EFEKETIVITAS PEMBELAJARAN AKTIF MODEL L.DEE FINK DENGAN TEKNIK PROBING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA.

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... PERNYATAAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN ……….. BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang ………...

B. Rumusan Masalah ………...

C. Pertanyaan Penelitian ………..

D. Tujuan Penelitian ..………...

E. Manfaat Penelitian ………..

F. Asumsi ………

G. Hipotesis ………..

H. Definisi Operasional ……….………..

I. Paradigma Penelitian ………..

BAB II KAJIAN TEORI... A. Pembelajaran Aktif ………... B. Teknik Probing... C. Berpikir Kritis... D. Kompetensi Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ……… E. Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar...

BAB III METODE PENELITIAN... A. Pendekatan Penelitian... B. Metode Penelitian...

i ii iv vi vii ix xii xiii 1 1 12 12 13 13 14 15 15 17 19 19 25 32 39 47 52 52 52


(2)

C. Desain Penelitian……… D. Variabel Penelitian... E. Teknik Pengumpulan Data... F. Teknik Analisis Data... G. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian...

H. Prosedur Penelitian ………

I. Instrumen Penelitian...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... A. Hasil Penelitian...

1. Kemampuan Berpikir Kritis……….. 2. Kemampuan Berpikir Kritis untuk Setiap………. B. Pembahasan... 1. Kemampuan Berpikir Kritis……….. 2. Kemampuan Berpikir Kritis untuk Setiap Indikator...

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... A. Kesimpulan... B. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN-LAMPIRAN 53 55 56 56 58 59 63 79 79 80 93 131 132 135 143 143 144 145


(3)

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah Dasar merupakan lembaga dimana pendidikan yang diselenggarakan bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Keberhasilan pendidikan siswa di SD akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan siswa di jenjang selanjutnya. Oleh karena itu perhatian dan upaya untuk menjamin dan meningkakan mutu pendidikan di SD sangat penting sesuai dengan tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional yang sekarang menjadi Kementrian Pendidikan Nasional sudah mulai bergeser dari prioritasnya dalam aksesibilitas pendidikan menjadi penjaminan mutu pendidikan. Oleh karena itu pada tahun 2005 terbit Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang berisi tentang delapan standar nasional pendidikan, yang kemudian ke-delapan standar ini, masing-masing diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas).

Mutu sangat berkaitan dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan adalah siswa dan masyarakat. Kualitas atau mutu pendidikan akan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Agar kualitas pendidikan dapat terjaga dan dapat berkembang maka disusunlah Standar Pendidikan Nasional. Salah satu Standar Nasional Pendidikan adalah Standar Kompetensi Lulusan. Standar


(5)

Kompetensi Lulusan diatur dalam Permendiknas nomor 23 tahun 2006. Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 berisi bagaimana lulusan yang berkualitas dari setiap jenjang pendidikan, setiap kelompok mata pelajaran dan mata pelajaran.

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) setiap jenjang disesuaikan dengan tujuan pendidikan setiap jenjang. Tujuan pendidikan di sekolah dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. SKL sekolah dasar disesuaikan dengan tujuan tersebut yang diatur dalam Permendiknas No 23 tahun 2006. Salah satu SKL SD/MI/SDLB/Paket A adalah “Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, dengan bimbingan guru/pendidik dan mampu menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif “

Setelah mengikuti pendidikan di sekolah dasar diharapkan`secara utuh dan tuntas siswa dapat menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif dengan bimbingan guru pada setiap mata pelajaran termasuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan kajian tentang fenomena dan masalah sosial yang terkait dengan hidup manusia dengan lingkungannya. Hidup manusia dengan lingkungannya adalah sebuah sistem, artinya bahwa hidup manusia dengan lingkungannya sangat erat kaitannya dengan berbagai aspek atau faktor, dimana aspek atau faktor itu saling kait mengait, saling pengaruh mempengaruhi dengan mengikuti prinsip sebab akibat.


(6)

Pembelajaran IPS diharapkan dapat memperkenalkan dan mengembangkan pengetahuan dasar tentang kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan kewarganegaraan, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan inkuiri untuk dapat memahami, mengidentifikasi, menyikapi, beradaptasi dan ikut memecahkan masalah sosial, membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Tujuan dari pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.

Tujuan pembelajaran dapat dicapai hanya dengan proses belajar yang efektif. Proses belajar merupakan upaya sadar untuk membentuk manusia seutuhnya. Manusia adalah makhluk sosial. Dengan demikian instusi pendidikan dasar dan menengah diharapkan dapat mencetak peserta didik sebagai makhluk sosial yang peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terjadi dan terampil mengatasi masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Kompetensi yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik sebagai makhluk sosial diantaranya adalah kompetensi berpikir tingkat tinggi (high order thinking) yang tidak hanya sekedar me-retell apa saja yang sudah diketahui tapi, bagaimana menggunakan pengetahuan dan pemahaman yang sudah dimiliki untuk melakukan


(7)

analisis, sintesa maupun evaluasi dalam kerangka manusia sebagai makhluk sosial harus dapat mengatasi masalah sosial agar dapat bertahan hidup.

Sebagai makhluk rasional dan pemberi makna, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Kecenderungan manusia memberi arti pada berbagai hal dan kejadian di sekitarnya merupakan indikasi dari kemampuan berpikirnya. Kecenderungan ini dapat kita temukan pada seorang anak kecil yang memandang berbagai benda di sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka menguji-coba segala sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya lalu menarik kesimpulan dari hal-hal yang ditemuinya. Dengan pemahaman terhadap kondisi kognitif anak dan kemampuan belajar mereka yang tinggi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan untuk berpikir kritis secara bertahap hendaknya sudah diberikan pada anak sejak masih sangat muda. Selain untuk mempersiapkan mereka di masa dewasa kelak, juga untuk membiasakan keterbukaan pada berbagai informasi sejak dini.

Kurangnya pembelajaran yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dapat mengarahkan anak-anak pada kebiasaan melakukan berbagai kegiatan tanpa mengetahui tujuan dan mengapa mereka melakukannya. Kebiasaan-kebiasaan itu dapat berupa kegiatan yang destruktif bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Pada umumnya di dunia pendidikan dewasa ini belum banyak dikembangkan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis secara intens. Kurikulum pembelajaran di sekolah dalam lingkup pendidikan dasar


(8)

dan menengah masih diwarnai dengan kuat oleh kurikulum berbasis materi dengan filosofi essensialisme yang masih mengusung pembelajaran dengan pendekatan ekspositori dalam porsi yang lebih besar dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lain.

Dalam dunia pendidikan yang masih banyak menganut cara ortodoks, yang menuntut pelajar hanya menerima apa yang disampaikan guru atau orangtua padanya, memang sulit mengharapkan individu mampu mengajukan pikirannya sendiri. Pelajar cenderung tampil sebagai individu yang otomatis, melakukan hal-hal yang biasa dilakukan. Cara belajar dan berpikir seperti itu sama sekali tidak cocok untuk keadaan sekarang, terutama bila bangsa kita tidak ingin hanya menjadi follower (pengikut). Bila dalam dunia yang sudah makin menipis batas-batasnya ini bangsa Indonesia hanya menjadi pelaksana dari perintah orang-orang bangsa lain, juga di negaranya sendiri. Sementara pengambilan keputusan dipegang oleh orang dari bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dipersiapkan sebelumnya.

Hasil penelitian Wina Sanjaya (2002) dalam pra survey menyimpulkan bahwa sebagian besar guru berpendapat bahwa IPS pada kakekatnya adalah sebagai pelajaran hapalan. Menurut mereka IPS memiliki karakteristik lain dibandingkan dengan matematika atau IPA. Kalau matematika atau IPA menuntut kemampuan berpikir logis dan sistematis, maka tidak demikian dengan IPS. Pelajaran IPS menurut guru penuh dengan konsep-konsep, pengertian-pengertian dan data atau fakta yang harus dihafal dan tidak perlu pembuktian. Oleh karena


(9)

merupakan pelajaran hafalan, yang menuntut siswa agar dapat menguasai pelajaran sebanyak-banyaknya.

IPS dianggap sebagai mata pelajaran yang didominasi oleh materi yang bersifat hapalan, oleh karena itu pada umumnya pembelajaran IPS di sekolah dilakukan dalam bentuk satu arah, guru lebih banyak ceramah dihadapan siswa sementara siswa mendengarkan. Guru beranggapan tugasnya hanya mentransfer pengetahuan yang dimiliki guru kepada siswa dengan target tersampaikannya topik-topik yang tertulis dalam dokumen kurikulum kepada siswa. Guru tidak memberi inspirasi kepada siswa untuk berkreasi dan tidak melatih siswa untuk hidup mandiri. Pelajaran yang disajikan guru kurang menantang siswa untuk berpikir.

Lebih dari 2400 tahun yang lalu Confucius mengeluarkan pernyataan yang populer yaitu : “What I hear, I forget. What I see, I remember. What I do I understand.” (Silberman, 1996 : 1). Terdapat beberapa alasan mengapa seseorang melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu alasannya adalah perbedaan tingkat kecepatan bicara pengajar dengan tingkat kemampuan siswa mendengarkan. Kebanyakan guru berbicara kurang lebih 100-200 kata per-menit. Banyaknya kata yang dapat siswa dengar tergantung pada bagaimana mereka mendengarkan. Jika siswa betul-betul konsentrasi rata-rata mereka dapat mendengarkan antara 50-100 kata per-menit, atau setengah dari apa yang dikatakan guru. Hal ini disebabkan oleh karena ketika siswa mendengarkan mereka juga berpikir. Selain itu siswa akan sulit untuk mempertahankan


(10)

konsentrasi dalam rentang waktu yang panjang dan terus menerus, terkecuali materi dan cara penyampaiannya menarik.

Pembelajaran dengan metode ceramah selain kurang dapat mengembangkan kemampuan beripir kritis juga dianggap kurang efektif. Kompetensi yang dapat dikembangkan pada pembelajaran dengan ceramah hanya kompetensi mengingat dan kurang dapat meningkatkan kompetensi tingkat tinggi seperti menganalisa atau melakukan sisntesa. Ketika pun ceramah diandalkan untuk mencapai kompetensi siswa pada ranah kognitif yaitu kompetensi mengetahui atau mengingat, ceramah tidak sepenuhnya dapat mencapai kompetensi secara efektif karena kemampuan siswa untuk mendengar terbatas.

Untuk menghindari kondisi seperti itu, perlu usaha untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa untuk mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar (SD), karena SD merupakan tempat dimana kita dapat meletakkan pondasi yang kokoh pada anak untuk keberlangsungan hidupnya dimasa yang akan datang. Pembelajaran IPS diharapkan dapat mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang mampu mengambil keputusan, berpikir krits dan tanggap terhadap masalah-masalah sosial yang crucial yang sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup manusia. Usaha yang sesuai dengan masalah dan kondisi saat ini adalah mengajarkan mereka berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu manusia membuat keputusan yang tepat berdasarkan usaha yang cermat, sistematis, logis, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Bukan hanya mengajar kemampuan yang perlu dilakukan, tetapi juga mengajar sifat, sikap,


(11)

nilai, dan karakter yang menunjang berpikir kritis. Artinya, anak-anak perlu dididik untuk berpikir kritis.

Mendidik anak berpikir kritis akan membantu anak untuk secara aktif membangun pertahanan diri terhadap serangan informasi di sekelilingnya. Melatih anak berpikir kritis sejak muda memang dimungkinkan, tentu saja dengan mempertimbangkan tahap perkembangannya. Hal itu dapat dilakukan dengan mempersiapkan kurikulum pembelajaran yang berdasarkan pada kemampuan berpikir kritis.

Peraturan Menteri Pendidikan No 41 tahun 2007 tentang Standar Proses Pendidikan mengatur tentang bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung. Menurut Permendiknas no 41 tahun 2007, pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Fakta yang mudah dilihat adalah anak secara gigih ingin mengetahui sebanyak mungkin tentang dunia di sekelilingnya dengan cara menciptakan pengetahuan tentang apa yang telah dialaminya. Hal itu sangatlah baik karena ilmuwan pun seperti itu. Anak melakukan pengamatan, berpikir, merumuskan, kemudian menguji jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Bila tidak ada yang menghalangi, mereka akan terus melakukannya sehingga pengetahuannya menjadi lebih baik.


(12)

Apa yang dikemukakan diatas merupakan alasan mengapa active learning atau belajar aktif perlu untuk diimplementasikan dilapangan, bahwasanya setiap anak anak mempunyai sifat dasar untuk mengeksplore sendiri lingkungannya dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau mempelajari sesuatu.

Selain sifat dasar alamiah anak, alasan lain yang memperkuat pembelajaran aktif adalah dasar hukum. Antara lain :

1. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 ayat 1 yang berbunyi “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”

2. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat 3 : “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat “

3. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat 4 : “Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran”


(13)

Dasar hukum diatas menjadi landasan mengapa pembelajaran perlu diimplementasikan. Hal ini juga menunjukkan pembelajaran aktif tidak bertentangan dengan undang-undang.

Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke kepala seorang siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan siswa itu sendiri. Hanya cara belajar aktif saja yang akan mengarah kepada pengertian ini.

Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian pekerjaan yang harus dilakukan. Mereka menggunakan otak mereka untuk mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung, dan secara individual menarik hati. Peserta didik tidak hanya terpaku di tempat-tempat duduk mereka, berpindah-pindah dan berpikir keras.

Untuk mempelajari sesuatu dengan baik, siswa tidak hanya bisa cukup dengan hanya mendengarkan, tetapi juga bisa melihat, mengajukan pertanyaan tentang pelajaran tertentu, dan mendiskusikannya dengan yang lain. Yang paling penting, siswa perlu melakukan sendiri bagaimana memecahkan masalah, menemukan contoh-contoh, mencoba keterampilan-keterampilan, dan melakukan tugas-tugas yang tergantung pada pengetahuan yang telah mereka miliki atau yang harus mereka capai. Kegiatan–kegiatan tersebut merupakan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran aktif.


(14)

Menurut Joyce (1996) “Teaching not only by how well they achieve the specific objectives toward wich they are directed but also by how well they increase the ability to learn, which is their fundamental purpose”.

Salah satu “ability to learn” adalah kemampuan berpikir kritis. Karena dengan berpikir kritis anak tidak hanya dapat menyebutkan kembali apa yang dia ketahui tetapi anak dapat meramu apa saja yang dia ketahui menjadi konsep yang baru, dan tidak berhenti sampai disitu. Konsep yang baru tersebut bisa ia gunakan dalam kehidupannya sehari-hari terutama untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Terdapat model pembelajaran aktif yang dikembangkan oleh Depdiknas sekarang menjadi kemendiknas, yang berdasar pada model pembelajaran L.Dee (LD) Fink. Pembelajaran aktif model LD Fink merupakan model pembelajaran yang sangat memungkinkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar. Ciri dari pembelajaran aktif model LD Fink adalah pembelajaran dimana siswanya aktif melakukan, mengamati, berdialog dengan orang lain dan berefleksi. Ciri-ciri tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, menjadi sinergi sehingga siswa dapat membangun makna dengan difasilitasi oleh guru.

Kegiatan melakukan,mengamati, berdialog dan berefleksi membutuhkan kemampuan berpikir kritis, karena biasanya pada model pembelajaran seperti ini anak dihadapkan pada suatu masalah dan diharapkan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan mengamati, melakukan, berdialog dan berefleksi. Penyelesaian masalah tentu saja menuntut kemampuan berpikir kritis dari siswa.


(15)

Kemampuan berpikir kritis akan terlihat ketika siswa mengkomunikasikan dan merefleksikan apa saja yang telah ia lakukan dan amati.

Ketika menghadapi situasi baru, siswa akan mengalami pertentangan dengan latar belakang pengetahuannya (conflicts with background knowledge), sehingga muncul sesuatu yang diistilahkan dengan “top down & bottom up”. Situasi seperti itu dapat memberikan peluang pada siswa untuk mengadakan asimilasi. Dan dalam kondisi seperti ini salah satu teknik pembelajaran yang disebut sebagai teknik probing diperlukan. Teknik probing adalah suatu teknik dalam pembelajaran dengan cara mengajukan satu seri pertanyaan untuk membimbing siswa menggunakan pengetahuan yang telah ada pada dirinya agar dapat membangunnya sendiri menjadi pengetahuan baru.

Dalam penelitian ini, peneliti mecoba untuk mengkombinasikan pembelajaran aktif model LD Fink dengan teknik probing dan dengan metode upaya-upaya yang ilmiah melalui penelitian eksperimen memperoleh gambaran “Apakah pembelajaran aktif model LD Fink dengan teknik probing efektif dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis menjadi pertanyaan yang akan ditindaklanjuti dengan penelitian ini”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

“Apakah pembelajaran aktif model LD Fink dengan teknik probing efektif dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa?


(16)

C. Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah kemudian diuraikan secara operasional dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kemampuan siswa dalam berpikir ktitis pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan pendekatan pembelajaran aktif Model LD Fink dengan teknik Probing?

2. Bagaimana kemampuan siswa dalam d berpikir kritis pada mata pelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran aktif model LD Fink tanpa teknik Probing?

3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran LD Fink dengan teknik probing dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran aktif tanpa teknik probing

D. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah yang telah diuraikan, secara operasional, penelitian ini bertujuan untuk :

1. menggambarkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan pendekatan pembelajaran aktif Model LD Fink dengan teknik probing

2. menggambarkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis pada mata pelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran aktif model LD Fink tanpa teknik probing.


(17)

3. mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran LD Fink dengan teknik probing dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran aktif tanpa teknik probing E. Manfaat Penelitian

Sebagai salah satu bentuk kegiatan ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan teori dan praktek. Untuk kepentingan teoritis penelitian ini dapat dijadikan salah satu kajian bagi pelaksanaan pembelajaran di sekolah pada berbagai mata pelajaran dengan pendekatan pembelajaran aktif dengan teknik probing. Untuk kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peningkatan mutu pembelajaran IPS khususnya

1. Bagi guru pada tingkat sekolah dasar diharapkan dapat dijadikan sumber belajar maupun inspirasi guna memperbaiki pembelajaran serta dapat dijadikan alternatif pendekatan dalam pembelajaran sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa. Juga menjadi bahan kajian dalam diskusi ilmiah maupun komunitas professional guru secara kolaburatif dan berkesinambungan.

2. Bagi siswa, diharapkan akan terbina sikap belajar aktif dan kritis yang pada akhirnya akan berimplikasi pada penuntasan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran IPS

3. Bagi peneliti selanjutnya, memberikan gambaran tentang sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan


(18)

pendekatan pembelajaran aktif yang menggunakan teknik probing, pembelajaran aktif tanpa teknik probing dan pembelajaran konvensional

F. Asumsi

Asumsi penelitian ini dirumuskan sebagaiberikut :

1) Siswa sekolah dasar dengan segala karakteristiknya dapat mengasah kemampuan berpikir kritis untuk dijadikan bekal bagi kehidupannya kelak 2) Pembelajaran aktif dengan teknik probing dianggap efektif terhadap

kemampuan berpikir kritis siswa, karena pembelajaran aktif dengan teknik probing didominasi oleh aktivitas mind-on sebagai core-nya. Teknik probing dapat membimbing siswa dari kemampuan berpikir tingkat rendah (low level thinking) menuju aktivitas berpikir tingkat tinggi (high order thinking) G. Hipotesis

Berdasarkan kajian teoritik mengenai keterkaitan pembelajaran aktif dengan teknik probing didalamnya terhadap kemampuan berpikir kritis, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Hipotesis Nol (H0) Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara

siswa yang mengikuti pembelajaran aktif model LD Fink dengan teknik probing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran pembelajaran aktif tanpa teknik probing dalam pembelajaran IPS

2. Hipotesis Alternatif (Ha) Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara


(19)

probing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran pembelajaran aktif tanpa teknik probing dalam pembelajaran IPS

H. Definisi Operasional 1. Pembelajaran Aktif

Pembelajaran yang melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan siswa dalam berpikir tingkat tinggi seperti analisis sintesis dan evaluasi karena pembelajaran aktif merupakan proses membangun makna, pemahaman, oleh si pembelajar terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan persepsi, pikiran dan perasaan. Model pembelajaran aktif yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian LD Fink yang memiliki dua ciri yaitu Experience (mengalami) dan Dialogue (Dialog). Experience terdiri dari Doing (melakukan) dan Observing (mengamati). Dialog yang dimaksud oleh LD Fink terdapat dua macam yaitu Dialogue with other (dialog dengan orang lain) dan Dialogue with self (dialog dengan diri sendiri)

2. Teknik probing

Pembelajaran dengan cara guru memberikan serangkaian pertanyaan kepada siswa yang sifatnya membimbing dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang disajikan guru. Pada penelitian kali ini pertanyaan yang diberikan dimulai dari pertanyaan konvergen kemudian dilanjutkan kepada pertanyaan divergen. Teknik probing tidak hanya dilakukan secara lisan tetapi juga tertuang dalam Lembar kerja Siswa


(20)

3. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis melibatkan dua komponen yaitu pembentukan watak dan kemampuan. Dalam penelitian ini yang akan diukur khusus kepada kemampuan berpikir kritis yang berdasar pada lima kelompok indikator menurut Ennis (1985). Dari kelima indikator tersebut hanya satu kelompok indikator yang digunakan dalam penelitian ini, disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa kelas VI SD yaitu kemampuan memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification) dengan sub indikator 1) menganalisis argumen, 2) menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang 3) merumuskan pertanyaan.

I. Paradigma penelitian


(21)

Gambar 1.1

Bagan Paradigma Penelitian

Pelaksanaan kegiatan penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 di kelas eksperimen dan kelas kontrol. Masing-masing kelas diberi perlakukan selama empat kali pertemuan dengan peserta didik sebanyak 20 orang. Setiap pertemuan di kelas eksperimen didesain berdasarkan prinsip-prinsip dan sintaks dari pembelajaran aktif model LD Fink dengan menggunakan teknik probing pada saat siswa melakukan aktivitas pembelajaran dan refeleksi. Sedangkan untuk kelas kontrol, perlakuan yang diberikan berupa pembelajaran dengan pembelajaran aktif model LD Fink tetapi tanpa menggunakan teknik Probing KELAS Eksperimen Kontrol M A T E R I I P S Pembelajaran Aktif Model L Dee Fink dengan Teknik Probing

Pembelajaran Aktif Model L Dee Fink tanpa Teknik Probing B E R P I K I R K R I T I S HASIL BELAJAR


(22)

Kompetensi yang akan diteliti adalah kemampuan berpikir kritis terutama kemampuan menganalisis argumen, kemampuan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang, dan kemampuan merumuskan pertanyaan.

Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis, terutama untuk kemampuan menganalisis argumen dan kemampuan menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang, kedua kelas tersebut diberikan tes yaitu pre test dan post test.

Tes yang diberikan berupa tes tulis dalam bentuk pilihan ganda dan uraian. Jumlah soal yang digunakan dalam pre test dan post test adalah 16 soal pilihan ganda terpilih dari 30 soal hasil uji coba soal, terdiri dari tujuh soal untuk kemampuan menganalisis argumen, sembilan soal untuk kemampuan menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang dan tujuh soal untuk mengukur kemampuan lainnya berdasarkan standar kompetensi yang menggambarkan sebagian kecil dari hasil belajar siswa. Kemudian terdapat satu soal uraian untuk mengukur kemampuan merumuskan pertanyaan

Sedangkan untuk mengukur kemampuan merumuskan pertanyaan, digunakan tes uraian dengan menginstruksikan siswa untuk membuat satu pertanyaan yang berkaitan dengan materi pembelajaran.

Dari hasil tes yang dilakukan kemudian, data yang terkumpul dapat digunakan untuk mendeskripsikan hasil penelitian baik dari kelas eksperimen maupun kelas kontrol.


(23)

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif menampilkan hasil statistik yang disajikan dengan angka (McMillan and Schumacher, 2001 : 22). Pendekatan penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sample tertetu, teknik pengambilan sample pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat statistic dengan tujuan untuk menguji hipoptesis (Sugiyono, 2007 : 14).

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. McMillan dan Schumacher (2001 ; 50) menjelaskan bahwa penelitian eksperimen merupakan “research in wich independent variable is manipulated to investigate cause and effect relationship between the independent and dependent variable”.


(25)

Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari “sesuatu” yang dikenakan pada subjek selidik (Arikunto, 2005 : 207).

Untuk melaksanakan eksperimen secara murni maka variabel yang mungkin berpengaruh dan mempengaruhi variabel bebas harus dapat dikontrol dengan ketat. Pengontrolan yang ketat hanya mungkin dilakukan dalam eksperimen di laboratorium. Mengingat penellitian ini bukan dalam kondisi laboratorium tapi dalam kegiatan sehari-hari sehingga tidak mungkin untuk mengontrol semua variabel yang dapat mempengaruhi variabel bebas dan terikat secara ketat, maka bentuk penelitian ini adalah eksperimen semu (Quasi Eksperimen). McMillan dan Schumacher (2001 :402) menegaskan bahwa penelitian Quasi Eksperimen adalah ”a type of experiment wich research participants are not randomly assigned to the experimental and control group”. Individu tidak secara acak mempunyai peluang yang sama baik dalam kelompok eksperimen maupun dalam kelompok kontrolnya.

C. Desain Penelitian

Jenis desain dalam penelitian ini berbentuk desain Nonequivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design. Menurut Creswell (1994 : 132), Nonequivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design adalah :

“In this design, a popular approach to quasi experiments, the experimental group A and the control group B are selected without


(26)

random assignment. Both group take a pretest and posttest, and only the experimental group received the treatment”.

Berdasarkan pendapat Cresswell, Noneqivalent (Pretest dan Posttest) Control Group Design merupakan pendekatan yang paling populer dalam quasi eksperimen, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dipilih bukan dan cara rendom. Kedua kelompok diberi pre test dan post test dan hanya kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan.

Pendapat Crosswell diperkuat oleh Mc Millan. McMillan and Schumacher (2001 : 456) mengemukakan bahwa :

“The most commonly used quasi-experimental design in educational research is the nonequivalent control groups design. In this design, research participants are not randomly assigned to experimental and control groups, and both groups take a pretest and posttest. Except for random assignment, the steps involved in this design are the same as for the pretest-posttest experimental control group design”.

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa desain quasi eksperimen yang paling banyak digunakan dalam penelitian pendidikan adalah noneqivalent control group design. Dalam desain ini, partisipan penelitian baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random. Diluar dari pemilihan partisipan atau responden, langkah-langkah dalam desain ini sama dengan pretest-posttest experimental control group design.


(27)

Desain quasi eksperimen dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 3.1

Desain Quasi Eksperimen

KELOMPOK PRE-TEST PERLAKUAN POST-TEST

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O1 - O2

Diadopsi dari : McMillan & Schumacher (2001), Fraenkel & Walen (1993)

Keterangan :

O1 = Tes awal pada kelomppok eksperimen dan kelompok kontrol

O2 = Tes akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

X = Perlakuan dengan menggunakan Pembelajaran Aktif model L.D.Fink dengan teknik probing dan tanpa teknik probing

Mengacu pada desain diatas, penelitian ini melibatkan dua kelompok siswa, yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut sama-sama diberikan pretest maupun posttest, tetapi diberi perlakuan berbeda. Siswa kelompok eksperimen diberi perlakuan dengan pembelajaran aktif model L.D.Fink dengan teknik probing dan siswa kelompok kontrol diberi perlakuan dengan pembelajaran aktif model LD Fink tanpa teknik probing.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini akan melibatkan 2 (dua) variabel yaitu variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Pembelajaran Aktif Model LD Fink dengan Teknik probing merupakan variabel bebas (X), sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis siswa VI SD dalam pembelajaran IPS (Y)

Untuk memudahkan operasionalisasi variabel dalam penelitian ini, maka hubungan antar variabel digambarkan, seperti berikut ini :


(28)

Gambar 3.1

Hubungan Antar Variabel

Keterangan :

X = Model Pembelajaran Aktif LD.Fink dengan Teknik Probing Y = Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VI SD dalam

Pembelajaran IPS E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, digunakan beberapa teknik tes tertulis. Tes dilakukan untuk memperoleh data tentang kemampuan siswa dalam berpikir kritis sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran aktif dengan teknik probing. Tes yang diberikan berupa tes dengan bentuk pilihan ganda dan uraian.

F. Teknik Analisis Data

Setelah penelitian di lapangan dilaksanakan, diperoleh sekelompok data berupa data nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol, yang terdiri dari nilai pre test dan post test uji kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa.

Analisis data hasil tes kemampuan berpikir kritis dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji perbedaan rata-rata dengan langkah-langkah sebagai berikut

Y

X


(29)

a. menghitung rata-rata skor hasil pre test dan post test penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa

b. menguji normalitas data skor pre test dan post test dengan uji Chi Kuadrat atau Kolmogorov-Semirnov. Uji ini digunakan untuk melihat apakah data tes pengusaan konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa dari hasi pre test maupun post test berdistribusi normal. c. Menguji homogenitas varians untuk melihat homogenitas atau

kesamaan beberapa bagian sampel, yaitu seragam atau tidaknya variansi sampel-sampel yang diambil dari populasi yang sama. d. Uji hipotesis dengan uji perbedaan dua rata-rata. Jika sebaran data

normal dan homogen, uji signifikansi dengan statistik uji t. Jika sebaran data normal tidak homogen uji signifikansi dengan uji t*. Apabila data tidak berdistribusi normal, maka pengujian menggunakan uji non para metrik untuk dua sampel yang saling bebas pengganti uji t yaitu uji Mann Whitney.

e. Untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran, dihitung dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi (indeks gain) yaitu membandingkan skor pre test dan post test . rumus yang digunakan adalah :

pre maks

pre post

S S

S S g

− −


(30)

Keterangan :

Spre : Skor Pre test

SPost : Skor Post Test

SMaks : Skor Maksimum

Kategori Indeks Gain (g) : g > 0,7 Tinggi 0,3 < g ≤ 0,7 Sedang g ≤ 0,3 Rendah

Untuk mengetahui benar tidaknya kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih menyebar dibanding kelompok kontrol perlu diuji secara statistik. Pengujian sama atau tidaknya dua nilai rata-rata ternormalisasi dilakukan dengan uji t dengan syarat datanya berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan kedua variansi homogen. G. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SD. Jatimulya 3 sebagai kelompok eksperimen dan di SD Jatimulya 4 sebagai kelompok kontrol yang berada di kabupaten Lebak Provinsi Banten. Kedua sekolah tersebut terpilih karena memiliki siswa dengan latar belakang dan prestasi yang serupa. Penelitian ini melibatkan seluruh siswa kelas VI SD Jatimulya 3 dan SD Jatimulya 4 sebagai populasi. Karakteristik populasi yang masing-masing terdiri dari 20 siswa sangat memungkinkan dilakukan sampling dengan teknik sampling jenuh. Menurut Sugiyono (2008 : 85)


(31)

”Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua populasi digunakan sebagai sampel.

Adapun pemilihan kelas VI SD sebagai subjek penelitian didasari oleh beberapa pertimbangan, Yaitu : Pertama : Merujuk pada teori perkembangan Piaget bahwa anak usia 11 tahun sudah mulai berpikir operasional formal. Artinya anak kelas V SD yang sudah berusia 11 tahun sudah dapat diajak untuk berpikir kritis walaupun masih dalam tahap yang sederhana. Kedua: Murid kelas VI sudah mulai dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dimana memerlukan kemampuan berpikir yang lebih tinggi.

H. Prosedur penelitian 1. Rancangan penelitian

Penelitian ini mengkaji efektivitas pembelajaran aktif Model LD Fink terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPS.

Sesuai dengan desain eksperimen yang digunakan, kelompok eksperimen mendapat perlakuan pembelajaran aktif dengan teknik probing, sedangkan kelompok kontrol mendapat perlakuan pembelajaran aktif tanpa teknik probing, yaitu pembelajaran aktif tanpa pertanyaan-pertanyaan terbimbing dari guru. Siswa mengkonstruksi makna sendiri dengan fasilitasi yang dilakukan guru menggunakan teknik tanya jawab biasa.


(32)

Agar efektivitas pembelajaran dan daya serap siswa dalam belajar IPS meningkat sehingga hasilnya sesuai dengan standar yang diharapkan, dibuatlah strategi pembelajaran yang dianggap efektif untuk mencapai standar. Berikut ini perbandingan kedua model tersebut.

Tabel 3.2

Perbandingan Perlakuan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen

Kelompok eksperimen Kelompok Kontrol

1 Pre-Test Pre-test

2 Pembelajaran IPS

menggunakan

pembelajaran aktif dengan teknik probing

Pembelajaran IPS menggunakan

pembelajaran aktif tanpa teknik probing

3 Guru memberikan

penjelasan tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran aktif model LD Fink kemudian pada saat berdialiog dengan guru dan siswa dengan teknik probing. Kemudian prinsip-prinsip bertanya dalam teknik probing dituangkan juga kedalam LKS

Guru memberikan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran aktif model LD Fink kemudian pada saat berdialog dengan guru dan siswa, siswa tidak dipandu dengan menggunakan teknik probing. Ketika pun dilakukan tanya jawab, hanya tanya jawab biasa. 4 Siswa belajar dengan

melakukan, berdialog dengan orang lain dan berdialog dengan diri

Berdialog hanya menggunakan tanya jawab dan tidak dipandu


(33)

tujuan melatih siswa berpikir kritis dengan

bimbingan guru

menggunakan teknik probing

5 Post-test Post-test

2. Waktu pelaksanaan

Pelaksanaan perlakuan untuk kelompok eksperimen dan kelompok control mengikuti kalender akademik SD di kabupaten Lebak. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 4 pertemuan dengan mengambil waktu pada semester ganjil tahun ajaran 2010/2011 setiap pertemuan menggunakan waktu selama 3 x 35 menit, sehingga penelitian ini memerlukan waktu sekitar 6 minggu. Dengan perincian sebagai berikut : dua pertemuan dipergunakan untuk pre-test dan post-test, sedangkan sisanya sebanyak empat pertemuan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dengan mengambil materi dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di kelas VI SD.


(34)

3. Alur Penelitian

Persiapan penelitian

Studi Kepustakaan Studi Lapangan

Masalah

Penyusunan instrumen Penentuan Subjek Penelitian

Uji Coba Butir Soal

Butir soal hasil revisi

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pre-Test

Treatment

Pembelajaran aktif dengan teknik probing

Pembelajaran aktif tanpa teknik Probing

Post-Test

Analisis Data

Penyusunan Laporan Data, Temuan dan Pembahasan


(35)

I. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tes hasil belajar yang mengukur kemampuan mengalisis argumen, menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang dan kemampuan merumuskan pertanyaan. Jenis tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan menganalisis argumen dan kemampuan menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang adalah tes tertulis pilihan ganda. Sedangkan untuk mengukur kemampuan merumuskan pertanyaan menggunakan tes uraian. Instrumen tes yang mengukur kemampuan menganalisis argumen dan kemampuan menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang disiapkan sebanyak 30 soal yang kemudian akan diuji validitas dan realibilitasnya. Kemampuan merumuskan pertanyaan diukur dengan cara meminta siswa untuk merumuskan satu pertanyaan yang terkait dengan materi yang diajarkan. Terdapat kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai kemampuan siswa dalam merumuskan pertanyaan dengan skala 1-4. deskripsi nilai terurai pada tabel berikut :

Tabel 3.3

Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Merumuskan Pertanyaan

SKOR LEVEL PERTANYAAN

1 Pertanyaan Pengetahuan

2 Pertanyaan Pemahaman

3 Pertanyaan Penerapan


(36)

1. Analisis Validitas Tes

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data. Untuk memperoleh data yang akurat, sebelum instrumen digunakan, maka perlu mendapat pertimbangan, penilaian kelayakan instrumen tersebut guna mendapatkan alat ukur yang valid dan reliabel. Sebab instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliable (McMillan dan Schumacher, 2001 :273). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variable yang diteliti secara tepat. Fraenkel dan Wallen (1993 : 558) menjelaskan : “The Degree to wich correct inferences can be made based on result from an instrument it self, but also on the instrumentation process and the characteristics of the group studied”. Maksudnya ketepatan instrumen harus dapat mengukur apa yang semestinya diukur, sebab derajat ketepatan identik dengan nilai validitas, dan nilai validitas menunjukkan kesahihan instrumen dengan materi yang akan dinyatakan baik per butir soal maupun soal secara keseluruhan. Ada dua jenis validitas untuk instrumen penelitian, yaitu validitas isi yang diuji berdasarkan analisis logis dan validitas konstruk yang diuji berdasarkan analisis empiris.

Menurut Fraenkel dan Wallen (1993 : 556), mengemukakan reliabilitas instrumen merupakan “The degree to wich scores obtained with an instrument are


(37)

terhadap konsistensi. Jika hasil tes itu diadministrasikan walaupun instrumen itu diujikan dua kali atau lebih maka hasilnya akan senilai (ekuivalen) pada masing-masing pengetesan, memperoleh nilai relatif konstan atau tetap. Artinya kapanpun instrumen tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama.

Uji validitas tes dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua macam validitas, yaitu validitas teori (logic) dan validitas empirik (kriterium). Validitas teoritik diperoleh berdasarkan konsultasi dengan dosen pembimbing, sedangkan untuk mengetahui validitas empirik yang terdiri dari valiaditas butir soal dan validitas soal tes secara keseluruhan atau validitas perangkat tes. Ukuran validitas soal adalah seberapa jauh soal tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Sebuah butir soal dikatakan valid atau signifikan bila skor tiap butir soal mempunyai dukungan yang besar terhadap skor totalnya. Sementara itu validitas butir soal tentunya mempengaruhi validitas tes secara keseluruhan. Validitas ini berkenaan dengan skor total dari seluruh butir soal yang dikorelasikan dengan kriterium yang dianggap valid. Validitas soal tes keseluruhan dikorelasikan dengan nilai rerata dari semua butir soal.

Validitas butir soal dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan program SPSS 17.0. Dalam penelitian ini ujicoba dilakukan satu kali (single test), maka validasi instrument test dilakukan dengan menggunakan uji validitas One Shot Method, sering disebut juga dengan pengujian internal consistency. One shot method menghitung korelasi antara skor item dengan skor perolehan untuk tiap butir tes. Untuk mengetahui derajat validitas secara lebih spesifik menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson :


(38)

(Arikunto, 2007 : 72 -78) Keterangan :

XY

r = koefisien korelasi antara variable X dan Y

N = banyaknya peserta tes X = skor item tes

Y = skor total

Interpretasi dari besarnya koefisien korelasi diatas digunakan kriteria sebagai berikut :

XY

r ≤ 0,00 : tidak valid

0,00 < rXY 0,20 : derajat validitas sangat rendah 0,20 < rXY ≤ 0,40 : derajat validitasnya rendah

0,40 < rXY ≤ 0,70 : derajat validitasnya sedang (cukup)

0,70 < rXY ≤ 0,90 : derajat validitasnya tinggi (baik)

0,90 < rXY ≤ 1,00 : derajat validitasnya sangat tinggi (sangat baik)

(

)

( )

{

2

2

}

{

2

( )

2

}

∑ ∑

− − − = Y Y N X X N Y X XY N rXY


(39)

Selanjutnya uji validitas tiap item instrumen dilakukan dengan membandingkan rXY(

r

hitung) dengan nilai kritis

r

tabel (nilai tabel). Tiap item tes dikatakan valid apabila pada taraf signifikasi

α

= 0,05 didapat

r

hitung

r

tabel

Berikut ini hasil uji validitas butir instrumen dengan menggunakan SPSS 17.0 pada

α

= 0,05 dengan derajat bebas (df) = jumlah kasus -2. Jumlah kasus atau butir soal pada uji coba kali ini adalah 30 soal. Maka

r

tabel pada uji satu arah adalah r(0,05;28) = 0,240

Tabel 3.4

Rekapitulasi Validitas Item Instrumen Butir

soal

Corrected Item-total Correlation

r

hitung

r

tabel

Validitas

1 0,446 0,2407 Valid

2 0,376 0,2407 Valid

3 0,293 0,2407 Valid

4 0,348 0,2407 Valid

5 0,226 0,2407 Non Valid

6 0,414 0,2407 Valid

7 -0,251 0,2407 Non Valid

8 0,327 0,2407 Valid

9 0,365 0,2407 Valid

10 0,052 0,2407 Non Valid

11 -0,019 0,2407 Non Valid

12 0,637 0,2407 Valid

13 0,347 0,2407 Valid

14 0,314 0,2407 Valid

15 0,418 0,2407 Valid

16 0,263 0,2407 Valid

17 -0,090 0,2407 Non Valid

18 0,304 0,2407 Valid

19 0,348 0,2407 Valid

20 0,414 0,2407 Valid

21 0,465 0,2407 Valid

22 0,638 0,2407 Valid

23 -0,095 0,2407 Non Valid


(40)

25 0,503 0,2407 Valid

26 0,074 0,2407 Non Valid

27 0,414 0,2407 Valid

28 0,385 0,2407 Valid

29 0,637 0,2407 Valid

30 0,663 0,2407 Valid

Tabel 3.4 menunjukkan terdapat tujuh soal yang tidak valid, yaitu soal nomor 5,7,10,11,17,23 dan 26. Soal-soal tersebut kemudian tidak dipergunakan untuk menguji kemampuan berpikir kritis baik pada saat pre test maupun post test. Soal yang tersisa sebanyak 23 soal diuji kembali untuk mengetahui tingkat reliabilitas soal secara keseluruhan.

2. Analisis Reliabilitas tes

Penentuan keandalan butir tes berkenaan dengan pengaruh error yang tidak sitematik dalam suatu pengukuran. Keandalan suatu tes dinyatakan sebagai derajat atau tingkat suatu tes dan skornya dipengaruhi factor yang non- sistematik. Makin sedikit faktor yang non-sistematik, makin tinggi keandalannya.

Untuk mengukur keandalan butir tes uraian, digunakan rumus Cronbach-Alpha :       ∑ −       − = 2 2 11 1 1 t i S S k k


(41)

Varians item dihitung dengan rumus ;

( )

N N

x

x

s

i i i 2 2 2 ∑ − ∑ = Keterangan :

r

11 = koefisien realibitas tes

k = banyaknya butir soal

S

i

2

= jumlah varians skor tiap butir soal

S

t

2

= varians skor total

Untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan tolok ukur yang ditetapkan J.P Guilford (Suherman, 2003 :139) adalah sebagai berikut :

r

11 < 0,20 : sangat rendah

0,20 ≤

r

11< 0,40 : Rendah

0,40 ≤

r

11< 0,70 : Sedang

0,70 ≤

r

11< 0,90 : Tinggi

0,90 ≤

r


(42)

Untuk mempermudah peneliti melakukan analisa terhadap data, hasil ujicoba soal, untuk mengetahui reliabilitas soal peneliti menggunakan SPSS 17,0, dengan menggunakan One Way Method. Hasil uji validitas menunjukkan terdapat tujuh soal yang tidak valid dari 30 soal yang diujikan, oleh karena itu uji reliabilitas hanya diarahkan pada 23 soal valid. Berdasarkan data dari 23 soal tersebut diketahui reliabitias soal dengan melihat nilai secara keseluruhan dengan melihat nilai Cronbach Alpha sebagai berikut :

Berdasarkan tolok ukur menurut JP Guilford, dengan nilai reliabilitas 0,862 dapat diinterpretasikan bahwa relibilitas soal tinggi.

3. Analisis Daya Pembeda

Daya Pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai atau antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda tes dihitung dengan rumus :

B

A S

S

DP= −

Tabel 3.5 Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items


(43)

Keterangan :

DP : Daya Pembeda

SA : Jumlah Skor Kelompok Atas

SB : Jumlah Skor Kelompok Bawah

IA : Jumlah Skor Ideal salah satu kelompok yang diolah

Klasifikasi daya pembeda (DP) soal menurut Suherman (1990) adalah sebagai berikut :

DP ≤ 0,00 : Sangat Jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 : Jelek

0,20 < DP≤ 0,40 : Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 : Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 : Sangat baik

Berikut ini tabel rekapitulasi daya pembeda tiap butir soal Tabel 3.6

Rekapitulasi Daya Pembeda Butir Soal NOMOR

SOAL NILAI INTERPRETASI

1 0,3 CUKUP

2 0,3 CUKUP

3 0,3 CUKUP

4 0,4 CUKUP

6 0,4 CUKUP

8 0,4 CUKUP


(44)

12 0,4 CUKUP 13 0,4 CUKUP 14 0,3 CUKUP 15 0,3 CUKUP 16 0,2 JELEK 18 0,3 CUKUP 19 0,4 CUKUP 20 0,6 BAIK 21 0,3 CUKUP 22 0,6 BAIK 24 0,5 BAIK 25 0,5 BAIK 27 0,4 CUKUP 28 0,3 CUKUP 29 0,3 CUKUP 30 0,4 CUKUP

Hasil analisis daya pembeda terhadap 23 soal pilihan ganda diketahui bahwa terdapat satu soal yang memiliki daya pembeda jelek, yaitu soal nomor 12. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa soal tersebut tidak dapat membedakan antara siswa dengan kemampuan tinggi dan siswa dengan kemampuan rendah. Untuk selanjutnya soal nomor 12 tidak dapat dipakai.

4. Kesukaran Butir Tes

Tingkat kesukaran butir tes digunakan untuk mengklasifikasikan instrumen tes kedalam tiga golongan, apakah instrumen itu tergolong mudah, sedang atau sukar. Untk menentukan tingkat kesukaran tes dihitung dengan rumus:

N S

TK = A


(45)

Keterangan :

TK = tingkat kesukaran

SA = banyak siswa yang menjawab benar

N = banyak siswa

Dengan kategori kesukaran menurut Suherman (2003:170) yang digunakan adalah:

TK = 0,0 : soal terlalu sukar 0,0 < TK ≤ 0,7 : soal sedang 0,7 < TK ≤ 1,0 : soal mudah

TK = 1,0 : soal terlalu mudah

Berdasarkan hasil analisis tingkat kesukaran terdadap 22 soal pilihan ganda yang sebelumnya berjumlah 23 soal, dikarenakan salah satu soal memiliki daya pembeda yang jelek, berikut ini tabel rekapitulasi tingkat kesukaran butir soal :

Tabel 3.7

Rekapitulasi Tingkat Kesukaran Soal No Soal Nilai Interpretasi

1 0.85 MUDAH

2 0.35 SEDANG

3 0.35 SEDANG

4 0.5 SEDANG

6 0.3 SUKAR

8 0.4 SEDANG

9 0.45 SEDANG

12 0.2 SUKAR

13 0.4 SEDANG


(46)

15 0.35 SEDANG

18 0.25 SUKAR

19 0.5 SEDANG

20 0.3 SUKAR

21 0.25 SUKAR

22 0.3 SUKAR

24 0.25 SUKAR

25 0.35 SEDANG

27 0.3 SUKAR

28 0.15 SUKAR

29 0.15 SUKAR

30 0.2 SUKAR

5. Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes

Kesimpulan dari semua perhitungan analisis hasil uji coba tes kemampuan berpikir kritis diperoleh 22 soal dari 30 soal yang valid reliabel dengan daya pembeda dan tingkat kesukaran yang disajikan secara lengkap pada tabel 3.7 di bawah ini


(47)

Tabel 3.8

Rekapitulasi Nilai Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Tabel 3.8 menunjukkan validitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran dari soal-soal pilihan ganda untuk mengukur kemampuan berpikir kritis. Hasil analisa menunjukkan bahwa 76,66% soal valid; daya pembeda 13,33% baik, 63,33%

VALIDITAS DAYA PEMBEDA TINGKAT KESUKARAN

NOMOR

SOAL NILAI INTERPRETASI NILAI INTERPRETASI NILAI INTERPRETASI

1 0,446 Valid 0.3 CUKUP 0.85 MUDAH

2 0,376 Valid 0.3 CUKUP 0.35 SEDANG

3 0,293 Valid 0.3 CUKUP 0.35 SEDANG

4 0,348 Valid 0.4 CUKUP 0.5 SEDANG

5 0,226 Non Valid 0.4 CUKUP 0.4 SEDANG

6 0,414 Valid 0 CUKUP 0.3 SUKAR

7 -0,251 Non Valid 0.4 JELEK 0.1 SUKAR

8 0,327 Valid 0.3 CUKUP 0.4 SEDANG

9 0,365 Valid 0.1 CUKUP 0.45 SEDANG

10 0,052 Non Valid 0.2 JELEK 0.45 SEDANG

11 -0,019 Non Valid 0.4 JELEK 0.5 SEDANG

12 0,637 Valid 0.4 CUKUP 0.2 SUKAR

13 0,347 Valid 0.4 CUKUP 0.4 SEDANG

14 0,314 Valid 0.4 CUKUP 0.7 SEDANG

15 0,418 Valid 0.3 CUKUP 0.35 SEDANG

16 0,263 Valid 0.2 JELEK 0.3 SUKAR

17 -0,090 Non Valid -0.1 JELEK 0.65 SEDANG

18 0,304 Valid 0.3 CUKUP 0.25 SUKAR

19 0,348 Valid 0.4 CUKUP 0.5 SEDANG

20 0,414 Valid 0.6 BAIK 0.3 SUKAR

21 0,465 Valid 0.3 CUKUP 0.25 SUKAR

22 0,638 Valid 0.6 BAIK 0.3 SUKAR

23 -0,095 Non Valid -0.1 SANGAT JELEK 0.15 SUKAR

24 0,678 Valid 0.5 BAIK 0.25 SUKAR

25 0,503 Valid 0.5 BAIK 0.35 SEDANG

26 0,074 Non Valid 0 SANGAT JELEK 0.3 SUKAR

27 0,414 Valid 0.4 CUKUP 0.3 SUKAR

28 0,385 Valid 0.3 CUKUP 0.15 SUKAR

29 0,637 Valid 0.3 CUKUP 0.15 SUKAR


(48)

cukup, 16,66% jelek dan 6,66%. Sedangkan tingkat kesukarannya 3,33% mudah, 53,33% dan 43,33% sukar.

Hasil akhir dari uji coba dan analisis hasil ujicoba adalah soal-soal terpilih berdasarkan validitas, dan daya pembedanya sejumlah 22 soal

6. Kisi-kisi Instrumen

Untuk mengembangkan insturmen ini dilakukan kajian teoritik dan empirik tentang pembelajaran aktif dengan teknik probing terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPS. Berdasarkan kajian pada bab II, terdapat lima kelompok indikator kemampuan berpikir kritis (Enis, 1985 : 540). Pada penellitian ini, peneliti mengembangkan instrumen penelitian untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan salah satu kelompok indikator yaitu kemampuan memberikan penjelasan sederhana (Elementary Clarification) yang selanjutnya diujicobakan. Kisi-kisi instrumen dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut.


(49)

(50)

(51)

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bab ini akan berisi tentang simpulan dan saran.

A. Simpulan

a. Kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan pembelajaran aktif model LD Fink dengan teknik probing jika dilihat dari rata-rata post test termasuk ke dalam kategori cukup. Demikian juga dengan besarnya peningkatan kemampuan berpikir kritis yang ditunjukkan oleh rata-rata gain termasuk dalam kategori sedang

b. Kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan pembelajaran aktif model LD Fink tanpa teknik probing dilihat dari rata-rata post test masih termasuk ke dalam kategori kurang. Begitupun halnya dengan besarnya peningkatan kemampuan berpikir kritis yang ditunjukkan oleh rata-rata gain masih termasuk ke dalam kateori Rendah.

c. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan siswa pada kelas ekperimen dan kelas kontrol setelah pembelajaran. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji perbedaan terhadap N-gain antara kelas eksperimen dan control. Dengan demikian dapat dikatakan pembelajaran aktif model LD Fink dengan teknik probing efektif dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siwa kelas enam sekolah dasar pada mata pelajaran IPS


(52)

B. Rekomendasi 1. Guru

a. Pembelajaran Aktif dapat dijadikan alternatif pembelajaran IPS sebagai salah satu bentuk variasi di kelas dan sebagai upaya untuk mengkreasikan pembelajaran yang efektif

b. Teknik probing dapat dimplementasikan dan hasilnya akan efektif ketika guru menganalisis tujuan, jenis materi, karakteristik siswa dan lain-lain. c. Teknik probing tidak selalu dicantumkan secara eksplisit di dalam RPP

tetapi juga implisit

d. Teknik probing harus disertai dengan pertanyaan yang baik yang bersifat

open ended.

e. Teknik probing merupakan keterampilan,dan untuk menguasainya perlu latihan secara terus menerus

2. Peneliti selanjutnya

Mengingat masih banyak aspek yang belum sepenuhnya dapat diakomodasi dalam penelitian ini, untuk itu disarankan perlu penelitian lebih lanjut agar aspek-aspek dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa terutama pada pembentukan watak berpikir kritis.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrahman, (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Arikunto,S. (2005). Prosedur Penelitian ”Suatu Pendekatan Praktek”. Jakarta : Rineka

Cipta

Bonwell,C. & Eison. J. (1991). Active Learning : Creating Excitement in the

Classroom . Washington DC : The George Whasington University

Branen. (2003). Probing (Prompting). [Online]. Tersedia :

http://www.agls.vidaho.edu/ljbranen/ (11 Januari 2011)

Budiman,N. (2006) .Memahami Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar Jakarta: Depdiknas-Dikti-Direktorat Ketenagaan

Costa, A.L (1985). Developing Minds : A Resource Book for Teaching Thinking, Alexandria : ASCD.

Cotton, K. (1991). "Teaching Thinking Skills." [online]. Tersedia :

www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html. (2 Juni 2009)

Creswell. J.W. (1994). Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks : Sage Publisher

Desmita, (2005). Psikologi Perkembangan, Bandung : Rosda

Ennis, Robert. H. (1996). Critical Thinking. Upper Saddle River, New York : Prentice Hall

Facione NC. (2004). Critical thinking, what it is and why it counts. California Academic Press.

Fink, LD. (1999) A Model of Active Learning. [Online]. Tersedia :

http://honolulu.hawaii.edu/intranet/committees/FacDevCom/gui. (5 April 2009)

Fink, LD, (2003). A Self-Directed Guide to Designing Course for Significant


(54)

Fisher, Robert. (1995). Teaching Children to Think. UK : Nelson Thornes

Fisher, A. (2007). Critical Thinking and Introduction. UK : Cambridge University. Fraenkel, J.L and Wallen, N.E (1993). How to Design and Evaluate Research in

Education. New York : McGraw-Hill Inc

Gall. Meredith. D. gall, Joyce P and Borg, Walter, R. (2003). Educational Research.

7th Ed. Boston : Allyn & Bacon

Hasibuan, JJ dan Moedjiono. (1993). Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya

Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Terjemahan. Jakarta : Erlangga

Jacobsen, DA et al. Methods for Teaching. Metode-metode Pengajaran

Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Terjemahan. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar

Jarolimek, John, at al (1977). Social Studies Competencies and Skills Learning to

Teach as Intern. New York : Mc Milan Publishing Co-Inc

Jarolimek (1985). Social Studies ini Elementary Education. New York : Macmillan Publishing co.inc

Jenicek, M (2006). A Physicians self-paced Guide to Critical Thinking. USA : American Mediacal Association

Jones, A. (Eds).(1997). Tutorial Questioning Technique. [Online]. Tersedia :

http://tlu.ecom.unimelb.edu.au/. (11 Januari 2011)

Joyce,B., & Weil, M (1993). Model of Teaching. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall Inc.

Kagan, M. et al. (1999). Higher-Level Thinking Quentions Social Studies. San Clemente : Kagan

Launch, P. (2001). Thinking Skill. Westminser Institution of education. Oxford Brookes University


(55)

Liliasari (2000) Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis untuk Mempersiapkan

Calon Guru IPA Memasuki Era Globalisasi, Proceeding Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan MIPA Era Globalisasi, UPI Bandung : Tidak

diterbitkan.

McMillan, James H and Schumacher.S (2001). Research in Education A Conceptual

Introduction. New York : Longman.

Meyers, C., & Jones, T. (1993). Promoting Active Learning : Strategies for the

College Classroom. San Fransisco, CA : Jossey-Bass Publisher

Meltzer, D. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and

Conceptual Learning Gains in Phisics : A Possible “Hidden Variable in Diagnostic Pre Test Scores.”. department of Phisicsand Astronomy Iowa

:State University : Ames Iowa

Mutakin.A. (2005). Hakekat Manusia Dalam Dinamika Sosial Budaya. Bandung : Jurusan Pendidikan Geografi-FPIPS-UPI

McKeachie.W.J.(1998) Active Learning.[Online]. Tersedia :

http://courses.science.fau.edu/~rjordan/active_learning.htm [6 Juli 2009] Paul, R dan Elder, L. (1997). Socratic Teaching. From the Foundation For Critical

Thinking. [Online]. Tersedia : http:www.criticalthinking.org. [7 Juli 2009]

Paul, R dan Elder, L (1997). A Brief History of the Idea of Critical Thinking. Tersedia : http:/www.criticalthinking.org. [7 Juli 2009]

Popham, WJ dan E,L Baker. (2005). Teknik Mengajar Secara Sistematis. Terjemahan Amirul Hadi dkk. Jakarta : Rineka Cipta.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentan Standar Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Pratisto, A. (2004). Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan

Percobaan dengan SPSS 12. Jakarta : PT Elexmedia Komputindo


(56)

R.W. dan Walsh, D. (1986). The Goal of Critical Thinking: From Educational Ideal

To Educational Reality . Washington DC : American Federation o teachers

Educational Issues Department

Resnick, L. (1990). Instruction and Cultivation of Thinking In. N. Entwistle (Ed)

Handbook of Education Ideas and Practices. London : Rootledge.

Ruseffendi, ET (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan.Bandung : IKIP BandungPress

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA.

Bandung : Tarsito

Syah, Muhibin. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta : Rajawali Press.

Silberman, M. (2006). Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Terjemahan. Bandung : Nusa Media

Schafersman, S.D. (1991). An Introduction To critical Thinking. [online]. Tersedia :

http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html [6 Desember 2009]

Sagala, S. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Sanjaya, W. (2008). Strategi pembelajaran. Jakarta : Kencana

Sanjaya, W. (2008) Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Kencana

Sanjaya,W. (2002). Pengembangan Model pembelajaran metode Klinis bagi

Peningkatan Kemampuan Berpikir Siswa dalam Pembelajaran IPS di SD.

Bandung : PPs UPI

Stiggins, R.J., Rubel, E., and Quellmalz, E. (1988). Measuring Thinking Skill in the Classroom. Washington DC : national Education Association.

Sudjana, N (2005) Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta : Bumi Aksara

Sugiyono, (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Sugiyono. (2007) Metode Penelitian Pendidikan Bandung : Alfabeta


(57)

Sugiyono (2008). Metode Penelitian Pendidikan Bandung : Alfabeta

Suherman, E dan Sukjaya, Y.(2003). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi

Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru Matematika, Bandung :

Wijaya Kusumah

Suherman, E. (2004). Model-model Pembelajaran Matematika (Makalah). Bandung : Depdiknas.

Sumaatmaja, N. (1980). Metodologi Pengajaran IPS. Bandung : IKIP Bandung Soamantri, N M (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung :

Remaja Rosdakarya dan Program Pascasarjana UPI

Sukmadinata, NS. (2003). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Dasar. Bandung : Kesuma Karya

Sukmadinata, N.S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PPS UPI Remaja Rosdakarya

Thompson, G., Frazer, E, and Dunne, F. (2004). Pocket Guide to Probing Questions. [Online]. Tersedia : www. Nsrfharmony.org (12 Januari 2011)

Usman, M.U. (1997). Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya. Wikipedia. (2008). Berpikir kritis.[Online]. Tersedia : http://www.wikipedia.org. (15

Desember 2009)

Wikipedia. (2008). Belajar Aktif. [Online]. Tersedia : http://www.wikipedia.org. (15 Desember 2009)


(1)

144 B. Rekomendasi

1. Guru

a. Pembelajaran Aktif dapat dijadikan alternatif pembelajaran IPS sebagai salah satu bentuk variasi di kelas dan sebagai upaya untuk mengkreasikan pembelajaran yang efektif

b. Teknik probing dapat dimplementasikan dan hasilnya akan efektif ketika guru menganalisis tujuan, jenis materi, karakteristik siswa dan lain-lain. c. Teknik probing tidak selalu dicantumkan secara eksplisit di dalam RPP

tetapi juga implisit

d. Teknik probing harus disertai dengan pertanyaan yang baik yang bersifat open ended.

e. Teknik probing merupakan keterampilan,dan untuk menguasainya perlu latihan secara terus menerus

2. Peneliti selanjutnya

Mengingat masih banyak aspek yang belum sepenuhnya dapat diakomodasi dalam penelitian ini, untuk itu disarankan perlu penelitian lebih lanjut agar aspek-aspek dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa terutama pada pembentukan watak berpikir kritis.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrahman, (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Arikunto,S. (2005). Prosedur Penelitian ”Suatu Pendekatan Praktek”. Jakarta : Rineka

Cipta

Bonwell,C. & Eison. J. (1991). Active Learning : Creating Excitement in the Classroom . Washington DC : The George Whasington University

Branen. (2003). Probing (Prompting). [Online]. Tersedia : http://www.agls.vidaho.edu/ljbranen/ (11 Januari 2011)

Budiman,N. (2006) .Memahami Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar Jakarta: Depdiknas-Dikti-Direktorat Ketenagaan

Costa, A.L (1985). Developing Minds : A Resource Book for Teaching Thinking, Alexandria : ASCD.

Cotton, K. (1991). "Teaching Thinking Skills." [online]. Tersedia : www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html. (2 Juni 2009)

Creswell. J.W. (1994). Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks : Sage Publisher

Desmita, (2005). Psikologi Perkembangan, Bandung : Rosda

Ennis, Robert. H. (1996). Critical Thinking. Upper Saddle River, New York : Prentice Hall

Facione NC. (2004). Critical thinking, what it is and why it counts. California Academic Press.

Fink, LD. (1999) A Model of Active Learning. [Online]. Tersedia : http://honolulu.hawaii.edu/intranet/committees/FacDevCom/gui. (5 April 2009)

Fink, LD, (2003). A Self-Directed Guide to Designing Course for Significant Learning. San Fransisco : Jossey-Bass


(3)

Fisher, Robert. (1995). Teaching Children to Think. UK : Nelson Thornes

Fisher, A. (2007). Critical Thinking and Introduction. UK : Cambridge University. Fraenkel, J.L and Wallen, N.E (1993). How to Design and Evaluate Research in

Education. New York : McGraw-Hill Inc

Gall. Meredith. D. gall, Joyce P and Borg, Walter, R. (2003). Educational Research. 7th Ed. Boston : Allyn & Bacon

Hasibuan, JJ dan Moedjiono. (1993). Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya

Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan. Jakarta : Erlangga

Jacobsen, DA et al. Methods for Teaching. Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Terjemahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Jarolimek, John, at al (1977). Social Studies Competencies and Skills Learning to Teach as Intern. New York : Mc Milan Publishing Co-Inc

Jarolimek (1985). Social Studies ini Elementary Education. New York : Macmillan Publishing co.inc

Jenicek, M (2006). A Physicians self-paced Guide to Critical Thinking. USA : American Mediacal Association

Jones, A. (Eds).(1997). Tutorial Questioning Technique. [Online]. Tersedia : http://tlu.ecom.unimelb.edu.au/. (11 Januari 2011)

Joyce,B., & Weil, M (1993). Model of Teaching. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall Inc.

Kagan, M. et al. (1999). Higher-Level Thinking Quentions Social Studies. San Clemente : Kagan

Launch, P. (2001). Thinking Skill. Westminser Institution of education. Oxford Brookes University


(4)

Liliasari (2000) Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis untuk Mempersiapkan Calon Guru IPA Memasuki Era Globalisasi, Proceeding Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan MIPA Era Globalisasi, UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

McMillan, James H and Schumacher.S (2001). Research in Education A Conceptual Introduction. New York : Longman.

Meyers, C., & Jones, T. (1993). Promoting Active Learning : Strategies for the College Classroom. San Fransisco, CA : Jossey-Bass Publisher

Meltzer, D. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Phisics : A Possible “Hidden Variable in Diagnostic Pre Test Scores.”. department of Phisicsand Astronomy Iowa :State University : Ames Iowa

Mutakin.A. (2005). Hakekat Manusia Dalam Dinamika Sosial Budaya. Bandung : Jurusan Pendidikan Geografi-FPIPS-UPI

McKeachie.W.J.(1998) Active Learning.[Online]. Tersedia : http://courses.science.fau.edu/~rjordan/active_learning.htm [6 Juli 2009] Paul, R dan Elder, L. (1997). Socratic Teaching. From the Foundation For Critical

Thinking. [Online]. Tersedia : http:www.criticalthinking.org. [7 Juli 2009] Paul, R dan Elder, L (1997). A Brief History of the Idea of Critical Thinking.

Tersedia : http:/www.criticalthinking.org. [7 Juli 2009]

Popham, WJ dan E,L Baker. (2005). Teknik Mengajar Secara Sistematis. Terjemahan Amirul Hadi dkk. Jakarta : Rineka Cipta.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentan Standar Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Pratisto, A. (2004). Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Jakarta : PT Elexmedia Komputindo


(5)

R.W. dan Walsh, D. (1986). The Goal of Critical Thinking: From Educational Ideal To Educational Reality . Washington DC : American Federation o teachers Educational Issues Department

Resnick, L. (1990). Instruction and Cultivation of Thinking In. N. Entwistle (Ed) Handbook of Education Ideas and Practices. London : Rootledge.

Ruseffendi, ET (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan.Bandung : IKIP BandungPress

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito

Syah, Muhibin. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta : Rajawali Press.

Silberman, M. (2006). Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Terjemahan. Bandung : Nusa Media

Schafersman, S.D. (1991). An Introduction To critical Thinking. [online]. Tersedia : http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html [6 Desember 2009]

Sagala, S. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Sanjaya, W. (2008). Strategi pembelajaran. Jakarta : Kencana

Sanjaya, W. (2008) Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Kencana

Sanjaya,W. (2002). Pengembangan Model pembelajaran metode Klinis bagi Peningkatan Kemampuan Berpikir Siswa dalam Pembelajaran IPS di SD. Bandung : PPs UPI

Stiggins, R.J., Rubel, E., and Quellmalz, E. (1988). Measuring Thinking Skill in the Classroom. Washington DC : national Education Association.

Sudjana, N (2005) Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta : Bumi Aksara

Sugiyono, (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Sugiyono. (2007) Metode Penelitian Pendidikan Bandung : Alfabeta


(6)

Sugiyono (2008). Metode Penelitian Pendidikan Bandung : Alfabeta

Suherman, E dan Sukjaya, Y.(2003). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru Matematika, Bandung : Wijaya Kusumah

Suherman, E. (2004). Model-model Pembelajaran Matematika (Makalah). Bandung : Depdiknas.

Sumaatmaja, N. (1980). Metodologi Pengajaran IPS. Bandung : IKIP Bandung Soamantri, N M (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung :

Remaja Rosdakarya dan Program Pascasarjana UPI

Sukmadinata, NS. (2003). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Dasar. Bandung : Kesuma Karya

Sukmadinata, N.S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PPS UPI Remaja Rosdakarya

Thompson, G., Frazer, E, and Dunne, F. (2004). Pocket Guide to Probing Questions. [Online]. Tersedia : www. Nsrfharmony.org (12 Januari 2011)

Usman, M.U. (1997). Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya. Wikipedia. (2008). Berpikir kritis.[Online]. Tersedia : http://www.wikipedia.org. (15

Desember 2009)

Wikipedia. (2008). Belajar Aktif. [Online]. Tersedia : http://www.wikipedia.org. (15 Desember 2009)


Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran berdasarkan masalah ( Prblem based learning) terhadap Kemampuan berpikir kritis siswa

7 19 180

Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang.

6 24 248

Pengaruh strategi pembelajaran aktif teknik question student have terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di Kelas VII SMP Negeri 11 Tangerang Selatan

0 4 240

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI).

6 9 167

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl) Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Pengantar Ak

0 3 16

PENERAPAN METODE TANYA-JAWAB DENGAN TEKNIK PROBING-PROMPTING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI KELAS XI IPA 4 SMAN 14 BANDUNG.

0 1 54

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING DENGAN STRATEGI POINTCOUNTERPOINT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

0 0 46

MODEL PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS ETNOSAINS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

0 5 6

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII C SMPN 2 KEBASEN MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN TEKNIK PROBING PROMPTING - repository perpustakaan

0 0 18

BAB II KAJIAN TEORI A. KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS - MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII C SMPN 2 KEBASEN MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN TEKNIK PROBING PROMPTING - repository perpustakaan

0 0 19