Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Studi Tentang Komunitas
Studi tentang komunitas merupakan upaya yang tidak dapat
dipisahkan dari usaha untuk memaparkan karakteristik dasar dari
sebuah komunitas dalam interaksi dan eksitensinya dengan lingkungan
sosial yang lebih luas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cohen
(2001) bahwa studi tentang sebuah komunitas merupakan salah satu
upaya klasik, yang diarahkan untuk menangkap hakikat utama dari
setiap individu yang bergabung dan terikat bersama dengan orang lain
untuk satu kepentingan atau tujuan yang sama. Akan tetapi bahwa
studi semacam itu (yang bisa dilihat dari berbagai pendekatan), selama
ini terjebak pada studi yang mengedepankan unsur morfologis dari
komunitas itu sendiri.
Akibatnya, studi semacam itu akan berkutat pada perdebatan
tentang apakah komunitas itu hanya merupakan aktivitas struktural,
yang didasarkan pada persamaan kepentingan, tempat tinggal bahkan
ideologi? Perdebatan tersebut akan dengan sendirinya menggiring
pemahaman yang bisa saja mereduksi hakikat terdalam dari komunitas

itu sendiri.
Dalam garis pemahaman ini, Cohen (2001) mencoba untuk
mengkonstruksikan pendekatan terhadap komunitas dengan melandasi
pada pemahaman mendasar bahwa komunitas merupakan aktivitas
simbolik1 yang di dalamnya terdapat sistem nilai, norma, dan juga
Menurut Cohen bahwa aktivitas simbolik merupakan keseluruhan aktivitas pada
setiap individu dalam sebuah komunitas yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya untuk mengartikulasikan diri mereka
dalam
konteks
kehidupan bersama yang lebih terikat. Keseluruhan aktivitas tersebut kemudian

1

1

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

aturan moral yang membimbing bahkan membatasi setiap anggota

yang tergabung dalam komunitas tersebut. Pendekatan simbolik ini
akan bermuara pada upaya untuk melihat berbagai aktivitas komunitas,
yang tidak lain dari bagian pemaknaan setiap individup dalam derap
langkah perubahan lingkungan sekitarnya. Karena aktivitas simbolik,
yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas
struktural individu dalam masyarakat akan juga mengalami perubahanperubahan yang berarti jika setiap individu melakukan perubahanperubahan seturut dengan kebutuhan dan tuntutan (baik eksternal
maupun internal).
Terkait dengan perubahan-perubahan yang bisa saja terjadi
dalam komunitas, menurut pandangan Dewey (1916) bahwa
perubahan itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wujud nyata
hakikat sebuah komunitas. Interaksi yang intensif (komunikasi tatap
muka)2 yang tidak terlepas dari perubahan perilaku setiap individu
akan juga turut mempengaruhi kualitas dari hakikat indivifu itu
sendiri. Media perantara komunikasi antar pribadi tersebut (dalam
masyarakat yang sering berubah) akan dengan sendirinya juga akan
memengaruhi tingkat partisipasi bersama dalam komunitas. Karena
bagi Dewey bahwa partisipasi merupakan salah satu hakikat yang
paling esensial terbangun sebuah komunitas. Tanpa partisipasi maka
komunitas tidak mungkin ada.
Dalam perspektif semacam itu, PBB (2005) menegaskan bahwa

studi mengenai komunitas-komunitas lokal merupakan studi yang
tidak pernah berhenti. Karena komunitas merupakan prototipe dari
masyarakat yang lebih luas. Di samping itu pula, signifikansi dari
komunitas itu sendiri, dengan mana memiliki nilai yang menunjang
kehidupan secara bersama dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam sebuah
terakumulasi menjadi norma, aturan moral, etika dan juga sistem nilai dalam sebuah
komunitas.
2 Dalam pandangan Dewey bahwa komunitas dibangun berdasarkan dari ikatan-ikatan
(commonalities) yang secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Komunikasi
dan cara-cara di mana komunikasi dilakukan adalah krusial bagi pembentukan
komunitas, dan kita bisa menyimpulkan juga bahwa „kualitas‟ komunikasi menyatu
dengan kualitas komunitas tersebut.

2

Pendahuluan

komunitas dibangun atas dasar kesadaran bersama, yang kemudian
menjamin kelangsungan kehidupan bersama itu. Inilah yang
kemudian menjadi modal yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat. Selain itu pula, kohesifitas yang terbangun di dalamnya
merupakan titik tolak dalam mendesain masyarakat yang lebih baik
lagi.
Jika mengkaitkan signifikansi dari komunitas tersebut di atas,
bagaimana dengan keberadaan komunitas di Halmahera3 saat ini ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, nampaknya akan melibatkan
perspektif historis, yang mana Halmahera merupakan fakta masyarakat
yang plural. Perspektif ini tidak dapat disangkal, termasuk juga
orang yang lahir, besar dan tinggal di Halmahera. Fakta plural
seperti itu kemudian dikemas dalam kesatuan nilai yang dinamakan
“Moloku Kie Raha”.4
Namun begitu, perspektif kebersamaan dalam Moloku Kie
Raha kemudian terusik dengan konflik sosial yang terjadi pada akhir
tahun 1999 silam. Konflik yang secara serempak merebak ke seluruh
tanah Halmahera ini kemudian memunculkan segregasi baru dalam
kehidupan komunitas di Halmahera. Komunitas-komunitas yang
tercipta saat ini terperangkap pada dasar agama. Masyarakat
kemudian mulai mengelompokkan diri dalam komunitas yang
anggotanya lebih seragam, terutama dari perspektif agama. Sudah
jarang ditemui komunitas yang melampaui batas- batas geografi dan

terutama entitas keagamaan.
Penulis lebih memilih kata Halmahera dibandingkan dengan Maluku Utara. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa kata Halmahera lebih mengacu pada entitas
etnik yang di dalamnya terdapat 32 suku yang mendiami pulau Halmahera.
Sedangkan kata Maluku Utara lebih mengacu pada pembagian wilayah secara
administratif, yang secara tidak langsung menghancurkan otoritas wilayah kesukuan
masyarakat di Halmahera (hal ini masih terlihat pada konflik internal masyarakat
terkait dengan batas wilayah kabupaten, seperti kasus antara Kab. Halmahera Barat dan
Utara yang hingga kini belum selesai). Dengan demikian, penggunaan kata Halmahera
ketimbang Maluku Utara diletakkan pada perseptif semacam itu.
4 Kata ini merupakan wujud nyata dari kesatuan nilai yang menjamin kelangsungan
kehidupan bersama. Kata ini juga mewakili perspektif sejarah di Halmahera yang
majemuk, baik dari aspek suku, bahasa dan juga agama. Kenyataan semacam itu
kemudian dikemas sedemikian rupa menjadi kekuatan bersama.

3

3

Komunitas Dibo-dibo

(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Seakan-akan masyarakat Halmahera sudah tidak memiliki
modal yang kuat dalam membangun dasar kehidupan bersama,
layaknya dalam perspektif nilai Moloku Kie Raha. Namun begitu,
apakah demikian ? Hemat penulis bahwa masih ada komunitaskomunitas yang terbangun selama ini, yang masih bisa dikatakan
melampuai batas-batas struktural, sebagaimana yang dikhawatirkan
banyak orang. Komunitas ini adalah komunitas pedagang tradisional,
yang mempunyai jaringan luas, di mana jaringan tersebut dibuat
berdasarkan kepentingan bersama, yang melintasi batas-batas
struktural.
Komunitas Dibo-dibo
Sekitar pukul 06:30 WIT, dengan langkah kaki yang pasti,
seorang ibu keluar dari rumahnya, sambil menggandeng tas kecil
yang berisi beberapa perlengkapan sederhana, seperti bedak, lipstik,
sisir, dan juga beberapa catatan kecil atau nota. Terkadang
mengendarai motor (ojek) atau juga memakai mobil pengangkut
barang. Namun hari itu, sang ibu ini lebih memilih untuk
mengendarai motor ojek yang lewat di depan rumahnya. Adapun
tujuan utamanya adalah pelabuhan penyeberangan. Ketika sampai

di Pelabuhan Penyeberangan, dirinya mulai sibuk untuk memastikan
posisi barang-barang bawaannya di dek bagian bawah motor laut yang
akan ke Ternate (hari itu dirinya membawa 4 karung5 sayur kacang
panjang, 10 karung singkong, 2 karung ubi jalar serta satu karung cabai
merah). Ketika sang ibu telah memastikan posisi barang yang telah
dimuat pada pukul 03:00 WIB tersebut, dirinya mulai bertemu sapa
dengan beberapa teman. sambil menunggu keberangkatan motor laut
KM. Halbar Pratama yang akan ditumpangi. Terlihat sang ibu saling
menyapa, baik dalam bahasa lokal seperti bahasa Jailolo-Ternate,

Ukuran karung biasanya dipakai untuk memastikan isi. Artinya bahwa ukuran ini
dipakai untuk menunjuk pada satu koli barang yang dibawa. Ukuran isi seperti ini juga
akan dipakai untuk menentukan harga. Jadi dalam ukuran yang besar, standar yang
dipakai adalah karung, terutama nantinya akan mengacu pada penentuan harga.

5

4

Pendahuluan


maupun bahasa Sahu, namun terkadang juga mereka memakai
bahasa Melayu Maluku Utara.6
Demikian adalah kisah kecil dari aktivitas sehari-hari seorang
ibu yang berprofesi sebagai dibo-dibo. Dibo-dibo merupakan salah
satu bahasa yang lazim dipakai masyarakat Halmahera untuk
menunjuk pada sebuah komunitas yang membeli hasil kebun seperti
pisang, singkong, ubi jalar, rempah-rempah (tomat, cabai), sayursayuran dan juga buah-buahan (durian, rambutan, langsat,
cempedak) dari masyarakat (selanjutnya penulis memakai hasil
panen masyarakat untuk mengacu pada keseluruhan hasil kebun
tersebut). Mereka adalah kelompok yang dalam bahasa daerah
diartikan sebagai pembeli atau tengkulak. Mereka merupakan
kelompok yang memiliki jaringan yang sangat luas untuk
mendistribusikan barang hasil panen masyarakat suku Sahu7-Jailolo8 ke
Ternate9.
Salah satu ciri mereka adalah membeli hasil panen masyarakat
suku Sahu dengan harga yang sangat rendah sekali. Hal ini diakibatkan
oleh ketergantungan yang mereka ciptakan bagi masyarakat suku
Sahu. Berbagai pertimbangan, diantaranya pertimbangan kekerabatan
dan pertimbangan ekonomis, telah mengkondisikan masyarakat suku


Bahasa Melayu Maluku Utara mengacu pada bahasa sehari-hari yang dipakai selain
bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang diucapkan dengan menggunakan dialek dan
kebiasaan di wilayah Halmahera.
7 Sahu yang dipakai dalam penelitian ini menunjuk pada masyarakat suku Sahu yang
berada di Kab. Halmahera Barat. Saat ini masyarakat suku Sahu sudah dibagi menjadi 2
kecamatan, yakni kecamatan Sahu dan Sahu Timur. Saat ini, struktur masyarakatnya
pun sudah terdiri dari berbagai macam suku, namun suku yang terbesar adalah suku
Sahu dan Wayoli. Oleh karena itu, penggunaan masyarakat suku Sahu lebih
dibatasi pada suku Sahu dan Wayoli sebagai suku yang terbesar di Kecamatan Sahu
dan Kec. Sahu Timur.
8 Jailolo merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Halmahera Barat.
Kecamatan ini merupakan pusat ibukota Kabupaten Halmahera Barat. Struktur
masyarakatnya pun terdiri dari berbagai macam suku, diantaranya adalah suku
Ternate, Makean, Wayoli, Sahu dan juga suku-suku pendatang, seperti Jawa, Bugis,
Sangihe dan Gorontalo.
9 Ternate yang dipakai dalam penelitian ini menunjuk pada salah satu kotamadya yang
menjadi pusat perekonomian di Maluku Utara.
6


5

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Sahu untuk memposisikan komunitas dibo-dibo sebagai kelompok
yang sangat penting.
Dengan mengidentifikasikan berbagai pola yang terjadi dalam
jaringan mereka, diketahui juga bahwa ada kelompok yang terbuka dan
juga tertutup. Sifat tersebut didorong oleh determinasi kultural.
Maksudnya batasan kultur, menyebabkan orang yang tidak menguasai
corak hidup sekelompok masyarakat, akan lebih cenderung untuk
membuka hubungan lain. Oleh karena itu. kultur sebagai salah
satu determinator pola hubungan manusia, mengkondisikan seseorang
untuk terbuka pada kelompok yang memiliki pola yang sama dengan
dirinya. Demikian juga berlaku bagi kelompok dibo-dibo.
Ada diantara mereka yang berhadapan langsung dengan
masyarakat, dan ada juga yang tidak. Demikian juga ada mereka
yang tidak berhadapan langsung dengan jaringan di Ternate, ada
juga dari mereka yang tidak. Namun begitu, masing-masing memiliki

hubungan yang berkesinambungan sebagai rantai pemasok.
Dalam konteks rantai pemasok, setiap individu dalam
komunitas dibo-dibo dikondisikan untuk membangun relasi yang
tidak hanya didasarkan pada etnisitas agama, melainkan hanya
didasarkan pada tujuan secara bersama. Pemaknaan seperti sangat
mengkondisikan diri mereka untuk lebih terbuka antara yang satu
terhadap yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Fritjof Capra
(2003), bahwa kepemilikan secara bersama merupakan hakikat
terdalam dari sebuah komunitas. Pemaknaan terhadap kepemilikan
bersama tersebut biasanya akan terus menghidupi jaringan-jaringan
yang tercipta, baik di dalam komunitas maupun antar komunitas.
Bagaimana pun juga bahwa jaringan dalam komunitas tidak
hanya menjadi jaringan sosial, melainkan lebih dari itu, merupakan
jaringan yang hidup, yang membentuk dirinya sendiri seiring dengan
perubahan perilaku dan konteks. Konteks yang hidup seperti ini, yang
kemudian diistilahkan oleh Wenger (1998) sebagai komunitas praktis.
Komunitas praktis dalam pandangan Wenger dicirikan oleh
kesepakatan antar anggotanya, usaha bersama dan seiring berjalannya
6

Pendahuluan

waktu, kesamaan rangkaian rutinitas, aturan-aturan perilaku tersirat
dan pengetahuan. Dalam kerangka konseptual mengenai aktivitas
komunitas dibo-dibo, terlihat bahwa kesepakatan antar anggota
merujuk pada dinamika jaringan komunikasi (pertemuan bahasa lokal
setiap anggota, yang tunduk pada kesepakatan bersama mengenai
media komunikasi), usaha bersama merujuk pada kesamaan tujuan, dan
rangkaian rutinitas pada koordinasi perilaku dan penciptaan
pengetahuan bersama.
Dengan begitu, komunitas Dibo-dibo bisa menjadi komunitas
yang terus menghargai kenyataan historik bahwa Halmahera
merupakan fakta sosial yang plural. Karena kesamaan dan pemaknaan
diri pada kenyataan tujuan bersama menggiring anggotanya untuk
tidak lagi memikirkan apa yang membatasi mereka, baik itu secara
sosial, kultural maupun geografis. Akan tetapi aktivitas rutinitas di
antara mereka lebih diupayakan untuk melakukan koordinasi usaha
mereka sendiri. Akibatnya, komunitas dibo-dibo tetap eksis di tengahtengah „runtuhnya‟ komunitas-komunitas yang pluralis sifatnya di
Halmahera, sebagai akibat dari segregasi sosial berdasarkan agama pada
pasca konflik saat ini.
Komunitas Dibo-dibo dalam Konteks Masyarakat Suku Sahu
Dengan tidak bermaksud untuk berlebihan, dapat dikatakan
bahwa masyarakat suku Sahu adalah salah satu dari sekian masyarakat
suku di Halmahera yang masih memelihara lambang-lambang dan
simbol adat. Hal ini bisa dilihat dari pemeliharaan rumah adat pada
setiap kampung yang sampai sekarang masih bertahan. Pemeliharaan
ini dikaitkan dengan praktek Pesta Adat Makan Bersama yang sampai
saat ini sering dilakukan di setiap kampung.
Pesta makan adat merupakan ciri khas masyarakat penghasil
(suku Sahu). Dengan kondisi alam yang sangat subur, serta ditunjang
oleh ciri masyarakat petani, sangat memungkinkan suku ini sebagai
salah satu suku pemasok bahan makanan bagi masyarakat Ternate.
Karena itu, komunitas dibo-dibo kebanyakan membawa hasil kebun
dari daerah ini. Ada ketergantungan
yang positif
antara
7

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

masyarakat
suku
Sahu
dengan
komunitas
dibo-dibo.
Ketergantungan ini masih bertahan, baik secara langsung maupun
tidak.
Dengan
tipe
sebagai
masyarakat
penghasil,
telah
mengkondisikan komunitas dibo-dibo sebagai komunitas yang
penting dalam masyarakat suku Sahu. Keberadaan mereka dilihat
sebagai pelengkap dalam mendistribusikan hasil kebun ke Ternate.
Dampak dari ketergantungan ini, masyarakat suku Sahu seakan-akan
tidak memiliki pilihan lain untuk menjual hasil kebun mereka
kepada komunitas dibo-dibo. Karena tidak adanya pilihan ini, juga
menggiring komunitas dibo-dibo untuk memperoleh hasil kebun dari
masyarakat dengan harga yang sangat murah.
Pada taraf tertentu masyarakat di Halmahera, sebagaimana juga
masyarakat-masyarakat lainnya di Indonesia, sedang mengalami
perubahan dan perkembangan memasuki
masyarakat
modern10.
Modernisasi sebagai sebuah proses perubahan mencakup dimensinya
yang luas.
Salah satunya adalah pragmatis11, yang mana mulai
menekankan hal-hal yang pratis. Kecenderungan seperti ini kemudian
bermuara pada tindakan masyarakat yang lebih cenderung untuk

Modern sebagai sebuah zaman dimulai pada era Pencerahan. Arnold Toynbee,
seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of History (1947), menyatakan
bahwa awal Era Modern dalam Sejarah Kebudayaan Masyarakat Barat terjadi pada
paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena
pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan samudera secara ekstensif. Kedua
fenomena sejarah tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan
dankematangan manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari
dogma-dogma institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia menyatakan telah
memasuki era baru, era pasca Abad Pertengahan, yakni era modern.
11 Istilah pragmatis merupakan salah satu istilah filsafat yang mengacu pada
pemahaman yang lebih menekankan hal yang lebih praktis sifatnya. Perspektif ini
kemudian dipakai untuk melihat konsekuensi praktis pada sebuah kebenaran.
Perspektif yang menjadi paham ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran idealistik
dan romantisme. Dalam pemahaman ini, maka istilah ini dipakai untuk merujuk pada
suatu kondisi dimana masyarakat mulai menekankan hasil ketimbang proses. Lihat
William Darity, International Encyclopedy of the Social Science. (USA : Macmilan
Reference, 2008).
10

8

Pendahuluan

memilih sesuatu yang lebih praktis dan mudah. Akibatnya, tidak jarang
mereka juga sering menghilangkan pertimbangan-pertimbangan
praktis.
Kondisi ini kemudian menjadi kekuatan tersembunyi
komunitas dibo-dibo. Dikatakan tersembunyi karena kekuatan tersebut
menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh bagi keberadaan jaringan
dibo-dibo. Dan kemudian, kekuatan tersebut tidak terang-terangan
diangkat, melainkan menjadi kekuatan baru yang semakin
menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap komunitas dibodibo. Dengan begitu, tipe masyarakat penghasil seperti masyarakat
suku Sahu tidak akan eksis ketika komunitas dibo-dibo tidak
berperan.
Hal ini juga didukung oleh kekuatan tatap muka dalam
berinteraksi yang masih saja diberlakukan, baik antara sesama dibodibo, maupun dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu. Intensitas
tatap muka dalam interaksi semacam itu merupakan salah satu modal
sosial yang kuat dalam menopang kehidupan secara bersama,
terutama
rasa kepemilikan terhadap komunitas itu sendiri.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Putnam (2001), dalam kajian
menyeluruhnya tentang menurunnya rasa komunitas dalam
masyarakat Amerika, menemukan bahwa hilangnya hubungan
interpersonal
dalam
dua
generasi
terakhir, didorong oleh
pengaruh yang makin dalam dan makin impersonal dari komunikasi
berperantara, menghasilkan efek bola-salju, yaitu setiap generasi
berikutnya semakin “kurang” berhubungan satu sama lain ketimbang
generasi
sebelumnya.
Kecenderungan
ini
mengakibatkan
meningkatnya perasaan kesepian, depresi, dan ketakbermaknaan.
Tatkala ikatan hubungan interpersonal menurun, maka rasa percaya
satu sama lain, ketimbalbalikan, dan perasaan empati juga akan ikut
melemah.
Pada titik ini, walau barangkali tidak selalu seperti itu halnya
dalam kehidupan masyarakat Barat pos-industrial, ketika melihat kasus
Indonesia, komunikasi tatap muka lebih memiliki “bobot” komunikatif
ketimbang komunikasi berperantara. Melalui komunikasi tatap
9

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

mukalah integritas orang diuji, rasa percaya dibentuk, dan kontrak
sosial dibuat dan dipelihara. Dewey (1927) anggap sebagai prasyarat
esensial bagi keberlangsungan komunitas, kesempatan interaksi tatap
muka adalah mengapa keluarga dan kehidupan bertetangga,
dengan segala kekurangannya, selalu menjadi tempat persemaian,
yang dengannya sifat-sifat terbentuk secara stabil dan gagasangagasan diperoleh yang kemudian menjadi akar dari karakter.
Dengan penjelasan di atas, maka komunitas dibo-dibo yang
diteliti akan diletakan dalam perspektif keberadaannya dengan
masyarakat suku Sahu sebagai masyarakat penghasil. Oleh karena
itu, penelitian ini dibangun dalam persoalan bagaimana aktivitas sosioekonomi dari komunitas dibo-dibo serta bagaimana dinamika
hubungan mereka dengan masyarakat suku Sahu.

Masalah Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka masalah
penelitian yang akan dikaji adalah :
1. Bagaimana aktivitas sosio-ekonomi komunitas dibo-dibo di
Sahu?
2. Bagaimana
relasi
masyarakat suku Sahu?

komunitas

dibo-dibo

dalam

3. Bagaimana strategi usaha yang dijalankan oleh komunitas
dibo-dibo?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang diuraikan di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan berlandaskan pada tujuan untuk :
1. Mengidentifikasi aktivitas sosio-ekonomi komunitas dibodibo di Sahu.
10

Pendahuluan

2. Menggambarkan relasi komunitas dibo-dibo dalam konteks
kehidupan masyarakat suku Sahu.
3. Mendeskripsikan strategi komunitas dibo-dibo dalam
menjalankan usahanya, terutama dalam perjumpaannya
dengan masyarakat suku Sahu dan juga dengan jaringan di
Ternate.

Manfaat Penelitian
Dengan penelitian terhadap komunitas dibo-dibo, diharapkan dapat
memberikan manfaat untuk:
1. Memberikan pemahaman terhadap keberadaan komunitas
dibo-dibo, baik itu aktivitas mereka maupun hubungannya
dengan masyarakat suku Sahu.
2. Memberikan masukan terhadap tema penelitian mengenai
komunitas-komunitas lokal, terutama dalam kaitannya dengan
peran komunitas lokal dalam pembangunan.

Sistimatika Penyajian Penelitian
Sistimatika penyajian penelitian ini dibagi dalam 7 (tujuh) bab,
yang mana masim-masing bab disusun dalam kerangka menjawab
persoalan penelitian ini. Adapun bab 1 (satu) merupakan pendahuluan
yang berisi tentang latar belakang penelitian, masalah penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistimatika penyajian
penelitian.
Bab 2 (dua) adalah bagian yang berisi tentang perspektif
mengenai komunitas. Dalam pembahasan tentang komunitas, akan
dimulai dengan aktivitas komunitas, kemudian trust dalam komunitas,
budaya komunitas, komunikasi serta jaringan dalam komunitas.
Bab 3 (tiga) adalah bagian yang berisi tentang metode
penelitian. Pembahasan dalam bab ini akan dimulai dari metode
11

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

penelitian yang dipakai untuk menjawab masalah penelitian dan
teknik pengambilan data lapangan
Bab 4 (empat) merupakan gambaran tentang hasil penelitian,
yang mencoba mengulas persoalan penelitian yang pertama, yakni
aktivitas sosial dan ekonomis dari komunitas dibo-dibo. Untuk upaya
ini, akan dijabarkan tentang dunia keseharian komunitas dibo-dibo
yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas sosial dan ekonomis.
Untuk menjawab persoalan penelitian yang kedua, maka akan
diurai mengenai konteks perjumpaan komunitas dibo- dibo dengan
masyarakat suku Sahu, sebagaimana yang akan diulas pada Bab 5
(lima). Dalam membahasa mengenai hal ini, akan diorientasikan untuk
menggambarkan kedudukan dan fungsi ekonomis dari komunitas dibodibo kepada masyarakat suku Sahu.
Bab 6 (enam) adalah uraian mengenai analisa hasil penelitian.
Dalam analisa ini, hasil penelitian akan ditautkan dengan perspektif
mengenai komunitas. Sedangkan Bab 7 (tujuh) merupakan penutup
dari penelitian ini yang berisi tentang kesimpulan dan saran penelitian.

12