Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB IV

BAB IV
KOMUNITAS DIBO-DIBO:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

Pengantar
Ada satu kesepakatan bersama masyarakat suku di jazirah
Halmahera bahwa Dibo-dibo mengacu pada sekumpulan orang yang
berprofesi sebagai pembeli barang hasil kebun. Dalam bahasa
masyarakat suku Sahu, dibo-dibo lebih dekat dengan kata ti‟bo yang
artinya “beli” (Visser,1989). Awalnya mengacu pada kegiatan jual beli
barang yang sifatnya universal. Namun lambat laun mengalami
penyempitan makna, yang mana dikhususkan saja pada sekelompok
orang yang membeli hasil-hasil kebun untuk kemudian diangkut ke
salah satu tempat. Mereka ini kemudian lebih dikenal dengan lebih
luas lagi sebagai „Tengkulak‟. Kelompok ini sebagian besar dilakukan
oleh kaum perempuan, walaupun ada juga yang dilakukan oleh lakilaki.
Dalam upaya untuk menggambarkan sosok dan aktivitas
mereka, dalam bagian ini akan diulas mengenai keseharian mereka,
bentuk dan pola jaringan kerja serta pola komunikasi yang terbangun
di antara mereka.


Dunia Keseharian15
Ketika matahari mulai menampakan wajah merahnya di ufuk
timur, terlihat sebuah kesibukan beberapa ibu-ibu untuk menyiapkan
segala macam barang bawaannya ke Ternate. Tidak tertinggal juga
15 Merupakan hasil kompilasi dari keseluruhan wawancara yang dilakukan oleh
penulis kepada sejumlah narasumber. Selain wawancara, keseluruhan bagian ini juga
merupakan pengamatan penulis selama 1 (satu) tahun ketika berada di Sahu.

39

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

mereka menyiapkan makanan untuk keluarga, yang sudah disiapkan
dari sejak subuh. Hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
tugasnya untuk melayani anggota keluarga.
Langkah kaki yang pasti turut menentukan pergerakan mereka
menuju pelabuhan. Biasanya barang-barang hasil kebun sudah
diangkut pada malam hari, jika barang yang diangkut banyak sekali.
Namun jika tidak, biasanya diangku ketika mereka tiba di pelabuhan.

Dengan mengontrol para buruh melakukan proses bongkar muat,
terlihat juga mereka sering bersenda gurau dengan sesame teman yang
juga berprofesi sebagai dibo-dibo.
Pada pukul 08:00 WIT kapal yang mereka tumpangi mulai
berangkat menuju Ternate. Lama perjalanannya kurang lebih 1,5 jam.
Ketika kapal tersebut mulai dekat dengan pelabuhan Dufa-Dufa
Ternate, terlihat para penunggu sudah berdiri di Jembatan. Ada yang
sudah menyiapkan buruhnya untuk bingkar muat, ada juga buruh lepas
yang hendak menawarkan jasa.
Pada siang itu, terlihat begitu ramai. Penumpang umum
yang menggunakan jasa penyeberangan ini dibiarkan turun. Namun
suasana pada dek bawah kapal sangat sumpek dan ramai sekali.
Mereka mulai memastikan barang bawaan mereka, baik itu dalam
palka kapal, maupun di atasnya.
Para anggota jaringan mereka yang ada di Ternate mulai
turun untuk bertemu dalam rangka penawaran terhadap barang-barang
yang dibawa oleh langganan mereka sendiri. Terlihat para dibodibo yang berasal dari Sahu mulai melakukan penawaran secara
langsung di dalam kapal. Ada sebagian juga yang menunggu untuk
diangkut pada terminal penumpang. Terminal penumpang merupakan
tujuan akhir. Karena barang-barang yang mereka bawa akan

didistribusikan pada pasar tradisional, yang letaknya berdekatan
dengan terminal penumpang di Pasar Gamalama Ternate.
Setelah dipastikan semua barang telah berada pada jaringan
mereka di Ternate, tampak dari mereka yang mulai berjalan-jalan di
40

Komunitas Dibo-dibo:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

pasar untuk membeli segala keperluan keluarga mereka. Ada yang
membeli baju, peralatan dapur dan juga keperluan yang lainnya.
Pada saat terjadi penawaran, ada juga yang langsung dibayar,
namun begitu tidak menutup kemungkinan ada yang tidak dibayar
pada saat itu. Jaringan yang menerima barang di Ternate biasanya
menerima dari dibo-dibo kemudian dijual di pasar rakyat Gamalama.
Hasilnya baru diambil pada hari berikut. Kebiasaan ini menjadi modal
mereka untuk pulang pergi Ternate Jailolo. Dibo-dibo Sahu, selain
membawa barang-barang mereka, kepergian ke Ternate sekaligus
mengambil hasil jualan para anggota jaringan di Ternate.
Pada pukul 13:30 WIT, mereka mulai kembali ke pelabuhan

Dufa-dufa untuk kembali ke Jailolo. Tepat pada pukul 14:00 WIT kapal
penyebarangan yang mereka tumpangi mulai meninggalkan pelabuhan
Dufa-dufa Ternate. Dengan menyusuri pulau Ternate, kemudian pulau
Hiri, dengan perlahan namun pasti menyusuri teluk Jailolo. Dengan
penuh tatapan yang diam membisu, pulau kecil di bibir teluk Jailolo,
pulau Bubua menjadi tanda masuknya kapal tersebut di wilayah
teluk Jailolo.
Sekitar pukul 16:00 WIT, kapal tersebut mulai merapat di
pelabuhan Jailolo. Pada waktu yang bersamaan, ada sebagian dibo-dibo
yang pada waktu itu tidak ke Ternate, karena mereka harus mencari
bahan-bahan, baik yang dipesan dariTernate atau yang tidak. Dengan
menyusuri rumah-rumah masyarakat atau juga ke kebun masyarakat.
Terlihat mereka mulai melakukan penawaran dengan penduduk
setempat.
Waktu itu, terlihat dirinya masuk pada salah satu rumah.
Dengan bahasa Sahu, dirinya mulai menghampiri tuan rumah.
Dengan ramah pula seorang ibu yang di wajahnya mulai tergores
guratan ketuaan. Terjadilah penawaran yang biasanya dilakukan oleh
seorang dibo-dibo. Akhirnya kesepakatan itu terjadi. Dibo-dibo yang
kala itu membawa gerobak dan ada beberapa anak laki-lakinya,

mulai memanjat pohon nangka, diambillah nangka yang masih
muda (belum matang).
41

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Tidak berhenti di situ saja, dibo-dibo ini menemui beberapa
orang yang berprofesi sama, akan tetapi hanya bergerak di kampong
mereka sendiri, karena tidak memiliki jaringan di Ternate. Mereka
telah menyiapkan bahan-bahan hasil kebun di dalam karung untuk
kemudian tinggal diangkut.
Sore itu, di rumahnya dipenuhi oleh barang-barang yang sudah
di-packing dan siap untuk diangkut ke Ternate. Tak lupa juga dirinya
untuk menghubungi temannya yang ada di Ternate. Terjadi dialog,
yang sepengetahuan penulis memakai bahasa Ternate.
Lebih sibuk lagi kalau musim buah. Mobil pickup selalu bolak
balik pelabuhan untuk melakukan bongkar muat. Karena muatan
yang sangat banyak sekali. Seperti pada bulan Juli tahun 2010,
duren yang buahnya merata pada daratan Sahu. Setiap rumah selalu

memiliki duren. Karena begitu banyaknya buah duren, harga yang
ditawari oleh dibo-dibo juga rendah. Berkisar Rp. 25.000,- sampai Rp.
50.000,-. Harganya bergantung pada kualitas buah itu sendiri. Tidak
hanya duren, akan tetapi bersamaan dengan itu pula musim panen
rambutan dan langsat.
Pada musim buah ini, tingkat kesibukan mereka (dibo- dibo)
sangat tinggi. Dalam kondisi ini, mereka telah memesan orang-orang
tertentu untuk melakukan penawaran dengan pemilik kebun dan
atau dengan masyarakat untuk memperoleh harga yang murah.
Karena bawaan utama mereka adalah duren, rambutan dan langsat.
Akan tetapi mereka juga tidak melupakan bahan-bahan penghasil
kebun dan juga rempah-rempah.
Pada akhir bulan, ada beberapa dari mereka yang datang ke
Bank BRI untuk menyetor tabungan. Kisaran setoran tabungan mereka
adalah Rp. 500.000,- sampai Rp.1.000.000,-. Dari sumber yang
diketahui bahwa penghasilan mereka dalam sebulan sangat fariatif,
sangat bergantung pada musim. Artinya jika musim buah, maka
penghasilan mereka juga naik. Jika tidak, maka sangat bergantung pada
pola manajemen keluarga. Karena jika tidak dikelola dengan baik,
maka pada akhir bulan tidak sempat untuk ditabung. Kisaran

42

Komunitas Dibo-dibo:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

penghasilan mereka dari Rp. 1.000.000,-, sampai Rp. 2.500.000,-.
Bergantung pada manajemen pribadi artinya bahwa tergangung pada
tingkat pengelolaan pemenuhan kebutuhan keluarga. Artinya bahwa
karena pemasukan yang mereka
terima 3 kali dalam seminggu, maka jika dikelola, akan ada sisanya
untuk ditabung, tetapi jika tidak, maka akan habis dalam sebulan.
Apalagi dengan harga barang yang cukup tinggi pula dalam konteks
perekonomian di Ternate maupun di Kab. Halmahera Barat.

Aktivitas Sosial Komunitas Dibo-dibo
Berangkat dari rutinitas seorang dibo-dibo di atas, pada sub
bab ini akan dijabarkan tentang aktivitas sosial komunitas dibo-dibo,
yang di dalamnya akan menjabarkan tentang motivasi, trust,
komunikasi dan relasi sosial dalam komunitas serta sanksi dan
pemberlakuannya di antara sesama anggota komunitas.

Motivasi utama mereka dalam komunitas adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing keluarga. Karena
komunitas ini sangat terkait dengan profesi dan minat mereka terhadap
praktek jual-beli barang. Aktivitas yang mereka jalani selama ini
merupakan gambaran utama dari motivasi dasar mereka untuk
bergabung dengan komunitas dibo-dibo.
Selain motivasi ekonomis, mereka juga memperoleh
keuntungan sosial, yakni terjalinnya relasi yang baik di antara sesama
dibo-dibo. Relasi yang terbangun tersebut didasarkan pada
persamaan tujuan dri sesama anggota. Yang kemudian bermuara
pada hubungan yang akrab dalam anggota komunitas. Salah satu
keuntungan sosial, yang bagi kebanyakan anggota adalah mereka
tidak terasing ketika sampai ke Ternate, karena ada keluarga-keluarga
(jaringan di Ternate) yang bisa menyambut mereka dengan hangat dan
ramah. Keuntungan semacam ini merupakan modal utama mereka
dalam menjaga keakraban di antara sesama dibo-dibo.

43

Komunitas Dibo-dibo

(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Dalam kaitannya dengan trust, masing-masing menjaganya
dengan melakukan apa yang telah disepakati oleh sesama mereka.
Kepercayaan yang mereka pahami adalah saling memahami dan selalu
berbuat apa yang telah disepakati bersama. Adapun pola trust yang
terbangun pada jaringan mereka adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1. Pola Trust Komunitas Dibo-dibo

Dengan pola di atas, dapat dilihat bahwa kesusuaian
tindakan dan kejujuran dalam relasi adalah hal mendasar yang
melandasi order hasil kebun dalam sesama jaringan, yang kemudian
berimplikasi pada pembagian keuntungan penjualan. Seorang dibodibo yang berasal dari Sahu akan membawa hasil kebun di Ternate,
yang kemudian dijual oleh jaringan mereka di Ternate. Terkadang
mereka tidak langsung memperoleh keuntungan dari barang bawaan
mereka, karena harus menunggu hasil penjualan di Ternate. Dasar
kepercayaan mereka ini adalah persamaan tujuan, yang membungkus
seluruh aktivitas mereka. Oleh karena itu ada trust yang dalam di
antara mereka.

Tidak ada rasa khawatir ditipu atau dimanipulasi oleh sesama
mereka, karena dari pola di atas diketahui bahwa pembagian
keuntungan pun dilakukan dengan mempertimbangkan trust di antara
sesama dibo-dibo.
44

Komunitas Dibo-dibo:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

Pola yang mutualis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1.
di atas merupakan ciri khas mereka. Dalam upaya untuk menjaga pola
trust di atas, sesama dibo-dibo membangun apa yang mereka sebutkan
sebagai “kesepakatan dagang” . Dalam arti bahwa masing-masing selalu
dikondisikan untuk menjalankan apa yang telah disepakati. Masingmasing dibo-dibo akan terus berkomunikasi secara langsung maupun
tidak dalam jaringan mereka. Dalam hal ini, masing-masing dibodibo memiliki satu atau dua orang yang menjadi anggota jaringan
mereka di Ternate. Dan di antara mereka tidak akan keluar dari
jaringan ini. Inilah yang menurut mereka bisa menjaga pola trust di
atas. Karena masing-masing sudah dikondisikan untuk tetap
konsisten dengan anggota jaringan mereka sendiri.
Konsekuensi dari penyelewengan yang terjadi dalam jaringan,

maka anggota jaringan tersebut akan keluar dan mencari jaringan yang
lain dalam komunitas. Bagi mereka hal ini merupakan prinsip utama
dalam jaringan mereka sendiri, karena masing-masing anggota hanya
diperbolehkan untuk menerima barang dari sesama jaringan mereka.
Keterbukaan di dalam jaringan bisa terjadi dengan kondisi-kondisi
tertentu.
Kondisi-kondisi tersebut adalah jika barang yang dipesan tidak
ada pada sesama jaringan. Itu pun jika jaringan lain mengijinkan
untuk diambil oleh pemiliknya. Pola hubungan seperti itulah yang
menjadi dasar utama mereka dalam berkomunikasi.
Selain unsur trust di atas, komunikasi juga merupakan salah
satu elemen yang penting bagi mereka. Komunikasi merupakan
hubungan timbal balik antara dua subjek atau lebih. Demikian
merupakan hakikat utama dari komunikasi. Jika bersentuhan dengan
hakikat tersebut, maka ketika hal tersebut dikaitkan dengan kehidupan
keseharian dibo-dibo, akan tergambar satu pola yang kurang lebih
tetap. Artinya bahwa pola komunikasi mereka ditopang oleh kultur
orang Halmahera.
Maksudnya bahwa kecenderungan mereka dalam membangun
komunikasi dalam jaringan mereka biasanya menggunakan kultur
45

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

suku masing-masing. Sebagai contoh bahasa yang mereka pakai. Dalam
kelompok yang berhadapan secara langsung dengan masyarakat,
mereka lebih cenderung mengenal dengan baik masyarakatnya,
terutama bahasa yang digunakan oleh mereka sendiri. Para dibo-dibo
dalam kelompok ini lebih cenderung untuk menggunakan bahasa local
setempat. Jika berhadapan dengan masyarakat suku Sahu, maka mereka
akan lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Sahu. Begitu juga
ketika mereka berhadapan dengan jaringan yang ada di Ternate,
mereka juga lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Ternate.
Selain bahasa, kultur juga mereka kenal dengan baik. Sebagai
contoh ketika berhadapan dengan orang Sahu, mereka lebih cenderung
melakukan penawaran di kebun, daripada di rumah. Hal ini karena
kondisi di kebun dan di rumah lain. Di kebun, orang Sahu lebih
cenderung tidak memiliki pilihan harga, karena mereka dari hari senin
hingga Sabtu berada di kebun dan tidak mengetahui fluktuasi harga
barang yang terjadi di kampung. Akibatnya, para dibo-dibo bisa
memperoleh harga beli yang sangat rendah.
Di samping itu pula, mereka juga menggunakan kedekatan
hubungan kekerabatan dalam menawarkan barang. Kebanyakan dibodibo yang berhadapan langsung dengan masyarakat adalah mereka
menggunakan pola hubungan kekerabatan. Dari sumber wawancara
dengan nara sumber, diketahui bahwa mereka lebih mudah untuk
membeli pada keluarga sendiri ketimbang orang lain. Karena tidak
semua barang langsung dibayar pada saat itu.
Pola komunikasi ini menandakan bahwa faktor utama mereka
adalah persoalan kultur yang menopang setiap komunikasi yang terjadi
pada setiap jaringan. Ketertutupan yang terjadi pada kelompok kedua
(pola kedua pada bahasa di atas), diakibatkan oleh determinasi budaya,
yang mana mereka tidak terlalu mengenal orang Sahu, yang
merupakan sumber modal stok barang yang akan dibawa ke Ternate.
Hal terkahir dalam mengkaji karekter sosial dari komunitas ini
adalah sanksi. Terkait dengan sanksi, dalam komunitas ini tidak
diberlakukan aturan atau sanksi yang sifatnya tertulis. Sanksi tersebut
46

Komunitas Dibo-dibo:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

disepakati secara lisan. Karena sanksi tersebut juga muncul sebagai
konsekuensi dari aturan main yang disepakati secara lisan juga. Adapun
aturan main mereka dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4.2. Alur Tanggung Jawab dalam Jaringan Dibo- dibo

Dengan gambaran di atas, diketahui bahwa dalam komunitas
dibo-dibo memiliki jaringan-jaringan. Dan masing- masing jaringan
memiliki tanggung jawab yang sama, yakni jaringan dari Sahu
memiliki tanggung jawab untuk membawa hasil kebun dari masyarakat
suku Sahu dan jaringan Ternate menerima dan kemudian dijual di
pasar Ternate. Tanggung jawab dalam jaringan ini bisa saja
berpindah dari satu jaringan ke jaringan yang lain bila jaringan dari
Ternate tidak memperoleh barang yang dipesan dari jaringan dibodibo Sahu.
Aturan main di atas akan bersifat tetap dan tertutup di sesama
jaringan. Jika salah satu anggota dalam jaringan tidak memnuhi
kewajibannya secara terus-menerus, maka anggota jaringan bisa
membuat hubungan baru, atau bahkan bergabung dengan jaringan lain.

Aktivitas Ekonomi Komunitas Dibo-dibo
Dalam membahas aktivitas ekonomi, akan diorientasikan pada
pembahasan tentang Motivasi Ekonomi, Sumber Daya, Kebutuhan,
Resiko Ekonomi, Pertukaran Pengetahuan dan Sumber Daya (modal).
47

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Terkait dengan motivasi ekonomi, disadari bahwa komunitas
ini sangat menguntungkan, terutama jika dikaitkan dengan
produktivitas. Bagi mereka bahwa profesi ini sangat memberikan
keuntungan bagi pemenuhan kebutuhan keseharian keluarga.
Karena itu, persamaan tujuan yang menjadi hakikat dasar dari
komunitas ini adalah sama-sama harus memperoleh keuntungan.
Dalam kaitannya dengan modal yang dipakai oleh dibodibo, terutama dibo-dibo di Sahu adalah tanah, relasi keluarga dan
jaringan serta finansial. Akan tetapi, tidak semua dibo-dibo
memiliki semua modal di atas secara bersamaan. Terkait dengan tanah
(dalam penelitian ini dimaksudkan untuk kebun sendiri), tidak semua
memilikinya. Kebun mereka cenderung kurang dari 1 Ha. Namun
begitu, modal ini bukan modal yang sangat penting bagi dibo-dibo.
salah satu modal utama selain finansial untuk operasional Jailolo
Ternate, adalah hubungan kekerabatan.
Sumber daya keluarga merupakan salah satu penopang
utama bagi dibo-dibo dari atau yang hidup di wilayah Sahu. Dengan
modal anggota keluarga, sudah terjamin bahwa stok bahan hasil kebun
akan terus terjaga. Di samping itu pula, modal relasi anggota keluarga
akan memampukan dibo-dibo untuk tetap memperoleh hasil kebun
dengan harga yang murah. Selain itu pula, ketergantungan ekonomis
yang tercipta di antara keluarga akan sangat menguntungkan dibodibo. Karena hasil kebun akan tetap ada dan bisa diperoleh dengan
harga yang cukup murah. Selain hubungan kekerabatan, modal
mereka adalah jaringan.
Dalam mengidentifikasi pola jaringan dibo-dibo di Sahu,
akan ditemukan pola yang berbeda-beda. Sangat bergantung pada
bagaimana setiap dibo-dibo menjalankan usahanya. Ketika ditemui,
diketahui bahwa pola mereka terdiri atas 4 (empat) pola, yang
masing-masing memegang peranan yang penting dalam distribusi
barang sampai ke tangan konsumen, baik itu di Ternate maupun di
tempat yang lain.

48

Komunitas Dibo-dibo:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

Pola Pertama. Adalah mereka yang berhadapan langsung
dengan masyarakat dalam melakukan penawaran pembelian. Mereka
ini cenderung tidak membawa barang ke Ternate. Mereka lebih
memilih melakukan aktivitas di kampung sendiri, dan mengumpulkan
barang di rumah, yang kemudian diangkut oleh orang-orang tertentu
yang telah memesan, atau pun tidak. Kelompok ini biasanya disebut
dengan “dibo-dibo kampong”. Kelompok ini biasanya lebih terbuka.
Artinya bahwa mereka lebih cenderung untuk tidak bergantung pada
satu orang saja, melainkan siapa saja boleh datang untuk melakukan
menawaran dengan mereka.
Pola Kedua. Adalah mereka yang memiliki jaringan ke Ternate.
Kelompok ini merupakan kelompok yang selalu berhubungan dengan
pembeli di Ternate. Biasanya mereka ini menguasai pasar tradisional di
Ternate. Kelompok ini biasanya sudah memiliki hubungan yang
dekat dengan orang-orang di Ternate. Ciri khas mereka ini adalah
selalu bisa menguasai bahasa Ternate, walau cuma sedikit, yang
penting bisa berbahasa Ternate. Tiap hari mereka ke Ternate,
karena sudah memiliki stok barang yang siap untuk diangkut, karena
sudah dijamin oleh jaringan mereka yang masuk dalam kategori
pertama di atas. Kelompok ini cenderung tertutup, artinya bahwa
mereka kebanyakan hanya berhubungan dengan kelompok pada pola
pertama. Jarang sekali mereka berhadapan secara langsung dengan
masyarakat. Ketika kembali dari Ternate, bisanya mereka langsung
melakukan penawaran ke kelompok pertama di atas dan kemudian
siap untuk diangkut ke Pelabuhan malam itu juga, agar besok
paginya tidak perlu repot untuk mengurus bongkar muat lagi.
Pola Ketiga. Adalah mereka yang lebih cenderung terbuka.
Artinya bahwa mereka ini akan langsung melakukan penawaran
dengan masyarakat, baik itu di rumah maupun di kebun. Mereka lebih
cenderung menjemput barang sendiri dan diangkut ke Pelabuhan.
Atau juga mereka mengumpulkan barang-barang yang telah dibeli di
rumah dan keesokan diangkut ke Ternate. Kelompok ini biasanya
melakukan usaha dalam skala yang tidak terlalu besar. Alasan
mereka untuk tidak memakai jaringan pada pola pertama di atas,
49

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

adalah untuk memotong harga barang. Karena ketika melakukan
penawaran langsung ke masyarakat, harga yang mereka dapat bisa
lebih murah lagi. Kelompok ini biasanya kelompok yang berasal dari
Sahu, dan menguasai daerah setempat. Dalam arti bahwa mereka
dengan mudah mengidentifikasi potensi kepemilikan masyarakat.
Mereka juga mengenal masyarakat dengan baik, sehingga lebih mudah
bagi mereka untuk melakukan penawaran. Di samping itu juga, mereka
memiliki hubungan kekerabatan yang luas. Modal inilah yang sering
dipakai oleh mereka dalam melakukan penawaran secara langsung
dengan masyarakat.
Pola Keempat. Adalah kelompok dibo-dibo yang ada di
Ternate. Kelompok ini lebih tertutup. Artinya bahwa mereka tidak
dengan sembarangan menerima barang dari orang lain. Mereka lebih
cenderung untuk mempertahankan hubungan dengan jaringan mereka
yang datang dari Jailolo-Sahu. Setiap satu orang memiliki jaringan 1-2
orang dibo-dibo. Jadi kelompok inilah yang berhadapan dengan
pedagang pasar tradisional di Ternate. Terkadang juga mereka menjual
sendiri barang-barang yang dibawa oleh dibo-dibo dari Jailolo-Sahu.
Kelompok ini sebagian besar adalah mereka yang berpenduduk asli
Ternate, ada juga dari suku Makean, dan juga sebagian berasal dari
suku Bugis-Makasar.
Dari keempat pola di atas, dapat dilihat bahwa dibo-dibo di
Sahu memiliki jaringan yang sangat kuat dan masing-masing memiliki
peran yang penting dalam mendistribusikan barang ke Ternate. Dari
keempat pola tersebut juga di atas, juga nampak bahwa ada satu mata
rantai pemasok yang jelas dalam jaringan mereka. Jika terjadi
pemutusan mata rantai pemasok seperti yang telah digambarkan di
atas, maka akan terjadi penumpukan barang pada salah satu daerah,
baik di Ternate atau juga di Jailolo-Sahu. Secara keseluruhan, keempat
pola di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

50

Komunitas Dibo-dibo:
Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

Gambar 4.3. Pola Jaringan Komunitas Dibo-dibo

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa cara yang pertama,
sebelum sampai pada jaringan dibo-dibo di Ternate, terjadi dua kali
distribusi barang, yakni dari masyarakat suku Sahu, akan
didistribusikan oleh “dibo-dibo kampong”, yang kemudian akan
diambil oleh dibo-dibo yang memiliki jaringan di Ternate. Sedangkan
cara yang kedua adalah tidak melalui “dibo-dibo kampong”, tetapi
dibo-dibo yang memiliki jaringan di ternate akan berhadapan langsung
dengan masyarakat suku Sahu.
Berangkat dari pola jaringan, sebagaimana yang telah diuraikan
di atas, apakah akan terjadi sharing pengetahuan dan sumber daya di
antara mereka? Dengan relasi jaringan yang sering tertutup dalam
komunitas ini, apakah ada kesepakatan di antara mereka terkait
dengan sharing pengetahuan atau sumber daya?
Dalam upaya untuk melihat komunitas ini, sharing
pengetahuan dalam pemahaman dibo-dibo adalah sharing informasi
terkait dengan info harga pasar, serta permintaan barang dari Ternate.
Jadi informasi tersebut bisa saja terjadi sharing antar jaringan, dalam
arti bahwa informasi yang terkait dengan kondisi pasar di Ternate
akan bisa melampaui batas tanggung jawab antar jaringan. Secara
khusus untuk dibo-dibo yang berada di Sahu, mereka lebih
cenderung untuk terbuka terhadap informasi ini untuk di-sharing
kepada dibo-dibo yang lain (terutama yang berasal dari Sahu). Bagi
mereka, kelansungan distribusi di antara sesama dibo-dibo yang berasal
dari Sahu merupakan pertimbangan utama dalam membagi informasi
tersebut.
51

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

Informasi lain yang sering dibagikan di antara sesama mereka
adalah informasi seputar keberadaan stock hasil kebun. Informasi
tersebut biasanya mengenai tempat dan juga siapa yang harus
dihubungi (dibo-dibo kampong). Syarat utama dari sharing akan
informasi ini adalah relasi yang akrab di antara pemberi dan
penerima informasi. Dalam arti bahwa syarat utama dari sharing
informasi ini adalah mereka yang sudah sering berkomunikasi secara
intens.
Dalam kaitannya dengan sharing sumber daya (modal),
yang paling sering dilakukan adalah sharing hasil kebun. Secara
khusus untuk dibo-dibo yang berasal dari Sahu, tidak jarang sesama
mereka sering melakukan sharing hasil kebun yang akan dibawa ke
Ternate. Tidak jarang juga, jika pada musim panen buah (seperti duren
dan rambutan), mereka sering bergabung untuk mengambil hasil
panen masyarakat dalam jumlah yang besar. Karena tempat yang
berbeda, sangat memungkinkan terjadinya sharing stok hasil panen
tersebut.

52