Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan, Kinerja Dan Keberlanjutan Usaha Petani Dan UMKM Perdesaan Di Jawa Barat.

(1)

1

FUNGSI INTERMEDIASI LEMBAGA KEUANGAN, KINERJA DAN KEBERLANJUTAN USAHA PETANI DAN UMKM PERDESAAN DI JAWA

BARAT

Oleh Tuti Karyani1), Maman H Karmana 2), Burhan Arief 3), Ronnie Natwidjaja4) Abstrak

Saat ini banyak lembaga keuangan yang mulai melirik sektor perdesaan sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi di AS maupun Eropa, karena faktanya sektor usaha skala besar dan non riil mendorong terjadinya kebangkrutan ekonomi. Namun demikian, hal ini tidak serta merta sudah tidak ada lagi masalah dengan permodalan di perdesaan utamanya pertanian. Oleh karena itu maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana fungsi intermediasi lembaga keuangan di perdesaan saat ini, dan bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja dan keberlanjutan usaha nasabah petani dan UMKM.

Penelitian dilakukan di Jawa Barat dengan objek BRI Unit, BPR dan Koperasi sebagai lembaga keuangan pelopor di perdesaan. Jumlah sampel 225 orang yang dipilih melalui teknik multi stage cluster random sampling, dengan analisis statistik yang digunakan ialah Structural Equation Modelling (SEM)

Hasilnya menunjukkan bahwa fungsi intermediasi bervariasi berdasarkan kelompok lembaga keuangan. Fungsi intermediasi BRI Unit paling baik dengan adanya agen “Mantri” yang memperlancar proses dalam intermediasi, sebaliknya fungsi intermediasi pada koperasi paling buruk, terutama pada koperasi petani padi. Untuk koperasi perikanan dan peternakan yang terakait dengan input faktor dan pemasaran produk relatif lebih baik. Analisis SEM menunjukkan bahwa fungsi intermediasi yang diproksi dari kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kinerja usaha dan keberlanjutan usaha.

Kata Kunci: fungsi intermediasi, mantri, kinerja usaha dan keberlanjutan usaha

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi pada sektor keuangan di eropa disinyalir akan memberikan efek domino bagi negara eropa lainnya, bahkan ke negara-negara di Asia. Krisis ini dipicu karena kegiatan perekonomian sebagian besar didanai dari hutang yang digunakan untuk kegiatan usaha skala besar dan sektor

1-4) Dosen Universitas Padjadjaran


(2)

2

non riil dengan menapikan sektor UMKM,. sehingga ketika krisis terjadi maka perekonomian menjadi lumpuh.

Kondisi ini memberikan pembelajaran bagi negara-negara lain, demikian juga dengan di Indonesia untuk tidak mengalami kejadian yang sama dan mendorong lembaga keuangan untuk melirik sektor UMKM dan perdesaan, karena sektor ini telah terbukti mampu bertahan terhadap goncangan ekonomi. Sektor perdesaan identik dengan para petani dan kehidupan para petani yang peranannya dalam pembangunan nasional dapat dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2006 - 2010 masih memberikan sumbangan sebesar 13 persen sampai 14 persen. Pentingnya peran sektor pertanian dapat dilihat juga dalam: (1) menyediakan kebutuhan pangan yang dibutuhkan masyarakat, (2) menyediakan bahan baku industri, (3) perannya sebagai sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri, (4) penyediaan tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor lain, dan (5) sumber perolehan devisa (Kuznet, 1964; Harianto,2007).

Saat ini banyak lembaga keuangan (LK) sudah mulai memasuki perdesaan, termasuk di Jawa Barat. Jawa Barat sebagai propinsi yang memiliki potensi besar dalam bidang agribinis, memiliki LK di perdesaannya lebih variatif. Apalagi dengan dicetuskannya Millenium Development Goals (MDGs) dimana sektor finansial didorong untuk memberi dukungan sektor UMKM melalui LKM. Banyaknya lembaga keuangan menyerbu perdesaan merupakan angin segar walaupun belum memberikan indikasi kemudahan masyarakat desa mendapat pelayanan dari lembaga tersebut karena faktanya keterbatasan modal (lack of capital) masih sering menjadi masalah di perdesaan.

BRI Unit, BPR dan Koperasi merupakan pemain lama yang selama ini berperan sebagai lembaga keuangan di perdesaan. Dengan masuknya berbagai macam LK ke perdesaan maka persaingan antara LK akan semakin ketat, dan ini menuntut masing-masing LK proaktif dalam merebut posisi dimata masyarakat guna mencapai tujuan yang maksimal. Oleh karena itu LK tidak saja harus memperhatikan kualitas dari produknya tetapi harus memperhatikan kepuasan nasabah melalui jasa layanan (service) yang diberikan, kualitas bukanlah untuk


(3)

3

memenuhi sejumlah kriteria yang ditetapkan pimpinan, namun sejumlah kriteria yang ditetapkan nasabah dan apa saja yang mereka inginkan.

Bagaimana lembaga keuangan perdesaan mengimplementasikan fungsi intermediasinya melalui kualitas pelayanan yang diberikan tanpa mengabaikan keberlanjutan lembaganya, karena diharapkan dengan fungsi intermediasi LKP yang optimal akan meningkatkan kemampuan nasabah dalam penguatan modal, kinerja usaha dan keberkelanjutan usaha nasabah.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pendahuluan tersebut, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penilaian nasabah terhadap kualitas pelayanan LKP dalam menjalankan fungsi intermediasinya di Jawa Barat

2. Bagaimana pengaruh fungsi intermediasi terhadap kinerja usaha dan keberlanjutan usaha nasabah LKP di Jawa Barat

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi penilaian nasabah atas kualitas pelayanan LKP dalam menjalankan fungsi intermediasinya di Jawa Barat

2. Menganalisis pengaruh fungsi intermediasi terhadap kinerja usaha dan keberlanjutan usaha nasabah LKP di Jawa Barat.

II. Kajian Pustaka

2.1 Kualitas Pelayanan Lembaga Keuangan dalam Menjalankan Fungsi Intermediasinya

Salah satu fungsi utama dari lembaga keuangan ialah fungsi intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan yang kekurangan dana. Selain itu lembaga keuangan juga merupakan lembaga yang menawarkan jasa, sehingga


(4)

4

dalam menjalankan fungsinya harus memenuhi kaidah sebagai lembaga yang memberikan pelayanan yang prima atau berkualitas. Dengan demikian maka konsep fungsi intermediasi dapat didekati dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Pendapat mengenai fungsi intermediasi harus dipandang dari sisi pelayanan lembaga keuangan diperkuat dengan Amended theory yang menyatakan bahwa Financial intermediary is an entrepreneurial provider of financial services (Scholtens, B and Van Wensveen, D.M.N, 2000).

Untuk menilai kualitas pelayanan suatu Lembaga Jasa, maka menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1995,1998), terdapat lima dimensi yang harus diperhatikan yaitu: tangible, empathy, reliability, responsiveness, assurance.

Tangibles merupakan bukti nyata dari kepedulian dan perhatian yang diberikan oleh penyedia jasa kepada konsumen. Pentingnya dimensi tangibles ini akan menumbuhkan image penyedia jasa terutama bagi konsumen baru dalam mengevaluasi kualitas jasa. Perusahaan yang tidak memperhatikan fasilitas fisiknya akan merusak image perusahaan.

Jadi yang dimaksud dengan dimensi tangibles adalah suatu lingkungan fisik perusahaan jasa dan konsumennya berinteraksi. Komponen-komponen tangibles akan memfasilitasi komunikasi jasa tersebut meliputi penampilan fisik seperti gedung, ruangan front-office, tempat parkir, kebersihan, kerapian, kenyamanan ruangan, dan penampilan karyawan. Kriteria ini berlaku terutama di perkotaan, ada pun bagi orang-orang di perdesaan penampilan fisik sebenarnya tidak begitu diperhatikan yang penting tempat tersebut fisik bangunannya bisa memberikan keamanan bagi uang yang disimpannya.

Emphaty merupakan kemampuan perusahaan yang dilakukan langsung oleh karyawan untuk memberikan perhatian kepada konsumen secara individu, termasuk juga kepekaan akan kebutuhan konsumen. Jadi komponen dari dimensi ini merupakan gabungan dari akses (acces) yaitu kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan, komunikasi merupakan kemampuan melakukan untuk menyampaikan informasi untuk mengurangi asimetri informasi kepada konsumen untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan


(5)

5

konsumen. Indikatornya bisa berupa pembinaan dan penyuluhan, perhatian terhadap usaha nasabah.

Reliability atau kehandalan merupakan kemampuan perusahaan untuk memberikan jasa sesuai dengan apa yang telah dijanjikan secara tepat waktu. Pentingnya dimensi ini adalah kepuasan konsumen akan menurun bila jasa yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Adapun indikatornya ialah: (a) kejujuran pegawai, artinya pegawai ini sudah dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang jujur, oleh karena itu pegawai ini sering berinteraksi dengan masyakat (b) pelayanan pada saat mendaftar tidak berbelit-belit, mudah, waktu pelayanan, yaitu sesuai dengan yang dijanjikan

Responsiveness atau daya tanggap merupakan kemampuan lembaga keuangan atau yang dilakukan oleh langsung karyawan untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap. Daya tanggap dapat menumbuhkan persepsi yang positif terhadap kualitas jasa yang diberikan. Termasuk di dalamnya jika terjadi kegagalan atau keterlambatan dalam penyampaian jasa, pihak penyedia jasa berusaha memperbaiki atau meminimalkan kerugian konsumen dengan segera.

Dimensi ini menekankan pada perhatian dan kecepatan karyawan yang terlibat untuk menanggapi permintaan, pertanyaan, dan keluhan konsumen. Jadi komponen atau unsur dari dimensi ini terdiri dari kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam melayani pelanggan, dan penanganan keluhan pelanggan, kejelasan informasi, pemberian pelayanan yang tidak diskriminatif.

Assurance atau jaminan merupakan pengetahuan dan perilaku employee untuk membangun kepercayaan dan keyakinan pada diri konsumen dalam mengkonsumsi jasa yang ditawarkan. Dimensi ini sangat penting karena melibatkan persepsi konsumen terhadap risiko ketidakpastian yang tinggi terhadap kemampuan penyedia jasa. Perusahaan membangun kepercayaan dan kesetiaan konsumen melalui karyawan yang terlibat langsung menangani konsumen. Jadi komponen dari dimensi ini terdiri dari kompetensi karyawan yang meliputi keterampilan, pengetahuan yang dimiliki karyawan untuk melakukan pelayanan


(6)

6

dan kredibilitas perusahaan yang meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan konsumen kepada perusahaan seperti, reputasi perusahaan, prestasi dan lain-lain. Indikatornya ialah karyawan memiliki (a) Kemampuan berkomunikasi dengan baik,(b) informasi akurat,(c) sopan santun dan ramah, (d) terampil, (e) memberikan keamanan.

Untuk masyarakat perdesaan yang lebih sederhana dalam kesehariannya, maka kualitas pelayanan yang diharapkan dari pihak lembaga keuangan dapat didekati dengan beberapa atribut di atas dengan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.

2.2 Peran Modal Hubungannya Dengan Kinerja dan Keberlanjutan Usaha Lembaga keuangan menurut Mosher (1966) merupakan salah satu dari lima syarat pelancar yang harus dipenuhi dalam pembangunan pertanian yang menyebutkan lebih spesifiknya sebagai kredit, yaitu sumber modal yang ditawarkan oleh lembaga keuangan. Keberadaan kredit merupakan penguatan terhadap kemampuan usaha petani untuk mengakses teknologi. Teknologi yang selalu berubah menurut Mosher merupakan salah satu syarat pokok pembangunan pertanian. Teknologi dalam pertanian adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan pekerjaan dan menghasilkan output yang lebih baik. Hal ini berbeda dengan istilah otomatisasi yang berarti menggantikan suatu pekerjaan yang dilakukan manusia dengan mesin (Robbins dan Coulter, 2005). Teknologi dalam pertanian dapat berupa alat-alat, pestisida, maupun metode bertani yang baru, termasuk juga teknologi pengolahan, penanganan pasca panen dan pemasaran hasil.

Dengan demikian keberadaan kredit melalui lembaga keuangan perdesaan penting untuk menguatkan sistem produksi dan pengolahan yang masih tradisional. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan. Namun demikian keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah perdesaan. Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan, sehingga kemudian menyebabkan masyarakat berada dalam posisi tersubordinasi (Ellis dan


(7)

7

Biggs, 2001). Karena itu, para perumus kebijakan pembangunan perdesaan harus mengawinkan kelembagaan sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan, khususnya usaha pertanian dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Secara faktual di sektor pertanian dan perdesaan, usaha kecil (termasuk skala mikro) memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Hasil kajian Wijono (2005) menunjukkan bahwa 85 persen kontribusi sektor pertanian terhadap PDB didominasi oleh unit usaha berskala kecil. Implikasinya adalah setiap langkah dalam memacu perekonomian perdesaan yang umumnya berbasis pada sektor pertanian, harus disertai dengan upaya memajukan usaha skala mikro/kecil. Kontribusi usaha kecil dalam penyerapan tenaga kerja juga sangat dominan. Pada tahun 2004 jumlah tenaga kerja yang terserap di usaha kecil mencapai 70,92 juta, jauh lebih besar dibandingkan dengan usaha menengah (8,15 juta) dan usaha besar (0,40 juta), bahkan di Jawa Barat pada tahun 2010 mampu menyerap 80% dari total angkatan kerja. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sektor pertanian dan UMKM terlalu berharga untuk diabaikan (Abdullah, 2006).

Dalam implementasinya, kredit ini memberikan tambahan modal atau dengan kata lain terdapat penguatan modal. melaksanakan usahanya sehingga para pelaku usaha tani pada gilirannya akan mampu menggunakan teknologi dengan lebih baik, karena teknologi ini sebagai barang ekonomi memerlukan korbanan ekonomi untuk menjangkaunya. Selanjutnya,dengan tekonologi yang lebih baik diharapkan produktivitas usahatani akan meningkat. Oleh karen itu, maka proksi dari kinerja usaha sebagai akibat dari adanya kredit ialah penguatan modal, peningkatan penggunaan teknologi dan peningkatan produktivitas usaha.

Usaha yang baik tentunya usaha yang berlangsung terus dalam jangka panjang (berkelanjutan), bukan usaha yang hanya berjalan sesaat saja. Berkaitan dengan modal yang berasal dari kredit, maka kriteria berkelanjutan tentunya terdapat kemampuan untuk membayar kredit beserta kontraprestasinya itu dengan lancar. Adapun kemampuan membayar ini akan terjadi bila usaha yang dibiayai meraih keuntungan.


(8)

8 III. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan metode survey dengan mengambil sampel nasabah Bank BRI, BPR dan Koperasi. untuk menetapkan lokasi penelitian dilakukan dengan teknik multistage cluster sampling method terdiri atas suatu seri klaster berdasarkan persamaan kriteria (Nan Lin, 1976). Kriteria yang digunakan ialah luas lahan pertaian dan jumlah lembaga keuangan yang dikelompokkan berdasarkan type agroekosistem. Berdasarkan teknik tersebut terpilih 2 kecamatan di Garut (Cikajang dan Cisurupan) dan 2 kecamatan di Indramayu (Haur Geulis dan Loh Bener).

Penilaian atas kualitas pelayanan, kinerja usaha dan keberlanjutan usaha menggunakan analisis likert, yang selanjutnya dianalisis menggunakan SEM (Structural Equation Modelling (SEM).

IV. Hasil dan Pembahasan

4.1 Penilain Nasabah Terhadap Fungsi Intermediasi LKP di Jawa Barat Berdasarkan hasil wawancara, penilaian nasabah terhadap dimensi fungsi intermediasi LKP yang didekati dari kualitas pelayanannya, diperoleh skor sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Skor Variabel Fungsi Intermediasi LKP Skor

BRI BPR Koperasi

Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar

Tangible 656 670 1326 324 323 647 929 717 1646 Reliability 505 500 1005 244 254 498 706 546 1252 Responsiveness 668 657 1325 324 327 651 919 705 1624 Assurance 517 487 1004 244 247 491 696 536 1232 Empathy 485 475 960 240 237 477 710 496 1206 Fungsi

Intermediasi 2831 2789 5620 1376 1388 2764 3960 3000 6960

Kriteria Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik


(9)

9

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi intermediasi LKP dari pendekatan mikro yaitu menurut pendapat nasabahnya sudah baik. Artinya lembaga keuangan baik BRI Unit, BPR dan koperasi oleh nasabahnya sudah menjalankan fungsi intermediasinya. Namun walaupun secara total skor termasuk klasifikasi (kriteria) baik, tetapi bila dibandingkan antar lokasi, maka LKP di Garut (agroekosistem dataran tinggi) sebaran penilaian untuk BRI Unit dinilai lebih baik dibandingkan BPR dan Koperasi, karena sebesar 40% menilainya sangat baik dan 60% baik; adapun untuk BPR sebanyak 10% yang menilainya sangat baik dan sisanya baik; bahkan untuk koperasi terdapat penilaian kualitas pelayanan yang masih termasuk kriteria kurang baik yaitu 8%

Untuk Kabupaten Indramayu penilaian nasabah terhadap fungsi intermediasi LKP secara total hampir sama dengan di Kabupaten Garut yaitu termasuk dalam kriteria baik walaupun skor-nya berbeda untuk tiap indikator, yaitu untuk BRI Unit skornya termasuk kriteria sangat baik dan baik, demikian juga dengan BPR. Untuk LK Koperasi bahkan masih ada yang menilai fungsi intermediasi tidak baik sebesar 2%.

Koperasi di Indramayu yang anggotanya masih ada yang menilai fungsi intermediasi tidak baik ialah untuk Koperasi Bina Hasil Tani yang posisinya ada di bawah binaan PT Pertani tetapi membuka kesempatan untuk petani sekitar bahkan sampai keluar kecamatan untuk bergabung menjadi anggota koperasi. Hal ini dimaksudkan ke depannya untuk bisa ditarik ke dalam program Resi Gudang (RG) yang diujicobakan di PT Pertani sebagai pemilik gudang sejak tahun 2008, dan diimplementasikan tahun 2009 sampai sekarang, tetapi kapasitas gudang yang harusnya mencapai 10.000 ton tidak terpenuhi, sehingga menyebabkan biaya gudang menjadi mahal, dan ini pula yang menjadi salah satu keberatan petani.

4.2 Kinerja Usaha Petani dan UMKM Berdasarkan LKP

Jasa yang diintermediasi dari pihak yang surplus terhadap pihak yang defisit ialah kredit. Secara teoritis kredit dapat meningkatkan permodalan sehingga bisa lebih kuat, nasabah akan lebih bisa mengakses teknologi yang lebih


(10)

10

baik dan pada gilirannya bisa meningkatkan produktivitas usahanya. Penilaian mengenai pengaruh kredit di Garut untuk semua lembaga keuangan ternyata secara total dilihat dari skor-nya termasuk ke dalam kriteria kurang berpengaruh baik. Keadaan ini secara teoritis bukan salah melainkan disebabkan ada beberapa alasan yaitu: 1) terdapat mis-alokasi kredit (lihat alokasi kredit), karena selain untuk produksi nasabah menggunakannya untuk konsumtif termasuk untuk memenuhi keperluan untuk pendidikan 2) jumlah kredit yang diberikan dirasakan sangat kurang sehingga tidak cukup untuk menjangkau teknologi lebih baik,

3) Tidak merasa perlu menggunakan teknologi baru, karena menganggap teknologi yang sudah ada sudah cukup baik, 4) Produktifitas bila tidak ada hama atau penyakit, dianggap normal saja.

Tabel 4.2 Skor Pengaruh Kredit LKP Terhadap Kinerja Usaha Nasabah

BRI BPR Koperasi

Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar

Penguatan modal 156 164 320 80 61 141 97 166 263

Pening Teknologi 87 81 168 32 44 76 116 81 197

Produktivitas 166 167 333 78 75 153 152 179 331

Jumlah Skor 409 412 821 190 180 370 365 426 791

Kriteria Baik Baik Baik

Krg baik

Krg Baik

Krg Baik

Tdk Baik

Krg Baik

Tdk baik

Secara parsial pengaruh kredit terhadap kinerja untuk kelompok nasabah LKP ternyata menyebar dari yang menganggap sangat baik pengaruhnya sampai sangat tidak baik. Untuk LK Bank BRI Unit, lebih banyak menyatakan berpengaruh baik karena memang digunakan untuk modal usaha, tetapi yang mencolok di koperasi, sebagai contoh di KPGS, kredit kurang berpengaruh bahkan tidak berpengaruh baik terhadap kinerja usaha, bukan karena tidak digunakan untuk penguatan modal (karena bentuk makanan ternak) menurut penilaian mereka sangat tidak berpengaruh disebabkan harga makanan ternak (makter) terlalu mahal (Rp 1.700 sd Rp 1.800), sedangkan harga jual susu per


(11)

11

liter Rp 2690 s/d Rp. 2700, sehingga peternak memberikan ransum sapinya dengan dosis yang tidak sesuai aturan.

Di BRI Unit di Indramayu, pengaruh kredit terhadap kinerja menurut penilaian nasabahnya sebagian besar berpengaruh baik karena sebagian besar kreditnya digunakan untuk membeli faktor produksi termasuk untuk menggadai sawah baru, karena salah satu bentuk investasi atau tabungan di Indramayu adalah sawah yang diperoleh secara gadai. Biasanya sawah yang digadai merupakan sawah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dengan ketentuan masyarakat menanam padi dari lahan yang dicetaknya dan Perhutani menitipkan kayu putih. Kebiasaan menggadaikan kembali sawah yang dicetak petani ini menunjukkan bahwa mereka memerlukan uang tunai dan jangka waktu gadai paling tidak selama 2 musim tanam.

Nasabah BPR menilai pengaruh kredit terhadap kinerja usaha cukup merata dari yang sangat baik sampai sangat tidak baik sehingga dilihat dari skornya termasuk kurang baik. Yang menilai tidak baik ialah petani yang menggunakan kreditnya untuk modal usahataninya, tetapi ternyata padinya hancur akibat serangan hama wereng. Petani tidak mendapat perlindungan padahal hutangnya tetap harus dibayar. Walaupun demikian, kebijakan BPR yang sudah benar-benar mengenal nasabahnya tetap memberikan pinjaman berikutnya agar nasabahnya tetap bisa berusaha dan mengembalikan kreditnya.

Untuk nasabah koperasi persentase yang menilai pengaruh kredit baik terhadap kinerja usaha lebih tinggi dibandingkan BPR terutama untuk koperasi mina yang kreditnya benar-benar merupakan faktor produksi untuk menjalankan usahanya berupa perbekalan selama menangkap ikan di laut. Adapun yang menilai kredit tidak berpengaruh disebabkan nilai kredit kurang sesuai dengan kebutuhan, juga disebabkan merasa permintaan kreditnya belum terpenuhi sehingga tidak berpengaruh terhadap kinerja usahanya.


(12)

12

4.3 Keberlanjutan Usaha Berdasarkan Penilaian Nasabah LKP

Sebagai gambararan konkrit dari fungsi intermediasi ialah penyaluran kredit dari LK kepada nasabah yang awalnya mempengaruhi kinerja usaha, akan mempengaruhi pula terhadap sustainability (keberlanjutan) usaha. Keberlanjutan usaha terjadi bila usaha jalan terus sebagai akibat adanya keuntungan dan pada gilirannya mempunyai kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya.

Penilaian bahwa kinerja usaha ini mempengaruhi keberlanjutan usaha kenyataannya juga sejalan, yaitu bagi yang menggunakan sebagaimana mestinya maka berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha nasabah menjadi baik. Walaupun demikian terdapat fenomena yang berbeda di lapangan, yaitu nasabah yang menilai fungsi intermediasi LK kurang berpengaruh terhadap kinerja usaha tetapi sebenarnya mereka punya keyakinan bahwa seandainya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (hama, harga produk yang jatuh) maka keberadaan kredit dapat membuat usaha mereka beruntung dan apa pun yang terjadi mereka sadar betul pentingnya melunasi kredit karena khawatir tidak akan diberi kredit berikutnya, apalagi kredit yang mereka ambil bukan kredit program pemerintah. Dengan demikian kesadaran melunasi kredit sebagai kewajiban yang harus dikembalikan untuk kredit komersial sangat bagus, dan ini pula yang memberi spirit yang lebih tinggi bagi bank untuk lebih banyak mengucurkan kredit komersialnya daripada kredit program pemerintah. Kondisi ini memang terjadi pada kredit komersial yang dikucurkan oleh LKP pada kasus penelitian ini. Penilaian terhadap keberlanjutan usaha berdasarkan lembaga keuangan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Penlaian Nasabah Terhadap Pengaruh Kredit Terhadap Keberlanjutan Usaha

BRI BPR Koperasi

Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar Grt Ida Jabar

Profitabilitas 172 174 346 86 80 166 189 193 382

Kemampuan

bayar 187 197 384 92 99 191 293 220 513

Jumlah 359 371 730 178 179 357 482 413 895

Kriteria

Sangat Baik

Sangat Baik

Sangat Baik

Sangat Baik

Sangat Baik

Sangat


(13)

13

Skor penilaian terhadap keberlanjutan usaha untuk setiap LKP, baik untuk Kabupaten Garut maupun Indramayu, sebenarnya bervariasi.

Di Kabupaten Garut untuk nasabah koperasi ada yang menilainya tidak baik pengaruhnya karena merasa bahwa kredit yang diperolehnya tidak cukup untuk meningkatkan keuntungan. Banyak faktor lain yang mempengaruhi keuntungan sehingga petani dan UMKM bisa berkelanjutan usahanya. Sebagai contoh ketika petani mendapat kredit dalam waktu bersamaan dengan harga komoditas sayur yang ditanamnya sedang jatuh, maka mereka tidak mendapat keuntungan. Selain itu faktor alokasi penggunaan kredit yang kurang sesuai juga menjadi penyebab buruknya keberlanjutan usaha, sebagaimana terjadi pada penilaian nasabah koperasi.

Untuk kredit natura berupa makanan ternak (konsentrat) di KPGS dan KUD Cisurupan memang digunakan untuk faktor produksi, tetapi dalam implementasinya beberapa peternak tidak membeli/mengkredit konsentrat sesuai kebutuhan. Hal ini terjadi karena harga konsentrat yang mahal mencapai Rp. 1800/kg, sementara harga susu yang diterima peternak hanya Rp 2700. Setiap ekor sapi membutuhkan 5 kg makanan ternak per hari dengan produksi susu maksimal 15 liter per hari dan rata-rata 11 liter. Kondisi ini menyebabkan peternak mengurangi penggunaan konsentrat, apalagi sapi peternak tidak semuanya sudah berumur produktif.

Harga susu yang dianggap wajar oleh peternak ialah Rp 3500/liter, karena peternak memiliki kewajiban-kewajiban lain baik yang sifatnya variabel maupun tetap, seperti iuran wajib, tabungan sukarela yang progresif sesuai jumlah susu yang dihasilkannya, disamping pula angsuran bila punya hutang baik karena kredit uang, berupa natura ( makanan ternak dan sembako)

Berdasarkan kelompok LKP, baik di Garut maupun Indramayu yang dinilai sangat baik terhadap usaha yang berkelanjutan ialah BRI Unit, ada pun untuk BPR dinilai baik,. Berbeda pada Koperasi, di Kabupaten Garut dinilai baik sedangkan di Indramayu kurang baik. Secara keselurahan simpulannya untuk


(14)

14

Garut pengaruh terhadap keberlanjutan usaha sudah baik, sedangkan di Indramayu tergolong kurang baik.

4.4 Analisis Pengaruh Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan Terhadap Kinerja Usaha dan Keberlanjutan Usaha Nasabah

Alat analisis yang digunakan ialah Structural Equation Modelling (SEM). Sebelum dilakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap data hasil penelitian yang meliputi uji validitas dan reliabilitas, uji normalitas serta yang uji kesesuaian model (goodness of fit).

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa semua item pernyataan valid sehingga tidak ada yang direduksi pada analisis selanjutnya. Koefisien reliabilitas kuesioner ketiga variabel yang diteliti juga semuanya lebih besar dari 0,7 sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang digunakan sudah memberikan hasil yang konsisten.

Hasil uji normalitas multivariat, diperoleh nilai chi-square sebesar 297,557 dengan p-value 0,000, oleh karena p-value lebih kecil dari 0,05 dapat disimpulkan bahwa data variabel manifes (indikator) tidak berdistribusi normal multivariat. Sesuai dengan hasil uji normalitas data (tidak normal), maka metode estimasi yang cocok digunakan untuk menguji pengaruh fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas dengan kinerja usaha sebagai variabel perantara adalah metode robust maximum likelihood.

Hasil ukuran kesesuaian absolut menunjukkan model yang diperoleh memenuhi kriteria goodness of fit pada ukuran RMSEA yang relatif kecil (0,037 < 0,080) dan ukuran Goodness of Fit Index yang relatif besar (0,964 > 0,90) sehingga dapat disimpulkan bahwa model empiris yang diperoleh sudah sesuai dengan model teoritis. Untuk ukuran parsimonius (CFI, IFI, RFI) semua memenuhi kriteria model yang baik, yaitu lebih besar dari 0.9.

Pada uji kecocokoan model (goodness of fit) menyimpulkan bahwa model dapat diterima, artinya model yang diperoleh dapat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yang telah ditetapkan. Menggunakan metode estimasi robust maximum likelihood diperoleh diagram jalur full model pengaruh fungsi


(15)

15

intermediasi terhadap sustainabilitas melalui dan kinerja usaha sebagai variabel perantara seperti terlihat pada Gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1 Koefisien Standarisasi Permodelan Persamaan Struktural

Melalui bobot faktor yang terdapat pada Gambar 4.1 dapat dilihat pada variabel laten fungsi intermediasi (ksi), indikator X3 (responsiveness) lebih dominan dalam merefleksikan variabel laten fungsi intermediasi (ksi), kemudian disusul indikator X2 (reliability). Selanjutnya indikator X5 (empathy) paling rendah dalam merefleksikan variabel laten fungsi intermediasi (ksi)

Pada variabel laten endogen kinerja usaha (eta1), indikator Y1 (penguatan modal) lebih dominan dalam merefleksikan variabel laten kinerja usaha (eta1). Adapun indikator Y2 (peningkatan teknologi ) merupakan yang paling rendah dalam merefleksikan variabel laten kinerja usaha (eta1). Kemudian pada variabel laten sustainabilitas (eta2), indikator Z1 (profit) lebih dominan dalam merefleksikan variabel laten keberlanjutan/sustainabilitas (eta2), dibanding indikator Z2 (solvabilitas ).

Selanjutnya dilakukan pengujian apakah indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten kinerja usaha kecil menengah dan pertanian memiliki derajat kesesuaian yang tinggi melalui pendekatan construct


(16)

16

reliability dan variance extracted. Hasil pengujian untuk masing masing indikator variabel laten diuraikan pada Tabel 4.4 sebagai berikut:

Tabel 4.4 Construct Reliability dan Variance Extracted Masing-Masing Variabel Laten

Variabel Manifes Bobot Faktor () Variabel Laten

Ksi Eta1 Eta2

X1 0,7060

X2 0,7634

X3 0,7924

X4 0,7883

X5 0,6150

Y1 0,8730

Y2 0,7251

Y3 0,7698

Z1 0,9185

Z2 0,7594

  3,6651 2,3679 1,6779

 2

2,7088 1,8805 1,4203

  2,2912 1,1195 0,5797

Construct Reliability 0,9307 0,8486 0,7379

Variance Extracted 0,5418 0,6268 0,7102

Pada variabel laten fungsi intermediasi, nilai variance extracted sebesar 0,5418 menunjukkan bahwa 54,18% informasi yang terkandung pada variabel manifes (kelima indikator) dapat terwakili dalam variabel laten fungsi intermediasi. Kemudian nilai construct reliability dari kelima indikator variabel laten fungsi intermediasi (0,9307) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70. Pada variabel laten kinerja usaha, nilai variance extracted sebesar 0,6268 menunjukkan bahwa 62,68% informasi yang terkandung pada variabel manifes (ketiga indikator) dapat terwakili dalam variabel laten kinerja usaha. Adapun nilai construct reliability dari ketiga indikator variabel laten kinerja usaha (0,8486)masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.

Pada variabel laten sustainabilitas, nilai variance extracted sebesar 0,7102 menunjukkan bahwa 71,02% informasi yang terkandung pada variabel manifes (kedua indikator) dapat terwakili dalam variabel laten sustainabilitas. Kemudian


(17)

17

nilai construct reliability dari kedua indikator variabel laten sustainabilitas (0,7379)masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.

1) Model Struktural

Model struktural adalah model yang menghubungkan variabel laten exogenous dengan variabel laten endogenous atau hubungan variabel endogenous dengan variabel endogenous lainnya. Berikut rangkuman nilai-nilai yang digunakan dalam model struktural.

Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Uji Statistik

Sub Struktur Jalur Koefisien thitung* R-Square

Pertama Ksi  Eta1 0,5517 8,9830 0,3044

Kedua Ksi  Eta2 0,4567 5,8888 0,3999

Eta1 Eta2 0,2528 3,1350

*

t

kritis= 1,96

Fungsi intermediasi dapat memberikan penjelasan sebesar 30,44% terhadap kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis dan sisanya sebesar 69,56% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Kemudian secara bersama-sama fungsi intermediasi dan kinerja usaha memberikan penjelasan sebesar 39,99% terhadap sustainabilitas petani dan UMKM berbasis agribisnis, sedangkan sisanya sebesar 60,01% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti.

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas melalui kinerja usaha sebagai variabel perantara.

1) Pengaruh Fungsi Intermediasi Terhadap Kinerja Usaha

Pada Tabel 4.5 dapat dilihat koefisien jalur fungsi intermediasi (ksi) terhadap kinerja usaha (eta1) sebesar 0,5517 dengan arah positif, artinya fungsi intermediasi yang dijalankan dengan baik akan meningkatkan kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Nilai thitung (8,9830) lebih besar dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa fungsi intermediasi (ksi) memberikan


(18)

18

pengaruh yang signifikan terhadap kinerja usaha (eta2) pada usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Secara langsung fungsi intermediasi memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,55172 × 100%) = 30,44% terhadap kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis.

2). Pengaruh Fungsi Intermediasi Terhadap Keberlanjutan Usaha (Sustainability)

Pada Tabel 4.5 dapat dilihat koefisien jalur fungsi intermediasi (ksi) terhadap sustainabilitas (eta2) sebesar 0,4567 dengan arah positif, artinya fungsi intermediasi yang dijalankan dengan baik akan meningkatkan sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Nilai thitung (5,8888) lebih besar dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa fungsi intermediasi (ksi) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sustainabilitas (eta2) pada usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Secara langsung fungsi intermediasi memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,45672 × 100%) = 20,86% terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Kemudian pengaruh tidak langsung fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis melalui kinerja usaha sebesar (0,4567 × 0,5517 × 0,2528) × 100% = 6,37 persen.

3). Pengaruh Kinerja Usaha Terhadap Keberlanjutan Usaha (Sustainability)

Koefisien jalur kinerja usaha (eta1) terhadap sustainabilitas (eta2) sebesar 0,2528 dengan arah positif, artinya semakin baik kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis meningkatkan sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis tersebut. Selanjutnya nilai thitung (3,1350) lebih besar dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa kinerja usaha (eta1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sustainabilitas (eta2) pada usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis . Secara langsung kinerja usaha


(19)

19

memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,25282 × 100%) = 6,39% terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis.

Dari hasil analisis SEM ini menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah sesuai dengan hipotesis bahwa fungsi intermediasi berpengaruh terhadap kinerja dan sustainabilitas usaha baik secara langsung maupun tidak langsung, demikian juga kinerja usaha terhadap sustainabilitas usaha.

V. Simpulan dan Saran

5.1 Simpulan

1. Fungsi intermediasi lembaga keuangan perdesaan yang paling baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional ialah BRI Unit. Kunci keberhasilan dari BRI Unit ialah karena adanya “mantri” sebagai ujung tombak (agen) yang menjembatani hubungan antara BRI Unit dengan nasabahnya. Demikian juga untuk BPR, fungsi intermediasinya juga dinilai baik oleh masyarakat karena memiliki agen seperti mantri yang bertugas di lapangan mengadakan kunjungan ke nasabah, bahkan memberikan pelayanan tabungan sekalipun uang nasabah tersebut berupa recehan. Walaupun demikian, karena penguasaan teknologi, sumberdaya manusia serta permodalan yang kurang, menyebabkan lembaga ini bertambah terpuruk dan sulit bersaing dengan lembaga keuangan lain yang mulai bermunculan di perdesaan. Untuk koperasi, walaupun merupakan milik anggota tetapi karena anggota sebagai pemilik memiliki keterbatasan dalam mengakumulasi permodalannya, ditambah kekurangprofesionalan manajemen dan karyawan dalam memberikan pelayanan, fungsi intermediasi koperasi dinilai masih kurang. Upaya jemput bola, kekuatan posisi tawar (bargain) serta upaya peningkatan nilai tambah masih dirasakan kurang pada koperasi, terutama pada koperasi yang anggotanya petani padi. 2. Fungsi intermediasi berpengaruh positif terhadap kinerja usaha terutama dalam permodalan dan produktivitas adapun untuk peningkatan teknologi masih belum terrefleksikan dengan baik. Fungsi intermediasi dan kinerja usaha


(20)

20

berpengaruh positif terhadap keberlanjutan usaha baik langsung maupun tidak langsung terutama dalam meningkatkan kemampuan mendapat keuntungan. Artinya semakin baik pelayanan LKP (terutama dalam menyalurkan kredit), maka akan meningkatkan kinerja usaha dan pada gilirannya akan menciptakan keberlanjutan usaha.

5.2 Saran

1. Untuk memelihara eksistensi LKP, maka LKP tersebut harus terus meningkatkan kualitas pelayanan untuk memenangkan persaingan dengan para pemain baru melalui cara memperbaiki sikap empathy terhadap nasabah. Oleh karena sikap ini bersifat personal, maka peran agen seperti Mantri (di BRI) perlu ditingkatkan, dan bagi LKP yang belum memiliki SDM seperti mantri, perlu mengadopsi cara BRI tersebut. Selain itu, LKP perlu menerapkan lebih fleksibel cara pembayaran kembali kredit disesuaikan dengan pola usaha nasabah. Penerapan teknik pembayaran kredit „yarnen‟ pada usahatani perlu dikembangkan terus.

2. Agar kinerja usaha semakin baik terutama produktifitas usahanya, maka penggunaan kredit untuk penggunaan teknologi yang tepat, lebih ditingkatkan. Oleh karena itu harus ada pendampingan terutama untuk mengawasi penggunaan modal sesuai dengan tujuan kreditnya, terutama dalam penggunan teknologi dengan dilibatkannya PPL. Demikian juga untuk indikator kemampuan dan kemauan membayar kembali perlu ditingkatkan pemahaman dan pengertian kepada nasabah tentang pentingnya membayar kembali kreditnya agar usaha LKP berkelnjutan karena modal yang dipinjamkan merupakan modal dari masyarakat juga, selain itu juga untuk menjaga hubungan baik dengan LKP agar bisa meminjam kembali untuk masa berikutnya.


(21)

21

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Burhanudin , 2006. Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: LP3ES.

Ellis, Frank dan Stephen Biggs.2001. Evolving Themes in Rural Development 1950s-2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448.

Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Bogor. IPB. Bogor.

Kuznets S. 1964. Economic Growth and Contribution of Agriculture in Eicher CK and Witt LW (Eds). Agriculture in Economic Development. New York: McGraw Hill.

Mosher, A.T. 1966. Getting Agricultural Moving, Essential for Development & Modernization. New York, Washington. London: Fredrich A Preager Publisher.

Nan Lin, 1976. Foundations of Social Research. Mc Graw-Hill, Departement of Sociology State University of New York , Albani

Parasuraman, A. Valarie, A. Zeithaml, & L. Berry, 1998. Communication and Control Processes in the Delivery of Service Quality, Journal of Marketing, Vol. 52,pp.35-48.

Robbins, Stephen P. and Mary Coulter. 2005. Manajemen –Ed. 7–jilid 2, Alih Bahasa T. Hermaya; Penyunting Bahasa Bambang Sarwiji. Jakarta: Indeks Scholtens, B., and van Wensveen, D.M.N. (2000). A Critique on The Theory of

Financial Intermediation, Journal of Banking and Finance 24, 1243-1251 Wijono, W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu

Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus.

http://www.fiskal.depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo-diakses 20 Januari 2010


(1)

16

reliability dan variance extracted. Hasil pengujian untuk masing masing indikator variabel laten diuraikan pada Tabel 4.4 sebagai berikut:

Tabel 4.4 Construct Reliability dan Variance Extracted Masing-Masing Variabel Laten

Variabel Manifes Bobot Faktor () Variabel Laten

Ksi Eta1 Eta2

X1 0,7060

X2 0,7634

X3 0,7924

X4 0,7883

X5 0,6150

Y1 0,8730

Y2 0,7251

Y3 0,7698

Z1 0,9185

Z2 0,7594

  3,6651 2,3679 1,6779

 2

2,7088 1,8805 1,4203

  2,2912 1,1195 0,5797

Construct Reliability 0,9307 0,8486 0,7379

Variance Extracted 0,5418 0,6268 0,7102

Pada variabel laten fungsi intermediasi, nilai variance extracted sebesar 0,5418 menunjukkan bahwa 54,18% informasi yang terkandung pada variabel manifes (kelima indikator) dapat terwakili dalam variabel laten fungsi intermediasi. Kemudian nilai construct reliability dari kelima indikator variabel laten fungsi intermediasi (0,9307) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70. Pada variabel laten kinerja usaha, nilai variance extracted sebesar 0,6268 menunjukkan bahwa 62,68% informasi yang terkandung pada variabel manifes (ketiga indikator) dapat terwakili dalam variabel laten kinerja usaha. Adapun nilai construct reliability dari ketiga indikator variabel laten kinerja usaha (0,8486) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.

Pada variabel laten sustainabilitas, nilai variance extracted sebesar 0,7102 menunjukkan bahwa 71,02% informasi yang terkandung pada variabel manifes (kedua indikator) dapat terwakili dalam variabel laten sustainabilitas. Kemudian


(2)

17

nilai construct reliability dari kedua indikator variabel laten sustainabilitas (0,7379) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.

1) Model Struktural

Model struktural adalah model yang menghubungkan variabel laten exogenous dengan variabel laten endogenous atau hubungan variabel endogenous dengan variabel endogenous lainnya. Berikut rangkuman nilai-nilai yang digunakan dalam model struktural.

Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Uji Statistik

Sub Struktur Jalur Koefisien thitung* R-Square

Pertama Ksi  Eta1 0,5517 8,9830 0,3044

Kedua Ksi  Eta2 0,4567 5,8888 0,3999

Eta1 Eta2 0,2528 3,1350 *tkritis = 1,96

Fungsi intermediasi dapat memberikan penjelasan sebesar 30,44% terhadap kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis dan sisanya sebesar 69,56% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Kemudian secara bersama-sama fungsi intermediasi dan kinerja usaha memberikan penjelasan sebesar 39,99% terhadap sustainabilitas petani dan UMKM berbasis agribisnis, sedangkan sisanya sebesar 60,01% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti.

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas melalui kinerja usaha sebagai variabel perantara.

1) Pengaruh Fungsi Intermediasi Terhadap Kinerja Usaha

Pada Tabel 4.5 dapat dilihat koefisien jalur fungsi intermediasi (ksi) terhadap kinerja usaha (eta1) sebesar 0,5517 dengan arah positif, artinya fungsi intermediasi yang dijalankan dengan baik akan meningkatkan kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Nilai thitung (8,9830) lebih besar dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa fungsi intermediasi (ksi) memberikan


(3)

18

pengaruh yang signifikan terhadap kinerja usaha (eta2) pada usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Secara langsung fungsi intermediasi memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,55172 × 100%) = 30,44% terhadap kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis.

2). Pengaruh Fungsi Intermediasi Terhadap Keberlanjutan Usaha (Sustainability)

Pada Tabel 4.5 dapat dilihat koefisien jalur fungsi intermediasi (ksi) terhadap sustainabilitas (eta2) sebesar 0,4567 dengan arah positif, artinya fungsi intermediasi yang dijalankan dengan baik akan meningkatkan sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Nilai thitung (5,8888) lebih besar dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa fungsi intermediasi (ksi) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sustainabilitas (eta2) pada usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Secara langsung fungsi intermediasi memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,45672 × 100%) = 20,86% terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis. Kemudian pengaruh tidak langsung fungsi intermediasi terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis melalui kinerja usaha sebesar (0,4567 × 0,5517 × 0,2528) × 100% = 6,37 persen.

3). Pengaruh Kinerja Usaha Terhadap Keberlanjutan Usaha (Sustainability)

Koefisien jalur kinerja usaha (eta1) terhadap sustainabilitas (eta2) sebesar 0,2528 dengan arah positif, artinya semakin baik kinerja usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis meningkatkan sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis tersebut. Selanjutnya nilai thitung (3,1350) lebih besar dibanding tkritis (1,96) memberikan bukti empiris bahwa kinerja usaha (eta1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sustainabilitas (eta2) pada usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis . Secara langsung kinerja usaha


(4)

19

memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar (0,25282 × 100%) = 6,39% terhadap sustainabilitas usaha petani dan UMKM berbasis agribisnis.

Dari hasil analisis SEM ini menunjukkan bahwa model yang dibangun sudah sesuai dengan hipotesis bahwa fungsi intermediasi berpengaruh terhadap kinerja dan sustainabilitas usaha baik secara langsung maupun tidak langsung, demikian juga kinerja usaha terhadap sustainabilitas usaha.

V. Simpulan dan Saran

5.1 Simpulan

1. Fungsi intermediasi lembaga keuangan perdesaan yang paling baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional ialah BRI Unit.

Kunci keberhasilan dari BRI Unit ialah karena adanya “mantri” sebagai ujung

tombak (agen) yang menjembatani hubungan antara BRI Unit dengan nasabahnya. Demikian juga untuk BPR, fungsi intermediasinya juga dinilai baik oleh masyarakat karena memiliki agen seperti mantri yang bertugas di lapangan mengadakan kunjungan ke nasabah, bahkan memberikan pelayanan tabungan sekalipun uang nasabah tersebut berupa recehan. Walaupun demikian, karena penguasaan teknologi, sumberdaya manusia serta permodalan yang kurang, menyebabkan lembaga ini bertambah terpuruk dan sulit bersaing dengan lembaga keuangan lain yang mulai bermunculan di perdesaan. Untuk koperasi, walaupun merupakan milik anggota tetapi karena anggota sebagai pemilik memiliki keterbatasan dalam mengakumulasi permodalannya, ditambah kekurangprofesionalan manajemen dan karyawan dalam memberikan pelayanan, fungsi intermediasi koperasi dinilai masih kurang. Upaya jemput bola, kekuatan posisi tawar (bargain) serta upaya peningkatan nilai tambah masih dirasakan kurang pada koperasi, terutama pada koperasi yang anggotanya petani padi. 2. Fungsi intermediasi berpengaruh positif terhadap kinerja usaha terutama dalam permodalan dan produktivitas adapun untuk peningkatan teknologi masih belum terrefleksikan dengan baik. Fungsi intermediasi dan kinerja usaha


(5)

20

berpengaruh positif terhadap keberlanjutan usaha baik langsung maupun tidak langsung terutama dalam meningkatkan kemampuan mendapat keuntungan. Artinya semakin baik pelayanan LKP (terutama dalam menyalurkan kredit), maka akan meningkatkan kinerja usaha dan pada gilirannya akan menciptakan keberlanjutan usaha.

5.2 Saran

1. Untuk memelihara eksistensi LKP, maka LKP tersebut harus terus meningkatkan kualitas pelayanan untuk memenangkan persaingan dengan para pemain baru melalui cara memperbaiki sikap empathy terhadap nasabah. Oleh karena sikap ini bersifat personal, maka peran agen seperti Mantri (di BRI) perlu ditingkatkan, dan bagi LKP yang belum memiliki SDM seperti mantri, perlu mengadopsi cara BRI tersebut. Selain itu, LKP perlu menerapkan lebih fleksibel cara pembayaran kembali kredit disesuaikan dengan pola usaha nasabah. Penerapan teknik pembayaran kredit „yarnen‟ pada usahatani perlu dikembangkan terus.

2. Agar kinerja usaha semakin baik terutama produktifitas usahanya, maka penggunaan kredit untuk penggunaan teknologi yang tepat, lebih ditingkatkan. Oleh karena itu harus ada pendampingan terutama untuk mengawasi penggunaan modal sesuai dengan tujuan kreditnya, terutama dalam penggunan teknologi dengan dilibatkannya PPL. Demikian juga untuk indikator kemampuan dan kemauan membayar kembali perlu ditingkatkan pemahaman dan pengertian kepada nasabah tentang pentingnya membayar kembali kreditnya agar usaha LKP berkelnjutan karena modal yang dipinjamkan merupakan modal dari masyarakat juga, selain itu juga untuk menjaga hubungan baik dengan LKP agar bisa meminjam kembali untuk masa berikutnya.


(6)

21

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Burhanudin , 2006. Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: LP3ES.

Ellis, Frank dan Stephen Biggs.2001. Evolving Themes in Rural Development 1950s-2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448.

Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Bogor. IPB. Bogor.

Kuznets S. 1964. Economic Growth and Contribution of Agriculture in Eicher CK and Witt LW (Eds). Agriculture in Economic Development. New York: McGraw Hill.

Mosher, A.T. 1966. Getting Agricultural Moving, Essential for Development & Modernization. New York, Washington. London: Fredrich A Preager Publisher.

Nan Lin, 1976. Foundations of Social Research. Mc Graw-Hill, Departement of Sociology State University of New York , Albani

Parasuraman, A. Valarie, A. Zeithaml, & L. Berry, 1998. Communication and Control Processes in the Delivery of Service Quality, Journal of Marketing, Vol. 52,pp.35-48.

Robbins, Stephen P. and Mary Coulter. 2005. Manajemen –Ed. 7–jilid 2, Alih Bahasa T. Hermaya; Penyunting Bahasa Bambang Sarwiji. Jakarta: Indeks Scholtens, B., and van Wensveen, D.M.N. (2000). A Critique on The Theory of

Financial Intermediation, Journal of Banking and Finance 24, 1243-1251 Wijono, W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu

Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus.

http://www.fiskal.depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo-diakses 20 Januari 2010