T2 092006104 BAB VII

BAB VII
PENUTUP

Kesimpulan
Bersumber pada latar belakang masalah yang dikemukakan
pada bab pendahuluan, yang kemudian menimbulkan persoalan dan
tujuan penelitian, yang kemudian penelitian tentang komunitas dibodibo dikaji, diteliti dan kemudian dibahas. Berangkat dari acuan
tersebut, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Mengacu pada pembahasan mengenai hakikat komunitas
dalam dalam Bab II, dapat disimpulkan bahwa rasa
kepemilikan merupakan ciri utama dalam mendefiniskan
komunitas. Oleh karena itu, komunitas dapat dimaknai sebagai
keberadaan individu-individu yang di dalamnya dapat
memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi,
kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa.
2. Pembahasan trust, budaya, jaringan dan komunikasi dalam
komunitas, menegaskan bahwa rasa kepemilikan setiap anggota
dalam komunitas sangat ditopang oleh konstruksi modal sosial
dalam bentuk trust, yang kemudian diabstraksikan dalam nilai
budaya yang menjadi ciri khas sebuah komunitas. Ciri
semacam ini akan bermuara pada bentuk jaringan dan

komunikasi yang menjadi sub sistem dalam komunitas.
Jaringan sebagai sub sistem lahir sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari setiap anggota komunitas dalam
mengapresiasikan pemaknaan diri mereka, baik dengan
lingkungan yang eksternal maupun yang internal.
3. Berangkat dari pembahasan mengenai hasil penelitian bagian
pertama yang disajikan pada Bab IV, diketahui bahwa
motivasi utama mereka dalam komunitas adalah untuk
69

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

memenuhi kebutuhan hidup masing- masing keluarga. Selain
motivasi ekonomis, mereka juga memperoleh keuntungan
sosial, yakni terjalinnya relasi yang baik di antara sesama dibodibo. Relasi yang terbangun tersebut didasarkan pada
persamaan tujuan dari sesama anggota. Yang kemudian
bermuara pada hubungan yang akrab dalam anggota
komunitas. Hubungan yang akrab tersebut diwujudkan dengan
pola trust masing-masing anggota dalam jaringan.

4. Adapun pola jaringan dibo-dibo dapat diidentifikasi menjadi 4
(empat) pola. Pola Pertama adalah mereka yang berhadapan
langsung dengan masyarakat dalam melakukan penawaran
pembelian. Pola Kedua adalah mereka yang memiliki jaringan
ke Ternate. Kelompok ini merupakan kelompok yang selalu
berhubungan dengan pembeli di Ternate. Pola Ketiga
adalah mereka yang lebih cenderung terbuka. Artinya bahwa
mereka ini akan langsung melakukan penawaran dengan
masyarakat, baik itu di rumah maupun di kebun. Sedangkan
pola Keempat adalah kelompok dibo-dibo yang ada di Ternate.
Kelompok ini lebih tertutup. Artinya bahwa mereka tidak
sembarang menerima barang dari orang lain.
5. Sedangkan pembahasan mengenai hasil penelitian pada
bagian kedua, sebagaimana yang disajikan pada Bab V,
menegaskan bahwa relasi komunitas dibo-dibo dengan
masyarakat suku Sahu, didasarkan pada hubungan kekerabatan.
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hubungan
kekerabatan bisa menjamin
sistem pembayaran „tidak
langsung‟. Selain pertimbangan tersebut, hubungan yang

mutualis dan ketergantungan yang aktif antara sesama
keluarga juga menjadi pemicu pilihan dibo-dibo untuk
mengambil hasil kebun dari keluarga mereka sendiri. Akan
tetapi, kecenderungan seperti ini bukan berarti mereka
tertutup kepada orang lain.
6. Sebagai komunitas yang beraktivitas pada kegiatan distribusi
hasil kebun masyarakat, strategi usaha mereka dibangun
70

Penutup

dengan membentuk jaringan
pendekatan kekerabatan sosial.

kerja

serta

menggunakan


7. Berangkat dari pembahasan mengenai analisa hasil penelitian
yang disajikan pada Bab VI, maka komunitas dibo-dibo
adalah “komunitas entrepreneur lokal”. Sebagai komunitas
entrepreneur lokal, jaringan distribusi yang dibentuk dalam
komunitas ini memiliki makna jaringan yang terbuka dan
hidup. Setiap individu yang terlibat di dalamnya, memiliki
peran dan fungsinya
masing-masing,
yang kemudian
dimaknainya bukan terlepas dari sistem itu sendiri, melainkan
peran dan fungsi yang hadir sebagai bagian yang satu dengan
sistem jaringan dan lingkungan sekitar. Dalam asumsi seperti
itu, maka hasil penelitian ini menolak konsep ketertutupan
jaringan sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Luhman
tentang autopoesis sosial.

Implikasi Teoritis dan Praktis
Kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini, bermuara pada
beberapa implikasi, seperti yang disebutkan di bawah ini :
Implikasi Teoritis

1. Mengacu pada hasil penelitian, terutama yang dijabarkan
pada Bab V yang menegaskan bahwa autopoesis komunitas Dibodibo adalah komunitas yang memiliki jaringan terbuka, maka
pandangan Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) tentang
autopoesis sosial yang tertutup tidak terjadi pada komunitas
Dibo-dibo. Kesetiaan dan harapan yang selalu dipelihara dalam
jaringan sosial, tidak serta merta memberikan pengaruh pada
ketertutupan jaringan. Karena harapan dan kesetiaan anggota
dalam jaringan sebagaimana yang dibentuk dan dipelihara,
merupakan pemaknaan dari konstruksi simbolis akan identitas
mereka sendiri, yang mana juga bertautan dengan lingkungan di
sekitar mereka. Oleh karena itu, bukan hanya menyangkut proses,
71

Komunitas Dibo-dibo
(Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

melainkan juga pemaknaan terhadap simbol yang sudah ada pada
masyarakat dalam konteks yang lebih luas (Capra, 2003; Maturana
dan Varela, 1987). Oleh karena itu, jaringan yang selalu
diproduksi dalam sistem sebuah komunitas, tidak dibangun

hanya dengan alasan survive atau sebagai langkah defensif diri,
melainkan juga dibangun berdasarkan interpretasi terhadap
kenyataan yang berada pada lingkungan eksternal. Dengan
demikian, hal ini tidak akan terejadi apabila komunitas tersebut
sifatnya tertutup, melainkan harus terbuka.
2. Pendekatan terhadap komunitas seharusnya dibangun pada
kesadaran akan pemaknaan simbol. Hal ini menjadi penting untuk
melihat signifikansi interpretasi setiap anggota terhadap
keberadaan mereka dalam jaringan komunitas dan juga jaringan di
luar komunitas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cohen
(2001), bahwa pendekatan terhadap komunitas harus didasarkan
pada komunitas sebagai realitas simbolis, bukan pada realitas
struktural saja. Implikasi dari pendekatan ini adalah bahwa
komunitas diletakkan pada koneksinya dengan realitas internal
dan juga eksternal.
Implikasi Praktis
1. Sebagaimana yang dikemukakan pada Butir 4.2., bahwa komunitas
dibo-dibo adalah kumpulan orang- orang yang mendistribusikan
hasil kebun masyarakat suku Sahu ke pasar lokal di Ternate. Hasil
kebun yang sering didistribusikan adalah hasil kebun masyarakat

yang berwujud bahan mentah. Mengacu pada aktivitas ini,
anggota dalam jaringan dibo-dibo perlu untuk mengembangkan
usaha mereka. Pengembangan usaha ini dilihat dalam bentuk
upaya untuk menjadikan hasil kebun masyarakat sebagai barang
jadi atau setengah jadi (dalam produk tertentu, seperti keripik
singkong atau pisang) hal ini perlu untuk dilakukan supaya
dibo-dibo dapat memberikan rangsangan positif terhadap
pengembangan usaha masyarakat lokal.

72

Penutup

2. Mengacu pada hasil penelitian, sebagaimana yang dijelaskan dalam
aktivitas ekonomi, dapat dilihat bahwa pola jaringan dibo-dibo
mengacu pada empat pola. Dengan penjelasan tersebut, yang
menjadi penekanannya pada dibo-dibo kampong. Penekanan
ini perlu dilakukan dengan cara memberikan ruang gerak
usaha mereka. Pemberian ruang gerak mereka dapat difasilitasi
oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang dimotori oleh

Pemerintah Daerah. Pemberian ruang gerak usaha tersebut harus
juga didorong oleh dana insentif kepada mereka. Karena tipe
jaringan ini biasanya muncul sebagai akibat dari kecenderungan
mereka yang tidak punya modal lebih, melainkan memiliki modal
ekonomi lainnya, seperti lahan kebun keluarga dan juga
relasi anggota keluarga.
3. Hal menarik lainnya yang harus menjadi perhatian utama
dalam penelitian ini adalah bahwa sebagian besar dibo-dibo, baik
yang ada di Ternate, di Sahu maupun yang ada di Kampung,
adalah para perempuan. Oleh karena itu, pinjaman, pelatihan dan
pendidikan pengelolaan modal usaha lebih baik dititikberatkan
pada kaum perempuan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa
pengelolaan dan pembelanjaan kebutuhan keluarga
biasanya terletak pada kaum perempuan. Dengan begitu,
pertimbangan insentif pinjaman yang disertai juga dengan
pelatihan
dan
pengelolaan
modal

usaha sebaiknya
diutamakan bagi kaum perempuan.

73