Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB V

BAB V
EKSISTENSI KOMUNITAS DIBO-DIBO
DALAM MASYARAKAT SUKU SAHU

Pengantar
Sebagaimana dalam pembahasan pada bab sebelumnya bahwa
dalam menjalankan usahanya, mereka (dibo-dibo) tidak hidup dalam
konteks lingkungan yang terpisah dari masyarakat suku Sahu.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam menjalankan usahanya, dibo-dibo
akan berinteraksi dengan kultur masyarakat Sahu yang bergantung
pada budaya bercocok tanam. Selain itu pula, pola inilah yang
menyuburkan eksistensi dibo-dibo dalam masyarakat suku Sahu.

Konteks Kehidupan Masyarakat Suku Sahu
Masing-masing suku masyarakat di kawasan Halmahera barat
mempunyai wilayah kesukuan adat masing- masing. Ternyata ini tidak
hanya berlaku untuk masyarakat suku saja, melainkan juga dalam
sistem-sistem tiap kelompok masyarakat kampung yang sesuku juga
memilki wilayah teoriti kampung sendiri-sendiri dengan batas
kampung yang jelas. Dengan kekuasaan atas wilayahnya, maka
tiap kampung memiliki sistem pemerintahannya masing-masing.

Pemerintahan dalam kampung biasanya dipegang seorang
kepala suku (Mahimo) yang dibantu oleh tua-tua adat. Biasanya kepala
suku ini merangkap kepala perang (Kapita) jika terjadi perang dengan
sebelah kampung. Tiap kampung memiliki balai kampung yang disebut
dengan Sabua, yakni tempat penyelenggara kegiatan-kegiatan ritual
adat dan musyawarah adat. Sekarang ini kebanyakan kampung sudah
tidak memiliki Sabua, karena dipengaruhi oleh arus moderenisasi dan
53

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

juga agama. Rumah adat tersebuit hanya dapat dilihat di beberapa
kampung saja di masyarakat Suku Sahu.
Tatananan masyarakat dan pemerintahan di kawasan
Halmahera Group dibangun atas falsafah kehidupan yang khas, yaitu:
”Mari moi ngone fo turu, mari moi ua ngone foruru, ma out tara
ngone fa jaha” (artinya bersatu kita teguh atau kuat, tidak bersatu kita
hanyut, pada akhirnya kita tenggelam).. Semboyan ini menggambarkan
bagaimana usaha para penguasa adat zaman dahulu untuk

menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan diantara masyarakat suku
karena memiliki potensi konflik yang besar. Sehingga keharmonisan
dalam kehidupan yang pluralistik itu bisa terbina. Dalam kerangka
yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa anyaman serat
kehidupan yang prulal tersebut di proses dalam kearifan budaya
setempat yang dikemas dalam sejarah kehidupan yang panjang di
bawah payung Moloku Kie Raha sebagai pemersatu multi etnik dan
kultur (Visser,1989).
Potret Kehidupan Masyarakat Suku Sahu
Nama daerah ini sangat bermacam-macam. Nama Sahu
bukanlah nama sebenarnya untuk semua daerah setempat, melainkan
nama itu adalah nama yang diberikan oleh kelompok suku Ternate.
Seperti yang lainya yakni, Tobelo dan Galela, mereka sering
dipanggil Sawuu atau Suuru, yang mana nama itu adalah nama yang
dilaporkan oleh para misionari yang bekerja di Halmahera (Visser,
1989).
Suku Sahu berdiam di lembah Sahu yang dialiri oleh suatu
sungai Akelamo dan Akediri dan diapit oleh dua buah gunung,
sehingga ia disebut lembah Sahu. Suku yang berdiam di lembah
ini berada di bawah pimpinan yang disebut Sangaji atau Hangaji dan

dibantu oleh seorang Jougugu dan seorang yang berkedudukan di
Soaraha (empat soa) Van Frassen menyebutkan bahwa Soaraha
telah menjadi pusat Islam sejak abad XVI. Dalam bagia tersebut ia
menyebutkan bahwa dua dari keempat Soa memang telah memang
telah memeluk agama Islam yaitu Susupu dan Javakore. Penduduk
54

Eksistensi Komunitas Dibo-dibo dalam Masyarakat Suku Sahu

kedua Soa ini adalah imigran asal Ternate, sedangkan kedua Soa yang
lain masih memeluk agama suku mereka. Perbedaan agama dan
keyakinan ini membuat mereka harus berpisah. Kedua Soa yang
telah yang telah memeluk agama Islam ini “keluar” ke pesisir pantai
dan
mereka
membangun
pemukiman
(Susupu
artinya
keluar),sedangkan kedua Soa yang lain “masuk” ke pedalaman dan

bergabung dengan Soa di pedalaman. Kemudian mereka pun
mengelompokan diri mereka ke dalam dua kelompok atau dengan
istilah setempat dua jiko/jio’o, yaitu jiko ji’o Tala’i dan jiko ji’o Padisula
(A.N. Aesh, 1992).
Berdasarkan sumber ini terungkap bahwa masyarakat suku
Sahu telah mengorganisir sukunya dalam kedua kelompok yaitu Tala’i
dan Palisula/Padisua. Tala’i mempunyai empat Soa/Gam dengan empat
co-uw atau kelompok kerja, sementara Palisua/Padisula memiliki
tiga co-uw atau kelompok kerja (A.N. Aesh, 1992).
Pembagian desa yang termasuk dalam kelompok Padisua
adalah: Taraudu, Gamnial, Awer, Akelamo, Banitola, Ngaon, Hokuhoku Gam, Campaka, Lolori, Tibobo. Sedangkan desa-desa yang
termasuk dalam kelompok Tala’i adalah: Worat-worat, Idam Gamlamo,
Golo, Gamsungi, Balisoan, Loce, Gamomeng, Toboso dan Tacim
(Visser,1989).
Masyarakat suku Sahu memiliki empat dialek bahasa yaitu
diaelek Gamkonora, Waiyoli, Tala’i dan Padisua. Desa- desa yang
termasuk dalam diaelek Tala’i adalah Balisoan, Golo, Gamtala,
Idamdehe, Idamgamlamo, Loce, Lolori, Toboso,
Tacim,
Taruba

Tudahe,
dan
Worat-worat. Sedangkan yang termasuk dalam
dialek Padisua adalah Akelamo, Aketola, Awer, Campaka, Gamnial,
Gamomeng, Gamsungi, Hoku-hoku Gam, Hoku-hoku Kie, Ngaon,
Tacici, Taraudu Kusu, Taraudu, Tibobo, dan sebagian dari Loce (Visser
dan Voorhoeve, 1987).
Budaya Bercocok Tanam
Di daerah Sahu potensi sumber daya alam sangatlah tinggi,
yaitu di daerah ini memiliki tanah yang sangat subur sehingga cocok
55

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

untuk pertanian. Oleh karena itu masyarakat suku Sahu
memanfaatkan akan sumber daya alam ini, dengan cara bercocok
tanam. Namun, di dalam bercocok tanam di masyarakat suku Sahu
merupakan kebudayaan tersendiri, karena di dalam bercocok tanam
mereka menciptakan rasa kerja sama dan persaudaraan. Rio-rion

merupakan salah satu istilah yang dipakai dalam menggambarkan
bentuk kerja sama bercocok tanam sampai pada pasca panen di bidang
pertanian dalam masyarakat. Sistem ini merupakan salah satu bentuk
dari interaksi sosial setiap desa. Interaksi Sosial yang ada dalam
masyarakat suku Sahu juga dalam bentuk pertentangan, persaingan,
dan kerja sama. Namun, tipe ketiga yaitu kerja sama yang selalu
muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai konsekuensi dari budaya bercocok tanam, masyarakat
suku Sahu melakukan pesta makan adat bersama. Makan adat
merupakan upacara yang dilakukan pada saat masyarakat di suku
Sahu pada saat panen (Harvest Ceremony). Upacara ini dilakukan
dalam rumah adat atau yang biasanya di sebut oleh masyarakat
Suku Sahu adalah Sabua dan diadakan selama tiga malam16. Upacara
ini dimaksud untuk mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta
(Creator) atas segala berkat yang diterima oleh masyaakat Suku Sahu di
saat pasca panen hasil kebun. Dan ini merupakan tujuan utama dari
pesta makan bersama.
Dalam upacara tersebut semua masyarakat harus ikut serta
menyerahkan hasil panen dan dikumpulkan dalam rumah adat atau
Sabua untuk di doakan serta di makan secara bersama-sama. Dan ada

yang memberikan pada Sang Pencipta lewat persembahan melalui
Gereja. Makanan adalah salah satu simbolis dalam menyelenggarakan
pesta makan adat, makanan yang biasanya disiapkan di dalam pesta
tersebut adalah “nasi kembar” (Twin Rice) atau “ nasi cala” yang
dimasak dalam bambu, sageru, udang, dan belut. Mengingat kondisi
wilayah yang multi etnik dan agama, maka sudah ada tradisi di dalam
upacara tersebut terutama dalam pesta makan makan bersama kaum
Saat ini pesta makan adat sudah tidak dilakukan selama 3 bulan, akan tetapi hanya 23 hari. Pergeseran ini diakibatkan oleh biaya yang terlalu besar.
16

56

Eksistensi Komunitas Dibo-dibo dalam Masyarakat Suku Sahu

muda melayani kaum tua dan juga begitu sebaliknya. Hal ini adalah
lambang dari persaudaraan dan ikatan moral dengan tanpa
membedakan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian,
segala bentuk-bentuk perbedaaan yang tumbuh dan berkembang
di tengah kehidupan masyarakat suku di Halmahera (seperti yang
sudah dipaparkan diatas) bukanlah sesuatu yang membatasi dan

menghalangi orang dalam mengikuti dalam upacara. Karena bagi
mereka dengan mengikuti upacara tersebut, maka semua peserta yang
ikut menjadi satu.

Relasi Komunitas Dibo-dibo dengan Masyarakat Suku Sahu
Sesuai dengan pola yang diidentifikasi pada pembahasan bab
sebelumnya, terdapat 4 (empat) pola. Khusus untuk pola pertama
dan ketiga, adalah kelompok yang hidup dalam lingkungan
masyarakat suku Sahu. Tidak menutup kemungkinan juga ada sebagian
yang tergabung dalam pola kedua juga demikian. dalam konteks
semacam ini, maka akan dilihat bagaimana kedudukan mereka dalam
budaya masyarakat suku Sahu.
Dalam konteks masyarakat suku Sahu, dibo-dibo adalah
kelompok yang sangat penting. Karena dengan budaya bercocok
tanam, hasil panen mereka tidak mungkin dikonsumsi secara pribadi,
melainkan harus menghasilkan nilai ekonomis. Oleh karena itu,
hubungan mereka dengan dibo-dibo sangat dekat sekali. Bagi mereka,
jika tidak ada dibo-dibo, hasil panen kebun mereka tidak ada yang
terjual.
Kedudukan mereka dalam struktur masyarakat suku Sahu

sangat dikaitkan dengan profesi. Pekerjaan mereka disejajarkan dengan
profesi pengusaha lokal dan juga PNS. Dengan posisi ini, artinya dibodibo memiliki signifikansi yang sama dengan profesi lain dalam
konteks hidup masyarakat suku Sahu. Mengingat tidak banyak yang
berprofesi sebagai dibo-dibo di masyarakat Sahu maka profesi ini
menjadi profesi yang sangat penting.
57

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Dengan kesejajaran posisi dalam konteks masyarakat suku
Sahu, dibo-dibo akan tetap menjalankan usahanya dengan sedikit
kompetitor dalam satu kampung. Karena dalam satu kampung hanya
ada satu atau dua orang yang berprofesi sebagai dibo-dibo atau bahkan
dalam satu kampung tidak memiliki dibo-dibo. dalam konteks
semacam ini, sudah dipastikan bahwa tidak terjadi ketegangan relasi di
antara sesama dibo-dibo dalam memperoleh sumber daya, karena
sebagian besar masyarakat suku Sahu adalah tipe masyarakat penghasil
(budaya bercocok tanam).
Mengingat budaya bercocok tanam ini, bagi masyarakat

Sahu, hasil mereka harus dibawa ke luar daerah untuk dijual, karena
setiap rumah memiliki perkebunan yang banyak dan dengan hasil yang
serupa. Oleh karena itu, jika hasil panennya dijual di Sahu, akan tidak
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dalam kebutuhan semacam
itulah, mereka lebih cenderung bergantung pada keberadaan dibodibo.
Ada satu kecenderungan masyarakat suku Sahu yang sangat
bergantung sekali pada keberadaan dibo-dibo. Kebergantungan
ini diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 1).
Faktor Kekerabatan; 2). Faktor Ekonomi.
1. Faktor Kekerabatan
Ketergantungan masyarakat suku Sahu kepada dibo-dibo
karena memiliki hubungan kekerabatan. Dibo- dibo yang
termasuk dalam pola pertama dan ketika (sebagaimana dalam
bahasan sebelumnya), selalu memiliki hubungan keluarga yang
luas di jazirah Sahu. Hubungan ini merupakan modal yang
bernilai ekonomis tinggi. Karena modal hubungan kekerabatan
seperti itu, akan memudahkan mereka untuk menciptakan
rantai pemasok yang sifatnya menetap. Selain itu pula akan
terbangun kepercayaan yang tinggi, baik dari masyarakat
penghasil dan kelompok dibo-dibo.


58

Eksistensi Komunitas Dibo-dibo dalam Masyarakat Suku Sahu

2. Faktor Ekonomi
Faktor
ini adalah
faktor
yang
berkaitan
dengan
pertimbangan-pertimbangan
ekonomis.
Pertimbangan
ekonomis masyarakat suku Sahu adalah mereka lebih
cenderung
menerima
penawaran
dari
dibo-dibo
ketimbang orang lain. Dengan pertimbangan bahwa
hubungan dengan dibo-dibo akan cenderung tetap. Artinya
ketika panen, sudah pasti ada pembelinya. Dalam
pertimbangan demikian, mengkondisikan masyarakat Sahu
akan tertutup pada pembeli dari luar yang tidak tetap. Sebagai
contoh ketika musim buah, walaupun ditawari dengan harga
yang tinggi sekalipun, masyarakat lebih cenderung untuk
memilih pada penawaran dibo-dibo.
Dengan kedua faktor di atas, dapat dipahami bahwa eksistensi
dibo-dibo dalam konteks kehidupan masyarakat suku Sahu sangat
bernilai. Artinya bahwa keberadaan mereka menjadi penting dalam
mendistribusikan hasil-hasil kebun.
Nilai kedudukan ekonomis yang diuraikan di atas, kemudian
berpengaruh terhadap fungsi ekonomis dari dibo- dibo. bagi keluargakeluarga yang selama ini menjadi penyedia hasil kebun bagi dibo-dibo,
fungsi ekonomis dibo- dibo dilihat pada peran mereka untuk
mendistribusikan hasil kebun ke Ternate.
Dalam konteks hubungan mereka dengan dibo-dibo, keluargakeluarga ini lebih mengutamakan dibo-dibo dari pada orang lain
yang akan membeli hasil kebun. Hal ini didorong oleh upaya mereka
untuk menjaga relasi yang baik. Bagi keluarga-keluarga ini, mereka
lebih cenderung untuk terikat dengan dibo-dibo berdasarkan relasi
kekerabatan. Karena dengan relasi semacam ini, bisa menjaga
kesinambungan pendapatan harian mereka.
Dalam kaitanya dengan fungsi dibo-dibo, bagi mereka yang
berprofesi sebagai dibo-dibo, ada satu keuntungan yang diperoleh
oleh mereka, yakni keutuhan dan kesalingtergantungan antara
mereka dengan masyarakat suku Sahu. Karena dalam menjalankan
59

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

fungsi untuk mendistribusikan hasil kebun masyarakat suku Sahu,
mereka lebih cenderung untuk terbuka dalam membangun relasi.
Dalam pengertian bahwa mereka lebih memilih menjaga relasi
tersebut daripada harus mengorbankannya untuk kepentingan yang
lain. Apalagi jika hubungan tersebut dibangun atas dasar hubungan
kekerabatan.
Nuansa kekerabatan yang melandasi fungsi ekonomis dibo-dibo
mengkondisikan
dibo-dibo
untuk
juga
terlibat
dalam
mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh oleh pemasok
mereka. Karena itu, dalam mengambil barang dari pemasok yang
memiliki ikatan keluarga, dibo-dibo lebih cenderung memerhatikan
patokan harga beli dan jual. Bagi dibo-dibo, hubungan yang mutualis,
dengan mempertimbangkan keuntungan semua pihak adalah ciri
khas mereka untuk menjaga kestabilan stok hasil kebun. Selain itu
pula, hal ini dilakukan untuk menjaga keserasian hubungan mereka
dengan pemasok.
Hal tersebut dipicu oleh keterbukaan masyarakat suku Sahu
dalam menerima penawaran dari jaringan dibo-dibo yang lain.
Oleh karena itu, pertimbangan ekonomis tersebut menjadi penting
untuk dilakukan oleh dibo-dibo.
Dalam menjaga kestabilan pemasok, ada sanksi sosial yang
disepakati secara bersama. Sanksi muncul sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari ketergantungan masyarakat suku Sahu kepada dibodibo. sanksi sosial itu muncul dari kondisi di mana penyuplai tidak
menjalankan fungsinya. Sebagai akibat dari kondisi ini adalah
terputusnya hubungan antara dibo-dibo dengan mereka. Putusnya
hubungan tersebut bukan berarti putus juga relasi mereka. Yang
terputus adalah relasi ekonomis di antara mereka. Sanksi inilah yang
kemudian dipakai oleh dibo-dibo untuk menjaga kestabilan pemasok
hasil kebun dari penyuplai mereka. Dalam arti bahwa hubungan yang
mutualis berdasarkan kedudukan dan fungsi ekonomis di antara
masyarakat suku Sahu dengan dibo-dibo menjadi jaminan kehidupan
secara bersama. Sehingga masing-masing pihak akan menghindari
terjadinya pemberlakuan sanksi di atas.
60