Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB VI

BAB VI
KOMUNITAS DIBO-DIBO
SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada dua
bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa komunitas karakter sosial
dan juga karakter ekonomi memiliki hubungan yang erat.
Keterhubungan antara karakter sosial dan ekonomi sangat ditandai
oleh aktivitas ekonomis yang dilakukan dibo-dibo setiap hari. Dan
aktivitas ini yang menjadi ciri khas mereka.
Dengan ciri khas di atas, jika dikaitkan dengan motivasi
mereka, baik motivasi sosial maupun motivasi ekonomis, dapat
dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar sebagai akibat dari
persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, baik
dalam lingkup jaringan maupun antar sesama jaringan dalam
komunitas yang lebih luas. Persamaan tujuan seperti itu dapat
dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe
mereka ini adalah community of interest. Mereka ini disebut sebagai
community of interest karena tidak hidup dalam tempat yang sama,
tetapi memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan
yang sama inilah yang mendasari seluruh aktivitas mereka seharihari.

Dalam
konteks
kepentingan
ini,
Tonnies
(1957)
zweckwille, yang mana
zweckwille
mendefinisikan sebagai
merupakan kemauan rasional yang bermuara pada pilihan rasional.
Motivasi para dibo-dibo dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh
persamaan tujuan semua anggota, akan menggiring setiap orang untuk
melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai tujuan
bersama itu. Kemauan yang melandasi tindakan individu adalah dasar
utama dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Demikian juga
61

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)


dengan komunitas dibo-dibo, persamaan tujuan merupakan kemauan
bersama yang melandasi keberadaan komunitas dibo-dibo.
Ciri khas mereka yang berlandaskan pada kepentingan,
telah membuat mereka bisa melampaui identitas dan kebiasaan
kultural yang membungkus masyarakat. Pola hidup sebagai orang
Sahu dan orang Ternate, akan menjadi kabur sebagai akibat dari
pertemuan- pertemuan dan komunikasi yang intensif di antara
mereka. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi kesulitan
dalam mengidentifikasi dibo-dibo yang berasal dari Sahu, atau
dibo-dibo yang berasal dari Jailolo (mengingat kedua suku ini
memiliki pola yang berbeda.
Selain
itu,
persamaan
kepentingan
tersebut
juga
mengkondisikan solidaritas yang kuat di antara sesama jaringan.
Sebagaimana dalam bahasa Durkheim (1964) bahwa solidaritas,
khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan

yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan
yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian
dari kesadaran kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut
merupakan kesetiakawanan yang didasarkan pada pembagian porsi
peran dalam menopang sebuah sistem.
Dari titik ini, kesetiakawanan organik yang melandasi aktivitas
dibo-dibo dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam
pandangan Durkheim (1964), sebagai solidaritas organik. Fungsi
masing-masing dibo-dibo dalam jaringan mereka menggambarkan
fungsi masing-masing unsur dalam menopang sebuah sistem, yakni
alur distribusi hasil kebun dari Sahu ke Ternate. Masyarakat suku Sahu
sebagai penghasil yang berfungsi sebagai penyuplai, tidak akan
bermakna jika fungsi tersebut tidak didukung oleh “dibo-dibo
kampong” dan juga dibo-dibo yang memiliki jaringan di Ternate.
kemudian dua kelompok dibo-dibo tersebut pun tidak bermakna
fungsinya jika tidak ditopang oleh dibo-dibo yang berada di
Ternate, yang kemudian berhadapan langsung dengan konsumen
62


Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup

di Ternate. kesatuan dari fungsi tersebut berdasarkan kedudukan,
merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam konteks
semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus
fungsional.
Kaitannya dengan aras fungsional semacam di atas, terlihat
bahwa ada linking di antar sesama anggota. Dalam lingking tersebut
ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal
balik ini kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan
yang tercipta pada komunitas dibo-dibo. yang bisa dilihat sebagai trust
dalam komunitas dibo-dibo.
Trust sebagai penyokong modal sosial, menjadi signifikan
dalam kaitannya dengan negosiasi harapan dengan tindakan
setiap individu (Möllering, 2001). Kata „negosiasi‟ yang dipakai pada
pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawarmenawar pada setiap individu antara tindakan dengan harapan diri
sendiri maupun orang lain terhadap hasil dari tindakan tersebut.
Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari pengaruh
variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang.

Berangkat dari pemahaman di atas, jika dikaitkan dengan pola
trust pada komunitas dibo-dibo, dapat dilihat kesesuaian. Kesesuaian
tersebut tergambar pada proses negosiasi tindakan yang sering terjadi
pada anggota dalam sebuah jaringan pada komunitas dibo-dibo.
negosiasi tindakan akan muncul dengan sendirinya ketika seorang
anggota tidak bisa memenuhi kebutuhan stok hasil kebun. Negosiasi
dilakukan dalam upaya untuk menjaga kesepakatan relasi dalam
jaringan. Di samping itu juga, hal ini dilakukan dalam kerangka
menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin
selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan
dalam menjaga keutuhan jaringan sosial dalam komunitas.
Pola bangunan trust dalam komunitas dibo-dibo, sebagaimana
yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. menegaskan bahwa kesesuaian
tindakan dengan harapan serta kejujuran adalah nilai dasar dalam
hubungan timbal balik di antar sesama anggota jaringan dalam
63

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)


komunitas. Kesesuaian tindakan dan kejujuran merupakan dua
indikator utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Seok-Eon Kim
(2005). Walaupun dirinya lebih mengaplikasikan unsur-unsur tersebut
dalam manajemen organisasi publik, akan tetapi bahwa unsur-unsur
yang diidentifikasi oleh Seok-Eon Kim (2005), dengan jelas juga
berlaku bagi komunitas dibo-dibo. Dengan begitu, dapat dipastikan
bahwa unsur-unsur trust merupakan nilai-nilai yang berlaku secara
universal.
Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap
muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo merupakan salah satu
kondisi yang sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh
Dewey (1927) bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan
komunitas tidak bisa digantikan. Terlihat bahwa Dewey (1927)
menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling
dasar terletak pada hubungan interpersonal. Dari titik berangkat
komunikasi antar pribadi yang intens, yang sering dilakukan dalam
bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada
sesama dibo-dibo.
Jalinan trust yang didorong oleh komunikasi tatap muka
yang sering dilakukan oleh dibo-dibo memiliki nilai lebih. Nilai

lebih dilihat pada signifikansi komunikasi dalam membentuk rasa
kepemilikan bersama dalam sebuah komunitas. Kondisi semacam
inilah yang menjadi eksistensi komunitas. Karena tatap muka yang
sering dilakukan oleh dibo-dibo, baik antara dibo-dibo dengan
masyarakat suku Sahu dan antara sesama dibo-dibo dalam jaringan
distribusi mereka, mengkondisikan keterhubungan yang mutualis
sifatnya. Dan hakikat inilah yang menjadi daya penggerak sebuah
komunitas. Disebut sebagai daya penggerak karena dengan
komunikasi antar pribadi dalam bentuk tatap muka akan mendorong
terjadinya sharing sumber daya dan pengetahuan. Menurut Dewey
(1927) bahwa tatap muka akan menjamin kepercayaan antara orang
yang sering berkomunikasi. Dengan jaminan tersebut, akan menjadi
prasyarat dalam share pengetahuan, terutama sumber daya di antara
sesama anggota dalam jaringan mereka.
64

Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa
modal sosial akan berkaitan dengan aliran norma timbal balik.

Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian dikonstruksikan
menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam
sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang
berada dalam komunitas dibo-dibo, diketahui bahwa bentuk sanksi
yang berlaku di antara sesama anggota jaringan dalam komunitas dibodibo merupakan abstraksi dari norma timbal balik antar sesama
anggota jaringan dalam komunitas.
Untuk melihat sanksi-sanksi sosial tersebut di atas, harus
diketengahkan dalam kedudukan dan fungsinya dalam jaringan sosial.
Dalam komunitas dibo-dibo, jaringan merupakan salah satu modal
utama dalam mendistribusikan hasil kebun masyarakat atau hasil
kebun sendiri ke Ternate. khusus untuk hubungan dibo-dibo dengan
masyarakat suku Sahu, dalam hal ini penyuplai mereka, terlihat bahwa
kebanyakan dibo-dibo menjadikan keluarga mereka sebagai penyuplai.
Pertimbangan utama dari pilihan tersebut adalah ketergantungan yang
aktif antara sesama mereka. Artinya bahwa hubungan kekerabatan
menjamin dibo-dibo untuk memperoleh hubungan dan komunikasi
yang lebih intens serta trust. Selain itu pula, konsistensi tanggung
jawab pun akan lebih bisa dijamin.
Dengan memerhatikan pola tanggung jawab pada Gambar 4.2.
diketahui bahwa alur tanggung jawab dalam anggota jaringan dibodibo memiliki konsekuensi sanksi. Dari sinilah dibangun pola jaringan,

sebagaimana yang telah dipaparkan dalam 4 (empat) pola. Yang mana
pola jaringan tersebut memiliki dimensi tanggung jawab, yang
kemudian bermuara pada kesepakatan sanksi yang mengikat mereka.
Dengan demikian, sanksi yang diberlakukan secara lisan tersebut akan
dimaknai dalam dimensi tanggung jawab berdasarkan kedudukan dan
fungsinya dalam jaringan.
Berangkat dari pola tanggung jawab dalam jaringan tersebut di
atas, menurut Maturana dan Varella (1996) bahwa dalam komunitas,
selalu ada dimensi kesadaran dalam diri setiap anggotanya. Kesadaran
individu ini akan terus memberikan jaminan alur tanggung jawab
65

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota
komunitas. Kesadaran tersebut menurut Maturana dan Varella
(1996) muncul karena setiap individu terlibat dalam jaringan makna
(mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa
bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan

relasi tersebut juga dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab
individu dalam jaringan sosial.
Agak berbeda dengan pandangan di atas, bagi Luhman
(dalam Ritzer dan Goodman, 2007) bahwa individu tidak menjadi
bagian yang satu dengan sistem seperti masyarakat atau komunitas.
Individu dalam dirinya merupakan bagian dari lingkungan itu
sendiri, akan tetapi tidak menjadi bagian yang utuh dengan sistem.
Berangkat dari penekanan Parson tentang sistem yang fungsional,
Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) menegaskan bahwa
Parson dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan
sistem untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini,
Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) walaupun menggunakan
autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah
mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup. Dalam
arti bahwa sistem tersebut tidak bersangkut paut dengan liangkungan.
Katerhubungan antara lingkungan dengan sistem hanyalah relasi
pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan.
Jika mengacu pada pemikiran Luhman (dalam Ritzer dan
Goodman, 2007) di atas, nampaknya tidak terjadi pada komunitas
dibo-dibo dengan jaringan mereka. Keterbukaan mereka merupakan

salah satu posisi yang menguntungkan mereka. Terutama dibo-dibo
yang hidup dan berhadapan langsung dengan masyarakat suku Sahu.
Pada titik berangkat relasi sub sistem, penulis bersetuju dengan
pandangan Luhman bahwa subsistem tersebut akan dengan sendirinya
merupakan bagian dari subsistem yang lain. Karena dari hasil
penelitian bahwa dibo-dibo dengan jaringan mereka adalah salah satu
subsistem yang berada pada masyarakat suku Sahu. Di samping itu
pula, keberadaan jaringan dalam komunitas dibo-dibo merupakan
manifestasi dari upaya untuk mempertahankan sistem dari komunitas
66

Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup

dibo-dibo. Dalam pengertian bahwa jaringan-jaringan yang terbentuk
dalam komunitas ini adalah bagian dari ekspresi sistem komunitas ini
dalam mempertahankan eksistensi mereka.
Namun begitu, hasil penelitian ini lebih memilih untuk
menolak ketertutupan sistem sebagai autopoetic versi Luhman
dan menerima penegasan: Capra (1996) yang mengatakan bahwa
jaringan sosial akan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan juga
lingkungan sekitarnya. Keterbukaan komunitas dibo-dibo juga sangat
dikondisikan oleh kerterbukaan masyarakat suku Sahu. Adapun
simbol keterbukaan tersebut adalah bahwa rumah adat (sasadu)
dibangun dengan tidak dikelilingi oleh pagar. Di samping itu pula,
rumah penduduk pun tidak dibatasi oleh pagar-pagar masing-masing
keluarga.17 Simbolisasi tersebut sangat mendukung karakter dibodibo yang terbuka. Karena bagaimana pun juga, walaupun dibo-dibo
(bisa saja berasal dari daerah lain), akan tetapi mereka terus
berkomunikasi dan berinteraksi secara intens dengan masyarakat
suku Sahu. Tatap muka semacam inilah yang kemudian berpengaruh
secara signifikan terhadap keterbukaan jaringan dibo-dibo.18 Adapun
gambaran mengenai pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 6.1
di bawah ini:

Karakter yang terbuka sebagaimana diapresiasikan dengan tidak adanya pembatas
pagar pada rumah kampung merupakan fenomena umum yang dapat juga dijumpai di
daerah lain. Symbol tersebut masih melekat pada masyarakat yang hidup di pedesaan.
Kenyataan semacam ini akan terbalik jika dibandingkan dengan konteks kehidupan
masyarakat kota.
18 Diakui bahwa jaringan dibo-dibo tidak selamanya berasal dari suku Sahu.
Kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang kawin-mawin dengan
masyarakat setempat. Namun begitu, ada juga yang asli dari suku Sahu.

17

67

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Gambar 6.1. Autopoetic Komunitas Dibo-dibo

Dengan Gambar 6.1., dapat dilihat bahwa komunitas dibodibo dengan sistemnya (tergambarkan dalam pola tanggung jawab
antar individu dalam jaringan), tidak hanya melibatkan individu
sebagai dibo-dibo, melainkan juga kesadaran, pengalaman, strategi,
bahasa pengetahuan dan budaya. Keterlibatan unsur-unsur tersebut di
atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kognitif individu.
Dalam kaitannya dengan kognitif individu semacam itu, tidak
akan dapat dimaknai pada diri individu sendiri, melainkan
harus dibentuk dan dibangun ketika bergayut dengan individu lain
dan juga lingkungannya. Dalam pemahaman ini, autopoetic
komunitas dibo-dibo adalah jaringan yang hidup. Sebab dengan
istilah jaringan yang hidup, dapat menjelaskan bahwa komunitas
dibo-dibo merupakan jaringan entrepreneur lokal di Halmahera Barat.

68