Pemuda dan Pertanian dalam Keberlanjutan

PEMUDA DAN PERTANIAN DALAM KEBERLANJUTAN KEDAULATAN PANGAN: STUDI KASUS DI LAMPUNG TENGAH DAN CILACAP

Vanda Ningrum 1 , Gutomo Bayu Aji, Makmuri Sukarno, YB. Widodo, Anggi Afriansyah

Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI

A. Pendahuluan

Pemuda dan pertanian telah menjadi kajian penting di kawasan Asia-Afrika terkait dengan pembangunan di setiap negara. Perspektif tentang pemuda juga berkembang tetapi fenomena di kawasan, termasuk Indonesia, memperlihatkan pentingnya melihat pemuda dari sisi generasi. Pendekatan tentang generasi ini mengemuka ketika hampir di semua negara yang menganut pembangunan di kawasan itu mengalami fenomena migrasi pemuda secara besar-besaran selama beberapa dekade terkahir. Problem yang hendak dikemukakan disini adalah keterkaitannya dengan dunia pertanian di daerah pedesaan, yaitu siapa yang akan melanjutkan kedaulatan pangan di tingkat rumah-tangga jika generasi muda dari keluarga petani tidak lagi tertarik dengan dunia pertanian?

Pembangunan pedesaan melalui jalan modernisasi di Indonesia sejak dasawarsa 1970-an mempunyai dampak yang besar terhadap persepsi dan aspirasi pemuda, bahkan sejak usia anak-anak. Di era sekarang, dunia pertanian dianggap oleh pemuda sebagai pekerjaan yang kotor, kasar dan tidak menguntungkan. Anggapan ini juga dipengaruhi oleh munculnya pilihan pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan pengetahuan serta keahlian yang diperoleh selama masa pendidikan sekolah yang beroirentasi pada pembangunan, antara lain PNS serta pekerjaan lain

yang bersifat formal di daerah perkotaan (Mirza, 2014). Migrasi 2 pemuda itu telah mengubah profil penduduk pedesaan terutama tenaga kerja sektor pertanian yang

saat ini dikarakteristikkan dengan tenaga kerja tua dengan rata-rata usia petani mencapai 52 tahun (BPS, 2013).

Keluarnya pemuda dari sektor pertanian dan sektor-sektor lain di daerah pedesaan telah berdampak pada struktur ketenagakerjaan yang akan memiliki implikasi jangka panjang dalam regenerasi petani. Selain di Indonesia, perubahan struktur ketenagakerjaan di sektor pertanian ini juga terjadi di negara-negara

agraris 3 lainnya di dunia, antara lain di Philipina dimana rata-rata usia petani mencapai 57 tahun, dengan kecenderungan semakin sulit ditemukan pemuda yang

1 Peneliti Kepala penelitian DIPA P2K-LIPI 2015-16, alamat email: vanda.ningrum@gmail.com 2 Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2005 merilis Sebanyak 52.000 pemuda desa

melakukan migrasi ke kota setiap tahunnya 3 Berdasarkan statistic Departemen Pertanian Filipina (2013), Data statistic petani di Eropa didukung

dalam penelitian Tascia (2010) dan Data statistik Jepang dalam penelitian Yamashita (2008).

kembali ke pertanian. Begitupun dengan negara maju seperti di Jepang dan Eropa dimana umur petani mencapai rata-rata 65 tahun. Sedangkan di negara-negara Afrika, walaupun sekitar 65% pemudanya tinggal di daerah pedesaan namun mereka tidak tertarik bekerja di sektor pertanian (White, 2009; Leavy & Smith, 2010). Dalam konteks kedaulatan pangan, fenomena keluarnya pemuda dari sektor pertanian akan menjadi permasalahan serius yang mengancam regenerasi petani.

Melalui kajian ini, pemuda 4 didekati melalui sudut pandang generasi (Alanen, 2001), yang merupakan subyek (kependudukan) penting dalam formasi sosial

pedesaan khususnya terkait dengan pertanian. Dalam kategori umur, terdapat batasan umur pemuda yang berbeda-beda menurut kepentingan pembuatnya, yang dalam kajian ini dibatasi antara 16 - 35 tahun. Dari sudut pandang itu, makalah ini menempatkan pemuda sebagai subyek regenerasi petani yang terkait secara ekonomi-politik dengan sektor pertanian secara umum, antara lain tanah, tenaga kerja, budidaya dan teknologi. Regenerasi petani menjadi bagian penting dalam kedaulatan pangan karena dalam perdebatan agraria, pertanian skala kecil merupakan corak produksi untuk mencapai kedaulatan pangan. Menurut pandangan

ini 5 , pertanian skala kecil (dalam hal ini peasantries) dipandang sebagai tipe pertanian yang bukan hanya bertolak pada kuantitas dari produksi, melainkan

memasukkan aspek kualitas pangan, demokrasi, sustainabilitas, dan resiliensi (Ploeg, 2014). Isu-isu kedaulatan pangan dalam konferensi pangan dunia 6 juga menguatkan

beberapa aspek kedaulatan yaitu, (1) mampu menjadi jembatan antara konsumen dan petani, (2) mendorong demokrasi pangan dimana pemain lokal (petani) berdaulat untuk merancang sistem pangan mereka, (3) menguatkan relasi sosial, (4) mengurangi ketergantungan pada ketidakamanan dan ketidakstabilan pada komoditi pasar global, serta (5) menjaga kelestarian lingkungan.

Sementara itu, kritik terhadap corak produksi pertanian berbasis korporasi besar yang didukung oleh lembaga donor internasional seperti IMF dan World Bank, dianggap hanya pada batas keamanan pangan (dalam hal ini ketersediaan pangan) namun jauh dari aspek-aspek kedaulatan. Dengan demikian, aspek yang menjadi penting dalam mencapai kedaulatan pangan antara lain dengan menjaga keberlanjutan generasi atau tersedianya pemuda sebagai regenerasi petani di

4 Pemuda dalam makalah ini menggunakan perspektif pendekatan relasional (Naafs &White, 2009), yang memandang pemuda sehubungan dengan dinamika hubungan mereka dengan pihak lain

(orang dewasa) dalam struktur besar reproduksi sosial. Dalam struktur sosial ini pemuda diartikan sebagai “generasi” seperti yang disampaikan oleh Alanen (2001), Selanjutnya, pengertian yang lebih praktis tentang pemuda desa adalah penduduk berusia 16 hingga 35 tahun dan tinggal di pedesaan, pada rentan usia 35 tahun, kemapanan dalam memutuskan pekerjaan dalam hidupnya dianggap telah stabil.

5 Selain akademisi, pergerakan kaum tani dunia seperti La Via Campesiana juga mendukung kedaulatan pangan melalui pertanian skala kecil.

6 Disampaikan oleh Oliver de Schutter yang merupakan perwakilan dari UN Special Rapporteur on the right to food, dalam konferensi kedaulatan pangan di Yale University tahun 2013. Dalam konferensi

ini melahirkan beberapa konsep-konsep penting tentang kedaulatan pangan yang masih terus dikembangkan dan masih dalam perdebatan khususnya tentang tipe/corak pertanian yang mampu mendukung konsep kedaulatan pangan.

daerah perdesaan untuk melanjutkan pertanian skala kecil di tingkat rumah tangga. Keberlanjutan generasi tidak terlepas dari reproduksi sosial yang bekerja dalam sistem sosial di pedesaan, karena pemuda tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh sistem sosial dan relasi-relasi sosial di dalamnya (Naafs & White, 2013).

Bertolak dari permasalahan tersebut, Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI melalui skema penelitian DIPA tahun 2015 dan 2016 melakukan penelitian tentang pemuda dan pertanian dalam keberlanjutan kedaulatan pangan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana reproduksi sosial pemuda tani terjadi di daerah pedesaan dalam konteks keberlanjutan kedaulatan pangan? Pendekatan yang digunakan adalah reproduksi sosial dengan metode kwalitatif (review, observasi, wawancara dan diskusi). Penelitian dilakukan di dua daerah yaitu Lampung Tengah dan Cilacap. Lampung Tengah dipilih karena merepresentasikan daerah yang mengalami perubahan corak produksi dari pertanian pangan skala kecil berbasis rumah-tangga ke pertanian pangan skala besar berbasis korporasi dalam kurun waktu 45 tahun terakhir. Sedangkan Cilacap dipilih karena merepresentasikan daerah yang mengalami keberlanjutan pertanian pangan skala kecil berbasis rumah- tangga dari masa kolonial hingga era globalisasi sekarang ini, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah dan salah satu daerah penghasil beras terbesar di Indonesia.

B. Petani dalam Konteks Globalisasi Pangan

Sesudah perjanjian Bretton Woods tahun 1944, tiga lembaga internasional yaitu Bank Dunia, IMF dan WTO memainkan peranan besar dalam mengatur tatanan dunia melalui liberalisasi. Gagasan liberalisasi ini juga mengubah rejim pangan yang

sebelumnya berdasarkan prinsip merkantilisme dan agribisnis kapital 7 menjadi rejim pangan korporasi yang dimulai sejak tahun 1980an (Bernstein, 2015). Melalui rejim

pangan korporasi, prinsip liberalisasi pasar dan privatisasi kapital menjadi elemen yang kuat dan mampu mengarahkan negara 8 untuk mengikuti aturan yang

diidiologikan oleh pasar yang selanjutnya memberikan kekuatan besar kepada korporasi (McMichael, 2005). Kekuatan pasar tersebut mendorong globalisasi korporasi pangan melalui mekanisme “akumulasi kapital dengan perampasan” ( accumulation by dispossession). Istilah akumulasi kapital ini kemudian digunakan oleh David Harvey (2003) untuk menggambarkan perampasan tanah ( land grabbing) yang terjadi di beberapa negara, baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara dunia ketiga, melalui proyek-proyek food estate atas dasar legitimasi

7 Merkantilisme dan agribusiness kapital oleh Bernstein (2015) dikatagorikan menjadi the first food regime yang didominasi oleh sistem pangan eropa dan the second food regime yang didominasi

oleh Amerika. 8 Melalui pembiayaan yang dipinjamkan oleh IMF ke negara berkembang dan negara, ketiga serta

aturan-aturan untuk menghilangkan hambatan pada perdagangan bebas yang telah diatur oleh WTO.

mengamankan produksi pangan dan mengatasi krisis kelaparan yang melanda dunia ketiga. Penguasaan lahan oleh korporasi kemudian terjadi secara masif khususnya di belahan bumi Selatan sehingga terjadi perubahan landscape dan ekosistem lahan, bukan lagi untuk menanam tanaman pangan yang langsung dapat dikonsumsi melainkan sebagai produksi bahan mentah untuk input industri lainnya (McMichael , 2013).

Proses perampasan lahan ini tidak sedikit menimbulkan konflik di kalangan petani kecil. Kebijakan lahan yang sebelumnya dapat dikelola oleh petani, banyak yang harus beralih menjadi penguasaan korporasi. Di Indonesia, kegagalan dalam menerapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 telah menyebabkan ketimpangan tanah yang dikuasai oleh negara, swasta dan petani. Negara yang menguasai tanah seluas 74% daratan di Indonesia (147 hektar) lebih banyak digunakan untuk pengusahaan unit-unit korporasi besar antara lain untuk kegiatan pertambangan, perkebunan swasta skala besar, pembentukan kota-kota baru dan pariwisata, serta pembangunan kawasan industri skala besar. Hingga tahun 2003, sebanyak 37,7 juta petani di Indonesia hanya menguasai tanah seluas 21,5 juta hektar sehingga terjadi ketimpangan dengan penguasaan lahan swasta yang sangat besar. Saat ini 80% petani adalah petani penggarap (tidak memiliki lahan) dengan rata-rata penguasaan lahan rumah tangga kurang dari 0.5 hektar. Sementara itu, penguasaan lahan untuk swasta semakin meningkat antara lain melalui program MIFEE (mencakup 1,2 juta ha lahan dalam 3 tahun) dan juga perluasan HGU perusahaan-perusahaan pangan swasta baik lokal maupun asing di Indonesia. Ketimpangan penguasaan lahan petani juga diiringi dengan menurunnya rumah tangga petani di Indonesia sebesar 5,4% dan kenaikan perusahaan pangan berbadan hukum sebesar 28,7% dalam kurun waktu 2003 hingga 2013 (BPS, 2013).

Selain isu land grabbing, pertanian dalam sistem neo-liberal juga memperkenalkan pertanian modern yang syarat mekanisasi serta penggunaan bahan kimia. Melalui program revolusi hijau yang diperkenalkan oleh Agency for International Development (USAID), program ini telah mempengaruhi kebijakan pemerintah di negara-negara berbasis pertanian untuk menerapkan pola pertanian modern. Pola produksi petani diarahkan untuk menggunakan mekanisasi dan bahan- bahan kimia mulai dari pupuk hingga obat-obatan pertanian, dimana bahan-bahan tersebut merupakan bagian dari produk korporasi pertanian. Termasuk juga isu terbaru dari liberalisasi pangan ini adalah GMO (Genetically modiefied organism) yang menyediakan bibit hasil transgenik baik untuk tanaman maupun hewan yang juga merupakan hak paten dari korporasi (McMickael, 2013). Program-program modernisasi pertanian tersebut yang terjadi sejak 30 tahun, telah menimbulkan ketergantungan di kalangan petani. Bahan-bahan produksi pertanian yang sebelumnya mampu mereka produksi sendiri pada saat ini harus tergantung pada korporasi swasta dan pemerintah. Diversifikasi pertanian berdasarkan kearifan lokal telah terkikis oleh kapitalisme sehingga petani menjadi tidak berdaulat atas pertaniannya sendiri.

Dalam era globalisasi saat ini, peranan korporasi dalam mempengaruhi relasi- relasi yang terjadi pada petani sangat besar. Ploeg (2008) menyebut korporasi ini sebagai empire, yaitu sistem yang sangat dominan dalam mempengaruhi proses produksi pertanian di kalangan petani. Mulai dari pra-produksi (seperti penyediaan

bahan baku), proses produksi, hingga pasar. Meskipun beberapa literatur 9 menyebutkan bahwa negara dan aturan dalam sistem pertanian di negara itu juga

merupakan bagian dari empire namun dalam era globalisasi saat ini, ploeg (2008) lebih menekankan hanya pada korporasi 10 pertanian yang mempunyai dominasi

besar terhadap petani. Dalam tulisan lainnya tentang petani sebagai penggerak terhadap kedaulatan, Ploeg menegaskan bahwa co-production yang terjadi dalam pertanian skala kecil adalah basis untuk kedaulatan petani. Co-production dalam pengertian Ploeg mencakup kemampuan petani untuk dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan. Sumber daya tersebut dapat digunakan untuk produksi yang menghasilkan panen yang dapat diakses oleh pasar secara langsung dan sebagian dari sumber daya tersebut digunakan kembali sebagai input untuk produksi selanjutnya. Selain itu, keharmonisan dengan lingkungan dalam tata cara produksi sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan pertanian bagi petani ( peasantry). Pertanyaannya kemudian adalah apakah otonomi petani dalam pengertian kemampuan menjaga co-production itu berlangsung dalam era globalisasi pangan saat ini? Pertanyaan ini masih dalam perdebatan karena dampak kegagalan reformasi dan program revolusi hijau (termasuk di Indonesia) menyisakan berbagai persoalan bagi para petani. Khususnya akses petani terhadap sumber daya yaitu (penguasaan) tanah serta kemandirian dalam pola produksi pertanian.

Kritik terhadap rejim pangan dalam konteks pertanian global yang memberikan akses besar pada korporasi telah dirangkum oleh Bernstein (2015), yang menjelaskan bukan hanya menimbulkan kontradiksi dari akumulasi kapital, teknologi baru, pasar pangan dan komoditas lainnya, melainkan juga karena ancaman ekologis serta krisis reproduksi sosial dari kelas-kelas pekerja di pedesaan. Menguatnya rejim pangan dunia dalam era globalisasi sekarang ini telah berimplikasi

serius pada pertanian pangan skala kecil yang semakin menyusut 11 serta termarjinalkan, sementara pertanian pangan berbasis badan hukum swasta dalam

bentuk korporasi baik dalam skala sedang maupun besar semakin meningkat.

9 Hardt dan Negri (2004) mengemukakan empire sebagai tatanan global baru yang terbentuk dari berbagai proses kontemporer, yang melipatkan elemen-elemen penting seperti negara-negara

dominan, institusi supranasional, korporasi kapitalis besar, dan kekuatan-kekuatan lainnya. 10 Korporasi menurut ploeg (2008) termasuk juga aktor-aktor swasta yang bermain dalam sistem

pangan seperti pengecer besar, pemilik teknologi,dan entitas besar swasta lainnya 11 Statistik jumlah rumah tangga petani di Indonesia berkurang 5,1 juta rumah tangga dalam 10 tahun

C. Reproduksi Sosial Pemuda Tani: Sebuah Pendekatan Penelitian

Konstruksi sosial kepemudaan cenderung memandang pemuda dalam dua dimensi penting yaitu pemuda sebagai generasi dan kepemudaan sebagai transisi (Naafs & White, 2013). Gagasan tentang konsep “generasi” pertama kali disoroti dalam esai klasik Mannheim pada tahun 1928 yang kemudian banyak mengilhami gagasan studi tentang kepemudaaan. Sebagai sebuah generasi, kajian tentang pemuda tidak hanya terbatas pada perbedaan-perbedaan antara pemuda dan orang dewasa, melainan pada bentuk-bentuk relasional dan fenomena struktural yang melingkupi mereka. Ketika membicarakan perubahan generasi atau relasi generasional, maka perubahan tersebut mencakup antara perubahan satu kelompok dan kelompok yang menggantikannya (Naafs & White, 2013). Dalam konteks masyarakat pedesaan yang bercorak agraris, perubahan persepsi dan aspirasi pemuda dalam memandang pertanian ke depan tidak terlepas dari relasi-relasi yang terjadi dalam struktur dan formasi sosial yang mengkontekstualisasikannya. Perubahan struktur sosial masyarakat petani yang lebih luas disebut oleh Bernstein sebagai perubahan rejim pangan, yang berimplikasi pada perubahan corak produksi pertanian dan menciptakan relasi-relasi sosial yang baru di dalamnya. Jika dalam pertanian skala kecil berbasis rumah tangga, relasi antar generasi ini terlihat dari pola hubungan kerja antara orang tua dan anak, tetapi dalam rejim pertanian yang lebih kompleks dewasa ini, hubungan kerja bukan hanya diantara sesama keluarga tetapi melibatkan struktur sosial yang lebih luas, termasuk negara (melalui instrumen aturan) dan korporasi (yang mengendalikan sumber daya dan menciptakan hubungan kerja baru) hingga pada sistem pasar yang diciptakannya.

Sedangkan pandangan mengenai kepemudaan sebagai transisi, merujuk pada periode transisi dari anak-anak menuju dewasa, dari pendidikan menuju pekerjaan, serta dari keluarga asal menuju keluarga tujuan (Lioyd, 2005; Robert, 2009). Dalam masa transisi ini perubahan-perubahan dalam kehidupan pemuda sangat dipengaruhi oleh aspirasi dan ekspektasi yang sangat terpengaruh oleh struktur sosial pemuda tersebut, seperti institusi keluarga, sekolah, maupun masyarakat (Byun, dkk., 2012). Dalam masa transisi ini, generasi muda di pedesaan baik di Indonesia maupun umumnya di negara-negara Asia Tenggara lainnya memperlihatkan bahwa mereka tidak berminat pada masa depan di sektor pertanian tetapi lebih memilih untuk bergerak ke kota (Koning, 1997, 2004, White & Margiyati 2009, Hall dkk, 2011 dalam White, 2009). Perubahan minat pemuda dan sistem ketenagakerjaan dalam pertanian yang terjadi merupakan akibat dari reproduksi sosial yang terjadi di pedesaan dewasa ini.

Wells (2009), mendefiniskan reproduksi sosial sebagai praktik material dan diskursif yang memungkinkan terjadinya reproduksi sebuah formasi sosial, termasuk hubungan antara berbagai kelompok sosial dan anggotanya. Keluarnya pemuda dari pertanian mencerminkan sebuah “krisis reproduksi sosial” di pedesaan. Ketika negara menekankan reproduksi sosial di desa melalui modernisasi termasuk sistem pendidikan, sistem pertanian modern serta industrialisasi yang berlandaskan Wells (2009), mendefiniskan reproduksi sosial sebagai praktik material dan diskursif yang memungkinkan terjadinya reproduksi sebuah formasi sosial, termasuk hubungan antara berbagai kelompok sosial dan anggotanya. Keluarnya pemuda dari pertanian mencerminkan sebuah “krisis reproduksi sosial” di pedesaan. Ketika negara menekankan reproduksi sosial di desa melalui modernisasi termasuk sistem pendidikan, sistem pertanian modern serta industrialisasi yang berlandaskan

perkotaan 12 . Melemahnya kapasitas komunitas atau seluruh masyarakat pedesaan dalam memelihara fungsi relasi sosial karena pengaruh globalisasi pangan tersebut

menyebabkan terjadinya krisis reproduksi sosial yang mengancam regenerasi petani pada pertanian skala kecil di pedesaan.

Reproduksi sosial pemuda tani dalam konteks globalisasi pangan pada saat ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain negara, korporasi swasta dan pasar serta masyarakat sebagaimana skema dibawah berikut ini.

NEGARA NEGARA

PASAR

REPRODUKSI SOSIAL

PETANI

Negara melalui berbagai kebijakan seperti kebijakan pangan, pendidikan, ekonomi pedesaan, serta aturan ketenagakerjaan mempengaruhi perubahan struktur sosial di pedesaan. Wajah desa dari tradisonal menjadi modern yang terlihat dari perubahan corak produksi pertanian, jumlah penduduk yang mengalami penurunan, tingkat pendidikan yang meningkat, kesehatan yang membaik dan sebagainya adalah perubahan sosial dari adanya pembangunan. Sementara masuknya globalisasi pasar ke pedesaan mempengaruhi perubahan-perubahan kelas sosial di masyarakat yang sebelumnya terbagi atas kelas-kelas petani namun saat ini kelas-kelas sosial di masyarakat bereproduksi menurut basis kelas antara lain jenis- jenis pekerjaan yang lebih beragam. Di tingkat masyarakat khususnya rumah-tangga petani, reproduksi sosial yang terjadi cenderung diarahkan untuk menjadikan anak- anak mereka memasuki dunia industri ataupun pekerjaan professional lainnya di

12 Termasuk didalamnya proses urbanisasi dan de-agrarianisasi (pergeseran sektoral dalam pekerjaan) umumnya dilakukan oleh pemuda 12 Termasuk didalamnya proses urbanisasi dan de-agrarianisasi (pergeseran sektoral dalam pekerjaan) umumnya dilakukan oleh pemuda

Dikeluarkannya pemuda dari reproduksi sosial petani di pedesaan menimbulkan formasi sosial baru yang menciptakan krisis di kalangan masyarakat petani yang mengancam keberlanjutan sistem pertanian mereka. Di samping itu, dikeluarkannya pemuda dari proses reproduksi sosial petani akan memberi peluang yang lebih besar kepada para petani kaya menguasai lahan-lahan pertanian, termasuk dalam kaitannya dengan penguasaan tanah dan pertanian di pedesaan oleh korporasi-korporasi pangan besar. Dalam rejim pangan korporasi, aktor-aktor dan relasi sosial yang terjadi diantara negara, korporasi swasta dan pasar, serta masyarakat sangat berpengaruh dalam konstruksi sosial tentang pemuda pedesaan serta proses-proses reproduksi sosial yang terjadi kepadanya.

D. Studi Kasus di Lampung Tengah

1. Penguasaan Tanah Marga

Globalisasi pertanian di wilayah Lampung telah berlangsung sejak sebelum masa kolonial melalui perdagangan lada dibawah komando Kesultanan Banten. Pada masa itu, setiap penduduk Lampung yang telah menikah diwajibkan untuk menanam pohon lada sebanyak 1000 pohon (Kingston, 1987). Setelah kesultanan Banten jatuh di tangan kolonial Belanda pada tahun 1857, wilayah administrasi Lampung praktis dikontrol oleh pemerintah kolonial Belanda yang kemudian membagi wilayah Lampung dalam distrik-distrik yang dipimpin oleh seorang Demang, yang tidak mengakui marga yang telah ada sebelumnya (Broersma, 1916, dalam Safitri, 2010). Hingga tahun 1928, Belanda akhirnya mengakui keberadaan marga dan seluruh tanah yang ada di wilayah adatnya diberikan kepada marga, tidak ada tanah yang tidak di klaim dalam administrasi wilayah Lampung (Kingston, 1987). Tata batas kehutanan dan perkebunan dibuat secara jelas untuk memisahkan kawasan hutan dan perkebunan yang dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda dan wilayah marga. Pemerintah kolonial Belanda memetakan marga secara keseluruhan di wilayah Lampung dengan membuat peta marga yang berisi wilayah, batas dan nama marganya. Berdasarkan peta marga yang dibuat oleh Belanda waktu itu diketahui ada 62 marga (Hadikusumo, 1989, dalam Safitri, 2010) di seluruh wilayah Lampung dengan nama marga dan batas wilayah yang jelas. Melalui peta marga ini, pemerintah kolonial Belanda mengakui keberadaan marga-marga di Lampung dan wilayah marga-marga sebagai entitas hukum yang sah. Dengan kata lain, diluar

13 Istilah Habitus diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu (1984) yaitu keterampilan praktis (pola pikir dan bertindak) yang didasarkan pada modal-modal sosial dan kultural yang menjadi tindakan dan

kemampuan yang terlihat alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Dalam masyarakat kapitalis, habitus ini digunakan sebagai instrument dalam melanggengkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Reproduksi sosial yang terjadi di dalam struktur masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuannya menstransmisikan habitus kepada penerusnya.

kawasan yang dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan wilayah marga yang diakui keberadaannya.

Tujuan pembentukan kembali 14 marga ini selain sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda di wilayah administrasi paling bawah terutama untuk

menarik pajak kepada petani (Elmhirst, 2001), juga sebagai alat untuk mengkonversikan lahan marga menjadi perkebunan yang dikelola oleh marga-marga tersebut. Setelah tahun 1928, kegiatan perladangan yang dilakukan oleh penduduk marga di Lampung semakin pesat antara lain dalam berbagai jenis tanaman seperti lada, kopi, randu, sawit, singkong, dan jagung. Hasil perladangan tersebut bukan hanya dikomodifikasi untuk pasokan pasar dalam negeri melainkan juga dijadikan komoditas dalam perdagangan pasar global. Tercatat pada tahun 1930an, Lampung merupakan daerah penghasil lada yang mencapai sekitar 30 persen produksi lada di dunia (Kingston, 1987).

Paska kemerdekaan, pengakuan terhadap marga dan wilayahnya berubah. Setidaknya terdapat dua perundangan yang mempengaruhi keberadaan marga dan wilayahnya itu. Pertama adalah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang didalamnya mengakui keberadaan masyarakat adat termasuk marga tetapi bukan sebagai entitas hukum yang dapat menguasai hak milik atas tanah. Kedua, Undang-undang Pokok Kehutanan Tahun 1967 yang didalamnya menyatakan luas kawasan hutan negara 142 juta hektar atau sekitar dua pertiga luas daratan Indonesia. Pernyataan luas kawasan hutan negara ini jauh lebih luas dari kawasan hutan negara yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebelumnya karena mencakupo seluruh wilayah NKRI sekarang. Tanah-tanah marga yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda diakui keberadaannya sebagai entitas hukum yang sah, pada masa setelah kemerdekaan dinyatakan sebagai tanah negara yang sebagian besar di klaim menjadi kawasan hutan negara.

Di beberapa daerah, luas kawasan hutan negara mencapai lebih dari 70 persen dari luas daratan wilayahnya. Hal ini juga terjadi di Lampung dimana kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda waktu itu dan sebagian wilayah marga yang berupa hutan, ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai kawasan hutan negara. Penetapan kawasan hutan negara ini tidak diikuti dengan penyelesaian tumpang-tindih penguasaan lahan terutama lahan-lahan marga yang telah diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda sebelumnya. Keberadaan mereka dan penguasaan mereka terhadap wilayah marganya itu sebagian besar telah berlangsung secara turun-temurun selama ratusan tahun. Penetapan kawasan mereka sebagai kawasan hutan bukan hanya membuat kebingungan kalangan marga tetapi juga telah menciptakan tumpang-tindih penguasaan tanah oleh negara dan marga.

14 Sebelumnya sudah ada marga-marga untuk mencirikan keturunan masing-masing keluarga sejak pemerintahan sriwijaya

2. Marga Terusan Nunyai

Terusan Nunyai adalah nama sebuah marga di Lampung Tengah yang didirikan oleh sekelompok orang dari daerah Kota Bumi. Marga Terusan Nunyai diakui dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda dalam batas wilayah marga yang jelas. Setelah Reformasi, wilayah marga itu berkembang menjadi wilayah Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah. Letak wilayah kecamatan ini diantara kota Bandar Jaya dan Menggala di lintasan jalur tengah Sumatera. Luas wilayah kecamatan ini sekitar 302,05 km2 atau sekitar 6,3% dari luas Kabuaten Lampung Tengah. Jumlah penduduk sebanyak 44.844 jiwa dan rata-rata anggota rumah

tangga adalah 4 orang 15 , pendidikan orang tua rata-rata lulusan Sekolah Dasar namun pendidikan pemuda (16 - 35 tahun) sampai pada Sekolah Lanjutan Tingkat

Atas. Kecamatan ini dibentuk dengan tujuh desa yang diantaranya merupakan kampung asli marga Terusan Nunyai (3 desa) dan desa baru yang merupakan desa transmigrasi pada masa pembangunan (4 desa).

Penduduk asli Terusan Nunyai adalah suku asli Lampung yang sebelumnya termasuk ke dalam wilayah Lampung Utara. Perpindahannya ke Lampung Tengah sudah berlangsung sejak awal abad ke-19 dan memisahkan dari marga induknya di daerah Kota Bumi yang kemudian menyatakan diri sebagai marga “baru” Terusan Nunyai pada tahun 1937. Migran pertama mereka tinggal di kampung Gunung Batin di dekat Way Terusan yang kemudian mekar seiring dengan pertambahan penduduk, membentuk wilayah kerja kampung menjadi lima kampung pada tahun 1960 yaitu Gunung Batin Udik, Gunung Batin Ilir, Gunung Batin Baru, Gunung Agung dan Astra Ksetra. Pada masa otonomi daerah, pemekaran kabupaten memerlukan kecamatan baru sehingga Terusan Nunyai dibentuk menjadi wilayah kecamatan baru dengan tujuh desa (ditambah desa Gunung Agung, Bandar Agung, Bandar Sakti dan Tanjung Anom yang merupakan desa-desa transmigrasi TNI-AD). Selain itu, marga Terusan Nunyai juga menghibahkan sebagian wilayahnya kepada lima desa transmigrasi yang lain yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Lampung Utara.

Selain dihibahkan kepada desa-desa transmigrasi (sekitar 9 desa transmigrasi), marga Terusan Nunyai juga menghibahkan wilayah marganya kepada pemerintah yang diserahkan kepada TNI-AU. Wilayah itu adalah bekas pangkalan udara militer Jepang yang diambilalih oleh pemerintah yang kemudian dikembangkan menjadi pangkalan udara dan latihan militer TNI-AU seluas 4.407 hektar. Sebagian besar wilayah Terusan Nunyai terdiri dari lahan kering yang datar sehingga diincar banyak perusahaan perkebunan swasta. Pada tahun 1974, wilayah marga Terusan Nunyai seluas 18.000 hektar diminta oleh pemerintah untuk perkebunan yang saat ini berkembang menjadi perkebunan tebu PT. GMP (Gunung Madu Plantation) dengan konsesi HGU seluas 35.000 hektar. Pada tahun 1980-an, wilayah marga Terusan Nunyai juga diambilalih oleh perusahaan swasta yang saat ini berkembang menjadi perkebunan nanas PT. GGP (Great Giant Pineapple) seluas

15 Kabupaten Lampung Tengah dalam angka, 2013

32.000 hektar. Melalui berbagai pengambilalihan lahan itu (sebagain bisa dibaca sebagai “perampasan tanah”), marga Terusan Nunyai tinggal menempati wilayah yang tersisa diantara desa-desa transmigrasi, pangkalan militer udara TNI-AU dan perkebunan swasta yang dikuasai korporasi multi-nasional.

3. Perubahan Corak Produksi

Perubahan corak produksi di Terusan Nunyai dimulai sejak pemerintahan orde baru membuka diri secara ekonomi dari dunia luar dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan investasi kepada kalangan swasta untuk berperan dalam pembangunan. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai respon atas terjadinya krisis pangan tahun 1970an di dunia termasuk di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut dan misi mencapai swasembada pangan, Pemerintah mengundang investor asing untuk berinvestasi dan mengoperasikan usaha pertaniannya di Indonesia dengan payung hukum Undang-Undang Penaman Modal Asing. Pada tahun 1974, Terusan Nunyai menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang menjadi

target operasi perusahaan asing 16 . Sejak tahun 1976 hingga saat ini, tidak kurang dari sepuluh perusahaan swasta yang bergerak di bidang pangan (singkong, pisang,

tebu, nanas, kelapa sawit, jagung, dll) telah beroperasi di wilayah kecamatan itu, yang saat ini mengalami akuisisi menjadi dua korporasi besar yaitu PT. GMP dan PT. GGP. Masuknya korporasi besar menjadikan titik awal perubahan corak produksi di Terusan Nunyai, dapat dilihat antara lain melalui perubahan penguasaan lahan, tenaga kerja, budidaya tanaman, dan teknologi.

Perubahan Penguasaan Lahan dan Budidaya Tanaman Sebelum masuknya korporasi besar, penduduk marga Terusan Nunyai dikaraktersitikkan dengan corak produksi agraris tradisional yang khas yaitu petani ladang berpindah. Setiap anggota marga yang sudah berkeluarga memperoleh pembagian lahan marga kurang lebih seluas 15 hektar, dalam bentuk penguasaan ladang berpindah. Lahan itu digunakan untuk budidaya tanaman pangan antara lain padi ladang, berbagai jenis palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, dan berbagai jenis tanaman keras yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, untuk modal produksi selanjutnya, dan sebagian yang lain kemudian dijual ke

wilayah Teluk 17 untuk dibawa ke tanah Jawa. Dalam corak produksi yang demikian, co-production seperti yang dikatakan oleh Ploeg (2008) dapat berjalan dan otonomi

pertanian keluarga dapat terwujud. Dengan kata lain, kedaulatan pangan di tingkat rumah-tangga petani ladang di Terusan Nunyai pada waktu itu telah tercapai.

16 Pada tahun 1974, ada keluarga dari rejim saat itu yang didampingi tentara datang ke Terusan Nunyai menemui tokoh-tokoh adat dengan membawa surat dari gubernur Lampung saat itu yang

isinya akan menggunakan tanah di wilayah Terusan Nunyai untuk perkebunan.

17 Wilayah pelabuhan yang berada di Bandar Lampung (Ibukota Lampung), wilayah ini sebagai pusat perdagangan pangan di seluruh wilayah Lampung. Dari pelabuhan ini, hasil-hasil pertanian

diangkut menuju dataran jawa.

Sejak masuknya korporasi di tahun 1974, secara perlahan-lahan kegiatan pertanian ladang masyarakat berubah dan yang saat ini berganti dengan perkebunan tebu dan nanas. Perusahaan yang masuk pertama di Terusan Nunyai

adalah yang sekarang menjadi korporasi besar PT. GMP 18 yang merupakan perusahaan perkebunan tebu dan penghasil gula nasional. Perusahaan ini adalah

perusahaan asing 19 yang berpatungan dengan dua perusahaan nasional yang merupakan keluarga dari penguasa rejim saat itu. Kemudian disusul oleh

perusahaan-perusahaan lain yang sekarang juga menjadi korporasi besar PT. GGP 20 yang menguasai perkebunan nanas dan penghasil nanas kalengan terbesar ketiga di

dunia. Kedua korporasi besar itu menguasai sekitar 90 persen lahan di wilayah Terusan Nunyai, sementara 10 persen sisanya masih dikuasai oleh penduduk asli namun produksinya harus terintegrasi dengan pasar yang diciptakan oleh korporasi besar itu melalui sistem kemitraan (tebu dan nanas) atau menanam singkong dengan pengelolaan mandiri dan menjualnya kepada korporasi besar lain yang tidak memegang HGU tanah tetapi menciptakan monopoli pasar tapioka di dunia yaitu PT. Bumi Waras.

Terpusatnya penguasaan tanah di Terusan Nunyai kepada dua korporasi besar yang menguasai sekitar 90% lahan pertanian dan sisanya dikuasai oleh sejumlah petani kecil (rata-rata kepemilikan hanya satu hektar) menimbulkan ketimpangan penguasaan lahan yang sangat tajam. Marx (1867) menyebut situasi demikian sebagai sentralistik kapital, yaitu pertumbuhan kapital dalam jumlah besar di tangan kapitalis tertentu di suatu tempat yang diikuti oleh kehilangan kapital di tempat lainnya. Sentralisasi demikian berlangsung melalui pengambilalihan, merger, dan penyingkiran pihak lain dalam hal ini adalah petani kecil yang menguasai lahan marga.

Pengambilalihan lahan marga tidak terlepas dari rejim pemerintahan saat itu yang juga merupakan pemilik saham PT. GMP yang berasal dari pemegang HGU tanah pada awal berdirinya perusahaan. Otoritas rejim penguasa menekan marga untuk tidak melakukan perlawanan saat perusahaan akan mengambil alih lahannya. Proses sentralisasi kapital pada masa itu tidak hanya sepenuhnya sebagai hasil dari kompetisi yang terjadi dalam sebuah pasar, tetapi besarnya peran pemerintah dalam memberikan proteksi dan dukungan pada korporasi dengan kekuatan militer saat itu.

18 GMP merupakan perusahaan patungan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) antara Kwok Investment (HK) Ltd, yang merupakan perusahan besar gula di Malaysia dan berkantor pusat di

Hongkong, dengan Perusahaan dalam negeri yaitu PT Redjo Sari Bumi, dan PT Pipit Indah. Kuok Investment memegang 45 persen saham dan sisanya oleh perusahaan dalam negeri. Pertama kali berdiri GMP mengalihfungsikan kebun masyarakat menjadi perkebunan tebu dengan luas areal perkebunan sebesar 18.500 hektar yang terintegrasi dengan pabrik gula, saat ini HGU perusahaan telah mencapai 35.000 hektar.

19 Kwok Invesment merupakan korporasi pangan dunia yang menguasai perkebunan tebu di Malaysia, Philipina dan Indonesia serta industri gula terbesar kedelapan di dunia.

20 PT. GGP adalah akuisis dari tiga perusahaan sebelumnya yaitu PT Multi Agro, PT Harapan Tani Bakti, dan PT Umas Jaya. Luas HGU saat ini mencapai 32.000 hektar dimana sebagian

perkebunannya berada di kawasan Terusan Nunyai.

Namun setelah berakhirnya rejim orde baru tahun 1998, sebagian masyarakat kemudian melakukan kalim pada lahan-lahan yang sebelumnya milik masyarakat yang belum selesai diganti rugi atau yang diserobot tanpa ganti-rugi.

Sejak penguasaan korporasi besar itu, bentang alam wilayah marga Terusan Nunyai berubah dalam kurun waktu tiak lebih dari dua puluh tahun dari yang sebelumnya merupakan perladangan pangan campur menjadi perkebunan pangan yang bersifat monokultur yaitu tebu dan nanas dalam skala besar. Kebun-kebun penduduk asli marga Terusan Nunyai hilang diambil alih secara paksa baik dengan kekerasan militer maupun melalui jalur BPN dan pemerintah daerah setempat. Banyak diantara mereka yang menganggur atau bertahan di kebun-kebun yang sempit yang ditanami singkong. Pada tahun 1973, pimpinan marga sebenarnya sudah mencoba melakukan perlawanan dengan cara melakukan pemetaan lahan marga secara partisipatif sebagai bentuk perlawanan terhadap peta militer yang akan digunakan untuk merampas wilayah marga. Namun demikian, upaya itu tidak bertahan lama sehingga seluruh tanah marga kecuali permukiman penduduk telah lepas ke tangan korporasi swasta. Penguasaan lahan di wilayah Terusan Nunyai dapat dilihat pada peta yang sudah diadaptasi, berikut:

Perubahan Teknologi Pertanian Teknologi pertanian masuk bersamaan dengan kehadiran korporasi. Sebelumnya petani kecil hanya mengandalkan tenaga kerja manusia, hewan ternak dan bahan-bahan alam untuk kegiatan produksinya. Perubahan skala pertanian menjadi industri gula dan nanas besar tidak lagi hanya mengandalkan sistem pertanian tradisional melainkan penggunaan teknologi dan iptek modern sebagai basis yang sangat kuat dalam kegiatan produksi khususnya untuk tebu dan nanas. Masuknya PT. Kwok Investment yang merupakan pemegang saham terbesar dalam PT GMP merupakan awal masuknya teknologi pengelolaan perkebunan tebu lahan kering, bukan hanya di Terusan Nunyai melainkan sebagai cikal bakal teknologi perkebunan tebu lahan kering di Indonesia. Teknologi ini kemudian juga dikembangkan oleh korporasi besar lain yaitu ‘Sugar Group’ yang terdiri dari tiga perusahaan besar serta PTPN VIII dengan areal hingga menjangkau wilayah Lampung Utara (sekitar 50% wilayah Propinsi Lampung saat itu) dan Sumatera Selatan. ‘Sugar Group’ kini menjadi perusahaan gula swasta terbesar di Indonesia yang antara lain mengeluarkan produk kemasan yang terkenal yaitu “Gulaku”.

Sentralisasi penguasaan teknologi yang dicirikan oleh kapitalisme ini bukan hanya memindahkan teknologi global ke Terusan Nunyai melainkan juga membuka wilayah ini kepada pasar tenaga kerja global, karena penguasan teknologi yang khas dan pertama di Indonesia maka tenaga kerja asing dari Malaysia yang menguasai teknologi budidaya tebu lahan kering didatangkan ke Terusan Nunyai dan menciptakan keberagaman tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut. Penguasaan teknologi juga memperbesar akumulasi kapital pada pemiliknya. Di Asia, Kwok Investment memperlebar perkebunan tebunya bukan hanya di Malaysia dan Indonesia melainkan melebar sampai Filipina dan Myanmar. Saat ini, Kwok

Investment menempati urutan ke-8 produsen terbesar gula di dunia 21 , selain itu perusahaan ini juga bergerak pada industri sawit untuk menghasilkan minyak

goreng 22 .

Perubahan Sistem Ketenagakerjaan Pertanian Pertanian skala kecil dicirikan oleh penggunaan tenaga kerja keluarga dan gotong royong yang kuat. Petani Terusan Nunyai mengandalkan anggota rumah tangga untuk mengerjakan ladang-ladang mereka. Pembagian pekerjaan dilakukan secara musyawarah mufakat dari anggota keluarga tersebut. Dalam sistem tenaga kerja keluarga ini, masyarakat Terusan Nunyai masih mempertahankan simbol- simbol budaya, seperti ritual acara “selamatan” yang dilakukan sebelum dan sesudah panen. Hilangnya penguasaan tanah pertanian marga menyebabkan penggunaan tenaga kerja keluarga menjadi hilang dan ritual-ritual yang merupakan simbol marga menjadi punah. Sistem ketenagakerjaan yang terjadi saat ini adalah

21 http://www.bloomberg.com/news/articles/2013-01-31/billionaire-kuok-says-his-empire-can-last- generations-

22 Produk minyak goring dari sawit milik Kwok Investment meraup 50% pangsa pasar di dunia 22 Produk minyak goring dari sawit milik Kwok Investment meraup 50% pangsa pasar di dunia

Rejim pangan korporasi menciptakan berbagai hubungan kerja yang lebih komplek dibandingkan hubungan kerja pada pertanian keluarga. Studi kasus hubungan kerja di PT. GMP terdiri dari 2 tipe status. Tipe pertama adalah karyawan

tetap atau karyawan organ 24 dan tipe kedua adalah tenaga kerja harian. Tenaga kerja harian terdiri dari tenaga kerja harian tetap dan tenaga kerja harian lepas 25 .

Tipe hubungan kerja pertama dikarakteristikkan dengan hubungan yang sangat profesional dan membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi yang tinggi baik pengalaman maupun pendidikan, sehingga pemuda lokal dengan keterbatasan kualitas tidak dapat memasuki pasar kerja dalam tipe pertama, kesempatan ini lebih banyak diperoleh oleh tenaga kerja migran yang didatangkan dari luar kabupaten. Pemuda lokal biasanya hanya dapat memasuki pekerjaan pada tipe kedua. Mereka hanya sebagai pekerja buruh harian lepas dimana kontrak kerja dan pendapatan yang didapat relatif kecil. Dalam kasus ketenagakerjaan biasanya praktek-praktek eksploitasi banyak terjadi pada pola hubungan kerja tipe kedua ini.

Sementara itu, Hubungan kerja dengan petani kecil yang masih tersisa diciptakan melalui skema kemitraan. Pada skema ini, perusahaan memberikan pinjaman kepada petani untuk biaya petani menanam tebu dan hasilnya harus dijual ke perusahaan dengan harga yang telah tentukan oleh perusahaan. Setelah panen barulah petani harus membayar pinjaman yang diberikan di awal produksi tebu tersebut. Selain itu, pada kasus tanaman singkong, petani tidak memperoleh pinjaman modal dari perusahaan, mereka hanya sebagai sumber bahan baku bagi perusahaan tanpa diikat melalui kontrak kerja, tidak ada jaminan bahwa perusahaan harus membeli hasil panennya namun keberadaan mereka memiliki dominasi yang kuat dalam menentukan petani untuk menanam budidaya singkong.

Sistem hubungan kerja yang dibangun dengan profesional oleh korporasi secara umum memberikan kesempatan kerja kepada angkatan kerja yang berkualitas dan sangat sulit untuk dijangkau oleh penduduk asli. Selain itu, sistem regenerasi karyawan yang juga sangat ditentukan oleh hubungan kekeluargaan di dalam perusahaan menutup kesempatan bagi penduduk lokal khususnya masyarakat asli desa untuk menjadi bagian dari hubungan kerja tersebut. Di lain sisi, lahan masyarakat yang telah dialihkan menjadi lahan produksi perusahaan menutup kesempatan bagi pemuda desa untuk mengelola lahan dan menjadi petani mandiri atas lahannya.

23 Buruh tidak diberi kepastian kontrak kerja dan upah yang rendah 24 PT GMP telah memperkerjakan 1862 karyawan tipe pertama

25 Jumlah tenaga kerja harian tetap GMP sampai saat ini sebanyak 3.880 tenaga kerja. Sementara untuk tenaga kerja harian lepas dapat mencapai 6000 hingga 8000 orang dalam musim tertentu

4. Reproduksi Sosial Pemuda Tani dan Kedaulatan Pangan

Kehidupan penduduk marga Terusan Nunyai kini dikucilkan (exclusion) oleh korporasi besar swasta, pangkalan militer dan transmigran dari berbagai daerah di Jawa. Perkebunan tebu dan nanas tidak hanya telah menghancurkan sumber penghidupan mereka dengan hilangnya lading-ladang tetapi juga mengubah ekosistem permukiman menjadi tandus. Pada saat kemarau panjang, sumur-sumur penduduk mengering dan harus disuplai air bersih dari program bantuan perusahaan swasta. Mengeringnya sumur-sumur penduduk belum pernah terjadi sebelum perkebunan tebu itu mengubah bentang alam Terusan Nunyai. Selain itu, saat musim giling tebu, polusi udara yang berasal dari debu sisa pembakaran tebu beterbangan di atas permukiman hampir di seluruh wilayah Terusan Nunyai. Ditambah aroma tak sedap yang menyengat dari pabrik tapioka memperburuk kualitas lingkungan hidup penduduk.

Perubahan rejim pangan dari pertanian berbasis rumah tangga menjadi korporasi sangat kental terasa di wilayah marga ini, produksi pertanian di daerah ini digunakan untuk menopang ketersediaan pangan nasional bahkan global. Lampung sebagai lumbung gula, berkontribusi pada 40% produksi gula nasional. Sementara nanas yang dihasilkan dari PT GGP dapat menjangkau pasar nanas di tingkat global yang menguasai pangsa pasar nanas ke-3 di dunia. Satu dari lima nanas kalengan yang beredar di dunia adalah produk dari nanas Terusan Nunyai. Meskipun terdapat berbagai nama korporasi swasta yang memiliki HGU tanah di wilayah terusan nunyai tapi penguasaan produksi pertanian terpolarisasi pada dua korporasi besar itu. Pada moda pertanian yang liberal ini, akuisisi tidak hanya terjadi pada lahan petani tetapi juga antara perusahaan swasta akan saling mengakuisisi, sehingga korporasi yang paling efisien akan mendominasi korporasi lainnya. kemudian menimbulkan praktek kartel dan monopoli pangan pada gula dan nanas di Lampung.

Rumah tangga yang masih memiliki lahan terpaksa masuk ke dalam pasar pertanian yang dikuasai oleh korporasi besar (yang menguasai tebu, nanas dan singkong) sehingga tidak memiliki otonomi serta kedaulatan atas pertaniannya sendiri. Pasar hanya menerima komoditas yang telah ditentukan seperti tebu, nanas, atau singkong. Hilangnya kedaulatan ini memaksa petani harus terlibat ke dalam ‘program kemitraan’ dengan perusahaan, tanpa bermitra dengan perusahaan, pertanian di wilayah Terusan Nunyai tidak akan mampu menjadi usaha rumah- tangga. Dengan kata lain, program kemitraan ini memberikan peluang bagi korporasi untuk melakukan perluasan produksi tanpa manampah luas lahan HGU sehingga bisa mengurangi biaya produksi termasuk dari pajak tanah, upah dan lainya.

Situasi globalisasi paska kemerdekaan sangat berbeda dibandingkan pada masa kolonial Belanda sebelumnya. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat masih diberikan hak atas tanah dan anak mereka dapat melanjutkan pertanian orang tuanya. Formasi sosial di dalam marga masih terjaga sehingga reproduksi sosial dapat berjalan secara relatif walaupun di kontrol secara ketat melalui pajak, tenaga Situasi globalisasi paska kemerdekaan sangat berbeda dibandingkan pada masa kolonial Belanda sebelumnya. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat masih diberikan hak atas tanah dan anak mereka dapat melanjutkan pertanian orang tuanya. Formasi sosial di dalam marga masih terjaga sehingga reproduksi sosial dapat berjalan secara relatif walaupun di kontrol secara ketat melalui pajak, tenaga