KEANEKARAGAMAN BENTUK PANAKAWAN WAYANG KULIT PURWA

(1)

i

KEANEKARAGAMAN BENTUK PANAKAWAN

WAYANG KULIT PURWA

SKRIPSI

Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Seni Rupa Strata Satu

Oleh :

Nama : Dian Purbarini Nim : 2450406020 Program Studi : Seni Rupa/SI

JURUSAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada :

hari : Kamis

tanggal : 17 Februari 2011

Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Drs. Dewa Made K., M.Pd. Drs. Syakir, M.Sn.

NIP. 195111181984031001 NIP. 196505131993031003

Penguji III, Penguji II,

Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd Drs. Syafii, M.Pd.

NIP.195008311975011001 NIP. 195908231985031001

Penguji I,

Drs. Purwanto, M.Pd NIP. 195901011981031


(3)

iii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Februari 2011


(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

Hidup kita adalah hari ini bukan masa lalu ataupun masa depan, maka janganlah terus meratapi masa lalu dengan penyesalan dan memandang masa depan dengan ketakukan, tapi jalani hari ini dengan sebaik-baiknya (sumber : peneliti).

Persembahan:

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Bapak Ibuku tercinta atas kasih sayang dan do’a yang tiada hentinya untuk kesuksesan anaknya; 2. Kakakku Tyas Purbasari dan adikku Abdur

Rahman Al Basyir atas do’a dan dukungannya; 3. Akhlis Miftahun N. atas motivasi dan pelajaran

hidup yang sangat berharga; 4. Almamater UNNES.


(5)

v PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang kulit Purwa. Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata, namun juga berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang;

2. Drs. Syafii, M.Pd, Ketua Jurusan Seni Rupa sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

3. Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini;

5. Bapak Ibuku tersayang yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materi, terimakasih atas doa dan kasih sayangnya.

6. Pamanku M. Ali Syafii atas bantuannya baik moral maupun materi sehingga skripsi ini bisa terwujud.

7. Teman-teman SRD angkatan 2006, Nanik, Fredo, Eva, Suharno, Wahyu, Bayu, Wahid, Rama, Nita, Kis, Hasan, Arif N.S, Agso, Adi, Arif Ardi, Vega, Supriyadi, kalian telah memberi warna dalam hidupku, thank’s for all.


(6)

vi

8. Teman-teman kost Kinanthi, teman-teman Kontrakan Vera, Rini, Nanik, Meldut, Sumik, Jum, Karina, yang telah menyertai penulis selama ini, kalian adalah tokoh utama dalam kisah hidupku, thank’s for all.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik material maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal atas kebaikan yang telah mereka berikan selama ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua.

Semarang, Februari 2011 Peneliti,


(7)

vii SARI

Purbarini, Dian 2010. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa.

Seni Rupa. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I : Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd, Pembimbing II : Drs. Syafii, M.Pd

Kata kunci : Keanekaragaman Bentuk, panakawan, wayang kulit purwa. Salah satu seni rupa tradisi yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya adalah seni wayang. Dalam pewayangan, panakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Selain memiliki karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh pewayangan lainnya, panakawan juga memiliki bentuk yang lucu dan unik. Gaya dan perbentukan panakawan juga bermacam-macam. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang keanekaragaman bentuk panakawan wayang kulit purwa meliputi perbentukan tokoh, busana dan atribut serta sunggingan/pewarnaan. Manfaat penelitian ini adalah sebagai referensi atau sumber pengembangan ilmu, acuan dan bahan pertimbangan untuk lebih melestarikan seni rupa tradisi khususnya wayang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sasaran penelitian adalah panakawan koleksi museum Radya Pustaka Surakarta, Museum Sono Budoyo Yogyakarta, Museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan dalang sudiharjo Jepara. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, wawancara, dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian menyatakan bahwa secara visual panakawan wayang kulit purwa beranekaragam. Keanekaragaman terdapat pada bentuk, sikap tangan, sikap kaki, sikap kepala, di samping itu juga ada yang sama/mirip pada perbentukan mata, hidung, mulut. Busana yang digunakan panakawan adalah sarung. Sedangkan atribut yang digunakan secara umum adalah anting, kalung, gelang, cincin dan senjata. Sedangkan pada Semar tidak memakai kalung dan senjata melainkan memakai sumping. Pewarnaan pada panakawan juga beranekaragam, ada dua warna tubuh yaitu hitam dan perada, warna wajah menggunakan warna putih dan perada. Warna-warna komplementer seperti merah, biru, hijau, kuning terdapat pada sembuliyan dan uncal wasta dan sampur/sabuk, sedangkan warna atribut menggunakan warna merah putih, biru, hijau dan kuning.

Saran yang dikemukakan bagi peneliti lain untuk menindaklanjuti dengan membandingkan tokoh panakawan gagrak lainnya, ada alternatif lain yaitu panakawan gagrak Cirebon, Jawa Timuran, Banyumasan dan bagi para guru seni rupa, dengan kesederhanaan bentuk, busana dan atribut serta pewarnaan/sunggingan panakawan memungkinkan untuk digunakan sebagai pembelajaran yang elementer di sekolah.


(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .. i

HALAMAN PENGESAHAN ... .. ii

HALAMAN PERNYATAAN... .. iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN………... iv

PRAKATA ... .. v

SARI... vii

DAFTAR ISI……… viii

DAFTAR TABEL……… x

DAFTAR GAMBAR………... xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Masalah……….. 5

1.3 Tujuan……… 6

1.4 Manfaat………. . 6

1.5 Sistematika Skripsi……….……… 6

BAB II LANDASAN TEORETIS 2.1 Wayang sebagai Karya Seni tradisi……… 8

2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa………..………. 27

2.3 Tokoh Panakawan……… 38

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian………... 45

3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian………... 46

3.3 Sumber Data………... 46


(9)

ix

3.5 Teknik Analisis Data……….……….49 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Latar Penelitian……… 52 4.2 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa………. 80

BAB V PENUTUP

5.1 SIMPULAN……….182 5.2 SARAN………183 DAFTAR PUSTAKA


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Semar Wayang Kulit

Purwa ... 185 Tabel 2. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Gareng Wayang Kulit

Purwa ... 188 Tabel 3. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Petruk Wayang Kulit

Purwa ... 192 Tabel 4. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Bagong Wayang Kulit


(11)

xi x

DAFTAR GAMBAR

Gambar : 2.1 a). Semar gaya Surakarta, b). Semar gaya Yogyakarta,

c). Semar gaya Jawa Timuran, d). Semar gaya Cirebon ... 19

Gambar : 2.2 a). Gareng gaya Surakarta, b). Gareng gaya Yogyakarta, c).Gareng gaya Cirebon, d). Gareng gaya Jawa Timuran ... 22

Gambar : 2.3 a). Petruk gaya Surakarta, b). Petruk gaya Yogyakarta, c).Petruk gaya Ratu Cirebon ... 26

Gambar : 2.4 a). Bagong gaya Surakarta, b). Bagong gaya Yogyakarta, c). Bagong gaya Cirebon. ... 29

Gambar : 2.5 Berbagai Bentuk Mata Wayang ... 31

Gambar : 2.6 Jenis-Jenis Mata Wayang ... 31

Gambar : 2.7 Berbagai Bentuk Hidung Wayang ... 32

Gambar : 2.8 Berbagai Bentuk Mulut Wayang ... 33

Gambar : 2.9 Busana dan Atribut Wayang ... 34

Gambar : 4.1 Museum Radya Pustaka Surakarta ... 56

Gambar : 4.2 Wayang Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta ... 58

Gambar : 4.3 Panakawan Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS... 59

Gambar : 4.4 Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 59

Gambar : 4.5 Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 60

Gambar : 4.6 Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 60

Gambar : 4.7 Museum Sono Budoyo Yogyakarta ... 61

Gambar : 4.8 Wayang Wahyu koleksi Museum SBY ... 63

Gambar : 4.9 Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 65

Gambar : 4.10 Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 65

Gambar : 4.11 Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 66

Gambar : 4.12 Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 66


(12)

xii

Gambar : 4.14 Museum Wayang Kekayon Yogyakarta ... 67

Gambar : 4.15 Salah Satu Ruang Pamer Museum WKY ... 68

Gambar : 4.16 Wayang Panakawan Madya Surakarta ... 71

Gambar : 4.17 Wayang Purwa Gaya Surakarta ... 72

Gambar : 4.18 Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati ... 72

Gambar : 4.19 Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati ... 73

Gambar : 4.20 Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 73

Gambar : 4.21 Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 74

Gambar : 4.22 Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 74

Gambar : 4.23 Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY... 75

Gambar : 4.24 Panakawan Koleksi Sudiharjo Jepara ... 78

Gambar : 4.25 Semar Koleksi Sudiharjo Jepara... 78

Gambar : 4.26 Gareng Koleksi Sudiharjo Jepara ... 78

Gambar : 4.27 Petruk Koleksi Sudiharjo Jepara ... 79

Gambar : 4.28 Bagong Koleksi Sudiharjo Jepara ... 79

Gambar : 4.29 Bentuk Tubuh Semar RPS ... 82

Gambar : 4.30 Mata Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 83

Gambar : 4.31 Hidung Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 83

Gambar : 4.32 Mulut Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 83

Gambar : 4.33 Bentuk Tubuh Semar Koleksi SBY ... 86

Gambar : 4.34 Mata Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 86

Gambar : 4.35 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 87

Gambar : 4.36 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 87

Gambar : 4.37 Bentuk Tubuh Semar Gaya Yogyakarta WKY ... 90

Gambar : 4.38 Mata Semar Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ... 90

Gambar : 4.39 Hidung Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 91

Gambar : 4.40 Mulut Semara Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 91

Gambar : 4.41 Mata Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 91


(13)

xiii

Gambar : 4.42 Hidung Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum

WKY ... 91

Gambar : 4.43 Mulut Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 92

Gambar : 4.44 Bentuk Tubuh Semar Koleksi Sudiharjo Jepara ... 94

Gambar : 4.45 Mata Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 94

Gambar : 4.46 Hidung Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 95

Gambar : 4.47 Mulut Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 95

Gambar : 4.48 Tubuh Gareng Gaya Surakarta Museum RPS ... 99

Gambar : 4.49 Mata Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 100

Gambar : 4.50 Mulut Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 100

Gambar : 4.51 Hidung Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 100

Gambar : 4.52 Tubuh Gareng Gaya Yogykarta Koleksi SBY ... 102

Gambar : 4.53 Mata Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 103

Gambar : 4.54 Hidung Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY... 103

Gambar : 4.55 Mulut Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 103

Gambar : 4.56 Tubuh Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY ... 106

Gambar : 4.57 Mata Gareng Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ... 107

Gambar : 4.58 Hidung Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 107

Gambar : 4.59 Mulut Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 107

Gambar : 4.60 Mata Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 108

Gambar : 4.61 Hidung Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 108

Gambar : 4.62 Mulut Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 108


(14)

xiv

Gambar : 4.64 Mata Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 111

Gambar : 4.65 Hidung Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 112

Gambar : 4.66 Mulut Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 112

Gambar : 4.67 Tubuh Petruk Gaya Surakarta Museum RPS ... 115

Gambar : 4.68 Mata Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 115

Gambar : 4.69 Hidung Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS... 155

Gambar : 4.70 Mulut Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ... 116

Gambar : 4.71 Tubuh Petruk Gaya Yogykarta Koleksi SBY ... 118

Gambar : 4.72 Mata Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 118

Gambar : 4.73 Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .... 118

Gambar : 4.74 Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ... 119

Gambar : 4.75 Tubuh Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY ... 121

Gambar : 4.76 Mata Petruk Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY... 121

Gambar : 4.77 Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 122

Gambar : 4.78 Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY .... 122

Gambar : 4.79 Mata Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 122

Gambar : 4.80 Hidung Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 122

Gambar : 4.81 Mulut Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 123

Gambar : 4.82 Tubuh Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 124

Gambar : 4.83 Mata Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara... 125

Gambar : 4.84 Hidung Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 125

Gambar : 4.85 Mulut Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 125

Gambar : 4.86 Tubuh Bagong Gaya Yogykarta Koleksi SBY ... 128


(15)

xv

Gambar : 4.88 Hidung Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum

SBY... 129

Gambar : 4.89 Mulut Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .... 129

Gambar : 4.90 Tubuh Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY ... 131

Gambar : 4.91 Mata Bagong Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ... 131

Gambar : 4.92 Hidung Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.93 Mulut Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.94 Mata Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.95 Hidung Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 132

Gambar : 4.96 Mulut Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum WKY ... 133

Gambar : 4.97 Tubuh Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 134

Gambar : 4.98 Mata Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 134

Gambar : 4.99 Hidung Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ... 135

Gambar : 4.100 Mulut Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 135

Gambar : 4.101 Anting Semar Koleksi Museum RPS ... 152

Gambar : 4.102 Gelang Semar Koleksi Museum RPS ... 152

Gambar : 4.103 Sunggingan pada Sabuk dan Sembuliyan ... 152

Gambar : 4.104 Aning Cabe Merah Semar SBY ... 153

Gambar : 4.105 Sembuliyan pada Busana Semar SBY ... 154

Gambar : 4.106 Gelang Semar SBY ... 154

Gambar : 4.107 Sunggingan pada Busana Semar SBY ... 154

Gambar : 4.108 Sunggingan pada Sabuk Semar WKY ... 156


(16)

xvi

Gambar : 4.110 Sunggingan pada Gelang dan Anting Semar WKY ... 156

Gambar : 4.111 Sunggingan pada Sabuk Semar Pesisiran ... 158

Gambar : 4.112 Sunggingan pada Wajah dan Anting Semara Pesisiran ... 158

Gambar : 4.113 Sunggingan pada Sumping Semar Pesisiran ... 159

Gambar : 4.114 Sunggingan pada Busana Semar Pesisiran ... 160

Gambar : 4.115 Sunggingan pada Kalung Gareng RPS ... 161

Gambar : 4.116 Sunggingan pada Gelang Gareng RPS ... 162

Gambar : 4.117 Sunggingan pada Sabuk dan Senjata Gareng RPS ... 162

Gambar : 4.118 Busana Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY... 163

Gambar : 4.119 Sunggingan pada Wajah Gareng SBY ... 163

Gambar : 4.120 Sunggingan pada Anting dan Kalung Gareng SBY ... 164

Gambar : 4.121 Sunggingan pada Sarung Gareng WKY ... 165

Gambar : 4.122 Sunggingan pada Wajah Gareng WKY ... 165

Gambar : 4.123 Sunggingan pada Kalung dan Anting Gareng WKY... 166

Gambar : 4.124 Sunggingan pada Busana Gareng Pesisiran ... 167

Gambar : 4.125 Sunggingan pada Sabuk Gareng Pesisiran ... 167

Gambar : 4.126 Sunggingan pada Anting dan Kalung Gareng pesisiran ... 167

Gambar : 4.127 Sunggingan pada Wajah Gareng Pesisiran ... 168

Gambar : 4.128 Sunggingan pada Kalung dan Gelang Petruk RPS ... 169

Gambar : 4.129 Sunggingan pada Sarung Petruk RPS ... 170

Gambar : 4.130 Sunggingan pada Wajah Petruk RPS ... 170

Gambar : 4.131 Sunggingan pada Wajah Petruk SBY ... 171

Gambar : 4.132 Sunggingan pada Kalung Petruk SBY ... 171

Gambar : 4.133 Sunggingan pada Kalung Petruk WKY ... 172

Gambar : 4.134 Sunggingan pada Busana Petruk WKY ... 173

Gambar : 4.135 Sunggingan pada Wajah Petruk WKY ... 173

Gambar : 4.136 Sunggingan pada Busana Petruk Pesisiran ... 174

Gambar : 4.137 Sunggingan pada Wajah Petruk Pesisiran... 174

Gambar : 4.138 Sunggingan pada Senjata Petruk Pesisiran ... 175


(17)

xvii

Gambar : 4.140 Sunggingan pada Busana Bagong SBY ... 177

Gambar : 4.141 Sunggingan pada Wajah dan Atribut Bagong WKY ... 178

Gambar : 4.142 Sunggingan pada Busana dan Atribut Bagong WKY ... 178

Gambar : 4.143 Sunggingan pada Kalung Roda Bagong Pesisiran ... 179

Gambar : 4.144 Sunggingan pada Wajah Bagong Pesisiran ... 180


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Estetika Visual Panakawan…………...……….. 185

Lampiran 2. Gambar Panakawan Yogyakarta Koleksi Sagio…..…………. 202

Lampiran 3. Instrumen Penelitian……… ……….. 204

Lampiran 4. SK Pengangkatan Dosen Pembimbing Skripsi…………... 207

Lampiran 5. Lembar Konsultasi Bimbingan Skripsi……… ………… 208


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Budaya Indonesia saat ini, terpengaruh kuat oleh arus budaya asing. Hal ini disebabkan lemahnya upaya untuk melestarikan budaya sendiri. Jika tidak adanya upaya tersebut tidak mustahil budaya Indonesia berangsur-angsur akan semakin hilang. Oleh sebab itu kita harus kembali kepada identitas budaya yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa. Unsur-unsur budaya meliputi banyak hal, salah satunya adalah seni. Seni adalah hasil karya manusia, dengan seni manusia lebih peka, sebab ia merasakan keindahan, keselarasan, keseimbangan, irama, harmoni, proporsi.

Kesenian Indonesia beranekaragam termasuk seni tradisi. Seni rupa tradisi merupakan seni yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya, karena seni tradisi adalah sebuah wujud karakteristik dari suatu bangsa. Konsep penciptaan ini berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas pada sebuah budaya, itu bisa berupa aktivitas religius, aktivitas seremonial atau simbol-simbol yang menjadi bagian utuh dari aktivitas tersebut (http//www. galeri nasional.pdf/250310).

Seni rupa tradisi yang termasuk ke dalam seni rupa Indonesia, tidak luput dari kebudayaan yang melatarbelakanginya. Kebudayaan yang melatarbelakangi seni rupa tradisi adalah seni rupa yang bersifat kedaerahan, etnik, dan berbeda-beda di setiap daerah, dipengaruhi oleh tradisi masyarakat setempat, contohnya wayang, ornamen pada rumah-rumah tradisional di setiap daerah, batik dan banyak lainnya. Tiap daerah atau suku bangsa pasti mempunyai ciri khas sendiri,


(20)

2

meski sama-sama wayang misalnya, antara wayang gaya Yogyakarta dan Soloterdapat perbedaan.

Wayang adalah salah satu dari seni tradisi yang bersifat kedaerahan serta memiliki karakteristik yang berbeda di setiap daerah. Wayang kulit purwa merupakan seni tradisi yang sangat populer di kalangan masyarakat yang tak lekang oleh waktu. Kesenian wayang merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat Jawa sepanjang zaman. Dalam seni pewayangan, digambarkan tingkah laku manusia sehari-hari, ada peranan kebathilan dan ada juga peranan kebajikan yang penuh dengan budi pekerti luhur.

Seni pewayangan di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, yang membedakannya adalah hadirnya tokoh panakawan pada pewayangan Indonesia, sedangkan di India tidak ada. Dalam cerita pewayangan, panakawan terdiri dari Semar, gareng, Petruk, Bagong adalah panakawan pihak baik yang mengabdi pada tokoh baik. Semar adalah dewa yang menyamar manusia dan turun ke bumi, yang bertugas untuk menjaga ketentraman. Semar adalah dewa yang diturunkan ke jagad raya, yang sebelumnya berwujud dewa dan berparas elok bernama Batara Ismaya.

Dalam pewayangan para dalang tidak akan pernah meninggalkan Panakawan pada setiap pementasannya. Tanpa adanya adegan geculan

panakawan, pementasan wayang dirasa kurang sempurna. Meskipun hanya berperan sebagai tokoh pamomong para kesatria dan sering kali sebagai tokoh lucu dalam adegan geculan, tetapi pitutur yang disampaikan lewat adegan panakawan sangat sarat dengan piwulang becik. Bahkan para dewa pun selalu


(21)

meminta bantuan kepada Semar untuk menyelesaikan permasalahan yang dewa pun tidak bisa menanganinya.

Dalam beberapa adegan pewayangan, panakawan bahkan menjadi tokoh utama seperti halnya para kesatria. Misalnya dalam lakon Semar Mbangun Jati Diri, yang menjadikan Semar menjadi tokoh utamanya. Petruk Dadi Ratu, yang berkisah tentang Petruk yang menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbeh setelah ia melarikan ajimat Kalimasada. Begitu halnya dengan Gareng, ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama Pandubergola. Ia diangkat sebagai raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.

Panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu memihak kebenaran dan keadilan, serta meluruskan segala bentuk penyelewengan. Semar seorang

pamomong yang suci, jujur, dan sederhana. Begitu juga dengan anak-anaknya yang meskipun selalu bertingkah konyol, tetapi baik hati dan jujur.

Dalam proyek studi karya Wijaya (2009) dan Hidayatusalam (2007) ternyata panakawan juga dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam berkarya. Dengan bentuknya yang unik, Wijaya dan Hidayatusalam mengeksplor panakawan dalam karyanya dengan berbagai bentuk yang imajiner namun tidak meninggalkan ciri khas aslinya.

Dalam wayang Jawa tokoh panakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk (golongan baik) serta Togog dan Mbilung (golongan buruk). Seperti tokoh wayang lainnya, panakawan juga mempunyai berbagai versi. Hal ini dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya Indonesia. Selain itu juga di pengaruhi


(22)

4

oleh pengalaman estetis setiap orang yang menciptakan perwujudan wayang itu sendiri. Wayang panakawan merupakan salah satu hasil karya akal budi masyarakat Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Selain memiliki karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh pewayangan lainnya, panakawan juga memiliki bentuk yang lucu dan unik, lain dari yang lain. Setiap perwujudan dari panakawan mempunyai makna tersendiri. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Selain mengekpresikan sesuatu yang unik dan menarik, tampaknya bentuk panakawan secara visual juga beranekaragam. Bentuk panakawan yang unik dan berbeda dari tokoh wayang kulit purwa lainnya memiliki gejala menarik untuk dikaji, dipahami, dan dianalisis mengenai perwujudan visualnya. Mengingat sepengetahuan penulis belum ada penelitian terhadap keanekaragaman bentuk panakawan, maka perlu dilakukan suatu kajian secara mendalam dan kontekstual dengan latar yang dikaji.

Sehubungan dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis mengenai keanekaragam panakawan wayang kulit purwa, meliputi perbentukan visual panakawan. Menurut Sulano (2008) berbicara mengenai wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih sangat luas pengertiannya, sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuran/proporsi wayang, busana/atribut-atribut yang dikenakan, wanda/karakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, hidung dan mulut wayang, dan sunggingan/pewarnaan wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneliti pada bagian mata, hidung, mulut, busana dan atribut yang dikenakan, dan


(23)

sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.. Adapun panakawan yang dikaji dalam penelitian ini adalah panakawan wayang kulit purwa koleksi museum dan perorangan.

I.2 Rumusan Masalah

Dari seluruh uraian latar belakang di atas, maka masalah utama yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah keanekaragam bentuk panakawan wayang kulit purwa. Masalah utama dirinci menjadi tiga sub masalah yaitu perbentukan tokoh panakawaan wayang kulit purwa; busana dan atribut panakawan wayang kulit purwa; dan sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa meliputi perbentukan tokoh, busana dan atribut dan sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.

I.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :

I.4.I Bagi mahasiswa seni rupa, hasil penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi penelitian lebih lanjut.

I.4.2 Bagi Jurusan Seni Rupa UNNES, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi atau sumber pengembang ilmu pengetahuan dan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.


(24)

6

I.4.3 Bagi instansi terkait yakni Dinas Pariwisa dan Kebudayaan, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan pertimbangan untuk lebih melestarikan seni rupa tradisi khususnya wayang.

I.5 Sistematika Skripsi

Guna mempermudah pemahaman para pembaca maka dikemukakan sistematika skripsi ini yang secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, bagian akhir.

Pada bagian awal skipsi ini terdiri dari lembar judul, persetujuan pembimbing, pengesahan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, abstrak, daftar isi, daftar gambar, daftar tabel, dan daftar lampiran.

Adapun pada bagian tengah skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing memuat pembahasan yang berbeda tetapi masih dalam satu keterkaitan tema.

BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika skripsi.

BAB II Tinjauan Pustaka. Menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang dimaksudkan sebagai kerangka acuan atau pedoman sebelum melaksanakan penelitian terutama berkaitan dengan masalah-masalah yang dibahas meliputi konsep pewayangan : pengertian wayang kulit purwa, asal usul wayang, gagrak wayang kulit purwa, pengertian panakawan, asal usul panakawan, perbentukan panakawan wayang kulit purwa.

BAB III Metode penelitian. Berisi tentang metode-metode tertentu sesuai dalam melaksanakan penelitian, yaitu meliputi pendekatan penelitian, lokasi


(25)

penelitian, fokus dan sasaran penelitian, teknik pengumpulan data dan tehnik analisis data.

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi hasil uraian dari penelitian dan pembahasan, yaitu meliputi panakawan koleksi berbagai museum dan dalang Sudiharjo Jepara, sekilas mengenai gambaran umum museum dan dalang Suduharjo Jepara, keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa meliputi mata, hidung, mulut, busana/atribut dan sunggingan/pewanaan panakawan wayang kulit purwa.

BAB V Penutup. Berisi tentang rangkuman pernyataan singkat yang dijabarkan dari hasil penelitian dan saran atas hasil dan kesimpulan penelitian : keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa, sedangkan bagian akhir berupa daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(26)

8 BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.I Wayang sebagai Karya Seni Tradisi 2.I.I Pengertian Seni Tradisi

Menurut Bastomi (tt : 20) tradisi artinya turun temurun atau kebiasaan. Seni tradisional berarti suatu kesenian yang dihasilkan secara turun-temurun atau kebiasaan berdasarkan norma-norma, patron-patron atau pakem tertentu yang sudah berlaku. Tradisi meliputi banyak hal, salah satu diantaranya adalah seni.

Menurut Rohidi (2000:80) seni adalah suatu simbol yang termasuk dalam perangkat simbol pengungkapan perasaan atau simbol ekspresif. Demikian pula dengan karya seni yang merupakan bentuk ekspresi yang identik dengan simbol yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang mampu menyampaikan maksud dan makna tertentu.

Berdasarkan pengertian di atas, seni tradisi adalah seni yang telah diturunkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep penciptaan seni ini berdasarkan pada filosofi sebuah aktifitas pada sebuah budaya itu bisa berupa aktivitas religius, aktivitas seremonial atau simbol-simbol yang menjadi bagian utuh dari aktivitas tersebut (http//galeri nasional. seni rupa tradisi/21052010). Menurut Bastomi (tt:22) dalam proses penciptaan seni tradisional terjadi hubungan antara pencipta dengan kondisi lingkungannya. Seni tradisional berkaitan dengan hal-hal yang gaib. Seni tradisional akan kuat bertahan jika berakar pada hal-hal yang sakral. Dalam kegiatan yang sifatnya sakral atau


(27)

magis dalam bentuk upacara-upacara yang menggunakan alat-alat akan melahirkan seni tradisional.

Dalam kaitannya dengan seni tradisi, sifat kedaerahan, etnik, mitos dan magis adalah komponen yang melatarbelakangi munculnya seni tradisi. Faktor utama yang melatarbelakangi munculnya seni tradisi adalah faktor lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Seni rupa tadisi yang sering kali mengangkat mengenai etnik dan kedaerahan, contohnya wayang.

2.I.2 Pengertian Wayang

Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan”. Dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh : bayang. Dalam bahasa Bugis :

wayang atau bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata : baying artinya “barang”, yaitu “apa yang dapat dilihat dengan nyata”. Akar kata dari wayang adalah yang.

akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat pada kata layang –

“terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil ; royong – selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain; Poyang-payingan “berjalan sempoyongan, tidak tenang” dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian akar kata yang

beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa dasarnya adalah : tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari (Mulyono, 1982:9).

Mulyono (1982 :10) juga menyatakan bahwa bahasa Jawa wayang yang mengangandung pengertian “berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang)”, telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika ketika awalan wa masih mempunyai fungsi tata bahasa. Oleh karena boneka wayang yang digunakan dalam pertunjukan berbayangan atau memberi


(28)

bayang-10

bayang, maka dinamakan wayang, awayang atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukan wayang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang. Jadi pengertian wayang akhirnya menyebar luas sehingga berarti “pertunjukan pentas atau pentas dalam arti umum, sehingga sekarang misalnya orang berbicara tentang wayang topeng”.

Sagio dan Samsugi (1991 : 4) menjelaskan bahwa pengertian wayang menurut Pigeaud adalah boneka yang dipertunjukan (wayang itu sendiri); pertunjukan yang dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang mengandung pelajaran (wejangan), yaitu wayang purwa atau wayang kulit, yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument slendro).

2.I.3 Asal Usul Wayang

Fungsi semula pertunjukan wayang adalah sebagai upacara religius untuk pemujaan kepada nenek moyang bagi penganut kepercayaan “Hyang” yang merupakan kebudayaan Indonesia asli. Kemudian berkembang hingga digunakan sebagai media komunikasi sosial yang dapat bermanfaat bagi perkembangan masyarakat pendukungnya (www//Wikipedia.wayang purwa/030410). Untuk menuju roh nenek moyang ini, selain mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung, roh nenek moyang yang dipuja disebut “hyang” atau “dahyang”. Orang bisa berhubungan dengan para Hyang ini untuk meminta pertolongan dan perlindungan melalui seorang medium yang disebut “syaman”. Ritual inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang, yaitu sekitar tahun 1500 SM (Senawangi, 2009 : 24).


(29)

Soetarno (2007) menyebutkan ada beberapa pendapa dari beberapa ahli yang menyatakan mengenai asal kelahiran wayang, yaitu :

1). Wayang berasal dari China

Pendapat ini dikemukakan oleh Goslings, ia mengemukakan bahwa wayang kulit Jawa itu berasal dari China dengan alasan bahwa kata “Ringgit” bahasa krama “wayang itu berasal dari China. Pendapat ini didukung oleh Kwee Kek Beng yang menyatakan kata wayang itu berasal dari bahasa China, yaitu “Wayaah” bahasa Hokiyahatu “Woying” bahasa Mandarin atau juga “Woyong” bahasa Kanton.

2). Wayang berasal dari India

Pendapat ini dikemukakan oleh Krom dalam bukunya Gescheidenis van Nederlands Indie. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa wayang kulit Jawa menggunakan bahan cerita yang berasal dari india yaitu Mahabarata dan Ramayana. Selain itu juga didasarkan pada alasan di India juga mempunyai wayang dengan permainan bayangan yang disebut “Chayanataka”. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Pischel, ia menyatakan bahwa asal mula wayang dari india berasal dari kata rupapajivane yang terdapat dalam Mahabarata dan kata

Rupparupakam yang terdapat daloam Therigatha. 3). Wayang berasal dari Jawa

Pendapat ini dikemukakan oleh Hazeu, Rassers dan Kruyt. Hazeu menyatakan bahwa orang Jawa pada zaman dahulu mempunyai kepercayaan menyembah roh leluhur yang telah meninggal. Sebab menurut kepercayaannya roh-roh nenek moyang itu dapat menampakan di dunia sebagai bayangan. Oleh


(30)

12

karena itu orang Jawa untuk menghormati roh nenek moyangnya dengan cara membuat lukisan yang menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar itu dijatuhkan pada kelir atau gedhek/tembok. Sedangkan Rassers berpendapat bahwa wayang kulit itu berasal dari totemisme yang ada di Jawa pada zaman dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan prasejarah, yaitu kepercayaan segolongan manusia pada benda keramat.

Asal mula bentuk wayang kulit (purwa) sekarang dapat ditelusuri dalam cerita Ramayana di relief candi Panataran ( JawaTimur 1350-1369). Pola tersebut mas ih dipertahankan pada wayang kulit Bali. Berangkat dari pola dasar di candi Panataran, bentuk wayang lambat laun berkembang dan mencapai puncak pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 masa Sri Susuhunan Paku Buwono IV dan Paku Buwono IX di Surakarta atau masa Sri sultan Hamengku buwono V, VI, VII dan Paku Buwono Alam I, II di Jogjakarta. Di candi Prambanan (Jawa Tengah) terdapat cerita Ramayana dalam bentuk relief dan pahatan dekoratif. Namun tidak dapat disimpulkan bahwa pola itu sumber bentuk wayang kulit/purwa yang ada sekarang (Ismunandar, 1994 : 61).

2.1.4 Bentuk Visual Wayang Kulit Purwa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 277) dijelaskan bahwa bentuk mempunyai arti, lengkung; lentur; taji; kuku; busur; bangun; gambaran; rupa; wujud. Sularno (2010) mengemukakan bahwa berbicara mengenai bentuk/wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih sangat luas pengertiannya, sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuran/proporsi wayang,


(31)

busana/atribut-atribut yang di kenakan, wanda/karakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, hidung dan mulut, dan sunggingan/pewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneneliti pada bagian mata, hidung, mulut, sunggingan/pewarnaan dan busana/atribut panakawan wayang kulit purwa.

2.1.4.1 Bentuk Mata

Menurut Widodo, bentuk-bentuk mata wayang adalah mata gabahan tunduk, contoh Arjuna, Puntadewa, Pandudewanata; mata kedelai, contoh Drupada, Salya, Udawa; mata kedondong, contoh patih Tuhayata, Kartamarma; mata bulat, contoh Arya Bima, Arya Gatut Kaca; mata penanggalan, contoh Pandita Durna, Raksasa Cakil; mata kelipan, contoh Semar, Sukrasana, Kalabendana. Sedangkan menurut Sagio dan Ir. Samsugi (1988:124) bentuk mata yang merupakan bagian dari muka wayang adalah mata liyepan (gabahan), kedhelen, thelengan, peten, plelengan, kiyipan, kiyeran (penanggalan), mata wuta,

dan mata kapi. 1). Mata liyepan

Mata liyepan disebut juga mata gabahan, karena bentuk biji mata yang menyerupai gabah. Terdapat pada wayang kelompok Bambang jangkah, dan putren. Biasanya diikuti dengan bentuk hidung ambangir dan mulut salitan.


(32)

14

2). Mata kedhelen

Bentuk mata ini biji matanya mirip dengan biji kedelai. Terdapat bersama hidung Sembada dan mulut salitan. contoh prabu Baladewa, Resi Seta, Prabu Matswapati.

3). Mata thelengan

Mata thelengan memiliki biji mata bundar (mirip lingkaran). Terdapat bersama-sama hidung dhempok dan mulut salitan misalnya pada Gatutkaca, Bima Suyudana dan Antareja.

4). Mata peten

Bentuk biji mata peten menyerupai buah petai. Terdapat bersama-sama hidung dhempok, mulut salitan dan gusen alus, misalnya pada Citraksi.

5). Mata plelengan

Ditinjau dari bentuknya hampir sama dengan mata thelengan. Jika disungging biji matanya diberi warna emas, putih, merah dan hitam. pada mata

plelengan juga kelihatan bulu mata. Perbedaan lain dengan mata thelengan, pada mata plelengan terdapat tatahan langgat bubuk mengelilingi bentuk luar mata.

Plelengan disebut juga thelengan. Wayang yang bermata plelengan misalnya Dasamuka, Dursasana, Indrajit, Burisrawa.

6). Mata kiyipan

Mata kiyipan disebut juga mata kelipan. Biji mata separuh lonjong, disungging dengan warna emas, putih, merah dan hitam juga kelihatan bulu matanya. mata kiyipan terdapat bersama-sama mulut gusen atau merenges dan hidung medhang. Contohnya Narada dan Cakil.


(33)

8). Mata Wuta

Bentuk mata ini untuk menggambarkan mata buta, tidak tampak biji matanya misalnya Destarasta.

9). Mata kapi

Mempunyai dua biji mata yang berbentuk bundar. Disungging seperti mata plelengan. Pada mata kapi terdapat alis yang dipahat. Misalnya Anoman, Sugriwa dan Subali.

10). Mata Belis

Bentuknya seperti mata plelengan, tapi dua buah. Disungging juga seperti mata plelengan. Terdapat alis yang ditatah. Biasanya terdapat pada tokoh raksasa. misalnya Kumbakarna dan Prahastha.

11). Mata Rembesan

Mata ini bentuknya hampir sama dengan mata kelipan. Pada sunggingan di bawah biji mata diberi warna merah. Terdapat khusus pada tokoh Semar.

12) Mata Keran

Kera (Jawa) sama artinya dengan juling. Mata ini berbiji mata bunder, dengan sunggingan seperti pada mata plelengan tidak tampak bulu matanya. Contohnya Nala Gareng.


(34)

16

Gambar : 2.6 Jenis-jenis Mata Sumber ; Sagio dan Widodo

2.1.4.2 Bentuk Hidung

Menurut Sagio dan Samsugi (1988 : 120), hidung dalam wayang kulit adalah ambangir, sembada, dempok, mungkal Gerang, nyantik palwa, bunder

dan nemplik.

1) Hidung ambangir

Hidung ambangir bentuknya kecil dan runcing sehingga dapat menggambarkan hidung ynag mancung. tokoh dalam wayang yang memiliki hidung ini biasanya mempunyai ciri bertubuh kecil (kelompok putren), bokongan (bambangan) dan jangkah (bambang jangkah). Bentuk hidung ini disertai mulut

salitan dan mata liyepan (gagahan). Contoh Krisna, Arjuna, dewi Sinta, Prabu Rama dan Wisanggeni.


(35)

2) Hidung sembada

Hidung ini hampir sama bentuknya dengan hidung ambangir, hanya saja ukurannya pada umumnya lebih besar. Terdapat pada wayang kelompok

Katongan atau sebagian kelompok gagahan. Hidung sembada biasanya diikuti dengan mata kedelen dan mulut salitan. Contoh Setyaki, Seta, Baladewa dan Aswatama.

3) Hidung Dhempok

Bentuknuya mirip dengan ujung jari tangan. biasanya disertai dengan mata berbentuk thelengan dan bermulut salitan. Terdapat pada sebagian kelompok

gagahan. Misalnya pada Gatutkaca, Bima, Dasamuka, Antareja. 4) Hidung mungkal gerang

Bentuk hidung ini hampir sama dengan hidung dhempok. Tetapi ujungnya sedikit lebih runcing. Disebut mungkal gerang diduga karena bentuknya yang menyerupai ungkal (batu asah) yang telah gerang (aus). Hidung jenis ini terdapat bersama-sama dengan mata plelengan dan mulut gusen. contoh Dasamuka, Indrajit, Burisrawa dan Dursasana.

5) Hidung medang

Bentuk hidung ini seperti ujung pedang dan biasanya mencuat ke atas. terdapat bersama-sama dengan mulut prengesan atau gusen dan mata

penanggalan. Misalnya pada Cakil dan Narada. 6) Hidung nyantik palwa

Hampir sama dengan bentuk hidung dhempok tapi ukuran pada umumnya lebih besar. Palwa (Jawa) berarti perahu. Nyantik palwa mungkin karena


(36)

18

ujungnya seperti haluan perahu. Bentuk hidung ini terdapat bersama-sama dengan mulut ngablak, mata belis. Misalnya Kumbakarna, Niwatakawaca dan Prahasta. 7) Hidung bunder

Bentuk hidung ini bunder (mirip dengan lingkaran). Terdapat pada wayang dalam bentuk dhagelan, misalnya Nala Gareng.

8) Hidung Nemlik

Bentuk hidung nemlik pada umumnya lebih kecil dari pada hidung ynag lain. Terdapat pada tokoh-tokoh kera. Contoh Anoman dan Togog.

Gambar : 2.7 Jenis-jenis hidung Sumber : Sagio dan Widodo

2.1.4.3 Bentuk Mulut

Menurut Widodo, berbagai wayang dapat dibedakan dari jenis-jenis mulutnya. Ada wayang halusan yaitu golongan putrid, putran hingga prabu Rama


(37)

Wijaya dan prabu Basudewa, kesemuanya tidak mempunyai anak gigi di muka gigi depan. Wayang halusan yang mempunyai anak gigi depan yaitu: untuk yang bermata kedelai Arya Setyaki sampai Prabu Baladewa dan untuk yang bermata bulat yaitu Arya Gatutkaca dan sejenisnya. Sedangkan menurut Sagio dan Samsugi (1988 : 127) seperti halnya dengan mata dan hidung, mulut wayang banyak ragamnya. Karakter tokoh dalam cerita wayang mempengaruhi bentuk mulut. Jenis-jenis diantaranya adalah mulut salitan, mulut mingkem, mulut

mesem, mulut gusen, mulut mrenges, mulut anjeber dan mulut ngablak. Berikut adalah gambar jenis-jenis mulut di atas :

1). Mulut Salitan

Biasanya terdapat pada wayang mempunyai karakter baik, misalnya Kresna, Gatutkaca dan Lesmana. Sebenarnya salitan merupakan sebutan untuk lengkungan mulut bagian belakang. Dalam mulut salitan tampak unton-unton

yang menggambarkan gigi. Banyaknya unton-unton tiga buah. Kadang-kadang di depan unton-unton pertama (paling depan) terdapat seperti unton-unton kecil yang disebut slilitan. Pada wayang kelompok bambangan dan gagahan yang bermulut

salitan ada yang menggunakan slilitan ada yang tidak. 2) Mulut mingkem

Mingkem (Jawa) artinya tertutup rapat. Hal ini ditandai dengan bertemunya bibir atas dan bawah. Dalam wayang kulit mulut mingkem terdapat bersama-sama dengan hidung ambangir. Contohnya pada Begawan abiyasa dan Sang Hyang Wenang.


(38)

20

3). Mulut mesem

Mesem (Jawa) artinya tersenyum. Biasanya terdapat pada wayang kelompok dhagelan yang digambarkan murah senyum dan bersuasana gembira, Contohnya pada Petruk dan Gareng.

4) Mulut Gusen

Ciri dan bentuk mulut gusen ialah bahwa gigi dan gusi bagian atas tampak.

unton-unton (gigi) berjumlah tiga buah ditambah dengan sebuah gigi taring yang letaknya paling belakang. Kadang-kadang ditemukan pula slilitan di depan gigi terdepan. Bentuk slilitan pada wayang bermulut gusen berbeda dengan yang bermulut salitan. Biasanya terdapat bersama-sama dengan mata plelengan dan mulut mungkal gerang. Misalnya Dasamuka, Indrajit dan Pragota. Ditemukan juga wayang bermulut salitan yang tampak gusi atasnya, dengan unton-unton tiga buah tanpa taring disebut gusen alus. Mulut gusen alus disertai hidung ambangir

atau dhempok, mata liyepan, atau gabahan, misalnya Citraksi dan Wibisana (ketika berada di Pancawati pertama kali) dan Bogagenta.

5) Mulut Mrenges

Mulut mrenges tampak sedikit terbuka sehingga gigi dan gusi rahang atas dan bawah kelihatan jelas. Biasanya terdapat bersama-sama mata plelengan atau

penanggalan. Misalnya Cakil dan Sumali. 6) Mulut anjeber

Mulut anjeber juga terbuka tetapi pada umumnya lebih lebar. Biasanya terdapat pada wayang kapi (kera) dengan hidung nemlik. Misalnya Anoman, Anila, Subali dan Sugriwa.


(39)

7) Mulut ngablak

Mulut ngablak juga terbuka lebar degan gigi-gigi yang pada umumnya besar. Terdapat bersama-sama mata belis, plelengan dan kliyipan, serta hidung

nyathik palwa.Contohnya Kumbakarna, Prahasta dan Kala Sekipu.

Gambar : 2.8 Jenis-jenis Mulut Sumber : Sagio dan Widodo 2.1.4.4 Busana dan Atribut Wayang

Tokoh-tokoh wayang dapat dikenali dari busana dan atributnya. Para dewa dan pendeta digambarkan memakai baju berlengan panjang semacam jubah, sementara dibagian bahu bergantung selendang. Para satria mengenakan kain yang disebut dodot, bagian dadanya terbuka. Bentuk busana dodot beragam, ada yang membulat ke belakang ada yang bergelambir menganjur ke bawah. Para panakawan memakai sarung. Busana dan atribut wayang juga beranekaragam


(40)

22

tergantung kedudukan dan perannya dalam pewayangan, sebagai contoh raksasa kumbakarna di bawah ini :

Keterangan Gambar : 2.9 :

Gambar : 2.10 Busana dan atribut Wayang

Sumber : http://wayangku.wordpress.com//120610)

Keterangan Gambar :

01. Jamang Lidi 02. Jamang 03. Mahkota 04. Tali Garuda 05. Utah-utahan 06. Dawala/Tali 07. Sumping 08. Praba

09. Kelatbahu 10. Kelatbahu depan 11. kalung 12. Tali praba 13. Tali Ulur-ulur 14. Sabuk/ Paningset


(41)

15. Timang Slepe 16. Tali Sabuk 17. Gelang 18. Kampuh/ Dodot 19. Uncal wastra 20. Badong

21. Uncal kencana 22. Celana pendek 23. Celana Panjang 24. Kunca

25. Gelang kaki

2.1.4.5 Sunggingan Wayang Kulit Purwa

Warna adalah kualitas rupa yang dapat membedakan kedua objek identik raut, ukuran, dan nilai gelap terangnya (Sunaryo, 2002:12 ). Pulasan sendiri juga sering disebut dengan kata sunggingan. Untuk mewarnai wayang diperlukan beberapa tahap pulasan (polesan).

Sistem percampuran dan perpaduan warna dapat dijumpai pada pewarnaan wayang kulit. Dalam menyungging wayang, orang Jawa sangat berpedoman pada sistem warna Jawa. Menyungging wayang sudah menggunakan warna putih untuk menciptakan nada warna. Perpaduan monokromatik dan analogus dapat dijumpai pada teknik sunggingan wayang. Tentu saja pewarnaan wayang bagi orang Jawa tidak sembarang, melainkan berpedoman pada kaidah-kaidah pewarnaan wayang yang meliputi aspek estetis dan simbolis. Hal ini dilakukan karena orang Jawa sangat menjunjung tradisi dan nilai-nilai kebudayaan, terutama dalam melestarikan wayang yang menjadi pedoman kehidupan orang Jawa.

Menurut Hermawati, dkk (2006 :72-82), ada beberapa tahapan dalam proses menyungging wayang, yakni :

Tahap pertama adalah persiapan bermacam-macam cat. Dalam tahapan ini adalah membuat bahan pewarna/cat. Untuk membuat bahan pewarna/cat, diperlukan bahan baku warna dan bahan perekat. Bahan baku warna merupakan bahan dasar


(42)

24

cat pokok, biasanya terbuat dari ; putih dari tulang dibakar, kuning dari atal batu, yaitu atal utuh yang belum menjadi serbuk, nila dibuat dari nila werdi, yakni untuk kain batik, hitam dibuat dari hoyan, pewarna hitam dibuat dari langes,

kukus lampu, merah dari gincu merah.

Bahan-bahan tersebut masing-masing dicampur dengan bahan perekat dari ancur/arabic gom/lem arab yang masih berupa lempengan.

Tahap kedua, proses pewarnaan. Sebelum proses mewarna, hal utama yang harus dilakukan yakni, menggosok wayang kulit yang hendak disungging dengan kertas amplas atau gelas sampai halus untuk menghilangkan sisa-sisa bekas tatahan, agar mudah disungging dan cat-catnya melekat dengan baik. Adapun urut-urutan menyungging wayang kulit, yakni :

Andasari, proses ini adalah memberi warna putih atau kuning pada seluruh bagian wayang kulit, secara rata dan tipis. Nyengo atau menghitamkan, yakni memberi warna hitam pada seluruh bagian-bagian wayang yang seharusnya berwarna hitam misalnya, bagian kepala, suluhan(bagian mata), muka, gelung, bodolan, gimbalan, semua jenis seritan(rambut), harus sampai pada bagian dalam agar tidak belang seperti uban. Angrodo, pengenaan perada (warna keemas-emasan), yang perlu diperada adalah perlengkapan pakaian, misalnya : perhiasan-perhiasan, jamang, kawatan, uncal kencana, dan sebagainya.

Amepesi, yakni meskipun cara pemberian perekat ancur/lem arab sesuai dengan tempat dan bentuknya, sesuai pula perada yang ditempelkan, namun masih ada sisa-sisa perada yang dibersihkan. Proses amepesi ini bermaksud agar jelas batas-batas garis cat yang satu dengan yang lainnya, sehingga tampak rapi.


(43)

Angjambon, memberi warna merah muda, pengecatan jambon dilakukan setelah amepesi. Bagian-bagian yang dicat jambon adalah : jamang, garuda, kelat bau, ujung-ujung mas-masan, yang serba sembuliyan, warna-warna harus berselang-seling, jangan sampai warna-warna yang berdekatan hampir sama (tumbuk).

Menguningkan, proses ini ialah memberi warna kuning, misal pada jamang, sumping, patran (daun), dawala (tali jamang), kalung, dan sebagainya. Cat kuning tidak hanya untuk hijau saja, sebagian juga untuk sinar kapuranta (merah kekuning-kuningan). Mijenen, memberi warna hijau muda, dalam proses warna hijau muda ini digunakan untuk membuat kuning menjadi lebih tua yang hendak dijadikan sinar hijau. Memberi warna biru muda atau mengapurantakan, proses ini memberi warna biru muda, kemudian mewarnai kapuranta (merah kekuning-kuningan). Proses ini dalam hal menyungging wayang disebut ngenem-enemi. Warna biru atau kapuranta digunakan pada : muka garuda, dawala, lung (garis-garis melengkung) untuk praba. Nyawi, proses ini adalah membuat coretan-coretan tipis pada perlengkapan pakaian wayang yang berlukiskan wastra agar terlihat penuh dan rumit. Selain nyawi, ada proses drenjemi yakni memberi titik-titik lembut pada bagian yang tidak patut disawi.

Angraupi, berasal dari kata raup yang berarti muka, angraupi berarti mencat muka. Warna muka merah, hitam dan sebagainya. Menggembleng, yakni mengenakan perada pada tubuh wayang. Sebelum diperada harus dicat dulu dengan warna kuning, agar ketika perada pecah tidak nampak mencolok.


(44)

26

Angulat-ulati, berasal dari kata ulat yang berarti air muka. Angulat-ulati, memberikan perwatakan pada wajah wayang, misalnya membuat alis, mempertegas biji mata, membuat godek, memperjelas bibir dan gigi wayang sesuai dengan karakter masing -masing tokoh wayang yang di pulas. Seorang tukang pulas dituntut juga menguasai karakter wayang yang disunggingnya, sehingga tidak lari dari karakter yang sebenarnya. Angulat-ulati berarti memberi lukisan air muka. Misal, ketika melukiskan pusat mata hendaklah tidak ditengah-tengah sekali, tetapi agak maju sedikit.

Angedus, proses memandikan wayang, agar warna semakin mengkilat dan tahan lama. Demikianlah beberapa tahapan dalam menyungging wayang. Menghidupkan air mukanya, itulah pekerjaan terakhir dan menghasilkan wayang paripurna, setelah pemasangan gapit dan penyambungan tangan.

2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa

Pada awal pemerintahan Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati menambahkan wayang Garuda dan Gajah untuk pelengkap pertunjukan. Saat ini pula lah rambut mulai ditatah halus. Wayang inilah yang sekarang dikenal sebagai wayang gagrak/gaya Mataraman. Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Wayang kembali diperbesar. Dengan mulai menggunakan istilah wanda pada wayang-wayang tertentu. Setelah jaman pemerintahan Sultan Agung, tepatnya zaman pemerintahan Amangkurat Tegal Arum, pakem pedalangan kemudian pecah menjadi dua. Yaitu Gaya Kanoman oleh Nyi Anjang Mas dengan penggunaan sepatu, jubah, dan keris pada wayang dewa dan pendeta yang beroprasi di wilayah timur (www.gagrak Wayang//030410).


(45)

Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa. Pada pemerintahan Pakubuono III pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini adalah masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat dengan diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain itu wayang gaya Surakarta juga diperamping sehingga memudahkan dalang dalam melakukan sabet atau olah wayang.

Pada masa pemerintahan Pakubuono IV, terjadi perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan tua yang dikepalai oleh Pangeran Mangkubumi menyatakan perselisihannya terhadap Pakubuono IV yang mau bekerjasama dan mengakui kedaulan pemerintahan Belanda atas kerajaan Mataram. Akibat dari perjanjian Giyanti, Mataram di pecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi lalu menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai golongan tua, kemudian Mangkubumi mengembangkan wayang gaya Mataraman sedangkan Pakubuono IV mengembangkan wayang gaya Surakarta atau sekarang lebih tenar dengan nama wayang gaya Solo. Lebih lanjut, Kasunanan Surakarta yang kemudian pecah lagi menjadi Kasunanan Solo dan Mangkunegaran. Oleh Mangkunegara I, wayang gaya Solo lalu di perbesar. Pada wayang gaya Yogyakarta pun lalu terjadi perubahan dengan adanya gaya baru yaitu wayang Paku Alaman yang masih


(46)

28

mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya menggunakan keris (www.gagrak wayang kulit purwa.pdf//030410).

Berbicara masalah gagrak dalam konsep wayang disebut dengan gaya dalam seni selalu terkait dengan istilah aliran seni. Gaya atau corak, langgam maupun style ( still ) sebenarnya berurusan dengan bentuk luar sesuatu karya seni. Sebenarnya, yang dimaksud gaya wayang kulit purwa disini yaitu : Suatu terminology dalam dunia seni yang memberi keterangan ragam tentang adanya corak tertentu, sehingga masing-masing ragam dapat dilihat dan dibedakan dengan jelas. Gaya ini tidak hanya terbatas pada perwujudan wayangnya saja seperti ukuran wayang, jenis tatahan dan sunggingannya, namun juga meliputi pementasannya yakni tari, suluk, dan iringannya ( Sagio dan Ir. Samsugi:13 ).

Berdasarkan berbagai sumber (www.gagrak wayang wayang kulit purwa//030410); Sularno (2010), www/wapedia/mobi/id/Banyumas/260610) ada berbagai macam gagrak wayang kulit yaitu gagrak/gaya Surakarta, Yoyakarta, Jawa Timuran, Banyumasan, Cirebonan dan lain-lain semuanya memiliki perbedaan dan memiliki ciri yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan lebih banyak membahas mengenai wayang gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta dan Pesisiran.

Secara khusus penelitian ini mengkaji mengenai keanekaragaman panakawan dilihat dari segi perbentukan visualnya. Dalam penelitian ini lebih mengutamakan pada panakawan wayang kulit purwa Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Berbicara mengenai wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih sangat luas pengertiannya, sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah


(47)

keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuran/proporsi wayang, busana/atribut-atribut yang dikenakan, wanda/karakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, bentuk-bentuk hidung, bentuk mulut dan sunggingan/pewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneliti pada bagian mata, hidung, mulut, busana/atribut-atribut dan sunggingan/pewarnaan saja

2.3 Tokoh Panakawan

Kata panakawan menurut pedalangan berasal dari kata pana yang artinya cerdik, jelas, terang sekali atau cermat dalam pengamatan dan kawan yang berarti teman. Jadi panakawan berati teman atau pamong yang sangat (pana) cerdik sekali, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan luas dan pengamatan yang tajam dan cermat (secara tegasnya panakawan adalah pamong/orang kepercayaan yang dapat tanggap ing sasmita dan limpad pasang ing grahita). Jadi sesungguhnya panakawan bukan sebagai pelayan melainkan “abdi” (Mulyono, 1989:68).

Panakawan secara lahiriah adalah sebagai simbol atau suatu pola struktur dari “pembantu pimpinan” yang sangat ideal. Artinya bahwa panakawan itu adalah “abdi” (bukan pelayan). Ajudan itu hendaknya memiliki watak “wicaksana”, dapat dipercaya, jujur, panjang nalar dan rileks/tenang serta berani menghadapi segala keadaan dan persoalan, baik yang rumit maupun pelik (Mulyono, 1989:68).

Menurut Hermawati (2006:27) kata panakawan berarti teman yang multifungsi, yang mumpuni, yang bukan saja mengawani tetapi juga


(48)

30

mengarahkan, menghibur, memberi semangat dan motivasi. Hampir pada jenis wayang memiliki panakawan, namun yang paling terkenal adalah para panakawan pada wayang purwa yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Tokoh panakawan menggambarkan rakyat biasa yang mengabdi pada tuannya. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong mengabdi pada para satria yang baik budi. Sedangkan panakawan yang mengabdi pada para raja atau satria yang dipihak jahat terdapat Togog dan Sarawita atau Bilung. Dalam wayang terdapat pula abdi wanita, yang paling dikenal ialah Limbuk dan Cangik. Limbuk berbadan gemuk sedangkan Cangik berbadan kecil dan Kurus. Para abdi atau panakawan umumnya sebagai penghibur tuannya, tetapi tidak jarang pula mereka juga berperan sebagai penasehat.

Dalam wayang Jawa karakter panakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Panakawan adalah para pembantu dan pengasuh setia Pandawa. Dalam wayang kulit, panakawan ini paling sering muncul dalam gara-gara, yaitu babak pertujukan yang seringkali berisi lelucon maupun wejangan. 2.3.1 Berbagai Versi Panakawan Wayang Kulit Purwa di Jawa

2.3.1.1 Semar

2.3.1.1.1 Tokoh Semar dalam Cerita Pewayangan

Dari segi etimologi, Joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono, 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki


(49)

rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula. Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119).

Semar adalah salah satu nama panakawan dalam kisah pewayangan yang menjadi pengasuh dari Pandawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Nama lain Semar adalah Badranaya, Naya Antaka, Janggan Asmarasanta, Boga Sampir, Ismaya, Duda Nanang Nunung. Mekipun ia berwujud manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para dewa. Domisili Semar adalah padepokan Karang Kadempel. Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh

panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini

dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa

Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa (Setyani,

2008).

Menurut Widyawati (2009 : 711) munculnya Semar di bumi ketika jaman raden Kaniyasa atau Resi Kanumanasa, pandhita yang ada di Saptarga. Pada waktu itu, di sana ada orang cebol yang sedang berlari karena dikejar dua ekor macan yang akan memangsanya, orang tersebut bernama Smarasanta, lalu ditolong oleh sang resi. Macan diruwat dengan senjata lalu berubah menjadi dua, yang tua bernama Dewi Kanastren jadi jodoh Smarasanta, sedangkan yang muda


(50)

32

bernama Dewi Retnawati, jadi istri Sang Resi Kanumayasa. Semarasanta lalu nyantrik pada sang resi dan dipanggil Janggan Semarasanta. Sang Janggan Semarasanta itu lalu jadi pamong keturunan sang Resi Kanumayasa, hanya sampai para Pandawa Raden Harjuna. Sedangkan kalau ada putra Raden Janakandan diikuti oleh Semar itu hanya silihan saja sebagai teman supaya bisa meramaikan pakeliran. Semar berbadan hitam, warnanya hitam berarti tetap tidak berubah (langgeng), menjadi ratu di jagad Sunyaruri, yaitu di alam sunyi. Kalau memperlihatkan diri dibumi hanya jadi tuwanggana, yaitu pamong keturunan Sang Manik Maya.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot,

Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar

hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut. Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang

Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna

seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar (http//www.Semar//090810).

2.3.1.1.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Semar

Menurut Usman (2010 : 34) Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Wajahnya tua tapi


(51)

potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata.

Menurut Siswoharsoyo (1953 : 68) seperti yang dikutip Widyawati (2009 : 710) Semar itu dewa yang berbadan manusia, berbentuk Semamar

membingungkan, laki-laki bukan, wanita pun bukan, cebol, badannya hitam gemuk, bulat, tidak muda tidak tua,dikepalanya ada kuncung jadi kelihatan seperti bocah, makanya dia punya ciri sebentar-sebentar menangis, senang menangis, susah juga menangis karena selamanyatidak tahu senang dan tidak tahu susah.

Bentuk tokoh Semar itu sendiri sering digambarkan dengan perawakan cebol, kepala kecil berambuk pendek / cepak warna hitam, berkuncung rambut putih, mata berair, hidung kecil, bibir tipis, gigi satu, wajah berbedak putih, memakai anting-anting (bentuk) lombok, pantat besar bundar, memakai jarik poleng (motif kotak-kotak) dengan empat warna : merah kuning putih hitam. Nama lain Semar, Ki Bogajati, Ki Margaewuh, Badra Naya, Naya Antaka, Janggan Asmara Santa, Duda Nanang Nunung, Ismaya, Boga Sampir. Tempat tinggalnya bernama Karang Kabolotan. Selain itu juga perbentukan tokoh Semar lainnya adalah Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya ke atas dan tangan kirinya ke belakang (www.wikipedia//semar/090810). Berikut adalah contoh bentuk tokoh Semar :


(52)

34

a) b)

c) d) Gambar : 2.1

a). Semar gaya Surakarta, b) Semar gaya Yogyakarta, c). Semar gaya Jawa Timuran, d). Semar gaya Cirebon

(Sumber : http//www.Semar//090810

2.3.1.2 Gareng

2.3.1.2.1 Tokoh Gareng dalam Cerita Pewayangan

Gareng adalah nama dari salah satu panakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah. Menurut Mulyono (1989 : 67) Nala Gareng mempunyai bentuk tubuh yang semua cacat. Selanjutnya Mulyono mengatakan Gareng adalah panakawan yang berkaki pincang, hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini


(53)

adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul. Selain itu Gareng berhidung besar dan matanya julig. Gareng mengkhususkan dirinya pada permainan kata-kata insinuasi yang lihai ketimbang dalam dagelan yang kasar.

Menurut Widyawati (2009 : 221) Gareng adalah seorang satria tampan yang bernama Bambang Sukadadi dari padepokan Bluluktiba. Setelah selesai bertapa, ia kemudian bertemu dengan Bambang Pecrupanyukilan dari padepokan Kembang Sore yang tak lain adalah Petruk. Mereka saling mengadu kekuatan serta kesaktiannya. Dalam perkelahian tersebut mereka dilerai oleh bathara Ismaya dan setelah diberikan nasihat-nasihat mereka berubah rupa dan wujudnya. Kemudian kedua satria tersebut deberi nama Gareng untuk Bambang Sukadadi dan Petruk untuk Bambang Pecrupanyukilan. Kedua insan tersebut akhirnya menjadi pengikut Batara Ismaya yang berwujud Semar dan diakui sebagai anak-anaknya sendiri.

Waluyo (tt:30) menyebutkan Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satriya yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satriya lain bernama

Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia


(54)

36

(Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu. Dikarenakan kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur

(Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat

menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

2.3.1.2.1 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Gareng

Gareng adalah Si Kerdil yang bertubuh cacat, dengan lengan yang bengkok dan terputus-putus, kakinya gejig/bubulen (Mulyono, 1989:67). Perawakannya pendek dan kecil, kepalanya gundul memakai kucir, matanya juling, mulutnya kecil, hidungnya besar dan bulat seperti bola pingpong, tangannya bengkok (ceko), kakinya pincang karena penyakit "bubulen" aura wajahnya gelap, berkalung gobog (koin dari negara Cina), sarungnya slobok yaitu bercorak kotak-kotak dengan garis-garis diagonal dari sudut-sudutnya, mempunyai senjata sabit (clurit, beberapa orang / pakar menyebutnya kudi). Gareng juga berkaki pincang, tangan yang ciker atau patah, tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul. Selain itu Gareng berhidung besar dan matanya julig. Berikut adalah beberapa contoh bentuk tokoh Gareng :


(55)

(a) (b)

(c) (d) Gambar : 2.2

a). Gareng Gaya Surakarta, b). Gareng Gaya Yogyakarta, c) Gareng Gaya Cirebon, d). Gareng Gaya Jawa Timur

(Sumber : http/www.Gareng.co.id//090810)

Gareng juga mempunyai banyak versi seperti halnya Semar, dia juga terdapat dalam berbagai gagrak, yaitu gagrak Betawi, Cirebon, Kedu, Banyumasan, Yogyakarta, Surakarta, Jawa Timuran dan sebagainya. Gareng digambarkan sebagai figur yang tubuhnya cacat, mulai dari kepala, tangan hingga kakinya. Hampir semua gagrak menggambarkan Gareng semacam itu. Hanya saja postur tubuhnya yang berbeda.


(56)

38

2.3.1.3 Petruk

2.3.1.3.1 Tokoh Petruk dalam Cerita Pewayangan

Petruk adalah nama dari salah satu panakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah. Menurut pedalangan, Petruk adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan

Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar

bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.

Bambang Pecrupanyukilan berniat mengadu kesaktiannya, kemudian di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta

(Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan

nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama. Akibat perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Petruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng (Ki Waluyo : tt : 40).


(57)

Menurut Widyawati (2009 : 221) Petruk adalah seorang satria tampan bernama Bambang Pecrupanyukilan dari padepokan kembang sore. Setelah menyelesaikan tapanya, ia ingin menguji kesaktiannya. Ditengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukadadi dari padepokan Bluluktiba, karena sama-sama ingin membuktikan kekuatan dan kesaktiannya, mereka pun berkelahi, tidak ada yang menang tidak ada yang kalah, hingga mereka dipisahkan oleh Batara Ismaya yaitu Semar. Keduanya menjadi pengikut Semar dan dianggap sebagai ank kandung sendiri oleh Semar. Bambang Pecrupanyukilan diberi nama Petruk sedangkan bambang Sukadadi diberi nama Gareng.

Menurut Usman (2010:42) Petruk dan panakawan yang lain (Semar,

Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu

keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Di sinilah saat mulai adanya panakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nama ”parepat/prepat”.

Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok


(58)

40

yang tidak bisa diduga. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh

(gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel

(http/www.Petruk.org.com//24/0910).

2.3.1.3.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Petruk

Menurut Usman (2010 : 42) Petruk terkemuka karena tubuhnya yang kurus, mulutnya yang sangat besar dan banyak makan, serta hidungnya yang sangat panjang dan melit. tubuhnya panjang dengan tangan yang panjang dan juga hidung tubuh yang panjang.

Petruk terdiri dari beberapa wanda, di antaranya yang banyak dikenal adalah Petruk wanda Jamblang dan Petruk wanda Jlegong. Selanjutnya dalam sumber tersebut dijelaskan, ciri Petruk wanda Jamblang adalah sebagai berikut :

adegipun ndegeg (dalam sikap berdiri dadanya maju ke depan ), bahu padeg, jangga ageng (lehernya besar), praupan ndangah (wajah menengadah ), praean wiyar (muka lebar), Badan ketingal kendor (badan terlihat bongsor dan longgar). Sedangkan ciri Petruk wanda Jlegong adalah adegipun agrong (perawakannya besar/bongsor), bahu ngajeng andhap (bahu depan rendah), jangga celak dan ageng (leher pendek dan besar), praean wiyar (muka lebar), jaja ageng, badan


(59)

ketingal kera (kurus), awak-awakan limrahipun cemeng (badan warna hitam) (

http://www.wikipedia//com).

(a) (b)

(c) Gambar : 2.3

a). Petruk Gaya Surakart, b). Petruk Gaya Yogyakarta, c) Petruk Ratu Cirebon

(Sumber : www.wayang petruk//230410)

2.3.1.4 Bagong

2.3.1.4.1 Tokoh Bagong dalam Cerita Pewayangan

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh panakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut Widyawati (2009 : 43) Bagong terjadi dari bayangan Bathara Ismaya ketika diperintahkan oleh sang rama Sanghyang Tunggal untuk jadi pengurus Resi


(60)

42

Kanumanasa sampai Sang Arjuna. Lalu ia diberi teman yang diciptakan dari bayangan Sang Ismaya. Bayangan tersebut lalu berbentuk wujud bulat, gemuk, matanya lebar, mulutnya juga lebar, bibirnya menggantung memakai Gombak. Bisa menjadi wujud seperti itu adalah kehendak Ywang Kang Murbeng Pasthi, sebagai teman Batara Manik Maya (Batara Guru). Bagong itu artinya Gombak, ketika jaman dahulu, setiap bocah banyak yang digombak supaya awet muda seperti bocah kecil. Begitu arti diadakannya wayang Bagong, asalnya dari kata Bagong atau Gombak.

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para

dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung

meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram (http//www.bagong.org//24/09/10).

Selanjutnya dalam sumber tersebut dijelaskan raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda. Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan.

Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya. Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai


(1)

pupil mata berwarna hitam, lapisan dua berwarna merah, dan lapisan ketiga berwarna putih

lapisan ketiga berwarna putih

-Hidung nyampaluk, lebih pendek, besar dan melit. Hidung Petruk gaya ini berkelok dan agak bengkok

nyampaluk, berkelok dan lebih kecil dibagian ujung

nyampaluk, dengan ujung hidung mengecil. Hidung Petruk gaya ini lebih lurus dan lebih pendek

nyampaluk. Hampir sama dengan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, hanya saja hidung Petruk ini lebih besar

nyampaluk, panjang dengan ujung hidung mengecil

-Mulut Bentuk mulut Petruk gaya ini lebar, agak terbuka, tanpa gigi dan bibir bagian atas lebih tebal dari bibir bawah. Seperti tokoh panakawan lainnya, Petruk juga mempunyai kumis-kumisan yang memanjang sepanjang bibir dan melengkung ke bawah. Pada bibir bagian bawah, bagian ujung berada di bawah dagu

panjang, bibir bagian atas bergelombang, mempunyai satu gigi dan berkumis

bibir bagian atas dan bawah sama-sama tipis, hanya saja pada bibir bagian atas lebih menjorok ke depan. Seperti Petruk gagrak lainnya, Petruk gaya ini giginya juga terlihat. Dagu Petruk gaya ini lebih menonjol dan hanya terdiri dari satu lekukan.

Mulut Petruk gaya Surakarta koleksi museum WKY ini sama dengan mulut Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, hanya saja Petruk gaya ini mempunyai kumis-kumisan

Mulut petruk gaya ini prengesan/gusen. bibir bagian atas dan bawah sama-sama tipis hanya saja pada bibir bagian atas lebih panjang dari bibir bawah .Bibir bagian atas terdiri dari tiga lekukan. Sama seperti Petruk gagrak lainnya, Petruk gaya ini juga mempunyai satu gigi yang terlihat. kumis-kumisan mengikuti lekuk bibir atas tebal dan melengkung ke bawah. Dagu menjorok ke depan dan terdiri dari tiga lekukan


(2)

Atribut Petruk gaya Surakarta ini atribut yang digunakan adalah sejata/parang, anting, gelang tangan, memakai kalung berbentuk lonceng.

yang digunakan gelang, kalung genta, anting, senjata. Busana Petruk gaya ini berupa kain sarung bermotif kotak-kotak. Pada setiap kotak terdiri dari empat segitiga yang berwarna hitam putih. Segitiga pada bagian atas dan bawah berwarna hitam, sedangkan bagian kiri dan kanan berwarna putih.

mempunyai rambut hitam panjang dan dikuncir, memakai aksesoris berupa anting berwarna coklat, dan memakai sepatu.

dengan motif segitiga. Atribut yang digunakan berupa kalung, gelang dan anting-anting.

digunakan adalah anting, kalung genta, gelang, dan senjata. Perbedaan yang tampak mencolok pada atribut Petruk gaya ini dibanding Petruk gaya lainnya adalah pada senjatanya. Senjata Petruk gaya ini pada gagang/peganggannya yang berbentuk kepala burung.

3. Sunggingan warna perada, coklat, hitam, putih, merah, biru dan kuning. Warna hitam terdapat pada tubuh, rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-outline. Warna merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata, palemahan dan sebagian ornament pada sarung. Warna perada terdapat pada warna wajah dan juga terdapat pada warna dasar kain sarung. Warna

Warna-warna yang digunakan warna merah, kuning, hijau, hitam, dan putih. Warna merah terdapat pada warna bibir, mata, anting, gelang, kalung, tangkai senjata dan sunggingan pada sarung. Warna hitam terdapat pada rambut, warna tubuh, alis mata, kumis, dan sunggingan pada sarung, dan sebagainya. Warna hitam menjadi

Warna-warna yang digunakan pada Petruk gaya ini adalah warna perada/ emas, warna hitam, hijau, putih, merah, jingga dan kuning. Warna perada terdapat pada wajah dan seluruh tubuh. Warna hitam terdapat pada rambut, alis mata,pupil mata,warna hijau terdapat pada kalung genta Petruk dan anting, warna putih terdapat pada

berwarna biru. Warna-warna yang digunakan adalah biru, merah, kuning, coklat dan hitam

Warna-warna yang digunakan Petruk gaya ini adalah warna

perada/emas, hitam, putih, merah, biru, coklat, kuning dan hijau. Warna perada terdapat pada warna tubuh, warna hitam terdapat pada rambut, warna putih terdapat pada wajah dan sarung, warna merah terdapat pada bibir dan kalung genta, warna biru terdapat pada anting dan sembuliyan pada kain sarung. Pada tepi kain


(3)

hitam terdapat pada warna tubuh. Pada atribut seperti kalung, gelang dan cincin menggunakan warna kuning kecoklatan

dominasi pada Petruk gaya ini. Warna komplementer banyak digunakan dalam pewarnaan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY sehinnga membuat pewarnaan ini terlihat menyala.

ornament kawung, merah terdapat pada gelang,

bibir,sunggingan pada mata, dan sunggingan pada kain sarung. Biru terdapat pada

sembuliyan. Jingga, merah, perada terdapat pada kain wiru, dan sepatu. Kuning pada senjata

atau wiru terdapat

sunggingan dengan warna merah, kuning dan hijau. Pada senjata Petruk terdapat warna coklat pada tempat/sarung senjata, sedangkan pada gagang senjata yang berbebtuk kepala burung berwarna hijau dengan garis berwarna merah


(4)

Tabel : 4

Keanekaragaman Bentuk Panakawan Bagong Wayang Kulit Purwa

No. Aspek-aspek Koleksi Museum

RPS

Koleksi Museum SBY Koleksi Museum WKY Koleksi Dalang Gaya Yogyakarta Madya Surakarta

1. Perbentukan Tokoh Bentuk tubuh bulat, tegak, wajah lurus ke depan, kepala menunduk, wajah tersenyum, perut buncit, dada lebih besar daripada perut, kedua tangan menggenggam, kaki kecil, tubuh berwarna hitam, wajah putih, memakai gelang, anting, kalung dan tidak bersenjata.

Tubuh lebih bungkuk, wajah lebih menunduk, namun pandangan mata lurus ke depan, sehingga dagu menyentuh dada hanya menyisakan rongga sebagai leher yang menghubungkan kepala dan badan, perut buncit, tangan bagian belakang menggenggam sedangkan tangan bagian depan jari telunjuk menunjuk ke bawah, kedua kaki sejajar tanpa palemahan.

Bagong gaya Madya Surakarta memiliki tubuh yang lebih besar dari pada Semar dan Gareng gaya Madya Surakarta, wajahnya besar dan lebar, begutu juga dengan mata dan mulutnya.

Bentuk tubuh lebih tegak dan besar, rambut kuncung seperti Semar berwarna hitam,mata lebih besar, alis mata panjang hingga kepelipis,kedua jari-jari tangan membuka, kaki sejajar, wajah lebih besar,mulut lebar,wajah menghadap ke depan.

-Mata plelengan, berbentuk bulat

dengan tiga lapisan warna. Lapisan pertama, bagian terluar dari mata berwarna perada, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga pupil mata

Plelenganerdiri dari tiga lapisan warna, lapisan pertama bagian terluar mata berwarna prada, lapisan kedua berwarna putih, lapisan ketiga berwarna merah. Alis

Pada mata Bagong gaya Madya Surakarta juga mempunyai mata plelengan sama dengan mata Bagong gaya Yogyakarta, hanya saja mata Bagong gaya ini

Bermata plelengan. Namun ada perbedaan pada mata Bagong gaya ini dengan kedua gagrak sebelumnya, kedua gagrak tersebut mempunyai sulur mata


(5)

berwarna hitam. Pada tepi mata terdapat garis tipis berwarna hitam yang mengelilingi mata

mata tebal dan pendek. Sulur mata berwarna hitam.

lebih besar dan terdiri dari empat lapisan warna, lapisan pertama berwarna hitam, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga berwarna kuning dan lapisan keempat pupil mata berwarna hitam

sedangkan Bagong gaya pesisiran tidak memiliki sulur mata. Mata Bagong terdiri dari tiga lapisan warna. Lapisan pertama bagian luar mata berwarna putih, lapisan kedua berwarna merah, dan ketiga pupil mata berwarna hitam.

-Hidung berupa tonjolan pada

daerah antara mata dan mulut, selain itu juga terdapat liang hidung.

kecil dan liang hidung yang besar .

Hanya saja hidung Bagong Madya Surakarta agak panjang dan liang hidung lebih besar

liang hidung Bagong gaya ini terdapat dua garis sejajar hingga mencapai keketan pada mulut.

-Mulut Mulut Bagong gaya ini

termasuk dalam mulut gusen/prengesan. Bibir atas dan bibir bawah sama-sama tipis, mulut agak terbuka dengan satu gigi yang tampak. Kumis-kumisan hanya terdapat diatas keketan, tidak sepanjang bibir. Dagu menjorok ke depan dengan dua lekukan.

Mulut Bagong gaya Yogyakarta ini sama dengan mulut Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY. Hanya saja dagu Bagong gaya ini bagian tengah dagu menonjol. Kumis-kumisan berada di atas keketan melengkung ke bawah dengan ujung kumis semakin tipis dan melengkung ke atas

Sedangkan mulut Bagong gaya Madya Surakarta lebih lebar dan panjang dengan bibir bawah lebih panjang dari pada bibir bagian atas

Bibir atas dan bawah tipis, bibir bagian bawah lebih panjang dari bibir bagian atas. Kumis-kumisan terdapat disepanjang bibir bagian atas melengkung ke bawah. Dagu terdiri dari tiga lekukan.

2. Busana dan Atribut Memakai sarung. Ornamen yang terdapat

Memakai sarung bermotif kawung. Atribut yang

Memakai sarung dengan motif segitiga. Atribut

Memakai sarung. Atribut-atribut yang dipakai yaitu


(6)

pada kain sarung Bagong berupa segitiga dengan warna-warna yang berbeda. kalung roda, gelang, anting dan tidak bersenjata. Dibanding panakawan lainnnya, busana dan atribut Bagong lebih sederhana.

digunakan sama yaitu anting, kalung dan gelang.

yang dipakai adalah anting, kalung dan Gelang.

kalung, anting, gelang. Tidak seperti Gareng dan Petruk yang memiliki senjata, Bagong tidak memiliki senjata.

3. Sunggingan Warna-warna hitam, putih, merah, biru, hijau, dan kuning. Hitam terdapat pada seluruh tubuh dan rambut. Merah, kuning, hijau terdapat pada ornament sarung. Biru gradasi putih terdapat pada kalung roda. Putih terdapat pada wajah. Pewarnaan Bagong gaya ini didominasi warna hitam.

Warna-warna perada, merah, hitam, putih, hijau, dan biru. Warna perada terdapat pada seluruh tubuh, hitam terdapat pada rambut, outline, warna merah, biru, hijau, terdapat pada sarung. Warna merah terdapat pada bibir, gelang, dan sunggingan tengah mata. Putih terdapat pada gigi, bagian dalam mata, dan kuku-kuku.

Dominan berwarna biru. Warna tubuh berwarna putih, rambut bitam, warna pada

busana/sarung berwarna dasar hitam dengan ornament berwarna kuning

Warna-warna yang digunakan adalah warna putih, prada/emas, hitam, merah, biru, dan hijau. Warna putih terdapat pada wajah dan dasaran pada sarung Bagong, warna prada terdapat pada warna tubuh, warna hitam terdapat pada rambut, kumis-kumisan, dan outlie. Warna merah terdapat pada tali kalung, mulut, sembuliyan dan sunggingan pada gelang