KAJIAN ESTETIKA PERUPAAN WAYANG GOLEK PANAKAWAN DAN DENAWA GIRIHARJA.

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian...6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Metode Penelitian ... 8

1.5.1 Penelitian Kualitatif ... 8

1.5.2 Fokus dan Sasaran Penelitian ... 11

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data ... 12

1.5.4 Analisis Data ... 15

1.6 Kerangka Pemikiran ... 17

1.7 Skema Alur Penelitian ... 18

1.8 Sistematika Penulisan ... 19

BAB II KAJIAN TEORETIK 2.1 Kesenian ... 20

2.2 Estetika ... 21

2.3 Nilai Estetika ... 23

2.4 Konsep Estetika Budaya Tradisi Indonesia ... 27


(2)

2.6 Tinjauan Tentang Kesenian Wayang ... 40

2.6.1 Pengertian Wayang ... 40

2.6.2 Sejarah Wayang ... 43

2.6.3 Jenis-Jenis Wayang ... 48

2.7 Wayang Golek ... 50

2.7.1 Pengertian Wayang Golek ... 50

2.7.2 Sejarah Singkat Wayang Golek ... 52

2.7.3 Jenis-Jenis Wayang Golek ... 56

2.7.4 Proses Pembuatan Wayang Golek Sunda ... 60

2.7.5 Cerita/Lakon Wayang Golek ... 63

2.7.6 Pelaku Pertunjukan Wayang Golek Sunda ... 68

2.7.7 Perangkat Pertunjukan Wayang Golek Sunda ... 74

2.8 Raut Pakem dan Wanda Golek Purwa ... 84

2.8.1 Warna Wajah Golek ... 85

BAB III WAYANG GOLEK GIRIHARJA 3.1 Gambaran Umum Kelurahan Jelekong ... 89

3.1.1 Zona Pengembangan Wilayah ... 91

3.2 Sejarah Seni Wayang Golek Giriharja ... 96

3.3 Pengalaman Asep Sunandar Sunarya ... 101

3.4 Proses Kreatif Asep sebagai Dalang Kondang... 105

3.4.1 Cara Mensosialisasikan Diri dengan Lingkungan Dunia Luar ... 105

3.4.2 Permulaan Asep Masuk Kalangan Menengah Keatas ... 108

3.4.3 Ide dan Sumber Inspirasi ... 115

3.4.4 Struktur Penyajian dalam Pertunjukan ... 116

3.4.5 Bentuk-bentuk Kreativitas ... 120


(3)

BAB IVANALISIS WAYANG GOLEK PANAKAWAN DAN DENAWA (BUTA) GIRIHARJA

4.1 Perkembangan Rupa Raut Golek Panakawan dan Denawa ... 138

4.1.1 Analisis Perkembangan bentuk Wayang Golek Panakawan dan Denawa Gaya Giriharja Sebelum dan Sesudah tahun 1980-an ... 138

4.1.2 Keseluruhan Struktur Panakawan dan Denawa ... 144

4.1.3 Analisis Perbandingan Gerak (Sabet) ... 158

4.1.4 Analisis Perbandingan Musik Pengiring (Gending) ... 163

4.1.5 Analisis Perbandingan Antawacana ... 166

4.2 Analisis Visualisasi Wayang Golek Panakawan Gaya Giriharja ... 169

4.3 Analisis Visualisasi Wayang Golek Denawa (Buta) Gaya Giriharja 177

4.3.1 Makna Perubahan Unsur Rupa Warna dan Asesorisnya ... 185

4.4 Dampak Perubahan Visualisasi Raut Panakawan dan Denawa (Buta) Terhadap Intensitas Pertunjukan ... 187

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 194

5.2 Saran ... 195

5.3 Temuan-temuan ... 198

DAFTAR PUSTAKA ... 199


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel

2.1 Jenis-jenis Wayang yang berkembang di Indonesia ... 49

2.2 Sepuluh Kelompok Atribut Wayang Golek ... 88

4.1 Pola Perbandingan Bentuk Wayang Golek Panakawan ... 140

4.2 Pola Perbandingan Struktur Wayang Panakawan ... 148

Matrik Perubahan Raut Tampang Panakawan ... 150

4.3 Pola Perbandingan Bentuk Wayang Golek Denawa ... 152

4.4 Pola Struktur Wayang Golek Peranan Denawa ... 154

Matrik Perubahan Raut Tampang Denawa ... 156

4.5 Kode Gerak dalam Kesenian Wayang Golek... 159

4.6 Perbandingan Gerak (sabet) Wayang Golek Panakawan ... 161

4.7 Perbandingan Musik Pengiring ... 165

4.8 Perbandingan Antawacana ... 168

4.9 Analisis Pengaruh Perubahan Bentuk Golek terhadap Intensitas Pertunjukan ... 189

4.10 Analisis Dampak Perubahan Bentuk Golek Terhadap Intensitas Pertunjukan ... 190


(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan

1.1 Kerangka Pemikiran ... 17

1.2 Skema Alur Penelitian ... 18

2.1 Proses Pembuatan Wayang Golek ... 62

2.2 Konsep “Nu Opat Ka lima Pancer ... 86


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

2.1 Hubungan Manusia Pra Modern dengan Alam semesta ... 33

2.2 Jejeran tokoh Ksatria Wayang Golek ... 51

2.3 Wayang Golek Menak dari Yogyakarta dengan tampilan busana jawa ... 58

2.4 Sang dalang mengatur irama cerita dan kehidupan di jagat pewayangan ... 69

2.5 Nayaga memberi nuansa dalam pertunjukan Wayang Golek ... 72

2.6 Sinden atau juru kawih terkadang menjadi daya tarik tersendiri dalam pertunjukan wayang golek ... 73

2.7 Jejeran tokoh-tokoh wayang golek sunda ... 75

2.8 Macam-macam tokoh raksasa wayang golek hasil kreasi baru juru golek Giriharja, Jelekong ... 76

2.9 Tokoh Semar, Cepot, Dewala dan Gareng dalam wayang golek sunda ... 77

2.10 Tata panggung dalam kesenian wayang golek ... 80

2.11 Gugunungan yang berfungsi sebagai kelir dalam pagelaran wayang golek ... 83

2.12 Gedebog pisang yang berfungsi sebagai ruang pagelaran ... 83

3.1 Pusat penyebaran wayang di Pulau Jawa ... 90

3.2 Peta wilayah Kodya dan Kabupaten Bandung ... 91

3.3 Peta wilayah Kelurahan Jelekong ... 91

3.4 Foto Abah Sunarya ... 96

3.5 Abah dan Ambu Tjutjun pada acara ulang tahun ... 98

3.6 Gaya Abah Sunarya di Swedia ... 100

3.7 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Cepot di HUT “Rakyat Merdeka” ... 102


(7)

3.8 Ki Manteb dan H. Asep Sunandar Sunarya

saling bertukar wayang Bima ... 103

3.9 Asep Sunandar Sunarya sedang ceramah ... 108

3.10 Asep Sunandar Sunarya mengawali pertunjukan wayang golek dengan Gugunungan ... 119

3.11 Denawa kena pukulan Gada Bima ... 121

3.12 Kemahiran Asep pada aspek Sabet ... 125

3.13 Cepot sebagai Icon Giriharja ... 129

3.14 Cepot Vs Denawa (Buta) ... 131

3.15 Dialog Cepot dengan Ohang dkk ... 134

3.16 Salah satu model Buta Rehe ... 134

3.17 Proses pengecatan wayang golek ... 135

3.18 Proses alur pembuatan wayang golek Giriharja ... 136

3.19 Hasil akhir karya perajin wayang golek Giriharja ... 137

4.1 Bagian Kepala Semar ... 144

4.2 Struktur wayang Semar ... 145

4.3 Bagian-bagian tangan ... 146

4.4 Pegangan Golek ... 147

4.5 Perbandingan Gerak Sebelum dan Sesudah tahun 1980-an ... 158

4.6 Perbandingan Musik Pengiring Sebelum dan Sesudah tahun 1980-an ... 163

4.7 Perbandingan Antawacana Sebelum dan Sesudah tahun 1980-an ... 166

4.8 Semar Gaya Giriharja ... 169

4.9 Rupa Raut Golek Semar tampak Depan dan Samping ... 171

4.10 Cepot tampak Depan dan Samping sedang Silat ... 172

4.11 Rupa Raut Golek Dawala tampak Depan dan Samping ... 173

4.12 Gareng Gaya Giriharja ... 175

4.13 Rupa Raut Golek Arimba ... 178

4.14 Tokoh Arimba ... 178


(8)

4.16 Ade Kosasih Sunarya dengan Denawa hasil karyanya ... 182 4.17 Beberapa Model Denawa Karya Asep Sunandar Sunarya ... 183 4.18 Beberapa Model Denawa Karya Asep Sunandar Sunarya ... 184


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertunjukan wayang golek Purwa merupakan salah satu jenis kesenian tradisional daerah Jawa Barat yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa sesuai dengan laju perkembangan sosial masyarakat pendukungnya. Pemeran utama sekaligus pemimpin pertunjukan wayang golek purwa lazim disebut dalang. Peranan dalang yang paling dominan adalah mendramatisasikan lakon/cerita pewayangan melalui sabetan (atraksi gerak-gerik/prilaku wayang) dan catur (penuturan) yang didukung karawitan sebagai musik pengiringnya.

Wayang golek adalah alat peraga menyerupai boneka yang senantiasa dimainkan dalang, terbuat dari kayu sebagai bahan bakunya. Sedangkan pertunjukan wayang golek purwa adalah pertunjukan wayang golek yang senantiasa menyajikan lakon bersumber dari epos Ramayana dan Mahabarata, dua karya sastra Hinduisme yang secara kronologis berasal dari negeri India.

Dalam pertunjukan wayang golek purwa terkandung nilai etis, estetis dan filosofis, lazim disebut seni Adiluhung (bernilai tinggi) dikarenakan selain berfungsi sebagai tontonan juga sebagai tuntunan, sarat dengan pesan-pesan moral atau ajaran-ajaran tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam menjalani kehidupan. Selain


(10)

demikian, pertunjukan wayang golek purwa dapat dikatagorikan sebagai teater total atau purnadrama, karena di dalamnya terkandung ragam unsur seni yang ditata secara harmonis dan dinamis. Adapun ragam unsur seni tersebut terdiri atas seni drama, tari, sastra, karawitan, dan seni rupa. Unsur seni rupa dalam pertunjukan wayang golek purwa yang paling dominan tampak pada postur, gesture (badan dan anggota tubuh), body language (badan), kinesics (gerak badan), facial signal (kesan wajah), gaze (tatapan/ekspresi), proxemics (jarak) dan chronemics (waktu), sesuai dengan watak masing-masing figur wayang yang diperankan dalang. Berkenaan dengan seni rupa wayang tersebut, diasumsikan telah mengalami berbagai perubahan/pembaharuan sesuai daya imajinasi dalang (termasuk pembuat wayang) demi meningkatkan kualitas pertunjukan.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, komunitas dalang yang senantiasa aktif dan produktif dalam melakukan inovasi meliputi postur, gestur (badan dan anggota tubuh) , body language (badan), kinesics (gerak badan), facial signal (kesan wajah), gaze (tatapan/ekspresi), proxemics (jarak) dan chronemics (waktu) adalah Abah Sunarya sekeluarga. Mereka berdomisili di Kampung Giriharja Kelurahan Jelekong Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Menurut riwayat, produktivitas Abah Sunarya tersebut, dimulai sekitar tahun 1980. Hal ini dikarenakan beliau merasa prihatin terhadap eksistensi pertunjukan wayang golek yang tergeser jenis seni pertunjukan ‘baru’ yakni dangdut dan layar tancap yang mampu menarik animo masyarakat Sunda, terutama para kawula muda, sehingga frekuensi pertunjukan wayang golek menurun secara drastis. Tegasnya, pertunjukan wayang golek pudar


(11)

dari perhatian masyarakat penggemarnya. Tanggap terhadap fenomena tersebut, Abah Sunarya berpikir kritis. Segera memicu para putranya untuk melakukan kreativitas positif agar pertunjukan wayang golek kembali diperhatikan dan disukai masyarakat.

Berkat gagasan dan motivasi Abah Sunarya, terbetik hati Ade Kosasih Sunarya (putra kedua) untuk berupaya melakukan inovasi mengenai pembaharuan postur dan karateristik wayang. Adapun pada tahap percobaan Ade Kosasih berupaya keras melakukan inovasi yang difokuskan pada figur wayang panakawan dan denawa (istilah lain disebut buta gendul). Beliau beralasan bahwa dua figur wayang tersebut termasuk katagori wayang golek yang secara konseptual pembuatannya tidak terikat pakem.

“Gebrakan 80-an”, istilah yang mereka gunakan, cukup berhasil. Sebagai sebuah tontonan, pertunjukan golek kembali disukai penonton. Tuntunan, yang pada awalnya menjadi inti pertunjukan wayang, dalam batas tertentu mulai tersisih oleh menonjolnya segi tontonan. Namun, usaha menitipkan tuntunan dalam setiap pertunjukan tetap dipertahankan, dengan cara membanyol lewat para panakawan. Pada kenyataannya, banyak dalang yang “terhidupkan” kembali oleh keberhasilan gebrakan itu. Panggilan manggung kembali diterima para dalang. Hampir semua dalang yang ada di Jawa Barat bisa ikut menikmati keberhasilan tersebut.

Sejumlah pemerhati wayang, khususnya golek, merasa “terganggu” dengan raut golek “baru” tersebut. Berbagai perbantahan (polemik) muncul di media massa. Kelompok yang tidak setuju dengan hasil “pembaruan” tersebut menyatakan keberatan atas perubahan yang dimunculkan dalam sejumlah raut golek tersebut.


(12)

Seperti ditulis Abas (1988), para dalang “konservatif” beranggapan bahwa munculnya raut golek baru tersebut “menurunkan nilai isi golek, ngelantur terlalu jauh dari tetekon”, aturan baku.

Kelompok masyarakat yang merasa “terhibur” dengan pintonan anyar (tontonan baru) garapan dalang-dalang Giriharja tersebut, menyatakan kesetujuan mereka. Mereka merasakan “angin segar” ketika menonton pertunjukan golek. Terutama mereka melihat pengaruh baik yang ditimbulkannya, yaitu bahwa tontonan tersebut, sebagai hiburan, bisa menarik minat khalayak yang lebih banyak, terlebih kaum muda.

Lepas dari perdebatan kelompok yang setuju dengan yang menentang, salah seorang dalang kelompok Giriharja, Ade Kosasih Sunarya, dalam wawancara dengan Wan Abas, wartawan Pikiran Rakyat (25 Januari 1988), menegaskan:

“Kreasi bentuk wayang maupun dialog yang saya lakukan hanya terbatas pada wayang-wayang humor. Setelah publik menyenangi buta atau raksasa kreasi saya, setelah kaum remaja menggemari si Cepot, sedikit demi sedikit akan saya ajak mereka mengenal falsafah pewayangan.”

Pada kenyataannya, yang menjadi objek “pembaruan” bukanlah golek pokok yang telah teruger pakem. Aturan adat tetap mereka pelihara. Keteguhan memegang nilai tradisi, tampak, misalnya, dalam pernyataan Ade Kosasih: ”Jika saya membuat kreasi Gatotkaca dari karet yang bisa runyah-renyoh (mempermainkan bibir seperti kera yang sedang marah –pengutip) itu melanggar.” Hal itu memungkinkan


(13)

penelusuran kembali nilai baku yang terkandung dalam golek, nilai-nilai yang terkait pakem.

Golek dengan raut yang baru sebetulnya hanya terdiri atas golek yang berperan sebagai Panakawan seperti si Cepot, serta sejumlah golek pelengkap berupa golek Denawa yang sama sekali tidak tercatat dalam cerita asli. Tampang si Cepot, misalnya dibuat secara kreatif dan inovatif menjadi golek yang bisa menengadah, menggunakan perlengkapan baru seperti topi, gitar dan sepeda motor. Tampang Panakawan dan Denawa ada yang bisa dibuka mulutnya, dijulurkan lidahnya, dan ditengadahkan kepalanya.

Ada juga golek Denawa yang bisa ditampilkan lengkap dengan ekspresi mukanya, seperti mengernyit dan tertawa. Bahkan ada golek Denawa yang bisa “merokok” dan mengeluarkan asapnya dari telinga; kepalanya pecah dan bisa utuh kembali; mengeluarkan darah; atau kepalanya terlepas dari tubuhnya. Raut dan tampilan baru itu sesungguhnya sebagian hanyalah gaya-gaya pinjaman dari gaya boneka-boneka yang biasa dimainkan dalam sandiwara boneka buatan perusahaan film televisi Barat dan film-film horor. Raut tokoh-tokoh golek pokok seperti kelompok Pandawa dan Kurawa tetap ditampilkan secara tradisi.

1.2 Rumusan Masalah

Seni pertunjukan wayang golek pada tahun 1970-an mengalami penurunan, karena dianggap pertunjukan tersebut bersifat Kampungan dan hanya digemari orang tua saja disebabkan pada saat itu masuk ke negara kita budaya-budaya luar seperti


(14)

Break Dance dan lain-lain yang lebih banyak diperhatikan oleh kaum muda. Untuk mengatasi hal itu Dalang Giriharja (Abah Sunarya) yang merasa prihatin dengan mulai tersisihkannya pertunjukan wayang golek memulai mengadakan perubahan-perubahan pada tokoh-tokoh Panakawan dan Denawa supaya lebih komunikatif, kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya Dalang H. Ade Kosasih Sunarya dan Dalang H. Asep Sunandar Sunarya yang pada tahun 1982 mendapat penghargaan ’Bokor Kancana’ karena hasil inovasinya, yang kemudian mendapat permintaan pertunjukan wayang golek yang mencapai melebihi jumlah hari.

Selanjutnya permasalahan di atas dijabarkan dalam pertanyaan:

1. Bagaimana perkembangan bentuk wayang golek Panakawan dan Denawa gaya Giriharja sebelum dan sesudah tahun 1980-an?

2. Bagaimana visualisasi wayang golek Panakawan dan Denawa gaya Giriharja? 3. Bagaimana dampak perkembangan bentuk dan visualisasi wayang golek

Panakawan dan Denawa terhadap intensitas pertunjukan?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan, membandingkan bagaimana keberadaan pertunjukan wayang golek sebelum dan sesudah adanya perubahan bentuk pada tokoh-tokoh wayang golek komunikatif :

1. Perkembangan bentuk wayang golek Panakawan dan Denawa gaya Giriharja?


(15)

3. Dampak perkembangan bentuk dan visualisasi wayang golek Panakawan dan Denawa terhadap intensitas pertunjukan?

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan seni, khususnya seni pedalangan dan karya seni kria wayang golek. Secara praktis sebagai bahan informasi dan masukan untuk pembuat kebijakan (Pemerintah) dalam menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan, terutama pariwisata, budaya dan pendidikan, khususnya pendidikan kesenian.

Adapun manfaat tersebut adalah :

1. Bagi Peneliti; dapat menambah wawasan dan mengetahui manfaat perubahan atau inovasi wayang golek Panakawan dan Denawa (Buta) terhadap intensitas pertunjukan wayang golek, khususnya oleh dalang-dalang Giriharja.

2. Bagi Masyarakat; dapat menjadi rujukan tentang transformasi budaya yang berkembang di masyarakat, khususnya pengrajin pada kegiatan seni tradisional wayang golek.

3. Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan; dapat memperkaya referensi mengenai salah satu khasanah budaya Sunda umumnya dan khususnya wayang golek.

4. Bagi Seniman; dapat menjadi sumber inspirasi untuk selalu meningkatkan kreativitasnya.


(16)

1.5 Metode Penelitian

Penetapan suatu penelitian sebagai langkah awal adalah menentukan terlebih dahulu subjek penelitiannya. Adapun subjek penelitiannya adalah Wayang Golek Panakawan dan Denawa (buta) yang dibuat oleh Lingkung Seni Giri Harja, yang beralamat di Kp. Giriharja Rt. 01 Rw. 01 Kelurahan Jelekong Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat.

Ruang lingkup penelitian meliputi perkembangan Wayang Golek Panakawan dan Denawa yang kemudian menjadi media pada saat pertunjukan di Lingkung Seni Wayang Golek Giriharja. Dan ternyata mendapat sambutan dan perhatian yang luarbiasa sehingga menjadi suatu ciri khas tersendiri dan akhirnya memiliki tingkat popularitas yang sangat tinggi baik di lingkungan regional, nasional, dan internasional.

1.5.1 Penelitian Kualitatif

Sifat penelitian ditentukan oleh masalah dan tujuan yang perlu dicapai dalam penelitian tersebut. Apakah penelitian akan membahas masalah masa lalu, kini atau perkembangannya dikemudian hari. Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan bentuk wayang golek Panakawan dan Denawa yang sangat berpengaruh pada saat pertunjukan wayang golek. Untuk mengungkapkan permasalahan tersebut diatas, digunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif–komparatif ; karena metode ini dapat memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang actual dari data yang diperoleh serta hubungan antar


(17)

masalah yang diteliti (Nana Sudjana dan Ibrahim (1989:64). Pendapat tadi diperkuat oleh pernyataan Winarno Surakhmad (1994:12) bahwa ciri-ciri metode deskriptif adalah memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, data yang ada mula-mula disusun, dijelaskan kemudian dianalisis. Penelitian dilakukan seobyektif mungkin dengan berdasarkan kepada fakta.

Penelitian kualitatif lebih tepat untuk menghadapi dan mengkaji realitas yang jamak. Sifat penelitian ini akan mampu memperlihatkan hubungan transaksi secara langsung antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan menghadapi percarian makna. Penelitian ini lebih peka dan dapat disesuaikan dengan kajian bentuk pengaruh dan pola nilai-nilai yang mungkin dihadapi peneliti (Lincoln & Guba, 1985). Berbagai permasalahan pokok di dalam ilmu-ilmu alam didasarkan pada kenyataan berbagai objek yang dapat dilihat diluar diri kita serta terlepas bebas sebagai fakta objektif. Kenyataan itu sangat berbeda dengan ilmu sosial/budaya yang memusatkan studinya pada realitas sebagai produk pikir manusia dengan segala subjektivitas emosi serta nilai-nilai yang dianutnya.

Ilmu pendidikan merupakan ilmu perilaku yang menekankan komunikasi dan interaksi beragam subjek di dalam konteks sosial budaya. Sedang fenomena sosial perilaku pada dasarnya hanya ada dalam pikiran manusia. Realitas tersebut terikat oleh interaksi dialektis subjek dan objeknya. Akibatnya, terdapat realitas sebanyak manusianya yang ada. Orang boleh membentuk realita sosialnya menurut dirinya sendiri dengan cara yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda pula.


(18)

(Bergner, 1981) menyatakan bahwa realitas sosial sebagai hasil kehendak manusia secara sadar tak mungkin dapat terpisahkan dari kekhususan hubungan antar manusianya yang terlibat, termasuk juga para peneliti yang mengambil bagian di dalamnya serta memberikan tafsir mengenai realitas yang dihadapinya, maka penelitian kualitatif semakin menarik dan berkembang pesat serta aktivitasnya semakin diperlukan. Berdasarkan pada topik yang dibahas dalam penelitian ini yaitu menggambarkan bagaimana perkembangan bentuk wayang golek purwa Panakawan dan Denawa yang dipergunakan pada waktu pertunjukan oleh dalang-dalang Giriharja, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kulaitatif dengan kajian estetika rupa. Pendekatan ini dipilih karena keampuhannya mampu menjawab permasalahan secara menyeluruh dan dalam berbagai jenis gejala manusia, kemanusiaan dan yang dihadapinya (Rohidi, 2000a). Pendekatan kualitatif yang dipilih dalam penelitian ini jika dilihat dari akar filosofinya memiliki ciri lebih cenderung dari akar filosofinya memiliki ciri lebih cenderung pada pendekatan fenomonologis dan pemahaman manusia serta kemanusiaannya, holistik, metodelogisnya mendekati jejak-jejak etnografi, analisisnya berupa pemberian makna secara interpretatis yang memungkinkan temuan baru dengan logika berpikir induktif.

Pertimbangan lain pendekatan kualitatif ini dipilih adalah 1) mementingkan makna dan karakter dengan perspektif emik, logika induktif

berdasarkan data, dan dapat melukiskan objek dalam seting yang alamiah; 2) desain penelitian bersifat luwes; 3) pengumpulan data dan analisis berlangsung simultan dan


(19)

terus menerus; 4) menggunakan penelitian sebagai instrumen penelitian (Jazuli 2003:154)

1.5.2 Fokus dan Sasaran Penelitian

Salah satu ukuran keberhasilan atau kemajuan kesenian wayang golek ditentukan oleh berkembangnya dalang selaku tokoh sentral didalamnya. Dari sekian banyak dalang di tanah air yang ada sekarang, salah seorang dalang yang telah berhasil membawa harum nama Indonesia di kancah dunia pedalangan tatar sunda adalah Asep Sunandar Sunarya. Ketenaran dalang tersebut tentunya tidak lepas dari perannya dalam mengembangkan kesenian wayang golek selama ini, baik kedalam bentuk pertunjukan maupun wayang goleknya.

Salah satu keberhasilan yang ditunjukan Asep selama ini dalam memainkan wayang (sabet) juga mahir dalam menampilkan banyolan atau humor yang segar dan memukau dengan menggunakan wayang golek Panakawan dan Denawa.

Menurut Nano S. (seniman komponis) yang dikutip dari tesis Cahya, dengan judul ’Asep Sunandar Sunarya Tokoh dan Kreator Pedalangan Sunda (sebuah biografi)’ UGM 2000 halaman 56, menyatakan:

“Kunci keberhasilan Asep sebagai dalang kondang, pada dasarnya ia telah menjalankan tiga factor yang esensial, yaitu 1) Asep bisa bergaul dengan masyarakat luas, sehingga ia dapat masuk dan dikenal oleh masyarakat tingkat bawah hingga kalangan atas. 2) Asep memiliki jiwa loyal, terhadap sesama atau berjiwa familier. 3) Asep memiliki prinsip tidak merasa sudah cukup memiliki dan menguasai keterampilan mendalang, ia selalu haus untuk dikritik.”


(20)

Objek yang akan diteliti difokuskan pada wayang golek purwa Panakawan dan Denawa yang dianggap tidak meiliki karakter tetap dan dapat digunakan sebagai tokoh pertunjukan yang lebih komunikatif dan atraktif serta dapat dipakai pada cerita apasaja seperti Mahabharata, Ramayana, carangan, sempalan dan lain-lain. Pemilihan dilakukan karena tokoh-tokoh tersebut menurut para dalang banyak disukai penonton, karena itu paling banyak atau paling sering ditunggu-tunggu penampilannya. Sasaran yang akan diteliti adalah perubahan bentuk fisik tokoh wayang golek Panakawan dan Denawa.

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data

Data Penelitian diperoleh dengan menggunakan teknik pengamatan dan observasi langsung terhadap objek kajian di lapangan, dengan cara melihat pertunjukan dalang-dalang secara langsung dengan narasumber dan studi literatur. Wayang golek pakem, wayang golek inovasi-inovasi dan wayang golek modifikasi, proses pembuatan wayang golek tersebut diatas menjadi objek pengamatan dan observasi. Sejumlah dalang wayang golek Giriharja dan sebagian pujarannya, beberapa tokoh masyarakat, beberapa orang sastrawan dan budayawan serta seorang guru seni rupa SMA merangkap sebagai juru golek adalah narasumber yang diwawancara. Pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang paling sesuai dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan antropologi. Pengamatan secara cermat diarahkan terhadap perilaku masyarakat dalam kehidupan beragama, kegiatan


(21)

ekonomi, hubungan kemasyarakatan, kegiatan mata pencaharian, kegiatan kesenian, proses berkarya seni kerajinan khususnya berkarya wayang golek kreatif dan inovatif. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti berperan sebagai instrument. Selain itu peneliti berpartisipasi langsung dalam kegiatan tersebut (pengamatan terlibat). Hasil pengamatan ditulis secara garis besar pada lembaran pengumpul data.

Teknik interview atau wawancara digunakan untuk mengumpulkan keterangan mengenai kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta penderian-pendiriannya, dan merupakan pembantu utama dari metode observasi (Koentjaraningrat, 1997:129). Sebelum wawancara, peneliti mempersiapkan : (1) Pedoman wawancara yang meliputi : Tujuan Wawancara, penentuan nama-nama informan, tempat wawancara, garis besar pertanyaan; (2) Merencakan pendekatan dalam wawancara agar tercipta suasana yang lancar dan perolehan data yang diharapkan. Dalam rangka membina hubungan baik dengan warga masyarakat setempat, dilakukan pula wawancara sambil lalu (casual interview). Wawancara ini dilakukan tanpa direncanakan, tidak dipilih orang yang akan diwawancara karena berlangsung secara kebetulan pada bertemu orang di jalan, di kebun, di tempat umum dan sebagainya. Untuk memperoleh bandingan dan kelengkapan data, dilakukan studi literatur.

Dalam usaha pengumpulan data dan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian ini, perekaman dilakukan dengan pendekatan multidisiplin dengan penekanan pada pendekatan kebudayaan dan pendekatan estetis. Pendekatan kebudayaan digunakan untuk mencermati perubahan-perubahan bentuk visual


(22)

Panakawan dan Denawa dalam kesenian wayang golek serta unsur-unsur yang mempengaruhinya, seperti latar belakang sosial, proses kreatif seniman, kondisi ekonomi yang ada, serta etos kerja masyarakat yang membuka kesempatan untuk berkarya.

Dalam penelitian ini, pendekatan estetis dimaksudkan sebagai pendekatan yang mengacu kepada aturan (pakem) pembuatan tokoh wayang Panakawan dan Denawa dalam hubungannya dengan pertimbangan-pertimbangan estetis. Bagi orang Indonesia, penggambaran tokoh wayang bisa dikatakan estetis bila semua unsur rautnya, seperti tunduk-tengadah kepala, warana wajah, pola alis, pola mata, pola hidung, dan pola mulut tetap mengacu satu kesatuan yang ’taat pakem’, mengikuti aturan pakem pembuatan dan cerita wayang.

Pengumpulan data ditempuh melalui beberaa teknik perekaman, yaitu :

a. Teknik prekaman gambar, dengan menggunaka alat foto, melalui teknik ini dapat dikumpulkan data yang berkaitan dengan budaya wayang yaitu bentuk dan ragam, pemaknaan warna serta unsur simnbol lainnya. b. Obsevasi yaitu pengamatan langsung terhadap oyek (hasil representasi

para seniman tarhadap sosok Panakawan dan Denawa),

c. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara mendalam terhadap informan yang dianggap memahami betul tentang kesenian wayang.


(23)

d. Kepustakaan, dimaksudkan sebagai usaha pengumpulan data-data verbal maupun visual tentang bentuk dan ragam serta simbolis yang terkandung dalam kesenian wayang.

e. Studi dokumenter, dalam hal ini dokumentasi verbal menurut catatan yang terdapat dalam naskah-naskah kuno.

Sesuai dengan pengertiannya dokementasi adalah sekumpulan data-data tertulis, lisan, dan pertunjukan atau melalui audio-video. Dengan demikian peneliti sengaja menggunakannya karena selain mudah untuk dilakukan sehubungan dengan keberadaan data yang relatifs stabil; berupa gambar atau photo-photo, tulisan-tulisan hasil penelitian terkait, film dan media lainnya, Dokumentasi juga berguna untuk pengujian, sesuai dengan penelitian kualitatif, tidak reaktif, hasil pengkajian isi yang diperoleh akan membuka sesuatu yang sedang diselidiki.

Adapun studi yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain adalah; proses pelaksanaan pengelolaan grup, penampilan pada suatu pertunjukan tertentu, proses transformasi dan pewarisan keterampilan, dan studi pustaka terhadap tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.

1.5.4 Analisis Data

Setelah langkah pengumpulan data selesai, dilanjutkan dengan proses analisis data. Analisis data ini berupa penyusunan data agar dapat ditafsirkan dan memberikan makna pada analisis dalam bentuk kalimat yang mampu memberikan penjelasan menyeluruh, mendalam, serta mampu memberikan nuansa-nuansa penghayatan serta


(24)

simbolis yang tidak mungkin dapat dikemukakan dalam bentuk angka-angka (Rohidi, R.T., 2000 b). Sasaran penelitian ini adalah fenomena kesenirupaan pada masyarakat Kampung Giriharja-Jelekong, karena itu model analisis yang dipakai adalah teknik analisis deskriptif. Kegiatan analisis data meliputi kegiatan reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi. Kegiatan ini dilakukan sejak memasuki pelaksanaan penelitian di lapangan sampai akhir secara terus menerus.


(25)

1.6 Kerangka Pemikiran

Untuk menelusuri pencarian data secara efektif dan sistematik perlu suatu kerangka pemikiran sehingga dalam pengadaan data tentang kajian estetik perupaan tokoh Panakawan dan Denawa dapat tercapai dengan baik

Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran ( Dok. Pancasariwarni)

WAYANG GOLEK DENAWA GIRIHARJA LANDASAN FILOSOFIS VISUAL ESTETIK - Budaya - Religi/mitologi - Legenda yang

dipercaya - Latar belakang

pembuat

- Budaya - Religi/mitologi - Legenda yang

dipercaya - Latar belakang

pembuat

- Wanda

- Ukuran/dimensi - Raut wajah - Asesoris - Pewarnaan

- Wanda

- Ukuran/dimensi - Raut wajah - Asesoris - Pewarnaan

Contoh Hasil Pengembangan

Nilai Estetik Panakawan dan Denawa


(26)

1.7Skema Alur Penelitian

Bagan 1.2. Skema Alur Penelitian (Dok. Pancasariwarni)

Mengumpulkan data

(1)

Klasifikasi data raut golek Panakawan dan Denawa sebelum tahun 1980-an dan sesudah 1980-an

(2) Analisa Data (3) Kesimpulan (4)

Uji / Sidang

(5) Hasil Penelitian / Tesis (6) MASALAH PERKEMBANGAN ZAMAN WAYANG GIRIHARJA DENAWA PANAKAWAN DESAIN Visual / Estetik

Pengaruh Sosial Budaya

Fokus

Nilai estetik; struktur dan gaya bentuk dan motif hias wayang golek khususnya tokoh Panakawan dan Denawa hasil representasi para seniman di Giriharja sebelum tahun 1980-an dan sesudah tahun 1980-an.

Prosedur Penelitian

Wanda, bentuk raut wajah, hiasan kepala,

warna, asesoris

Wanda, bentuk raut wajah, hiasan kepala,

warna, asesoris

- Kondisi Ekonomi

- Pengaruh budaya lain

- Perkembangan IPTEK

dan informasi

- Kondisi Ekonomi

- Pengaruh budaya lain

- Perkembangan IPTEK


(27)

1.8 Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dalam 5 Bab. Tiap-tiap bab merupakan satuan bahasan yang sistematis. Adapun garis besarnya sebagai berikut:

Bab Satu Pendahuluan. Pada bab ini penulis menguraikan pokok-pokok pikiran tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangkan Pemikiran, Alur Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab Dua Kajian Teoritik, berisi mengenai uraian teori yang dijadikan landasan kerja. Teori tentang kesenian, estetika dalam pewayangan dan tinjauan tentang kesenian wayang golek yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab Tiga, membahas tentang wayang golek Giriharja dan pengalaman Asep Sunandar Sunarya dalam kreativitas seni pentas wayang golek.

Bab Empat, merupakan bab utama berisi uraian analisis tentang perkembangan bentuk, visualisasi wayang golek Giriharja pada Panakawan dan Denawa.

Bab Lima, merupakan bab terakhir memuat kesimpulan saran dan temuan-temuan yang diperoleh di lapangan berkaitan dengan perubahan bentuk wayang golek yang dihasilkan di Giriharja.


(28)

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Peranan Panakawan dan Denawa (Buta) pada pertunjukan seni tradisi Wayang Golek sebagai salah satu Kebudayaan dan Kesenian daerah Indonesia sangat penting bagi kelangsungan Pendidikan generasi muda untuk mengenal kekayaan khasanah budaya sunda jangan sampai terdapat kesenjangan sosial yang jauh didalam pergaulan dan wawasan mereka dikarenakan adanya budaya luar yang bertubi-tubi yang bisa melupakan adat kita sebagai Bangsa yang berbudaya. Keberadaan Wayang Golek merupakan salah satu bukti yang menguatkan tentang sesuatu adanya sejarah panjang hidup dan kehidupan di duania fana ini.

Wayang Golek sebagai kesenian tradisi masyarakat Sunda yang telah mengakar secara turun temurun, telah diatur oleh pola aturan baku menurut pakem dan konvensi dalam masyarakatnya, dan ketika lingkung seni Giriharja memperkenalkan pagelaran Wayang Golek dengan mempersentasikan tanda-tanda yang tak lazim sanggup menimbulkan wacana dan polemik dalam masyarakat. Hal tersebut menarik penulis untuk melakukan penelitian.

Wayang Golek tanpa kita ketahui telah mendapat pengakuan dari lembaga dan masyarakat dunia, namun sangat ironi bila generasi muda kita terkesan tidak mau tahu tentang budaya bangsanya. Pengetahuan tentang budaya dan kesenian daerah dapat disampaikan melalui berbagai media, namun bentuk media yang mudah secara


(29)

Visual melalui media pertunjukan Wayang Golek sebagai sarana komunikasi. Peran seorang dalanglah yang meramu dan merancang supaya pergelaran berhasil disukai dan diminati oleh semua kalangan, terutama kalangan pelajar sebagai generasi penerus. Disini Dalang dituntut untuk kreatif dan inovatif, sehingga berhasil atau tidaknya suatu pesan, dilihat dari kualitas visual dan verbal.

Dalang Asep Sunandar Sunarya sebagai sebagai “Wedalan” Padepokan Giriharja mulai meniti kariernya pada tahun 1970 dan hingga saat ini telah berhasil melahirkan konsep pembentukan raut golek dengan menekankan pada dimensi estetika, etika dan logika. Dari konsep tersebut Dalang Asep Sunandar Sunarya berhasil pula melahirkan jenis raut Golek peranan dan bentuk. Sementara berdasarkan periodesasi waktunya dalam raut golek Dalang Asep Sunandar Sunarya dikenal adanya raut golek sebelum dan sesudah tahun 80-an, dan yang menonjol adanya perubahan pada tokoh-tokoh Wayang Denawa dan Panakawan yang pada saat pementasan bisa lebih komunikatif.

Masa stagnansi perkembangan Wayang Golek yang sebelum Dalang Asep Sunandar Sunarya muncul kepermukaan dirasakan oleh masyarakat pedalangan Sunda sesuatu hal yang memprihatinkan, sebab seni Wayang Golek antara tahun 1970-an sampai tahun 1980-an hampir melorot tersisihkan oleh seni-seni lainnya, terutama seni-seni modern. Setelah Dalang Asep Sunandar Sunarya muncul menjadi juara Binojakrama pada tahun 1982 seni Wayang Golek bangkit kembali, bahkan mampu sejajar dengan seni-seni yang bernuansa modern, sehingga seni Wayang Golek bisa masuk pada kalangan masyarakat elit bahkan menembus masyarakat


(30)

Internasional. Konsekuensi logis dari kepopularitasannya tersebut, maka gaya pertunjukan Dalang Asep Sunandar Sunarya dari Giriharja dijadikan kiblat gaya Pedalangan Jawa Barat, yang banyak ditiru oleh dalang-dalang lainnya, terutama para dalang muda. Meskipun di Jawa Barat banyak terdapat dalang terkenal lainnya tetapi hingga kini Dalang Asep Sunandar Sunarya tetap dalam posisi terdepan (Primus Interpares) dalam hal daya popularitas dimata masyarakat luas. Begitupula posisi Dalang Asep Sunandar Sunarya diantara saudara-saudaranya sesama dalang tetap masih berada paling atas (The best of the best). Hal ini tentu saja merupakan hasil dari keberaniannya berkreasi melakukan sesuatu aksi perubahan. Dengan begitu, bukan muluk-muluk bila harapan kita tentang generasi muda selanjutnya akan lebih mengenal dan mencintai budaya dari bangsanya sendiri.

5.2 Saran

Untuk menjaga kelestarian seni tradisi wayang golek dan untuk mempopulerkan kembali wayang golek yang cenderung ditinggalkan pendukungnya dari generasi ke generasi, diperlukan upaya-upaya penyelamatan dan pelestarian yang berkelanjutan dari berbagai pihak khususnya Diparbud (Pemerintah), budayawan, seniman dan seluruh masyarakat. Mari berapresiasi pada wayang golek sebagai tontonan dan tuntunan. Sayang seandainya seni wayang golek yang adiluhung ini harus tergerus zaman yang serba modern, karena kita yang mulai berkiblat ke budaya barat, padahal orang-orang baratnya sendiri banyak meneliti seni budaya kita khususnya wayang golek yang sudah mendapat pengetahuan dunia. Kepada


(31)

pemerintah mohon ada Departemen khusus tentang kebudayaan. Kepada para seniman muda teruslah berinovasi dan berkreasi tiada henti sesuai dengan tuntutan zaman. Percayalah budaya kita ini betul-betul penuh tuntunan yang berguna bagi kehidupan kita sebagai manusia.

5.3 Temuan-Temuan

Kemahiran dan keunggulan yang dimiliki dalang-dalang erah Giriharja sebagai dalang wayang golek, terutama Dalang Asep Sunndar Sunarya dengan lingkung seni Giriharja 3 nya, kiranya semua orang tidak akan meragukannya, yaitu sangat mahir dalam memainkan wayang (garap) demikian juga dalam menampilkan banyolan atau humor yang segar dan memukau, kedua potensi inilah yang menjadikan Asep Sunandar Sunarya sebagai dalang kondang, pada dasarnya ia telah menjalankan tiga actor yang sensual yaitu :

1. Asep Sunandar Sunarya bisa bergaul dengan masyarakat luas, sehingga dapat masuk dan dikenal masyarakat luas dari tigkat bawah hingga masyarakat kalangan atas.

2. Asep Sunandar Sunarya memiliki jiwa loyal terhadap sesama (Familier). 3. Asep Sunandar Sunarya memiliki prinsip tidak merasa sudah cukup

memiliki dan menguasai ketarampilan menjadi dalang, ia selalu haus untuk dikritik dan selalu inovatif.


(32)

Dari semua pengetahuan tersebut dapat menimbulkan suatu implikasi bahwa intensitas pementasan Dalang Asep Sunandar Sunarya selalu meningkat. Hal tersebut tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan dalam tarap hidunya, yang tidak saja untuk dia melainkan juga untuk para pengurusnya dan keluarga besarnya serta masyarakat di sekitarnya.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka.

Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Buurman. 1980. Wayang Golek. Asmterdam : Sijthoff.

Cahya. 2000. “Asep Sunandar Sunarya, Tokoh dan Kreator Pedalangan Sunda”(sebuah biografi). Tesis, Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Creswell.John W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative Aproaches. London: Sage Publications. International Educational and Professional Publisher.

Dahlstrom Kajsa. 1985. GLOBTRADET, Stockholm. Dharsono. 2007. ESTETIKA. Bandung; Rekayasa Sains.

Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika, Sebuah Pengantar. Diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung.

Ekajati, EdiS. 2001. Naskah Sunda : Sumber Pengetahuan Budaya sunda. KIBS 22-25 Agustus 2001

Foley Kathy. 1979. The Sundanese Wayang Golek; Dissertation. University of Hawaii.

Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta : UI-Press

Herbert, Mimi. 2002. Voices of the Puppet Masters, Honolulu; University of Hawaii Press

Haryoguritno, Haryono. 1997. Adiluhug. Makalah Hasil Sarasehan Dalang Indonesia dan Temu Wartawan

Irfansyah. 2006. Perubahan Kode visual Raut Golek Asep Sunandar Sunarya dari tahun 1970 – 2005. Tesis, Bandung. Institut Teknologi Bandung.


(34)

Ismunandar K., R.M. 1985. Wayang, Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang : Dahara Prize. Cetakan Kedua

Jazuli, M. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat Sosiologi Pedalangan. Semarang: Limpad

Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Koentjaraningrat. 1948. Kebudayaan, Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta :

Penerbit PT. Gramedia

Lembaga Basa & Sastra Sunda. 1992. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung : Terate. Cetakan Kedua

Liang Gie, The. 1976. Garis-Garis Besar Filsafat Keindahan. Yogyakarta : Nur Cahaya

Mertosedono, Amir. 1993. Sejarah Wayang, Asal-Usul an Cirinya. Semarang : Dahara Prize. Cetakan Kedua

Mulyono, Sri. 1982. Wayang, Asal-Usul dan Masa Depannya. Jakarta : Gunung Agung

Nani K. Sunarya. 1990. “Riwayat Hidup Abah Sunarya dan Abu Tjutjun”. Dokumen Pribadi, Bandung – Giriharja (tidak diterbitkan)

Outline Proposal Penelitian kualitatif

Poedjosoebroto, R. 1978. Wayang Lambang Ajaran Islam. Jakarta: Pradnya Paramita. Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka. Cetakan Kedua

Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1977/1978. Sejarah Daerah Jawa Barat. Bandung : Proyek Penelitian dan Pencatatn Kebudayaan Daerah

Rohidi, T.R.dkk 2000a. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STISI Press

Sagio dan Samsugi. 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta : Haji Masagung


(35)

Salmun, Mas Adung. 1986. Padalangan. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan Kedua.

Salmun M.A. 1961. Pedalangan. Jakarta : Balai Pustaka

Soepandi, Atik. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka Busana

Sulasmi. 2002. Warna, Teori dan Kreativitas Penggunaannya. Bandung : ITB

Sumardjo, Jacob. 2002. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung : Kelir

Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito

Sudjana, Nana dan Ibrahim.1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Sunardi D.M., Ramayana. 2000. Jakarta, Balai Pustaka.

Sudibyoprono, R. Rio. 1991. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta, Balai Pustaka. Suryana, Jajang. 2002. Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek.

Bandung, PT Kiblat Buku Utama.

Sudjana, Tarja. 2004. ”Wayang Golek Pamulihan”. Tesis. Semarang, tidak diterbitkan.

Taman Budaya Propinsi Jawa Barat, Buku Edisi Pertama. 1993. Lima Tokoh Seniman Jawa Barat. Edisi pertama.

Wibisono, Gunawan. 1983. Wayang Sebagai Sarana Komunikasi (Bunga Rampai). Jakarta : Gramedia.

Yudoseputro, Wiyoso. 1986. Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung : Angkasa.


(1)

196 Internasional. Konsekuensi logis dari kepopularitasannya tersebut, maka gaya pertunjukan Dalang Asep Sunandar Sunarya dari Giriharja dijadikan kiblat gaya Pedalangan Jawa Barat, yang banyak ditiru oleh dalang-dalang lainnya, terutama para dalang muda. Meskipun di Jawa Barat banyak terdapat dalang terkenal lainnya tetapi hingga kini Dalang Asep Sunandar Sunarya tetap dalam posisi terdepan (Primus Interpares) dalam hal daya popularitas dimata masyarakat luas. Begitupula posisi Dalang Asep Sunandar Sunarya diantara saudara-saudaranya sesama dalang tetap masih berada paling atas (The best of the best). Hal ini tentu saja merupakan hasil dari keberaniannya berkreasi melakukan sesuatu aksi perubahan. Dengan begitu, bukan muluk-muluk bila harapan kita tentang generasi muda selanjutnya akan lebih mengenal dan mencintai budaya dari bangsanya sendiri.

5.2 Saran

Untuk menjaga kelestarian seni tradisi wayang golek dan untuk mempopulerkan kembali wayang golek yang cenderung ditinggalkan pendukungnya dari generasi ke generasi, diperlukan upaya-upaya penyelamatan dan pelestarian yang berkelanjutan dari berbagai pihak khususnya Diparbud (Pemerintah), budayawan, seniman dan seluruh masyarakat. Mari berapresiasi pada wayang golek sebagai tontonan dan tuntunan. Sayang seandainya seni wayang golek yang adiluhung ini harus tergerus zaman yang serba modern, karena kita yang mulai berkiblat ke budaya barat, padahal orang-orang baratnya sendiri banyak meneliti seni budaya kita khususnya wayang golek yang sudah mendapat pengetahuan dunia. Kepada


(2)

197 pemerintah mohon ada Departemen khusus tentang kebudayaan. Kepada para seniman muda teruslah berinovasi dan berkreasi tiada henti sesuai dengan tuntutan zaman. Percayalah budaya kita ini betul-betul penuh tuntunan yang berguna bagi kehidupan kita sebagai manusia.

5.3 Temuan-Temuan

Kemahiran dan keunggulan yang dimiliki dalang-dalang erah Giriharja sebagai dalang wayang golek, terutama Dalang Asep Sunndar Sunarya dengan lingkung seni Giriharja 3 nya, kiranya semua orang tidak akan meragukannya, yaitu sangat mahir dalam memainkan wayang (garap) demikian juga dalam menampilkan banyolan atau humor yang segar dan memukau, kedua potensi inilah yang menjadikan Asep Sunandar Sunarya sebagai dalang kondang, pada dasarnya ia telah menjalankan tiga actor yang sensual yaitu :

1. Asep Sunandar Sunarya bisa bergaul dengan masyarakat luas, sehingga dapat masuk dan dikenal masyarakat luas dari tigkat bawah hingga masyarakat kalangan atas.

2. Asep Sunandar Sunarya memiliki jiwa loyal terhadap sesama (Familier). 3. Asep Sunandar Sunarya memiliki prinsip tidak merasa sudah cukup

memiliki dan menguasai ketarampilan menjadi dalang, ia selalu haus untuk dikritik dan selalu inovatif.


(3)

198 Dari semua pengetahuan tersebut dapat menimbulkan suatu implikasi bahwa intensitas pementasan Dalang Asep Sunandar Sunarya selalu meningkat. Hal tersebut tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan dalam tarap hidunya, yang tidak saja untuk dia melainkan juga untuk para pengurusnya dan keluarga besarnya serta masyarakat di sekitarnya.


(4)

199

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka.

Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Buurman. 1980. Wayang Golek. Asmterdam : Sijthoff.

Cahya. 2000. “Asep Sunandar Sunarya, Tokoh dan Kreator Pedalangan Sunda”(sebuah biografi). Tesis, Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Creswell.John W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative Aproaches. London: Sage Publications. International Educational and Professional Publisher.

Dahlstrom Kajsa. 1985. GLOBTRADET, Stockholm. Dharsono. 2007. ESTETIKA. Bandung; Rekayasa Sains.

Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika, Sebuah Pengantar. Diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung.

Ekajati, EdiS. 2001. Naskah Sunda : Sumber Pengetahuan Budaya sunda. KIBS 22-25 Agustus 2001

Foley Kathy. 1979. The Sundanese Wayang Golek; Dissertation. University of Hawaii.

Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta : UI-Press

Herbert, Mimi. 2002. Voices of the Puppet Masters, Honolulu; University of Hawaii Press

Haryoguritno, Haryono. 1997. Adiluhug. Makalah Hasil Sarasehan Dalang Indonesia dan Temu Wartawan

Irfansyah. 2006. Perubahan Kode visual Raut Golek Asep Sunandar Sunarya dari tahun 1970 – 2005. Tesis, Bandung. Institut Teknologi Bandung.


(5)

200 Ismunandar K., R.M. 1985. Wayang, Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang : Dahara

Prize. Cetakan Kedua

Jazuli, M. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat Sosiologi Pedalangan. Semarang: Limpad

Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Koentjaraningrat. 1948. Kebudayaan, Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta :

Penerbit PT. Gramedia

Lembaga Basa & Sastra Sunda. 1992. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung : Terate. Cetakan Kedua

Liang Gie, The. 1976. Garis-Garis Besar Filsafat Keindahan. Yogyakarta : Nur Cahaya

Mertosedono, Amir. 1993. Sejarah Wayang, Asal-Usul an Cirinya. Semarang : Dahara Prize. Cetakan Kedua

Mulyono, Sri. 1982. Wayang, Asal-Usul dan Masa Depannya. Jakarta : Gunung Agung

Nani K. Sunarya. 1990. “Riwayat Hidup Abah Sunarya dan Abu Tjutjun”. Dokumen Pribadi, Bandung – Giriharja (tidak diterbitkan)

Outline Proposal Penelitian kualitatif

Poedjosoebroto, R. 1978. Wayang Lambang Ajaran Islam. Jakarta: Pradnya Paramita. Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka. Cetakan Kedua

Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1977/1978. Sejarah Daerah Jawa Barat. Bandung : Proyek Penelitian dan Pencatatn Kebudayaan Daerah

Rohidi, T.R.dkk 2000a. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STISI Press

Sagio dan Samsugi. 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta : Haji Masagung


(6)

201 Salmun, Mas Adung. 1986. Padalangan. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan Kedua.

Salmun M.A. 1961. Pedalangan. Jakarta : Balai Pustaka

Soepandi, Atik. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka Busana

Sulasmi. 2002. Warna, Teori dan Kreativitas Penggunaannya. Bandung : ITB

Sumardjo, Jacob. 2002. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung : Kelir

Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito

Sudjana, Nana dan Ibrahim.1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Sunardi D.M., Ramayana. 2000. Jakarta, Balai Pustaka.

Sudibyoprono, R. Rio. 1991. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta, Balai Pustaka. Suryana, Jajang. 2002. Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek.

Bandung, PT Kiblat Buku Utama.

Sudjana, Tarja. 2004. ”Wayang Golek Pamulihan”. Tesis. Semarang, tidak diterbitkan.

Taman Budaya Propinsi Jawa Barat, Buku Edisi Pertama. 1993. Lima Tokoh Seniman Jawa Barat. Edisi pertama.

Wibisono, Gunawan. 1983. Wayang Sebagai Sarana Komunikasi (Bunga Rampai). Jakarta : Gramedia.

Yudoseputro, Wiyoso. 1986. Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung : Angkasa.