FEMINISME SUNDA KUNO : Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana.

(1)

Feminisme Sunda Kuno

(Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan

Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Menyelesaikan Program Magister Pendidikan

Oleh:

Heri Mohamad Tohari, S.Fil. 1005035

Program Studi Pendidikan Umum

Sekolah PascaSarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

2013


(2)

Feminisme Sunda Kuno

(Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai

Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam

Carita

Pantun

Sri Sadana)

Oleh

Heri Mohamad Tohari M.Pd UPI Bandung, 2013

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Prodi Pendidikan Umum/Nilai

© Heri Mohamad Tohari 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

November 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah benar-benar hasil pekerjaan saya sendiri. Adapun semua referensi/kutipan (baik kutipan langsung maupun tidak langsung) dari hasil karya ilmiah orang lain tiap-tiap satunya telah saya sebutkan sumbernya sesuai dengan etika ilmiah. Apabila di kemudian hari terbukti meniru/plagiat dan terbukti mencantumkan kutipan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya, saya bersedia menerima sanksi dari lembaga yang berwenang.

Bandung, November 2013

Heri Mohamad Tohari NIM 1005035


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis

Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana), dengan latar belakang penelitian yakni masyarakat Sunda belum memiliki basis

epistemologis yang kuat dan khas mengenai diskursus feminisme, padahal alam pikiran Sunda menempatkan posisi perempuan dalam tempat yang agung, salah satunya dalam mitologi Sri Sadana.

Metode penelitian tesis ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan model analisis kritis data melalui pengumpulan data tipe studi literer, yakni cara-cara yang digunakan oleh peneliti dengan menghimpun kemudian menginterpretasikan semua data dan referensi teks/pustaka. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian yang berbunyi: pertama seperti apakah proses, bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam carita pantun Sunda Sri Sadana. Kedua, nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada carita pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan kesetaraan gender. Ketiga, nilai-nilai Islami apakah yang melekat pada carita pantun Sri Sadana. Dan keempat, sikap perempuan Sunda seperti apakah yang mencerminkan nilai Sunda Islami berbasis kesetaraan gender.

Hasil dari pengolahan data menunjukkan kesimpulan bahwa gejala feminisme dalam carita pantun Sri Sadana mewujud bukan dalam bentuk feminisme sebagai sebuah gerakan, tetapi feminisme sebagai sebuah nilai/ide. Carita Pantun Sri Sadana mengandung makna-makna (meaning) yang dominan berupa makna simbolik, estetik, dan etika (tatakrama). Mitologi Sri Sadana sebagai local wisdom Orang Sunda telah memberikan pendidikan nilai yang luar biasa, bahwasanya alam pikiran manusia Sunda telah menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat terhormat. Dominasi perempuan dalam pos strategis kosmologis Dewa-Dewi tidak menjadikan perempuan Sunda menjadi superior yang mensubordinasi kaum laki-laki. Justru dengan posisi terhormat tersebut, harmonisasi dan sinergitas terwujud dalam relasi gender. Posisi perempuan saling melengkapi dengan posisi kaum laki-laki. Feminisme Sunda adalah feminisme kearifan, berbeda dengan feminisme Barat yang muncul karena berlatar belakang subordinasi

perempuan, yang akihrnya mereka bangkit melakukan gerakan sebagai “balas dendam”

terhadap kaum laki-laki. Sedangkan temuan masalah yang melahirkan rekomendasi dalam penelitian ini yakni: pertama, masih adanya segolongan masyarakat yang menganggap munculnya fenomena kebudayaan Sunda-Islam sebagai “ajaran baru”. Kedua, karena kebudayaan itu bersifat dinamis, peran penting posisi perempuan dalam mitologi dan kebudayaan Sunda tersebut, ke depan nantinya berubah menjadi dominasi dan subordinasi terhadap kaum laki-laki. Ketiga, ada banyak diketemukan perempuan Sunda yang menempati posisi penting pada zaman postmodern ini tetapi mereka begitu asing dengan kebudayaan Sunda, apakah unggulnya perempuan Sunda tersebut benar-benar dipengaruhi oleh mitologi unggul dalam kebudayaannya? Maka hal ini diperlukan sebuah penelusuran riset lanjutan.

Sebagai akhir penelitian, penulis merekomendasikan: 1. kepada pemuka agama dan tokoh masyarkat agar memberikan pemahaman yang benar antara agama dan budaya. 2. Guru dan dosen agar memberikan pemahaman yang benar mengenai relasi gender. 3. Ki Sunda terutama kaum perempuan Sunda Postmodern agar bisa menempatkan perempuan bukan sebagai imam, bukan pula sebagai hamba, tetapi menjadi pendamping sinergis dengan kaum laki-laki, dan 4. Peneliti selanjutnya dapat mengkaji makna carita pantun Sri Sadana dari sisi lain yang berbeda.


(5)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN i

KATA PENGANTAR ii

UCAPAN TERIMA KASIH iii

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 15

C. Tujuan Penelitian 16

D. Manfaat Penelitian 17

E. Pertanyaan Penelitian 18

BAB II LANDASAN TEORETIS 20

A. Hasil Penelitian Terdahulu 20

B. Ziarah kepada Alam Pemikiran Feminisme 25

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Feminisme 25

1.1 Gender dan feminisme 28

1.2 Ruang-ruang sosio-historis bagi lahirnya feminisme 36 1.3 Feminisme sebagai tubuh, pemikiran, dan pengalaman 39

1.4 Menstroal taboo 44

2. Ragam Pemikiran Feminisme 46

3. Feminisme dan Budaya Pop 62

C. Pendidikan 65

D. Pendidikan Nilai 68

1. Nilai 68

2. Perdebatan Nilai dalam Pendidikan dan Pendidikan Nilai 76 3. Pendidikan Nilai-Nilai Kesetaraan Gender 84

E. Pendidikan Umum 92

1. Pengertian Pendidikan Umum 92

2. Tujuan Pendidikan Umum 98

3. Pendidikan Umum dan Meaning: Sebuah Keping Mata Uang Kajian

100

4. Teori Pembelajaran Sosial 102

F. Identifikasi Kebudayaan Manusia-Sunda 104

1. Topografi dan identitas manusia-Sunda 104

2. Karakteristik manusia-Sunda 109

2.1 Pandangan hidup manusia-Sunda 109


(6)

3. Telaah atas alam pikiran-Sunda: sebuah telaah nilai 127

G. Islam 132

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Ajaran Islam 132 2. Islam-Sunda: Titik Temu Universalitas Nilai 137 3. Feminisme vis a vis Islam: Membaca Ulang Perdebatan

Feminisme dan Islam

144

BAB III METODE PENELITIAN 153

A. Jenis Penelitian 153

B. Jenis dan Sumber Data 156

1. Jenis Data 156

2. Sumber Data 157

C. Teknik Pengumpulan Data 158

D. Teknik Penganalisaan Data 159

BAB IV ANALISIS DATA 161

A. Profil dan Sinopsis Cerita Sri Sadana 164

B. Akulturasi Budaya Sunda-Islam dalam Pantun Sunda Sri Sadana 167

C. Analisis Isi 191

1. Mitos Penciptaan Manusia Pertama dalam Alam Pikiran Sunda 191 2. Membongkar Mitos-Mitos Perempuan dalam Spiritualitas

Padi: Kajian atas Konsep Feminisme Sunda.

201 3. Menstrual Creation Perempuan Sunda: Bukti Penegasan Posisi

Penting Perempuan Sunda

211 4. Pesona Cawokah Sri Sadana: Seksualisme Jenaka 217 5. Pesan Pendidikan Nilai Kesetaraan bagi Perempuan Sunda dari

Sri Sadana: Sebuah Interpretasi untuk Aksi

226

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 229

A. Kesimpulan 229

1. Kesimpulan Umum 229

2. Temuan Penelitian 232

B. Rekomendasi 234

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat Khas Orang Sunda 113

Tabel 4.1 Rencana Kajian Makna 164

Tabel 4.2 Istilah Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana 179 Tabel 4.3 Istilah Islam dalam Tafsir Pantun Sri Sadana Karangan Ajip Rosidi 185 Tabel 4.4 Unsur Akulturasi Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana 188 Tabel 4.5 Konsep Rukun Islam yang terdapat dalam Carita Pantun Sri Sadana 170 Tabel 4.6 Posisi Penting perempuan dalam Hierarki Konsep Kedewa-Dewian 205

Tabel 4.7 Fungsi Budaya Mantra Mengambil Beras 207


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dengan segala kelincahan potensi akal yang dimilikinya cenderung mempertanyakan segala fenomena yang ada di sekitarnya. Semua manusia selalu bisa mengindra bahwa di pelbagai penjuru dunia dan di sepanjang sejarah manusia, kehidupan selalu dihuni oleh makhluk manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kiranya akan sangat sulit mendapati keberadaan masyarakat laki-laki saja ataupun perempuan saja. Berkaitan dengan realitas ini pula muncul berbagai pemikiran yang bersifat filosofis dan praksis, untuk sekedar memetakan sebuah kerangka dasar pertanyaan: “Mengapa diciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan?”. Paparan pemikiran mengenai hal ini sebenarnya terlalu panjang untuk sekedar diurai. Perdebatan tersebut pada akhirnya menyeret kepada talik ulur atas nama perjuangan nilai-nilai kesetaraan yang menyertainya, yakni antara laki-laki di satu pihak dan perempuan di pihak lainnya.

Feminisme merupakan kosa kata baru dalam pergulatan sejarah manusia. Sebagaimana lazimnya hal dan pemikiran baru, feminisme mengundang pembahasan berlarut-larut antara kelompok yang pro dan kontra terhadapnya. Seiring dengan berkembangnya waktu, berkembang pula segala bentuk-bentuk perjuangan feminisme. Polemik yang hadir menanggapinya pun terus bergulir laksana bola salju. Ritualitas akademisi seperti diskusi, seminar, dan kajian mengenai buku-buku yang bertemakan feminisme tumbuh


(9)

subur laksana cendawan di musim hujan. Fenomena seperti ini seakan-akan menjadi trend dan identitas kemodernan, sebaliknya akan dianggap kuno bagi

yang tidak terjun dan “menjerumuskan diri” dalam kancah feminisme.

Perbincangan tentang feminisme pada umumnya merupakan perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik. Feminisme, sebagai sebuah ide (kesadaran) yang kemudian melahirkan gerakan, pada intinya membicarakan wilayah culture (Muslikhati, 2004:21). Feminisme sebagai sebuah gerakan didefinisikan dalam rangka untuk mempromosikan konsep kesetaraan dan kesetaraan antara pria dan wanita (Karam, 1998:5). Secara garis besar peneliti beranggapan, bahwa kaum feminis mempertanyakan mengapa label maskulin “harus” selalu dilekatkan pada laki-laki, sebaliknya label feminin “harus” diletakkan pada perempuan.

Pemahaman yang baik tentang wilayah culture memungkinkan mereka punya peluang untuk berbicara tentang perubahan, melalui tahapan proses dekonstruksi kemudian rekonstruksi bagi kontruksi sosial yang sudah mapan. Dalam sejarah manusia, tidak ada ide yang lahir dalam ruang hampa. Pola-pola hubungan yang ada di masyarakat (termasuk pola hubungan gender) akan selalu dilihat sebagai konstruk historis yang tersusun dalam suatu ruang sosial dan waktu tertentu. Pada umumnya munculnya sebuah ide merupakan respon kritis terhadap kondisi sebuah masyarakat.


(10)

Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah bahwa faham kesetaraan gender (terutama sejarah feminisme generasi pertama) lahir akibat pandangan misogyny (sebelah mata atau membenci) perempuan di tempat kelahirannya itu sendiri, yakni Barat. Berdasarkan penelitian Syamsudin Arif, dari periode Klasik sampai Modern ternyata Barat memiliki masa kelam dalam hal memandang citra dan kedudukan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki (Syarif, 2011:15-16). Barat sadar akan kekeliruannya tersebut, hal ini mengakibatkan perjuangan feminisme seakan mendapatkan momennya dalam dekade kontemporer ini, dimana sejarah feminisme memasuki gerbang feminisme generasi kedua. Feminisme lanjutan ini mempertanyakan lebih daripada ketidaksetaraan sosial yang dialami wanita, tetapi juga mengamati struktur ideologis (Lechte, 2001:2001).

Keinsyafan Barat akan tragedi marginalisasi perempuan ini, misalnya terlihat dalam karya literatur feminis Angela Davis, yakni: Women, Race, and Class (1982), yang mendapati sebuah pemetaan bahwa perjuangan kaum perempuan generasi pertama tersebut dilatarbelakangi oleh perjuangan kelas: Mayoritas kaum putih yang menganggap rendah wanita kulit hitam. Hal ini memunculkan perjuangan para feminis kulit hitam yang menyatakan bahwa mereka dan feminis dari kelompok minoritas lainnya melihat dunia secara berbeda dari perempuan kulit putih. Hal ini memiliki pengertian bahwa para feminis kulit hitam dan minoritas lainnya hanya ingin menegaskan keterkaitan seksime dengan rasisme, klasisme dan bentuk-bentuk opresi lainnya. Kasus di atas adalah salah satu contoh dari berjuta kasus yang tumbuh dan berkembang


(11)

di sana. Peneliti berkeyakinan bahwa perjuangan feminisme di Barat, adalah sebuah kewajaran sebagai bentuk perjuangan yang sangat mendesak untuk segera dilakukan. Mengingat perempuan dalam lokus kebudayaan Barat pada waktu itu memang berada pada posisi yang termarginalkan. Indikator mengenai ketidaksetaraan atau ketidakadilan terhadap gender (gender inequalities) antara lain: marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja berlebih (Fakih, 1997:13-23).

Argumentasi di atas, cukup menyentak dan membuat peneliti mulai bertanya tentang makna perempuan. Apakah makna (meaning) perempuan di setiap tempat itu sama atau berbeda. Lantas, kalaupun berbeda, mengapa

“barang dagangan” feminisme begitu laku dalam sebuah kultur yang berbeda dari tempat feminisme itu lahir dan berkembang. Alhasil, mengapa sekarang feminisme begitu dipuja di Indonesia dan tempat dimana perempuan sudah begitu dimulyakan dalam relasi gender di masyarakatnya (baca: Indonesia). Berbeda dengan lahirnya feminisme di Barat yang berangkat dari alasan ketertindasan kaum perempuan, ada berbagai argumentasi faktual yang merujuk mengapa posisi perempuan secara culture di Indonesia mendapatkan proporsi yang begitu terhormat dalam relasi gender. Jadi, kalau begitu perjuangan feminisme dari Barat, dalam konteks kebudayaan Indonesia, menurut peneliti tiada lain bagai mengajari itik berenang.

Di Indonesia gerakan feminisme lebih dikenal dengan istilah emansipasi. Frekuensi pembahasannya akan mengalami peningkatan cukup drastis manakala tanggal 21 April tiba. Bangsa Indonesia mengenang hari itu


(12)

dengan istilah Hari Kartini, sebab pada bulan tersebut lahir puteri Indonesia bernama Kartini yang kemudian dianggap menjadi pengusung “emansipasi perempuan”. Berbagai pihak menyemarakan bulan ini dengan tema-tema seputar perempuan, baik dalam bentuk perayaan-perayaan yang menampilkan atau menonjolkan sisi-sisi keperempuanan, maupun tulisan-tulisan di media cetak, diskusi-diskusi dan seminar.

Paradoks mengenai perempuan Indonesia secara kultur berada pada posisi terhormat, analisis peneliti justru berawal dari salah satu karya fenomenal Habis gelap Terbitlah Terang (Door Dusternis tot Licht). Karya ini konon katanya menginspirasi banyak kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan ini. Kartini memang menceritakan apa adanya yang dialami para wanita priyayi di Jawa. Ia mengisahkan tentang adat istiadat yang mengurung dan menindas dirinya. Hal yang mendukung argumentasi paradok tersebut adalah:

Kami, anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke

tempat lain kami tidak boleh… Pada usia 12 tahun saya harus tinggal

di rumah. Saya harus masuk “kotak”, saya dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar…

(Surat-surat kartini, terj. Sulastin Sutrisno, Djambatan, Jakarta, 1974:21).

Sekilas dari cerita Kartini ini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa nasib para wanita di Indonesia pada


(13)

umumnya seperti itu sehingga kesimpulannya adalah bahwa perempuan Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu keharusan (Bachtiar, 2011:21).

Kalau dicermati mendalam dalam kasus Kartini ini, bisa saja ia memang diperlakukan seperti itu. Namun pertanyaan kritis bisa langsung di kedepankan, apakah dapat dianggap bahwa semua wanita di masanya diperlakukan seperti yang dialami Kartini? Apakah Kartini berani menjamin klaimnya bahwa adat di Negeri ini (Timur) memperlakukan para wanita seperti itu adalah benar? Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa Kartini saja; atau hanya dialami kaum priyayi seperti Kartini. Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat banyak indikasi yang akhirnya harus menggugurkan klaim berlebihan Kartini mengenai perlakuan terhadap kaum wanita.

Sudah lama memang referensi sejarah bangsa ini melulu Jawa-sentris. Itupun terbatas sejarah priyayi Jawa. Salah satunya soal Kartini. Kartini yang dibangga-banggakan itu adalah seorang priyayi perempuan Jawa. Apa yang

diceritakannya adalah cerita mengenai kehidupan “priyayi” Jawa. Tradisi para priyayi ini, berbeda sangat mencolok dengan kehidupan kaum “cacah”. Secara

cukup atraktif Greertz (Bachtiar, 2011:22-23) berhasil mendemonstrasikan bagaimana perilaku komunitas priyayi berbeda dengan kaum “cacah” ini dalam Religion of Java.

Klaim keberatan terhadap pengkultusan cerita Kartini, peneliti mengajukan argumentasi bahwa dari sisi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat cacah Jawa ketimpangan seperti yang diceritakan Kartini


(14)

terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput, tandur (menanam benih padi), dsb.

Peran tandur untuk perempuan sebagai pengakuan kehormatan bagi keluwesan, kepintaran, dan ketelatenan. Sebab dalam tandur perempuan diasah strategi dan keuletannya dalam membuat garis dan menanami di setiap sudut siku. Berbeda dengan pekerjaan laki-laki yang berat dalam mencangkul. Keduanya saling bersinergi. Bukan saling meniadakan dan mengkonfrontir. Aktifitas lainnya, di pasar-pasar pun selalu bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di pesantren-pesantren, ulamanya tidak hanya laki-laki. Istilah

“kyai” (ulama laki-laki) dan “nyai” (ulama perempuan) sudah hidup bersinergis begitu lama. Pesantren pun sudah sejak awal berdirinya selalu diperuntukkan bagi santri putra dan putri. Kalau melihat kenyataan ini apakah sungguh-sungguh kaum perempuan Jawa ini termarginalkan? Jangan-jangan itu sekali lagi hanya terjadi di sekitar lingkungan Kartini yang priyayi. Sementara di akar rumput, apa yang diceritakan Kartini tidak pernah terjadi.

Berziarah ke alam sejarah perempuan di Indonesia sebelum Kartini adalah sesuatu yang mengasyikan untuk terus ditelusuri. Kemunculan tokoh Cut Nyak Dien bagi peneliti sebetulnya cukup mengherankan. Bagaimana bisa dalam masyarakat yang didominasi laki-laki (patriarki) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu revolusi sosial untuk


(15)

munculnya seorang seperti Cut Nyak Dien dalam masyarakat patriarki. Nyatanya Cut Nyak Dien bukan tokoh rekayasa ataupun tokoh ciptaan Belanda.

Analisis peneliti, Aceh tidak pernah tunduk kepada Belanda sampai tahun 1904. Kalaupun akhirnya ditaklukan, para ulama Aceh tidak mengakui bahwa mereka tunduk pada Belanda. Walau demikian, perlawanan terus dikobarkan. Jadi tidak mungkin munculnya sosok Cut Nyak Dien dipengaruhi ide feminisme Barat.

Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik bahkan menjadi pemimpin Negara, bukan barang baru di Aceh. Pemimpin kerajaan Aceh antara 1641-1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Safiatudin Johan Berdaulat (1641-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Hasyim, 1977:35).

Pada awal abad ke-17 saat Eropa baru memasuki zaman yang mereka

sebut “pencerahan” (renaissance, aufklarung, enlightenment), jangan tanyakan soal wanita menjadi pemimpin publik. Para wanita Eropa nasibnya tidak lebih daripada budak. Kalaupun mereka menjadi bangsawan perannya tetap berada di bawah sub-ordinasi laki-laki. Struktur masyarakat yang patriarki sangat dominan di Eropa saat itu. Kenyataan ini pula yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan feminis di Eropa yang sangat memusuhi dan membenci struktur patriarki. Walaupun umumnya diklaim bahwa gerakan


(16)

ini mulai diperkenalkan Lady Mary di Belanda tahun 1785, namun gerakan sesungguhnya baru muncul menjelang abad ke-19 (Bachtiar, 2011:22).

Begitulah akar tradisi bangsa kita yang menempatkan perempuan dalam posisi yang luhur. Misalnya, dalam kasus masyarakat Padang yang menganut sistem matrilineal. Filosofi adat Minang yang menguntungkan bagi perempuan seperti filosofi adat basanding syara (Arivia, 2007:12).

Sederet fakta lain seperti munculnya tokoh Rohana Kudus di Sumatera Barat dan Dewi Sartika di Bandung semakin memperkokoh argumen peneliti bahwa sesungguhnya di negeri ini kesadaran akan nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah sejak lama ada. Kesadaran ini bukan kesadaran impor seperti yang diklaim para aktivis feminis. Fakta-fakta ini juga semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak menderita sindrom patriarki seperti yang terjadi di Eropa sana.

Dalam konteks kesundaan, perempuan Sunda atau perempuan Pasundan, memiliki posisi penting dan terhormat dalam perikehidupan Sunda. Dia bersifat mandiri dan mampu melindungi diri dalam eksistensinya bersama laki-laki. Bahkan dalam mitos asal usul hari atau Dongéng Poé, laki-laki dianggap pelengkap. Karena awal hari adalah perempuan bernama Robayah atau Rebo, lalu hari menjadi sempurna sebagai hasil perkawinan primordialnya dengan Jumantawal dari Ujung Lautan, Salasa dari Baratang Geni dan Kemis dari Nagara Atas Angin. Lalu lahirlah Senen, Ahad dan Saptu (Ziaulhaq, 2012:1).


(17)

Ayat Rohaedi, dalam tulisannya, Citra Perempuan dalam Sastra Sunda, (Pikiran Rakyat, 8 Agustus 2002), mengatakan masyarakat Sunda, baik yang tradisional maupun masa silam, perempuan memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting. Bahkan kadang kala terkesan bahwa kedudukan perempuan itu demikian penting, sedangkan tokoh laki-laki muncul sebagai

“pelengkap” untuk mendukung keterhormatan dan kemulyaan perempuan. Kesimpulan ini menegaskan bahwa nilai-nilai lama dalam suatu masyarakat terus hidup di tengah-tengah perubahan nilai-nilai lainnya.

Perempuan dalam pandangan semesta masyarakat Sunda Kuno, memang menduduki tempat terhormat. Meskipun tidak sampai menduduki tempat terpenting dalam ruang publik, namun kedudukan perempuan amat terhormat dalam ruang domestik, dan lebih-lebih ruang batin manusia Sunda. Hal ini terletak dalam pemahaman nilai-nilai asal orang peladang, yang masyarakat Sunda termasuk di dalamnya. Pembabakan mengenai Sunda Kuno ini dimulai dari rentang Kerajaan Sunda hingga Kerajaan Tarumanagara (abad ke-16).

Beberapa penafsiran memunculkan anggapan, bahwa orang Sunda lebih bersifat Melayu-Tua daripada Melayu-Muda, secara ras bangsa. Suku-suku Melayu-Tua di Indonesia, banyak yang hidup dari berladang di daerah perbukitan, atau di tepi-tepi hutan. Suku-suku Melayu-Muda datang kemudian, dan telah mengenal logam perunggu. Mereka hidup dari bersawah. Fokus perladangan inilah yang menstruktur nilai-nilai kualitas dari dalam


(18)

batin, menjadi nilai-nilai ideal dalam sistem pengetahuan ladang. Yang dari dalam (jiwa) diwujudkan dalam bentuk-bentuk budaya (luar).

Ladang dalam masyarakat Sunda, disebut huma. Dalam masyarakat Jawa (sawah), ada omah yang berarti “rumah”. Tetapi di pulau Mentawai, huma berarti “kampung”. Padanan antara “ladang”, “rumah” dan “kampung”, menunjukkan pentingnya ladang dalam masyarakat Sunda. Karena rumah itu perempuan, maka bagian terpenting rumah juga bersifat perempuan. (Sumardjo, 2003:281-283).

Begitulah awal kesejarahan perempuan yang terdapat dalam pantun-pantun Sunda dalam masyarakat Sunda Kuno. Persoalannya, kalau kemudian masyarakat Sunda juga bersawah, apakah nilai-nilai sawah akan memasuki sistem nilai Sunda? Kalau Islam kemudian menjadi agama orang Sunda, apakah nilai-nilai Islam akan mengganti nilai-nilai ladang dan sawahnya?

Akulturasi nilai-nilai Sunda dan keislaman sebenarnya telah berurat akar pada zaman Sunda Lama yang terdapat dalam pantun-pantun Sunda. Pantun yang memuat soal keislaman terdapat di Sri Sadana atau yang terkenal juga dengan sebutan Sulandjana. Berbeda dengan pantun-pantun yang ada, pantun ini menyebutkan Allah SWT sebagai Pencipta segala-galanya. Sebelum segala sesuatu ada, yang ada adalah uwung-uwung awing-awang. Lalu muncullah Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad terciptalah para malaikat, jin, setan, serta bumi dan langit.

Kemudian Allah SWT memerintahkan empat malaikat untuk membentuk jasad manusia dari unsur api, angin, tanah, dan air. Maka


(19)

terciptalah wujud Rama Adam dan kemudian terciptalah Ibu Hama dari rusuk kiri Rama Adam yang dicampur keempat unsur tersebut. Setelah menciptakan alam semesta dan manusia, maka Allah SWT menitikkan Tiga Air Mata, yang kemudian menjelma menjadi tiga manusia yang diberi nama: Jaka Sadana, Sri Sadana, dan Rambut Sadana (Rosidi, 1970:4). Dari menstruasi Sri Sadana yang jatuh ke tanah muncullah segala jenis tanaman non padi di tanah Sunda.

Analisis peneliti terhadap cerita pantun ini, tiga tetes Air Mata Allah SWT tentulah bukan ajaran Islam. Namun, dalam konteks konteks filsafat ketuhanan dikenal dengan istilah emanasi yang nantinya menjurus ke arah pantheisme. Segala yang ada merupakan bagian dari Yang Esa. Adapun padi dalam cerita tersebut diceritakan dari anak aseksual Rama Adam dan Ibu Hawa yakni Nyi Pohaci yang meneteskan darah mentrsuasinya ke tanah. Padi adalah kehidupan atau makanan pokok orang Sunda. Adanya padi justru

berasal dari “sesuatunya” perempuan. Peneliti bisa membuktikan bahwa dalam penelusuran literatur klasik manapun, dalam konteks menstrual taboo, perempuan selalu saja mengalami proses isolasi dan pengucilan dalam struktur kebudayaan. Namun justru dari kisah menstrual taboo Sunda Kuno, justru perempuan mendapat tempat yang terhormat. Kisah Sri Sadana yang justru memberikan penjelasan yang luar biasa dimana perempuan cukup dihormati.

Kisah Sri Sadana menunjukkan sebuah fakta sejarah baru mengenai pola pikir manusia Sunda Kuno. Tidak terjadi gejala menyundakan Islam sama

sekali. Yang terjadi adalah “mengislamkan Sunda”, namun Sunda tidak mau


(20)

“dalam” di masyarakat Sunda. Kebudayaan dalam bentuk “luar” diterima,

namun esensi kesundaannya dipertahankan. Walaupun sebagai sebuah gejala akulturasi, niscaya akan terjadi paradok, yakni patrilineal vs matrilineal, atau dalam konteks cerita Sri Sadana ada dinamika pergulatan creation ex nihilo vs emanasi. Namun, peneliti berkeyakinan penamaan sinkretisme adalah sebuah gejala yang kurang tepat karena substansi keduanya (Sunda dan Islam) tidak berubah.

Berangkat dari cerita pantun Sunda Kuno ini, peneliti bisa mengambil benang merah berupa nilai-nilai kesetaraan gender. Terang pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Sunda sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-Sekuler. Kesetaraan gender yang digadang-gadang para aktivis perempuan yang melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara yang tumbuh di kalangan perempuan Sunda adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh berdampingan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, berangkat dari uraian di atas peneliti memberanikan diri melakukan pembahasan dengan judul: Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana).

Kelak, penelusuran ini akan menggambarkan betapa besarnya peran perempuan yang terdapat dalam cerita pantun Sunda. Sekaligus membuktikan betapa alam pikiran perempuan Sunda Kuno yang terdapat dalam pantun tersebut menginspirasi perempuan Sunda kontemporer. Zaman telah berbicara, perempuan Sunda sekarang adalah pewaris generasi unggul perempuan Sunda


(21)

baheula. Perempuan Sunda sekarang adalah “bibit unggul” barometer kekuatan kageulisan, mode, kuliner, dsb. Tidak perlu munafik, seloroh Nining Meida dalam sebuah lagu mengingatkan kita, dari gaya berjalannya pun berkharisma, seperti dalam liriknya yang berjudul Mojang Priangan:

Angkatna ngagandeuang, Bangun taya karingrang, Nganggo sinjang dilamban, Mojang Priyangan.

Umat imut lucu, Sura seuri nyari, Larak-lirik keupat Mojang Priyangan. Diraksukan kabaya, Nambihan cahayana, Dangdosan sederhana, Mojang Priyangan...

Mojang anu donto, Matak sono nu némpo, Mun tepung sono ka ... Mojang Priyangan.

Gareulis maranis, Disinjang lalenjang, Éstu surup nu némpo,

Mojang Priyangan ... mojang priyangan ... Mojang Priyangaaaann....

Begitulah nilai-nilai kesetaraan gender dalam masyarakat Sunda Kuno justru telah melampaui zamannya, setara dengan zamannya feminisme Barat generasi kedua kontemporer. Feminisme generasi kedua ini menantang bias gender dalam bahasa, hukum, dan filsafat. Pandangan ini berpendapat bahwa wanita tidak bertujuan untuk menjadi seperti pria (seperti yang berlangsung dalam pertarungan persamaan sosial di feminisme generasi pertama), tetapi


(22)

berusaha untuk mengembangkan bahasa, hukum, dan mitologi yang baru dan khas yang bersifat feminin (Lechte, 2001:247).

Sekilas peneliti ini dianggap sangat inkonsistensi dengan menyerang dan mengobrak-ngabrik teori feminisme Barat, namun tetap saja masih memakai teori-teori Barat dalam membedah Pantun Sunda. Ada beberapa argumentasi peneliti mengapa masih terus menyandingkan teori Barat dengan Sunda. Pertama, diskursus persoalan pantun di Sunda Kuno adalah kajian mitologi. Pun halnya sudut pandang kajian feminisme generasi kedua di Barat mencoba mendekati persoalan gender dalam kacamata mitologi. Jadi sangat cocok pengkajian mengenai pantun Sunda ini dalam pisau analisis feminisme generasi kedua karena mempunyai titik temu dalam analitika bahasa mitologi. Kedua, mengapa teori Barat masih relevan digunakan dalam pembahasan tesis ini karena peneliti beranggapan bahwa di Indonesia (khususnya Sunda) belum memiliki basis epistemologis yang kuat dan khas mengenai diskursus pola relasi laki-laki dan perempuan gaya Indonesia. Atau lebih tragis lagi di Sunda tidak memiliki dan mengenal kajian feminisme sebagai sebuah kultur ilmiah.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian di atas, maka titik awal penelitian ini berangkat

dari satu pertanyaan besar yaitu: “Bagaimana konsep Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana)”.


(23)

1. Bagaimana bentuk akulturasi Sunda-Islam yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana?

2. Bagaimana nilai-nilai kesetaraan gender yang terdapat dalam carita pantun Sri Sandana?

3. Bagaimana nilai kesetaraan gender berbasis keislaman yang terdapat pada carita pantun Sri Sadana.

4. Bagaimana analisis kritis kontribusi pemikiran carita pantun Sri Sadana terhadap jalan baru harmonisasi relasi laki-laki dan perempuan (tao-feminisme) dan kontribusinya terhadap gaya hidup perempuan Sunda kontemporer dalam konteks pendidikan nilai kesetaraan gender?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan rumusan yang akan dicapai dalam penelitian sebagai arah bagi peneliti ketika melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang dan pernyataan penelitian di atas maka tujuan penelitian secara umum adalah “untuk memeroleh bagaimana konsep Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana)”

Secara khusus penelitian ini dilandasi untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi bentuk akulturasi Sunda-Islam yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana?


(24)

2. Mengidentifikasi nilai-nilai kesetaraan gender berbasis kesundaan yang terdapat dalam carita pantun Sri Sandana.

3. Mengungkapkan nilai kesetaraan gender berbasis keislaman yang terdapat pada carita pantun Sri Sadana.

4. Mengidentifikasi analisis kritis kontribusi pemikiran pantun Sri Sadana terhadap jalan baru harmonisasi relasi laki-laki dan perempuan serta kontribusinya terhadap gaya hidup perempuan Sunda kontemporer dalam konteks pendidikan nilai berbasis kesetaraan gender?

D. Manfaat Penelitian

Apabila tujuan penelitian dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat praktis dan teoritis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah:

a. Memperkaya khazanah pendidikan nilai/Pendidikan Umum kesetaraan gender dalam kebudayaan Sunda.

b. Mengembangkan pendidikan nilai-nilai.

c. Kontribusi pemikiran terhadap penyelenggaraan Program Studi Pendidikan Umum di SPS UPI Bandung.

d. Bahan kajian pendidikan bagi peneliti selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

a. Mempermudah kategorisasi nilai-nilai kesetaraan gender yang terdapat dalam carita pantun Sri Sandana dalam akulturasi


(25)

kebudayaan Sunda-Islam pada khususnya, dan kebudayaan global pada umumnya.

b. Memaparkan nilai-nilai kesetaraan gender yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana berbasis Sunda-Islam, untuk selanjutnya diharapkan dalam pendidikan nilai keperempuanan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran baru dalam pendidikan nilai kesetaraan gender.

c. Memberikan inspirasi perilaku, sikap, dan nilai bahwa sesungguhnya nilai-nilai kesetaraan gender dalam carita pantun Sunda menempatkan posisi perempuan dalam posisi yang mulia. Sehingga kesetaraan gender merupakan bagian dari Pendidikan Nilai

d. Sikap perempuan yang melabrak norma-norma budaya dan agama adalah tidak tepat untuk dipraktekan di Tanah Sunda, yang memiliki harmonisasi nilai Sunda-Islam.

E. Pertanyaan Penelitian

Adapun dari sistematika yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini jikalau disederhanakan akan menjawab beberapa pertanyaan penelitian, antara lain:

1. Seperti apakah proses, bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam carita

pantun Sunda Sri Sadana.

2. Nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada carita pantun Sunda Sri


(26)

3. Nilai-nilai Islami apakah yang melekat pada carita pantun Sri Sadana

4. Sikap perempuan Sunda seperti apakah yang mencerminkan nilai Sunda


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Suriasumantri (Sugiyono, 1994:1) bahwa metode merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri nilai-nilai kesetaraan jender yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana. Dari aspek pendekatan metodologi, penelitian ini dapat digunakan, penelitian kualitatif.

Metode kualitatif merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti langsung pada situasi penelitian yang sedang terjadi secara wajar tanpa adanya intervensi peneliti, atau memanipulasi subjek penelitian, sehingga diperoleh data deskriptif tentang perilaku manusia (Nasution, 1992:5).

Lebih lanjut Nasution (1992:9) menyatakan bahwa penelitian ini diusahakan mengumpulkan data deskriptif yang banyak dituangkan dalam bentuk laporan dan uraian. Penelitian ini tidak mengutamakan angka-angka dan statistik, walaupun tidak menolak data kuantitatif. Karakteristik dari penelitian kualitatif ditandai oleh kegiatan untuk mengamati orang situasi nyata baik dalam lingkungan berinteraksi, maupun untuk memahami perilaku orang yang diamati tersebut.


(28)

Untuk menghindari bias dalam pelaksanaan pengumpulan data secara operasional, Bogdan dan Biklen (Sugiono, 2008:21) mengemukakan lima karakteristik utama dari penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut:

a. Qualitative research has the natural setting as the direct source of data and researcher is the key instrument

b. Qualitative research is descriptive. The data collected is in the form of words of pictures rather than number

c. Qualitative research are concerned with process rather than simply with outcomes or product

d. Qualitative research tend to analyze their data inductively e. “Meaning” is of essential to the Qualitative approach

Pendekatan yang dilakukan melalui penelitian kualitatif-naturalistik ini didasari oleh adanya suatu upaya untuk memahami bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam carita pantun Sri Sadana. Dengan pendekatan kualitatif-naturalistik ini dipandang sangat tepat karena tekanannya pendekatan kualitatif pada proses –bagaimana asbabun nuzul lahirnya carita pantun Sri Sadana– bukan pada hasil (Sudjana, 1989: 189).

Berdasarkan pada situasi permasalahan yang dikaji maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif-naturalistik, dimana peneliti mencatat permasalahan secara seksama masalah-masalah yang muncul terkait dengan objek yang diteliti, kemudian masalah ini dideskripsikan secara apa adanya. Pada hakekatnya metode deskriptif adalah sebagai pendekatan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Maleong, 1991: 79).


(29)

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah model analisis kritis data dengan tipe studi literer. Beberapa konsep dasar mengenai cara ini, seperti digagas oleh Kaplan (1964:258), adalah “something eminently worthy of imitation, an exemplar or ideal”, yakni sesuatu yang ideal yang sangat wajar untuk ditiru. Dalam penelitian ini, ternyata local genius kebudayaan Sunda memiliki falsafah, kearifan, dan wisdom.

Analisis merujuk pada mekanisme pengkajian atas bagian-bagian serta keterkaitan antar bagian itu. Dengan demikian, kerja analisis mempersyaratkan identifikasi bagian-bagian terlebih dahulu. Namun, pemaknaan analisis hanya mungkin bilamana ada upaya menghubungkannya satu sama lain. Dalam penelitian, peneliti melakukan analisis dan sintesis. Sewaktu melakukan kajian pustaka, ia membaca literatur yang relevan, dan pada akhir bab ia menyusun sintesis dari segala penelitian terdahulu. Sementara itu, data yang dikumpulkan mesti dianalisis, yaitu dimaknai ‘agar data itu berbunyi nyaring’. Dalam praktek penelitian, bersintesis dan beranalisis bagai menarik dan mengeluarkan udara kala bernafas (Alwasilah, 2011:26).

Dengan mengungkapkan pendekatan kualitatif dalam memaknai dan menafsirkan data hasil penelitian dengan memanfaatkan teori-teori yang telah dikemukakan sebagai landasan teoritik penelitian ini, maka diharapkan diperoleh temuan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.


(30)

Berdasarkan pendapat tersebut, arah atau penekanan dalam penelitian ini adalah nilai feminisme dalam Sri Sadana. Urutan analisisnya sebagai berikut:

a. Analisis bentuk akulturasi Sunda-Islam yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana

b. Analisis nilai-nilai kesetaraan gender yang terdapat dalam carita pantun Sri Sandana

c. Analisis kritis kontribusi pemikiran carita pantun Sri Sadana terhadap jalan baru harmonisasi relasi laki-laki dan perempuan (Tao-feminisme) dan kontribusinya terhadap gaya hidup perempuan Sunda kontemporer dalam konteks pendidikan nilai kesetaraan gender.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dalam bentuk pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk meenggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok), keadaan fenomena dan tidak terbatas pada pengumpulan melainkan meliputi analisis dan interpretasi (Nawawi, 2007:8).

2. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam proses penelitian ini terbagi menjadi dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:


(31)

Data primer yang merupakan data yang langsung diperoleh dari sumber data oleh peneliti untuk tujuan penelitian. Data yang dimaksud adalah mengkaji secara mendalam sumber kajian utama yakni carita Pantun Sunda Sri Sadana yang dihimpun dan ditafsirkan oleh Ajip Rosidi.

Adapun alasan peneliti mengambil fokus pembahasan pada carita pantun Sri Sadana, diantaranya berdasarkan bahwa dalam pantun ini memang berisi dialog dua kebudayaan, antara lain memuat cerita mengenai kehidupan relasi laki-laki dan perempuan zaman tersebut yang kebetulan nuansa religi Sunda dan Islamnya sangat kentara. Nuansa Sunda terlihat dari pola komunikasi, situasi teknis, dan perangkat hidup gaya khas kehidupan orang Sunda. Nuansa Islam tampak dari munculnya penamaan islami seperti: Allah SWT, Nur Muhammad, Adam, Hawa, dsb. Sehingga penelusuran mengenai akulturasi nilai-nilai kesetaraan gender Sunda-Islam sangatlah tepat untuk mengkaji pantun Sri Sadana ini.

2) Data Sekunder

Data sekunder data pendukung terhadap objek kajian utama. Data ini bisa diperoleh dari: buku, jurnal, majalah, koran, internet, dll. yang relevan dan mendukung tema kajian.

b. Sumber Data

Sumber data adalah tempat, orang atau benda di mana peneliti dapat mengamati, bertanya atau membaca tentang hal-hal yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Adapun yang menjadi sumber data untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari


(32)

manusia, peristiwa atau suasana, dan dokumen. Penelitian ini memfokuskan kepada penelaahan carita pantun Sri Sadana, sehingga sumber data lebih kepada pengkajian dokumen.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini lebih memfokuskan kepada metode studi pustaka. Lebih lanjut, Suharsimi Arikunto (2003: 134) mengatakan bahwa teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Sehingga jelas untuk mendapatkan data yang konkret serta relevan dengan permasalahan yang dibahas, maka dalam pengumpulan data ini peneliti akan menggunakan teknik studi pustaka.

Adapun langkah-langkah taktis teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengadakan penelusuran terhadap teks Sri Sadana.

b. Menentukan masalah pokok penelitian, yaitu bagaimana akulturasi kebudayaan dan nilai-nilai kesetaraan gender yang terdapat dalam carita Pantun Sri Sadana.

c. Menentukan teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan

d. Melakukan studi pustaka dengan mencari referensi yang mendukung penelitian


(33)

e. Menentukan bentuk teks; teks tersebut mengungkapkan relasi laki-laki dan perempuan

f. Menentukan bentuk-bentuk perjuangan perempuan dalam relasi dengan laki-laki

g. Mendeskripsikan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan makna

h. Mengintrepretasi makna yang telah dibahas dalam deskripsi bahasa i. Mengeksplanasi nilai-nilai kesetaraan gender yang terungkap dalam

carita pantun Sri Sadana

j. Mengumpulkan hal-hal penting dari tanda-tanda dalam teks tafsir pantun yang diteliti

k. Menyimpulkan hasil penelitian terkait dengan rumusan masalah l. Merumuskan dan melaporkan hasil penelitian

m. Membuat laporan penelitian

4. Teknik Penganalisaan Data

Data yang nantinya terkumpul akan diklasifikasikan sesuai dengan pokok masalah, kemudian data tersebut diteliti kembali secara cermat, selanjutnya data diolah melalui tahapan yaitu menyisihkan data sesuai dengan kebutuhan dengan pola pikir.

Adapun teknik penganalisisan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penganalisisan data induktif, artinya metode yang


(34)

160

Heri Mohamad Tohari, 2013

bertitik tolak dari faktor yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

Adapun langkah-langkah pengolahan data dilakukan sebagai berikut: a. Pembacaan secara kritis-kreatif terhadap sumber data

b. Pengidentifikasian data, dalam hal ini data yang sudah diberi kode.

c. Penyajian data yang telah diidentifikasi mendeskripsikan nilai-nilai kesetaraan gender

d. Penafsiran makna e. Penyimpulan makna f. Hasil

Langkah-langkah pengolahan data tersebut digambarkan dalam alur bagan berikut ini:

Tabel 3.1

Proses Analisis Penelitian Pantun Sebagai Sumber Data

Pengumpulan Data:

 Pembacaan Kritis Kreatif

 Pengidentifikasian Data

Penyajian Data:

 Akulturasi Sunda-Islam yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana

 Nilai-nilai kesetaraan gender yang terdapat dalam carita pantun Sri Sandana

 Kontribusi pemikiran carita pantun Sri Sadana terhadap jalan baru harmonisasi relasi laki-laki dan perempuan (Tao-feminisme) dan kontribusinya terhadap gaya hidup perempuan Sunda kontemporer dalam konteks pendidikan nilai kesetaraan gender


(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Kesimpulan Khusus.

Jikalau menganalisis secara seksama dalam tulisan tesis ini, maka tujuan penelitianya sudah tercapai dan tergambarkan secara utuh. Secara umum kesimpulan tesis ini, memotret proses dan bentuk akulturasi budaya Sunda dan Islam dalam carita pantun Sunda Sri Sadana berlangsung secara dinamis dan harmonis. Adanya gejala nilai-nilai keislaman dalam isi carita pantun Sri Sadana membuktikan bahwa Sri Sadana disusun setelah Islam datang. Alam pikiran Sri Sadana menunjukkan bahwa manusia-Sunda pada waktu itu telah mencirikan sebagai masyarakat yang terbuka, yang menerima budaya luar yang masuk tanpa menghilangkan jati diri asli Sundanya. Kebudayaan Sunda dapat menerima kedatangan Islam yang sesuai dengan pola pikir orang Sunda yang terbentuk sebelumnya, seperti: Hindu, Syiwa, Budha, dll.

Nilai-nilai kesundaan yang terdapat pada carita pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan relasi gender adalah terciptanya kesetaraan perempuan dan laki-laki. Malah, dalam Sri Sadana terlihat perempuan menempati pos strategis dan penting dalam semua dimensi kehidupan.


(36)

Dominasi perempuan dalam pos strategis ini ternyata tidak menimbulkan sub ordinasi terhadap lawan gendernya. Namun, perempuan dan laki-laki berjalan saling melengkapi sehingga terjadi harmonisasi dan sinergitas dalam kebudayaan relasi gender di masyarakat Sunda. Dialog Adam dan Hawa dalam mitologi Sri Sadana tentang bagaimana strategi menentukan perkawinan anak-anaknya menjadi penanda demokratisasi dan kesetaraan yang terwujud dalam alam pikiran Sunda. Filosofi penciptaan padi pun menjadi penegasan yang luar biasa bahwa spiritualitas Sunda adalah spiritualitas ibu, spirit feminisme yang khas dan berbeda dengan local genius kebudayaan Barat.

Nilai-nilai Islami yang melekat pada carita pantun Sri Sadana, merupakan pilar-pilar Rukun Islam. Sejauh penelusuran peneliti yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya, konsep Rukun Islam sudah tergambar jelas dalam Sri Sadana. Walaupun dengan kemasan dan inovasi lain sebagai sebuah gejala. Konsep syahadat jelas terlihat dalam pembuka carita pantun ini. Konsep shalat tercermin dari penciptaan isi jagat raya ini dengan apa yang dilakukan oleh Adam dalam salat to’at-nya. Begitupun Aki-Nini Oma diperintahkan untuk bercocok tanam dan tidak lupa membayar zakat. Ini menjadi bukti jelas akulturasi Sunda-Islam, yang dalam mitologi Sri Sadana menjelaskan padi diciptakan dari kreasi para Dewa-Dewi (terutama para Pohaci atau Dewi Sri) yang merupakan unsur budaya Hindu, namun ternyata


(37)

setelah bercocok tanam itu berhasil, maka diperintahkan mengeluarkan zakat, yang tentu itu adalah versi Islam.

Begitu pula konsep puasa muncul secara tersirat dari pernyataan alur cerita yang menekankan pentingnya puasa syahwat dalam menjalani kehidupan yang harmonis dan setara. Pelanggaran terhadap puasa ini berakibat datangnya malapetaka cosmos. Hal ini terlihat dari kisah Malaikat Kalamula yang kehausan kemudian minum, dan pada akhirnya menimbulkan malapetaka dengan munculnya seribu satu macam hama darat dan seribu satu macam hama air.

Juga dalam konsep haji, muncul pesona Sri Sadana yang mengisahkan para Budugbasu yang mengelilingi tujuh kali kuburan Nyi Pohaci. Nyi Pohaci adalah simbol suci yang menurunkan semua jenis tanaman pokok, sekaligus sanggup membangkitkan rasa, cahaya, kekuasaan, dan memajukan umat manusia. Sehingga, nilai-nilai yang terdapat dalam pilar Rukun Islam dengan jelas telah merasuki alam pikiran Sunda dalam carita Sri Sadana.

Pesan feminisme Sri Sadana terhadap perempuan post-modern adalah perjuangan feminisme harmonisasi, saling melengkapi. Perjuangan feminisme Sri Sadana adalah perjuangan yang luwes, tanpa ekses. Bukti rasa kefeminisannya terlihat dengan karya dan kerja yang menempatkan mitos perempuan Sunda dalam posisi yang penting. Keberadaannya memang


(38)

menjadi pelengkap, namun saling melengkapi itu adalah dasar dari sebuah harmonisasi dan kesetaraan. Mitologi Sri Sadana yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam menegasikan akan hal itu. Tulang rusuk tidak pernah menjadi simbol penginjakan dan penindasan kaum laki-laki, namun menjadi pelengkap dan pendamping setia.

2. Temuan Penelitian

Dari temuan penelitian ini dibagi dua, yaitu temuan makna dan temuan masalah, antara lain:

2. 1. Temuan Makna

Temuan makna yang diperoleh oleh peneliti dalam carita pantun Sri Sadana antara lain pantun ini dalam konteks nilai-nilai Pendidikan Umum didominasi oleh makna-makna simbolik, estetik, dan etika. Sehingga, peneliti tidak menemukan gejala feminisme sebagai sebuah gerakan dalam kebudayaan, tetapi menemukan femenisme sebagai sebuah nilai/ide.

Ketiga makna yang disebut di atas ini, terdapat dan menjawab semua pertanyaan penelitian ini. Pertama, proses dan bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam pantun Sunda Sri Sadana dalam konteks kesusastraan mengandung makna simbolik dan estetik. Kedua, nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada pantun Sunda Sri Sadana


(39)

dikaitkan dengan kesetaraan gender adalah kajian makna etika. Ketiga, nilai-nilai Islami yang melekat pada pantun Sri Sadana menggunakan bedah analisis temuan makna etika. Keempat, sikap perempuan Sunda yang mencerminkan nilai Sunda Islami berbasis kesetaraan gender tersebut memunculkan pesona dan citra unggul perempuan Sunda. Sosok mojang priangan merupakan sosok perempuan Sunda terkenal dengan kecantikan fisik, fashionable, dan mampu menempati pos penting jabatan. Hal ini merupakan temuan makna estetik dan etik. 2.2 Temuan Masalah

Adapun temuan masalah yang didapatkan dari penelitian ini yang perlu direkomendasikan adalah:

Pertama, dalam proses dan bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam pantun Sunda Sri Sadana, masih ada segolongan masyarakat yang menganggap kebudayaan hasil akulturasi Sunda-Islam itu sebagai gejala penyimpangan ajaran baru. Bahkan nilai-nilai islami yang melekat pada pantun Sri Sadana dalam golongan masyarakat tertentu dipandang sebuah sinkretisme baru.

Kedua, dalam nilai-nilai kesundaan yang terdapat pada pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan kesetaraan gender, dikhawatirkan munculnya subordinasi perempuan kepada lawan jenis dalam relasi gendernya.


(40)

Ketiga, dalam konteks sikap perempuan Sunda yang mencerminkan nilai Sunda Islami berbasis kesetaraan gender tidak semuanya orang faham akan hal tersebut. Jangankan mereka faham akan nilai Sunda-Islam dalam mitologi Sri Sadana, dalam berbahasa pun mereka belum mencerminkan budaya Sunda, walaupun mereka tinggal di Jawa Barat. Hal ini menjadikan sebuah temuan masalah, bisa jadi unggulnya perempuan postmodern sekarang bukan terinspirasi oleh pesona keunggulan perempuan Sunda dalam Sri Sadana, tetapi benar-benar unggul dengan sendirinya.

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan makna dan temuan masalah dipandang perlu untuk memberikan beberapa rekomendasi penelitian ini, antara lain kepada:

1. Pemuka agama, tokoh masyarakat, dll., agar memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakatnya mengenai paradigma persoalan antara agama dan budaya, sehingga gejala akulturasi dan sinkretisme baru tidak menjadi persoalan SARA.

2. Para guru dan dosen, yang berkaitan dengan pendidikan nilai dan karakter dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, agar memberikan pemahaman yang benar mengenai posisi relasi gender antara laki-laki dan perempuan, agar menempatkan perempuan bukan sebagai imam, bukan


(41)

sebagai hamba, tetapi sebagai pendamping dari suami. Sehingga dengan nilai kesetaraan gender, kekhawatiran dominasi dan sub ordinasi perempuan Sunda terhadap kaum laki-laki, atau dominasi Kepala Rumah Tangga (perempuan) terhadap Kepala Keluarga (laki-laki) tidak ada dalam kultur masyarakat Sunda. Feminisme sebagai sebuah gerakan memang belum ada dalam masyarakat Sunda, namun mengingat sistem kebudayaan itu bersifat dinamis, maka dimungkinkan ada gejala gerakan feminisme berupa munculnya dominasi perempuan terhadap laki-laki.

3. Seluruh Ki Sunda agar hati-hati memahami ajaran agamanya dengan baik, sehingga masyarakat yang kurang memahami agama, berhati-hati agar tidak terpengaruh oleh nilai-nilai kesundaan yang bercampur aduk dengan ajaran atau ritual agama (khususnya Islam).

4. Kepada peneliti lebih lanjut, hasil ini dapat dijadikan dasar untuk bahan penilitian selanjutnya.


(42)

Daftar Pustaka

Al-Qur’anul Karim.

Abduh, Muhammad. 1964. Islam Din wa Madaniyyah. Cairo: Majlis

Al-‘Ala li Syu’un al-Islamiyah.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. 2010. Bandung: IPIPI.

Alwasilah, A. Chaedar 2011, Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, Pustaka Jaya, Jakarta.

Ali, Mukti. Ilmu Perbandingan Agama, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1967

Arikunto, S. 2006, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Arivia, Gadis. 2002. Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berspektif Feminis. Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

__________ 2007, “Pijakan Keberagaman: Sexual Difference”, vol 54 tahun 2007, Jurnal Perempuan, Jakarta.

Ar-Razi, Fakhrudin, Mafatih al-Ghaib, dalam Maktabah Syamilah. Atmamihardja. 1958. Sejarah Sunda I. Bandung: Ganaco.

At-Thabari , Muhammad Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, 6:274, dalam Maktabah as-Syamilah.

Bachtiar, Tiar Anwar 2011, Kartini dan Ilusi Partriarkhi di Indonesia, vol. 1. Th 49 JU 1432, Majalah Risalah, Bandung.

Badawi, El-Said M.; Haleem, M. A. Abdel. 2008. Arabic-English dictionary of Qur'anic usage, Brill Academic Publishers.

Beauvoir, Simone de. 1997. The Second Sex. Parshley: Vintage.

Bhasin, Kamla&Khan 1995, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bisri, Cik Hasan, peny. 2005. Pergumulan Islam. Bandung: Kaki Langit. Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT. Gramedia. Bungin, B 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: RajaGrafindo

Persada.

Burger dan Prajidi. 1960. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta. Carson, Rachel. 1962. Silent Spring. Boston: Houghton Mifflin.


(43)

Cronin, Anne M. 2000. Advertising and Consumer Citizenship-Gender, Images and Right. Routledge.

Davis, Angela 1982, Women, Race, and Class, Pandora, London.

Derrida, Jacques 1978, Writing and Difference, Routledge Classics, London. De Stuers, Cora Vreede 2008, Sejarah perempuan Indonesia: Gerakan dan

Pencapaian, Komunitas Bambu, Jakarta.

Deutchter, Penelope. 1997. Yieding Gender-Feminism, Deconstruction and The History of Philosophy. Routledge.

Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia: Suatu Tinjauan Sejarah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, sabtu, 16 Desember 1995, Bandung. ____________. 2004. Kebangkitan Kembali, Orang Sunda. Bandung: Kiblat. ____________. 2005. Kebudayaan Sunda: Kerajaan Pajajaran Jilid 2. Jakarta:

Pustaka Jaya.

Elstain, Jean Bethke. 1981. Public Man, Private Women. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Fakih, Mansour 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fromm, Erich, Psychoanalisys and Religion, Yale University Press, New Heaven & London, 1976.

Gatens. 1996. Imaginary Bodies: Ethics, Power, and Corporeality. Routledge. Hakim, Wildan. 2008. Memaknai Pluralitas Budaya Sunda dalam perspektif

Islam, dalam Ranita Dewi, Kesalehan Multikultural: Menelusuri Nilai-Nilai al-Quran dalam Praksis Budaya Lokal. Bandung: Pemprop Jabar. Haekal, Muhammad Husain. 2003. Usman bin Affan. Bogor: Pustaka Litera

Antar Nusa

Harsojo. 2004. Kebudayaan Sunda. dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Heyneman, Stephen P.,2004. Islam and Social Policy. Nashville: Vanderbilt University Press.

Husaini, Adian. 2010. Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya terhadap Islam. Dalam Jurnal Islamia, volume III No.5, 2100.


(44)

Kahmad, Dadang. 1999. Kecenderungan Mistik Orang Sunda Modern, Jurnal Budaya Dangiang, edisi I/Mei-Juli 1999, Bandung.

K.M, Saini. 1999. Pelik-Pelik Kebudayaan Sunda, dalam Jurnal Budaya Dangiang, edisi I/Mei-Juli 1999, Bandung.

M. Karam, Azza 1998, Women, Islamisms and the State: Contemporary

Feminisms in Egypt, Macmillan Press Ltd, London.

Maleong, Lexy, J. 1991, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: P3T Depdikbud.

Ja'farian, Rasul (2003). Sejarah Islam : sejak wafat Nabi SAW hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayah (11 - 132 H). Lentera.

Kumar, Ann 2008, Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18, Komunitas Bambu, Jakarta.

Kaplan, Abraham 1964, The Conduct of Inquiry: Methodologies for Behavioral Sciences, Chandler Publishing, Scranton, Pensylvania.

Kristeva, Julia dan Moi, Toril (ed.). 1986. The Kristeva. Reader: Columbia.

Lechte, John 2001, 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta.

Lewis, James R., Oliver, Evelyn Dorothy, Sisung Kelle S. (Editor). 1996. Angels A to Z. Visible Ink Press

Lubis, Nina H, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Jilid I dan II. Bandung: Satya Historika.

Lulofs, M.H Szekely 2010, Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh, Komunitas Bambu, Jakarta.

Lupton, Deborah 1994, Medicine as Culture: Illnes, Disease, and the Body in Western Societies, SAGE Publications, London.

Mardiwarsito. 1990. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Fores: Nusa. Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda?. Bandung: Mizan.

Mufti, Muhammad Ahmad dan al-Wakil, Sami. 1992. At-Tasyri’ wa Sannul Qowannin fid Daulah Islamiyah. Beirut: Darun Nahdlah al-Islamiyah. Mustafa, Hasan. 1996. Etos kerja dalam Era Industrialisasi. Disertasi di

Universitas Padjadjaran.

M. Natsir, Kapita Selekta Bulan Bintang, Jakarta, 1973

Muhammad, Afif. 2004. Dari Teologi ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb. Bandung: Pena Merah.


(45)

Owen, Lara. 1993. Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Fransisco: harper San Fransisco.

Peters, F.E., 1995, The Hajj: the Muslim pilgrimage to Mecca and the holy places, Princeton University Press.

Philip J, Adler. 2000. World Civilization. Belmont: Wasworth.

Rahardjo, M. Dawam. 2002. Islam dan Transformasi Budaya. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa.

Rajab, Budi. 1993. Etos Kewirausahaan pada Masyarakat Sunda di Pedesaan, dalam Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang edisi I/Mei-Juli 1999. Bandung.

Rasjidi, 1974. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. 1974. Jakarta. Bulan Bintang.

Robert, Paul. 1978. Le Petit. Robert 1 Paris: Sn. 1.

Rohaedi, Ayat 2002, Citra Perempuan dalam Sastra Sunda, Pikiran Rakyat edisi 8 Agustus 2002, Bandung.

Rosen, Steven. 2000. Focusing on the Flesh, Merleu Ponty of Why Iam Still a

“Talking Head”. City University of New York.

Rosidi, Ajip. 1970, Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana, Projek Penelitian Pantun, Bandung.

_________. 1985. Manusia Sunda. Jakarta: Inti Idayu Press. _________. 1996. Pancakaki. Bandung: Giri Mukti Pustaka.

_________. 2005. Seri Sundalana 4: Islam dalam Kesenian Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.

_________. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rowbotham, Sheila. 1992. Women in Movement: Feminism and Social Action. New York: Rountledge.

Ruhaini, Siti 1995, Gender dalam Perspektif Islam: Studi terhadap Hal-Hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam Mansour Faqih, ed., Membincang Feminisme: Diskursus Gender dalam Perspektif Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sara Ahmad, Jane Kilby, Celia Lury, et. All. 2000. Introduction, Transpormation-Thinking Through Feminism. Routledge.


(46)

Siddique, Sharon. 1986. Conceptualizing Contemporary Islam, dalam Ahmad Ibrahim et. All. Reading on Islam in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies, Singapura.

Smith, Huston.2001. Agama-agama Manusia. Jakarta: Obor.

Soekarno 1963, Sarinah, Cetakan 3, Panitia Penerbitan Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno.

________, 1960. Pancasila Dasar Filsafat Negara, Empu Tantular, Jakarta. Soewardi, Herman. 2001. Etos Kerja Orang Sunda, makalah dalam Internasional

Congress of Sundanese Culture, 22-25 Agustus 2001. Bandung, Gedung Merdeka.

Suharto. 2002. Pagoejoeban Pasoendan 1927-1942: Profil Pergerakan Etnonasionalis. Bandung: Satya Historika.

Sugiyono 2002, Metode Penelitian Administratif, Alfabeta, Bandung.

________2008. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sururin, dkk. 2005. Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak. Bandung: Nuansa.

Sudjana, Nana, 1989, Penelitian dan Penilaian dalam Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.

Sumardjo, Jacob 2003, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda, Kelir, Bandung.

Suryalaga, Hidayat. 1997. Rineka Budaya Sunda: Kumpulan Karangan. Bandung: CV. Geger Sunten.

Suryaman, Maman. 2001. Kesiapan Masyarakat Sunda Menghadapi Era Global, makalah dalam International Congress of Sundanese Culture, 22-25 Agustus 2001. Bandung, Gedung Merdeka.

Stanton, Elizabeth Cady 1982, History of Women Suffrage, dalam Dale Spender, Women of Ideas, Pandora, London.

Syarief, Nasruddin 2011, “Islam Menolak Kesetaraan Gender”, vol. 1. Th 49 JU 1432, Majalah Risalah, Bandung.

Tim Riset BPPM UGM Balairung. 2004. Jurnal Balairung Edisi 37 Th, XVIII 2004, t.p. Yogyakarta.

T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terjemahan Arab oleh Abdul al-Hadi Abu Raidah. 1938. Kairo: Lajnah al-Ta`lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr. Usman, Syafrein Effendi dan Norain Ishak, 1992. Nafsu dan Perkahwinan,


(47)

Wadud, Amina. 2001. Quran Menurut Perempuan. Jakarta: Serambi.

Warnaen, Suwarsih. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti yang tercermin dalam Tradisi Lisan dan sastra Sunda. bandung: Depdikbud. Warren, Karen J. 1987. Femininism and Ecology. Environmental Review 9, no.1

1987.

Yudho P. 2001. Cerita 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Serambi.

Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2010. Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Dalam Jurnal Islamia, volume III No.5, 2100.

Ziaulhaq, Moch 2012, Perempuan Pasundan, Pustaka sunda, diakses 6 Januari 2012, http://pustakasunda.com

Daftar Unduhan:

"Satan" under Bible Dictionary result. Dictionary.com Wikipedia.com


(1)

Daftar Pustaka

Al-Qur’anul Karim.

Abduh, Muhammad. 1964. Islam Din wa Madaniyyah. Cairo: Majlis Al-‘Ala li Syu’un al-Islamiyah.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. 2010. Bandung: IPIPI.

Alwasilah, A. Chaedar 2011, Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, Pustaka Jaya, Jakarta.

Ali, Mukti. Ilmu Perbandingan Agama, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1967

Arikunto, S. 2006, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Arivia, Gadis. 2002. Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berspektif Feminis. Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

__________ 2007, “Pijakan Keberagaman: Sexual Difference”, vol 54 tahun 2007, Jurnal Perempuan, Jakarta.

Ar-Razi, Fakhrudin, Mafatih al-Ghaib, dalam Maktabah Syamilah. Atmamihardja. 1958. Sejarah Sunda I. Bandung: Ganaco.

At-Thabari , Muhammad Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, 6:274, dalam Maktabah as-Syamilah.

Bachtiar, Tiar Anwar 2011, Kartini dan Ilusi Partriarkhi di Indonesia, vol. 1. Th 49 JU 1432, Majalah Risalah, Bandung.

Badawi, El-Said M.; Haleem, M. A. Abdel. 2008. Arabic-English dictionary of Qur'anic usage, Brill Academic Publishers.

Beauvoir, Simone de. 1997. The Second Sex. Parshley: Vintage.

Bhasin, Kamla&Khan 1995, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bisri, Cik Hasan, peny. 2005. Pergumulan Islam. Bandung: Kaki Langit. Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT. Gramedia. Bungin, B 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: RajaGrafindo

Persada.


(2)

Cronin, Anne M. 2000. Advertising and Consumer Citizenship-Gender, Images and Right. Routledge.

Davis, Angela 1982, Women, Race, and Class, Pandora, London.

Derrida, Jacques 1978, Writing and Difference, Routledge Classics, London. De Stuers, Cora Vreede 2008, Sejarah perempuan Indonesia: Gerakan dan

Pencapaian, Komunitas Bambu, Jakarta.

Deutchter, Penelope. 1997. Yieding Gender-Feminism, Deconstruction and The History of Philosophy. Routledge.

Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia: Suatu Tinjauan Sejarah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, sabtu, 16 Desember 1995, Bandung. ____________. 2004. Kebangkitan Kembali, Orang Sunda. Bandung: Kiblat. ____________. 2005. Kebudayaan Sunda: Kerajaan Pajajaran Jilid 2. Jakarta:

Pustaka Jaya.

Elstain, Jean Bethke. 1981. Public Man, Private Women. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Fakih, Mansour 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fromm, Erich, Psychoanalisys and Religion, Yale University Press, New Heaven & London, 1976.

Gatens. 1996. Imaginary Bodies: Ethics, Power, and Corporeality. Routledge. Hakim, Wildan. 2008. Memaknai Pluralitas Budaya Sunda dalam perspektif

Islam, dalam Ranita Dewi, Kesalehan Multikultural: Menelusuri Nilai-Nilai al-Quran dalam Praksis Budaya Lokal. Bandung: Pemprop Jabar. Haekal, Muhammad Husain. 2003. Usman bin Affan. Bogor: Pustaka Litera

Antar Nusa

Harsojo. 2004. Kebudayaan Sunda. dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Heyneman, Stephen P.,2004. Islam and Social Policy. Nashville: Vanderbilt University Press.

Husaini, Adian. 2010. Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya terhadap Islam. Dalam Jurnal Islamia, volume III No.5, 2100.


(3)

Kahmad, Dadang. 1999. Kecenderungan Mistik Orang Sunda Modern, Jurnal Budaya Dangiang, edisi I/Mei-Juli 1999, Bandung.

K.M, Saini. 1999. Pelik-Pelik Kebudayaan Sunda, dalam Jurnal Budaya Dangiang, edisi I/Mei-Juli 1999, Bandung.

M. Karam, Azza 1998, Women, Islamisms and the State: Contemporary

Feminisms in Egypt, Macmillan Press Ltd, London.

Maleong, Lexy, J. 1991, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: P3T Depdikbud.

Ja'farian, Rasul (2003). Sejarah Islam : sejak wafat Nabi SAW hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayah (11 - 132 H). Lentera.

Kumar, Ann 2008, Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18, Komunitas Bambu, Jakarta.

Kaplan, Abraham 1964, The Conduct of Inquiry: Methodologies for Behavioral Sciences, Chandler Publishing, Scranton, Pensylvania.

Kristeva, Julia dan Moi, Toril (ed.). 1986. The Kristeva. Reader: Columbia.

Lechte, John 2001, 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta.

Lewis, James R., Oliver, Evelyn Dorothy, Sisung Kelle S. (Editor). 1996. Angels A to Z. Visible Ink Press

Lubis, Nina H, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Jilid I dan II. Bandung: Satya Historika.

Lulofs, M.H Szekely 2010, Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh, Komunitas Bambu, Jakarta.

Lupton, Deborah 1994, Medicine as Culture: Illnes, Disease, and the Body in Western Societies, SAGE Publications, London.

Mardiwarsito. 1990. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Fores: Nusa. Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda?. Bandung: Mizan.

Mufti, Muhammad Ahmad dan al-Wakil, Sami. 1992. At-Tasyri’ wa Sannul Qowannin fid Daulah Islamiyah. Beirut: Darun Nahdlah al-Islamiyah. Mustafa, Hasan. 1996. Etos kerja dalam Era Industrialisasi. Disertasi di

Universitas Padjadjaran.

M. Natsir, Kapita Selekta Bulan Bintang, Jakarta, 1973

Muhammad, Afif. 2004. Dari Teologi ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb. Bandung: Pena Merah.


(4)

Owen, Lara. 1993. Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Fransisco: harper San Fransisco.

Peters, F.E., 1995, The Hajj: the Muslim pilgrimage to Mecca and the holy places, Princeton University Press.

Philip J, Adler. 2000. World Civilization. Belmont: Wasworth.

Rahardjo, M. Dawam. 2002. Islam dan Transformasi Budaya. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa.

Rajab, Budi. 1993. Etos Kewirausahaan pada Masyarakat Sunda di Pedesaan, dalam Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang edisi I/Mei-Juli 1999. Bandung.

Rasjidi, 1974. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. 1974. Jakarta. Bulan Bintang.

Robert, Paul. 1978. Le Petit. Robert 1 Paris: Sn. 1.

Rohaedi, Ayat 2002, Citra Perempuan dalam Sastra Sunda, Pikiran Rakyat edisi 8 Agustus 2002, Bandung.

Rosen, Steven. 2000. Focusing on the Flesh, Merleu Ponty of Why Iam Still a “Talking Head”. City University of New York.

Rosidi, Ajip. 1970, Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana, Projek Penelitian Pantun, Bandung.

_________. 1985. Manusia Sunda. Jakarta: Inti Idayu Press. _________. 1996. Pancakaki. Bandung: Giri Mukti Pustaka.

_________. 2005. Seri Sundalana 4: Islam dalam Kesenian Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.

_________. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rowbotham, Sheila. 1992. Women in Movement: Feminism and Social Action. New York: Rountledge.

Ruhaini, Siti 1995, Gender dalam Perspektif Islam: Studi terhadap Hal-Hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam Mansour Faqih, ed., Membincang Feminisme: Diskursus Gender dalam Perspektif Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sara Ahmad, Jane Kilby, Celia Lury, et. All. 2000. Introduction, Transpormation-Thinking Through Feminism. Routledge.


(5)

Siddique, Sharon. 1986. Conceptualizing Contemporary Islam, dalam Ahmad Ibrahim et. All. Reading on Islam in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies, Singapura.

Smith, Huston.2001. Agama-agama Manusia. Jakarta: Obor.

Soekarno 1963, Sarinah, Cetakan 3, Panitia Penerbitan Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno.

________, 1960. Pancasila Dasar Filsafat Negara, Empu Tantular, Jakarta. Soewardi, Herman. 2001. Etos Kerja Orang Sunda, makalah dalam Internasional

Congress of Sundanese Culture, 22-25 Agustus 2001. Bandung, Gedung Merdeka.

Suharto. 2002. Pagoejoeban Pasoendan 1927-1942: Profil Pergerakan Etnonasionalis. Bandung: Satya Historika.

Sugiyono 2002, Metode Penelitian Administratif, Alfabeta, Bandung.

________2008. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sururin, dkk. 2005. Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak. Bandung: Nuansa.

Sudjana, Nana, 1989, Penelitian dan Penilaian dalam Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.

Sumardjo, Jacob 2003, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda, Kelir, Bandung.

Suryalaga, Hidayat. 1997. Rineka Budaya Sunda: Kumpulan Karangan. Bandung: CV. Geger Sunten.

Suryaman, Maman. 2001. Kesiapan Masyarakat Sunda Menghadapi Era Global, makalah dalam International Congress of Sundanese Culture, 22-25 Agustus 2001. Bandung, Gedung Merdeka.

Stanton, Elizabeth Cady 1982, History of Women Suffrage, dalam Dale Spender, Women of Ideas, Pandora, London.

Syarief, Nasruddin 2011, “Islam Menolak Kesetaraan Gender”, vol. 1. Th 49 JU 1432, Majalah Risalah, Bandung.

Tim Riset BPPM UGM Balairung. 2004. Jurnal Balairung Edisi 37 Th, XVIII 2004, t.p. Yogyakarta.

T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terjemahan Arab oleh Abdul al-Hadi Abu Raidah. 1938. Kairo: Lajnah al-Ta`lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr. Usman, Syafrein Effendi dan Norain Ishak, 1992. Nafsu dan Perkahwinan,


(6)

Wadud, Amina. 2001. Quran Menurut Perempuan. Jakarta: Serambi.

Warnaen, Suwarsih. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti yang tercermin dalam Tradisi Lisan dan sastra Sunda. bandung: Depdikbud. Warren, Karen J. 1987. Femininism and Ecology. Environmental Review 9, no.1

1987.

Yudho P. 2001. Cerita 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Serambi.

Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2010. Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Dalam Jurnal Islamia, volume III No.5, 2100.

Ziaulhaq, Moch 2012, Perempuan Pasundan, Pustaka sunda, diakses 6 Januari 2012, http://pustakasunda.com

Daftar Unduhan:

"Satan" under Bible Dictionary result. Dictionary.com Wikipedia.com