lebih jika berstatus pula sebagai anggota koperasi. Koperasi
mendapatkan manfaat dari ikatan kerjasama dengan bank dan manfaat kepercayaan layanan
operasional terhadap anggota, sehingga meningkatkan rasa memiliki, meningkatkan motivasi
anggota untuk menyimpan uangnya di koperasi, memanfaatkan unit usaha layanan koperasi
(waserda, sarana produksi, pembayaran listrik/ppob, simpan-pinjaman, perumahan, dan lain
lain). Skema ini menunjukkan terdapat hubungan simbiosis mutualistik antara bank dengan
koperasi dan antara koperasi dengan anggotanya.
Skema ke-2 , menunjukkan belum adanya keterpaduan hubungan antara bank dengan
koperasi dan koperasi dengan anggotanya. Pada skema ke-2, koperasi melakukan hubungan
yang erat dengan bank dan hanya menempatkan anggota sebagai pihak konsumen. Pada
kondisi ini, koperasi juga berposisi sebagai kepanjangan tangan dan kaki tangan pihak
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

14

perbankan, koperasi menjadi “broker” antara bank dengan anggota,

sehingga koperasi

cenderung bertindak sebagai koperasi papan nama. Selain itu yang lebih parah lagi bila
didalamnya juga sarat dengan kepentingan politik.
Skema 3: Hampir sama dengan skema ke-2, hanya bedanya pada skema ke-3 koperasi
memiliki hubungan yang kuat dengan anggota

tetapi koperasi tidak memiliki akses ke

perbankan. Pada kondisi ini koperasi kurang atau bahkan tidak mendapat kepercayaan dari
perbankan walaupun koperasi berinteraksi kuat dengan anggota. Bank hanya berkenan
berhubungan dengan koperasi bila adanya jaminan dari pengurus koperasi, pada kondisi ini
prudentially bank dibebankan atas koperasi. Oleh karena itu bila tidak ada lembaga lain yang
muncul sebagai penjamin (PPKK) misalnya maka koperasi tidak diberi kepercayaan untuk
menyalurkan kredit perbankan.
Skema 4 mengadaptasi paradigma baru dalam LKP
Hubungan koperasi dengan bank ialah bahwa bank merupakan unit usaha yang dimiliki oleh
koperasi, dengan kata lain terdapat bank koperasi.

Gambar 4. Koperasi sebagai Pemilik Bank
Model LKP ini mirip dengan Rabbo bank di Belanda yang dimiliki oleh koperasi, BAAC
(Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives) yaitu Bank Pembangunan Pertanian
yang dimiliki Pemerintah Thailand. Pemilik adalah anggota, dan bank dengan petugasnya
sebagai agen yang memiliki fungsi intermediasi terutama dalam penguatan modal anggota
yang kemudian memperluas jangkauannya

secara fisik untuk calon-calon anggota dan

masyarakat secara umum.
-

Sebagai bank milik koperasi, SDM manajemen koperasi yang selama ini jarang/tidak
pernah ke lapangan perlu meningkatkan kinerjanya untuk lebih mengenal usaha anggota
yang dibiayai koperasi. Kunjungan ke lokasi usaha selain lebih mempererat hubungan
dengan anggota maupun masyarakat umum (calon anggota).

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

15

-

Keterkaitan dan keterikatan anggota koperasi dengan koperasinya karena hubungan
simbiosis mutualisme, misalnya antara peternak sapi perah dengan koperasi yang akan
mengolah dan memasarkan produknya akan menjaga keberlanjutan usaha anggota dan
LKP secara kelembagaan

-

Koperasi mengurangi orientasi profitnya dengan meningkatkan benefit, contoh ini bisa
dilihat dari kebersamaan dalam menentukan alokasi SHU, best practice di KPGS Garut
pada tahun 2010 bersedia mengurangi SHU dengan mengalokasikan labanya untuk
mensubsidi harga makanan ternak (materna) yang mahal sementara harga susu tidak
menunjukkan peningkatan. Koperasi juga membuka usaha pembuatan materna sendiri
untuk bisa menekan harga pokok makanan ternak.

SKENARIO 3.
Memanfaatkan BRI Unit
BRI Unit: sudah dikenal sebagai Bank milik pemerintah (BUMN) yang perhatian
dengan sektor pedesaan termasuk pertanian. Dengan kemampuan BRI untuk mengakuisisi
Agrobank, sebenarnya BRI bisa memperkuat konsentrasi di bidang pertanian secara spesifik.
Pertanian sebagai usaha dengan karakteristik khas maka memerlukan pemahaman yang khas
pula. BRI sebaiknya tetap menjalankan misinya sebagai bank terdepan yang memperhatikan
sektor pedesaan, dengan kepemilikan cabang-cabang dan unit yang sudah tersebar merupakan
kekuatan yang belum bisa terkalahkan oleh bank lainnya.
Penguasaan teknologi untuk level perdesaan sudah dimiliki dengan adanya ATM,
kemudian juga mantri-mantri yang dimiliki sebagai SDM yang bertugas untuk mensupervisi
nasabah semakin ditingkatkan kapasitasnya melalui pelatihan dan kursus-kursus. Munculnya
pesaing sebagai pemain baru di perdesaan diharapkan lebih mendorong BRI unit untuk
meningkatkan kinerja kerja yang baik, good corporate governance ditingkatkan, agar nasabah
tidak lari ke lembaga keuangan lain.
Selain itu, dalam era otonomi daerah BRI nampaknya juga sudah siap dan sarat dengan
muatan

otonomi, meskipun secara kebijakan dan strategi bisnis secara nasional masih

ditangani oleh kantor pusat. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang dilontarkan oleh
Rudjito (2003):
(a)

SDM
BRI Unit senantiasa merekrut SDM atau karyawan yang berasal dan berdomisili di
daerah setempat. Orang setempat tentu saja akan juga sangat memahami karakteristik

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

16

masyarakat dan bisnis setempat. Menggunakan karyawan yang berasal dari daerah
setempat juga akan meningkatkan self ownership yang relatif tinggi terhadap BRI Unit.
Sistem Operasional

(b)

Daerah operasi bisnis BRI Unit dibatasi oleh daerah tertentu, dengan demikian tingkat
kontrol dan monitoring dari petugas atau pejabat BRI serta juga masyarakat juga lebih
terjaga. Prosedur operasional juga dibuat standar sehingga mudah dipahami serta sesuai
dengan kondisi daerah setempat.
Produk dan Jasa

(c)

Produk dan jasa baik simpanan (SIMPEDES) dan juga pinjaman (KUPEDES) dibuat
sedemikian rupa sehingga sangat lentur dengan potensi kekuatan sektor ekonomi atau
bisnis yang dimiliki oleh daerah.
Kewenangan

(d)

Setiap manager BRI Unit diberi kewenangan untuk pengambilan keputusan yang relatif
memadai khususnya dibidang putusan pinjaman, dengan demikian para unit manager di
BRI Unit menjadi lebih responsif terhadap kemungkinan bekerjasama dengan pejabat
pemerintahan lokal setempat seperti: kepala desa, kelurahan atau kepala kecamatan.
Ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan lagi dari kinerja BRI Unit yaitu:


adanya keseimbangan antara simpanan dan kredit (simpedes dan kupedes), jangan
sampai terjadi dana yang diserap dari perdesaan tetapi ditarik dan disalurkan ke sektor
perkotaan (capital flight)



Produk layanan tidak hanya menampung dan menyalurkan kredit tetapi juga
memberikan pelayanan yang lebih maju seperti pelayanan transfer remitansi.
Pelayanan ini menjadi penting dengan melihat fenomena bahwa banyak tenaga kerja
perdesaan yang menjadi TKI di negara lain. Kemudahan pelayanan ini akan membuat
nasabah menjadi nyaman dan tentunya membuat keluarga nasabah yang ditinggalkan
pergi kerja oleh anggota keluarga tidak kehilangan sumber pendapatan yang juga
kemungkinan ditransformasi dalam bentuk assets dan usaha lain di tanah air selain
kebutuhan konsumsi. Peluang pendapatan dari remitansi ini bahkan oleh beberapa
bank keliling dijadikan sebagai agunan pinjaman yang diberikan kepada keluarga TKI
di tanah air walaupun dengan pembebanan biaya yang tinggi.

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

17

Alternatif Skenario : Inovasi Kelembagaan Keuangan Melalui Pendekatan Rantai Nilai
(Value Chain)
Pendekatan rantai nilai merupakan perangkat tambahan dalam metode yang digunakan
untuk lembaga keuangan perdesaan dari kedua perspektif baik sisi sediaan maupun sisi
permintaan. Pendekatan ini dapat membantu mengidentifikasi intervensi lembaga keuangan
pedesaan sebelumnya, serta kesenjangan dan kesempatan untuk memperluas jangkauan,
kesinambungan, dan dampak untuk kelompok spesifik (cluster).
Pendekatan rantai nilai memperluas jangkauan karena banyak stake holder yang
terlibat dalam bisnis tersebut misalnya petani, pemasok, pedagang, pengolah dan eksportir.
Semua pelaku LKP bisa memanfaatkan pendekatan Value chain tersebut, karena kemanfaatan
yang bisa diperoleh selain keterjangkauan, keterjaminan dan tentunya keberlanjutan dari LKP
bisa diraih.
Dalam era otonomi daerah

untuk menjaga keberlanjutan usaha LKP dan dampak

yang positif yang bisa dirasakan masyarakat, maka dukungan Pemda sangat diharapkan
terutama dalam bentuk dukungan:


Infra struktur

Untuk meningkatkan aksesibilitas ke pelosok dan mobilitas dunia usaha, diperlukan
penyediaan infra strukur yang memadai, seperti transportasi dan moda transportnya karena
kondisi ini akan mengefisienkan biaya transaksi. Saat ini banyak kondisi jalan yang rusak
yang kemudian diperparah dengan BBM yang mahal membuat biaya menjadi lebih mahal.
Kualitas birokrasi daerah juga perlu ditingkatkan sedemikian rupa sehingga memiliki
paradigma melayani bisnis. Hal ini nantinya tercermin dalam keberpihakan terhadap
pertumbuhan bisnis melalui kesederhanaan dan kejelasan masalah perijinan usaha. Untuk
mencapai hal ini maka dibutuhkan paradigma kepala daerah sebagai manajer di daerahnya.
Perubahan ini perlu mengingat di era otonomi daerah, tanggung jawab manajemen daerah ada
pada pimpinan setempat.


Penyediaan Dana

Dengan telah dihentikannya kucuran kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), Pemda
diharapkan dapat menyediakan likuidasi pengganti sharing dengan berlakunya kebijakan
desentralisasi fiskal. Untuk kelancaran penyaluran kredit likuiditas, Pemda dapat bekerja
sama dengan bank-bank di daerah setempat. Pemda

juga diharapkan dapat mendukung

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

18

tersedianya fasilitas pinjaman kredit sehingga dapat memperlancar penyaluran kredit
perbankan kepada sektor riil.
 Jaminan keamanan
Keamanan merupakan faktor penting bagi perkembangan dunia usaha. Semakin rawan suatu
daerah, perkembangan usaha daerah semakin terganggu, sehingga akan meningkatkan risiko
di mata perbankan. Tingkat risiko yang tinggi untuk bisnis pertanian memerlukan bantuan
pemerintah untuk melindunginya baik untuk nasabah itu sendiri dan pada gilirannya untuk
LKP-nya. Bila kondisi ini bisa dibangun maka keamanan bisnis dan kemauan LK untuk
menyalurkan kredit bisa lebih ditingkatkan. Bentuk kelembagaan tersebut misalnya asuransi.
Selama ini memang sudah berkembang tetapi bentuknya masih perlindungan terhadap
kreditnya itu sendiri, ada pun untuk bisnisnya masih memerlukan pengkajian lebih dalam dan
seksama.
Agar tujuan, visi dan misi LKP bekerja optimal maka dengan mengadaptasi The
Rural Triangel Finance yang perlu dilakukan ialah sebagai berikut:
Keterjangkauan (Outreach) dari sisi mikro: produk, pelayanan, proses.
Agar bisa menjangkau semua segmen masyarakat, maka dibuat variasi pelayanan,
misalnya untuk tabungan terdapat tabungan pelajar, PNS dan Golongan Berpenghasilan
Tetap (GBT) lainnya, petani, tabungan kelompok wanita dll, Gerakan ayo menabung sangat
baik untuk terus dikumandangkan, dengan tak membiarkan uang recehan menganggur.
Pelayanan kunjungan ke tempat usaha nasabah (baik di warung, di kebun, di bengkel dsb)
dinilai positif oleh masyarakat karena mereka tidak perlu repot-repot untuk datang ke kantor
LKP menghabiskan waktu dan meninggalkan usahanya untuk mengantri dan sebagainya.
Oleh karena itu untuk mengoptimalkan penggalian sumber dana ini maka jumlah personal
lapangan perlu ditingkatkan atau mengintensifkan pegawai lama untuk melakukan kunjungan
keliling secara bergantian ke wilayah-wilayah kerja atau per kelompok konsumen.
Untuk variasi produk, ada menu yang bisa melayani pola pembayaran kredit sesuai
usaha nasabah. Misalnya pola yarnen, pola harian, pola mingguan dan bulanan. Untuk petani
yang lebih tepat adalah yarnen, hanya perlu lebih fleksibel juga jangan hanya ada paket 6
bulanan, karena dengan bunga flat untuk 6 bulan, maka terlalu mahal beban bunga yang harus
dibayar, sementara petani ada yang sudah bisa membayar dalam waktu kurang dari 6 bulan.
Untuk pedagang, pengrajin, atau bengkel bisa ditawarkan yang harian. Demikian juga untuk
kontra prestasi yang harus dibayar nasabah perlu ada variasi apakah LKP akan menerapkan
metode konvensional berbasis bunga atau berbasis syariah.
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

19

Mengaitkan pinjaman dengan tabungan merupakan teknik yang baik juga untuk
mengedukasi masyarakat agar gemar menabung (memindahkan konsumsi sekarang ke
konsumsi masa yang akan datang). Gerakan ayo menabung dengan iming-iming hadiah juga
tidak buruk untuk tetap dilakukan.
Bila ada permasalahan dengan usaha yang mengakibatkan terganggunya cash flow dan
pada gilirannya angsuran kredit menjadi terganggu, maka diperlukan langkah-langkah yang
memberikan win-win solution: antara lain: 1) Memberikan restrukturisasi kredit 2)
Memberikan keringanan bunga, 3) Menambah jangka waktu pinjaman( rescheduling).

Dampak (Impact)
Ialah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya suatu kegiatan baik yang sengaja
diupayakan (extended) maupun tidak diupayakan (unextended). Misalnya

dengan

memberikan kredit yang didampingi dan diawasi penggunaannya, meningkatkan kemampuan
berusaha secara individual yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan ekonomi
masyarakat secara keseluruhan. Dampak ini makin terasa bila LKP memberikan pelayanan
dengan biaya yang efisien mengurangi biaya transaksi per orang, karena yang berkeliling
adalah petugas (jemput bola). Petugas sebagai agen lebih mengenal karakter nasabah serta
usaha nasabah. Petugas juga bisa memfasilitasi hubungan usaha antara nasabah yang satu
dengan yang lainnya.

Keberlanjutan (Sustainability)
Financial sustainability means “ financial continueity and security (Fowler A,2000).
Artinya ketika sumber keuangan luar tidak ada maka LKP masih bisa terus berjalan kontinyu
dan aman. Misalnya untuk penguatan modal sekaligus peningkatan pelayanan, LKP bisa
menjadi salah satu lembaga keuangan pelaksana linkage program, yaitu suatu
mempercepat fungsi intermediasi

sarana

perbankan dengan menyalurkan kredit program yang

disponsori Bank Indonesia untuk menjembatani kerjasama antara Bank Umum dengan LKP .
Sumber ini jangan dijadikan sebagai modal utama, agar bila kredit program ini ditarik atau
ditiadakan, LKP tetap terjaga eksistensinya. Implikasinya modal dari dalam terus dibangun
melalui penarikan dana dari masyarakat sebagai nasabah baik sebagai pemilik (dalam LKP
koperasi) atau sebagai pelanggan saja.
SDM LKP sebagai agen penghubung antara LKP dengan nasabah perlu diberikan
pelatihan penggunaan teknologi disamping peningkatan kualitas pelayanan kepada nasabah.
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

20

Nasabah diperlakukan sebagai subjek tanpa membedakan status sehingga nasabah akan lebih
merasa dihargai sehingga pada gilirannya loyalitas terhadap lembaga akan muncul.

PENUTUP


Pasar keuangan perdesaan yang banyak berkembang adalah pasar kredit, sementara
pelayanan lain yang ditawarkan hanya tabungan. Adapun jenis lembaganya bisa
dikelompokkan menjadi bank dan bukan bank.



Untuk kelompok bank, indikator fungsi intermediasinya bisa dilihat dari LDR (Loan
to Deposit Ratio) yang besarnya sekitar 73,6%. Namun demikian jumlah untuk sektor
pertanian hanya berkisar 3%. Jumlah kredit dan jumlah lembaga keuangan ternyata
tidak memberikan pengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Hal ini disebabkan
kredit yang disalurkan sebagian besar (61,5%) bersifat konsumtif, dan kemungkinan
lain disebabkan karena kurangnya pengawasan dalam penggunaan kredit (fungibility).



Formulasi model Lembaga Keuangan Perdesaan tidak perlu 1 tipe dan tidak perlu
lembaga baru, tetapi dapat memanfaatkan Lembaga Keuangan yang sudah ada dengan
pertimbangan untuk efisiensi walaupun dengan keharusan melakukan pembenahan
agar sustainabilitas LK terjaga, menjangkau lebih luas masyarakat desa dan
berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.

Implikasi Kebijakan

Mengacu dari pengalaman-pengalaman dan teori yang berkembang mengenai Lembaga
keuangan perdesaan (atau Lembaga Keuangan Mikro), maka terdapat beberapa implikasi
kebijakan yang harus diperhatikan dalam merancangbangun LKP yang berkelanjutan, antara
lain:
(i) Menggalakkan keanekaragaman kelembagaan tetapi tetap menjaga fokus yang jelas
terhadap keberlanjutannya (sustainability). Menyediakan jasa keuangan di daerah
pedesaan melalui model keuangan mikro klasik. Tujuan tetap sama yaitu nasabah memiliki
akses berkelanjutan terhadap layanan keuangan, memastikan bahwa model memiliki
kapasitas untuk tumbuh dari waktu ke waktu pada secara berkesinambungan, dan memiliki
struktur kelembagaan yang sesuai.

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

21

(ii)Peran tabungan dan jasa keuangan lainnya, selain kredit. Mobilisasi tabungan penting
bagi keuangan mikro pada umumnya. Kecenderungan menabung dalam bentuk yang
berbeda sangat tinggi di daerah pedesaan; Oleh karena LKP itu merupakan peluang besar
bagi nasabah potensial untuk menyimpan asetnya dengan aman dan fleksibel. Tabungan
dapat juga membantu memperkuat kepemilikan lokal untuk desentralisasi organisasi yang
berbasis anggota. Namun, kondisi yang diperlukan untuk meningkatkan mobilisasi
tabungan dengan aman dari masyarakat harus dilakukan secara hati-hati (terutama status
hukum lembaga, pengaturan pengawasan dll). Pelayanan lainnya seperti asuransi,
pengiriman uang dan transfer juga sangat penting di daerah pedesaan, dan harus secara
aktif disosialisasikan sehingga monetisasi di perdesaan semakin berkembang.
(iii) Pentingnya lingkungan yang kondusif. Agar

LKP tetap berkelanjutan maka perlu

payung hukum, peraturan, dan/atau lingkungan yang kondusif. Pemerintah (baik pusat
maupun daerah) memiliki peran penting dalam membangun lingkungan yang kondusif
dan tepat bagi lembaga keuangan perdesaan.
(iv) Fokus pada Hasil Jangka Panjang: Penting memahami bahwa mungkin diperlukan
waktu yang lebih panjang untuk mencapai sukses dalam meningkatkan keterjangkauan
(outreach) dan kesinambungan (sustainability). Pelaksana (manajemen) LK tidak boleh
dipaksa untuk melakukan kegiatan tertentu, atau ekspansi, hanya untuk memenuhi tujuan
donor tertentu (misal karena kepentingan politik).
(v) Pentingnya Dilakukan Analisis Kelayakan Berdirinya suatu LKP, yaitu adanya kondisi
minimum yang harus dipenuhi agar LKP berkelanjutan, misalnya jumlah permintaan
minimal bagi lembaga keuangan (minimal tingkat kepadatan penduduk dan kegiatan
ekonomi), kredit yang bisa diterima budaya lokal, ada mitra yang sudah ada atau tertarik
untuk memperluas kegiatan di wilayah tersebut. Banyak program keuangan perdesaan
gagal karena kesalahan dalam menilai dugaan "perlu"nya lembaga keuangan, tanpa
memikirkan kelayakannya.
(vi) Prudentially strategy dalam memilih mitra keuangan perdesaan

Pengalaman

menunjukkan bahwa keberhasilan yang paling mikro atau operasional dari keuangan
perdesaan ialah karena kualitas dari mitra dipilih. Oleh karena itu penting untuk
memperkuat strategi kepemilikan dan pemilihan mitra (donor, penyertaan modal, dll),
dan menegakkan akuntabilitas melalui pengawasan sederhana berbasis kinerja.

*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Perhepi
**) Anggota Perhepi Komisariat Bandung Raya

22

DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, J.D. and Agarwal, Aman. 2001, Liberalization of Capital Flows, Banking System &
Trade: Focus on Crisis Situations, International Review of Comparative Public Policy
titled nternational Financial Systems and Stock Volatility Volume 13, pp. 151-212.
Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dlam Pembangunan Ekonomi
Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya . Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 4
No. 2, Juni 2006 : 146-164
BI, 2010. Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa barat, Kantor BI. Bandung
BPS, 2010. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung
Bestley, Timothy. 1994. How Do Market Failures Justidy Intervention in Rural Credit
Markets. The World Bank Research Observer, 9(1) : 27-47.
De Soto (2000) de Soto, Hernando, The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the
West and Fails Everywhere Else. New York: Basic Books, 2000.
FAO Rural Finance, 2010. Rural Finance Learning Centre. United Nation.
Fowler, Alan. 200. The Virtuous Spiral: A Guide to Sustainability Internasional NGO.
Earthscan, Oxford, 2000. www.mango.org.uk.
Gonzalez-Vega, Claudio ,-2003, "Lessons for Rural Finance from the Microfinance
Revolution," in Promising Practices in Rural Fi - nance: Experiences from Latin
America and the Carib-bean, Mark D. Wenner et al. (eds.), pp. 53 -66.
Hastuti E.L. dan Benjamin White. .1979. Bentuk-Bentuk Kerjasama Ekonomi Skala Kecil di
Enam Desa Contoh di Daerah Aliran Sungai Cimanuk, Jawa Barat. .Bogor. SDP/ SAE
Bogor
Langenbucher, Anja,. 2005. Warehouse receipt financing and related collateralized lending
mechanisms. Background briefing material prepared for the Commodity Risk
Management Group, Agriculture and RuralDevelopment Department of the World
Bank.
Moll, Henk A.J, 1992.The Performance of Banks in Rural Financial Markets. A Seminar on
Pioneer Problems and Premises of Rural Financial Intermediation in Developing
Countries. Wagenigen Agricultural University Wagenigen.
Nagarajan Andrichard L. Meyer , 2005