PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ADAT CIKONDANG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI MADRASAH ALIYAH AL-HIJRAH.

(1)

PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ADAT

CIKONDANG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

DI MADRASAH ALIYAH AL-HIJRAH

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh Iing Yulianti

1103397

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013


(2)

PewarisanNilai-NilaiBudayaMasyarakatAdatCikondang dalamPembelajaranSejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah

Oleh IingYulianti S.Pd UPI, 2009

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Sejarah

© IingYulianti 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

(4)

i

ABSTRAK

Tesis ini mengambil judul “Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang dalam Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah”. Pendidikan sebagai suatu sarana untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai sarana pewarisan nilai budaya berperan sangat penting dalam melestarikan dan mengembangkan pemahaman terhadap nilai-nilai budaya yang dititik beratkan pada peran sekolah sebagai wadah berlangsungnya kegiatan pendidikan yang merupakan bagian dari masyarakat. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana masyarakat adat Cikondang mempertahankan nilai (value) lama yang tentunya memiliki relevansi dengan kehidupan saat ini sehingga masyarakat bisa berubah lebih baik serta tentang pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang khususnya pada kalangan generasi muda Cikondang yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah melalui pendidikan sejarah. Peneliti merumuskan penelitian ini ke dalam empat pertanyaan yaitu: bagaimana profil kehidupan masyarakat adat Cikondang, nilai-nilai budaya apa saja yang dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah, bagaimana aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah, bagaimana internalisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah bagi peserta didik di Madarasah Aliyah Al-Hijrah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan, nilai-nilai budaya dari masyarakat Cikondang yang dapat diaktualisasikan dan diinternalisasikan dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah yaitu meliputi: kearifan ekologi, penghargaan terhadap sejarah, budaya gotong royong, kearifan pendidikan, dan kearifan ekonomi. Guru telah menjadikan masyarakat dan lingkungan sekitarnya sebagai sumber pembelajaran, sehingga peserta didik dapat mencocokan apa yang diterima di dalam kelas dengan kenyataan yang ada di lingkungannya. Aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah dilakukan melalui metode out door learning. Metode ini efektif diterapkan dalam rangka pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang. Internalisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah bagi peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah dilakukan melalui proses pembelajaran, habituasi, kegiatan ekstrakurikuler, dan bekerjasama dengan keluarga dan masyarakat dalam pengembangannya. Internalisasinya nampak dari perilaku dan kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai budaya Cikondang yang dihayati dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Dengan demikian pewarisan nilai kearifan lokal sangat penting untuk menjadikan pembelajaran sejarah semakin bermakna sehingga peserta didik akan mengenal dan memahami nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kebudayaannya. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah memiliki potensi yang besar sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai budaya yang teruji oleh zaman.


(5)

i


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kearifan Lokal ... 13

B. Teori Kontak Kebudayaan dan Pewarisan Nilai ... 16

1. Teori Kontak Kebudayaan ... 16

2. Teori Pewarisan Nilai ... 20

C. Pendidikan Sebagai Pewarisan Nilai ... 25

D. Tujuan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Sejarah ... 29

E. Pendidikan Sejarah dan Kesadaran Sejarah ... 33

1. Pendidikan Sejarah ... 33


(7)

F. Pandangan Hidup Orang Sunda ... 41

G. Falsafah Pendidikan Masyarakat Sunda ... 47

H. Nilai Budaya dalam Masyarakat Cikondang ... 48

I. Penelitian Terdahulu ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 57

B. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 60

C. Instrumen Penelitian ... 60

D. Teknik Pengumpulan Data ... 62

E. Teknik Analisis Data ... 73

F. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 78

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 81

1. Profil Masyarakat Adat Cikondang ... 81

a. Keadaan Lokasi dan Lingkungan Kampung Cikondang ... 81

b. Sejarah Kampung Cikondang ... 82

c. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Cikondang ... 87

d. Pedoman Hidup dan Sistem Nilai ... 93

e. Pola Pemukiman dan Rumah Adat ... 97

f. Nilai Kearifan Lokal dalam Bentuk Upacara-Upacara Adat . 100 2. Nilai-nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah ... 108

a. Kearifan Ekologi ... 109

b. Penghargaan terhadap Sejarah ... 110

c. Budaya Gotong Royong ... 113

d. Kearifan Pendidikan ... 115

e. Kearifan Ekonomi ... 117

3. Aktualisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang dalam Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 119


(8)

4. Internalisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang melaluiPembelajaran Sejarah Bagi Peserta Didik di Madrasah

Aliyah Al-Hijrah ... 129

B. Pembahasan ... 141

1. Analisis terhadap Profil Masyarakat Adat Cikondang ... 141

2. Analisis terhadap Nilai-nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah ... 162

3. Analisis terhadap Aktualisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang dalam Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 173

4. Analisis terhadap Internalisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang melalui Pembelajaran Sejarah Bagi Peserta Didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 179

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 193

B. Rekomendasi ... 195

DAFTAR PUSTAKA ... 197


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

4.1 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Umur dan

Jenis Kelamin ... 88

4.2 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Mata Pencaharian ... 89

4.3 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 90

4.4 Hubungan Tata Lingkungan dan Tata Adat (Rumah Adat) ... 149

4.5 Hubungan Tata Lingkungan dan Tata Adat (Pola Pemukiman) ... 151

4.6 Hubungan Tata Lingkungandan Tata Adat (Hutan) ... 153


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan

2.1 Tritangtu Sunda dalam Pengaturan Kampung dan Negara ... 45 4.1 Proses Pemanfaatan Kearifan Lokal Cikondang dalam Pembelajaran

Sejarah ... 175 4.2 Alur Interaksi Sistematik antara Sekolah dengan Lingkungan Sekolah 189


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

4.1 Bumi Adat Cikondang ... 99 4.2 Upacara Adat WukuTaun ... 103 4.3 Gotong Royong Hakiki dalam Upacara Adat Wuku Taun ... 115


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Observasi dan Wawancara Lampiran 2. Daftar Narasumber

Lampiran 3. Foto Kampung Cikondang dan Kegiatan Peserta Didik bersama Peneliti

Lampiran 4. Profil Madrasah Aliyah Al-Hijrah

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan atau Observasi Lampiran 6. Surat Keterangan Pengangkatan Pembimbing Tesis

Lampiran 7. Surat Keterangan Penelitian di Madrasah Aliyah Al-Hijrah

Lampiran 8. Surat Rekomendasi Penelitian dari Kantor Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini budaya, menjadi bagian penting dalam menumbuhkan dan membangun jati diri. Budaya turut memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk karakter bangsa yang selama ini tergerus oleh pengaruh luar. Dari sudut pandang tersebut bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumber daya atau keunggulan kompetitif karena dikaruniai keanekaragaman budaya. Kondisi tersebut diperkaya lagi dengan keberadaan sejumlah komunitas yang terdapat dalam kelompok suku bangsa tersebut, salah satunya yang dikenal dengan sebutan komunitas adat.

Komunitas adat merupakan suatu kesatuan lokal yang menempati suatu wilayah tertentu dan berinteraksi secara terus-menerus sesuai sistem adat istiadat tertentu pula. Dari definisi tersebut kita dapat melihat bahwa komunitas adat merupakan sekelompok orang dengan pranata-pranata sosial yang berdiri sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Komunitas adat lebih memilih untuk hidup dengan cara nenek moyang mereka dibandingkan terhegemoni oleh kebudayaan mayoritas. Perbedaan inilah yang menjadikan komunitas adat sebagai

kaum minoritas yang dianggap “berbeda” dengan masyarakat kebanyakan yang

bertindak sebagai mayoritas. Karena itu tidak berlebihan jika saya menyebutkan bahwa komunitas adat merupakan para penjaga warisan budaya.

Indonesia, ditandai dengan keragaman etnik dengan kemajemukan tradisi atau adat istiadat yang dijalankan dalam kesehariannya. Hal itu dapat menjadi benteng dalam menghadapi globalisasi dengan tata nilai yang bersifat asing bagi tata nilai masyarakat adat. Akibatnya, banyak komunitas adat secara kultural teralienasikan ‘cultural alienated’. Ia terasing dari dirinya karena terpojokkan dengan tata nilai baru, padahal mereka memiliki sistem kemasyarakatan tertentu


(14)

yang diikat oleh rasa solidaritas yang kuat sehingga menjadi satu kesatuan komunitas dan identitas sebagai ciri mandiri masyarakat adat.

Umumnya orang sependapat bahwa situasi dan kondisi kehidupan bangsa Indonesia sedang carut-marut dan sangat memprihatinkan di hampir semua sendi-sendi kehidupan. Penyebabnya terdiri atas banyak faktor yang jalin-menjalin melalui proses yang panjang. Lebih tegasnya, semua yang ada sekarang bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul begitu saja, dan segala sesuatu tentunya ada sejarahnya. Salah satu di antara banyak sebab yang ingin penulis kemukakan, adalah kurangnya kita bercermin dari peristiwa-peristiwa sejarah. Akar masalahnya dapat dicari pada cara pengajaran sejarah di sekolah-sekolah selama ini yang tidak komprehensif, sehingga membuat banyak di antara kita kurang memiliki kesadaran sejarah, dalam arti minimnya pemahaman akan asal-usul atas segala sesuatu yang menimpa kita, serta kurangnya kesediaan memetik nilai yang terkandung di dalamnya. Pada gilirannya kita menjadi masyarakat yang kurang mampu mengelola kebersamaan berikut potensi-potensi konflik yang mungkin timbul, terkait dengan kebhinekaan kita sebagai bangsa.

Fenomena sosial yang terjadi pada kaum muda Indonesia lebih kepada bentuk tergerusnya jati diri nasional dan tergantikan dengan jati diri baru bentukan dari globalisasi. Karena itu jika harus membahas pandangan kaum muda mengenai komunitas adat, tidak banyak yang dapat saya katakan, karena mereka akan lebih mengenal budaya pop dibandingkan budaya daerah. Para generasi muda akan lebih memilih Paris, Amerika, Korea, karena keindahan tempatnya, menonton konser musik idolanya, atau hanya sekedar shopping dibandingkan mengenal Baduy, Kampung Naga, Kampung Dukuh, Kampung Cikondang dsb. Walaupun pemerintahan mencanangkan sebuah program kepariwisataan edukasi terhadap komunitas-komunitas adat tetapi pada kenyataan hanya sedikit pihak yang berminat terhadap nilai-nilai yang dianut oleh komunitas adat.

Menurut pendapat saya, persepsi yang ada di masyarakat umum pada saat ini lebih melihat komunitas adat sebagai obyek wisata yang menarik karena

“berbeda”. Mereka melihat komunitas adat bukan sebagai suatu masyarakat yang


(15)

melihat kelompok orang yang berada dalam kategori “primitif”. Masyarakat pada

umumnya tidak melihat nilai-nilai yang dimiliki oleh berbagai komunitas adat di Indonesia bahkan lebih banyak kelompok yang tidak mengetahui apa itu komunitas adat.

Selain itu, komunitas adat lebih sering dikaitkan dengan kegiatan yang berbau mistik oleh masyarakat. Karena keilmuan yang mereka miliki lebih berbentuk lisan atau pamali yang diturunkan secara generasi ke generasi tanpa mengerti alasan di balik itu semua. Contoh kongkrit bisa kita lihat banyaknya komunitas adat yang memiliki hutan-hutan larangan. Dalam pengetahuan mereka, hutan larangan merupakan sesuatu yang dikeramatkan sehingga mendapatkan penjagaan dan ritual-ritual khusus dalam pengelolaannya. Mungkin jika kita melihat dalam persepsi mayarakat awam, hal itu tidak beralasan dan tidak rasional. Tetapi jika kita melihat fungsi hutan sebagai salah satu ekosistem penunjang kehidupan manusia, maka justru komunitas adat lebih memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungan, karena mereka menjadikan diri mereka sebagai bagian dari alam, bukan di atas alam itu sendiri. Tak jarang terdapat sebuah persepsi bahwa komunitas adat lebih terbelakang karena tidak rasional dibandingkan masyarakat kota, tetapi melihat kasus tersebut, terbersit sebuah pertanyaan dibenak saya, mana yang lebih terbelakang sebenarnya?. Dalam cara pandang ecopedagogy para siswa harus diberdayakan untuk memiliki pandangan kritis tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dan keterbatasan sumber daya alam, serta kemampuan beradaptasi

dengan lingkungan yang semakin berubah agar power (kuasa) melekat dalam diri mereka sehingga tidak menjadi korban dari hegemoni kelompok lain (Supriatna, 2012: 176). Pembelajaran sejarah berbasis ecopedagogy bertujuan untuk menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi atau kecerdasan ekologis. Kecerdasan yang dimaksud adalah berupa pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan, pemahaman tentang semakin terbatasnya sumber daya alam, kemampuan beradaptasi atau hidup selaras dengan lingkungan yang menjunjung tinggi keadilan demi menyiapkan generasi yang akan datang yang akan dihadapkan pada persoalan-persoalan ekologis (Supriatna, 2012:180). Merujuk


(16)

pendapat Goleman (2012) dalam (Supriatna, 2013:18) bahwa untuk mengembangkan kecerdasan ekologis (ecoliteracy), menyarankan pentingnya

developing emphaty for all forms of life; anticipating unintended consequences; embracing sustainability as a community practice); dan understanding how nature sustains life.

Pendidikan modern yang lebih mengarah pada rasionalitas seringkali mengabaikan ilmu pengetahuan-pengetahuan lokal yang kaya akan nilai-nilai budaya. Saya sangat sependapat bahwa bangsa yang besar perlu memiliki karakteristik yang kuat. Namun akan menjadi sebuah permasalahan jika kita tidak dapat mengenal jati diri bangsa kita sendiri. Bagaimana kita dapat memiliki sebuah identitas nasional jika tidak mengenal akar budaya nenek moyang kita? Jika fenomena ini terus berlanjut, mungkin beberapa tahun ke depan para pemuda Indonesia akan menjadi orang asing di negerinya sendiri. Mereka akan lebih mengenal cara hidup orang-orang barat dibandingkan cara hidup nenek moyangnya. Padahal baik dari segi geografis maupun sosial budaya, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara barat.

Hilangnya pengetahuan akan keberadaan komunitas adat pada kaum muda Indonesia merupakan sebuah hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak. Selain itu perlu adanya sebuah kebijakan baru yang tidak hanya melindungi komunitas adat tersebut, tetapi mengenalkan nilai-nilai ajaran luhur yang dimiliki oleh komunitas-komunitas adat di Indonesia terhadap kaum muda di Indonesia. Dalam antropologi sering dikenal istilah yang disebut dengan relativitas kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan memiliki nilai yang berbeda-beda sehingga tidak dapat dibandingkan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Masyarakat pada umumnya dan kaum muda pada khususnya sering kali salah paham dengan keberadaan komunitas adat, maupun ajaran-ajaran mereka. Sehingga tidak jarang mereka melihat komunitas adat sebagai sekumpulan orang dengan kepercayaan tertentu dan lebih berbau-bau mistik. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa tempat di komunitas adat seperti Kampung Cikondang misalnya, yang sering kali dijadikan tempat ritual oleh beberapa orang tertentu untuk mendapatkan keuntungan tertentu.


(17)

Padahal jika kita mau mengenal mereka dengan lebih baik, maka kita akan melihat bahwa pada dasarnya komunitas adat tidaklah berbeda dengan kelompok mayoritas. Mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai berdasarkan ajaran nilai-nilai tradisional. Bahkan terkadang komunitas adat dapat lebih bijak dalam beberapa hal dibandingkan masyarakat mayoritas. Karena itu perlu adanya sebuah program pengedukasian masyarakat tentang keberadaan komunitas adat, bukan hanya sekedar untuk menyadari eksistensi mereka, tetapi juga agar dapat lebih mengenal akar budaya kita sendiri, sehingga komunitas-komunitas adat tidak lagi menjadi kaum yang termarjinalkan karena perbedaan yang mereka miliki dengan masyarakat pada umumnya. Untuk itu, dalam mengatasi berbagai gejala seperti di atas, sebenarnya dapat dipahami bersama dengan pendekatan budaya, yaitu pendekatan dengan mempergunakan kearifan lokal.

Kebudayaan memiliki banyak definisi, salah satunya menyatakan bahwa kebudayaan merupakan pola cara berpikir, merasakan, dan bereaksi, yang terdapat dan disebarkan terutama melalui simbol, yang membentuk karakteristik pencapaian suatu kelompok manusia, termaksud gambaran yang mereka tuangkan dalam alat-alat mereka. Esensi atau inti kebudayaan berasal dari gagasan tradisional dan terutama nilai-nilai yang mereka pegang. Kebudayaan merupakan program pikiran kolektif, yang tidak hanya terwujud dalam nilai yang dipegang tetapi juga terwujud dalam simbol, pahlawan, dan ritual yang dilakukan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Geert Hofstede untuk mendapatkan gambaran suatu masyarakat misalnya, menjadikan kebudayaan sebagai tolak ukur dalam menggambarkan karakteristik suatu masyarakat. Merujuk pada penelitian Hofstede tersebut, dapat dilihat bahwa kebudayaan memiliki peranan penting dalam membentuk jati diri suatu bangsa.

Menurut Oakeshott dalam bukunya Ankersmit (1987:349) bahwa konsep perubahan sebetulnya merupakan sebuah konsep yang paradoksal, karena memperpadukan pengertian mengenai perbedaan, dengan pengertian mengenai sesuatu yang tetap sama. Berikut kutipannya di bawah ini:

Bila ada yang berubah maka ada juga unsur-unsur yang sama di dalam perubahan itu. Perubahan yang tidak dibarengi oleh sesuatu yang tetap


(18)

sama, merupakan kekacauan belaka, tak adanya tata tertib dan, aneh bin aneh, justru menimbulkan kesan mengenai sesuatu yang sama, tetap dan statis. Perubahan yang sejati mengadaikan adanya sesuatu yang sama, yang dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk mengukur perubahan.

Tetapi masih ada paradoks lain, yaitu makin banyak keterkaitan dan makin banyak yang tak berubah, makin besar juga sifat perubahan yang kita amati pada masa silam. Bila kita menyadari perubahan-perubahan dalam masyarakat, kita menjadi sadar pula akan tradisi-tradisi. Singkatnya baik sifat perubahan historis, maupun usaha-usaha untuk menyusun perubahan-perubahan itu menurut skema yang agak tetap, merupakan bagian-bagian dalam kesadaran historis.

Benar juga apa yang dikemukakan oleh futurolog, antara lain Naisbitt dan Aburdene (Wiriaatmadja, 2002:164) bahwa dalam proses homogenisasi global terkandung sekaligus hasrat untuk tetap mempertahankan identitas, apakah yang ditandai oleh agama, budaya, bahasa, nasionalitas, atau ras.

Dalam buku Ankersmit (1987:358-359) H. Zinn seorang sejarawan dari Kanada, Ia mulai menandaskan bahwa:

Harapan kita terhadap ilmu pengetahuan ialah supaya bermanfaat bagi masyarakat. Ia merasa heran, mengapa banyak sejarawan memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap masalah-masalah sosial di dalam masyarakat. Menurut dia, seorang sejarawan, bila memilih sebuah obyek bagi penelitian sejarah harus dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan sosial pada masa kini. Menurut perspektif itu, ia harus memilih obyek yang paling relevan. Keterlibatan Zinn bertujuan memberi jawaban kepada pertanyaan, aspek-aspek mana dalam masa silam paling berguna untuk diteliti.

Dalam berbagai tulisan Soedjatmoko mengingatkan kita betapa pentingnya sebagai bangsa memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah diartikan sebagai suatu refleksi tentang kompkleksitas perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang ingin melemparkan diri dari gangguan realitas yang ada. Dengan kesadaran sejarah, manusia berusaha menghargai upaya mengungkapkan terhadap kejadian-kejadian yang melingkupinya dan menghargai keunikan masing-masing keadaan. Kesadaran sejarah juga membantu manusia untuk waspada terhadap pemikiran yang telalu sederhana, analogi yang terlalu dangkal serta penerimaan pola-pola hukum yang terlalu mudah, mengarahkan


(19)

jalannya sejarah ataupun berada dalam cengkraman diterminisme sejarah. Untuk mewujudkan kesadaran sejarah seharusnya sebagai bangsa harus mampu mengambil makna atau pesan moral pada setiap peristiwa, jika tidak maka dalam konteks ini akan mewujudkan bahwa ketidak arifan dalam pemanfaatan kekayaan alam dan budi akal manusia itu pada akhirnya akan menghancurkan eksistensi kemanusiaan dan peradabannya sendiri (Soedjatmoko, 1995).

Dalam masa pembangunan dewasa ini, salah satu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kesadaran nasional sebagai daya mental dalam proses pembangunan nasional dan identitasnya. Struktur kepribadian nasional tersusun dari karakteristik perwatakan yang tumbuh dan melembaga dalam proses pengalaman sepanjang kehidupan bangsa. Dengan demikian kepribadian dan identitasnya bertumpu pada pengalaman kolektif, yaitu pada sejarahnya. Dalam konteks pembentukan identitas bangsa, maka pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang fundamental (Kartodirdjo, 1989).

Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada

pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan

transmission of culture” (Hasan, 1997:13). Pandangan tersebut sebenarnya

menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi

wahana pendidikan untuk mencapai “the glorious past” dalam arti agar generasi muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa. Pandangan semacam ini dalam

terminologi filasafat pendidikan disebut “perenialisme” (Supardan, 2004).

Perkembangan selanjutnya dalam pendidikan sejarah terjadi pergeseran dari perenialisme ke esensialisme bahkan rekonstruksionisme sosial bergabung secara ekletik (Hasan, 1999:9). Pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana memahami keagungan masa lampau dan pengembangan kemampuan intelektual tetapi juga menjadi wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya (historical minded), dan pada bagian


(20)

lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan” manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif, bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jeli, teliti sekaligus kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal sebuah perbandingan, dan sebuah singkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.

Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, manusia Indonesia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran

sejarah di sekolah, guru dan siswa tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah”, “melainkan belajar dari sejarah”. Prinsip pertama, akan membawa anak didik pada

setumpuk kisah dan data tentang peristiwa masa lampau yang syarat romantika, sedangkan prinsip kedua akan mengisi jiwa anak didik dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana, sebagai bentuk terinti dari kesadaran sejarah.

Hubungan sejarah dan pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan proses pewarisan nilai, yakni nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini. Bicara tentang nilai-nilai yang dikembangkan oleh generasi terdahulu sama artinya dengan bicara tentang makna dari sejarah. Dalam konteks seperti ini sejarah dapat kita pahami sebagai sekumpulan pengalaman hidup manusia pada masa lampau dalam bentuk kisah, baik lisan maupun tertulis. Proses pewarisan nilai ini tidak saja penting untuk membangun kepribadian, melainkan juga penting untuk mempersiapkan diri dalam rangka menghadapi tantangan pada masa kini dan masa yang akan datang.

Merujuk dari pendapat Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Untuk itu nilai-nilai sejarah harus dapat tercermin dalam pola prilaku


(21)

nyata peserta didik. Dengan melihat pola prilaku yang tampak, dapat mengetahui kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian baru dapat diketahui pembelajaran sejarah telah berfungsi dalam proses pembentukan sikap.

Kegiatan belajar dan pembelajaran memerlukan sumber belajar untuk memperlancar tercapainya tujuan belajar. Sumber belajar yang kontekstual tidak hanya berupa media di dalam kelas, tetapi memiliki sumber yang luas. Tidak hanya berupa sumber belajar bacaan, tetapi juga sumber belajar nonbacaan, termasuk di dalamnya kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar kehidupan siswa seperti adat istiadat (Komalasari, 2010:107).

Peran guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan memotivasi siswa agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang berupa orang, melainkan juga sumber-sumber belajar yang lain. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja dirancang untuk keperluan belajar, melainkan juga sumber belajar yang telah tersedia. Semua sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih, dan kita manfaatkan sebagai sumber belajar bagi siswa. Begitu halnya dalam penelitian ini dimana lingkungan sosial budaya dimana siswa tinggal dijadikan salah satu sumber belajar dalam pembelajaran sejarah.

Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah lain dengan masalah-masalah yang berbeda tentu tidak begitu saja akan menerima warisan itu. Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut (Saini, 2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna.

Keberadaan kampung adat Cikondang sebagai model dari masyarakat Sunda, artinya keberadaanya cukup representatif guna mewakili tata kehidupan orang Sunda masa silam dan dapat memberikan pemahaman atas sejumlah kepercayaan, adat istiadat, sistem pemerintahan, sistem teknologi, kesenian, pola kehidupan, bahasa, dan organisasi sosial masyarakat Sunda. Nilai-nilai budaya


(22)

Sunda yang masih relevan, dapat diwariskan sebagai bagian dari pendidikan sejarah, untuk menghadapi masalah yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Salah satunya melalui warisan tertulis atau lisan. Warisan tertulis dapat kita temukan dalam naskah-naskah lama. Naskah (manuskrip) secara implisit mengungkapkan tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu bangsa atau kelompok masyarakat yang menghasilkan naskah tersebut. Sementara itu, warisan lisan dapat dilacak dalam bentuk peribahasa, petatah-petitih orang tua.

Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat Cikondang memiliki nilai sosial-budaya yang dapat dikaji untuk dikembangkan dalam pembelajaran. Masyarakat adat yang kental dengan budaya kesetiakawanan sosial dalam melakukan aktivitas hidupnya, peduli terhadap alam, memiliki budaya gotong royong, musyawarah, kerukunan, dan juga memiliki beragam budaya dalam bentuk kesenian tradisional. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi muda dalam mengarungi hidup di era globalisasi dengan beragam pengaruh baik positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan pewarisan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat adat melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan nilai sejarah dan budayanya yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya menjadi manusia yang arif dan bijaksana memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran budaya sejak dini.

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji bagaimana masyarakat adat Cikondang mempertahankan nilai (value) lama yang tentunya memiliki relevansi dengan kehidupan saat ini sehingga masyarakat bisa berubah lebih baik serta tentang pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang pada lingkungan sekolah khususnya dalam pembelajaran sejarah di jenjang pendidikan menengah. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah memiliki potensi yang besar sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai budaya yang teruji oleh jaman.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, kesadaran sejarah perlu dibina khususnya di kalangan generasi muda Cikondang yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah. Pendeknya dibutuhkan


(23)

untuk membuat generasi muda lebih arif dan bijaksana dalam melakoni masa yang belum pasti, paling tidak kesadaran sejarah akan mengantarkan kita untuk tidak akan berbuat salah untuk kesalahan yang sama dimasa yang akan datang. Fokus pada penelitian ini adalah mengenai pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah khususnya pada generasi muda Cikondang yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang dan fokus penelitian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimana profil kehidupan masyarakat adat Cikondang?

2. Nilai-nilai budaya apa saja yang dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah? 3. Bagaimana aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam

pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?

4. Bagaimana internalisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah bagi peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?

D.Tujuan Penelitian

Dengan mendasarkan pada permasalahan penelitian yang ada, maka tujuan penelitian secara umum adalah untuk mendapatkan gambaran tentang proses internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah peserta didik. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan, antara lain sebagai berikut:

1. Mendapatkan gambaran empirik tentang profil kehidupan masyarakat adat Cikondang.

2. Mendapatkan gambaran empirik tentang nilai-nilai budaya yang dapat dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.


(24)

3. Mendapatkan gambaran empirik tentang aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

4. Mendapatkan gambaran empirik tentang internalisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah bagi peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

E.Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, peneliti juga berharap penelitian ini dapat memberi manfaat, khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi secara ilmiah mengenai internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah peserta didik.

b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih jauh mengenai internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah peserta didik.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam merencakan pembelajaran sejarah dan tujuan pembelajarannya.

b. Memotivasi peserta didik, guru, masyarakat bahkan pemerintah untuk terus memahami pentingnya pewarisan nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat adat sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan nilai sejarah dan budayanya yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya menjadi manusia yang arif dan bijaksana memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran budaya sejak dini.


(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian terhadap masalah pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah ini menggunakan pendekatan etnopedagogi, dengan ancangan kualitatif didasari oleh masalah yang diteliti bersifat etnografi yang membutuhkan observasi dan wawancara untuk mengungkap kebermaknaan secara interpretatif serta mengungkap jawaban sebagai pemecahan masalah penelitian. Menurut Creswell (2007) bahwa penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.

Menurut Bogdan dan Biklen (1990), mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati dan data yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata daripada angka-angka. Penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya.

Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian (Moleong, 2007:44). Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, Nasution


(26)

(2003:10) secara terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif, di antaranya lebih mengutamakan:

“Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut

partisipan”.

Peneliti kualitatif memandang kenyataan sebagai konstruksi sosial, individual atau kelompok menarik atau memberi makna kepada suatu kenyataan dengan mengkonstruksinya. Orang membentuk konstruksi untuk mengerti kenyataan-kenyataan dan dia memahami konstruksi sebagai suatu sistem pandangan, persepsi atau kepercayaan. Dengan perkataan lain, persepsi seseorang

adalah apa yang dia yakini sebagai “nyata” baginya dan terhadap hal itulah

tindakan, pemikiran, dan perasaannya diarahkan (McMillan and Schumacker, 2001).

Hasil-hasil pengamatan biasanya mencakup setting dari lingkungan hidup, lokasi dan kondisi fisik serta sosial dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Lokasi, lingkungan hidup dan kondisinya merupakan unsur-unsur tak terpisahkan dalam kajian mengenai kebudayaan, karena kebudayaan dan pranata-pranatanya hanya mungkin ada dan berkembang dalam suatu lingkungan hidup. Kegiatan penelitian dengan pendekatan kualitatif biasanya ditujukan untuk membuat sebuah etnografi. Etnografi dapat didefinisikan sebagai gambaran sebuah kebudayaan. Yaitu sebuah gambaran kebudayaan suatu masyarakat hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang diperolehnya selama di lapangan dan dengan fokus permasalahan tertentu (Suparlan, 2003:12).

Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas dan tujuan yang ingin dicapai penelitian ini, maka penelitian kualitatif yang dilakukan menggunakan studi etnografi pada setting masyarakat adat Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, serta mengingat dalam penelitian ini rumusannya adalah mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi secara detail mengenai pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang terhadap


(27)

generasi muda khususnya mereka yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah, yang dapat diperoleh dari partisipan penelitian secara alamiah.

Alasan menggunakan penelitian kualitatif etnografi, merujuk pada pendapat Creswell (2010:20) bahwa, etnografi merupakan salah satu strategi penelitian kualitatif yang di dalamnya peneliti menyelidiki suatu kelompok kebudayaan di lingkungan yang alamiah dalam periode waktu yang cukup lama dalam pengumpulan data yang utama, data observasi, dan data wawancara. Proses penelitiannya fleksibel dan biasanya berkembang sesuai kondisi dalam merespons kenyataan-kenyataan hidup yang dijumpai di lapangan.

Spradley (2007:3) menyatakan bahwa etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari etnografi adalah upaya untuk mempelajari makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Menurut Fraenkel & Wallen (1990) (Creswell, 2012:294) tujuan penelitian etnografis adalah memperoleh gambaran umum mengenai subjek penelitian. Penelitian ini menekankan aspek pemotretan pengalaman individu-individu sehari-hari dengan cara mengobservasi dan mewawancarai mereka dan individu-individu lain yang relevan.

Menurut Atkinson and Hammersley (1983:208) ada empat ciri etnografi, yaitu: pertama, menekankan ekplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu dan buka menguji hipotesis tentang fenomena tersebu; kedua, kecenderungan untuk bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat analisis yang tertutup; ketiga, investigasi terhadap sejumlah upacara, bahkan sangat mungkin hanya satu upacara, namun dilakukan secara rinci; keempat, analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal.

Penggunaan metode etnografi pada penelitian ini karena fokus penelitian yang dilakukan adalah mendeskripsikan dan memberi eksplanasi secara detail


(28)

fenomena budaya yang terjadi di tengah masyarakat Sunda dalam hal ini masyarakat adat Cikondang dan selanjutnya direkonstruksi berdasarkan partisipasi secara alamiah. Fenomena budaya tersebut berkenaan dengan pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, tradisi atau kebiasaan, simbol, bahasa dan praktek kehidupan sehari-hari, serta proses pewarisannya di tengah masyarakat Sunda. Berdasarkan kajian tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran nilai kearifan lokal masyarakat adat Cikondang yang dapat diwariskan kepada generasi muda melalui berbagai kegiatan di tengah masyarakat, termasuk melalui proses pendidikan di sekolah yang mencakup proses pembelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler, terutama melalui proses pengintegrasian dalam pembelajaran sejarah.

B.Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di masyarakat adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung dan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Subjek penelitian atau sumber data penelitian ini, dipilih secara purposive (teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu). Sumber data pada tahap awal memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti dianggap paling tahu tentang

apa yang kita harapkan, sehingga mampu “membukakan pintu” ke mana saja

seharusnya peneliti akan melakukan pengumpulan data hingga mencapai data jenuh. Subjek penelitian dalam studi ini adalah: 1) ketua adat masyarakat Cikondang 2) tokoh masyarakat, 3) guru, 3) peserta didik Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah paneliti itu sendiri, peneliti kualitatif sebagai human instrument berfungsi menetapkan data dan membuat kesimpulan. Fungsi peneliti dalam penelitian kualitatif menurut Nasution (2003:223) dinyatakan bahwa:


(29)

“Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain selain menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama, alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu di kembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat

satu-satunya yang dapat mencapainya”.

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri, Oleh karena itu

dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrument”, jadi peneliti

adalah instrumen kunci. Guba and Lincoln (1985:128) menjelakan bahwa peneliti diperankan sekaligus sebagai instrument. Peneliti berusaha untuk responsif dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklasifikasikan dan mengikhtisarkan. Adapun alat bantu yang dipergunakan peneliti dalam mempermudah pengumpulan data yaitu:

a. Catatan lapangan (field note): berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data atau informan. Catatan lapangan ini digunakan selama peneliti mewawancarai informan di Kampung Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan, terutama pada ketua adat, tokoh masyarakat, guru Madrasah Aliyah Al-Hijrah, peserta didik, dan orang tua peserta didik.

b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau

pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data. c. Handycam: alat ini selain digunakan untuk merekam aktifitas masyarakat,

juga dapat digunakan sebgai kamera yang memotret segala kegiatan masyarakat adat Cikondang dan kegiatan pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah yang meliputi profil kehidupan dan pendidikannya. Pengambilan gambar dilakukan ketika kegiatan wawancara dan observasi berlangsung, dan dengan adanya kegiatan alat penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data.


(30)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada

natural setting (kondisi alamiah), sumber data primer. Teknik pengumpulan data

lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2007:309).

1. Observasi

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2007:145). Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi partisipasi (participant

observation), observasi yang secara terang terangan atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak berstruktur

(unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian masyarakat adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan dan proses pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ini observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipasif, dimana peneliti datang ke lokasi atau tempat kegiatan masyarakat Cikondang untuk mengamati situasi dan aktivitas generasi muda khususnya yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

Menurut Patton (Nasution, 2003), manfaat observasi adalah: a) dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik (menyeluruh), b) dengan observasi akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery, c) dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khusunya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap


(31)

observasi, peneliti daat menemukan hal-hal yang tidak akkan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga, e) dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal diluar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif, f) melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

Observasi yang dilakukan di tengah masyarakat dimulai dengan observasi secara menyeluruh guna mengetahui lingkungan fisik, sosial, dan budaya masyarakat Cikondang. Pada saat yang bersamaan pula, peneliti membangun kontak dengan tokoh masyarakat Cikondang dari berbagai latar belakang. Berikut ini hal-hal yang masuk ke dalam observasi di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yaitu:

1. Bahasa komunikasi di keluarga 2. Bahasa komunikasi di ruang publik.

3. Bahasa komunikasi generasi muda khususnya yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

4. Pengenalan bentuk tradisi budaya Cikondang di lingkungan keluarga.

5. Pewarisan tata nilai lama di lingkungan keluarga: penjayaan pamali, buyut atau tabu.

6. Pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui penjayaan

pamali, buyut atau tabu.

7. Proses pewarisan kearifan lokal Sunda (Cikondang) melalui: kegiatan upacara adat wuku taun, kesenian di masyarakat, acara Radio dan televisi.

8. Pengenalan nilai kearifan lokal Sunda (Cikondang) pada masyarakat pendatang.

Observasi di lingkungan sekolah dilakukan kepada guru mata pelajaran sejarah dan kepada para siswa di Madrasah Aliyah Al-Hijrah khususnya pada peserta didik yang berlatar belakang asli dari masyarakat adat Cikondang. Adapun


(32)

yang menjadi bahan observasi di lingkungan sekolah sesuai dengan perumusan masalah pada Bab I yaitu sebagai berikut:

1. Nilai-nilai budaya yang dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di sekolah.

2. Aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di sekolah.

3. Internalisasi pendidikan nilai dalam pembelajaran sejarah bagi peserta didik di sekolah.

Hasil catatan lapangan dan foto-foto dikumpulkan dikembangkan menjadi dekripsi hasil penelitian dan diinterpretasikan, serta dijadikan dasar untuk melakukan wawancara mendalam tentang proses pewarisan nilai yang berlangsung di tengah masyarakat Cikondang dan secara khusus terjadi dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

Proses pengimplikasian materi kearifan lokal Sunda (Cikondang) dalam pembelajaran sejarah di sekolah, langkah-langkah yang dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut:

1. Langkah pertama, guru melakukan identifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal

Sunda dan khususnya Cikondang yang berasal dari berbagai sumber (naskah, prasasti, adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, serta berbagai informasi tentang potensi sejarah tatar Sunda) sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik.

2. Langkah kedua, hasil identifikasi tersebut kemudian dipilih mana yang sesuai

dengan topik pembelajaran disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berlaku.

3. Langkah ketiga, setelah dipilih materi mana yang tepat untuk tiap topik pada

mata pelajaran sejarah, maka proses pembelajaran sejarah yang memuat nilai-nilai kearifan lokal Cikondang dapat diaktuliasasikan oleh guru bersama siswa di kelas setelah sebelumnya melakukan kunjungan (out door learning) ke Kampung Cikondang.


(33)

4. Langkah keempat, setelah selesai penyampaian materi, guru perlu melakukan

refleksi atas materi pelajaran yang telah disampaikan termasuk materi kearifan lokal Cikondang yang diintegrasikan.

5. Langkah kelima, pada tahap akhir ini dilakukan evaluasi untuk mengukur

tingkat ketersampaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah pada kelas XI yaitu dengan cara out door learning artinya pembelajaran yang dilakukan diluar kelas, dimana peserta didik dibimbing oleh guru datang ke salah satu tempat yang dijadikan sumber belajar sejarah yaitu Kampung Adat Cikondang. Peserta didik melakukan interaksi dengan kuncen dan tokoh adat Cikondang melalui dialog tentang sejarah Kampung Cikondang dan budaya dari masyarakat Cikondang. Berikut ini langkah-langkah pembelajarannya:

Guru mengawali pembelajaran dengan mengucapkan salam,

mempersilakan siswa berdo’a dan melantunkan Asmaul Husna, kemudian

mengabsen siswa. Guru memulai pembelajaran dengan menjelaskan terlebih dahulu kompetensi atau kemampuan apa yang ingin dicapai, sehingga siswa juga akan memahami kegiatan yang akan dilaksanakannya. Kemudian guru memberikan motivasi kepada siswa bagaimana bangsa-bangsa yang dihadapkan pada tantangan akan mendorong terjadinya kreatifitas untuk bertahan menghadapi tantangan.

Pada bagian apersepsi, guru bertanya jawab dengan siswa tentang imperialisme barat di Indonesia. Kemudian Guru bertanya: apa perbedaan antara imperialisme kuno dengan imperialisme modern? Siswa yang bernama Linda menjawab imperialisme kuno usaha suatu negara untuk menguasai daerah pusat rempah-rempah sedangkan imperialisme modern adalah penguasaan daerah penghasil bahan baku bagi kepentingan industri; Guru: kapan periode waktu imperialisme kuno dan imperialisme modern?; siswa yang bernama Firmansyah menjawab imperialisme kuno terjadi sekitar abad ke 15 sampai sebelum lahirnya Revolusi Industri sedangkan imperialisme modern terjadi sekitar abad ke 18 atau


(34)

setelah lahirnya Revolusi Industri; Guru: memberikan reward berupa pujian kepada siswa yang telah menjawab pertanyaan.

Selanjutnya guru membahas materi gerakan rakyat menentang imperialisme dengan mengarahkan kepada konsep nasionalisme seperti gerakan untuk melawan kekuatan asing yang merusak lingkungan hidup dimana sejak dilaksanakannya Cultuur Stelsel (1830-1870) dan diberlakukannya Undang-Undang Agraria tahun 1870, wilayah hutan Indonesia dibuka sebagai kawasan perkebunan, baik yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda maupun oleh investor dari berbagai negara. Gerakan untuk mencintai produk ramah lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Berkaitan dengan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal, guru memberi contoh tentang lingkungan alam Kampung Cikondang yang tetap terjaga. Guru menghubungkan materi bahasan dengan mengkaji nilai budaya Kampung Cikondang yang sangat menghargai tentang arti penting kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan hidup manusia. Pada saat itu guru menyampaikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah singkat (mitos yang berkembang) Kampung Cikondang dalam hubungannya dengan budaya yang arif terhadap lingkungan, untuk mengarahkan pada tujuan pembelajaran, guru melontarkan pertanyaan tentang letak geografis Kampung Cikondang serta asal-usulnya.

Berikutnya peserta didik diarahkan untuk melakukan pencarian terhadap sumber-sumber sejarah lisan berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat adat Cikondang. Contoh kearifan lokal mengenai leuweung larangan di Kampung Cikondang, peserta didik melakukan pencarian akar historis munculnya konsep

leuweung larangan tersebut dan bagaimana mengolahnya menjadi pembelajaran

sejarah bermuatan kepedulian terhadap lingkungan.

Kegiatan belajar kali ini dilaksanakan melalui out door learning yaitu ke Kampung Cikondang, untuk menuju lokasi dari Madrasah Aliyah Al-Hijrah siswa bersama guru menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melewati persawahan. Sesampainya di rumah tokoh adat Cikondang, peserta didik mengucapkan salam

sampurasun” dan Abah Ilin Dasyah (Tokoh Adat) menjawab “rampes”. Guru memperkenalkan peserta didik serta maksud dan tujuan kunjungannya, kemudian


(35)

memberikan kesempatan kepada tokoh adat untuk memberikan penjelasan tentang Kampung Cikondang secara umum kepada peserta didik. Pada saat kuncen menyampaikan penjelasan, terlihat semua peserta didik sangat menikmati pengalaman belajar tersebut.

Setelah menyampaikan penjelasan singkat mengenai Kampung Cikondang, narasumber mulai memberikan waktu pada peserta didik untuk bertanya. Kesempatan tersebut segera disambut oleh peserta didik dengan berbagai pertanyaan. Salah seorang siswa bertanya: mengapa ada leuweung

larangan?; tokoh adat menjawab dengan sebuah ungkapan tradisional “leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak”, jika hutan rusak maka manusia sendiri yang rugi atau menderita, karena keseimbangan ekologi akan terganggu. Oleh karena itu dikenal ada leuweung larangan sebagai amanat dari leluhur Cikondang hutan harus dijaga dan dilestarikan. Maka lahir berbagai pantangan yang ditujukkan untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Kemudian siswa lain bertanya pantangan apa saja yang bertujuan melestarikan lingkungan?; kuncen menjawab:

a. Teu meunang ka leuweung (karamat) dina poe Rebo, Juma’ah jeung sabtu

(tidak boleh memasuki hutan pada hari Rabu, Jumat dan Sabtu), maknanya bahwa hutan seolah-olah diistirahatkan untuk tidak dimasuki manusia, berarti hutan tidak terus-menerus untuk dirambah/diambil hasil hutannya, membiarkan tanaman untuk tumbuh, memberikan kesempatan binatang untuk berkembang biak.

b. Teu meunang subat-sabet lamun lain sabeuteunnana (tidak boleh

memotong/menyabit tanaman sembarangan), mungkin saja ada tanaman yang seharusnya tumbuh dan tanaman tersebut adalah bermanfaat bagi manusia tetapi kita malah membunuhnya atau merusaknya.

c. Teu meunang ngadeugkeun imah jeung teu meunang peupeulakan dina bulan Muharram, Safar jeung Mulud, oge dina bulan Rajab, Reuwah jeng Puasa,

maksudnya pada bulan tersebut adalah banyak kegiatan atau aktivitas keagamaan dan ritual adat, pada bulan lain prak (silahkan) beraktivitas untuk mulai bercocok tanam, atau mau mendirikan rumah.


(36)

d. Bentuk dan ukuran rumah adat tidak boleh dikurangi atau ditambah, keuna ku paribasa kolot, pondok teu meunang di sambung, panjang teu meunang

diteukteuk. Bukannya tidak mau bagus atau lebih luas lagi, tapi semuanya ada

nilai filosofinya (maksudnya) dari karuhun untuk dijadikan pemikiran, misalnya jumlah jendela, jumlah pintu, jumlah kamar, bentuk rumah panggung dan sebagainya. Maksud orang tua dulu supaya kita hidup jujur apa adanya.

Setelah tanya jawab selesai, peserta didik melanjutkan kegiatan dengan melakukan observasi langsung terhadap sekitar pemukiman penduduk. Mereka terlihat sangat menikmati kegiatan observasi yang ditandai dengan pertanyaan yang dilontarkan baik kepada guru maupun masyarakat yang mereka temui. Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan diskusi kelompok untuk merumuskan temuan yang mereka dapatkan. Hasil temuan selama observasi dan dialog dengan narasumber kemudian disusun perkelompok, dibacakan di depan peserta didik lain untuk mendapatkan tanggapan.

Guru memberi penegasan terhadap hasil jawaban siswa, guru melakukan refleksi dan membimbing siswa menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran. Antara lain, kearifan ekologi yang dimiliki masyarakat adat Cikondang dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan mempertahankan

leuweung larangan sebagai bukti adanya rasa cinta tanah air yang melekat dalam

masyarakat Cikondang hingga saat ini, dimana pada masa yang lalu terjadi sebuah imperialisme barat yang bertujuan menguasai dan menguras sumber kekayaan alam demi industri dan kekayaan negara.

Lalu guru meminta tanggapan siswa, seorang siswa menuturkan pendapatnya bahwa kita sebagai generasi penerus harus meneladani nilai-nilai budaya masyarakat Cikondang yang masih relevan dengan zaman sekarang khususnya mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan alam dan hemat, oleh karena itu saya menyadari bahwa dibalik penjayaan pantangan, pamali kaitannya dengan leuweung larangan di masyarakat Cikondang ada sesuatu yang berharga yaitu bagaimana perjuangan masyarakat tradisional pada saat itu dalam menentang gerakan imperialisme demi menjaga kelestarian lingkungan. Saatnya


(37)

giliran kita sebagai generasi penerus harus menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata.

Kegiatan diskusi merupakan akhir kegiatan pembelajaran. Selanjutnya guru menutup pembelajaran dengan membuat kesimpulan bersama dengan siswa dan memberikan salam. Laporan hasil diskusi akhirnya diserahkan kepada guru untuk mendapatkan penilaian.

2. Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk mendialogkan dan menggali informasi yang dibutuhkan dalam penelitian, baik wawancara terstruktur dengan bantuan pedoman wawancara maupun yang tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan untuk memperoleh data tentang pewarisan nilai-nilai budaya dalam Masyarakat Adat Cikondang, dan problematika yang dihadapi dalam menginternalisasikan nilai-nilai budaya sebagai upaya membangun kesadaran sejarah dan kesadaran budaya peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah. Sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan untuk memperoleh data dari beberapa informan kunci untuk melengkapi data tersebut diatas dengan pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan informan.

Penelitian kualitatif ini menggabungkan teknik observasi partisipasif dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga melakukan interview kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini, adalah ketua adat masyarakat Cikondang, dengan tujuan untuk memperoleh informasi lengkap tentang nilai-nilai budaya Cikondang serta upaya terbaik dalam melestarikan dan memasyarakatkan nilai-nilai budaya khususnya pada generasi muda Cikondang yang sedang menempuh pendidikan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yaitu sebagai berikut: a. Tahap Eksplorasi dan Identifikasi Nilai Budaya:

1. Bagaimana asal-usul terbentuknya masyarakat adat kampung Cikondang? 2. Bagaimana pedoman hidup dan sistem nilai yang menjadi pegangan


(38)

3. Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap hubungan antara manusia dengan alam? (bagaimana pentingya alam bagi masyarakat adat)

4. Jenis larangan (pantangan) apa saja yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat guna menjaga kelestarian lingkungan?

5. Adakah pantangan lain yang berhubungan dengan aktivitas hidup setiap warga adat?

6. Nilai-nilai apakah yang mendasari setiap larangan tersebut?

7. Mengapa masyarakat Cikondang masih mempertahankan larangan-larangan tersebut

8. Tempat-tempat apa saja yang dikeramatkan guna menjaga kelestarian lingkungan? Mengapa dikeramatkan?

9. Jenis upacara (ritual) apa saja yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat Cikondang?

10. Dapat Bapak jelaskan , bagaimanakah proses upacara adat “wuku taun” yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat Cikondang?

11.Apa makna dan nilai dari pelaksanaan upacara adat tersebut?

b. Tahap Pewarisan Nilai-nilai Budaya Adat Cikondang terhadap Peserta didik: 1. Bagaimana Pandangan anda tentang nilai tradisi Cikondang (etika dan norma

kasundaan, penghargaan terhadap sejarah, menjaga leuweung larangan, upacara adat wuku taun, hajat buruan, hajat solokan, hajat cai beresih,

ngadeugkeun, memahami beragam kesenian dan pupuh) perlu atau tidak nilai

tersebut diwariskan kepada generasi muda?

2. Nilai-nilai budaya apa saja yang perlu diwariskan?

3. Bagaimana cara terbaik pentransformasian nilai tradisi sunda, serta perlu tidaknya peran serta dunia pendidikan dalam proses pewarisan nilai tradisi Sunda (Cikondang)?


(39)

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada guru sejarah yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan tentang nilai tradisi budaya Sunda (Cikondang); perlu tidaknya nilai tersebut ditransformasikan kepada siswa melalui pembelajaran sejarah?

2. Bagaimana pandangan tentang sejauh mana akomodasi kurikulum terhadap potensi lokal dalam mata pelajaran sejarah?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan guru dalam mengenalkan potensi lokal (setempat) pada siswa melalui pembelajaran sejarah?

4. Bagaiman pandangan anda terhadap pemahaman siswa akan nilai tradisi Sunda (Cikondang)?

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa Madrasah Aliyah Al-Hijrah yaitu sebagai berikut:

1. Apakah anda tahu tentang budaya Cikondang? 2. Darimana anda mengetahui budaya Cikondang?

3. Menurut anda apa yang menarik dari budaya Cikondang?

4. Bagaimana pandangan anda tentang nilai-nilai budaya Sunda (Cikondang) yang relevan dalam mata pelajaran sejarah?

5. Faktor apa yang membuat anda mempertahankan budaya Cikondang?

6. Bagaimana caranya guru ketika menyampaikan materi nilai-nilai budaya adat cikondang agar kalian lebih jelas memahaminya?

7. Apakah kalian dapat memahami nilai-nilai budaya adat Cikondang yang disampaikan oleh guru dan apa saran kalian kepada guru sejarah agar pembelajaran sejarah ini dapat memberikan manfaat?

8. Manfaat apa yang dapat kalian peroleh dari materi pelajaran sejarah yang memuat nilai-nilai budaya Cikondang?

9. Sejauh ini apakah nilai-nilai budaya Cikondang dapat menjadi proteksi untuk mempertahankan diri dari dampak negatif globalisasi?

Hasil wawancara yang dikumpulkan tersebut kemudian dikembangkan menjadi deskripsi penelitian dan diinterpretasikan, serta dijadikan dasar untuk kepentingan analisis.


(40)

3. Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan pelengkap dalam metode observasi dan

wawancara pada penelitian kualitatif. Studi dokumentasi dan kepustakaan dilakukan guna menggali data pendukung kepentingan deskripsi penelitian yang datanya terdapat dalam dokumen tertulis.

Dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian ini, adalah berbagai data yang berkaitan dengan profil kehidupan masyarakat Cikondang, nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal masyarakat Cikondang, serta pandangan masyarakat Cikondang terkait dengan pewarisan nilai-nilai kearifan lokal bagi generasi muda. Kemudian dokumen-dokumen resmi sekolah maupun guru sejarah berupa profil sekolah, tujuan, visi dan misi Madrasah Aliyah Al-Hijrah, serta rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah. Selain itu studi dokumentasi yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan tentang Pendidikan Sejarah dalam bentuk buku, jurnal, artikel. Tulisan tentang masyarakat Adat Cikondang, pewarisan nilai baik berupa penelitian terdahulu maupun artikel dan gambar aktifitas Masyarakat Adat Cikondang serta peraturan kebijakan tentang pendidikan sejarah. Media massa tersebut berupa media cetak maupun online. Hasil studi dokumentasi dan kepustakaan ini dikembangkan sebagai deskripsi penelitian dan diinterpretasikan serta dipergunakan untuk kepentingan triangulasi.

4. Triangulasi

Teknik triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang penulis gunakan untuk menguji kredibilitas data. Menurut Mathinson (Sugiyono,

2007:332), dikemukakan bahwa “the value of triangulation lies in providing evidence-wether convergent, inconsistent of contracdictory”. Nilai dan teknik

pengumpulan data dengan tiangulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh

convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi, oleh karena itu dengan

menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti.

Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data,


(41)

yaitu mengecek kredibilitas data dengan teknik pengumpulan data sebagai sumber data (Sugiyono, 2007:241). Peneliti menggunakan observasi partisipasif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data.

Berdasarkan perumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka observasi yang dilakukan di tengah masyarakat dimulai dengan observasi secara menyeluruh guna mengetahui lingkungan fisik, sosial, dan budaya masyarakat Cikondang, sedangkan observasi di lingkungan sekolah dilakukan kepada guru mata pelajaran sejarah dan kepada para siswa di Madrasah Aliyah Al-Hijrah khususnya pada peserta didik yang berlatar belakang asli dari masyarakat adat Cikondang. Daftar pedoman wawancara meliputi tahap ekplorasi dan identifikasi nilai budaya Cikondang, dan tahap pewarisan nilai-nilai budaya Cikondang terhadap peserta didik. Studi dokumentasi dalam penelitian ini meliputi telaah dokumen yang terkait dengan proses pewarisan nilai-nilai budaya, pendidikan sejarah dan peraturan kebijakan tentang pendidikan sejarah, serta tulisan tentang masyarakat adat Cikondang baik berupa penelitian terdahulu maupun artikel dan gambar aktifitas masyarakat adat Cikondang. Data dokumentasi ini dimaksudkan untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.

Penggunaan panduan wawancara, panduan observasi dan penggunaan dokumentasi berfungsi sebagai triangulasi alat pengumpul data agar data yang diperoleh dari sumber informasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pelaksanaanya peneliti menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam dan pencatatan dokumen yang terkait dengan fokus penelitian. Selama melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara kepada para narasumber, dan sekaligus pencatatan dokumen-dokumen yang terkait. Dengan demikian dapat diketahui tentang credibility dan confirmability antara data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.

E.Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution (Sugiyono, 2007:336) menyatakan bahwa analisis telah mulai


(42)

sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data, dan dalam kenyataannya analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data daripada setelah selesai pengumpulan data.

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yakni proses mengumpulkan dan menyusun secara baik data-data yang didapatkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi serta berbagai bahan lain yang tentunya berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat adat Cikondang dan proses pewarisannya dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Untuk mempermudah peneliti dalam proses menganalisis berbagai data penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua pendekatan yaitu:

1. Analisis sebelum di lapangan

Dalam penelitian kualitatif sebagaimana yang telah diungkapkan diatas oleh Sugiono bahwa proses penelitian kualitatif berlangsung sebelum peneliti terjun ke lapangan. Maka dalam penelitian ini, sebelum terjun ke lapangan peneliti melakukan analisis terhadap berbagai data yang berkaitan dengan kearifan lokal, budaya masyarakat Cikondang, proses pewarisan nilai dalam pendidikan sejarah baik disertasi, tesis, jurnal, hasil seminar budaya, tulisan dalam bentuk buku maupun artikel yang ditemukan di berbagai mas media cetak maupun elektronik. Guna memperoleh makna yang berarti maka proses analisis data dilakukan secara terus menerus, proses dimaksud untuk peneliti menemukan hal-hal penting untuk membantu, mempermudah peneliti dalam mengkaji kearifan lokal masyarakat serta budaya lokal yang tumbuh dan berkembang menjadi sumber belajar guna membangun kesadaran sejarah generasi muda. Namun proses analisis yang dilakukan peneliti sebelum terjun ke lapangan masih sifatnya sementara, penelitian ini berkembang setelah peneliti berada di lapangan dan mengumpulkan data-data yang terkait dengan masalah penelitian.


(43)

2. Analisis selama di lapangan model Miles dan Huberman

Miles dan Huberman (Sugiyono, 2007:246) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar berikut:

Komponen dalam analisis data (interaktif model) Miles dan Huberman (Sugiyono, 2007:247)

Gambar tersebut di atas memperlihatkan sifat interaktif koleksi data atau pengumpulan data dengan analisis data. Pengumpulan data itu sendiri juga ditempatkan sebagai komponen yang merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data, saat mengumpulkan data peneliti akan dengan sendirinya terlibat melakukan perbandingan-perbandingan, apakah untuk memperkaya data bagi tujuan konseptualisasi, kategorisasi, ataukah teoritisasi.

1. Data Reduction

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Seperangkat reduksi data juga perlu diorganisasikan ke dalam suatu bentuk tertentu sehingga terlihat secara lebih utuh.

Data Collection Data Display

Data Reduction Conclusion:


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. (1974). “Masalah Sejarah Daerah dan Kesadaran Sejarah”. Bulletin Yaperna No. 2 Tahun I, Jakarta.

Adimihardja, K. (1992). Kasepuhan yang Tumbuh Di Atas yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito.

Adimiharja, K. (2008). Dinamika Budaya Lokal. Bandung: CV. INDRA PRAHASTA dan Pusat Kajian Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan.

Adiwikarta, S. (1988). Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdikbud.

Ahmadi, A. (2007). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan praktek pendidikan dan pendidikan guru. Kiblat Buku Utama, Bandung. Ankersmit, F.R. (1987). Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern

Tentang Filsafat Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT. Gramedia.

Atmadi, A dan Setiyaningsih, Y. (2000). Transformasi Pendidikan Memasui Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Atmodjo, M.M.S.K. (1986). Pengertian Kearifan Lokal dan Relevansinya dalam

Modernisasi. Dalam Ayat Rohaedi Penyunting (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: DPJ.

Ballantine, JH. (1985). Schools and Society, A Reader in Education and Sociology. Calfornia: Mayfield.

Bogdan, R.C. dan Taylor, S.J. (1993). Qualitative Research for Education an Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn & Bacon Inc.

Budiyono, K. (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung: Alfabeta.


(2)

Creswell, J.H. (2012). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djoewisno. (1987). Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Jakarta: Khas Studio. Danasasmita, S., dkk. (1987). Sewaka Dharma, Sanghyang Siksakandang

Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (SUNDANOLOGI), Dirjen Kebudayaan, Departemen P dan K.

Ekadjati, E.S. (1984). Sejarah Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Giri Mukti Pusaka.

Ekadjati, E.S. (1995). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.

Ekadjati, E.S. (2009). Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran (Jilid 2). Jakarta: Pustaka Jaya.

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Hasan, S.H. (1999). “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru

Indonesia”. Mimbar Pendidikan. Nomor 2/XVIII Tahun. 1999. Bandung: University Press IKIP Bandung.

Hasan, S.H. (2012). Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi Press.

Hermawan, I. (2004). “Pendidikan Nilai Lokal Sebagai Upaya Membentuk

Generasi Muda yang Bermoral”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Nomor 23 Tahun XIII Edisi Juli-Desember 2004. Media Komunikasi Antar FPIPS UPI-JPIPS, FKIP, STKIP se Indonesia.

Hermawan, I. (2008). “Kearifan Lokal Sunda Dalam Pendidikan (Kajian terhadap Aktualisasi Nilai-nilai Tradisi Sunda dalam Pendidikan IPS di Sekolah

Pasundan dan Yayasan Atikan Sunda)”. Disertasi pada Program Studi PIPS Program Pascasarjana UPI Bandung.

Hermawan, I. (2009). Menuntut Ilmu di Mata Leluhur Sunda. [Online]. Tersedia: http://iwan1772.blogspot.com/2009/05/menuntut-ilmu-di-mata-leluhur-sunda.html (2 Juni 2012).

Ismaun. (2005). Filsafat Sejarah. Bandung: Historia Utama Press.

Johnson, D.P. (1990). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern 1 (Penterjemah: Lawang, R.M.Z., dari Sociological Theory). Jakarta: Gramedia.


(3)

Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah resureksi ilmu pendidikan (pedagogik). Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010

„Practice Pedagogic in Global Education Perspective‟. PGSD UPI,

Bandung, 17 May, 2010.

Kartodirdjo, S. (1988). “Menggali Warisan Leluhur Untuk Memperkokoh

Identitas Nasional Fungsi Pembelajaran Sejarah Dalam Pembangunan”.

Makalah. Surakarta: PPS UNS.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi II: Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Latif, A. (2009). Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Levi – Strauss, C. (2005). Mitos dan Makna: Membongkar Kode-kode Budaya. (Penterjemah: Hok, L.P., dari Myth and Meaning). Serpong: Marjin Kiri. Levi – Strauss, C. (2007). Antropologi Struktural. (Penterjemah: Sjams, N.R., dari

Antropologie Strukturale, PLON 1958). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Lincoln, Y.S. and Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverlly Hills,

London, New Delhi: Sage Publication.

Lubis, N.H. (2012). “Pewarisan Nilai-nilai Budaya Sunda Sebagai Bagian dari

Pendidikan Sejarah”. Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan

Kemanusiaan: Refleksi Perjalanan Karir Akademik Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, MA. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Lubis, Z. (2011). Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marzali, A. (2005). Antropologi & Pembangungan Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Moleong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mundardjito. (1986). “Hakikat Local Genius dan Hakikat Data Arkeologi”. Dalam Ayat Rohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.


(4)

Mutakin, A. (2008). Individu, Masyarakat dan Perubahan. Bandung: FPIPS UPI. Mulyana, R. (2006). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

O‟neal, W.F. (2002). Ideologi-ideologi Pendidikan. (Penterjemah: Naomi, O.I., dari Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Parsons, T. (1959). “The School Class as Social System: Some of Its Functions in American Society” dalam Ballantine, JH., Ed (1985) Schools and Society, A Reader in Education and Sociology. California: Mayfield. Poespowardojo, S. (1986). “Pengertian Kearifan Lokal dan Relevansinya dalam

Modernisasi” dalam Ayatrohaedi penyunting (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Purwasasmita, M. (2005). “Membangun Jawa Barat berdasarkan Pendekatan

Pelestarian Lingkungan”. Makalah pada Pelatihan Gentra Bogor (Bogor,

17-09-2005).

Ranjabar, J. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rosidi, A. (2009). Manusia Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. Rosidi, A. (2010). Masa Depan Budaya Daerah. Jakarta: Pustaka Jaya. Rosidi, A. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Said, E.W. (1998). Peran Intelektual, Penerjemah Rin Hindryati P. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Saini, K.M. (2004). Krisis Kebudayaan (Pilihan 10 Essai). Bandung: Kelir.

Sardiman. (2012). “Pembelajaran Sejarah dan Pembangunan Karakter Bangsa”. Dalam Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan Kemanusiaan: Refleksi Perjalanan Karir Akademik Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, MA. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Saripudin, D. dan Kokom Komalasari. (2012). “Pendidikan Karakter di Indonesia: Suatu Kerangka Pikir”. Dalam Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan Kemanusiaan: Refleksi Perjalanan Karir Akademik Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, MA. Jakarta: Bee Media Indonesia.


(5)

Schmitt, S. (1999). Claude Levi-Strauss. [Online]. Tersedia: http://msnu.edu/emuseum/levi-strauss.htm (2 Juni 2012).

Sedyawati. (1986). “Lokal Genius dalam Kesenian Indonesia” dalam Ayatrohaedi,

penyunting (1986). Kepribadian Budaya Bangs (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Soedjatmoko. (1983). Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Soedjatmoko. (1995). Kesadaran sejarah dan pembangunan. Jakarta: PT.

Gramedia.

Soekanto, S. (1987). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Spindler, G. (1982). “General Introduction”. Dalam George Spindler, Doing Ethnography of Schooling: Educational Antropology in Action. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Spradley, J.P. (2007). Metode Etnografi. (terjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana. Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujatmoko, I. (2011). Makna dan Kegunaan Sejarah. [Online]. Tersedia:

http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/makna-dan-kegunaan-sejarah.html ( 2 Juni 2012).

Sukmadinata, S., N. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Sumaatmadja, N. (1984). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alumni.

Sumaatmadja, N. (2005). Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

Sumardjo, J. (2011). Sunda, Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir.

Supardan, D. (2004). “Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental terhadap Siswa Sekolah Menengah Umum

di Kota Bandung)”. Disertasi pada Program Studi PIPS Program Pascasarjana UPI Bandung.


(6)

Suparlan, P. (2003). Paradigma Naturalistik dalam Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya. Educatio Indonesiae. Vol. 11 No.1 Maret 2003. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Supriatna, E. (2012). “Impementasi Pembelajaran Sejarah yang Berbasis Religi dan Budaya di Kawasan Banten Lama (Suatu Kajian Transformatif Nilai-nilai Religi dan Budaya dalam Pendidikan Sejarah di SMA)”. Disertasi pada Program Studi PIPS Program Pascasarjana UPI Bandung.

Supriatna, N. (2012). “Ecopedagogy dan Green Curriculum dalam Pembelajaran Sejarah”. Dalam Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan Kemanusiaan: Refleksi Perjalanan Karir Akademik Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, MA. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Supriatna, N. (2013). “Green History: Belajar dari Pengalaman Historis Hubungan Manusia dengan Alam”. Makalah pada Seminar Nasional Menyongsong Kurikulum Sejarah 2013 di Universitas Negeri Jakarta (Jakarta, 18 Mei 2013).

Syafa‟at, R. et.al. (2008). Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. Malang: In-Trans Publishing.

Tn. (2000). Kesadaran Sejarah. [Online]. Tersedia:

http://www.guardian.co.uk/books/data/author/jornrusendan http://pt.wikipedia.org/wiki/jorn_rusen (2 Juni 2012)

Warnaen, S., dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widja, I.G. (1991). Sejarah Lokal: Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Tarsito.

Winarah, S. (2011). Pandangan Hidup Orang Sunda. [Online]. Tersedia: http://satriawinarah.wordpress.com/2011/06/12/pandangan-hidup-orang-sunda/ (2 Juni 2012).

Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah Di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press.